Anda di halaman 1dari 39

1

BAB 1
PENDAHULUAN

Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara

langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan

fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau

permanent. Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala adalah

suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat congenital ataupun degeneratif, tetapi

disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau

mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif

dan fungsi fisik (PERDOSSI, 2007).

Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan

mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah tersebut, 10% meninggal sebelum tiba di

rumah sakit, 80% dikelompokkan sebagai cedera kepala ringan (CKR), 10%

termasuk cedera kepala sedang (CKS), dan 10% sisanya adalah cedera kepala

berat (CKB). Insiden cedera kepala terutama terjadi pada kelompok usia produktif

antara 15-44 tahun. Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab 48%-53% dari

insiden cedera kepala, 20%-28% lainnya karena jatuh dan 3%-9% lainnya

disebabkan tindak kekerasan, kegiatan olahraga dan rekreasi.Data epidemiologi di

Indonesia belum ada, tetapi data dari salah satu rumah sakit di Jakarta, RS Cipto

Mangunkusumo, untuk penderita rawat inap, terdapat 60%-70% dengan CKR,

15%-20% CKS, dan sekitar 10% dengan CKB. Angka kematian tertinggi sekitar

35%-50% akibat CKB, 5%-10% CKS, sedangkan untuk CKR tidak ada yang

meninggal (Irwana, 2009).


2

Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu

cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala

sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan

langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselarasi-

deselarasi gerakan kepala. Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat

berbagai proses patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak

primer, berupa perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia,

peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi (Hickey, 2003).


3

BAB 2
LAPORAN KASUS

STATUS PASIEN

A. IDENTITAS PENDERITA

Nama : Tn. H

Usia : 40 tahun

Jenis kelamin : Laki Laki

Suku : Aceh

Agama : Islam

Pekerjaan : Wiraswasta

Status : Menikah

Tanggal masuk : 25 November 2014

No. MR : 06.24.75

B. ANAMNESIS
1. Keluhan utama :
Penurunan kesadaraan post KLL motor vs motor
2. Keluhan tambahan :
Hematoma dan luka robek pada alis kanan, luka robek dibawah mata

kanan, bengkak pada mata kanan, mimisan, bengkak pada bibir.


3. Riwayat penyakit sekarang :

Os datang dibawa keluarga dengan keluhan penurunan kesadaraan post

KLL pada pukul 23.00 WIB. Os tidak memakai helm saat mengendarai

motor dan mengaku tertabrak oleh motor lain dari arah belakang. Os

tidak bisa menjelaskan bagaimana posisi jatuh dan tertabrak pada saat

kejadian. Menurut keluarga, os sempat pingsan selama kurang lebih 30

menit dari saat kejadian sampai dengan dibawa ke puskesmas dan selma
4

perjalanan menuju RSCM. Saat luka os dijahit di IGD RSCM baru os

kembali sadar.

Keluarga os mengeluhkan sempat terjadi mimisan namun segera

berhenti. Muntah disangkal. Saat sadar os mengeluhkan nyeri kepala dan

mata kanan bengkak sehingga sulit dibuka, rasa pedih di seluruh badan,

bengkak pada bibir sehingga sulit membuka mulut, berdenging pada

telinga kiri serta nyeri pada gigi. Keluarga os mengatakan saat kejadian

gigi geraham depan kiri os terlepas.

4. Riwayat penyakit dahulu :


Seminggu sebelum masuk rumah sakit os telah mengeluhkan adanya

gangguan pada telingan kiri, berasa seperti penuh dan bendengung


5. Riwayat penyakit keluarga : disangkal
6. Riwayat konsumsi obat : disangkal
C. STATUS PRESENT
1. Keadaan umum : Lemah
2. Kesadaran : E3V5M6
3. Vital sign :

Tekanan darah : 120/70 mmHg

Frekuensi nadi : 88x/i

Frekuensi nafas : 22x/i

Suhu tubuh : 36,7° C

D. STATUS GENERAL
1. KEPALA
a. Bentuk dan posisi : Normochepali
b. Wajah : Hematoma alis dextra, vulnus laseratum alis dextra, vulnus

laseratum palpebra inferior dextra


c. Mata : Edema (+/- ) pupil (x/isokor), konjungtiva anemis (x/-), sklera

ikterik (x/-)
d. Hidung : bentuk normal, simetris, sekret (-/-) darah (-/-)
5

e. Rongga mulut dan gigi :


Bibir : Edema (+), hiperemis (+)
Gigi dan rongga mulut : gigi premolar dua atas sinistra lepas
f. Leher : dalam batas normal.
2. THORAKS
a. Inspeksi : bentuk dada simetris datar, gerak simetris.
b. Palpasi : stem fremitus normal (+/+).
c. Perkusi : sonor pada seluruh lapangan paru.
d. Auskultasi

Pulmo : vesikuler (+/+), wheezing (-/-), ronkhi (-/-).

Cor : S1>S2 reguler, murmur (-).

3. ABDOMEN
a. Inspeksi : bentuk simetris.
b. Palpasi : soepel (+), tidak teraba pembesaran hepar dan lien.
c. Perkusi : timpani
d. Auskultasi : bising usus (+) normal.
4. EKSTREMITAS

Superior : akral hangat (+/+), sianosis (-/-), edema (-/-), deformitas (-/-).

vulnus ekskoriasi (+/+)

Inferior : akral hangat (+/+), sianosis (-/-), edema (-/-), deformitas (-/-).

E. STATUS NEUROLOGIS

SENSORIUM : E3V5M6 (compos mentis)

KRANIUM : dalam batas normal

PERANGSANGAN MENINGEAL

Kaku kuduk : (-)

Tanda Laseque : (-)

Tanda Kernig : (-)

Tanda Brudzinski I : (-)

Tanda Brudzinski II : (-)

PENINGKATAN TEKANAN INTRAKRANIAL


6

Muntah : (-)

Sakit kepala : (+)

Kejang : (-)

NERVUS KRANIALIS

NERVUS I

Normosmia (+/+), bisa membedakan bau

NERVUS II

Visus : OD (tidak bisa dinilai) OS (6/6)

Reflek cahaya langsung : (x/+)

Lapang pandang : OD (tidak bisa dinilai) OS normal, hemianopsia (-/-)

Persepsi warna : bisa membedakan warna

NERVUS III, IV, VI

Ptosis (x/-), strabismus (x/-), nistagmus (x/-)

Pergerakan bola mata : (x/Normal)

Pupil : Isokhor (x/2 mm)

NERVUS V

Refleks kornea (x/+)

Membuka dan menutup mulut (+),

Mengunyah (+) Menggigit (+) kekuatan gigitan dan kunyahan berkurang

NERVUS VII

Mengerutkan dahi (+/+), menutup mata (+/+)

Memperlihatkan gigi (+), tertawa (+)

Sudut mulut : dalam batas normal


7

NERVUS VIII

N. Vestibularis : dalam batas normal, nistagmus (-/-), vertigo (-/-), tinitus (-/+)

N. Cochlearis : Tes Rinne, Tes Weber, Tes Schwabach tidak dilakukan.

NERVUS IX, X

Pallatum mole dan uvula : dalam batas normal

Disfagia (-), disartria (-), disfonia (-)

Refleks muntah (+)

NERVUS XI

Mengangkat bahu (-/+)

Melihat ke kiri dan ke kanan (+/+)

NERVUS XII

Mengeluarkan lidah (+)

SISTEM MOTORIK

a. Anggota gerak atas

Tonus otot : normotonus

Kekuatan otot : 5555/5555

Rigiditas : (-/-)

b. Anggota gerak bawah

Tonus otot : normotonus

Kekuatan otot : 5555/5555

Rigiditas : (-/-)

REFLEKS

a. Refleks fisiologis Refleks biceps (+/+),


8

refleks triceps (+/+) Refleks Babinski (-/-)

Achilles Pess Reflex : (+/+) Refleks Chaddock (-/-)

Knee Pess Reflex : (+/+) Refleks Oppenheim (-/-)

b. Refleks Patologis Refleks Gordon (-/-)

SENSIBILITAS

Eksteroseptif : rasa raba, rasa nyeri dalam batas normal

Proprioseptif : dalam batas normal

FUNGSI VEGETATIF

Miksi : dalam batas normal, inkontinensia urin (-)

Defekasi : dalam batas no rmal, inkontinensia alvi (-)

GEJALA SEREBELAR

Ataksia (-), disartria (-), tremor (-)

Nistagmus (-/-), vertigo (-)

FUNGSI LUHUR

Kesadaran kualitatif (+)

Ingatan baru (+), ingatan lama (+)

Orientasi diri, tempat, waktu, situasi (+)

Afasia (-), apraksia (-), agnosia (-), akalkulia (-)

Disorientasi kanan-kiri (-)

F. RENCANA PEMERIKSAAN
a. Urin dan darah rutin
b. CT Scan dan RO Scheddle
G. DIAGNOSIS

DIAGNOSIS KLINIS : Cephalgia + vulnus laseratum + vulnus

ekskoriatum
9

DIAGNOSIS TOPIS : Lesi Intrakranial

DIAGNOSIS ETIOLOGIS : Trauma Kapitis

DIAGNOSIS BANDING : 1. Kontusio Serebri

2. Epidural Hematoma

DIAGNOSIS KERJA : Kontusio Serebri

H. TERAPI

O2 3 - 4 L Inj Ranitidin 1 A/12 jam

IVFD RL 20 gtt/i Inj Ketorolac 1A/12 jam

Inj Cefotaxime 1 gr/12 jam Inj Tetagam 250 IU

Inj Citicolin 250 mg/12 jam Gentamicin Salf

I. PROGNOSIS

Quo ad vitam : dubia et bonam

Quo ad fungsionam : dubia et bonam

Quo ad sanactionam : dubia et bonam

J. HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Hemoglobin : 9,0 g%

Eritrosit : 3,9 x 106/mm2

Leukosit : 12,8 x 103/mm2

Hematokrit : 30,2 %

Trombosit : 248 x 103/mm2

K. FOLLOW UP

Tanggal S O A P
10

25 Lemas (+) KU : Lemah Kontusio - IVFD RL 20


November nyeri kepala Sensorium : CM Serebri + gtt/i
2014 (+), pusing TD : 120/80 Vulnus - Cefotaxime 1
(H+1) (+) nyeri mata mmHg Laseratum + gr/12 jam
kanan (+) HR : 88x/i Vulnus - Citicolin 250
tidak bisa RR : 22x/i Ekskoriatum mg/12 jam
- Ranitidin
membuka T : 36,7°C
1A/12 jam
mata kanan Motorik :
- Ketorolac
(+) telinga kiri 5555 5555
1A/12 jam
berdengung 5555 5555 - Tetagam 250
(+) pedih pada IU
luka (+), - Gentamicin
pedih pada Salf
bibir (+) sakit
saat membuka
mulut (+) sulit
menggigit dan
mengunyah
(+).

26 Lemas KU : Sedang Kontusio - IVFD RL 20


November berkurang (+) Sensorium : CM Serebri + gtt/i
2014 nyeri kepala TD : 110/70 Vulnus - Cefotaxime 1
(H+2) berkurang (+), mmHg Laseratum + gr/12 jam
pusing HR : 85x/i Vulnus - Citicolin 250
berkurang (+) RR : 20x/i Ekskoriatum mg/12 jam
- Ranitidin
nyeri mata T : 36,2°C
1A/12 jam
kanan Motorik :
- Ketorolac
berkurang (+) 5555 5555
1A/12 jam
mulai bisa 5555 5555 - Gentamicin
membuka Salf
mata kanan
(+) telinga kiri
berdengung
(+) pedih pada
luka (+),
pedih pada
bibir (+) sakit
saat membuka
11

mulut (+) sulit


menggigit dan
mengunyah
(+).

27 Lemas (-) KU : Sedang Kontusio - IVFD RL 20


November nyeri kepala Sensorium : CM Serebri + gtt/i
2014 (-), pusing TD : 110/80 Vulnus - Cefotaxime 1
(H+3) berkurang (+) mmHg Laseratum + gr/12 jam
nyeri mata HR : 90x/i Vulnus - Gentamicin
kanan RR : 21x/i Ekskoriatum Salf
berkurang (+) T : 36,0°C
bisa membuka Motorik :
mata kanan 5555 5555
(+) telinga kiri 5555 5555
berdengung
(+) pedih pada
luka
berkurang (+),
pedih pada
bibir (+)
sariawan (+)
sakit saat
membuka
mulut
berkurang (+)
mulai bisa
12

menggigit dan
mengunyah
(+).

28 Lemas (-) KU : Baik Kontusio - Gentamicin


November nyeri kepala Sensorium : CM Serebri + Salf
2014 (-), pusing TD : 110/70 Vulnus - Ciprofloxacin
(H+4) sesekali (+) mmHg Laseratum + 2x1
nyeri mata HR : 96x/i Vulnus - Mertigo SR 2
PBJ kanan (-) bisa RR : 20x/i Ekskoriatum x1
- Asam
membuka T : 36,0°C
Mefenamat 3
mata kanan Motorik :
x1
(+) telinga kiri 5555 5555
- Vitamin C 2
berdengung 5555 5555
x
(+) pedih pada - Candistatin
luka drop 2 x 1
berkurang (+),
pedih pada
bibir (+)
sariawan (+)
sakit saat
membuka
mulut
berkurang (+)
mulai bisa
menggigit dan
mengunyah
(+).
13

BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi Cedera Kepala

Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara

langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan

fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau

permanent. Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala adalah

suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat congenital ataupun degeneratif, tetapi

disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau

mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif

dan fungsi fisik (PERDOSSI, 2007).

3.2 Epidemiologi Cedera Kepala

Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan

mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah tersebut, 10% meninggal sebelum tiba di

rumah sakit, 80% dikelompokkan sebagai cedera kepala ringan (CKR), 10%

termasuk cedera kepala sedang (CKS), dan 10% sisanya adalah cedera kepala

berat (CKB). Insiden cedera kepala terutama terjadi pada kelompok usia produktif

antara 15-44 tahun. Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab 48%-53% dari

insiden cedera kepala, 20%-28% lainnya karena jatuh dan 3%-9% lainnya

disebabkan tindak kekerasan, kegiatan olahraga dan rekreasi (Irwana, 2009).

Data epidemiologi di Indonesia belum ada, tetapi data dari salah satu

rumah sakit di Jakarta, RS Cipto Mangunkusumo, untuk penderita rawat inap,

terdapat 60%-70% dengan CKR, 15%-20% CKS, dan sekitar 10% dengan CKB.
14

Angka kematian tertinggi sekitar 35%-50% akibat CKB, 5%-10% CKS,

sedangkan untuk CKR tidak ada yang meninggal (Irwana, 2009).

3.3 Anatomi Kepala

Ada beberapa pembagian dari kepala manusia, yaitu (Snell, 2006) :

A. Kulit Kepala

Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; skin atau kulit,

connective tissue atau jaringan penyambung, aponeurosis atau galea

aponeurotika, loose conective tissue atau jaringan penunjang longgar dan

pericranium.

Gambar 2.1. Kulit Kepala


15

B. Tulang Tengkorak

Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang tengkorak

terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital. Kalvaria

khususnya di regio temporal adalah tipis, namun di sini dilapisi oleh otot

temporalis. Basis kranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar

otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar

dibagi atas 3 fosa yaitu : fosa anterior tempat lobus frontalis, fosa media tempat

temporalis dan fosa posterior ruang bagi bagian bawah batang otak dan

serebelum.

Gambar 2.2. Kranium


16

Gambar 2.3. Basis Kranii

Gambar 2.4. Calvaria


17

C. Meningen

Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak, terdiri dari 3 lapisan yaitu :

Gambar 2.5. Lapisan Otak

1. Duramater

Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal

dan lapisan meningeal. Duramater merupakan selaput yang keras, terdiri atas

jaringan ikat fibrisa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium.
18

Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu

ruang potensial (ruang subdura) yang terletak antara duramater dan arachnoid,

dimana sering dijumpai perdarahan subdural.

Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan

otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins,

dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus

sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus

sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan

hebat. Arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari

kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat

menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan perdarahan

epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea media

yang terletak pada fosa temporalis (fosa media).

2. Arakhnoid

Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang.

Gambar 2.6. Arachnoid


19

Selaput arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater

sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh

ruang potensial, disebut spatium subdural dan dari pia mater oleh spatium

subarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan sub arakhnoid

umumnya disebabkan akibat cedera kepala.

3. Piamater

Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adalah

membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan

masuk kedalam sulci yang paling dalam. Membrana ini membungkus saraf otak

dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam

substansi otak juga diliputi oleh pia mater.

Gambar 2.7. Piamater


20

D. Otak

Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu; proensefalon (otak depan) terdiri dari

serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan rhombensefalon (otak

belakang) terdiri dari pons, medula oblongata dan serebellum. Fisura membagi

otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan dengan fungsi emosi, fungsi

motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan dengan fungsi

sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori tertentu.

Lobus oksipital bertanggung jawab dalam proses penglihatan. Mesensefalon dan

pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran

dan kewapadaan. Pada medula oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik.

Serebellum bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan.

Gambar 2.8. Otak


21

3.4 Patofisiologi Cedera Kepala

Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu

cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala

sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan

langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselarasi

deselarasi gerakan kepala. Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat

berbagai proses patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak

primer, berupa perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia,

peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi (Hickey, 2003 ;

Finlaw, 2007).

Gambar 2.9. Cedera Primer dan Sekunder

Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan

contrecoup. Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang

tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang berlawanan

dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang disebut contrecoup. Akselarasi-

deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar

saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid)
22

dan otak (substansi semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari

muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak

membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari

benturan (contrecoup) (Hickey, 2003 ; Finlaw, 2007).

Gambar 2.10. Mekanisme Croup – Contrecroup

3.5 Klasifikasi Cedera Kepala

Cedera kepala terbagi menjadi beberapa klasifikasi, yaitu :

A. Berdasarkan Mekanisme Cedera

Berdasarkan mekanisme terjadinya cedera, cedera kepala dapat diklsifikasikan

menjadi 2 tipe, yaitu cedera kepala tumpul, yang dapat disebabkan oleh

kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh, atau pukulan benda tumpul dan cedera
23

kepala tembus (penetrasi), disebabkan luka tembak atau pukulan benda tajam

(PERDOSSI, 2007).

B. Berdasarkan Beratnya Cedera

Beratnya cedera kepala diklasifikasikan berdasarkan nilai Glasgow Coma Scale

sebagai berikut (Manusubroto, 2010) :

1. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefenisikan sebagai cedera kepala berat.

2. Cedera kepala sedang memiliki nilai GCS 9 - 12 dan,

3. Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 13 – 15

Gambar 2.11. Glascow Coma Scale

C. Berdasarkan Morfologi Cedera

Cedera kepala berdasarkan morfologinya dibedakan menjadi :


24

1. Fraktura Kranial

Fraktur tengkorak dapat terjadi pada kalvaria atau basis kranial.

Fraktur Kalvaria

Fraktur Kalvaria dibagi menjadi (Satyanagara, 2010) :


1. Fraktur linier merupakan fraktur dengan bentuk garis tunggal atau stellata

pada tulang tengkorak yang mengenai seluruh ketebalan tulang kepala.

Fraktur lenier dapat terjadi jika gaya langsung yang bekerja pada tulang

kepala cukup besar tetapi tidak menyebabkan tulang kepala bending dan

tidak terdapat fragmen fraktur yang masuk kedalam rongga intrakranial.

2. Fraktur diastasis adalah jenis fraktur yang terjadi pada sutura tulamg

tengkorak yang mengababkan pelebaran sutura-sutura tulang kepala. Jenis

fraktur ini sering terjadi pada bayi dan balita karena sutura-sutura belum

menyatu dengan erat. Fraktur diastasis pada usia dewasa sering terjadi pada

sutura lambdoid dan dapat mengakibatkan terjadinya hematum epidural.

3. Fraktur kominutif adalah jenis fraktur tulang kepala yang meiliki lebih

dari satu fragmen dalam satu area fraktur.

4. Fraktur impresi terjadi akibat benturan dengan tenaga besar yang langsung

mengenai tulang kepala dan pada area yang kecal. Fraktur impresi pada

tulang kepala dapat menyebabkan penekanan atau laserasi pada duremater

dan jaringan otak, fraktur impresi dianggap bermakna jika tabula eksterna

segmen impresi masuk dibawah tabula interna segmen tulang yang sehat.
25

Gambar 2.12. Fraktur Kranium

Fraktur Basis Kranial

Fraktur Basis Kranial dibagi menjadi (Satyanagara, 2010 ; Qureshi, 2009 ;

Wedro, 2011 )

1. Fossa crania anterior menampung lobus frontal cerebri, dibatasi di

anterior oleh permukaan dalam os frontale, batas superior adalah ala minor

ossis spenoidalis. Dasar fossa dibentuk oleh pars orbitalis ossis frontale di

lateral dan oleh lamina cribiformis os etmoidalis di medial. Permukaan atas

lamina cribiformis menyokong bulbus olfaktorius, dan lubung lubang halus

pada lamini cribrosa dilalui oleh nervus olfaktorius.

Gambar 2.13. Manifestasi Klinis Fraktur Basis Cranii Anterior


26

Pada fraktur fossa cranii anterior, lamina cribrosa os etmoidalis dapat

cedera. Keadaan ini dapat menyebabkan robeknya meningeal yang

menutupi mukoperiostium. Pasien dapat mengalami epistaksis dan terjadi

rhinnore atau kebocoran CSF yang merembes ke dalam hidung. Fraktur

yang mengenai pars orbita os frontal mengakibatkan perdarahan

subkonjungtiva (raccoon eyes atau periorbital ekimosis) yang merupakan

salah satu tanda klinis dari fraktur basis cranii fossa anterior.

2. Fossa cranii posterior menampung otak otak belakang, yaitu cerebellum,

pons dan medulla oblongata. Di anterior fossa di batasi oleh pinggir

superior pars petrosa os temporal dab di posterior dibatasi oleh permukaan

dalam pars squamosa os occipital. Dasar fossa cranii posterior dibentuk

oleh pars basilaris, condylaris, dan squamosa os occipital dan pars

mastoiddeus os temporal. Foramen magnum menempati daerah pusat dari

dasar fossa dan dilalui oleh medulla oblongata dengan meningens yang

meliputinya, pars spinalis assendens n. accessories dan kedua a.vertebralis.

Pada fraktur fossa cranii posterior darah dapat merembes ke tengkuk di

bawah otot otot postvertebralis. Beberapa hari kemudian, darah ditemukan

dan muncul di otot otot trigonu posterior, dekat prosesus mastoideus.

Membrane mukosa atap nasofaring dapat robek, dan darah mengalir keluar.

Pada fraktur yang mengenai foramen jugularis n.IX, X dan XI dapat cedera.

3. Fossa cranii media terdiri dari bagian medial yang dibentuk oleh corpus os

sphenoidalis dan bagian lateral yang luas membentuk cekungan kanan dan

kiri yang menampung lobus temporalis cerebri. Fraktur pada basis cranii
27

fossa media sering terjadi, karena daerah ini merupakan tempat yang paling

lemah dari basis cranii. Secara anatomi kelemahan ini disebabkan oleh

banyak nya foramen dan canalis di daerah ini. Cavum timpani dan sinus

sphenoidalis merupakan daerah yang paling sering terkena cedera. Bocornya

CSF dan keluarnya darah dari canalis acusticus externus sering terjadi

(otorrhea). N. craniais VII dan VIII dapat cedera pada saat terjadi cedera

pada pars perrosus os temporal. N. cranialis III, IV dan VI dapat cedera bila

dinding lateral sinus cavernosus robek.

Gambar 2.14. Manifestasi Klinis Fraktur Basis Kranii Posterior dan Medial
2. Lesi Intrakranial

Lesi Intrakranial dibagi menjadi :

Hematoma Epidural

Hematoma epidural terletak diantara dura dan calvaria. Umumnya terjadi pada
regon temporal atau temporopariental. Perdarahan ini terjadi karena terjadi
akibat robeknya salah satu cabang arteria meningeamedia, robeknya sinus
28

venosus durameter atau robeknya arteria diploica. Robekan ini sering terjadi
akibat adanya fraktur tulang tengkorak. Manifestasi klinik berupa gangguan
kesadaran sebentar dan dengan bekas gejala (interval lucid) beberapa jam.
Keadaan ini disusul oleh gangguan kesadaran progresif disertai kelainan
neurologist unilateral. Kemudian gejala neurology timbul secara progresif
berupa pupil anisokor, hemiparese, papil edema dan gejala herniasi
transcentorial (McDonald, 2006).

Gambar 2.15. Epidural Hematoma

Ciri perdarahan epidural berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa cembung.

hematoma epidural relatif tidak terlalu sering (0.5% dari keseluruhan atau 9%

dari pasien koma cedera kepala), harus selalu diingat saat menegakkan

diagnosis dan ditindak segera. Bila ditindak segera, prognosis biasanya baik

karena cedera otak disekitarnya biasanya masih terbatas (McDonald, 2006)..

Hematoma Subdural

Hematoma subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi di antara duramater


dan arakhnoid. SDH lebih sering terjadi dibandingkan EDH, ditemukan sekitar
30% penderita dengan cedera kepala berat. Perdarahan dapat terjadi akibat
robeknya vena jembatan (bridging veins) yang menghubungkan vena di
29

permukaan otak dan sinus venosus di dalam durameter atau karena robeknya
arakhnoid Namun ia juga dapat berkaitan dengan laserasi permukaan atau
substansi otak (Wagner, 2005).

Gambar 2.16. Subdural Hematoma


Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer otak dan
kerusakan otak dibawahnya lebih berat dan prognosisnya jauh lebih buruk
daripada perdarahan epidural. Mortalitas umumnya 60%, Namur mungkin
diperkecil oleh tindakan operasi yang sangat segera dan pengelolaan medis.
Gejala yang dapat tampak adalah penderita mengeluh tentang sakit kepala yang
semakin bertambah keras, ada gangguan psikis, kesadaran penderita semakin
menurun, terdapat kelainan neurologisseperti hemiparesis, epilepsy, dan edema
papil (Wagner, 2005)

Klasifikasi hematoma subdural berdasarkan saat timbulnya gejala klinis dibagi

menjadi (Wagner, 2005) :


30

a. Hematoma Subdural Akut

Gejala timbul segera hingga berjam-jam setelah trauma. Perdarahan dapat

kurang dari 5mm tebalnya tetapi melebar luas.

b. Hematoma Subdural Sub-Akut

Gejala-gejala timbul beberapa hari hingga 10 hari setelah trauma. Perdarahan

dapat lebih tebal tetapi belum ada pembentukan kapsul disekitarnya.

c. Hematoma Subdural Kronik

Gejala timbul lebih dari 10 hari hingga beberapa bulan setelah trauma.

Kapsula jaringan ikat mengelilingi hematoma. Kapsula mengandung

pembuluh-pembuluh darah yang tipis dindingnya terutama di sisi durameter.

Pembuluh darah ini dapat pecah dan membentuk perdarahan baru yang

menyebabkan menggembungnya hematoma. Darah di dalam kapsula akan

terurai membentuk cairan kental yang dapat mengisap cairan dari ruangan

subarakhnoid. Hematoma akan membesar dan menimbulkan gejala seperti

tumor serebri

Kontusio

Pada kontusio serebri atau memar otak terjadi perdarahan-perdarahan di dalam

jaringan otak tanpa adanya robekan jaringan yang kasat mata, meskipun

neuron-neuron mengalami kerusakan atau terputus. Pada pemeriksaan

neurologik pada kontusio ringan mungkin tidak dijumpai kelainan neurologik

yang jelas kecuali kesadaran yang menurun. Pada kontusio serebri yang

berlangsung 6 jam penurunan kesadarannya, biasanya selalu dijumpai defisit


31

neurologik neurologik yang jelas. Gejala-gejalanya bergantung pada lokasi dan

luasnya daerah lesi. Keadaan klinis yang berat terjadi pada perdarahan besar

atau tersebar di dalam jaringan otak, sering pula disertai perdarahan

subarakhnoidal atau kontusio pada batang otak. Edema otak yang menyertainya

tidak jarang berat dan menyebabkan meningkatnya tekanan intra kranial.

Tekanan intra kranial yang meninggi menimbulakan gangguan mikrosirkulasi

otak dengan akibat menghebatnya edema (Morales, 2005)

Hematoma Intraserebral

Hematoma intraserebri adalah perdarahan yang terjadi dalam jaringan

(parenkim) otak. Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau kontusio

jaringan otak yang menyebabkan pecahnya pula pembuluh darah yang ada di

dalam jaringan otak tersebut. Lokasi yang paling sering adalah lobus frontalis

dan temporalis.

Gambar 2.17. Hematoma Intraserebral


32

Lesi perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan (coup) atau pada sisi lainnya

(countrecoup). Defisit neurologi yang didapatkan sangat bervariasi dan

tergantung pada lokasi dan luas perdarahan (Morales, 2005).

3.6 Penanganan Cedera Kepala

Penatalaksanaan awal penderita cedara kepala pada dasarnya memikili

tujuan untuk memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder

serta memperbaiki keadaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu

penyembuhan sel-sel otak yang sakit. Penatalaksanaan cedera kepala tergantung

pada tingkat keparahannya, berupa cedera kepala ringan, sedang, atau berat.

Prinsip penanganan awal meliputi survei primer dan survei sekunder. Dalam

penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan antara lain airway,

breathing, circulation, disability, dan exposure, yang kemudian dilanjutkan dengan

resusitasi. Pada penderita cedera kepala khususnya dengan cedera kepala berat

survei primer sangatlah penting untuk mencegah cedera otak sekunder dan

mencegah homeostasis otak (Alfauzi, 2008 ; IKABI, 2004 ; Saanin, 2008).

Tidak semua pasien cedera kepala perlu di rawat inap di rumah sakit.

Indikasi rawat antara lain (Irwana, 2009).

1. Amnesia posttraumatika jelas (lebih dari 1 jam)

2. Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit)

3. Penurunan tingkat kesadaran

4. Nyeri kepala sedang hingga berat

5. Intoksikasi alkohol atau obat

6. Fraktura tengkorak
33

7. Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea

8. Cedera penyerta yang jelas

9. Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggungjawabkan

10. CT scan abnormal

Terapi medikamentosa pada penderita cedera kepala dilakukan untuk

memberikan suasana yang optimal untuk kesembuhan. Hal-hal yang dilakukan

dalam terapi ini dapat berupa pemberian cairan intravena, hiperventilasi,

pemberian manitol, steroid, furosemid, barbitirat dan antikonvulsan.

1. Cairan Hiperosmoler.

Umumnya digunakan cairan Manitol 10 - 15% per infus untuk "menarik" air dari

ruang intersel ke dalam ruang intravaskular untuk kemudian dikeluarkan melalui

diuresis. Untuk memperoleh efek yang dikehendaki, manitol harus diberikan

dalam dosis yang cukup dalam waktu singkat

2. Kortikosteroid.

Penggunaan kortikosteroid telah diperdebatkan manfaatnya sejak beberapa waktu

yang lalu. Pendapat akhir-akhir ini cenderung menyatakan bahwa kortikosteroid

tidak / kurang bermanfaat pada kasus cedera kepala. Penggunaannya berdasarkan

pada asumsi bahwa obat ini menstabilkan sawar darah otak

3. Barbiturat

Digunakan untuk mem"bius" pasien sehingga metabolisme otak dapat ditekan

serendah mungkin, akibatnya kebutuhan oksigen juga akan menurun; karena


34

kebutuhan yang rendah, otak relatif lebih terlindung dari kemungkinan kerusakan

akibat hipoksi, walaupun suplai oksigen berkurang.

4. Neuroprotectan

Piritinol, piracetam dan citicholine dikatakan dapat membantu mengatasi

kesulitan atau gangguan metabolisme otak, termasuk pada keadaan koma.

5. Hemostatik

Tidak digunakan secara rutin; pasien trauma kepala umumnya sehat dengan fungsi

pembekuan normal.

6. Antikonvulsan

Diberikan bila pasien mengalami kejang, atau pada trauma tembus kepala dan

fraktur impresi

Pada penanganan beberapa kasus cedera kepala memerlukan tindakan

operatif. Indikasi untuk tindakan operatif ditentukan oleh kondisi klinis pasien,

temuan neuroradiologi dan patofisiologi dari lesi. Secara umum digunakan

panduan sebagai berikut (Irwana, 2009).

1. Volume masa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah supratentorial

atau lebih dari 20 cc di daerah infratentorial

2. Kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis, serta ejala

dan tanda fokal neurologis semakin berat

3. Terjadi gejala sakit kepala, mual, dan muntah yang semakin hebat

4. Pendorongan garis tengah sampai lebih dari 3 mm


35

5. Terjadi kenaikan tekanan intrakranial lebih dari 25 mmHg.

6. Terjadi penambahan ukuran hematom pada pemeriksaan ulang CT scan

7. Terjadi gejala akan terjadi herniasi otak

8. Terjadi kompresi / obliterasi sisterna basalis

3.7 Prognosis Cedera Kepala

Cedera kepala bisa menyebabkan kematian atau penderita bisa mengalami

penyembuhan total. Jenis dan beratnya kelainan tergantung kepada lokasi dan

beratnya kerusakan otak yang terjadi. Skor GCS waktu masuk rumah sakit

memiliki nilai prognostik yang besar: skor pasien 3-4 memiliki kemungkinan

meninggal 85% atau tetap dalam kondisi vegetatif, sedangkan pada pasien dengan

GCS 12 atau lebih kemungkinan meninggal atau vegetatif hanya 5 – 10%.

(Mansjoer, 2000).

Berbagai fungsi otak dapat dijalankan oleh beberapa area, sehinnga area

yang tidak mengalami kerusakan bisa menggantikan fungsi dari area lainnya yang

mengalami kerusakan. Tetapi semakin tua umur penderita, maka kemampuan otak

untuk menggantikan fungsi satu sama lainnya, semakin berkurang. Penderita

cedera kepala berat kadang mengalami amnesia dan tidak dapat mengingat

peristiwa sesaat sebelum dan sesudah terjadinya penurunan kesadaran. Jika

kesadaran telah kembali pada minggu pertama, maka biasanya ingatan penderita

akan pulih kembali. (Morales, 2005)

Penderita bisa mengalami sindroma pasca konkusio, dimana sakit kepala

terus menerus dirasakan dan terjadi gangguan ingatan. Status vegetatif kronis
36

merupakan keadaan tak sadarkan diri dalam waktu yang lama, yang disertai

dengan siklus bangun dan tidur yang mendekati normal.

Keadaan ini merupakan akibat yang paling serius dari cedera kepala yang non-

fatal. Penyebabnya adalah kerusakan pada bagian atas dari otak (yang

mengendalikan fungsi mental), sedangkan talamus dan batang otak (yang

mengatur siklus tidur, suhu tubuh, pernafasan dan denyut jantung) tetap utuh. Jika

status vegetatif terus berlangsung selama lebih dari beberapa bulan, maka

kemungkinan untuk sadar kembali sangat kecil. (Morales, 2005)


37

BAB 4
KESIMPULAN

Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara

langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan

fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau

permanent. Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala adalah

suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat congenital ataupun degeneratif, tetapi

disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau

mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif

dan fungsi fisik.

Penatalaksanaan awal penderita cedara kepala pada dasarnya memikili

tujuan untuk memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder

serta memperbaiki keadaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu

penyembuhan sel-sel otak yang sakit. Penatalaksanaan cedera kepala tergantung

pada tingkat keparahannya, berupa cedera kepala ringan, sedang, atau berat.

Prinsip penanganan awal meliputi survei primer dan survei sekunder. Dalam

penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan antara lain airway,

breathing, circulation, disability, dan exposure, yang kemudian dilanjutkan dengan

resusitasi.
38

DAFTAR PUSTAKA

Alfauzi, A. 2008. Penanganan Cedera Kepala di Puskesmas. Juli 2002


Disitasi dari: http://www.tempo.co.id [diakses 28 November 2014].

Brain Injury Association of America. Types of Brain Injury. Artikel,


Http://www.biausa.org [diakses 28 November 2014]

Findlaw Medical Demonstrative Evidence, 2007,Closed Head Traumatic


Brain Injury. Http://findlaw.doereport.com [diakses 28 November 2014].

Hickey, JV, 2003. Craniocerebral Trauma. Dalam: The Clinical Practice


of Neurological and Neurosurgical Nursing 5th edition. Philadelphia : lippincot
William & Wilkins, 2003. www.googlebooks.com [ diakses 28 November 2014]

Ikatan Ahli Bedah Indonesia (IKABI), 2004. American College of Surgeon


Committee on Trauma. Cedera Kepala. Dalam : Advanced Trauma Life Support
fo Doctors. Komisi Trauma IKABI.

Irwana, O, 2009. Cedera Kepala. Artikel. Files of DrsMed, Fakultas


Kedokteran Universitas Riau, Riau Kepulauan.

Manusubroto, W. 2010.Evaluasi Penatalaksanaan Cedera Kepala. Artikel.


Journal Ilmu Bedah Indonesia (JIBI) Januari 2010 [diakses pada 28 November
2014].

McDonald, DK, 2006. Epidural Hematoma. www.emedicine.com


[diakses pada 28 November 2014].

Morales, D. 2005. Brain Contusion. www.emedicine.com [diakses pada 28


November 2014].

PERDOSSI cabang Pekanbaru. Simposium Trauma Kranio-Serebral


(diadakan tanggal 3 November 2007)

Qureshi, NH, dkk. 2009. Skull Fracture ; Clinical Manifestation. Available


at http://emedicine.medscape.com (update Agustus 2014, diakses pada 28
November 2014)

Saanin, S. 2008. Cedera Kepala,


Http://www.angelfire.com/nc/neurosurgery. [diakses 28 November 2014]
39

Satyanagara, 2010. Ilmu Bedah Saraf edisi 4. Jakarta : Gramedia.


www.googlebooks.com [diakses pada 28 November 2014]

Snell, RS, 2006. Clinical Anatomy for Medical Student. 6th ed. Jakarta:
EGC.

Wagner, AL, 2005. Subdural Hematoma. www.emedicine.com [diakses


pada 28 November 2014].

Wedro, BC, 2011. Head Injury Overview. Available at


http://www.emedicinehealth.com (update Agustus 2014, diakses pada 28
November 2014)

Anda mungkin juga menyukai