Anda di halaman 1dari 105

1

2
3
4
5
6
7

DAFTAR ISI
PRAKATA ______________xxi
PEDOMAN TRANSLITERASI______xxxi

BAB 1 PERAN MUNSABAH SEBAGAI INSTRUMEN PENAFSIRAN


ALQURAN_______1
A. Munasabah dalam Kajian Alquran ______1
B. Melacak Tradisi Awal Munasabah Alquran _______________25
C. Munasabah Perspektif Pakar Ilmuwan Alquran dari Klasik hingga
Pramodern_______________45
D. Munasabah dalam Tinjauan Ilmuan Alquran Kontemporer______53
E. Menyoal Munasabah: Respon Terhadap Kritik Ilmuan Barat dan
Orientalis______69

BAB 2 TAFSIR AL-MISHBAH DALAM TRADISI TAFSIR NUSANTARA______81


A. Kondisi Sosial dan Intelektual Masa
M. Quraish Shihab_____81
B. Kesarjanaan dan Karya-karya M. Quraish Shihab_____92
C. Metode dan Karakteristik Tafsir al-Mishb☼h______116
D. Posisi Tafsir al-Misbah dalam Tradisi Tafsir Nusantara___125

BAB 3 MODEL MUNASABAH AL-QUR’AN DALAM TAFSIR AL-


MISHBAH______141
A. Metode Menyingkap Munasabah Alquran______141
B. Urgensi, Fungsi dan Kegunaan Memahami Ilmu Munasabah Serta Upaya
Pengembangannya______148
C. Karakteristik Munasabah dan Jenis-jenisnya dalam Tafsir al-
Mishbah______155
D. Analisis Perbandingan Terhadap Pola dan Pendekatan___161

BAB 4 TINJAUAN KRITIS TERHADAP KONSEP DAN PENERAPAN MUNASABAH


DALAM TAFSIR AL-MISHBAH______164
A. Ragam Kajian Munasabah dalam Tafsir al-Mishb☼h: Mengurai Bukti
Kesatuan Alquran______164
B. Pola Munasabah Ayat (Munasabat Ayat)______166
1. Munasabah antar Ayat dengan Ayat dalam
Satu Surah______169
2. Munasabah antara Satu Ayat dengan Fasilah (Penutupnya)______187
3. Munasabah antara Kalimat dengan Kalimat dalam Ayat______191
4. Munasabah antara Kata dalam Satu Ayat______204
5. Munasabah Ayat Pertama Dengan Ayat Terakhir Dalam Satu
Surah______206
8

C. Pola Munasabah Surat (Munasabat al-Suwar)______213


1. Munasabah antar Surah dengan Surah sebelumnya___214
2. Munasabah Awal Uraian Surah Dengan Akhir Uraian Surah_____218
3. Munasabah antara Awal Surah dengan Akhir Surah
Sebelumnya______227
4. Munasabah Tema Surah Dengan Nama Surah_____231
5. Munasabah Penutup Surah dengan Uraian Awal/Mukadimah Surah
Berikutnya______234
6. Munasabah Antara Kisah dalam Satu Surah____237
7. Munasabah Antara Surah-surah Alquran____246
8. Munasabah Antara Fawatih al-Suwar Dengan Isi Surah______250

BAB 5 PENUTUP______255
GLOSARIUM______257
DAFTAR PUSTAKA______261
INDEKS______283
BIODATA PENELITI______291
9

BAB I
PERAN MUNASABAH SEBAGAI INSTRUMEN PENAFSIRAN ALQURAN

A. MUNASABAH DALAM KAJIAN ALQURAN


Kajian terhadap Alquran dan Hadis1 telah berjalan dalam sejarah yang
cukup panjang. Alquran adalah wahyu Ilahi yang berisi nilai-nilai universal
kemanusiaan. Ia diturunkan2 untuk dijadikan petunjuk, bukan hanya untuk
sekelompok manusia ketika ia diturunkan, tetapi juga untuk seluruh manusia
hingga akhir zaman.3
Namun demikian, Alquran bukanlah kitab ensiklopedi yang memuat
segala hal. Alquran semestinya tidak ditonjolkan sebagai kitab antik yang harus
dimitoskan,4 karena hal tersebut bisa menciptakan jarak antara Alquran dengan

1
Penjelasan hal itu, termaktub pada Hadis Nabi yang artinya: “ Aku tinggalkan dua perkara,
jika kalian berpegang kepada keduanya, maka kamu tidak akan sesat, yaitu Kitabullah (al-
Qur’a>n) dan Sunnah Rasul (al-H}adi>th)”. Lihat Ima>m Ma>lik, al-Muwat}t}a’ (Mesir: Kita>b al-
Sha’ba>b, t.th.), 560, lihat pula Ima>m Ah}mad Ibn H}anbal, Musna>d Ah}mad ibn H}anbal (Bayru>t:
Da>r al-S}adi>r, t.th.), 26, dalam persepsi hadis lain ada juga yang menjelaskan bahwa ajaran pokok
Islam hanya Alquran saja. Hal tersebut bisa di lihat antara lain pada Abu> Da>wu>d, Sunan Abi>
Da>wu>d (Mesir, Must}afa al-Ba>bi> al-H}alabi>, 1952), 442.
2
Al-Zarqāni> dalam komentarnya, bahwa makna “turun” seperti pada ayat َQ.S. al-Isra>/17:
105 tidak dapat disamakan dengan makna turun dalam arti fisik dan tempat. Penggunaan kata
seperti ini, menurutnya tidak relevan digunakan untuk Alquran. Menurutnya, makna “turun” lebih
tepat dipahami sebagai kata yang bersifat maja>zi> dan dipahami sebagai pemberitahuan Allah
yang dihunjamkan ke dada Nabi dengan berbagai bentuk cara pewahyuan. Lihat, Muh}ammad
‘Abd al-‘Ad}i>m al-Zarqa>ni>, Mana>hil al-‘Irfa>n fi ‘Ulu>m al-Qur’a>n, (Bayru>t: Da>r al-Fikr, 1988), 42-
43.
3
Nilai-nilai dasar Alquran mencakup berbagai aspek kehidupan manusia secara utuh dan
komprehensif (Q.S. al-An‘a>m/6:37). Tema-tema pokoknya mencakup aspek ketuhanan, manusia
sebagai individu dan anggota masyarakat, alam semesta, kenabian, wahyu, eskatologi, dan
makhluk-makhluk spiritual. Eksistensi, orisinalitas, dan kebenaran ajarannya dapat dibuktikan
oleh sains modern (QS. al-H}ujura>t/15:9), sedang tuntunan-tuntunannya adalah rahmat bagi
semesta alam (Q.S. al-Furqa>n/25:1).
4
Kajian Alquran sebagai kitab mitos, pernah dikaji pada karya disertasi dengan judul al-
Fann al-Qas}a>s}i> fi> al-Qur’a>n al-Kari>m ini merupakan ijtihad akademik Muh}ammad Ah}mad
Khala>fulla>h yang dipertahankan dalam sidang muna>qashah di Universitas al-Azhar Kairo Mesir.
Dalam versi Indonesia karya Khalafullah, diterjemahkan Al-Qur’an Bukan “Kitab Sejarah” Seni,
Sastra dan Moralitas Dalam Kisah-Kisah Al-Quran,” oleh Zuhairi Misrawi dan Anis Maftuhin,
diterbitkan Paramadina, tahun 2002. Lihat, Muh}ammad Ah}mad Khalafulla>h, al-Fann al-Qas}a>s}i> fi>
al-Qur’a>n al-Kari>m, sharah wa al-ta‘li>q oleh Khali>l ‘Abd al-Kari>m (Bayru>t, Si>na> li> al-Nashr wa
al-Intisha>r al-‘Araby, 1999), lihat pula karya Andy Hadiyanto, yang bertajuk “Repetisi Kisah Al-
10

realitas sosial. Kendati Alquran di satu pihak diidealisasi sebagai sistem nilai
sakral dan transendental; sementara di pihak lain realitas sosial yang harus
dibimbingnya begitu pragmatis, rasional, dan materialistis. Seolah-olah nilai-
nilai Alquran yang dialamatkan kepada manusia berhadap-hadapan dengan
realitas itu. Karena itu perlu adanya tafsi>r5 untuk mengungkap, menjelaskan,
memahami, dan mengetahui prinsip-prinsip kandungan Alquran tersebut.6
Alquran dalam tradisi keilmuan Islam, telah melahirkan sederet teks turunan
yang demikian mengagumkan. Teks-teks turunan itu merupakan karya-karya
spektakuler yang lahir dari tangan-tangan ulama dengan beragam model dan
metode.7

Qur’an (Analisis Struktural Genetik Terhadap Kisah Ibrahim dalam Surat Makiyyah dan
Madaniyyah).” disertasi doktor UIN Syrif Hidayatullah Jakarta, 2009.
5
Secara etimologis, kata tafsi>r (exegesis) berasal dari bahasa Arab, fassara-yufassiru-
tafsi>ran. Derivasi ini mengandung pengertian: menyingkap ( al-Kashfu), memperjelas (id}ha>r) atau
menjelaskan. Lihat ‘Ali bin Muh}ammad bin ‘Ali al-Jurjani, al-Ta’rifa>t (Bayrut: Da>r al-Kutub al-
‘Arabi, 1405 H.), 87., A. Warson memberikan pengertian kata tafsi>r merupakan bentuk mas}da>r
yang berarti menjelaskan, memberi komentar, menterjemahkan atau mentakwilkan. Lihat
A.Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir (Yogyakarta: Unit Pengadaan Buku PP al-
Munawwir, 1984), 1134. Ibnu Manzdu>r dalam kamus besar Lisa>n al-‘Ara>b, ia berkata: kata al-
fasru berarti menyingkap sesuatu yang tertutup, sedangkan al-tafsi>r menyingkap sesuatu lafad
yang susah dan pelik. Lihat Ibnu Mand}u>r al-Afriqi, Lisa>n al-‘Ara>b (Bayrut: Da>r al-S}adi>r, tth.),
55. Secara terminologis, tafsi>r adalah ilmu yang membahas tentang apa yang dimaksud oleh
Allah dalam Alquran sepanjang kemampuan manusia. Lihat al-Zarqa>ni>, Mana>hil al-‘Irfa>n fi>
‘Ulu>m al-Qur’a>n (Bayrut: Da>r al-Fikr, tth.), h. 3, bandingkan pula dengan Muh}amad H}usayn al-
Dhahabi>, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n (Mesir: Maktabah Wahbah, 1985), 15. Kata tafsir dalam
Alquran disebut satu kali yaitu dalam Q.S. al-Furqa>n (25): 33, sedang kata yang sering
disepadankan dan disejajarkan dengan tafsi>r ialah ta’wi>l disebut dalam Alquran sebanyak 17 kali.
Lihat Muh}ammad Fu’ad ‘Abd al-Biqa>’i>, al-Mu’ja>m al-Mufharas li> al-Fa>z} al-Qur’a>n (Bayrut: Da>r
al-Fikr, 1987), 97, dan di antara para ahli ada yang menyamakan pengertian antara keduanya,
namun ada juga yang membedakannya, kontroversi ini disampaikan antara lain oleh al-Zarqa>ni>,
Mana>hil al-‘Irfa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Bayrut: Da>r al-Fikr, tt.), 4-6, lihat pula Jala>l al-Di>n al-
Suyu>t}i>, al-Itqa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Bayrut: Da>r al-Fikr: tt.), 173-174.
6
M. Yunan Yusuf, “Karakteristik Tafsi>r al-Qur’an di Indonesia Abad 20.” Jurnal Ulu>mul
Qur’an, III, no. 4 (1992): 50.
7
Keheterogenan metode penafsiran yang dipakai oleh mufassir tersebut dapat dilihat berikut
ini: kita misalnya mengenal Tafsir al-Dur al-Manthu>r fi> al-Tafsi>r bi al-Ma’thu>r karya Jala>l al-Di>n
al-Suyu>t}i> (849-911 H.), Ja>mi‘ al-Baya>n ‘an Ta’wi>l ayi al-Qur’a>n karya Muh}ammad Abu> Ja’far
Muh}ammad Ibn Jari>r al-T}abari> (224-310 H.), dan Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m karya Ima>m al-Di>n
Abu> al-Fida’ al-Qurayshi al-Dimashqi Ibn Kathi>r (700-774 H.), yang sangat kuat merujuk kepada
data-data riwayat sebagai bentuk representasi metode tafsi>r bi al-Ma’thu>r. Pada karya tafsir yang
lain, kita bisa melihat misalnya al-Jauha>r fi> Tafsi>r al-Qur’a>n karya Tant}awi Jauhari> (W. 876 H.)
yang banyak mengadopsi disiplin ilmu pengetahuan alam, al-Kashf ‘an H}aqi>qat al-Tanzi>l wa
‘Uyu>n al-Aqa>wi>l fi> Wuju>h al-Ta’wi>l karya al-Jamakhshari> (476-538 H.) yang sangat
mengagumii rasionalitas. Tafsi>r al-Qur’a>n al-Haki>m (Tafsi>r al-Mana>r ) karya Rashi>d Rid}a> (1282-
11

Sejarah perkembangan tafsir tidak terlepas dari corak penafsiran8 yang


dihasilkan oleh setiap generasi dalam penggal sejarah tertentu, di mana dalam
menyajikan kandungan dan pesan-pesan firman Allah Swt. terdapat ekspresi dan
karakter yang impresif. Jangankan pada generasi yang berbeda, generasi yang
samapun, seperti generasi sahabat9 sudah memperlihatkan fenomena perselisihan
pendapat dalam memahami Alquran.10
Para ulama sepakat akan kemukjizatan Alquran. Namun demikian, ada
segelintir orang yang masih menyoal akan kemukjizatan Alquran. Diantaranya

1354 H.) yang lebih mengedepankan tafsirnya sebagai pedoman dalam kehidupan sosial
kemasyrakatan dan Ah}ka>m al-Qur’a>n karya al-Qurt}u>bi> (w. 1272 H.) yang memfokuskan
kajiannya pada masalah-masalah fiqih.
8
Ada beberapa macam metode dan corak penafsiran Alquran. ‘Abd Al-H}ay al-Farmawi
membagi metode yang dikenal selama ini menjadi empat, yaitu analisis, komparatif, global dan
tematik (penetapan topik). Metode analisis tersebut bermacam-macam coraknya, salah satu di
antaranya adalah corak al-adab al-Ijtima>‘i> (budaya kemasyarakatan). Lihat, ‘Abd. Al-H}ay al-
Farmawi>, al-Bida>yah fi> al-Tafsi>r al-Maud}u>‘i> (Kairo: al-H}ad}arah al-‘Arabiyyah, 1977), 23-24, lihat
pula M. Quraish Shihab, Rasionalitas al-Quran Studi Kritis atas Tafsir al-Manar (Jakarta: Lentera
Hati, 2006), 24-25, bandingkan pula, M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran (Bandung:
Mizan, 1997), 83-91, M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’a>n Tafsir Tematik atas Pelbagai
Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 2007), xv-xvi.
9
Setelah Rasulullah wafat (11 H.), kepeloporan beliau di bidang tafsir dilanjutkan oleh para
sahabat. Di antara sahabat-sahabat yang ahli di bidang tafsir misalnya: Khulafa>’ al-Rashidi>n Abu
Bakar (w. 13 H.), ‘Umar bin al-Khat}t{a>b (w. 23 H.), Uthma>n bin ‘Affa>n (w. 35 H.), dan ‘Ali bin
Abi> T}a>lib (w. 40 H.), Ibn ‘Abba>s (w. 68 H.), ‘Abdullah dan Zubayr, Ubay bin Ka‘b (w. 20 H.),
Zayd bin Tha>bit, dan Abu> Mu>sa> al-Ans}a>ri> (w. 44 H.). lihat, Jala>l al-Di>n al-Suyu>t}i>, al-Itqa>n fi>
‘Ulu>m al-Qur’a>n, (Bayrut: Da>r al-Fikr: tt.), 27-28. Di samping sepuluh sahabat yang tergolong
sebagai ahli tafsir dan pelanjut penafsiran yang dilakukan oleh Nabi, yaitu Abu> Hurayrah (w.58
H.), Anas bin Ma>lik, ‘Abdullah bin ‘Umar (w. 73 H.), Ja>bir bin ‘Abdullah, A‘i>shah (w. 57 H.),
dan Amr bin ‘As}. Mereka dipandang sebagai generasi pertama mufassir. Lihat lebih lanjut,
Manna>‘ Khali>l al-Qat}t}a>n, Maba>h}ith fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Bayrut: Manshu>ra>t al-‘As}r al-H}adi>th,
1393 H.), 343.
10
Adalah suatu kenyataan sejarah, bahwa pemahaman dan penafsiran terhadap Alquran
memiliki kecenderungan dan corak yang berbeda-beda dari satu generasi ke generasi berikutnya,
antara satu kelompok dengan kelompok yang lainnya. Perbedaan corak penafsiran ini tidak bisa
dilepaskan dari perbedaan madhhab, setting sosial, kemampuan intelektual dan juga niat atau
tujuan mufassir dalam menulis kitab tafsirnya tersebut. Satu hal yang perlu diingat bahwa
Alquran tidak akan pernah habis di tafsirkan. Di sisi lain, keragaman penafsiran yang dihasilkan
tiap generasi juga merupakan gambaran konsekuensi logis dari keyakinan bahwa Alquran, sebagai
kitab suci yang diturunkan terahkir, mampu berdialog dengan setiap generasi yang datang
kemudian. Ajaran dan semangat yang dibawanya bersifat universal, rasional, dan necessary (suatu
keniscayaan dan keharusan yang fitri). Lihat, Fazlur Rahman, Islam and Modernity (Chicago:
Universitas of Chicago Press, 1982), 11.
12

seperti yang diungkap Mus}t}afa> S}a>diq al-Ra>fi‘i> (w. 1297 H./1937 M.),11 yaitu Abu>>
Ish}aq> al-Naz}z}a>m (w. 321 H./933 M).12 Tokoh dari aliran lain yang mengingkari
kemukjizatan Alquran ialah al-Murtad}a> (436 H/1297 M)13 dari kalangan Mazhab
Shiah yang sependirian dengan al-Naz}z}a>m.14 Quraish Shihab dalam menanggapi
kedua tokoh ini, mengatakan bahwa pendapat keduanya tidak berlandas pada
fakta sejarah. Ini terbukti dalam beberapa ayat menantang untuk mendatangkan
teks yang serupa dengan Alquran.15 Al-Ba>qilla>ni> (w. 403 H.), seorang tokoh
mutakallimi>n berpendapat bahwa kenabian Muh}ammad Saw. utamanya dibangun
atas dasar kemukjizatan Alquran meskipun ditemukan mukjizat-mukjizat lainnya
selain Alquran.16
‘Ulu>m al-Qur’a>n sebagai salah satu keilmuan dalam studi Alquran sudah
terumuskan secara mapan sejak abad ke 7-9 Hijriyah,17 yaitu saat munculnya dua
kitab ‘Ulu>m al-Qur’a>n yang sangat berpengaruh sampai kini, yakni al-Burha>n fi>

11
Mus}t}afa> S}a>diq al-Ra>fi‘i>, I‘ja>z al-Qur’a>n wa al-Bala>ghah al-Nah}wiyyah (Bayru>t: al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 1990), 144-145.
12
Abu> Is}ha>q al-Naz}z}a>m adalah segelintir dari tokoh Muktazilah yang berpendapat bahwa
ketidakmampuan manusia untuk membuat Alquran tidak lain karena Allah Swt. telah
memalingkan dan melemahkan kemampuan manusia untuk melakukan kegiatan tersebut. Mus}t}afa>
S}a>diq al-Ra>fi’i>, I’jāz al-Qur’a>n, 144, lebih dari itu menurut al-Bu>t}i, al-Naz}z}am mengatakan Allah
tidak saja memprotek kemampuan manusia untuk menandingi Alquran, akan tetapi malahan
membelenggu kefasihan lidah mereka. Lihat, Muh}ammad Sa‘id Ramad}an al-Bu>t}i, Min Rawa>’i al-
Qur’a>n (Bayrut: Maktabah al-Farabi, 1397 H/1977 M.), 150.
13
Al-Murtad}a> berpendapat bahwa ketidakmampuan manusia untuk menciptakan teks seperti
Alquran adalah karena Allah Swt. telah mencabut pengetahuan dan rasa bahasa yang mereka
miliki dan yang diperlukan guna lahirnya satu susunan kalimat seperti Alquran, Mus}t}afa> Sādiq al-
Rāfi’i>, I‘ja> z al-Qur’a>n, 124.
14
Manna>‘ Khali>l al-Qat}t}a>n, Maba>hith fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Bayrūt: Da>r al-Kutub al-
‘Ilmiyyah, 1992), 261.
15
M. Quraish Shihab, Mukjizat al-Qur’an Ditinjau dari Aspek Kebahasaan Isyarat Ilmiah
dan Pemberitaan Gaib (Bandung:Mizan, 1998), 155-156, berkenaan dengan pembahasan isi, Gibb
seorang orientalis berpendapat sebagaimana dikutip Quraish Shihab ” Tidak ada seorangpun
dalam seribu lima ratus tahun ini yang telah memainkan alat bernada nyaring yang demikian
mampu serta berani dan sedemikian luas getaran jiwa yang diakibatkannya seperti apa yang
dibaca oleh Muh}ammad Saw., yakni Alquran”. Lihat, M. Quraish Shihab,Tafsir al-Mishbah
Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran (Jakarta: Lentera hati, 2006), v.
16
Abu Bakr Muh}ammad Al-Ba>qilla>ni>, I‘ja>z al-Qur’a>n (Bayrūt: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
1996), 9.
17
Lihat al-Zarqa>ni>, Mana>hil al-‘Irfa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, 26.
13

‘Ulu>m al-Qur’a>n, karya Badr al-Di>n al-Zarka>shi (w.794 H)18 dan al-Itqa>n fi>
‘Ulu>m al-Qur’a>n, karya Jala>l al-Di>n al-Suyu>t}i (w. 911 H).19 ‘Ilm al-Muna>sabah
(ilmu tentang keterkaitan antara satu surat/ayat dengan surat/ayat lain)
merupakan bagian dari ‘Ulu>m Al-Qur’a>n. Ilmu ini posisinya cukup urgen dalam
rangka menjadikan keseluruhan ayat Alquran sebagai satu kesatuan yang utuh
(holistik). Sebagaimana tampak dalam salah satu metode Tafsir Ibn Kathir “al-
Qur’a>n yufassiru> ba’d}uhu ba’d}an”, posisi ayat yang satu adalah menafsirkan ayat
yang lain, maka memahami Alquran harus utuh. Jika tidak, maka akan masuk
dalam model penafsiran yang sepotong-sepotong (atomistik).
Bertitik tolak dari pendapat bahwa Alquran memiliki kemukjizatan dari
setiap dimensinya, dapat dipahami sebagaimana dipaparkan al-Zarka>shi bahwa
Alquran bukanlah kalam yang diturunkan secara tidak sengaja, kebetulan, dan
tanpa sasaran dan tujuan tertentu. Dengan demikian, setiap penggunaan dan
susunan kata (lafaz}), konstruksi ayat dan surat (muna>sabah bayn al-a>ya>t wa al-
suwar) serta peralihan tema yang terdapat di dalamnya memiliki kekuatan
konsep sebagai suatu kalam yang utuh dan padu (muttathiqa>t al-maba>ni> wa
muntaz}ima>t al-ma’a>ni> ka al-kalimah al-wa>h}idah).20 Dan keseluruhan Alquran
sangat memenuhi persyaratan itu, yang terdiri dari 30 juz, 114 surat, hampir
88.000 kata dan lebih dari 300.000 huruf, seperti yang ditegaskan al-Qurt}u>bi (w.
641) laksana satu surat yang tidak dapat dipisah-pisah.21 Dengan demikian, satu
kesatuan Alquran itu terjadi sama sekali bukan karena dipaksakan, melainkan
bisa dibuktikan melalui hubungan antar bagian demi bagian.

18
Dalam keterangan al-Zarqa>ni> karya al-Zarka>shi masih tersimpan di perpustakaan al-
Taymu>riyyah/ Da>r al-Kutub al-Mis}riyyah dalam bentuk manuskrip, dan bahkan memiliki
beberapa manuskrip lainnya yang tersebar di berbagai perpustakaan. Lihat al-Zarka>shi, al-Burha>n
fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, 18-19.
19
Kitab ini memiliki 80 materi pembahasan, dan al-Suyu>t}i menegaskan seandainya ia ingin,
kitab ini bisa melebar bahasannya menjadi 300 materi kajian. Lihat al-Suyu>ti} ,> al-Itqa>n fi> ‘Ulu>m
al-Qur’an, 6.
20
Muh}ammad Burha>n al-Din Al-Zarkashi>, Al-Burha>n fi ‘Ulu>m al-Qur’a>n, (Mesir: Da>r Ih}ya>
al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1957), 36.
21
Abu ‘Abdillah Muh}ammad bin Ah}mad al-Ans}a>ri al-Qurt}u>bi, al-Jami‘ li> al-Ah}ka>m al-
Qur’a>n (Bayrut: Da>r al-Fikr, 1993), 129.
14

Lahirnya pengetahuan tentang korelasi (Muna>sabah),22 berawal dari


kenyataan bahwa sistematika Alquran sebagaimana terdapat dalam Mus}h}af
Uthmani sekarang tidak berdasarkan pada kronologis turunnya.23 Itulah sebabnya
terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama Salaf tentang urutan surat di
dalam Alquran. Pendapat pertama, bahwa hal itu didasarkan pada tawqi>fi> dari

22
Louis Ma’luf dalam Qamu>s al-Munjid menguraikan kata muna>sabah bahwa secara
harfiyah, kata muna>sabah, terambil dari kata na>saba-yuna>sibu-muna>sabatan yang berarti dekat
(qari>b), dan yang menyerupai (mitha>l). al-Muna>sabah searti dengan al-muqa>rabah, yang
mengandung arti mendekatkan dan menyesuaikan. Al-Suyu>t}i juga mengurai kata muna>sabah
berarti perhubungan, pertalian, pertautan, persesuaian, kecocokan dan kepantasan. Kata al-
muna>sabah, adalah sinonim (mura>dif) dengan kata al-muqa>rabah dan al-musha>kalah, yang
masing-masing berarti kedekatan dan persamaan. Lihat, Louis Ma’luf, Qamu>s al-Munjid fi> al-
Lughah wa al-A‘lam (Bayrut: Da>r al-Sharqy, 1976), 803. Lihat pula, Jala>l al-Di>n al-Suyu>t}i>, al-
Itqa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’an (Bayrut: Da>r al-Fikr: tt.), 108.
23
Perdebatan sejarah kodifikasi penulisan dan sistematika Alquran pada Mus} haf ‘Uthma>ni
dibahas tuntas oleh W. Monthgomery Watt, dalam satu buku yang bertajuk Bell’s Introduction to
The Qur’a>n dalam satu bab khusus “The History of The Text”. Dalam bab ini Watt, membagi
menjadi empat bahasan. Pertama, the collection of the Quran (pengumpulan Alquran), kedua, The
pre-‘Uthma>nic codices (naskah pra Uthman), ketiga, The wraiting of the Quran and early textual
studies (penulisan Alquran dan kajian teks awal), dan keempat, the authenticity and completeness
of the Quran (keotentikan dan kesempurnaan Alquran). Dalam mengurai benang kusut perdebatan
Mus}haf ‘Uthma>ni, Bell, misalnya menulis: “This traditional account of the quran under ‘Uthman
is also open criticisms, tough they are not so serious as in the case of Abu bakar’s collection. The
most serious difficulties are those connected with the suhuf of H}afsa. Some versions of the story
suggest that the work of the commissionars was simply to make a fair copy, in the dialect of
Quraysh, of the material of these leaves. Some important material, however, has come to light
since the publication of Friedrich Schwally’s revised edition of the second volume of Noldeke’s
Geshichte des Qura>ns in 1919. In particular there is a story of how the coliph Marwan when
governor of Medina wanted to get hold of the ‘leaves’ of H}afsa to destroy them, and eventually
on her death persuaded her brother to hand them over. Marwan was afraid lest the unusual
readings in the might lead to further dissention in the community ”. (“Kisah turun-temurun
tentang ‘kumpulan’ Alquran di bawah Uthman juga rawan kecaman, meskipun tidak begitu serius
seperti dalam kasus ‘kumpulan’ Abu Bakar. Kesulitan yang paling serius adalah berkaitan dengan
suh}uf yang dimiliki H}afsah. Beberapa versi cerita mengisyaratkan bahwa tugas yang diberikan
kepada orang-orang hanyalah untuk membuat salinan yang baik dalam dialek Quraisy dari bahan
yang ditulis di atas dedaunan ini. Namun, pada tahun 1919 terbit jilid kedua karya Noldeke
“Geshichte des Qura>ns”, edisi yang direvisi oleh Friedrich Schwally, dan sejak itu bahan-bahan
yang penting ditemukan kembali. Terutama ada kisah bagaimana Khalifah Marwan yang menjadi
Gubernur Madinah ingin memusnahkan ‘dedaunan’ yang dimiliki H}afsah, dan akhirnya, tatkala
H}afsah meninggal, membujuk kakaknya untuk menyerahkannya. Marwan khawatir adanya
bacaan yang tidak lazim di dalamnya itu bisa menimbulkan pertikaian lebih lanjut dalam
masyarakat. Lihat, W. Monthomery Watt, Bell’s Introduction to The Qur’a>n (Leiden: Edinburgh
University Press, 1994), 43. Kajian mendalam juga dilakukan oleh MM. Al-A‘D}ami dalam The
History of Qur’a>nic Text From Revelation to Compilation A Comparative Study with the old and
new Testament, dan diterjemahkan menjadi Sejarah Teks al-Qur’a>n dari Wahyu sampai
Kompilasi kajian Perbandingan dengan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru , terj. Sohirin
Solihin, Anis Mata, Ugi Suharto, Lili Mulyadi (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), Taufik Adnan
Amal menulis Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2005).
15

Nabi.24 Golongan kedua berpendapat bahwa, hal itu didasarkan atas ijtiha>di. 25
Para sahabat setelah mereka bersepakat dan memastikan bahwa susunan ayat-
ayat adalah tawqi>fi> . Golongan ketiga berpendapat, serupa dengan golongan
pertama, kecuali surat al-Anfa>l dan Bara>’ah yang dipandang bersifat ijtiha>di>.
Pendapat pertama didukung antara lain oleh al-Qad}i Abu>> Bakar, Abu>> Bakar Ibn
al-Anbari>, al-Kirmani> dan Ibnu al-H}isar. Pendapat kedua didukung oleh Ma>lik,
al-Qad}i Abu> Bakar dan Ibn al-Fa>ris. Pendapat ketiga dianut oleh al-Bayha>qi>.
Salah satu penyebab perbedaan pendapat ini adalah mus}h}af-mush}}af ulama Salaf
yang urutan suratnya bervariasi.
Atas dasar perbedaan pendapat tentang sistematika ini, wajarlah jika
masalah teori korelasi Alquran kurang mendapat perhatian dari para ulama yang
menekuni ’Ulu>m al-Qur’a>n. Ulama yang pertama kali menaruh perhatian pada
masalah ini, menurut al-Zarka>shi, adalah Shaykh Abu>> Bakr ‘Abdullah Ibn al-
Naysabu>>ri> (w. 324 H.),26 kemudian diikuti ulama ahli tafsir seperti Abu>> Ja‘far bin
Zubayr dalam kitab Tarti>b al-Suwar al-Qur’a>n, Shaykh Burha>n al-Di>n al-Biqa>‘i>
dengan bukunya Naz}m al-Dura>r fi> Tana>sub al-A>ya>t wa al-Suwar, dan Al-Suyu>t}i
dalam kitab Asra>r Tarti>b al-Qur’a>n. Quraish Shihab belakangan menambahkan

24
Abu> Zayd memandang urutan surat dianggap tauqi>fi karena pemahaman seperti itu sesuai
dengan konsep wujud teks imanen yang sudah ada di lauh} al-mah}fu>z}, sebagai usaha
menyingkapkan sisi lain dari I‘jaz. Lihat, Nas}r H}ami>d Abu> Zayd, Mafhu>m al-Nas} Dira>sah fi>
‘Ulu>m al-Qur’a>n (Kairo: Da>r al-Ih}ya> al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1992), 159.
25
Discours dalam memperdebatkan tentang urutan surat dikupas tuntas juga oleh al-
Zarqa>ni. Menurut al-Zarqa>ni bahwa tertib susunan ayat dan surat adalah Ijtiha>di. Pendapat ini
didasarkan pada beberapa alasan. Pertama, mus}h}af pada catatan Alquran tidaklah sama. Kedua,
sahabat pernah mendengar Nabi membaca Alquran berbeda dengan tertib surat yang terdapat
dalam Alquran. Dan ketiga, adanya perbedaan pendapat mengenai tertib surat ini menunjukkan
tidak adanya petunjuk yang jelas atas tertib yang dimaksud. Alasan lain yang mengemuka bahwa
tertib surah sebagai ijtiha>di> tampak tidak kuat. Riwayat tentang sebagian sahabat pernah
mendengar Nabi membaca Alquran berbeda dengan tarti>b al-mus}h}af yang sekarang dan adanya
tentang catatan mus}h}af sahabat yang berbeda bukanlah mutawa>tir. Tertib mus}h}af sekarang
berdasarakan riwayat mutawa>tir. Kemudian, tidak ada jaminan bahwa semua sahabat yang
memiliki catatan mush}}af itu hadir bersama Nabi tiap saat turun ayat Alquran. Karena itu,
kemungkinan tidak utuhnya tarti>b al-mus}h}af Alquran sahabat sangat besar. Lihat, Muh}ammad
> al-Zarqa>ni, Mana>hil al-‘Irfa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Bayru>t: Da>r al-Fikr, 1988),
‘Abd al-‘Adz}im
348.
26
Hal ini terindikasikan apabila Alquran dibacakan kepada al-Naysaburi, maka ia bertanya
mengapa ayat ini ditempatkan di samping sebelahnya. Bahkan ia mencela para ulama Baghdad
karena mereka tidak memperhatikan ‘ilm al-muna>sabah. Lihat, al-Zarka>shi, al-Burha>n fi> ‘Ulu>m
al-Qur’a>n, (Bayru>t: Da>r al-Fikr, 1957). 38.
16

Muh}ammad ‘Abduh, Rashi>d Rid}á, Muh}ammad Shalt}ut, mereka inilah di antranya


yang konsen membahas persolan ini dalam tafsirnya.27
Diskursus penting tafsir Alquran muslim modern28 dalam konteks
relevansi untuk kajian muna>sabah dalam Alquran di dunia muslim kontemporer,
mengemuka setelah selesainya penulisan disertasi di School Oriental and African
Studies (SOAS) pada tahun 2006, yang telah mencoba menerapkan muna>sabah
dengan pendekatan bahasa untuk menafsirkan Alquran. Disertasi ini ditulis oleh
Salwa M.S. El-Awa yang bertajuk Textual Relation in The Quran: Relevance,
Coherence and Structure, yang diterbitkan oleh Routledge, New York, tahun
2006.29 Dalam disertasinya, Salwa, mengadopsi sebuah metodologi baru dalam
rangka membaca teks Alquran. Ia menggunakan teori-teori relevansi linguistik
dalam membahas dan menganalisis relasi-relasi yang kompleks dalam surat-surat
Alquran. Disertasi ini menunjukkan dengan jelas, ketidaksambungan tema
dengan surat-surat Alquran yang panjang. Dan konteks serta struktur Alquran
agar dapat dibaca ulang dan dijelaskan dengan metodologi kontemporer. Hal ini
dimaksudkan, dalam rangka membantu para pembaca Alquran agar menggunakan
metode ini dalam menciptakan proses kognisi pada makna yang diciptakan.

27
M. Quraish Shihab. “Ibrahi>m bin ‘Umar al-Biqa>‘i>: Ahli Tafsir yang Kontroversial.” Jurnal
Ulu>mul Qur’an, LSAF, 1, (1989), 5.
28
Istilah tafsir alquran Muslim modern dikenalkan oleh J.M.S. Baljon dalam karyanya yang
berjudul Modern Muslim Koran Interpretation (1880-1960). Baljon melalui karya ini, membagi
menjadi enam bahasan. Pertama, (introduction) pendahuluan, kedua, ways interpretation
(pendekatan penafsiran), ketiga, characteristic features of the Koran (gambaran Alquran),
keempat, theological issues (isu-isu ketuhanan), kelima, Koran and Modern Time (Alquran dan
masa modern), dan keenam conclution (kesimpulan). Dalam pengantarnya, Baljon mengatakan
bahwa studi ini merupakan kelanjutan sekaligus pelengkap bab terakhir (Der Islamische
Modernismus und seine Koranauslegung) karya Ignaz Goldziher mengenai tafsir Alquran ( Die
Rachtungen der Islamische Koranauslegung, Leyden, Brill, 1920 ). Kelanjutan penelitian
Goldziher ini tampaknya diperlukan, seperti juga terhadap tafsir modern yang dipublikasikan 40
tahun yang silam. Karya ini, dianggap oleh Baljon, sejauh karya itu, merupakan sumbangan
terlengkap, dan juga bisa dimanfaatkan bahasa-bahasa urdu yang masih dipergunakan. Lihat,
J.M.S. Baljon, Modern Muslim Koran Interpretation (1880-1960) (Leiden: E.J. Brill, 1968), vi.
29
Salwa M.S. El-Awa, Textual Relation in The Quran: Relevance, Coherence and Structure
(Routledge, New York, 2006), diakses pada 20 Januari 2010 dari
http://www.amazon.com/Textual-Relations-in-Quran-ebook/dp/B000OI14MQ, lihat pula, Eva
Nugraha, ulasan review “Textual Relation in The Quran: Relevance, Coherence and Structure.”
SPS UIN Jakarta, The School, vol. 2. No. 5/ Mei (2009): 4.
17

Salwa, dalam kesimpulan akhirnya menganggap bahwa area kajian relasi teks
(muna>sabah) masih belum jelas (abu-abu).30
Richard Bell dalam tulisannya yang kemudian direvisi oleh W.
Montgomery Watt dalam Bell’s Introduction To The Qur’a>n, mengatakan:
“Whatever view is taken of the collection and compilation of the
Qur’an, the possibility remains that parts of it may have been lost. If, as
tradition states, Zayd in collecting the Qur’a>n was dependent an chance
writings and human memories, parts may easily have been forgotten. Yet
conjunction of apparently unrelated verses st certain points in the Qur’a>n
suggests that the editors preserved absolutely everything they came
across which thay had reason to believe had once been part of the
Qur’a>n”.31
“Pandangan apapun yang diambil mengenai pengumpulan dan
penyusunan Quran, kemungkinannya tetap ada bahwa beberapa bagian
dari Quran mungkin hilang. Kalau seperti yang dinyatakan oleh Hadis,
Zayd dalam mengumpulkan Quran tergantung pada penulisan secara
kebetulan dan ingatan manusia, dengan mudah atau bagian-bagiannya
terlupakan. Namun, gabungan ayat-ayat yang tampaknya tidak
berhubungan di beberapa tempat dalam Quran mengisyaratkan bahwa
para penyunting mempertahankan dengan mutlak semua yang mereka
temukan dan yang beralasan untuk diyakini bahwa itu dulunya merupakan
bagian dari Quran”.

Tuntutan bagi terjadinya Alquran yang s}a>lih} likulli zama>n wa maka>n,


Quraish Shihab mengistilahkan dengan “membumikan Alquran”. Dalam bahasa
Nas}r H}a>mid Abu>> Zayd dikenal tekstualitas Alquran (mafhu>m al-nas}) atau
meminjam Shahrur “al-qira>’ah al-mu‘a>s}irah” (pembacaan dengan cara baru)
mulai timbul ketika adanya kesenjangan di antara keadaan, hubungan, dan
peristiwa dalam masyarakat, sempitnya terhadap pemahaman Alquran, dan lain-
lain. Ketika kesenjangan tersebut telah mencapai tingkat yang sedemikian rupa,
maka tuntutan perubahan yang mengupayakan membaca ulang teks semakin
mendesak. Membumikan Alquran merupakan sebuah keniscayaan. Sebagai kitab

30
Salwa M.S. El-Awa, Textual Relation in The Quran: Relevance, Coherence and Structure,
(Routledge, New York, 2006), diakses pada 20 Januari 2010 dari
http://doi.wiley.com/10.1002/9780470751428,http://www.google.co.id/search?client=opera&rls=
en&q=Salwa+M.S.+ElAwa&sourceid=opera&ie=utf-8&oe=utf-8, diakses pada 20 Januari 2010.
31
W. Monthomery Watt, Bell’s Introduction to The Qur’a>n (Leiden: Edinburgh University
Press, 1994), 56.
18

suci terakhir, Alquran menerobos perkembangan zaman, melintasi batas-batas


geografis, dan menembus lapisan-lapisan budaya yang pluralistik. Karena
memang kandungannya selalu sejalan dengan kemaslahatan manusia. Di mana
terdapat kemaslahatan di situ ditemukan tuntunan Alquran dan di mana terdapat
tuntunan Alquran, di situ terdapat kemaslahatan. Membumikan Alquran
sesungguhnya tidak lain adalah melakukan upaya-upaya terarah dan sistematis di
dalam masyarakat agar nilai-nilai Alquran hidup dan dipertahankan sebagai
faktor kebutuhan di dalamnya, serta bagaimana menjadikan nilai-nilai Alquran
sebagai bagian inheren dari perbendaharaan nilai-nilai lokal dan universal di
dalamnya. Asas pembumian Alquran mempunya tiga perinsip,32 yaitu: 1)
meniadakan kesulitan (’ada>m al-h}araj), 2) pembatasan beban (taqli>l al-takli>f),
dan 3) penetapan hukum secara berangsur-angsur (al-tadri>j fi at-tashri>‘).
Keberangsuran ini membuktikan adanya proses dialogis dan dialektis antara
Alquran dan realitas sosial. Hal ini juga memberikan legitimasi psikologis dan
sosiologis untuk penerapan strategi bertahap dalam proses pembumian Alquran.
Dengan demikian, proses pembumian Alquran harus dipandang sebagai proses
berkelanjutan, pergumulan yang tanpa henti, seiring dengan perjalanan waktu
dan perkembangan umat manusia.
Jumhur ulama telah sepakat bahwa urutan ayat dalam satu surat
merupakan urutan-urutan tawqi>fi> >, yaitu urutan yang sudah ditentukan oleh

32
Pembagian ini di dasarkan pada teks itu sendiri dan realitas teks yang berkembang.
Sebagaimana halnya nilai-nilai lain, proses akulturasi dan enkulturasi nilai-nilai dasar Alquran
dalam lintasan sejarah tidak saja memberi warna baru kepada sasaran-sasarannya, karena ia
membuka diri pada setiap budaya posistif sepanjang masa. Ini antara lain disebabkan karena
sebagian besar ayatnya dapat mengandung aneka interpretasi dan karena kitab suci ini
menghidangkan simbol (amtha>l) yang sarat makna, lagi terbuka bagi nalar para cendekiawan. Di
sinilah kekhususan Alquran; ia memberikan kesempatan kepada setiap budaya untuk menafsirkan
dan mengaktualisasikan diri dalam wadah nilai-nilai universalnya. Dalam kenyataannya,
meskipun hanya satu Alquran, tetapi terjadi spektrum keanekaragaman pemahaman dan
penerapan ajaran di dunia Islam. Proses pembumian Alquran tidak bisa menghindari fenomena
kontak budaya (cultural contact), yaitu antara tuntutan untuk mewujudkan tata nilai yang haq
dan kepentingan untuk memelihara keharmonisan di dalam masyarakat. Tentu saja dalam hal ini
keharmonisan tidak boleh dikorbankan untuk menegakkan tata nilai yang haq, dan ia pun tidak
boleh dipertahankan bila dibangun atas landasan yang bathil. Lihat,
http://www.psq.or.id/profile.asp?mnid=14, akses pada 14 Januari 2010.
19

Rasulullah sebagai penerima wahyu.33 Akan tetapi mereka berselisih pendapat


tentang urutan-urutan surat dalam mus}h}af, apakah itu tawqi>fi> atau ijtiha>di>
(pengurutannya berdasarkan ijtihad penyusun mush}}af). Nas}r H}a>midAbu>> Zayd,34
wakil dari ulama kontemporer, berpendapat bahwa urutan-urutan surat dalam
mus}h}af sebagai tawqi>fi> , karena menurut dia, pemahaman seperti itu sesuai
dengan konsep wujud teks imanen yang sudah ada di lauh} al-mah}fu>z}. Perbedaan
antara urutan turun dan urutan pembacaan merupakan perbedaan yang terjadi
dalam susunan dan penyusunan yang pada gilirannya dapat mengungkapkan
persesuaian antar ayat dalam satu surat, dan antar surat yang berbeda, sebagai
usaha menyingkapkan sisi lain dari I‘ja>z.35
Secara sepintas jika diamati urut-urutan teks dalam Alquran
mengesankan Alquran memberikan informasi yang tidak sitematis dan
melompat-lompat. Satu sisi realitas teks ini menyulitkan pembacaan secara utuh
dan memuaskan, tetapi sebagaimana telah disinggung oleh Abu>> Zayd, realitas
teks itu menujukkan stilistika (retorika bahasa) yang merupakan bagian dari I‘ja>z
al-Qur’a>n, aspek kesusasteraan dan gaya bahasa.36 Maka dalam konteks

33
Lihat perdebatan para ulama itu dalam Jala>l al-Di>n al-Suyu>t}i, al-Itqan fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n
(Damaskus : Da>r al-Fikr, 1979), 60-63.
34
Secara khusus Abu> Zayd mengungkapkan bahwa muna>sabah merupakan salah satu bagian
dari aspek I‘ja>z (kemukjizatan) Alquran, sebagaimana Abu> Zayd mengutip pendapat al-Zarka>shi
sebagai berikut: “Mush}}af seperti suhuf-suhuf mulia, sama dengan yang terdapat dalam kitab yang
tertutup rapat (lauh} al-mah}fu>z}), semua surat dan ayatnya disusun secara tauqi>fi>. Penghafal
Alquran bila meminta fatwa mengenai berbagai macam hukum atau ia memperdebatkannya, atau
mendiktekannya maka ia akan menyebutkan ayat sesuai dengan yang ditanyakannya. Dan jika ia
kembali kepada bacaan, maka ia tidak mengatakan seperi apa yang di fatwakan, dan tidak pula
seperti yang diturunkan secara terpisahpisah, melainkan seperti yang diturunkan secara
keseluruhan di Bayt al-‘Izzah. Di antara yang jelas-jelas mukjizat ialah uslu>b dan susunannya
yang mengagumkan. Sebab, ia merupakan kitab yang ayat-ayatnya dikokohkan, kemudian
diturunkan secara terpisah-pisah dari sisi yang maha bijaksana lagi maha mengetahui. Yang
pertama kali pantas untuk diteliti dalam setiap ayat adalah apakah ayat berkaitan dengan ayat
sebelumnya atau ia berdiri sendiri. Dalam hal ini banyak ilmu. Demikian pula dengan surat, sisi
keterkaitannya dengan surat sebelumnya dan konteksnya perlu di cari ”. Lihat, Nas}r H}a>midAbu>
Zayd, Mafhu>m al-Nas}, 159.
35
Nas}r H}a>midAbu> Zayd, Mafhu>m al-Nas}, 159.
36
Nas}r H}a>midAbu> Zayd, lebih lanjut mengungkap masalah muna>sabah sebagai bagian dari
mukjizat pada dasarnya mengacu pada mekanisme khusus teks yang membedakannya dari teks-
teks lain dalam kebudayaan. Bila dihubungkan dengan ilmu asba>b al-nuzu>l misalnya, ilmu
muna>sabah mengkaji hubungan teks dalam bentuk yang akhir dan final. Sedang asba>b al-nuzu>l
20

pembacaan secara holistik pesan spiritual Alquran, salah satu instrumen


teoritiknya adalah dengan ‘ilm al-muna>sabah. Keseluruhan teks dalam Alquran,
merupakan kesatuan struktural yang bagian-bagiannya saling terkait.
Keseluruhan teks Alquran menghasilkan pandangan dunia yang pasti. Dari
sinilah umat Islam dapat memfungsikan Alquran sebagai kitab petunjuk (hudan)
yang betul-betul mencerahkan dan mencerdaskan. Akan tetapi Fazlur Rahman
menengarai adanya kesalahan umum di kalangan umat Islam dalam memahami
pokok-pokok keterpaduan Alquran, dan kesalahan ini terus dipelihara, sehingga
dalam praksisnya umat Islam dengan kokohnya berpegang pada ayat-ayat secara
terpisah-pisah. Fazlur Rahman mencatat, akibat pendekatan atomistik ini adalah,
seringkali umat terjebak pada penetapan hukum yang diambil atau didasarkan
dari ayat-ayat yang tidak dimaksudkan sebagai hukum.37
Fazlur Rahman tampaknya terpengaruh oleh al-Sha>t}ibi> (w. 1388) seorang
yuris Maliki yang terkenal, dalam bukunya al-Muwa>faqa>t,38 tentang betapa
mendesak dan masuk akalnya untuk memahami Alquran sebagai suatu ajaran
yang padu dan kohesif. Dari sisi ini, maka yang bernilai mutlak dalam Alquran
adalah prinsip-prinsip umumnya (us}u>l al-kuliyyah) bukan bagian-bagiannya.
Bagian-bagian Alquran adalah respon spontanitas atas realitas historis yang tidak
bisa langsung diambil sebagai problem solving atas masalah-masalah kekinian.
Tetapi bagian-bagian itu harus direkonstruksi kembali dengan mempertautkan
antara satu dengan yang lain, lalu diambil inti sarinya (h}ikmah al-tashri>‘) sebagai
pedoman normatif (idea moral), dan idea moral Alquran itu kemudian
dikontektualisasikan untuk menjawab problem-problem kekinian.

mengkaji hubungan bagian-bagian teks dengan kondisi eksternal, atau konteks eksternal
pembentuk teks. Nas}r H}a>midAbu> Zayd, Mafhu>m al-Nas}, 159.
Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas: Tentang Transformasi Intelektual, (terj.) Ahsin
37

Mohammad (Bandung : Penerbit Pustaka, 1995), 2-3.


38
Al-Sha>t}ibi melihat betapa pentingnya muna>sabah Al-Qur’a>n. Bahwa, satu surat walaupun
banyak mengandung masalah, namun masalah-masalah tersebut berkaitan antara satu dengan
yang lainnya. Sehingga, seseorang hendaknya jangan hanya mengarahkan pandangannya pada
awal surat, tetapi hendaknya memperhatikan pula akhir surat, atau sebaliknya. Karena bila hal
tersebut tidak diperhatikan, maka maksud ayat yang diturunkan akan terabaikan. Lihat, al-
Sha>t}ibi, al-Muwa>faqat (Bayrut: Da>r al-Fikr, 1975), h. 144
21

Tentu untuk melakukan pembacaan holistik terhadap Alquran tersebut


membutuhkan metodologi dan pendekatan yang memadai. Metodologi dan
pendekatan yang telah dipakai oleh para mufasir klasik menyisakan masalah
penafsiran, yaitu belum bisa menyuguhkan pemahaman utuh, komprehensif, dan
holistik. ‘Ilm al-muna>sabah sebenarnya memberi langkah strategis untuk
melakukan pembacaan dengan cara baru (al-qira>’ah al-mu‘a>s}irah) asalkan metode
yang digunakan untuk melakukan “perajutan” antar surat dan antar ayat adalah
tepat. Untuk itu perlu dipikirkan penggunaan metode dan pendekatan
hermeneutika dan antropologi filologis dalam ‘ilm al-muna>sabah.
Lebih jelasnya, satu contoh muna>sabah upaya kontekstualisasi penafsiran
yang diambil dari percikan pemikiran Shahrur misalnya dalam memberi contoh
muna>sabah antar ayat, di sini akan dikemukakan bagaimana Muh}ammad Shahrur
menafsirkan dan mengaitkan satu ayat dengan ayat lain untuk menampilkan
makna otentik, yang dalam hal ini bertalian dengan masalah poligami. Alquran
surat al-Nisa>’ (4) ayat 3 adalah ayat yang menjadi rujukan fundamental dalam
urusan poligami dalam ajaran Islam :
“Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-
hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat.
Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah)
seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah
lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (Q.S. an-Nisa>’/4:3)
Muh}ammad Shahrur dalam magnum opus-nya, al-Kita>b wa al-Qur’a>n:
Qira>’ah mu‘a>shirah,39 menjelaskan:
“Kata tuqsit}u> berasal dari kata qasat}a dan ta‘dilu> berasal dari kata
‘adala. Kata qasat}a dalam kamus lisa>n al-‘Ara>b mempunyai dua
pengertian yang kontradiktif: Pertama, adalah al-‘adlu (Q.S.al-
Ma>’idah/5:42, al-H{ujara>t/49:9, al-Mumtah}anah/60:8). Makna kedua
adalah al-z}ulm wa al-ju>r (Q.S. al-Jinn/72:14). Begitu pula kata al-‘adl,
mempunyai dua arti yang berlainan, bisa berarti al-istiwa’ (sama/lurus)
dan juga bisa berarti al-a‘wa>j (bengkok). Di sisi lain ada perbedaan dua
kalimat tersebut, al-qast} bisa dari satu sisi saja, sedang al-‘adl harus dari
dua sisi.40
39
Muh}ammad Shahrur, al-Kita>b wa al-Qur’a>n: Qira>’ah Mu ‘a>s}irah (Kairo: Sina Publisher,
1992), 597-602.
40
Muh}ammad Shahrur, al-Kita>b wa al-Qur’a>n : Qira>’ah Mu‘a>>s}irah, 597-598.
22

Dari makna mufrada>t kata-kata Q.S. an-Nisa>’/4:3 menurut Shahru>r dalam


buku al-Kita>b wa al-Qur’a>n: Qira>’ah Mu’a>s}irah, maka diterjemahkan dalam versi
baru sebagai berikut :
“Kalau seandainya kamu khawatir untuk tidak bisa berbuat adil
antara anak-anakmu dengan anak-anak yatim (dari istri-istri jandamu)
maka jangan kamu kawini mereka. (namun jika kamu bisa berbuat adil,
dengan memelihara anak-anak mereka yang yatim), maka kawinilah para
janda tersebut dua, tiga atau empat. Dan jika kamu khawatir tidak kuasa
memelihara anak-anak yatim mereka, maka cukuplah bagi kamu satu istri
atau budak-budak yang kamu mikili. Yang demikian itu akan lebih
menjaga dari perbuatan z}alim (karena tidak bisa memelihara anak-anak
yatim)”41
Ayat di atas, kata Shahrur adalah kalimat ma‘t}u>fah (berantai) dari ayat
sebelumbya “wa in” yang merupakan kalimat bersyarat dalam kontek h}aqq al-
yata>ma>, “Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (wa ’a>tu> al-yata>ma>) harta
mereka. Jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu
makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan
(menukar dan memakan) itu adalah dosa yang besar” (Q.S. an-Nisa>’/4:2). Dan
jika teori batas (naz}ariyat al-h}udu>diyah) Shahrur diterapkan dalam menganalisis
ayat itu, maka akan memunculkan dua macam h}ad, yaitu h}ad fi> al-kam (secara
kuantitas) dan h}add fi> al-kayf (secara kualitas).42
Dari perdebatan akademik tentang muna>sabah yang diperbincangkan di
atas, secara garis besar dapat dipetakan menjadi dua aliran.43 Pertama, pihak
yang menyatakan bahwa memastikan adanya pertalian erat antara surat dengan
surat dan antara ayat dengan ayat, dengan kata lain, perlu adanya muna>sabah.
Kelompok ini seperti kata al-Zarqa>ni diwakili antara lain oleh Shaykh ‘Izz al-
Di>n Ibn ‘Abd al-Salam, atau yang dikenal dengan ‘Abd al-Salam (577-660 H.).
Menurut kelompok pertama, muna>sabah adalah ilmu yang menjelaskan
persyaratan baiknya kaitan pembicaraan (irtiba>t} al-kala>m) apabila ada hubungan

41
Muh}ammad Shahrur, al-Kita>b wa al-Qur’a>n: Qira>’ah Mu‘a>>s}irah, 598-599.
42
Muh}ammad Shahrur, al-Kita>b wa al-Qur’a>n: Qira>’ah Mu‘a>>s}irah, 601.
43
Al-Zarqani, Mana>hil al-‘Irfa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Bayru>t: Da>r al-Fikr, 1988), 348.
23

keterkaitan antara permulaan pembicaraan akhir pembicaraan yang tersusun


menjadi satu kesatuan.44
Kedua, golongan atau pihak yang menganggap bahwa tidak perlu adanya
muna>sabah ayat, karena peristiwanya saling berlainan. Ada paling tidak dua
alasan mengapa golongan kedua ini enggan atau menganggap tidak perlu adanya
muna>sabah. Pertama, kelompok kedua berargumen bahwa Alquran diturunkan
dan diberi hikmah secara tawqi>fi> >, hal ini atas petunjuk dan kehendak Allah.45
Kedua, bahwa satu kalimat akan memiliki muna>sabah bila diucapkan dalam
konteks yang sama. Karena Alquran diturunkan dalam berbagai konteks, maka
Alquran tidak memiliki muna>sabah. Pendapat ini juga diajukan oleh ‘Izz al-Di>n
ibn ‘Abd al-Salam (w. 660 H.). Di sinilah seolah-olah ‘Izz al-Di>n ingin
mengatakan bahwa susunan ayat mesti berdasarkan turunnya.46 Sementara yang
diajukan oleh kelompok yang pro atau mendukung terhadap muna>sabah
mengatakan bahwa ketidak teraturan susunan ayat mengandung rahasia.
Pro-kontra kajian muna>sabah antara pentingnya mengedepankan
muna>sabah dan tidak perlu adanya muna>sabah telah menjadi konsumsi publik
yang tidak terpisahkan dari kajian ‘ulu>m al-Qur’a>n. Pertanyaan besar tentang
apakah adanya muna>sabah itu bersifat tauqifi> atau ijtiha>di mengemuka dan perlu
adanya jawaban akademik. Pertanyaan ini bisa jadi sangat menarik untuk dibawa
ke ranah diskusi, dan kemudiaan disusul dengan menyoal pada tataran lebih
dalam, apakah perlu adanya muna>sabah al-Qur’a>n atau bisa jadi kalau pendapat
yang sangat ekstrim tidak perlu adanya muna>sah seperti wacana perdebatan di
atas.

44
‘Abd al-Rah}ma>n Ibn Abi> Bakr ibn Muh}ammad Abu al-Fad}l al-Suyu>t}i, Asra>r Tarti>b al-
Qur’a>n (Kairo: Da>r al-I’tis}a>m, t,th.), 108.
45
Baca lebih lanjut, Muh}ammad Burha>n al-Di>n Al-Zarkashi>, Al-Burha>n fi ‘Ulu>m al-Qur’a>n,
37, lihat pula, Jala>l al-Di>n al-Suyu>t}i, al-Itqa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, 108.
46
Abu> Zayd mencoba melerai dan mengomentari pendapat kelompok kedua yang tidak
menyepakati adanya muna>sabah dengan mengatakan bahwa pendapat yang dikemukakan
Izzuddi>n agar keterkaitan ayat dengan ayat dan surat dengan surat, terhadap sebab yang berbeda-
beda, yang tidak menjadi persyaratan baiknya susunan kalimat ( irtiba>t} al-kala>m) jangan sampai
dipaksakan. Akan tetapi jika keterkaitan uraian terjadi karena satu sebab yang sama, maka
menghubungkannya adalah suatu hal yang baik, dan disinilah letak baiknnya muna>sabah. Nas}r
H{ami>d Abu> Zayd, Mafhu>m al-Nas}, 159..
24

Al-Suyu>t}i mempunyai pendapat, apabila kata itu dikembalikan


pengertiannya dalam konteks ayat, kalimat atau surat dalam Alquran, maka bisa
berarti adanya keserupaan, kedekatan di antara berbagai ayat, surat, atau kalimat
yang diakibatkan oleh adanya hubungan makna yang muncul. Misalnya, yang
satu ‘a>m dan yang lainnya kha>s. Hubungan itu bisa juga muncul melalui
penalaran (‘aqli), penginderaan (h}issi), atau melalui kemestian dalam pikiran (al-
talaz}z}um al-dihni) seperti hubungan sebab akibat, ‘illat dan ma‘lul dua hal yang
serupa atau dua hal yang berlainan.47
Ah}mad At}a’ dalam pengantar buku Asra>r Tarti>b al-Qur’a>n karya al-
Suyu>t}i memberikan cara dan tahapan untuk menemukan muna>sabah al-Qur’a>n.
Ada empat langkah pertama, melihat tema sentral dari surat tertentu. Kedua,
melihat premis-premis yang mendukung tema sentral. Ketiga, mengadakan
kategorisasi terhadap premis itu berdasarkan jauh dan dekatnya kepada tujuan.
Dan keempat, melihat kalimat-kalimat atau pernyataan yang saling mendukung
dalam premis itu.48 Dan cara-cara demikian telah lama dipakai oleh para mufassir
sekaliber al-Naysabu>ri, Abu>> Bakar Ibn al-Zubayr, Fakhr al-Di>n al-Ra>zi, al-
Suyu>t}i, al-Biqa>‘i>>, dan belakangan Muh}ammad ‘Abduh, Rashid Rid}a, Muh}ammad
Shaltut, dan sebagainya. Dan yang dianggap paling konsen (takhas}s}us}) adalah al-
Biqa>‘i> dalam karya besarnya berjudul Naz}m al-Dura>r fi> Tana>sub al-A>yat wa al-
Suwar.
Melacak tradisi awal penafsiran Alquran di nusantara,49 banyak peneliti
seperti Riddell,50 A.H. Johns,51 Salman Harun,52 Azyumardi Azra,53 Ervan

47
Jala>l al-Di>n al-Suyu>t}i>, al-Itqa>n fi> ’Ulu>m al-Qur’a>n, h.108.
48
‘Abd al-Qadi>r Ah}mad At}a’, dalam pengantar al-Suyu>t}i, Asra>r Tarti>b al-Qur’a>n (Kairo:
Da>r al-I’tis}a>m, 1978), 4.
49
Istilah nusantara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebuah (nama) bagi
seluruh wilayah kepulauan Indonesia. Lihat, Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta:
Balai Pustaka, 1996), 569. Dalam berbagai disiplin ilmu, nusantara juga sering dipakai menjadi
sebuah tema kajian. Misalnya, Azyumardi Azra,Jaringan Global dan Lokal Islam Nusantara
(Bandung: Mizan, 2002), buku disertasinya diberi judul Jaringan Ulama Timur Tengah dan
Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII (Jakarta: Mizan, 1998). T.E. Behrend, et.al. Katalog
Induk Naskah-Naskah Nusantara jilid 4, Perpustakaan Nasional Indonesia (Jakarta: YOI, 1998).
Wan Moh. S}aghir Abdullah S}aghir, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Toko-Tokohnya di
Nusantara (Surabaya: al-Ikhlas, 1980), Ervan Nurtawab. “Melacak Tradisi Awal Penafsiran
25

Nurtawab54 dan lain-lain menginformasikan bahwa sekitar abad ke-XVII M.


telah ditemukan bukti paling awal di Nusantara setelah lebih dari 300 tahun sejak
komunitas Muslim Nusantara itu mulai mewujudkan dirinya dalam kekuasaan
politik, yaitu di Cambridge yang memuat tafsir surat al-Kahfi. Kajian Alquran
dipelopori oleh ‘Abd al-Ra’u>f al-Sinki>li> yang menulis kitab dengan berjudul
Tarjuma>n al-Mustafi>d. Dua karya inilah yang menjadi embrio pijakan penulisan
tafsir Alquran di Asia tenggara.55 Upaya rintisan ini kemudian diikuti oleh
Shaykh Nawa>wi> al-Bantani>,56 Munawar Khalil,57 A. Hasan Bandung,58 Mahmud

Alquran di Nusantara.” Jurnal Lektur Keagamaan 4:2, (2006). Izza Rahman Nahrawi. “Profil
Kajian Alquran di Nusantara Sebelum Abad ke 20.” Jurnal al-Huda, II, no.6, (2000).
50
Peter G. Riddell. “Abdurra’uf al-Sinkili’s Tarjuna>n al-Mustafi>d: A Critical Study of His
Treatment of Juz 16.” disertatasi Dotornya di Australia National University tahun 1984, dalam
karya yang lainnya, Riddell menulis “From Kitab Malay to Literary Indonesian: A Case Study in
Semantic Change.” Indo-Islamika, Journal of Islamic Science, Sekolah Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 5, November 1, (2008/1429).
51
Anthony H. Johns, Islam di Dunia Melayu: Sebuah Survei Penyelidikan dengan Beberapa
Referensi Kepada Tafsir Alquran, dalam Azyumardi Azra, Perspektif Islam Asia Tenggara
(Jakarta: YOI, 1987).
52
Salman Harun. “Hakekat Tafsir Tarjuman al-Mustafid Karya Shaykh Abdurrauf.”
disertasi doktornya di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1988.
53
Azyumardi Azra. “The Transmission of Islamic Reformism to Indonesian: Networks of
Middle Eastern and Malay-Indonesian Ulama in the 17th and 18th Centuries.” disertasi doktornya
di Departemen Sejarah, Columbia University tahun 1992. Disertasi ini kemudian di terjemahkan
dengan judul Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad ke-17 dan 18:
Melacak Akar-Akar Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia, dicetak pertama kali oleh Mizan,
Bandung tahun 1994.
54
Ervan Nurtawab. “Discourse on Translation in Hermeneutics: Its Application to The
Analysis of Abdurra’uf’s Turjuman al-Mustafis.” tesis di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta, tahun 2007. Tesis Ervan kemudian diterbitkan setelah diolah ulang dengan
judul Tafsir al-Quran Nusantara Tempo Doeloe, Jakarta: Ushul Press, 2009.
55
Lihat M. Quraish Shihab dalam pengantar buku Taufik Adnan Amal. Rekonstruksi
Sejarah Al-Qur’an (Jakarta: Pustaka al-Fabets, 2005), vi.
56
Shaykh Nawawi al-Bantani, menulis tafsir bertajuk Marah Labi>d li> Kashfi Ma’na Qur’a>n
al-Maji>d, atau dikenal juga dengan Tafsi>r al-Muni>r. Dicetak di Kairo, al-H}alabi, 1887. Lihat buku
Mamat S. Burhanuddin, Hermeneutika Al-Quran ala Pesantren (Analisis Trehadap Tafsir Marah
Labid Karya KH. Nawawi Banten) (Yogyakarta: UII Press, 2006), Salman Harun, Mutiara Surat
al-Fa>tihah; Analisis Shaykh Muh}ammad Nawawi Banten (Jakarta: CV Kafur, 2000), Didin
Hafiduddin, Tinjauan atas Tafsir Munir Karya Imam Muh}ammad Nawawi Tanara dalam Warisan
Intelektual Islam Indonesia (Bandung: Mizan, 1987).
57
Munawar Chalil, Tafsi>r al-Qur’a>n Hidayatur Rahman, (Jakarta: Siti Sjamsiah, 1958).
58
Ahmad Hasan, Al-Furqa>n: Tafsir al-Qur’an (Bangil: Persatuan, 1406 H.).
26

Yunus,59 Oemar Bakri,60 Hasbi Ash-Shiddiqy,61 Hamka,62 H. Zainuddin Hamidy


dan Fachruddin Hs,63 Kasim Bakri.64 Dalam bahasa-bahasa daerah, upaya ini
dilanjutkan oleh Kemajuan Islam Yogyakarta,65 Bisyri Mus}tahafa Rembang,66 R.
Muhammad Adnan67 dan Bakri Syahid.68 Upaya-upaya ini bahkan lebih diseriusi
oleh Pemerintah RI melalui proyek penerjemahan. Selanjtnya, atas usul
Musyawarah kerja Ulama Alquran ke XV (23-24 Maret 1989), disempurnakan
oleh pusat penelitian dan pengembangan Lektur Agama bersama Lajnah
Pentashih Alquran.69 Howard M. Federspiel dalam penelitiannya, kurang lebih
disebut 48 tafsir popular di Indonesia,70 walaupun masih perlu dikritisi batasan
apa saja yang ia anggap sebagai karya tafsir.
Pertumbuhan dan perkembangan kajian tafsir dan pemikirannya di
Indonesia sangat beragam metode dan pendekatannya. Beberapa sarjana

59
Mahmud Yunus, Tafsi>r Qur’a>n Karim (Jakarta: Pustaka Mahmudiyah, 1957).
Oemar Bakri, Tafsir Rahmat (Jakarta: Mutiara, 1983).
60

61
Hasbi Ash-Shiddiqy, Tafsir An-Nur (Jakarta: Bulan Bintang, 1976).
62
Hamka, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982).
63
Zainuddin Hamidy dan Fachruddin Hs, Tafsir al-Qur’an (Jakarta: Wijaya: 1959).
64
Kasim Bakri, Tafsir al-Quranul Hakim, 1960.
65
Kemajuan Islam Yogyakarta, Quran Kejawen Sundawiyah.
66
Bisyri Mushtahafa Rembang, al-Ibri>z, 1960.
67
R. Muhammad Adnan, Al-Qur’an Suci Basa Jawi, 1969.
68
Bakri Syahid, Al-Huda, 1972
69
M. Quraish Shihab dalam pengantar buku Taufik Adnan Amal. Rekonstruksi Sejarah Al-
Qur’an (Jakarta: Pustaka al-Fabets, 2005), vi. Dalam bentuk karya Tim Penerjemah al-Quran
Depag RI, Al-Quran dan Terjemahnya (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penerjemah/penafsiran
Al-Quran, Depag RI, 1975).
70
Di antara 48 mufassir yang Federspiel sebut adalah, Munawar Khalil, Aboe Bakar Atjeh,
Bahrum Rangkuti, Jamaluddin Kafie, Oemar Bakrie, Joesoef Sou’eb, M. Hasbi al-Shiddiqy,
Masjfuk Zuhdi, A. Hasan, Qomaruddin Hamidy, Mahmud Yunus, Hamka, Abdul Halim Hasan,
Tafsir Depag, Bachtiar Surin, Sukmadjadja Asyarie, Badarutthanan Akasah, Syahminan Zaini,
MS. Khalil, Qamaruddin Saleh Nasikun, Bey Arifin, Labib MZ, A. Hanafi, Hadiyah Salim, M.
Ali Usman, Khadijatus Shalihah, A. Muhaimin Zen, Datuk Tombak Alam, A. Djohansjah, Ismail
Tekan, T. Atmadi Usman, Abu Hanifah, Zainal Abidin Ahmad, HB. Jassin, Mahfudi Sahli,
Dja’far Amir, Muslih Maruzi, Abdul Aziz Masyhuri, M. Munir Farunama, Syahminan Zaini, M.
Ali Husayn, A. Syafi’I Ma’arif, Dawan Raharjo, Azwar Anar, Imam Munawwir, Z. Kasijan,
Nazwar Syamsu, M. Quraish Shihab. Lihat, Howard M. Federspiel, Kajian al-Quran di Indonesia
Dari Mahmud Yunus Hingga Quraish Shihab, terj., Tajul Arifin, (Bandung: Mizan, 1996).
27

mempunyai perhatian besar di dunia penelitian tafsir nusantara, baik dalam


bentuk buku maupun jurnal. Seperti yang dilakukan Peter Riddell,71 Howard M.
Federspiel,72 AH. Johns,73 Karel Steenbrink,74 Salman Harun,75 Nashruddin
Baidan,76 Yunan Yusuf,77 Islah Gusmian,78 Ervan Nurtawab,79 dan lain-lain.80
Dalam konteks tafsir nusantara, M. Quraish Shihab adalah salah seorang
mufassir yang bisa di “anggap” mewakili karya tafsir di Indonesia, selain banyak
menelorkan karya-karya brilian.81 Dan curahan pemikirannya di bidang Alquran

71
Peter G. Riddell, “Abdurra’uf al-Sinkili’s Tarjuna>n al-Mustafi>d: A Critical Study of His
Treatment of Juz 16,” disertatasi Dotornya di Australia National University tahun 1984, yang
dibukukan menjadi Transferring a Tradition: Abd al-Rauf al-Singkili’s rendering into Malay of
The Jalalayn Commentary (Berkeley, CA: Center for South and Southeast Asian Studies,
University of California, 1990).
72
Howard M. Federspiel, Popular Indonesian Literature of The Qur’an , (Cornell modern
Indonesian Project, 1994). Yang diterjemahkan oleh tajul Arifin berjudul, Kajian al-Quran di
Indonesia Dari Mahmud Yunus Hingga Quraish Shihab , (Bandung: Mizan, 1996).
73
Anthony H. Johns, Islam in The Malay World: an Explanatory Survey With Some
Reference to Qur’anic Exegesis, Islam in Asia: Volume II Southeas and East Asia, (Boulden:
Westview, 1984). Edisi Indonesia berjudul Islam di Dunia Melayu: Sebuah Survei Penyelidikan
dengan Beberapa Referensi Kepada Tafsir Alquran, dalam Azyumardi Azra, Perspektif Islam Asia
Tenggara (Jakarta: YOI, 1987).
74
Karel Steenbrink. “Qur’a>n Interpretations of Hamzah Fansuri (1600) and Hamka (1908-
1982): A Comparison.” Program Pascasarjana IAIN Jakarta, Jurnal Studia Islamika, 2:2, (1995).
75
Salman Harun. “Hakekat Tafsir Tarjuman al-Mustafid Karya Shaykh Abdurrauf.”
disertasi doktor, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1988.
76
Nashruddin Baidan, Perkembangan tafsir di Indonesia (Jakarta: Tiga serangkai, 2003).
77
Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar, Sebuah Telaah tentang Pemikiran
Hamka dalam Teologi Islam (Jakarta: pustaka panjimas, 1990).
78
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia: dari Hermeneutic hingga Idiologi , (Jakarta:
Teraju, 2003). Sebelumnya karya ini merupakan tesisnya dalam rangka mengejar magisternya.
79
Ervan nurtawab, Tafsir al-Quran Nusantara Tempo Doeloe (Jakarta: Ushul Press, 2009).
Karya ini hasil dari ijtihad akademiknya yang mengkomparasikan skripsi, tesis dan tulisan-tulisan
yang dimuat di jurnal, media, maupun yang pernah disampaikan dalam siposium.
80
Baca lebih lanjut Ervan Nurtawab, Tafsir al-Quran Nusantara, 7-11.
81
Karya-karya M. Quraish Shihab yang berhasil penulis potret sebagai berikut: Tafsir al-
Manar, Keistimewaan dan Kelemahannya (Ujung Pandang: IAIN Alaudin,1984), Filsafat Hukum
Islam (Jakarta: Depag, 1987), Satu Islam Sebuah Dilema (Bandung: Mizan, 1987), Pandangan
Islam Tentang Perkawinan Usia Muda (MUI, Unisco,1990), Tafsir al-Amanah (Jakarta: Pustaka
Kartini, 1992), Tafsir al-Qur’an al-Karim atas Surat-Surat Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya
(Bandung :Pustaka Hidayah,1997), Pengantin al-Qur’an (Jakarta: Lentera Hati, 1999), Sejarah
dan Ulumal-Qur’an (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), Fatwa-Fatwa Seputar al-Qur’an dan Hadis
(Bandung: Mizan, 1999), Fatwa-Fatwa Seputar Ibadah dan Muamalah (Bandung: Mizan, 1999),
Fatwa-Fatwa Seputar Wawasan Agama (Bandung: Mizan, 1999), Fatwa-Fatwa Seputar Tafsir al-
Qur’an (Bandung: Mizan, 1999), Menuju Haji Mabrur (Jakarta: Pustaka, Zaman, 1999), Panduan
28

dengan menggunakan pendekatan muna>sabah, ia dihidangkan melalui magnum


opusnya Tafsir al-Mishbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an. Dari sisi
tema sudah bisa dianalisis, kata “keserasian", ini mengandung makna
“muna>sabah”, karena munasabah mengandung arti keserasian. Selain itu,
percikan pemikiran Quraish Shihab banyak terpengaruh oleh al-Biqa>‘i> seorang
tokoh penggagas tana>sub al-aya>t wa al-suwa>r. Hal ini dimaklumi karena Ia secara
serius dan mendalami kajian kitab Naz}m al-Durar-nya al-Biqa>‘i> yang dituangkan
dan dikupas habis secara serius dalam bentuk disertasi S3-nya di Universitas Al-
Azhar, Mesir tahun 1982 yang bertajuk Naz}m al-Dura>r fi> Tana>sub al-A>yat wa al-
Suwar. Hasil karya disertasinya ini, terangkum dalam dua jilid besar yang
tersimpan di perpustakaan Pusat Studi Alquran (PSQ) Jakarta, yang ia rintis
dalam melebarkan sayap dan menurunkan tradisi akademiknya, khusunya di
bidang tafsir dan ulu>m Al-Qur’a>n. Sehingga tidak berlebihan kalau dikatakan
bahwa Tafsir Al-Misbah karya Quraish Shihab terilhami dan banyak mengutip
(nuqil) dari al-Biqa’i>. Sebagaimana pengakuan dalam sekapur sirih tafsirnya
sebagai berikut:
“Akhirnya, penulis merasa sangat perlu menyampaikan kepada
pembaca bahwa apa yang dihidangkan di sini bukan sepenuhnya ijtihad
penulis. Hanya karya ulama-ulama terdahulu dan kontemporer, serta
pandangan-pandangan mereka sungguh banyak penulis nukil, khususnya
pandangan pakar tafsir Ibra>hi>m Ibn ‘Umar al-Biqa>‘i> (w. 885 H-1480 M)
yang karya tafsirnya ketika masih berbentuk manuskrip menjadi bahan

Puasa Bersama Muhammad Quraish Shihab (Jakarta: Republika, 1999), Mahkota Tuntunan Ilahi;
Tafsir Surah al-Fatihah (Jakarta: Untagama,1988), Hidangan Ilahi Ayat-Ayat Tahlil (Jakarta:
Lentera Hati, 1996), Membumikan Al-Qur'an (Bandung: Mizan, 1992), Lentera Hati Kisah dan
Hikmah Kehidupan (Bandung: Mizan, 1994), Studi Kritis Tafsir al-Manar Karya Muh}ammad
Abduh dan M.Rashid Rid}a (Bandung : Pustaka Hidayah, 1994), Untaian Permata Buat Anakku ;
Pesan al-Qur'an untuk mempelai (Bandung: al-Bayan, 1995), Wawasan al-Qur'an (Bandung:
Mizan, 1996), Mukjizat Al-Qur'an (Bandung: Mizan, 1997), Sahur Bersama Muhammad Quraish
Shihab di RCTI (Bandung: Mizan 1997), Menyingkap Tabir Ilahi, Asma al-Husna dalam
Perspektif al-Qur'an (Jakarta: Lentera Hati, 1998), Mahkota Tuntunan Ilahi; Tafsir Surah al-
Fatihah (Jakarta : Untagama, 1998), Fatwa Fatwa Seputar Ibadah Mahdah (Bandung: Mizan,
1999), Yang Tersembunyi : Jin, Iblis, Setan, dan Malaikat (Jakarta: Lentera Hati, 1999), Tafsir
al-Mishbah (Jakarta: Lentera Hati, 2000), Perjalanan Menuju Keabadian, Kematian, Surga dan
Ayat ayat Tahlil (Jakarta: Lentera Hati, 2001), Menjemput Maut (Jakarta: Lentera Hati, 2002),
Mistik Seks dan Ibadah (Jakarta: Republika, 2004), Jilbab PakaianWanita Muslimah (Jakarta:
Lentera Hati, 2004), Dia Dimana Mana (Jakarta: Lentera Hati, 2004), Perempuan (Jakarta:
Lentera Hati, 2005), 40 Hadits Qudsi Pilihan (Jakarta :Lentera Hati, 2005), Logika Agama
(Jakarta : Lentera Hati, 2005).
29

disertasi penulis di Universitas Al-Azhar, Cairo, dua puluh tahun yang


lalu. Demikian juga karya tafsir pemimpin tertinggi Al-Azhar dewasa ini,
Sayyid Muh}ammad T}ant}a>wi, juga Shaykh Mutawalli al-Sha’ra>wi, dan
tidak ketinggalan Sayyid Qut}ub, Muh}ammad T}ah> ir ibn ‘A>shu>r, Sayyid
Muh}ammad H{usein T}aba>t}aba>’i, serta beberapa pakar tafsir yang lain”.82
Berikut adalah salah satu contoh penafsira Quraish Shihab awal surah al-
Fa>tih}ah dengan mengetengahkan aspek muna>sabah.

“)‫الرحيم‬ ‫ )بسم هللا الرمحن‬Bismilla>hirrah}ma>nirrah}i>m yang terdiri dari 19 huruf


itu, adalah pangkalan muslim bertolak. Jumlah huruf-hurufnya sebanyak
Sembilan belas huruf. Demikian pula dengan ucapan h}auqalah: ( ‫الحول والقوه اال‬
‫)ابهلل‬ La>h}aula wa la> quwwata illa> billa>h. Tiada daya (untuk memperoleh manfaat)
dan upaya untuk (menolak mudarat) kecuali dengan (bantuan) Allah. Kalimat
inipun (bila digunakan dalam aksara uang digunakan al-Qur’an) mempunyai
Sembilan belas huruf. Dengan demikian permulaan dan akhir usaha setiap
muslim adalah bersumber dan berakhir pada kekuasaan Allah yang Rahma>n dan
Rahi>m, Yang Maha Pengasih dan Penyayang itu. Dalam Q.S. al-Mudathir (74):
30 dinyatakan bahwa penjaga neraka terdiri dari Sembilan belas malaikat.
Basmalah dan Hauqalah yang masing-masing mempunyai sembilan belas huruf
itu, dapat menjadi perisai bagi seseorang yang menghayati dan mengamalkan
tuntunan kedua kalimat tersebut. Menjadi perisai terhadap kesembilan belas
penjaga neraka itu.83 Pada ayat kedua, ‫“ احلمد هلل رب العاملني‬segala puji hanya bagi
Allah pemelihara seluruh alam.” Dalam basmalah terkandung pujian kepada
Allah swt., antara lain dalam menampilkan kedua sifat-Nya, ar-Rahma>n dan ar-
Rahi>m. Karena itu wajar jika pada ayat ini ditegaskan bahwa segala puji bagi
Allah, apalagi karena Dia adalah pemelihara seluruh alam.”84
Contoh lain dalam Q.S. al-Baqarah (2): 2 yang berbunyi:

‫ذالك الكتاب الريب فيه هدى للمتقني‬


"Itulah al-Kita>b, tidak ada keraguanpadanya; petunjuk bagi orang-orang
bertaqwa.”
“Setelah menyebut beberapa huruf yang digunakan oleh ayat-ayat
al-Qur’a>n, ditegaskannya bahwa itulah yakni al-Qur’a>n yang huruf kata-
katanya seperti alif la>m mi>m merupakan al-kita>b, yakni kitab yang sangat
sempurna tidak ada keraguan padanya; yakni pada kandungannya dan

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishba>h Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran (Jakarta:
82

Lentera hati, 2006), xiii.


83
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishba>h, 16.
84
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishba>h, 27.
30

kesempurnaannya dan berfungsi sebagai petunjuk bagi seluruh manusia


kendati yang menarik manfaatnya hanyalah orang-orang bertaqwa.85

Pada surat al-Fa>tih}ah ayat satu, Quraish Shihab sebelumnya menguraikan


panjang lebar makna ba>’ yang dibaca bi pada bismilla>h, kemudian diuraikan kata
Ar-Rah}ma>n ar-Rah}i>m,86 ketika masuk ke ayat yang kedua ia mengatakan bahwa
basmalah terkandung pujian kepada Allah swt., karena menampilkan kedua sifat-
Nya Rah}ma>n Rah}i>m dan ayat dua, Quraish Shihab mencoba menghubungkannya
menjadi suatu kewajaran ayat dua dilanjutkan dengan segala puji bagi Allah.
Sedang surat al-Baqarah (2): 2, Ia menafsirkan alif la>m mi>m adalah al-kita>b.
Dari dua contoh model penafsiran di atas, terlihat bahwa Quraish Shihab
dalam menafsirkan Alquran, sangat memperhatikan aspek muna>sabah dengan
menguraikan keserasian kata demi kata dalam satu surah dan keserasian
hubungan ayat dengan ayat berikutnya. Akan tetapi perlu juga dikritisi bahwa
aspek muna>sabah yang ia diterapkan, pada penelitian awal penulisan ini,
nampaknya tidak konsisten dalam pemakaian muna>sabah. Misalnya, pada ayat
terakhir surat al-Fa>tih}ah, ia sama sekali tidak menguraikan muna>sabah
(pertalian) antara penutup surat al-Fatihah dengan awal surat al-Baqarah. Di
akhir surat al-Fa>tih}ah, setelah menghidangkan makna al-d}a>lli>n, kemudian ia
mengupas kata a>mi>n.
Memasuki awal surat al-Baqa>rah, Quraish Shihab memulai dengan
perkataan surah al-Baqarah terdiri dari 286 ayat. Surah ini dinamakan AL-
BAQARAH yang berarti “seekor sapi” karena di dalamnya memuat kisah
penyembelihan sapi yang diperintahkan Allah kepada Bani Isra>’i>l. (ayat 67-74).
Selanjutnya, menerangkan kedudukan dan tema serta masalah-masalah surat ini,
sehingga sampai kepada pernyataan bahwa uraian surah ini berkisar pada
penjelasan dan pembuktian tentang betapa haq dan benarnya kitab suci dan
betapa wajar petunjuk-petunjuk di ikuti dan diindahkan.87

85
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishba>h, 27.
86
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishba>h, 11-26.
87
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishba>h, 81-84
31

B. MELACAK TRADISI AWAL MUNASABAH


Diakui secara umum, bahwa susunan ayat dan surat dalam Alquran
memiliki keunikan yang luar biasa. Sesungguhnya tidak secara urutan saat wahyu
diturunkan dalam subjek bahasan. Rahasianya hanya Allah Yang Mahatahu,
karena Dia sebagai pemilik kitab tersebut. Jika seseorang bertindak sebagai
editor, menyusun kembali kata-kata buku orang lain misalnya, mengubah urutan
kalimat akan mudah memengaruhi seluruh isinya. Hasil akhir tidak dapat
diberikan kepada pengarang, karena hanya sang pencipta yang berhak mengubah
kata-kata dan materi guna menjaga hak-haknya. Demikian ungkapan M.M. Al-
A’z}ami>.88
Melacak tradisi awal proses pewahyuan Alquran, tidak diragukan lagi
bahwa Alquran terdiri dari susunan ayat dan surat. Ayat-ayatnya diturunkan
sesuai dengan situasi dan kondisi yang membutuhkan.89 Susunan ayat dan surat-

88
Muh}ammad Mus}t}afá al-A‘z}ami> adalah seorang cendekiawan terkemuka di bidang ilmu
hadis. Lahir di Mau, India pada awal tahun 30-an. Pendidikan pertamanya di Da>r al-‘Ulu>m
Deoband, India tahun 1952, M.A., 1995 di Universitas al-Azhar, Kairo, Ph.D., tahun 1996 di
Universitas Cambridge, Guru Besar Emeritus pada Universitas King Sa’ud, Riya>d}. Lihat, M.M.
al-A‘z}ami>, The History of The Qur’anicText From Revelation to Compilation A Comparative
Study The Old and New Testaments, (Sejarah Teks Al-Qur’an dari Wahyu Sampai Kompilasi:
Kajian Perbandingan dengan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, terj. Sohirin Solihin et. All.,
(Jakarta: Gema Insani Press, 2005), 74.
89
Dalam istilah ‘Ulu>m al-Qur’a>n dikenal dengan ‘ilm asba>b al-nuzu>l. Sebab-sebab turunnya
Alquran (asba>b al-nuzu>l) mempunyai peranan penting dalam menyingkap makna Alquran. Hal ini
sangat logis karena asba>b al-nuzu>l sesungguhnya merupakan konteks eksternal pewahyuan
Alquran. Sementara kita tahu, bahwa sebuah pernyataan akan dipahami dengan benar manakala
konteks yang melatarinya dipahami dengan benar. Tanpa pengetahuan mengenai konteks, boleh
jadi sebuah pernyataan dipahami jauh dari maksud yang sesungguhnya. Di antara tokoh yang
memprakarsai pembahasan ‘ilm asba>b al-nuzu>l secara khusus ialah Ali al-Madi>ni> (w. 234 H./848
M.), yang merupakan guru dari Imam al-Bukha>ri (194-256 H./808-870 M.), kemudian diikuti oleh
‘Abd. al-Rah}ma>n bin Muh}ammad al-Andalu>si> atau popular dengan panggilan Ibn Fut}ays (w. 402
H.) dan Muh}ammad bin As’ad al-‘Ira>qi (w. 567 H.). al-Wa>h}idi al-Naysabu>ri> (w. 468 H./1093 M.)
menyusun kitab Asba>b al-Nuzu>l dan Ibra>hi>m bin ‘Umar al-Ja‘ba>ri (732 H./1331 M.) yang
meringkas kitab karya al-Wa>h}i>di>. Ibn H{ajar al-‘Asqala>ni> (w. 852 H./1448 M.) pakar hadis,
memunculkan asba>b al-nuzu>l yang kemudian mendorong Jala>l al-Di>n al-Suyu>t}i (w. 911 H./1505
M.) menyusun kitab Luba>b al-Nuqu>l Fi>> Asba>b al-Nuzu>l. Karya al-Wa>h}i>di> dan al-Suyu>t}i> ini
kemudian menjadi kitab populer dalam mengkaji ‘ilm asba>b al-nuzu>l. Lihat lebih lanjut, Jala>l al-
Di>n al-Suyu>t}i, Al-Itqa>n Fi>> ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Bayru>t: Da>r al-Fi>kr, 1399 H./1979 M.), 29, Jala>l al-
Di>n al-Suyu>t}i, Luba>b al-Nuqu>l Fi>> Asba>b al-Nuzu>l (Bayru>t-Libanon, Da>r Ih}ya>’ al-‘Ulu>m, t.t.), Abi
al-H{asan ‘Ali bin Ah}mad al-Wa>h}i>di> al-Naysa>bu>ri>, Asba>b al-Nuzu>l, (Bayru>t: Da>r al-Fi>kr, 1409
H./1988 M.).
32

suratnya di-tarti>b-kan sesuai dengan yang terdapat di lauh} al-mah}fu>z},90 sehingga


tampak adanya persesuain antara yang satu dengan yang lainnya.
Studi tentang muna>sabah atau korelasi ayat dengan ayat atau surat
dengan surat mempunyai arti penting dalam memahami makna Alquran serta
membantu dalam proses pen-ta’wi>l-an dengan baik dan cermat. Oleh sebab itu,
sebagian ulama mencurahkan perhatiannya mengenai masalah itu.91 Ilmu
muna>sabah bisa jadi berperan menggantikan ilmu asba>b al-nuzu>l, apabila
seseorang tidak mengetahui sebab turunnya suatu ayat, tetapi mengetahui
korelasi ayat dengan ayat yang lain.92
Bahkan, menurut Muh}ammad ’Ibn ‘Alawi al-Ma>liki> al-H}asani> seorang
pakar ilmu Alquran dari Makkah mengemukakan bahwa berkenaan dengan ayat
dan surat dalam Alquran, kesesuaian (muna>sabah) merupakan kaitan makna yang
menghubungkan kedekatan hubungan dan kedekatan bentuk, baik kaitan umum
atau khusus di antara ayat-ayat, baik yang rasional (’aqli), fisikal (h}issi) maupun
imajinatif (khaya>li>), tanpa mengupas lafaz-lafaz menurut makna peristilahan
bahasa maupun pemikiran filosofis. Sebagian besar kaitannya berkisar sekitar
sebab dan akibat (musabbab), sifat dan yang disifati (’illah wa ma’lu>l), antara
dua hal yang mirip (al-naz}irayn), jika ayat itu tidak saling bertemu, tidak

90
al-Zarka>shi> dan al-Zarqa>ni menyebutkan ada tiga macam tahapan: pertama, Alquran
diturunkan Allah ke Lauh} al-Mah}fu>z}, sesuai dengan ayat: “Bahkan yang didustakan mereka itu
adalah Alquran yang mulia. Yang (tersimpan) di Lauh} al-Mah}fu>z}” (al-Buru>j/85: 21-22); kedua,
Alquran diturunkan dari Lauh} al-Mah}fu>z} ke Bayt al-‘Izzah di langit dunia, sesuai dengan ayat,
“Sesungguhnya kami menurunkan Alquran di malam al-Qadar” (al-Qadar/97:1), ketiga, Alquran
diturunkan dari Bayt al-‘Izzah kepada Nabi Muh}ammad Saw dengan perantaraan Malaikat Jibril
AS., seperti tertera dalam ayat “Dia (Alquran) dibawa turun oleh al-Ru>h} al-Ami>n (Jibril) ke
dalam hatimu (Muh}ammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang
memberi peringatan. (al-Syu’ara>’/26: 193-194). Lihat, Muh}ammad Badr al-Di>n al-Zarkashi>, Al-
Burha>n Fi> ‘Ulum al-Qur’an (Bayru>t-Libanon, ‘Isa al-Babi al-H}alabi>, t.t.), 43-47, Lihat pula,
Muh}ammad ‘Abd al-‘Az}i>m al-Zarqa>ni, Mana>hil al-‘Irfan Fi>> ‘Ulu>m al-Qur’an (Bayru>t: ‘Isa al-Babi
al-H}alabi>, tt), j. 1, h. 43-47. Lihat pula, Nu>r al-Di>n al-‘Itr, ‘Ulu>m al-Qur’a>n al-Kari>m (Damsyik:
Mat}ba‘at al-S}abba>h}, 1416 H./1996 M.), 25-27.
Manna>‘ al-Qat}t}a>n, Maba>h}ith Fi>> ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Riya>d}, Mansyu>ra>t al-‘As}r al-H}adi>th,
91

1983 M/1393 H.), 97.


92
Masjfuk Juhdi, Pengantar Ulumul Qur’an (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1980), 167.
33

terdapat kecocokan, tentu berhadapan sebagai lawan (ad}idda>h).93 Misalnya,


menyebut rahmat lawan dari adzab, menerangkan surga dan neraka,
mengarahkan hati nurani setelah membangkitkan akal fikiran, dan memberikan
peringatan setelah mengutarakan ketentuan hukum. Ketentuan fitrah logika
mempunyai daya tangkap yang tajam dan lembut untuk dapat mengetahui
persesuaian antara ayat-ayat, maka segi-segi yang samar dan memerlukan
penjelasan tidak banyak lagi. Kecuali kaitan yang ada dalam surat-surat.
Satu di antara cabang dari ‘Ulu>m al-Qur’a>n yang membahas persesuaian
itu adalah ‘ilm al-muna>sabah.94 Timbulnya ilmu muna>sabah ini tampaknya
bertolak dari fakta sejarah bahwa susunan ayat dan tertib surah demi surah
Alquran sebagaimana yang terdapat dalam mus}h}af sekarang (mus}h}af ‘Uthma>ni>
atau yang lebih dikenal dengan mus}h}af al-Ima>m), tidak didasarkan fakta
kronologis. Kronologis turunnya ayat atau surah Alquran tidak diawali dengan
Q.S. al-Fa>tih}ah, tetapi diawali dengan lima ayat pertama dari Q.S. Al-‘Alaq.
Surah yang kedua turun adalah Q.S. al-Muddaththir. Sementara surah kedua
dalam mus}h}af yang digunakan sekarang adalah Q.S. al-Baqarah. Kenapa ayat-
ayat Alquran yang diturunkan kepada Nabi selama kurang lebih dua puluh tiga
tahun itu disusun tidak berdasarkan kronologi turunnya? Persoalan inilah yang
kemudian melahirkan kajian muna>sabah dalam konteks ‘Ulu>m al-Qur'a>n.
Menurut al-Syarahbani, sebagaimana dikutip al-Suyu>t}i>, bahwa orang
yang pertama mengenalkan studi muna>sabah dalam menafsirkan Alquran adalah
Abu> Bakar Abu> al-Qa>sim al-Naysabu>>ri>> (w. 324 H.).95 Namun saat ini, kitab tafsir

93
Muh}ammad ibn ‘Alawi> al-Ma>liki> al-H{asani>, Zubdah al-Itqa>n Fi>> ‘Ulu>m al-Qur’a>n
(Samudera Ilmu-ilmu Alquran Ringkasan Kitab al-Itqa>n Fi>> ‘Ulu>m al-Qur’a>n Karya al-Ima>m Jala>l
al-Di>n al-Suyu>t}i, terj. Tarmana Abdul Qasim (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2003), 225.
94
Dalam kamus Lisa>n al-’Arab, akar muna>sabah mempunyai banyak makna. Al-nisbah atau
al-tana>sub mengandung arti al-ta‘alluq (hubungan) dan al-irtiba>t} (pertalian). Al-muna>sabah
berarti kecocokan, kesesuaian dan kepantasan, Al-muna>sabah juga berarti al-musha>kalah. Lihat
Ibn Manz}u>r, Lisa>n al-‘Arab (Kairo: al-Da>r al-Mis}riyyah, t.th.), 253, lihat pula al-Fayruz Aba>di,
Kamu>s al-Muhi>th (Bayrut: Da>r al-H{ayl, t.th.), 96.
95
Muh}ammad Badr al-Di>n al-Zarkashi>, Al-Burha>n Fi>> ‘Ulu>m al-Qur’an (Kairo: Da>r al-Ih}ya>
Kutub al-‘Arabiyyah, 1957), 35, lihat pula, Jala>l al-Di>n al-Suyu>t}i, Al-Itqa>n Fi>> ‘Ulu>m al-Qur’a>n
(Kairo: Mus}t}afá> al-Ba>b al-H}alabi>, 1951), 108.
34

al-NaysAbu>>ri>> yang dimaksud menurut al-Dhahabi>, sukar dijumpai.96 Besarnya


perhatian al-Naysabu>>ri>> terhadap muna>sabah nampak dari ungkapannya
sebagaimana yang diuraikan al-Suyu>t}i sebagai berikut: ”Setiap kali ia (al-
Naysabu>>ri>>) duduk di atas kursi, apabila dibacakan Alquran kepadanya, beliau
berkata: ”Mengapa ayat ini diletakkan di samping ayat ini dan apa rahasia
diletakkan di samping surat ini?” beliau mengkritik para ulama Baghdad lantaran
mereka tidak mengetahui.”97
Tindakan al-Naysabu>>ri>> merupakan kejutan dan langkah baru dalam tafsir
waktu itu. Beliau mempunyai kemampuan untuk menyingkap kesesuaian, baik
antara ayat maupun antar surat, terlepas dari segi tepat atau tidaknya, sisi pro
dan kontra terhadap apa yang ia cetuskan. Satu hal yang jelas, beliau dianggap
sebagai penggagas ’ilm al-Muna>sabah. Dalam perkembangannya, muna>sabah
meningkat menjadi salah satu cabang dari ilmu Alquran. Ulama-ulama yang
datang kemudian menyusun muna>sabah secara khusus. Di antara kitab yang
khusus yang membicarakan muna>sabah adalah al-Burha>n fi> Muna>sabah Tarti>b
al-Qur’a>n susunan Ibn Ah}mad ibn Ibra>hi>m al-Anda>lu>si> (w. 807 H.). Menurut
pengarang Tafsir An-Nur, penulis yang paling baik mengupas masalah
muna>sabah adalah Burha>n al-Di>n al-Biqa>’‘i> dalam kitabnya yang berjudul Naz}m
al-Dura>r fi> Tana>sub al-A>ya>t wa al-Suwar.98
Dalam wacana kitab-kitab induk (ummaha>t al-kutub) dalam kajian ‘ulu>m
al-Qur’a>n, Imam Jala>l al-Di>n al-Suyu>t}i> dalam kitab Al-Itqa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n
membahas satu bab khusus yang diberi judul Fi> muna>sabat al-A>ya>t, sebelum
membahas kajian tentang ayat-ayat mutasya>bihat. Muh}ammad Badr al-Di>n al-
Zarkashi>, mengkaji soal muna>sabah dalam kitab al-Burha>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n
dalam satu bahasan khusus yang bertajuk ma‘rifat al-muna>sabah bain al-A>ya>t,
kajian muna>sabah ini ditulis setelah membahas saba>b al-nuzu>l. Subh}i al-S}a>lih}

96
Muh}ammad H{usayn al-Dhahabi>, Tafsi>r Ma’a>li>m al-Tanzi>l (Baghda>d: al-Mut}anna>, t.th.),
141.
97
Jala>l al-Di>n al-Suyu>t}i, Al-Itqa>n Fi>> ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Kairo: Mus}t}afá> al-Ba>b al-H}alabi>,
1951), 108.
T.M. Hasbi As-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tafsir (Jakarta: Bulan Bintang,
98

1965), 95.
35

dalam kitab Maba>h}ith fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, memasukkan pembahasan muna>sabah


dalam bagian ilmu asba>b al-nuzu>l, tidak dalam satu sub bab kajian tersendiri.
Manna>‘ al-Qat}t}a>n dalam kitab Maba>h}ith fi ‘Ulu>m al-Qur’a>n yang menulis lebih
awal ketimbang Subh}i al-S}a>lih} tetap menempatkan muna>sabah dalam satu sub
bahasan tersendiri yang ia masukkan dalam bab asba>b al-nuzu>l. Sebaliknya, Sa’id
Ramad}a>n al-Bu>t}i> tidak membahas muna>sabah dalam kitabnya yang berjudul Min
rawa>‘ al-Qur’a>n. M. Quraish Shihab et. all, dalam buku Sejarah dan ‘Ulu>m al-
Qur’a>n memasukkan kajian muna>sabah dalam bahasan pokok-pokok kajian
‘Ulu>m al-Qur’a>n.99
Dalam tataran praktisnya, ada beberapa istilah yang digunakan oleh para
mufassir mengenai pengistilahan muna>sabah. Fakhr al-Di>n al-Ra>zi menggunakan
istilah ta’alluq sebagai sinonim muna>sabah. Hal ini terlihat ketika ia menafsirkan
surah Hu>d ayat 16-17. Beliau menulis sebagai berikut: ”Ketahuilah bahwa
pertalian (ta‘alluq) antara ayat ini dengan ayat sebelumnya jelas, yaitu apakah
orang-orang kafir itu sama dengan orang yang mempunyai bukti yang nyata dari
Tuhan-nya; sama dengan orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia dan
perhiasannya dan orang itu tidaklah memperoleh di akhirat kecuali neraka”.100
Sayyid Qut}b dalam tafsir Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n menggunakan lafal irtiba>t}
sebagai pengganti istilah muna>sabah. Hal ini dijumpai ketika ia menafsirkan
surah al-Baqarah ayat 188 sebagai berikut: ”Pertalian (irtiba>t}) antara bagian ayat
tersebut jelas, yaitu antara bulan baru (ahillah) waktu bagi manusia dan haji serta
antara adat jahiliyyah khususnya dalam muna>sabah haji sebagaimana diisyratkan
dalam bagian ayat kedua”.101
Rashid Rid}a> menggunakan dua istilah, yaitu al-ittis}a>l dan al-ta‘li>l. Hal ini
terlihat ketika ia menafsirkan Q.S. al-Ma>’idah/4: 30 sebagai berikut: ”Hubungan

99
Lihat lebih lanjut, M. Quraish Shihab et. all., Sejarah dan ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Jakarta:
Pustaka Fi>rdaus dan Bayt al-Qur’an & Museum Istiqlal TMII, 2001), 75-78.
100
Fakhr al-Di>n al-Ra>zi, Tafsi>r Mafa>tih} al-Ghayb (Kairo, al-Khayriyyah, 1308 H.), 45.
101
Sayyid Qut}b, Tafsi>r Fi>> Z}ila>l al-Qur’a>n, (Bayru>t: Da>r al-Ih}ya>’ al-Tija>ri al-’Arabiyyah,
1386 H.), 99.
36

persesuaian (al-ittis}a>l) antara ayat ini dengan ayat sebelumnya sangat nyata...”102
Al-Alu>si menggunakan istilah tarti>b ketika menafsirkan kaitan surat Maryam dan
T{a>ha>, sebagaimana dalam tafsirnya: ”Aspek tartib itu, bahwa Allah
mengemukakan kisah beberapa orang nabi dalam surat Maryam, selanjutnya
menerangkan terperinci, seperti kisah Zakariya dan ‘I<sa. Begitu selanjutnya
mengenai nabi-nabi yang lain”.103 Mekanisme tinjauan tentang muna>sabah di
atas, pada waktu mendatang tentunya akan banyak diwarnai oleh mufassir
menurut bidang dan keahliannya masing-masing.
Dalam perjalanan sejarah, berkenaan dengan pengumpulan ayat-ayat
Alquran dalam arti penulisannya, prosesnya melalui tiga periode dalam
pertumbuhan Islam.104 Rasulullah memiliki beberapa orang pencatat wahyu. Di
antaranya, empat orang sahabat yang kemudian menjadi para khalifah rasyidin
(Abu> Bakar, ‘Umar, ‘Uthman105 dan ‘Ali), Mu’awiyah, Zayd bin Thabit, Khalid

102
Muh}ammad Rasyi>d Rid}a>, Tafsi>r al-Mana>r (Kairo: Da>r al-Manar, 1373 H.), 63.
103
Al-Alu>si, Tafsi>r Ru>h} al-Ma‘a>ni>> (Kairo: al-Mu>niriyyah, 1980), 134.
104
Ada tiga periode paling tidak, pertama, semasa hidup Rasulullah, periode kedua, pada
masa khalifah Abu Bakar al-S}iddi>q, dan periode ketiga pada masa khalifah ‘Uthma>n bin ‘Affa>n.
Lihat pembahsan lebih lanjut, Subh}i al-S}a>lih}, Maba>h}ith Fi>> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, (Bayrut-Libanon,
Da>r al-‘Ilm li> al-Mala>yi>n, 1988), 65-89, lihat pula, Manna>‘ al-Qat}t}a>n, Maba>h}ith Fi>> ‘Ulu>m al-
Qur’a>n, (Riya>d}, Mansyu>ra>t al-‘As}r al-H}adi>th, 1983 M/1393 H.), 119-134. Sedang menurut
penuturan Muh}ammad ‘Ali al-S}a>bu>ni>, seorang dosen fakultas Syari’ah dan Dirasah Isla>miyyah di
Makkah al-Mukarramah dalam karyanya, ia hanya membagi menjadi dua masa, pertama pada
masa Nabi dan kedua masa al-khulafa>’ al-ra>shidu>n. Lihat lebih lanjut, Muh}ammad ‘Ali al-S}a>bu>ni>,
al-Tibya>n Fi>> ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Bayrut: ‘A>lim al-Kutub, 1405 H./1985 M.), 49.
105
Secara khusus ‘Uthma>n membentuk panitia yang tediri dari empat orang yaitu Zayd bin
Thabit, Abdullah bin al-Zubayr, Sayd bin al-‘As}, dan Abd. al-Rah}ma>n bin Haris bin Hasyim.
Panitia ini diketuai oleh Zayd bin Thabit dan bertugas menyalin mus}h}af yang disimpan oleh Siti
H{afsah, sebab mus}h}af yang disimpan oleh H{afsah ini dianggap sebagai mus}h}af standar. Ketika
sudah berbentuk mus}h}af , kemudian disalin menjadi lima dan empat buah di antaranya dikirim ke
Makkah, Syam, Kufah dan Bas}rah, dan satu buah lagi ditinggalkan di Madinah sebagai pegangan
‘Uthma>n. Sedangkan mus}h}af H{afsah dikembalikan lagi ke dia. Setelah itu, Uthman
memerintahkan agar seluruh mus}h}af Alquran yang berbeda dengan mus}h}af yang dibuat oleh
Zayd, diperintahkan untuk dimusnahkan. Ada beberapa alasan mengapa mus}h}af selain buatan
Zayd dimusnahan. Pertama, menyatukan kaum muslimin kepada satu macam mus}h}af yang
seragam ejaan tulisannya; kedua, menyatukan bacaan, dan kalaupun masih ada perdebatan bacaan
tetapi bacaan itu tidak berlawanan dengan ejaan mus}h}af ‘Uthman; dan ketiga, menyatukan tartib
susunan surat-surat. Lihat, Syahminan Zaini dan Ananto Kusuma Seta, Bukti-bukti Kebenaran
Alquran (Jakarta: Kalam Mulia, 1993), 22.
37

bin al-Walid, ‘Ubai bin Ka‘ab, dan Thabit bin Qays.106 Beliau menyuruh mereka
untuk mencatat setiap wahyu yang turun, sehingga Alquran yang terhimpun di
dalam dada menjadi kenyataan tertulis. Pada masa nabi penulisan Alquran masih
sangat sederhana, yaitu di atas lontaran kayu, pelepah kurma, tulang dan batu.107
Pada masa Abu> Bakar dan ‘Umar ibn al-Khatta>b pembukuan Alquran, masih
pada tataran gagasan dan wacana. Baru pada masa ‘Uthma>n bin ‘Affa>n-lah
diyakini sebagai cikal bakal adanya rasm al-mus}h}af (tulisan mushaf).108 Panitia
empat yang pada zaman khalifah ‘Uthman dibebani tugas penulisan beberapa
naskah Alquran untuk disebarkan ke daerah-daerah Islam, menempuh cara khusus
yang direstui oleh khalifah tersebut, baik dalam penulisan lafazh-lafazhnya
maupun bentuk huruf yang digunakannya. Dan para ulama sepakat menamakan
dengan istilah rasm109 al-mus}h}af (tulisan mushaf). Ada pula yang mengaitkan
tulisan itu dengan nama khalifah yang memberi tugas, sehingga menyebutnya
“Rasam ‘Uthma>n” atau “al-Rasm al-‘Uthma>ni>”.110

106
Dalam penelitian Blachere sebagaimana dikutip Subh}i al-S}a>lih}, Blachere mengumpulkan
nama-nama para pencatat wahyu sebanyak 40 orang. Jumlah sebanyak itu didapat dari tulisan
Schwally, Behl dan Casanova yang mengumpulkan nama para pencatat wahyu dari teks hadis
yang tercantum di dalam T}abaqa>t ibn Sa’ad dan tulisan-tulisan al-T{aba>ri>, al-Nawa>wi, penulis
buku al-Si>rah al-H{ala>biyyah dan lain-lain. Subh}i al-S}a>lih}, Maba>h}ith Fi>> ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Bayrut-
Libanon, Da>r al-‘Ilm li> al-Mala>yi>n, 1988), 69.
107
Muh}ammad bin Muh}ammad Abu Syuhbah, al-Madkhal li> Dira>sah al-Qur’a>n al-Kari>m,
(Kairo: Maktabah al-Sunnah, 1992), 241.
108
Abu Bakar Atjeh memberikan informasi bahwa mus}h}af al-ima>m ada yang mengatakan
pertamakali disimpan di masjid Jami’ di Cordova, kemudian di bawa ke Fez, ibu kota Negara
Maroko. Ada juga yang mengatakan mus}h}af itu tersimpan di perpustakaan di Rusia, dan ada pula
yang menyangka bahwa mus}h}af al-ima>m itu masih tersimpan dalam perpustakaan India ofFi>ce.
Pada mus}h}af al-ima>m itu di dalamnya terdapat catatan “ written by Uthman, the son of Affan —
tertulis oleh ‘Usman bin Affan. Bagaimapun juga, mus}h}af itu masuk mus}h}af yang tertua, yang
sangat sederhana buatannya, ditulis dengan khat KhuFi> kuno dan belum di tulis diatas kertas atau
bahan kitab yang halus. Lihat, Abu Bakat Atjeh, Sejarah Alquran, (Jakarta: Ramadhani, 1950),
257-259.
109
Rasm berasal dari kata rasama-yarsumu, berarti menggambar atau melukis. Maksud dari
pembahasan ini adalah melukis kalimat dengan merangkai huruf-huruf hija’iyah. Lihat, Abd al-
Fatah Isma’il, Rasm al-Mus}h}af wa al-Ihtija>j bih Fi>> al-Qira>’ah, (Mesir: Maktabah Nahd}ah, 1960),
9.
Berkenaan dengan pembahasan ini Subh}i al-S}a>lih} menggunkan fas}l yang diberi tema ‘ilm
110

al-Rasm al-Qur’a>ni>, lihat, Subh}i al-S}a>lih}, Maba>h}ith Fi>> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, (Bayrut-Libanon, Da>r al-
‘Ilm li> al-Mala>yi>n, 1988), 275.
38

Wacana ’Ilmu al-Muna>sabah erat kaitannya dengan latar belakang


diskursus kedudukan tarti>b al-mus}ha} f (penyusunan surat-surat dalam mus}h}af al-
Qur’a>n).111 Perdebatan yang mengemuka sebagaimana telah diulas di awal adalah
apakah penyusunannya berdasar pada tawqi>fi> atau ijtiha>di. Jika penyusunannya
berdasarkan petunjuk Nabi atau yang lebih dikenal dengan tawqi>fi> maka
penyusunannya berdasarkan wahyu; jika penyusunannya berdasarkan ijtihad para
Sahabat (ijtiha>di>) maka penyusunannya bersifat bukan wahyu. Jika berdasarkan
wahyu maka penyusunannya tidak serampangan, tetapi mengandung nilai-nilai
filosofi atau hikmah yang sangat dalam, melebihi karya susunan yang dibuat

111
Kalau kita menengok sejarah, mus}h}af dalam beberapa waktu masih ditulis dengan
tangan di atas kulit kayu, atau kulit kambing. Dan bisa jadi sangat jarang didapatkan dan
kalaupun ada sangat mahal harganya. Perpustakaan Khadwiyah kepunyaan pemerintah Mesir,
menyimpan beberapa buah, ada yang lengkap dan ada juga yang kurang sempurna. Satu di
antaranya adalah mus}h}af yang ditulis oleh Imam Ja’far S}adiq, seorang keturunan kelima dari ‘Ali
bin Abi Thalib yang merupakan khalifah keemapat. Mus}h}af itu ditulis dengan khat KhuFi> atas
kulit Ghazal. Begitu juga terdapat mus}h}af yang ditulis di atas lembaran-lembaran dedauan
baliah. Kebanyakan wakaf yang diserahkan kepada perpustakaan yang besar-besar, supaya
dipelihara agar tidak hilang dan rusak. Ternyata, kemajuan khat ‘Arab juga membawa pengaruh
besar terhadap mus}h}af-mus}h}af yang ada. Sungguh kesenian memperindah, melaksanakan bunga-
bunga dan ukiran, menjilid dan menghiasi kulit-kulit mus}h}af pada waktu itu, sebagaimana kata
S.H. Inayatullah dalam Babliophilisme in den Islam, sebagaimana dikutip Abu Bakar Atjeh,
menjadi salah satu saluran tempat mengalirkan jiwa estetika dari ahli kebudayaan Islam pada
zaman itu. Bahkan, banyak terjadi beberapa orang raja Islam menulis Alquran dengan tangannya
sendiri untuk berbuat amal yang terbaik dan besar pahalanya. Disebut di sini misalnya, nama
kaligrafer Arab yang terkenal yaitu ‘Ali bin ‘Ubaydah al-Rayh}a>ni>, yang kemudian namanya
dikenal dalam ontology khat Arab, yakni al-Rayh}a>ni> yang hidup pada masa khalifah al-Makmun.
Kemudian lahir pula Fatih} ibn Muqlah. Kemudian, pada tahun 308 H. muncul mus}h}af yang
ditulis oleh Abi ‘Ali Muh}ammad Muqlah. Begitu juga sebuah mus}h}af dari tahun 690 yang ditulis
oleh Yaqut al-Musta’sim. Pada masa itu tenyata sudah mulai mempergunakan air emas untuk
menghiasi mus}h}af . Dalam perjalanan sejarahnya, ternyata Indonesiapun banyak ditemukan
mus}h}af tulisan tangan, hampir setiap daerah sesuai dengan ciri khas masing-masing daerah
tersebut. Misalnya Jawa Tengah dihiasi dengan kembang-kembang kebudayaan Jawa, sedang
peringatan-peringatan ditulis dengan condrosengkolo, angka tahun yang diucapkan dalam
kalimat. Bahkan umat Islam Indonesia pernah membuat sebuah mus}h}af besar yang
dipersembahkan kepada Negara Republik Indonesia untuk dijadikan mus}h}af imam, mus}h}af
pusaka yang terbesar. Mus}h}af ini besarnya satu kali dua meter, dan akan ditulis dengan ukiran-
ukiran kesenian nasional dan di dalamnya dicatat isi proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945,
dan kejadian penting lainnya dalam sejarah perjuangan republik. Dan pada 17 Ramadhan 1367,
bertepatan dengan malam Nuzu>l al-Qur’a>n 23 Juli 1948, yang dirayakan dengan resmi di Istana
Presiden RI Yogyakarta, yang dimulai dengan upacara penulisan huruf pertama oleh Soekarno
dan wakil presiden Mohammad Hatta. Cikal bakal inilah berkembang pesat mus}h}af di berbagai
daerah di Indonesia. Lihat, Abu Bakat Atjeh, Sejarah Alquran (Jakarta: Ramadhani, 1950), 257-
264.
39

manusia biasa. Maka pertanyaannya kemudian adalah apakah perlu muna>sabah


dalam penafsiran Alquran?
Dalam bahasan tarti>b al-a>ya>t wa al-suwar, tawqi>fi> yang dimaksud di atas
adalah hanya dalam hal ayat, tetapi bukan pada bahasan surat. Hal ini
sebagaimana Kha>lid ‘Uthma>n al-Sabt menulis dalam qa>‘idah sebagai berikut:
112
‫الرتتيب توقيفي يف األايت دون السور‬
Kalau melihat kaidah di atas, maka tidak ada jalan untuk berijtihad lagi
dalam hal tawqi>fi> susunan ayat, tetapi masih terbuka pintu ijtihad untuk tarti>b fi>
al-suwar.113 Penyusunan tarti>b al-mus}h}af yang bukan berdasarkan kronologi
turunnya (tarti>b al-nuzūl) pada hakikatnya mendorong untuk mengkaji susunan
setiap surat yang ada pada mus}h}af. Setiap sesuatu yang telah tersusun
mempunyai alasan kenapa susunannya seperti itu, atau pertanyaan lain yang
dapat dimunculkan apakah susunannya sudah memiliki hubungan yang serasi
antara satu dengan yang lainnya. Ukuran yang digunakan untuk menilai apakah
serasi atau tidak, adalah melalui kemampuan pengungkapan bahasa sebagai cita
rasa kemampuan yang dimiliki oleh manusia.114
Perdebatan akademiknya adalah para ulama berbeda pendapat dalam
menentukan keberadaan tarti>b al-mus}h}af. Apakah dasar penyusunannya atas
ijtihad para sahabat (ijtiha>di>), kalau demikian adanya muna>sabah itu penting
atau berdasarkan penyusunannya berdasarkan perintah, pengajaran, rumus,

112
Lihat, Kha>lid ‘Uthma>n al-Sabt, Qawa>’id al-Tafsi>r Jam‘an wa Dira>satan, (Mesir: Da>r Ibn
‘Affa>n, 1421 H.), 102., Lihat pula, Nu>r al-Di>n ‘Itr, ‘Ulu>m al-Qur’a>n al-Kari>m, (Damsyik:
Mat}ba‘ah al-S}aba>h}, 1996 M./1416 H.), 40, al-Zarkashi>, al-Burha>n Fi>> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, 206-209,
al-Zarqa>ni, Mana>hil al-‘Irfa>n, 339, 349, al-Suyu>t}i>, al-Itqa>n Fi>> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, 172, Muh}ammad
bin Sulayma>n al-Ka>Fi>>ji>, al-Taysi>r Fi>> Qawa>‘id ‘Ilm al-Tafsi>r, tah}qi>q, Na>s}ir bin Muh}ammad al-
Mat}ru>di> (Damsyik: Da>r al-Qalam, 1410 H.), 170, Muh}ammad al-T{a>hir bin ‘Asyu>r, al-Tah}ri>r wa
al-Tanwi>r, (Tu>nis: al-Da>r al-Tu>nisiyyah li> al-Nashr, t.t.), 371, Ah}mad bin ‘Abd. Al-H{ali>m bin
Taymiyah, Majmu>‘ al-Fata>wa>, Jam‘ wa tarti>b: ‘Abd. al-Rah}ma>n bin Qa>sim al-‘A>s}imi>, 396, ‘Abd
al-Rah}ma>n bin Abi> Bakr al-Suyu>t}i>, al-Tah}ri>r Fi>> ‘Ilm al-Tafsi>r, tah}qi>q: Fath}i> Fari>d, (Kairo: Da>r al-
Mana>r li> al-Nashr wa al-Tauzi‘, 1406 H.), 371.
113
Nu>r al-Di>n ‘Itr lebih bersepakat bahwa tarti>b al-suwar pada mush}}af ‘Uthman bin ‘Affan
itu kebanyakan tauqi>Fi>> . Lihat, Nu>r al-Di>n ‘Itr, ‘Ulu>m al-Qur’a>n al-Kari>m, (Damsyik: Mat}ba‘ah
al-S}aba>h}, 1996 M./1416 H.), 43.
114
Muh}ammad Badr al-Di>n al-Zarkashi>, Al-Burhan Fi> ‘Ulum al-Qur’a>n (Bayru>t, ‘I<>sa al-Babi
al-H}alabi>, t.t.), 257.
40

isyarat dan petunjuk Nabi Saw (tauqi>fi>). Kalau tauqi>fi, maka tidak perlu adanya
muna>sabah karena peristiwa yang terjadi saling berlainan, Alquran juga
diturunkan dan diberi hikmah secara tawqi>fi> dengan kata lain Alquran turun atas
petunjuk dan kehendak Allah.
Pendapat pertama, mayoritas ulama berpandangan bahwa surat-surat
Alquran disusun berdasarkan tauqi>fi>. Sudah merupakan kepastian dari Rasulullah
membaca berbagai surat menurut susunan ayatnya masing-masing di dalam
shalat, atau pada khutbah Jum’at, disaksikan para sahabatnya. Kenyataan itupun
merupakan bukti terang yang menyatakan bahwa susunan dan urutan ayat-
ayatnya memang sesuai dengan kehendak dan petunjuk dari Nabi sendiri. Maka,
dalam mendukung pendapat pertama, hal ini tidak mungkin apabila sahabat nabi
menyusun urutan ayat-ayat yang berbeda dengan bacaan Rasulullah Saw. Hal itu
merupakan kepastian yang tidak dapat diragukan kebenarannya (mutawa>tir).115
Susunan dan urutan suratpun berdasarkan kehendak dan petunjuk
Rasulullah SAW Sebagaimana diketahui, Rasulullah hafal semua ayat dan surat
Alquran. Bisa jadi, kita tidak mempunyai bukti yang menyatakan sebaliknya.
Dengan kata lain, tidaklah masuk akal yang menyatakan, urutan surat Alquran
disusun oleh beberapa orang sahabat Nabi atas dasar ijtihad mereka sendiri.
Lebih tidak masuk akal lagi kalau ada pendapat yang menyatakan bahwa
beberapa surat disusun urutannya berdasarkan ijtihad para sahabat dan beberapa
surat lainnya disusun urutannya menurut kehendak dan petunjuk Rasulullah saw.
Pelopor pendapat ini adalah Abu>> Ja‘far ibn Nuh}a>s (w. 338 H.), al-Kirma>ni>, Ibn al-
H{as}ar (w. 611 H.), Abu>> Bakr al-Anba>ri> (271-328 H.) dan al-Bagawi> (w. 286 H.).
Abu>> Ja‘far ibn Nuh}as> seperti yang dikutip al-Zarkashi>>,116 berpendapat bahwa
penyusunan surat yang ada pada mus}h}af berasal dari Nabi SAW berdasarkan
hadis sebagai berikut:

115
Jala>l al-Di>n al-Suyu>t}i, Al-Itqa>n Fi>> ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Kairo: Mus}t}afá al-Ba>b al-H}alabi>,
1951), 105, bandingkan pula dengan, Subh}i al-S}a>lih}, Maba>h}ith Fi>> ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Bayru>t, Da>r
al-‘Ilm li> al-Mala>yi>n, 1988), 71.
116
Al-Zarkashi>>, Al-Burha>n fi> ‘Ulu>m al-Qur'a>n, 259.
41

‫حدثنا عمران القطان عن قتادة عن أىب املليح اهلذيل عن واثلة بن األسقع أن النيب صلى هللا عليه‬
‫وسلم قال أعطيت مكان التوراة السبع الطوال وأعطيت مكان الزبور املئني وأعطيت مكان اإلجنيل‬
117)‫أمحد‬ ‫املثاىن وفضلت ابملفصل ( رواه‬
Artinya: Nabi Muh}ammad SAW bersabda: “Saya diberikan
tempat Taurat dalam al-Sab‘a al-T{iwa>l, tempat ZAbu>>r dalam surat al-
Mi’u>n, tempat Inji>l dalam surat al-Matha>ni> dan diberikan keutamaan
dalam surat al-Mufas}s}al”. (H.R. Ah}mad).
Hadis tersebut menurut Abu>> Ja’far ibn Nuh}as menunjukkan bahwa
penyusunan Alquran berasal dari Nabi SAW dan kegiatan ini berlangsung ketika
Nabi masih hidup, dan sementara pengumpulan Alquran dalam satu mus}h}af
adalah berdasarkan petunjuk yang sama. Al-Kirma>ni>, seperti yang dikutip al-
Zarkashi>>,118 berpendapat bahwa susunan surat seperti dalam mus}h}af berasal dari
Allah yang tertulis di lauh} al-mah}fu>z}. Setiap tahunnya Jibril memeriksa seluruh
ayat yang telah diturunkan, dan pada tahun wafatnya Rasulullah, Jibril
memeriksa ayat-ayat dan susunan suratnya dua kali. Abu>> Bakr al-Anba>ri>, seperti
yang dikutip al-Zarkashi>>,119 berpendapat bahwa Jibril memberi petunjuk pada
Nabi Muh}ammad tentang tempat ayat dan surat. Penyusunan surat sama halnya
dengan penyusunan ayat dan huruf yang berasal dari Nabi Muh}ammad SAW.
Maka, menurutnya, siapa yang mengakhirkan atau mendahulukan susunannya
maka ia telah merusak naz}m al-Qur’a>n.
Dari pendapat di atas, bahwa Rasulullah mempunyai peranan dominan
dalam penentuan dan penyusunan ayat dan surat. Bukti lain misalnya, semasa
hidup Rasulullah banyak surat telah diketahui susunan dan urutannya, seperti
tujuh surat yang panjang-panjang (al-sab‘ al-t}iwa>l), surat-surat yang berawalan
ha> mi>m (al-h}awa>mi>m), dan surat-surat mufas}s}al,120 sehingga susunan berdasarkan

117
Ah}mad ibn H{anbal, Musnad Ah}mad ibn H{anbal (Bayru>t: Al-Maktab al-Isla>mi>, t.th.),
107.
118
Al-Zarkashi>>, Al-Burha>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, 259.
119
Al-Zarkashi>>, Al-Burha>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, 259.
Kha>lid ‘Uthma>n al-Sabt, Qawa>’id al-Tafsi>r Jam’an wa Dira>sah (Mesir: Da>r Ibn ‘Affa>n,
120

1421 H.), 102.


42

kehendak dan petunjuk Rasulullah jauh lebih besar, dan yang berdasarkan ijtihad
amat sedikit.
Ibn al-H{as}ar, seperti yang dikutip oleh al-Zarkashi>,121 berpendapat bahwa
penyusunan surat dan penempatan ayat berdasarkan wahyu, Rasulullah SAW
memerintahkan untuk menempatkan ayat pada tempat yang telah ditentukannya
dan ini menimbulkan keyakinan bahwa penyusunannya berdasarkan penukilan
mutawa>tir dari bacaan Rasulullah SAW dan ijma’ para Sahabat mengenai
penyusunannya di dalam mus}h}af. Al-Baghawi> dalam Sharh} al-Sunnah
berpendapat bahwa para Sahabat menulis ayat-ayat Alquran seperti yang mereka
dengar dari Rasulullah SAW tanpa mendahulukan, mengakhirkan atau mereka
tidak menyusun yang bukan berdasarkan petunjuk Rasulullah SAW, dan susunan
tersebut tidak ada yang ditambah atau dikurangi. Rasulullah SAW mengajarkan
susunan surat seperti yang terdapat pada mus}h}af sekarang ini. Tugas para
Sahabat hanya mengumpulkan dalam satu tempat, bukan menetapkan susunan
suratnya. Karena Alquran ditulis di lauh} al-mah}fu>z} dan susunannya sama seperti
dalam mus}h}af dan diturunkan sekaligus ke langit dunia dan kemudian diturunkan
secara berangsur sesuai dengan kebutuhan.122
Dalam analisis al-Zarkashi>, perbedaan itu bersumber dari lafaz. Satu
pihak bilang bahwa urutan Alquran itu disusun berdasar kehendak dan petunjuk
Rasulullah, sedang pihak lain berpendapat bahwa urutan surat disusun berdasar
pada ijtihad para sahabat sendiri. Sebagaimana al-Zarkashi> mengutip pendapat
Imam Ma>lik sebagai berikut: “Mereka menyusun urutan Alquran menurut apa
yang mereka dengar sendiri dari Rasulullah SAW”, tetapi Imam Ma>lik juga
mengatakan: bahwa “Urutan surat-surat Alquran disusun atas dasar ijtihad
mereka sendiri”. Jadi masalah perbedaan itu, kembali kepada apakah kehendak
dan petunjuk Rasululah mengenai urutan surat itu berupa ucapan atau hanya
praktek semata-mata.123

121
Al-Zarkashi>>, Al-Burha>n fi>> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, 259.
122
Al-Baghawi>, Sharh} al-Sunnah al-S}ah}a>bah, (Bayru>t: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), 50.
123
Al-Zarkashi>>, Al-Burha>n Fi> `Ulu>m al-Qur’a>n, 257.
43

Namun demikian, nampaknya telah jelas bahwa urutan surat itu


berdasarkan bimbingan dari Rasulullah SAW (tauqi>fi>). Sebab, ijtihad para
sahabat itu hanya dilakukan bagi penyusun mus}h}af milik pribadi. Memang
mereka lakukan dengan kemauan sendiri, tetapi mereka tidak pernah berusaha
mengharuskan orang lain mengikuti jejaknya atau mengharamkan perbuatan
orang lain yang tidak sesuai dengan perbuatan mereka. Begitu juga, tidak
dicatatkan ayat-ayat untuk orang lain, tetapi semata untuk mereka pribadi.
Karena itu, ketika umat Islam sepakat bulat menerima susunan Alquran yang
dilakukan oleh khalifah ‘Uthma>n bin ‘Affa>n, secara serentak mereka tinggalkan
catatan mus}h}af masing-masing. Di sini mulai ada titik terang, yaitu kalau mereka
yakin bahwa penyusunannya berdasarkan pada ijtihad mereka, terserah kemauan
mereka sendiri, tentulah mereka akan tetap berpegang pada susunan menurut
catatan mereka masing-masing, dan mereka tidak akan mau menerima urutan
yang disusun oleh ‘Uthma>n bin ‘Affa>n.
Pendapat kedua yang menyatakan susunan dan tartib surat didasarkan
atas ijtiha>di.124 Ada beberapa persepsi yang berdasarkan bahasan ini. Pertama,
mus}h}af pada catatan Alquran tidaklah sama. Kedua, sahabat pernah mendengar
Nabi membaca Alquran berbeda dengan tertib surat yang terdapat dalam
Alquran. Ketiga, adanya perbedaan pendapat mengenai tertib surat ini
menunjukkan tidak adanya petunjuk yang jelas atas tertib yang dimaksud. Alasan
lain yang mengemuka bahwa susunan surah sebagai ijtiha>di tampak tidak kuat.
Riwayat tentang sebagian sahabat pernah mendengar Nabi membaca Alquran
berbeda dengan tarti>b mus}h}af yang sekarang dan tentang adanya catatan mus}h}af
sahabat yang berbeda bukanlah mutawa>tir. Tarti>b mus}h}af sekarang berdasarakan
riwayat mutawa>tir. Kemudian, tidak ada jaminan bahwa semua sahabat yang
memiliki catatan mus}h}af itu hadir bersama Nabi setiap saat turun ayat Alquran.
Karena itu, kemungkinan tidak utuhnya tarti>b mus}h}af al-Qur’a>n sahabat sangat
besar. Para sahabat setelah mereka bersepakat, kemudian memastikan bahwa

124
Perdebatkan tentang urutan surat dikupas tuntas juga oleh al-Zarqa>ni. Menurut Zarqa>ni
bahwa tarti>b susunan ayat dan surat adalah Ijtiha>di. Lihat, Muh}ammad ‘Abd al-‘Az}i>m al-Zarqa>ni,
Mana>hil al-‘Irfa>n fi>> ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Bayru>t: Da>r al-Fi>kr, 1988), 348.
44

susunan ayat adalah tauqi>fi. Ulama yang mendukung pendapat kedua ini antara
lain Imam Ma>lik, Abu> bakr al-T{ib al-Baqilla>ni>, al-Zarkashi> dan al-Suyu>t}i.
Al-Zarkashi>125 mengutip pendapat Imam Ma>lik mengatakan bahwa para
sahabat menyusun Alquran itu berdasarkan apa yang mereka dengar dan lihat
dari Nabi, sedang susunan dalam penyusunan surat Alquran, mereka lebih
mengedepankan atas ijtihad mereka sendiri. Rajab Farjani sebagaimana dikutip
dalam buku Sejarah dan Ulu>m al-Qur’a>n dikatakan bahwa tidak pernah
ditemukan riwayat nabi mengenai ketentuan pola penulisan wahyu.126 Bahkan

125
Al-Zarkashi>>, Al-Burha>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, 259.
126
Beberapa hadis yang mendukung pendapat ini adalah:
- Larangan menulis sesuatu yang datang dari Nabi
Abu> Sa‘i>d al-Hudhri meriwayatkan dari Rasulullah Saw.. Beliau bersabda,
‫ال تكتبوا عىن ومن كتب عىن غري القران فليمحه‬

“Janganlah kalian menulis (hadi>th) dariku. Dan barangsiapa menulis dariku selain
Alquran, maka hendaknya ia menghapusnya.” Nawawi, S}ah}i>h} Muslim bi Sharh} Nawawi,
(Kairo: Da>r al-H}adi>th, 1994), 129.
Diriwayatkan dari Abu> Hurayrah, ia berkata, “ Rasulullah Saw. mendatangi kami dan
kami sedang menulis Hadis. Kemudian beliau bertanya, “Apa yang sedang kalian tulis?”.
Kami menjawab, “Kami sedang menulis Hadis yang kami dengar dari engkau, ya
Rasu>lalla>h!.” Lantas beliau bersabda,
‫كتاب غري كتاب هللا اتدرون؟ ما ضل االمم قبلكم اال مبا اكتتبوا من الكتب مع كتاب هللا‬

“Tulisan selain Kitab Allah?, tahukah kalian, bangsa-bangsa sebelum kalian tidak sesat
kecuali karena mereka menulis tulisan lain bersama Kitab Allah.” , Nawawi, S}ah}i>h} Muslim
bi Sharh} Nawawi, (Kairo: Da>r al-H}adi>th, 1994), 129.
- Perintah yang membolehkan menulis sesuatu yang datang dari Nabi
Abdulla>h bin ‘Amr bin al-‘As} Ra. berkata, “Saya menulis segala yang saya dengar dari
Rasulullah Saw. Saya hendak menghapalnya, namun orang-orang Quraysh melarangku. Mereka
berkata, “Engkau menulis segala sesuatu yang engkau dengar dari Rasulullah Saw., sedangkan
beliau manusia biasa yang kadangkala berbicara dalam keadaan marah dan senang”. Saya pun
berhenti menulis. Kemudian saya teringat beliau ketika menunjukkan jari ke mulutnya seraya
bersabda,
‫اكتب فوالذي نفسى بيده ما خرج منه اال حق‬

“Tulislah, maka demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidak keluar darinya
(mulut) kecuali kebenaran.”
Diriwayatkan dari Abu> Hurayrah bahwa seorang sahabat Ans}a>r menyaksikan Hadis
Rasulullah Saw., namun ia tidak hafal. Ia bertanya kepada Abu> Hurayrah, dan ia pun
memberitahukan kepadanya. Kemudian ia mengadukannya kepada Rasulullah Saw. perihal
lemahnya daya hafalnya. Kemudian Nabi Saw. bersabda,
‫استعن على حفظك بيمينك‬
45

sebuah riwayat dikutip oleh Rajab Farjani: “Sesungguhnya Rasulullah SAW


memerintahkan menulis Alquran, akan tetapi tidak memberikan petunjuk teknis
penulisannya, dan tidak pula melarang menulisnya dengan pola-pola tertentu.
Karena itu, ada perbedaan model-model penulisan Alquran dalam mus}h}af-mus}h}af
mereka. Ada yang menulis suatu lafal Alquran sesuai dengan bunyi lafal itu, ada
yang menambah atau menguranginya, karena mereka tahu bahwa itu merupakan
hanya cara. Karena itu dibenarkan menulis mus}h}af dengan pola-pola penulisan
masa lalu atau ke dalam pola-pola baru”.127
Fauzul Iman128 mengutip ‘Izzuddi>n (w. 660) berpendapat bahwa tidak
semua susunan surat dan ayat dalam Alquran mengandung muna>sabah. Kalaupun
ada kesesuaian antara ayat dan surat, dengan kriteria adanya hubungan antara
kalimat dalam kesatuan pada bagian awal dan bagian akhir. Sekiranya tidak
memenuhi kriteria itu, maka dianggap sebagai pemaksaan (takalluf) dan hal itu
tidak disebut dengan muna>sabah.
Dengan demikian, kewajiban mengikuti pola penulisan Alquran versi
Mus}h}af ‘Uthma>ni diperselisihkan para ulama. Ada yang mengatakan wajib,
dengan alasan bahwa pola tersebut sesuai petunjuk dari Nabi (tauqi>fi>). Pola itu,

“Bantulah hafalanmu dengan tangan kananmu! (menulis)”. Muh}ammad Aja>j al-


Khat}i>b, Al-Sunnah Qabla al-Tadwi>n, trj., AH. Akram Fahmi (Jakarta: Gema Insani Press,
1999), 148.
Diriwayatkan dari Anas bin Ma>lik bahwa ia berkata, “Rasulullah Saw. bersabda,
‫قيدوا العلم ابلكتاب‬

“Ikatlah ilmu dengan tulisan!”. Muh}ammad Aja>j al-Khat}i>b, Al-Sunnah Qabla al-
Tadwi>n, Terjemahan. AH. Akram Fahmi (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), 148.
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abba>s bahwa ia berkata, “Ketika Nabi Saw. sakit keras, beliau
bersabda,
‫ايتوىن بكتاب اكتب لكم كتااب ال تضل بعده‬

“Bawakan kepadaku sebuah buku, aku akan menuliskan sesuatu untuk kalian sehingga
kalian tidak akan sesat sesudahnya.”. Muh}ammad ‘Aja>j al-Khat}i>b, Al-Sunnah Qabla al-
Tadwi>n, Terjemahan. AH. Akram Fahmi (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), 148.
127
Lihat, M. Quraish Shihab, Sejarah dan ‘Ulu>m al-Qur’a>n, (Jakarta: Pustaka Fi>rdaus dan
Bayt al-Qur’an & Museum Istiqlal TMII, 2001), 95, lihat pula, Muh}ammad Rajab Farjani, Kayfa
Nata’addab Ma‘a al-Mus}h}af, (t.tp., Da>r al-I‘tis}a>m, 1978, 166.
128
Fauzul Iman. “Munasabah Al-Qur’an.” Jurnal Panji Masyarakat, no. 843, November,
(2005), 73.
46

terus dipertahankan walupun menyalahi pola aturan rasm ‘Uthma>ni> yang telah
baku. Bahkan Imam Ah}mad ibn H{anbal dan Imam H{akim sebagaimana dikutip
Farjani mengharamkan menulis Alquran menyalahi dari rasm ‘Uthma>ni>.
Bagaimapun, dalam rentang sejarah yang cukup panjang, rasm ‘Uthma>ni> sudah
merupakan kesepkatan mayoritas ulama.129
Bagi ulama yang tidak mengakui rasm ‘Uthmani sebagai rasm tauqi>fi,
berpendapat bahwa tidak ada masalah jika Alquran ditulis menggunkan pola
penulisan standar (rasm imla>’i>). Demikian al-Sa‘id mengatakan.130 Pada sisi ini,
terlihat pandangan moderat. Sehingga, bisa diambil pemahaman bahwa soal
penulisan diserahkan kepada pembaca. Kalau pembaca lebih merasa mudah
dengan penulisan standar (rasm imla>’i>), maka ia dapat menulisnya dengan pola
tersebut, karena penulisan itu hanya simbol pembacaan, dan tidak memengaruhi
makna Alquran.
Bahkan, ada pendapat yang ketiga yang mengatakan, serupa dengan
golongan pertama, kecuali surat al-Anfa>l dan Bara>’ah yang dipandang bersifat
ijtiha>di. Dan salah satu penyebab perbedaan pendapat ini adalah mus}h}af-mus}h}af
ulama Salaf yang urutan suratnya bervariasi. Pendukung pendapat ketiga ini di
antaranya: al-Qa>di> Abu>> Muh}ammad ibn At}iyyah, al-Baihaqi> dan Ibn H{ajar al-
‘Asqalāni> (773-852 H.).131 Pendapat Al-Baihaqi> terlihat dalam karyanya al-
Madkhal, ia berpendapat bahwa “Alquran pada masa Nabi telah tersusun surat-
surat dan ayat-ayatnya seperti susunan yang ada pada mus}h}af kecuali surat al-
Anfa>l dan Bara>’ah”.132
Dalam rangka menguatkan pendapat ketiga ini, tampaknya perlu penulis
kemukakan bagaimana perjalanan sejarah pemeliharaan Alquran. Paling tidak ada

129
Lihat, M. Quraish Shihab, Sejarah dan ‘Ulu>m al-Qur’a>n, 95, lihat pula, Muh}ammad Rajab
Farjani, Kayfa Nata’addab Ma’a al-Mus}h}af, 166.
130
Labib al-Sa‘id, al-Jam‘ al-S}auti> li> al-Qur’a>n al-Kari>m (Mesir: Da>r al-Ka>tib al-‘Ara>by,
t.th.), 373.
131
Muh}ammad ibn Muh}ammad Abu> Syuhbah, al-Madkhal li Dira>sa>h al-Qur’a>n al-Kari>m
(Mesir: Maktabah al-Sunnah, 1992), 293-296.
132
Al-Bayhaqi>, Al-Madkhal ila> al-Sunan al-Kubra> (Kuwayt: Da>r al-Khulafa>’ li> al-Kita>b al-
Isla>mi>, 1404), 237.
47

lima tahapan.133 Pertama, tahap pencatatan di masa Nabi,134 kedua, tahap


penghimpunan di masa Abu> Bakar,135 ketiga tahap penggandaan di masa
‘Uthma>n bin ‘Affan,136 keempat tahap pencetakan,137 dan kelima, tahap
pengajaran di berbagai dunia Islam.
Berkaitan dengan pendapat ketiga yang menegaskan bahwa susunan
Alquran itu bersifat tawqi>fi> dengan pengecualian surat al-Anfa>l dan Bara>’ah,
dalam analisis penulis dengan membaca realitas dalam sejarah ternyata pada
masa Abu> Bakar ketika sudah terbentuk panitia penghimpunan Alquran, ternyata
terungkap bahwa Zayd bin Thabit dan panitia lainnya tidak memiliki catatan

133
Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an (Jakarta: Pustaka Fi>rdaus, 2000),
49-65.
134
Sejarah telah mencatat bahwa pemeluk agama Islam pada waktu awal masih banyak yang
buta aksara, kendati ada yang bisa baca tulis. Bahkan Nabi sendiri dikenal sebagai seorang yang
ummy seperti termaktub dalam Q.S. al-Jumu’ah/62: 2. Secara luas M.M. A‘z}ami> mengulas satu
bab khusus yang diberi judul tulisan dan ejaan bahasa Arab dalam Alquran, satu bab di antaranya
mengupas gaya tulisan pada zaman Nabi Muh}ammad Saw. Lihat lebih lanjut, M.M. al-A‘z}ami>,
The History of The Qur’anicText From Revelation to Compilation A Comparative Study The
Old and New Testaments, (Sejarah Teks Al-Qur’a>n dari Wahyu Sampai Kompilasi: Kajian
Perbandingan dengan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, terj. Sohirin Solihin et. all, (Jakrta:
Gema Insani Press, 2005), 143-164.
135
Penghimpunan Alquran dalam bentuk mus}h}af baru dilakukan pada masa Abu Bakar (11-
13 H./632-634 M.), tepatnya setelah terjadi peperangan Yamamah tahun 12 H./633 M. Dalam
sejarah, perang Yamamah ini, terbunuh sekitar 70 orang syuhada yang hafal Alquran. Bahkan,
sebelum perang Yamamah terjadi pula wafatnya 70 qurra>’ pada peperangan di sekitar sumur
Ma’unah, yang terletak dekat kota Madinah. Atas kejadian ini, Umar yang dikenal dengan
ketajaman analisisnya mengunsulkan untuk menghimpun Alquran. Dan saat klalifah Abu
Bakarlah terbentuk panitia penghimpunan Alquran yang diketua oleh Zayd bin Thabit dan
beranggotakan Uthman, Ali bin Abi Thalib dan ‘Ubay bin Ka’b.
136
Dalam rentang sejarah, ketika tampuk kekuasaan khalifah di tangan ‘Uthman bin ‘Affan,
singkatnya, ketika ‘Uthman mengerahkan tentaranya ke arah Syam dan Irak untuk memerangi
penduduk Armenia dan Azerbaijan, tiba-tiba Hudhayfah ibn Yaman memberitahu bahwa di
beberapa wilayah terjadi perselisihan mengenai tila>wah (bacaan) Alquran. Dan Hudhayfah
mengusulkan untuk meredam perselisihan itu dengan cara menyalin dan memperbanyak Alquran
yang terhimpun pada masa Abu Bakar. Kemudian ‘Uthman meminta suh}uf yang ada di tangan
H{afsah untuk disalin dan diperbanyak. Dan dalam rangka itulah, ‘Uthman membentuk
kepanitiaan untuk penyalinan Alquran yang diketuai Zayd bin Thabit dan berangotakan Abdullah
bin al-Zubayr, Sa‘id ibn al-‘As}, dan Abd al-Rah}ma>n ibn al-H{ari>th ibn Hisham. Dalam
pengarahannya ‘Uthman mengatakan bahwa apabila terdapat perbedaan pendapat antara Zayd
yang bukan orang Quraysh dengan tiga orang pembantunya yang semuanya berasal dari suku
Quraysh mengenai tila>wah, maka hendaklah Alquran itu ditulis menurut qira>’at Quraysy,
mengingat bahasa awal Alquran adalah bahasa Arab Quraysy.
137
Amin Suma mencatat bahwa Alquran pertama kali di cetak di kota Hanburg, Jerman
pada abad ke-17 M. lihat, Muh}ammad Amin Suma, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an (Jakarta: Pustaka
Fi>rdaus, 2000), 63.
48

dua ayat terakhir dari surat al-Taubah/Bara’ah. Keterangan ini bisa ditelaah dari
hadis yang menyangkut penghimpunan Alquran pada masa Khalifah Abu> Bakar
al-S}iddi>q yang diriwayatkan al-Bukhari di bawah ini:

‫عن عبيد بن السباق أن زيد بن اثبت رضي هللا قال أرسل ايل أبو بكر مقتل أهل اليمامة فاذا عمر‬
‫ أن القتل قد استحر يوم اليمامة بقراء‬:‫بن اخلطاب عنده قال أبو بكر رضي هللا ان عمر أاتين فقال‬
‫القران واين أخشى أن يستحر القتل ابلقراء ابملواطن فيذهب كثري من القران واين أرى أن تؤمر جبمع‬
‫ قلت لعمر كيف تفعل شيئا مل يفعله رسول هللا صلى هللا عليه وسلم؟ قال عمر هذا وهللا‬،‫القران‬
‫ قال زيد‬،‫ فلم يزل عمر يراجعين حىت شرح هللا صدري لذالك ورأيت يف ذالك الذي رأى عمر‬،‫خري‬
‫ انك رجل شاب عاقل ال نتهمك وقد كنت تكتب الوحي لرسول هللا صلى هللا عليه‬:‫قال أبو بكر‬
‫وسلم فتتبع القران فامجعه فو هللا لو كلفوين نقل جبل من اجلبال ما كان أثقل على مما أمرين به من‬
‫مجع القران قلت كيف تفعلون شيأ مل يفعله رسول هللا صلى هللا عليه وسلم؟ قال هو وهللا خري فلم‬
،‫يزل أبو بكر يراجعين حىت شرح هللا صدري للذي شرح له صدر أيب بكر و عمر رضي هللا عنهما‬
‫فتتبعت القران امجعه من العسب وللخاف وصدور الرجال حىت وجدت آخر سورة التوبة مع أيب‬
‫ لقد جاءكم رسول من أنفسكم عزيز عليه ما عنتم حىت‬:‫حزمية األنصارى مل أجدها مع أحد غريه‬
‫ مث عند حفصة بنت‬،‫ مث عند عمر حياته‬،‫ فكانت الصحف عند أيب بكر حىت توفاه هللا‬،‫خامتة براءة‬
.)‫عمر رضي هللا عنه (رواه البخاري‬
Artinya: “Dari Ubaid bin al-Sabbaq RA, sesungguhnya Zayd bin
Thabit RA, berkata: telah datang Abu> Bakar kepadaku, di medan ahli
Yamamah. Ketika itu Umar berada di sampingnya. Kemudian Abu> Bakar
berkata: “Sesungguhnya Umar mendatangiku, kemudian ia berkata:
“Sesungguhnya peperangan pada hari Yamamah ini benar-benar amat
(dahsyat) dengan (gugurnya) para qurra>’, dan sesungguhnya aku khawatir
akan (terjadi lagi) peperangan dahsyat dengan (gugurnya) para qurra’ di
beberapa medan perang (lainnya), sehingga banyak ayat-ayat yang hilang
(karenya). Dan sesungguhnya aku berpandangan untuk mengusulkan
kepadamu supaya mengumpulkan Alquran”. Abu> Bakar bertanya kepada
Umar: mengapa engkau melakukan sesuatu yang tidak pernah
diperintahkan oleh Rasulullah Saw.? Umar menjawab: “Demi Allah! Ini
adalah perbuatan baik”. Maka tidak henti-hentinya Umar menjumpai
(mendesak) aku sampai Allah melapangkan hatiku untuk (menerima) yang
demikian itu. Dan aku berpendapat yang demikian itu sebagaimana
pendapat Umar.” Zayd berkata: Abu> Bakar berkata: “Sesungguhnya
kamu (Zayd) adalah seorang pemuda yang cerdas, kami tidak menuduhmu
berprasangka buruk kepadamu, dan sesungguhnya kamu adalah penulis
49

wahyu Alquran untuk Rasulullah Saw., maka pelajarilah Alquran,


kemudian kumpulkan. Kemudian Zayd berkata: Demi Allah seandainya
mereka membebani aku untuk memindahkan gunung dari beberapa
gunung, tidaklah lebih berat bagiku daripada yang diperintahkan Abu>
Bakar kepadaku untuk mengumpulkan Alquran”. Aku menanyakan
kepada Abu> Bakar: “mengapa engkau melakukan sesuatu yang tidak
diperintahkan Rasulullah Saw.,?” Abu> Bakar menjawab: “Demi Allah itu
adalah perbuatan baik. Maka Abu> Bakar tidak henti-hentinya berulangkali
mendesak aku sampai Allah melapangkan hatiku sebagaimana Allah
melapangkan hati Abu> Bakar RA dan Umar RA, maka aku mempelajari
Alquran dan mengumpulkan dari pelepah kurma dan batu-batu serta
hafalan para sahabat, sampai aku mendapatkan catatan akhir surat al-
Taubah pada Abi H{uzaimah al-Ans}a>ri, aku tidak menemukannya pada
seorangpun selain dia, yaitu ayat:
“Maka suh}uf itu disimpan oleh Abu> Bakar sampai dia wafat,
kemudian pada Umar ibn al-Khatta>b selama masa hayatnya, kemudian di
simpan oleh H{afsah binti ‘Umar RA. (H.R. al-Bukhari).

Berdasarkan riwayat hadis di atas, tercatat dalam sejarah bahwa yang


pertama kali mempunyai gagasan brilian untuk mengumpulkan Alquran adalah
‘Umar bin al-Khattab, walaupun pada awalnya gagasan ini langsung ditolak oleh
Abu> Bakar. Tercatat pula bahwa orang yang pertama kali mengumpulkan dan
menulis Alquran adalah Zayd bin Tha>bit atas komando dari Abu> Bakar.
Kemudian, realitas atas hilangnya dua ayat terakhir pada surah Bara’ah
ternyata mengundang banyak persepsi baik dari kalangan ilmuan Timur maupun
Barat. Misalnya, celah kekurangan dan kekeliruan ini dijadikan sasaran kritik
orientalis untuk mengAbu>rkan otentisitas Alquran.138 Kendati sudah langsung di

138
Di antara upaya otentisitas pasca wafatnya Rasulullah dilakukan dengan merujuk kepada
para sahabat, para tabi’in dan para ahli bidang ini. Sungguh telah menjadi pertolongan Allah
untuk sunnah Nabi-Nya, bahwa Tuhan telah memanjangkan umur sejumlah tokoh sahabat dan
para ahli agama mereka untuk menjadi marji’ (tempat kembali, acuan) yang dengan mereka orang
banyak mendapatkan pedoman. Setelah dusta berkecamuk masyarakat bersandar pada sahabat itu
untuk ditanyai, mula-mula tentang apa yang mereka tahu sendiri, kemudian mereka diminta
fatwa tentang hadis-hadis dan cerita masa lalu yang mereka pernah dengar di masa lalu. Imam
Muslim dalam muqaddimah kitab sahihnya sebagaimana dikutip oleh Mus}t}afá al-S}iba’i berasal
dari Ibn Abi Malikah yang menceritakan “Kami pernah menyurat kepada Ibn Abbas agar ia
menuliskan sesuatu untukku, namun ia menghindar dariku, katanya, “Seorang muda pemberi
nasihat! Sungguh telah kupilihkan baginya beberapa perkara, dan aku menghindar dari padanya.”
Lalu kata Ibn al-Malikah selanjutnya, “Maka ia pun mengajak meneliti keputusan hukum ( qad}a>)
yang dibuat oleh Ali, lalu ditulis banyak hal dari padanya, namun ada sesuatu tertentu
dilewatinya, dan berkata, Demi Tuhan, Ali tidak akan membuat keputusan seperti ini kecuali jika
benar-benar sesat.” Maka untuk tujuan seperti itulah banyak para tabi’in melakukan perjalanan
jauh dari kota ke kota, guna mendengarkan hadis-hadis yang mantap dari perawi yang dapat
50

jawab oleh riwayat di atas, yakni telah diupayakan penulisan dua ayat yang
hilang, ternyata Hudzaifah memiliki dua catatan tersebut. Maka, jelaslah sudah
perdebatan muna>sabah di atas merupakan bentuk kajian analisis yang tidak
pernah habis dari ilmu Allah, dan tidak menutup kemungkinan akan muncul
kajian baru dalam pengembangan kajian ‘ulu>m al-Qur’a>n ke depan. Karena
sesungguhnya bila menelaah Alquran akan selalu muncul segudang pertanyaan
baru yang tidak kunjung segera terjawab.
Setelah mengurai penjelasan di atas, di bawah ini akan dikemukakan
muna>sabah dalam perspektif ilmuwan Alquran klasik, modern, Ilmuwan barat
sampai pandangan orientalis. Dalam memetakan hal ini meminjam bahasa Harun
Nasution, ketika membahas aspek sejarah dan kebudayaan, ia membagi
pengistilahan itu dengan terminologi klasik antara tahun 650-1250 M. Masa ini
dikategorisasikan kembali menjadi tiga. Pertama, masa kemajuan Islam I tahun
650-1000 M.139, masuk di dalamnya masa khulafa al-Ra>syidun, Bani Umayyah,
Bani ‘Abba>s, dan masa disintegrasi tahun 1000-1250 M.140 Kedua, periode
pertengahan, yang masuk kategorisasi ini adalah masa kemunduran I tahun 1250-
1500 M., dan masa tiga kerajaan besar tahun 1500-1700 M., kemudian dibagi lagi
menjadi dua yaitu fase kemajuan tahun 1500-1700, dan fase kemunduran II tahun
1700-1800 M., dan ketiga, periode modern141 tahun 1800 M.142

dipercaya. Telah kita ketahui misalnya, perjalanan Jabir ibn Abdullah ke Syiria dan Abu Ayyub
ke Mesir guna mendengarkan hadis. Sa’id ibn al-Musayyab menceritakan bahwa ia dahulu
bepergian siang malam untuk mencari hadis. Pengistilahan ini, betapa untuk mencari hadis saja
sangat penuh dengan kehati-hatian, apalagi Alquran sebabagai pedoman utama. Lihat lebih
lanjut, Mus}t}afá > al-Siba>‘i>, al-Sunnah wa Maka>natuha> Fi>> al-Tasyri>’ al-Isla>mi>, (Sunnah dan
Peranannya dalam Penetapkan Syariat Islam) terj. Nurchalis Madjid (Jakarta: Pustaka Fi>rdaus,
1995), 57-58.
139
Masa ini merupakan masa ekspansi, integrasi dan ke-emasan Islam. Dalam hal ini,
ekspansi sebelum Nabi Muh}ammad wafat di tahun 632 M., seluruh semenanjung Arabia telah
tunduk ke bawah kekuasaan Islam. Sedang, ekspansi ke daerah-daerah luar Arabiya dimulai
zaman khalifah pertama.
140
Disintegrasi dalam bidang politik sebenarnya telah mulai terjadi pada akhir zaman Bani
Umayyah, tetapi memuncak pada zaman Bani Abbas terutama setelah khalifah-khalifah menjadi
boneka dalam tangan tentara pengawal.
141
Periode ini merpakan zaman kebangkitan Islam. Ekspedisi Napoleon di Mesir berakhir di
tahun 1801 M., membuka mata dunia Islam, terutama Turki dan Mesir, akan kemunduran dan
kelemahan umat Islam di samping kemajuan dan kekuatan Barat.
51

C. MUNASABAH PERSPEKTIF PAKAR ILMUWAN ALQURAN DARI


KLASIK HINGGA PRA-MODERN
Dalam berbagai kitab tafsir, kita banyak menemukan metode memahami
Alquran yang berawal dari ulama generasi terdahulu. Mereka telah berusaha
memahami kandungan Alquran, sehingga melahirkan apa yang kita kenal dengan
metode pemahaman Alquran. Kajian-kajian ini, berkisar pada usaha-usaha
menemukan nilai-nilai sastra, fiqih, kalam, aspek sufistik-filosofisnya,
pendidikan dan sebagainya, yang tidak mungkin disebut satu persatu. Dengan
metode yang sudah ada, dapatkah kita menggunakan pada masa sekarang?
Misalnya, mungkinkah menggunakan metode para ulama us}u>l untuk membahas
dalil-dalil serta menarik kesimpulan hukumnya seperti dalam hukum syar’i?
Metode komprehensif apakah lebih memungkinkan khithab qur’a>ni> mendekati
kepada tema-tema seperti fikih yuridis-formal, administrasi, pengenalan akan
hukum jatuh bangunnya bangsa terdahulu, dinamika dan kesadaran keagamaan
serta berbagai pengaruhnya terhadap masyarakat, baik sosial maupun individual.
Ataukah sebaliknya, metode komprehensif tersebut malah menjauhkan akar
masalah dari esensi dan tujuan Alquran.
Kajian mendalam berkenaan dengan muna>sabah Alquran telah banyak
dilakukan oleh beberapa kalangan ulama ulu>m al-Qur’a>n dari klasik, sampai pra
modern. Yang paling konsen mengupas tuntas sebagaimana telah disebutkan di
awal adalah di antaranya: Abu> Bakar al-NaysAbu>>ri>> (w. 324 H), Imam al-Zarkashi>
(745-794 H.), Ibn Ah}mad ibn Ibra>hi>m Al-Andalu>si> (w. 807 H.), Al-Suyu>t}i> (849-
911 H./1455-1505 M.), Burha>n al-Di>n al-Biqa>’‘i> (w. 885 H./1480 M.), dan al-
Zarqa>ni> (w. 1367 H.).
Pada dasarnya perdebatan muna>sabah sebagaimana telah diterangkan di
awal, ada dua persoalan pokok yaitu berkaitan dengan tarti>b al-suwar dan tarti>b
al-a>ya>t. Al-Suyu>t}i> dalam al-Itqa>n memberikan informasi bahwa paling tidak ada

142
Lihat, Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Beberapa Aspeknya (Jakarta: UI Press,1985),
56-89.
52

tiga sumber kronologis pewahyuan surat. Pertama, dari Ibnu ’Abbas dan kedua,
bersumber dari manuskrip karya ‘Umar ibn Muh}ammad ibn ‘Abd al-Ka>fi, dan
ketiga dari ‘Ikrimah dan H{usein bin Abi> al-H{asan. Dari sumber Ibnu ‘Abbas dan
‘Umar ternyata berbeda dengan mus}h}af yang ada sekarang, tersebutkan hanya
113 surat, minus surat al-Fa>tih}ah, yang terbagi kembali pada periode Makkah
(Makiyyah) 85 surat, dan Madinah (Madaniyah) 28 Surat. Sedang sumber ketiga
dari ‘Ikrimah sedikit tampil beda dengan 111 surat, 82 masuk kategori Makiyyah
dan 29 Madaniyah. Yang menarik dari ketiga sumber ini, tidak diketemukan
surat al-Fa>tih}ah.143
Bisa jadi ada timbul pertanyaan, di mana posisi surat al-Fa>tih}ah? Bila
melacak lebih jauh Ibnu Nadi>m (w. 990 H.) dalam al-Fihris, juga tidak
mengungkap di mana keberadaan surat al-Fa>tih}ah, Ibnu Nadi>m hanya
memberikan informasi yang sama dari sumber pertama dan kedua seperti al-
Suyu>t}i>.144 Jawaban atas pertanyaan di mana posisi surat al-Fa>tih}ah akan
terungkap bila menelaah lebih jauh versi kronologis Mesir yang menambahkan
satu yakni 86 surat makiyyah dan 28 surat Madaniyyah. Dari dua sumber di atas
yang hanya menyebut 85, sedang versi Mesir menambah satu menjadi 86, dan
posisi surat al-Fa>tih}ah, masuk pada urutan kelima. Sehingga, bisa dikatakan
bahwa versi Mesir ini lebih masuk ke dalam sumber yang berasal dari Ibnu
‘Abbas.145
Tokoh yang dibilang pencetus pertama kajian muna>sabah adalah al-
NaysAbu>>ri> (w. 324 H), namun sebagaimana Muh}ammad H{usayn al-Dhahabi>
memaparkan karya ini sayangnya sudah tidak ditemukan lagi. Paling tidak ada
dua ulama klasik yang dijadikan sampel dalam memotret pemikiran muna>sabah,
pertama, al-Zarkashi> dan kedua al-Biqa>’‘i>>.

143
Lihat lebih lanjut Jala>l al-Di>n al-Suyu>t}i, al-Itqa>n Fi>> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, 21-22.
144
Ibnu Nadi>m, al-Fi>hrist, ( Bayru>t, Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1997).
145
Lihat Abu> H{asan ‘Ali ibn Ah}mad al-Wa>h}idi>, Asba>b al-Nuzu>l (Bayru>t, Da>r al-Fi>kr, 1991).
53

al-Zarkashi> (w. 794 H.) munculnya jauh setelah al-NaisAbu>>ri (w.324 H.).
Kajian al-Zarkashi>> (745-794 H.)146 tentang muna>sabah tertuang dalam kitab al-
Burha>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n. Ada dua pola muna>sabah yang dikenalkan oleh al-
Zarkashi>>. Pertama, pola muna>sabah antar surat dan kedua muna>sabah antar ayat.
‘al-Zarkashi>> berpendapat bahwa susunan surat itu tawqi>fi> (‫)أن ترتيب السور توقيفي‬.147 al-

Zarkashi> dalam memberikan analisa muna>sabah susunan surah mengangkat


pembuka surat dengan akhir surat sebelumnya. Misalnya surah al-Ana>m diawali
dengan al-h}amd (pujian) bagi Allah yang telah menciptakan langit dan bumi, dan
pada akhir surat sebelumnya yaitu surah al-Ma>’idah diakhiri dengan
mengagungkan Allah yang memiliki kerajaan langit dan bumi.148 Begitupun
dengan surat al-H{adi>d yang dimulai dengan tasbi>h}, memiliki korelasi dengan
surah al-Wa>qi‘ah yang diakhiri dengan perintah bertasbih. Contoh yang lain al-
Zarkashi> ketengahkan awal surah al-Baqarah yang berbicara tentang tidak ada
keraguan di dalam Alquran (...‫ ذالك الكتاب الريب فيه‬.‫)امل‬, mempunyai muna>sabah dengan

surah sebelumnya yang memohon agar diberi petunjuk (‫)إهدان الصراط املستقيم‬.149

Setelah memberikan penjelasan tentang muna>sabah antar surah yang


dikemukakan al-Zarkashi>> di atas, di sini akan dibahas mengenai pertautan antar
ayat. Dalam hal ini ada 3 analisis yang diberikan oleh al-Zarkashi>>, bahwa ayat
memiliki muna>sabah. Pertama, terdapat kalimat bersambung (ma‘t}u>fah), kedua,
sisipan (istit}ra>d), dan ketiga perumpamaan (tamthi>l).150 Dalam menjelaskan

146
Al-Zarkarkasyi lahir di Mesir pada tahun 745 H. dan wafat tahun 794 H.. Ia mempunyai
nama lengkapnya al-Ima>m Badr al-Di>n Muh}ammad bin ‘Abdulla>h bin Baha>dur al-Zarkashi>>. Ia
pakar dibidang ‘ulu>m al-Qur’a>n. tafsi>r, Fi>qh, h}adi>th dan us}ul> al-di>n, hal ini terlihat dari puluhan
karya yang telah dilahirkannya. Pen-tah}qi>q, Muh}ammad Abu> al-Fad}l Ibra>hi>m dalam pengantar
kitab al-Burha>n Fi>> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, disebutkan ada 32 karya yang telah ditulisnya. Di antaranya
al-Burha>n Fi>> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, I‘la>m al-Sa>jid bi Ah}ka>m al-Masa>jid, al-Bah}r al-Muh}i>t} fi>> Us}ul> al-
Fi>qh, al-Tanqi>h li al-Fa>z} al-Ja>mi‘ al-S}ah}ih> }, Sharah} al-Arba‘i>n al-Nawa>wiyah, Fata>wa> al-Zarkashi>>
dan lain-lain. Lihat Badr al-Di>n Muh}ammad bin ‘Abdulla>h al-Zarkashi>>, al-Burha>n Fi>> ‘Ulu>m al-
Qur’a>n (Mesir: Da>r Ih}ya>’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1376 H./ 1957 M.), 3-12.
147
al-Zarkashi>>, al-Burha>n Fi>> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, 37.
148
al-Zarkashi>>, al-Burha>n Fi>> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, 38.
149
al-Zarkashi>>, al-Burha>n fi>> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, 38.
150
al-Zarkashi>>, al-Burha>n fi>> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, 40-41.
54

analisa pertama dan kedua, al-Zarkashi>> memberikan 3 ayat dari dua surah yang
berbeda yaitu Q.S. al-H{adi>d (57): 4, Q.S. al-Baqarah (2): 245 dan 189.
”...Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar
daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya
...”
”...Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-
Nya-lah kamu dikembalikan”.
”Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah:
"Bulan sabit itu adalah tanda-tanda (penunjuk) waktu bagi manusia dan
(bagi ibadat) haji; dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari
belakangnya...”
Pada dua ayat contoh di atas (Q.S. al-H{adi>d: 4 dan al-Baqarah: 245),
terdapat huruf ‘athaf yang kedua-duanya saling beriringan. Selain beriringan, Al-
Zarkashi> menyebutkan adakalanya muna>sabah antar ayat yang menggunakan
indikasi ‘athaf tetapi menunjukkan saling bertentangan (al-mad}a>ddah). Misalnya
menyebut rahmat Allah setelah azab, menyebut hal yang disenangi setelah yang
dibenci, menyebut janji dan ancaman setelah ketetapan hukum.151
Selanjutnya, al-Zarkashi>> dalam menjelaskan analisis kedua, menggunakan
Q.S. 2: 189, sisipan (istit}ra>d) dalam ayat ini dalam penjelasannya adalah ketika
disebutkan mengenai waktu haji, dalam ayat yang sama disebutkan pula
mengenai kebiasaan orang-orang Arab ketika mereka berada di musim haji. Jadi,
kalau ditelaah lebih jauh, ada satu pertanyaan, kemudian dijawab dengan dua
jawaban dalam satu ayat. Hal ini sama misalnya dengan pertanyaan mengenai air
laut, kemudian dijawab oleh Nabi bahwa air laut itu suci dan halal bangkainya.152
Contoh model terakhir adalah perumpamaan (tamthi>l), ayat yang
dijadikan penguat oleh al-Zarkashi>> dalam menerangkan model ketiga ini adalah
Q.S. al-Isra> (17): 1-3 dan 7-8. Sekilas ayat satu sampai tiga terkesan tidak ada
relevansinya, bahkan mungkin dianggap tidak logis. Ayat pertama bercerita

151
al-Zarkashi>>, al-Burha>n fi>> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, 40.
152
al-Zarkashi>>, al-Burha>n fi>> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, 41.
55

tentang isra’ mi’raj, ayat kedua tentang nabi Musa dan ayat ketiga tentang nabi
Nuh. Akan tetapi jika ditelisik lebih dalam, pada hakikatnya antara ayat satu
dengan yang lainnya memiliki kesatuan ide yang tidak terpisahkan. Meskipun
terjadi peralihan ide dari ayat satu yang berbicara tentang isra’ ke ayat kedua
yang membicarakan pemberian kitab kepada Musa. Namun demikian, muna>sabah
keduanya bisa ditemukan dari cerita kedua kisah itu yang menunjukkan
kemahakuasaan Allah bagi hambanya yang bisa jadi sukar dicerna oleh akal
manusia. Dengan kuasa-Nya mengetahui kisah-kisah orang musyrik terdahulu,
sementara umat Nabi Muh}ammad tidak mengetahuinya, seperti halnya kisah
Nabi Musa. Adapun keterkaitan dengan ayat berikutnya yakni Nabi Nuh, karena
keturunan bani Israil sebagai cucu nabi Nuh. Dan dari keterkaitan dengan Nuh
itulah bani Israil masih ada sampai sekarang, karena Nuh dan pengikutnya pernah
diselamatkan oleh Allah dari bencana banjir yang menimpa kaum Nuh ketika itu.
Dengan hal tersebut mereka diperintahkan untuk bersyukur, seperti yang
disandangkan kepada Nuh sebagai hamba yang bersyukur (’abdan syaku>ra>) pada
akhir ayat ketiga. Selang tiga ayat kemudian Allah tuturkan dengan bahasa yang
indah ”Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik untuk dirimu sendiri.
Dan jika kamu berbuat jahat, maka (kerugian kejahatanmu) untuk dirimu
sendiri”. Ayat berikutnya melanjutkan ”mudah-mudahan Tuhan kamu
melimpahkan rahmat kepadamu, tetapi jika kamu melakukan kejahatan, niscaya
kami kembali (mengadzabmu). Setelah panjang lebar menceritakan kisah dan
pesan di atas, ayat berikutnya kembali mengalihkan pembahasan kepada hikmah
diturunkannya Alquran, karena sesungguhnya Alquran merupakan tanda
kebesaran Allah yang agung.153
Dari beberapa contoh yang diketengahkan di atas, terlihat bahwa al-
Zarkashi> memiliki kepekaan sekaligus kelihaian membuat korelasi antara satu
ayat dan ayat berikutnya. Ini semakin menguatkan bahwa Alquran memiliki
hubungan yang sangat erat antara yang satu dan yang lainnya.

153
al-Zarkashi>>, al-Burha>n fi>> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, 41-43.
56

Ulama klasik yang kedua adalah Burha>n al-Di>n al-Biqa>’‘i>> (809-885


H/1406-1480 M),154 dia cukup kapabel mewakili maha karya yang menerapkan
muna>sabah, pemikirannya terangkum dalam karya khusunya yang berjudul Naz}m
al-Dura>r fi> Tana>sub al-A>ya>t wa al-Suwar. Dalam karya ini al-Biqa’ai> banyak
155

menyebut tokoh yang mempunyai peranan penting dalam pengembangan ilmu


muna>sabah. Hal ini berarti bahwa al-Biqa’i> bukan orang yang pertama yang
memulai kajian muna>sabah. Al-Biqa>‘i> menyebut tokoh misalnya al-‘As}i>mi>,156 al-
Zarkashi>, al-Ra>zi (606 H/1210 M.),157 dan lain-lain. Dalam pandangan al-Biqa>’‘i>
ilmu muna>sabah pada umumnya adalah suatu kajian ilmu yang berupa
mencari hubungan logis antara satu susunan ayat atau ide sehingga diperoleh

154
Al-Biqa>‘i> lahir di Kurbah Biqa’ yang mempunyai nama panjang al-Shaykh al-Ima>m al-
‘A>lim al-‘Alla>mah al-Mufassir Burha>n al-Di>n Abi> al-H{asani Ibra>hi>m bin ‘Umar bin H{asan al-
Rubat} bin ‘Ali bin Abi> Bakr al-Biqa>‘i> al-Sya>fi‘i>, kepakarannya sangat banyak, ia ahli bahasa,
mufassir, ahli hadis, dan sejarawan. Rihlah ilmiyyahnya, ia ke Damaskus, Bayt al-Maqdis, Kairo
dan wafat di Damaskus. Pada cetakan Da>r al-Kutub al-Isla>mi>, Kairo, kitab ini terdiri dari 21 jilid.
Lihat Burha>n al-Di>n Abi> al-H{asani Ibra>hi>m bin ‘Umar al-Biqa>’i>, Naz}m al-Durar Fi>> Tana>sub al-
A>ya>t wa al-Suwar (Kairo: Da>r al-Kutub al-Isla>mi>, 1999), h. 1. Karya ini kemudian dikaji serius
oleh Muhammad Quraish Shihab dalam disertasinya, sehingga memperoleh gelar doktor di
Universitas al-Azhar, dengan predikat summa cumlaude. Karya disertasinya ini tersimpan di
perpustakaan Pusat Studi Al-Quran, Jakarta. Lihat pula, Umar Rid}a Kahalah, Mu'jam al-
mu’allifi>n Tara>jum Mus}annif al-Kutub al-'Arabiyyah, (Bayru>t: Da>r Ih}ya> Tura>s al-'Arabi, t.th.),
71.
155
Kitab ini yang digambarkan oleh M. Quraish Shihab sebagai ensiklopedi tentang
sistematika Alquran. lihat, M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Pesan, Kesan dan Keserasian
al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), xxiv.
156
Nama lengkapnya adalah ‘alla>mah Abi Ja’far Ah}mad ibn Ibra>hi>m ibn al-Zubayr al-
T{aqafi>> al-A>s}i>mi>, ia mengarang kitab al-Mu’allam bi al-Burha>n fi>> Tarti>b Suwar al-Qur’a>n. Ia
dikenal dengan pakar hadis, bahasa, qiraat, mufassir dan sejarah. Dalam penilaiannya kitab ini
hanya mengurai permasalahan urutan surat semata, sedang urutan ayat belum tersentuh. Lihat
haji Khali>fah, Kashfu al-Zhunu>n ‘an Asma> al-Kutub wa al-Funun (New York: Johnsons Print,
1964), 241, lihat pula al-Baghda>di, I>d}a>h al-Maknu>n (Bayrut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1982), 5.
157
Fakhr al-Di>n al-Ra>zi adalah orang pertama yang berbicara tentang tema surat-surat
Alquran. dalam magnum opus tafsir Mafa>tih} al-Ghayb, sebagaimana dikutip oleh M. Quraish
Shihab mengemukakan bahwa siapa yang memperhatikan susunan ayat-ayat Alquran dalam satu
surat, maka ia akan mengetahui bahwa di samping merupakan mukjizat dari aspek kefasihan
lafaz-lafaz serta keluhuran kandungannya, Alquran juga merupakan mukjizat dari aspek susunan
dan urutan ayat-ayatnya. Setiap surat menurut al-Ra>zi mempunyai tujuan atau tema utama.
Lihat, M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an (Jakarta:
Lentera Hati, 2006), xxii.
57

keterkaitan antara satu ayat atau kandungannya dengan ayat atau kandungan
sebelum dan sesudahnya.158
Dalam pembahasan awal surah al-Fa>tih}ah, al-Biqa’‘i>> menjelaskan
berkaitan kajian muna>sabah dengan mengutip pendapat gurunya Syaikh al-
Ima>m Abu>> al-Fad}l Muh}ammad bin Abi ‘Abdilla>h Muh}ammad al-Mishda>li> al-
Maghribi> (820-865 H.) sebagai berikut:

‫أألمرالكلي املفيد لعرفان مناسبات األايت يف مجيع القران هوأنك تنظرالغرض الذي سيقت له‬
‫ وتنظرماحيتاج إليه ذالك الغرض من املقدمات [وتنظر إىل مراتب تلك املقدمات] يف القرب‬،‫السورة‬
‫ وتنظر عند اجنرار الكالم يف املقدمات إىل االحكام واللوازم التابعة له اليت‬،‫والبعد من املطلوب‬
‫تقتضي البالغة شفاء العليل يدفع عناء االشرتاف إىل الوقوف عليها؛ فهذا هواألمر الكلي املهيمن‬
‫ وإذا فعلته تبني لك إن شاء هللا وجه النظم مفصال بني‬،‫على حكم الرابط بني مجيع أجزاء القران‬
159
‫كل آية وآية يف كل سورة وهللا اهلادى‬
“Prinsip pokok yang mengantar kepada pengetahuan tentang
hubungan antar ayat dalam seluruh Alquran, adalah mengganti tujuan
yang oleh karenya surah diturunkan, serta melihat apa yang dibutuhkan
untuk tujuan tersebut menyangkut mukaddimah dan pengantarnya, dan
memperhatikan pula tingkat-tingkat pengantar itu dari segi kedekatan dan
kejauhannya. Selanjutnya, ketika berbicara tentang pengantar itu anda
hendaknya melihat pula apa yang boleh jadi muncul dalam benak
pendengar (ayat-ayat yang dibaca) menyangkut hukum atau hal-hal yang
berkaitan dengannya, sehingga terpenuhi syarat bala>ghah (kesempurnaan
uraian), terhapus dahaga yang haus, serta (pendengar) terhindar dari
keingintahuan (akibat jelasnya uraian). Inilah prinsip pokok yang
menentukan hubungan antar semua bagian-bagian Alquran. Jika anda
melaksanakannya, insya Allah akan menjadi jelas bagi anda hubungan
keserasian ayat, surat dan surat, dan Allah Maha Pemberi Petunjuk.

Setelah al-Biqa>‘i>> mengutip pendapat gurunya di atas, kemudian al-Biqa>‘i>>


berkomentar bahwa “Terbukti bagi saya, setelah menggunakan kaidah di atas,
dan ketika saya masuk pada kajian surah Saba’ pada tahun ke sepuluh sejak
permulaan buku (Naz}m al-Durar), terbukti bahwa nama setiap surat menjelaskan
tujuan/tema umum surah itu, karena nama segala sesuatu menjelaskan hubungan

158
Burha>n al-Di>n al-Biqa>‘i, Naz}m al-Durar, 5.
159
Burha>n al-Di>n al-Biqa>‘i, Naz}m al-Durar, 18.
58

antara ia dengan yang dinamainya, serta tanda yang menunjukkan secara umum
apa yang dirinci di dalamnya (surah itu)”. Sebagaimana ia tulis sebagai berikut:

‫وقد ظهر يل ابستعمال هلذه القاعدة بعد وصوىل إىل سورة سبأ ىف السنة العاشرة من إبتدائي يف‬
‫عمل هذا الكتاب أن اسم كل سورة مرتجم عن مقصودها ألن اسم كل شيئ تظهر املناسبة بينه‬
‫وبني مسماه عنوانه الدال إمجاال على تفصيل مافيه‬
Telaah al-Biqa>‘i>> dalam beberapa hal memang telah menemukan sekaligus
meyakinkan pembaca tentang keserasian Alquran. Bahkan, ia mampu
membuktikan bahwa ada hubungan yang serasi dalam sistematika Alquran, baik
dari kata demi kata dalam ayat-ayatnya, maupun surah demi surah dan antara
kandungan surat dalam Alquran, misalnya ada muna>sabah antara surah al-Fa>tih}ah
sebagai surat pertama dengan surat al-Na>s sebagai surat terakhir yang diawali
dengan qul a‘u>dhu. Alasannya, bukankah sebelum membaca surah al-Fa>tih}ah kita
diperintahkan ta‘a>wudh memohon perlindungan-Nya160 seperti dalam Q.S. al-
Nah}l (16): 98, sehingga bisa jadi surah al-Na>s yang kedudukannya surah terakhir
dalam mus}h}af, bisa juga menjadi surah yang pertama.161 Tidak heran,
keseriusannya mencari dan mengolah kata sekaligus meramunya mencari titik ke-
muna>sabah-an Alquran terbukti setelah melakukan telaahan secara mendalam
yang menghabiskan waktu kurang lebih empat belas tahun dalam menyusun kitab
Naz}m al-Durar fi> Tana>sub al-A>ya>t wa al-Suwar. Bahkan dalam pengantar
tafsirnya, ia merenung berbulan-bulan memikirkan hubungan perurutan ayat,
seperti ketika ia mengamati Q.S. A>li ‘Imra>n (3): 121 dan al-Nisa>’ (4).
Al-Biqa>‘i>> menegaskan bahwa siapa yang memahami kehalusan dan
keindahan susunan kalimat yang terdapat pada surat ini ia akan mengetahui
bahwa Alquran adalah mukjizat dari segi kefasihan lafaznya dan kemuliaan
makna yang terkandung di dalamnya. Kemukjizatannya juga disebabkan oleh

160
Burha>n al-Di>n al-Biqa>’i, Naz}m al-Durar, 438.
161
Quraish Shihab mengibaratkan hubungan masing-masing bagian Alquran dengan lainnya
bagai kalung mutiara yang tidak diketahui di mana ujungnya dan di mana pangkalnya, atau
seperti vas bunga yang terangkai oleh aneka kembang ber-warna-warni, tapi pada akhirnya
menghasilkan pemandangan yang sangat indah. Lihat, M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah,
xxvi., Lihat pula M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Qur’an Ditinjau dari Aspek Kebahasaan Isyarat
Ilmiah dan Pemberitaan Ghaib (Bandung: Mizan, 1998), 251-242.
59

susunan kata dan suratnya. Demikian pulalah hendaknya pendapat orang yang
mengakui kemukjizatan Alquran dari segi uslubnya.

D. MUNASABAH DALAM TINJAUAN ILMUWAN ALQURAN


KONTEMPORER
Ketika berbicara tentang kajian Alquran, atau lebih spesifik lagi pada
tataran Alquran kontemporer, paling tidak terdapat tiga bidang kajian yang mesti
dibedakan, pertama, teks orisinil Islam, kedua, pemikiran Islam yang dianggap
sebagai bentuk interpretasi atas teks, dan ketiga, perwujudan praktek sosio-
historis yang berbeda-beda. Modernitas yang didefinisikan sebagai jalan hidup
(way of life) industrial dan urban khususnya berpihak kepada susunan konsep
Barat yang berakar pada abad ke-19. Sementara modernisme menurut Joyce
Appleby, Lynn and Margaret Jacob dalam Post Modernism and The Crisis of
Modernity sebagaimana dikutip Abu> Zayd didefinisikan sebagai
“Perkembangan dalam seni dan sastra yang bertujuan menangkap esensi jalan
hidup”. Modernitas melahirkan sebuah periodisasi baru sejarah (kuno, abad
pertengahan, dan modern) di mana modern mendenotasikan periode ketika akal
dan ilmu pengetahuan lebih tinggi di atas kitab suci, tradisi, dan kebiasaan. Inti
modernitas adalah konsep kebebasan bertindak.162
Dalam tradisi pemikiran Islam pergeseran sering kali dinyatakan sebagai
bentuk penyimpangan dari arus utama yang memegang hak monopoli kebenaran.
Walaupun dalam prakteknya, modern dalam term ini sesungguhnya juga pernah
terlewati di masa klasik atau kuno. Tepatlah kiranya Islam telah membawa
modernitas kepada dunia pada abad ke-7. Dan sangat mungkin untuk
menganalisis dan menjelaskan bagaimana modernitas diimplementasikan oleh
kalangan muslim sepanjang abad ke-12. Demikian ungkapan Abu> Zayd .163

162
Nas}r H{a>mid Abu> Zayd, Al-Quran Hermeneutika dan Kekuasaan, terj. Dede Iswadi,
et.all., (Bandung: RQiS, 2003), 135, lihat pula, Joyce Appleby, Lynn and Margaret Jacob, Post
Modernism and The Crisis of Modernity, dalam Telling the Truth About History (New York:
W.W. Norton, 1994), 201.
163
Nas}r H{a>mid Abu> Zayd, Al-Quran Hermeneutika dan Kekuasaan, 136.
60

Sekalipun demikian, muslim saat ini enggan menerima modernitas


kontemporer dengan alasan bahwa sebagian besar nilai-nilainya bertentangan
dengan Islam, atau berasal dari legislasi manusia. Oleh Karena itu, menjadi
penting di sini, untuk menilai dan mengurai tinjuan ilmuwan kontemporer dalam
konteks muna>sabah Alquran. Di antara sarjana kontemporer yang mempunyai
banyak perhatian terhadap kajian Alquran adalah Ami>n al-Khu>li> (1895-1966),
Muh}ammad Ah}mad Khala>fulla>h (1895-1998), A‘i>syah ‘Abd al-Rah}ma>n bint al-
Sya>ti} ’ (1913-1998), Muh}ammad Arkoun (L. 1928),164 Nas}r H}a>mid Abu>> Zayd (L.
1943-2010),165 Muh}ammad ‘Abid al-Jabi>ri> (L. 1936),166 H{assan H{anafi (L.

164
Arkoun menerapkan pendekatan linguistik modern dalam penafsiran Alquran yang
diselaraskan dengan perkembangan terakhir disiplin tersebut yang dilakukan oleh sarjana Muslim
terkemuka asal al-Jazayr, maha guru di Universitas Sorbonne, Paris. Meskipun Arkoun secara
spesifi>k tidak menulis sebuah kitab tafsir, namun di sejumlah buku dan artikelnya ia banyak
mengaplikasikan pendekatan semiotik atau semiologi mutakhir. Lihat, Taufi>k Adnan Amal,
Rekonstruksi, 416.
165
Abu Zayd lahir di Tanta, Mesir 10 Juli 1943. Sebagaimana kebiasaan masyarakat muslim
Mesir, sekitar usia 4 tahun dia belajar Alquran di Kuttab di desanya Qah}afah dan pada usia 8
tahun dia telah hafal Alquran, karena itu ia dipanggil kawan-kawannya “Shaykh Nas}r”. Pada
tahun 1964 artikel yang pertamanya terbit dalam jurnal al-Adab yang dipimpin oleh Amin al-
Khuli. Sejak itulah ia mempunyai hubungan dengan tokoh penting dalam studi Alquran di Mesir
yang menawarkan pendekatan susastra ( al-manhaj al-adabi>). Dia adalah professor bahasa Arab
dan studi Alquran di Universitas Kairo Mesir, selain itu sejak tahun 1995, juga menjadi dosen
tamu di Universitas Leiden, Belanda. Di antara karya monumentalnya adalah Mafhu>m al-Nas}.
Lihat, Yusuf Rahman, “The Hermeneutical Theory of Nasr H{a>mid Abu Zayd: an Analytical
Study of His Method of Interpreting the Qur’a>n.” A Thesis submitted to the Faculty of Graduate
Studies and Research in partial fulFi>llment of the requirements of the degree of Doctor of
philosophy, Institute of Islamic Studies McGill University Montreal, Canada, 2001, 6-7. Lihat
pula Moch Nur Ichwan, Al-Qur’an Sebagai Teks (Teori Teks dalam Hermeneutik Qur’an Nasr
Hamid Abu Zayd, dalam Studi al-Qur’ân Kontemporer Wacana Baru Berbagai Metodologi
Tafsir, ed. Abdul Mustaqim – Sahiron Syamsudin (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2002),
150-152. Lihat pula Fahruddin Faiz, Hermeneutika Al-Qur’an Tema-tema Kontroversial
(Yogyakarta: eLSAQ, 2005), 98-99.
166
Muh}ammad ‘Abid al-Jabiri adalah guru besar studi Fi>lsafat dan pemikiran Islam pada
Fakultas Sastra, Universitas Muh}ammad V Rabat. Ia lahir di Fi>guig, sebelah selatan Maroko pada
tahun 1936 M. al-Ja>biri dalam pemikirannya bahwa penyusunan surah harus mengikuti kronologi
pembentukan Alquran, karena tertib turunnya al-Qur’an simetris dengan perjalanan karir Nabi.
Selain itu, kemudian ia membandingkan dengan beberapa susunan surah baik dari versi muslim
atau non-muslim ia memberi pandangan bahwa Alquran itu bersifat open book, tersusun dari
surah-surah yang independen yang terbentuk berdasarkan tahapan-tahapan wahyu dan surah-
surah itu sendiri dibentuk dari ayat-ayat yang terpaut, pada banyak kasus dengan kondisi
terpisah, yang disebut asba>b al-nuzu>l. Lihat Muh}ammad ‘A>bid al-Ja>biri, Madkhal ila> al-Qur’a>n
al-Kari>m, (Bayru>t; Markaz Dira>sat al-Wih}dah al-‘Arabiyah, 2004), 245-246.
61

1935),167 Muh}ammad Syahrur (L. 1938),168 Fazlur Rahman (1919-1988),169


Manna’ al-Qat}t}a>n (1345-1420 H./1925-1999 M.)170 dan lain-lain semisal Said

167
H{assan H{anafi> adalah seorang pemikir hukum Islam dan professor Fi>lsafat terkemuka di
Mesir. Ia lahir 13 Februari 1935 di Kairo, Mesir. Setelah menyelesaikan studi menengahnya, dia
meneruskan kuliah di Universitas Kairo antara tahun 1952-1956, dia memperoleh gelar Sarjana
Muda di bidang Fi>lsafat dari University of Cairo. Setelah tahun 1956 dia melanjutkan studi ke
Universitas Sorbonne, Perancis untuk menyelesaikan magister dan doktor, dia belajar kepada Paul
Ricouer, dan dia juga sangat terkesan sekali dengan pemikiran Edmund Husserl pendiri Fi>lsafat
fenomenologi (1856-1938). Selain kepada mereka, dia juga berguru kepada Louis Masignon yang
mengarahkan untuk fokus studi Us}u>l Fi>qh saat mengajukan proposal doktoralnya, dan pada tahun
1966 dia meraih gelar doktor. Setamat dari studinya dia kembali ke Mesir untuk mengajar di
almamaternya di Universitas Kairo, dan mengampu mata kuliah Pemikiran Kristen Abad
Pertengahan dan Fi>lsafat Islam. H{assan H{anafi> merumuskan ekperimentasi al-tura>th wa al-tajdi>d
berdasarkan tiga agenda. Pertama, melakukan rekonstruksi tradisi Islam (mauqifuna> min al-
qadi>m). Kedua, menetapkan sikap terhadap peradaban Barat (mauqifuna> min al-gharb), dan
ketiga, upaya membangun sebuah hermeneutika pembebasan Alquran. Agenda ini mencerminkan
sikap terhadap realitas (mauqifuna> min al-waqi). Lihat H{assan H{anafi>, al-Tura>th wa al-Tajdi>d:
Mauqifuna min al-Tura>th al-Qadi>m (Kairo: al-Markaz al-‘Arabi>, 1980), 203-206., lihat pula Isa J.
Boulatta. “H{assan H{anafi>.” dalam John L. Esposito, (ed.), The Oxford Encyclopedia of Islamic
World (New York: Oxford University Press, 1995), 96-98.
168
Syahrur dilahirkan pada penghujung abad ke-20 yang berkebangsaan Syiria, tepatnya
tahun 1938. Setamat menengah atas di Damaskus, ia berangkat ke Moskow untuk belajar
engineering. Pada tahun 1964 ia kembali ke Syiria, dan tahun 1964 ia pergi studi S2 dan S3 di
University College di Dublin, Irlandia dalam bidang perminyakan ( oil mechanics) dan tehnik
bangunan (foundating engineering). Dan sejak tahun 1972 menjadi tenaga pengajar di Damaskus.
Karya monumentalnya di bidang kajian Alquran adalah al-Kita>b wa al-Qur’a>n: Dira>sah
Isla>miyyah Mu‘a>s}irah fi>> al-Daulah wa al-Mujtama‘. Metode yang dia kembangkan dikenal
dengan metode Fi>lologis yang bertumpu pada teknik intratekstualitas ( al-tarti>l) dan analisis
linguistik paradigm-sintagmatis. Metode intratekstualitas dalam artian menggabungkan atau
mengkomparasikan seluruh ayat yang memiliki topik pembahasan yang sama. Lihat, Syahrur, al-
Kitab wa al-Qur’a>n, 197.
169
Adalah pemikir neo-modernis asal Pakistan. Salah satu karya terbesarnya adalah Major
Themes of The Quran. Teori yang dikembangkan oleh Fazlur Rahman adalah berupa gerakan
ganda (double movement), yakni dari situasi sekarang ke masa pewahyuan Alquran, kemudian
kembali lagi ke masa kini. Lihat, Taufi>k Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas Studi
Atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman (Bandung: Mizan, 1996), 79-80. Lihat pula Ahmad
Syukri, Metodologi Penafsiran Kontemporer dalam Pemikiran Fazlur Rahman (Jambi: IAIN
Sultan Thaha Press, 2007).
170
Manna’ al-Qat}t}a>n dilahirkan di desa Sunsur Markas Asymun Echmoun Monofi>a di Mesir
pada bulan Oktober tahun 1925 atau bertepatan dengan 1345 H. dari keluarga kaya dan dari
lingkungan keagamaan yang patuh, desanya (sunsur) tersebut terkenal dengan daerah perkebunan,
Pada masa kecil beliau memulai pendidikannya belajar Alquran kemudian menghafalnya. Setelah
itu melanjutkan belajar di Madrasah Ibtidaiyah dan melanjutkan ke Ma’had al-Di>ny al-Azhar di
kota Syabin al-Kum, kemudian masuk pada Fakultas Ushuludin di Mesir. Di antara guru-guru
beliau ialah ‘Abd al-Razaq Afi>fi>, Abd al-Muta’al Sayf al-Nas}r, Ali Salby, Muh}ammad Zaydan,
Muh}ammad al-Bahy, Muh}ammad Yusuf Musa dan dia menyatakan bahwa Kholil al-Qat}t}a>n (ayah
manna’), Abd al-Razaq Afi>Fi>, H{asan al-Banna termasuk orang yang berpengaruh saat itu. Sejak
lulus dari kuliah, tahun 1953 beliau pergi ke Arab Saudi untuk mengajar sampai pada tahun
1958, dan kemudian pindah untuk mengajar di Fakultas Syariah di Riya>d}, dan kemudian di
Fakultas Bahasa Arab, dan pada tahun 1387 menjadi anggota Dewan Institut dan kemudian
62

Hawwa.171 Tokoh yang bisa dikatakan pengkaji ‘Ulu>m al-Qur’a>n kontemporer ini
sebagian besar memiliki berbagai bekal metodologi baru, dan mencoba
mendekati Alquran dengan kacamata baru.172 Meskipun, produk dari kajian
mereka tersebut, baik setuju atau tidak, baik mengundang pro atau kontra, yang
jelas studi mereka terhadap Alquran menyegarkan dan meggairahkan kembali
diskursus Islamic studies yang selama ini lesu dan mungkin dianggap sebagian
kalangan sudah mapan dan final.
J.J.G. Jansen menyebutkan bahwa di Mesir dalam perkembangan tafsir
Alquran telah diintroduksi oleh Muh}ammad ‘Abduh dan Amin al-Khu>li (w.
1769), dan belakangan cara pandangnya terhadap tafsir banyak direalisasikan
oleh istrinya yang dikenal dengan Bint al-Sya>t}i’ yang bernama lengkap Aisyah
‘Abd al-Rah}ma>n (l. 1913), seorang pakar sastra Arab di Universitas Ain Syams
Mesir.173 Dalam karyanya al-Tafsi>r al-Baya>ni li> al-Qur’a>n al-Kari>m, meskipun ia

sebagai Sekretaris Dewan Direktur, seorang anggota fakultas tingkat Profesor, dan kemudian
sebagai direktur pendidikan Pascasarjana di University of Imam Muh}ammad bin Saud. Di antara
karangan beliau Maba>h}ith Fi>> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, Tafsi>r Ayat al-Ah}hka>m, al-Tasyri>‘ wa al-Fi>qh Fi>>
al-Isla>m Ta>ri>khan wa Manhajan, Nuzu>l al-Qur’a>n ‘ala Sab’at al-Akhruf, Tari>kh al-Tafsi>r wa
Mana>hij al-Mufasiri>n, al-Qadá’ fi>> ‘Ahdi al-Nabi> wa al-Khila>fah al-Ra>shidah dan lain-lain. Beliau
meninggal pada hari Senin 6 Rabiul Awal pada 1420 atau bersamaan dengan 19 Juli 1999 M. dan
dimakamkan di Riya>d}, setelah lama sakit akibat kanker hati, yang berlangsung lebih dari tiga
tahun, pada usia tujuh puluh lima tahun ia wafat, dan meninggalkan lima anak, tiga putra dan dua
anak perempuan. Lihat, Ra>bit}ah ’Udaba>’ al-Sha>mir. Al-Shaykh Manna‘ al-Qat}t}a>n, (akses 3 Juli
2010); dari http://www.odabasham.net/show.php?sid=8353.
171
Pada kitab al-Asa>s fi> al-Tafsi>r, cara pandang Sa’i>d Hawwa dalam menafsirkan ayat
tentang infaq yang terdapat pada Q.S. 2: 254, kemudian dirangkaikan dengan ayat berikutnya
“ayat Kursi” Q.S. 2: 255, ia menegaskan bahwa di antara hikmah ditempatkannya “ayat Kursi”
setelah ayat perintah untuk berinfak adalah tidak ada satu infakpun melainkan harus di jalan
Allah, dan agama yang semestinya dipilih oleh manusia adalah agama Allah. Dengan demikian,
orang yang tidak mengenal Allah berarti ia menduga Allah tidak masuk dalam urusan ibadah,
atau paling tidak syariat yang dikerjakan kurang sempurna, Lihat, Sa’i>d Hawwa, al-Asa>s Fi> al-
Tafsi>r (Mesir: Da>r al-Sala>m, 1991), 594.
172
M. Nur Kholis Setiawan. “Al-Qur’an dalam Kesarjanaan Klasik dan Kontemporer.”
Jurnal Studi al-Qur’ân, 1, no. 1 (2006): 92.
173
Salah satu model pendekatan al-Khu>li yang diterapkan oleh istrinya, ketika bint al-
Sya>thi’ menganalisa kata manusia dalam Alquran, yakni na>s, insa>n, dan basyar, kata na>s dan
insa>n keduanya memiliki makna manusia yang memiliki konsekuensi makna relasional yang
berbeda, kedua kata tersebut mengandung makna manusia sebagai makluk budaya dan kreator.
Sedang makna basyar memiliki makna manusia dalam arti biologis, hal ini sama seperti makhluk
yang lain yang melakukan aktifitas biologis. M. Nur Kholis Setiawan, Al-Qur’an dalam
Kesarjanaan Klasik dan Kontemporer, 93. Lihat Pula J.J.G. Jansen, Diskursus Tafsir al-Qur’an
63

hanya mengeksplore 14 surat-surat pendek dalam Juz ‘Amma, tetapi banyak


kalangan menyambut karya ini sebagai maha karya yang penting.174
Meskipun dalam karya-karya bint al-Sya>thi’ tidak ditemukan karya secara
penuh dan utuh tentang muna>sabah, namun dalam karya tafsirnya percikan
pemikiran tentang muna>sabah-nya sangat terlihat kental. Nampaknya, ia sedikit
berbeda dalam penerapannya dengan ulama lain semisal al-NaysAbu>>ri> dan al-
Biqa>‘i> yang melihat muna>sabah dari sisi kronologi turunnya Alquran, sedang
Bint al-Sya>t}i’ lebih melihat kepada kronologi konsekuensi logisnya. Misalnya
Bint al-Sya>ti} ’ ketika menilai surat al-Qa>ri’ah yang dalam mus}h}af termasuk surat
yang ke-101 dan al-Taka>thur surat yang ke-102, ia berpendapat bahwa surat al-
Taka>thur turun lebih lama dari al-Qa>ri’ah yang jaraknya 13 surat setelahnya.
Baiklah mengambil satu contoh bagaimana Bint al-Sya>t}i’ sangat
memperhatikan muna>sabah dalam penafsirannya. Dalam surat al-Fajr yang
mengandung nilai moral yang sangat tinggi memiliki hubungan antara ayat satu
dengan yang lainnya. Bint al-Sya>t}i’ membagi dalam tiga golongan ayat, 1-14
yang membicarakan tentang pelajaran dari kaum ‘Ad, Thamud, dan Fir’aun yang
semena-mena dengan kezalimannya dan termasuk orang yang korup di dunia.
Sedang kelompok ayat berikutnya ayat 15-16 menunjukkan kebejadan moral
mereka karena godaan kekayaan semata, dan menunjukkan karakter sifat
syait}a>niyah, dan kelompok ayat ketiga 17-20 menyatakan bahwa ketidakmoralan
mereka menyebabkan menjadi yatim, tidak tertarik terhadap solidaritas sosial,
dan mereka juga tidak mampu membedakan mana yang dilarang dan mana yang
diperbolehkan, dan akhir penutup ayat dari surat ini adalah pengadilan Tuhan dan
ganjaran di hari kiamat.175

Modern [buku on-line) (Yogyakarta: Tiara Wacana, t.th., akses 3 Juli 2010); didapatkan dari
http://tiarawacana.co.id/kat_infobuku.php?ID=31.
174
Lihat, JJG. Jansen, The Interpretation of The Koran in Modern Egypt, (Leiden: E.J. Brill,
1974), h. 10, lihat pula Yusuf Rahman, The Hermeneutical Theory of Nasr Hamid Abu Zayd, 84-
85.
175
Lihat, A‘i>shah ‘Abd al-Rah}ma>n bint al-Sya>thi’, al-Tafsi>r al-Baya>ni li> al-Qur’a>n al-Kari>m,
(Kairo: Da>r Ih}ya> al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1992), 153, lihat pula, Lukmanul Hakim, “Analisis
tentang Munasabah dalam Tafsir al-Maraghi.” Disertasi SPs UIN Jakarta, 2006, 100.
64

Selain Bint Syathi’ di atas, ulama kontemporer yang membahas


muna>sabah secara serius adalah Nas}r H{amid Abu>> Zayd . Menarik untuk disimak
ungkapan Abu> Zayd ketika mengawali pendapatnya mengenai muna>sabah yang
membandingkan antara asba>b al-nuzu>l dan muna>sabah, ia mengatakan asba>b al-
nuzu>l berkaitan dengan kronologis konteks sejarah sedang muna>sabah berkaitan
dengan nilai pertautan antara ayat dan suratnya menurut urutan teks,
sebagaimana dia menulis sebagai berikut:

‫ فإن علم املناسبة‬،‫اذا كان علم "أسباب النزول" يربط األية أواجملموعة من األايت بسياقها التارخيي‬
‫بني األايت والسور يتجاوز الرتتيب احلايل للنص وهو يطلق عليه "ترتيب التالوة" يف مقابل "ترتيب‬
176
."‫التنزيل‬
Artinya: “Jika ilmu asba>b al-nuzu>l mengaitkan satu ayat atau
sejumlah ayat dengan konteks sejarahnya maka fokus perhatian ilmu
persesuaian (muna>sabah) antarayat dan antar surat bukan pada kronologis
historis dari bagian-bagian teks, tetapi aspek pertautan antar ayat dan
surat menurut urutan teks, yaitu yang disebut dengan “urutan bacaan”
sebagai lawan dari “urutan turunnya”.

Meskipun bukan menjadi tawaran baru dari Abu> Zayd , muna>sabah


menjadi menarik ketika ia kaji. Bahkan ia menulis satu bab khusus yang ia tulis
satu fas}l tersendiri yang diberi tema al-muna>sabah bain al-a>ya>t wa al-suwar.
Dikatakan bukan menjadi tawaran baru, karena sesungguhnya Abu>> Zayd hanya
mengeksplor kebanyakan pendapat al-Zarkashi> dalam kitab al-Burha>n fi> ‘Ulu>m
al-Qur’a>n, bahkan hampir setiap halaman ia mengutipnya. Namun demikian,
kajian Abu>> Zayd tetap menjadi menarik untuk dikemukakan di sini sebagai
pemikir komtemporer.
Catatan penting dari Abu> Zayd ketika dia memahami muna>sabah antar
ayat dan surat adalah bahwa teks merupakan kesatuan struktural yang bagiannya
saling berkaitan. Selain itu, ia menegaskan, bahwa mengaitkan antarayat dan
surat itu adalah tugas mufasir. Oleh karena itu, mufassir mempunyai peranan
penting dalam menangkap cakrawala teks. Dengan kata lain, mufasir

176
Nas}r H{a>mid Abu> Zayd, Mafhu>m al-Nas} Dira>sah fi>> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, (Kairo: Da>r al-Ih}ya>
al-Kutub al’Arabiyyah, 1992), 159.
65

mengungkapkan dialektika bagian-bagian teks melalui dialektika mufasir selaku


pembaca dengan teks.177
Abu>> Zayd membagi dua bahasan muna>sabah: pertama, muna>sabah
antarsurat, dan kedua, muna>sabah antarayat.
Muna>sabah antarsurat (muna>sabah bayn al-suwar)
Contoh yang diangkat Abu>> Zayd ketika membahas muna>sabah antarsurat
(muna>sabah bayn al-suwar) adalah surat al-Fa>tih}ah (yang membuka) atau umm
al-kita>b (induk kitab), surat ini mempunyai tempat yang khusus karena
merupakan pengantar dasar bagi teks. Dengan demikian, al-Fa>tih}ah meskipun
secara tersirat harus memuat semua bagian Alquran, maka pada posisi ini, al-
Fa>tih}ah mendapatkan kedudukannya sebagai umm al-kita>b (induk kitab).
Mengenai pembahasan hal ini, Abu> Zayd mengutip al-Zarkashi> sebagai berikut:
”Induk ilmu-ilmu Alquran ada tiga bagian: tauhid, peringatan, dan
hukum-hukum. Masuk dalam bagian tauhid adalah pengetahuan tentang
makhluk dan sang pencipta dengan segala nama, sifat dan perbuatan-Nya.
Termasuk dalam bagian peringatan adalah janji, ancaman, surga, neraka,
dan penyucian lahir dan batin. Dan, yang termasuk dalam hukum-hukum
adalah takli>f-takli>f, penjelasan tentang manfaat dan mudharat, perintah
dan anjuran... karena pengertian seperi ini, al-Fa>tih}ah menjadi umm al-
kita>b (induk kitab), sebab di dalamnya terkandung ketiga bagian tersebut.
Masalah tauhid terkandung dalam awal surat hingga firmannya yaum al-
di>n, masalah hukum terkandung dalam ayat iyya>ka na‘budu wa iyya>ka
nasta‘i>n, dan masalah peringatan terdapat dalam ayat ihdina sampai akhir
surat. Dengan demikian, surat ini menjadi induk karena dari situlah semua
cabang bermunculan.”178

Hal di atas juga dikatakan oleh Abu>> Zayd sama halnya dengan surat al-
Ikhla>s} yang dinilai sepadan dengan sepertiga Alquran. Sebagaimana Abu>> Zayd
mengatakan yang dikutipkan dari penjelasan al-Zarkashi> sebagai berikut:
”Oleh karena itu, dikatakan bahwa makna ucapan Nabi Saw, Qul
huwa Alla>hu ah}ad sama seperti sepertiga Alquran, artinya sama dalam hal
pahala. Ini merupakan anugerah Allah yang diberikan kepada siapa yang
Dia kehendaki. Ada yang mengatakan: sepertiga kandungan Alquran

177
Nas}r H{a>mid Abu> Zayd, Mafhu>m al-Nas}, 161.
178
Nas}r H{a>mid Abu> Zayd, Mafhu>m al-Nas}, 162, lihat pula Al-Zarkashi>>, Al-Burha>n fi> ‘Ulu>m
al-Qur’a>n, 17.
66

sebab Alquran terdiri dari tiga bagian, sebagaimana telah kami sebutkan
di atas.179

Ada dua catatan dari Abu>> Zayd , bertalian kedua bahasan di atas. Pertama
ada hubungan khusus (‘ala>qa>h kha>s}s}ah) dan hubungan umum (‘ala>qa>h a>mmah).
Hubungan khusus lebih bersifat stilistika-kebahasaan (uslu>biyyah lughawiyyah),
sementara hubungan-hubungan umum lebih berkaitan dengan isi dan kandungan.
Hubungan stilistika-kebahasaan ini tercermin dalam pernyataan bahwa surat al-
Fa>tih}ah diakhiri dengan doa ihdina> al-s}ira>t} al-mustqi>m, s}ira>t} al-ladhi>na ’an‘amta
‘alaihim ghair al-maghd}u>bi ‘alaihim wala al-d}a>lli>n. Doa ini mendapatkan
jawaban pada permulaan surat al-Baqarah alif la>m mi>m. Dha>lika al-kita>bu la>
raiba fi>hi hudan li al-muttaqi>n. Berdasarkan hal itu, dinyatakan bahwa teks
tersebut adalah bersinambungan (muttas}ilan).180
Jika kaitan antar surat al-Fa>tih}ah dan surat al-Ba>qarah bersifat stilistika,
maka hubungan antara surat al-Baqarah dengan A>li ‘Imra>n lebih mirip dengan
hubungan dali>l dengan keragu-raguan akan dalil. Maksudnya, surat al-Baqarah
merupakan surat yang mengajukan dalil mengenai hukum karena surat ini
memuat kaidah-kaidah agama, sementara surat A>li ‘Imra>n sebagai jawaban atas
keragu-raguan para musuh. Jika kita bertanya hukum apakah yang dimuat oleh
surat al-Baqarah dan jawaban apakah yang diberikan oleh surat A>li ‘Imra>n atas
keragu-raguan para musuh? Para mufassir klasik menjawab bahwa hukum
tersebut adalah yang terkandung dalam surat al-Fa>tih}ah sebagaimana Abu>> Zayd
mengutip al-Zarkashi> sebagai berikut:
”Pengakuan pada ketuhanan, berlindung kepada-Nya dalam agama
Islam, dan menjaga diri dari agama Nasrani dan Yahudi,”181 adalah wajar
jika surat setelahnya, yaitu al-Nisa> dan al-Ma>’idah, memuat detil-detil
hukum dan syariat. Al-Nisa>’ memuat hukum-hukum yang mengatur
hubungan sosial, sementara surat al-Ma>’idah memuat hukum-hukum yang
mengatur hubungan perdagangan dan ekonomi. Jika hukum-hukum syariat,
baik dalam tataran hubungan sosial ataupun perdaganagn dan ekonomi,

179
Nas}r H{a>mid Abu> Zayd, Mafhu>m al-Nas}, 162, lihat pula Al-Zarkashi>>, Al-Burha>n fi> ‘Ulu>m
al-Qur’a>n, 17.
180
Nas}r H{a>mid Abu> Zayd, Mafhu>m al-Nas}, 163.
181
Nas}r H{a>mid Abu> Zayd, Mafhu>m al-Nas}, 163.
67

hanya sekedar sarana untuk mencapai tujuan dan sasaran lain, yaitu
melindungi masyarakat dan menjaga keselamatannya maka tujuan dan
sasaran tersebut diberi jaminan dalam surat al-An‘a>m dan surat al-A‘ra>f.
Maka, Abu> Zayd mengatakan bahwa urutan surat dalam mus}h}af
didasarkan pada asas yang mendahulukan universal yang pertama-tama
dibentuk oleh surat al-Fa>tih}ah, kemudian surat al-Baqarah memikul tugas
menjelaskan hukum-hukum, sementara surat A>li ‘Imra>n memuat jawaban
atas keraguan musuh terhadap hukum-hukum tersebut, sedang surat al-
Nisa>’ dan al-Ma>’idah berfungsi sebagai rincian hukum yang berkaitan
dengan berbagai bentuk hubungan, kemudian dua surat berikutnya, yaitu
al-An‘a>m dan al-A‘raf menjelaskan tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran
syariat dari rincian hukum-hukum tersebut.182

Menarik untuk dicermati bila surat al-Fa>tih}ah memiliki muna>sabah


dengan surat al-Baqarah dari sisi kebahasaan-stilistika sebagaimana diterangkan
di atas, berbeda dengan surat al-Ma>’idah dan surat al-An’a>m, kalau diperhatikan
akhir surat al-Ma>’idah berbunyi li Alla>hi mulk al-sama>wa>t wa al-ard}i, dan di ayat
satu surat al-An‘a>m dimulai dengan al-h}amdu li Alla>hi al-ladzi> khalaqa al-
sama>wa>ti wa al-ardha, kata al-sama>wa>t wa al-ard} ini menurut sarjana
kontemporer, sebenarnya telah cukup membuat muna>sabah dari sisi
pengulangannya (repetisi). Namun hemat peneliti, repetisi saja tidak cukup
menjadikan dasar muna>sabah walaupun bisa menjadi salah satu persyaratan
muna>sabah. Lebih dari itu, jika ditelaah lebih jauh dengan mengambil 5 ayat
terakhir di surat al-Ma>’idah, dan 5 ayat di awal surat al-An‘a>m, dalam 5 ayat
terakhir surat al-Ma>’idah kandungannya berkaitan dengan Allah memisahkan
antara Nabi ‘Isa dan Maryam dan kaumnya pada hari kiamat berkaitan dengan
klaim mereka akan ketuhanan ‘Isa. Jika situasi akhir surat al-Ma>’idah itu
”pemisahan”, maka hubungannya dengan awal surat al-An’a>m yang dimulai
dengan al-h}amdu li Alla>h dapat diungkapkan dengan mengacu pada bagian ketiga
dalam teks yaitu firman Allah: ”Dan Ia memutuskan di antara kamu dengan hak,
dan dikatakan dengan segala puji bagi Allah penguasa alam semesta. (Q.S. al-
Zumar/39: 75).183

182
Nas}r H{a>mid Abu> Zayd, Mafhu>m al-Nas}, 164.
183
Nas}r H{a>mid Abu> Zayd, Mafhu>m al-Nas}, 165, lihat pula Al-Zarkashi>>, Al-Burha>n fi> ‘Ulu>m
al-Qur’a>n, 38.
68

Dari beberapa keterangan di atas, ada beberpa poin yang bisa diambil
kesimpulan. Pertama, ada muna>sabah antarsurat yang tidak memerlukan
interpretasi. Hanya saja didasarkan pada hubungan kebahasaan dan pengulangan
(repetisi). Contohnya, surat al-Wa>qi‘ah184 yang diakhiri dengan perintah
bertasbih, kemudian surat al-H{adi>d185 yang diawali dengan tasbih. Begitu pula
surat al-Isra’ dan al-Kahfi. Meskipun tidak seperti bentuk pertama yakni akhir
dan awal surat, pada contoh kedua meskipun al-Isra’ lebih awal, tetapi
muna>sabah dari sisi tasbih dalam bentuk doa. Surat al-Isra’ memulai dengan
”Maha suci dzat yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam”,
sementara surat al-Kahfi dimulai dengan ”Segala puji bagi Allah yang telah
menurunkan kepada hamba-Nya al-Kitab”. Sebab, tasbih muncul mendahului
tah}mid, maka diucapkannya subh}a>n Alla>h wa al-h}amdu li Alla>h.
Kedua, hubungan kebahasaan semantik sebagaimana diterangkan di atas,
ketiga, hubungan surat pendek yang kontras, ini ditemukan antara surat al-Ma>‘un
dan al-Kauthar pada satu sisi, dan antara surat al-D{uh}a> dan al-Inshirah}. Dalam
surat al-Ma>‘un Allah melukiskan orang-orang munafik dengan empat
karakteristiknya yaitu kikir, meninggalkan shalat, riya dalam shalat, dan menolak
membayar zakat. Sedang surat al-Kauthar kontras dengan meninggalkan shalat
yakni perintah mendirikan shalat, dan perintah lain yang terkandung di
dalamnya.
Muna>sabah antarayat (al-muna>sabah bayn al-a>ya>t)
Ada hal yang mendasar bagi Abu>> Zayd ketika memahami muna>sabah
antar ayat, secara langsung mengenai muna>sabah antar ayat menggiring kita ke
dalam inti kajian kebahasaan terhadap mekanisme teks. Sedang kajian
muna>sabah antarsurat berusaha membangun kesatuan umum bagi teks yang
didasarkan pada pelbagai macam hubungan yang kebanyakan bersifat
interpretatif.

184
Fasabbih} bi ismi Rabbika al-‘Az}i>m.
185
Sabbah}a li Alla>hi ma> fi>> al-sama>wa>ti wa al-ard}i wahua al-‘azi>z al-h}aki>m.
69

Abu>> Zayd menegaskan bahwa pada dasarnya konsep kesatuan teks


berasal dari persoalan i’ja>z, yaitu sebuah persoalan yang sebagian besar
bersumber dari perbedaan antara yang mengatakan teks Allah dengan
pembicaraan-pembicaraan selain-Nya. Oleh karena itu, ulama ilmu muna>sabah
berusaha menghindari pembicaraan tentang muna>sabah antaraayat, yang
keterkaitan ayatnya sangat jelas. Sebagaimana Abu>> Zayd mengutip al-Zarkashi>:
”Apabila yang kedua terhadap yang pertama merupakan bentuk penegasan,
penafsiran, atau bantahan dan tekanan.”186
Selain hal di atas, mereka juga menghindari pembicaraan mengenai
contoh-contoh yang di dalamnya terdapat ayat yang dihubungkan (di-‘athaf-kan)
dengan ayat sebelumnya, sementara aspek hubungan antara keduanya didasarkan
pada aspek penyatuan. Meskipun tampak menghindari, tapi ‘Abd al-Qa>hir al-
Jurjani> dan al-Baqilla>ni> berusaha menguraikannya sebagaimana banyak
mengilhami Abu>> Zayd . Berkaitan dengan pembahasan ini, Abu> Zayd berupaya
menguraikan surah al-Isra>’ dari ayat 1 sampai ayat 9. Tampak bahwa ayat
pertama surat al-Isra>’ dalam bahasan ilmu muna>sabah memiliki tempat khusus,
di mana hubungan antar ayat perlu diungkap dengan cara menghindari huruf
‘athaf biasa. Ayat pertama tentang isra’, ayat kedua beralih pembahasan pada
pembicaraan tentang Mu>sa dan Bani Isra’i>l. Kedua ayat tersebut dihubungkan
dengan huruf wawu. Ayat kedua melukiskan bani Israil secara khusus bahwa
mereka adalah “Keturunan yang kami kumpulkan bersama nabi Nuh”, ayat
tersebut menyisipkan lukisan tentang Nuh bahwa ia adalah seorang hamba yang
amat bersyukur. Kemudian, muncul ayat keempat menyebutkan janji Allah untuk
bani Israil, dan penjelasan ini diteruskan sampai ayat kedelapan. Pada ayat
Sembilan, teks beralih berbicara mengenai Alquran.
Bila memperhatikan kata akhir (fas}ilah) ayat tersebut semuanya
bermacam-macam. Fas}ilah187 pada ayat pertama lafaz al-bas}i>r berupa huruf ra’,

186
Nas}r H{a>mid Abu> Zayd, Mafhu>m al-Nas}, 167, lihat pula Al-Zarkashi>>, Al-Burha>n fi> ‘Ulu>m
al-Qur’a>n, 40.
187
Dalam terminology ilmu Balaghah kajian ini masuk dalam ilmu Ma‘a>ni> bahasan tentang
al-Was}l wa al-Fas}l (menyambung dan menceraikan kalimat). al-Was}l adalah menghubungkan satu
70

ayat kedua huruf lam pada lafad waki>la> yang dibaca panjang, sementara ayat
ketiga sampai kesembilan berupa huruf ra’ yang dibaca panjang. Aspek inilah
merupakan bentuk upaya pengungkapan sisi keterkaitan antarayat yang disebut
salah satu aspek i’ja>z, bahwa apa yang tampak sebagai pemisahan (fas}l) antara
ayat pertama dengan ayat kedua sebenarnya hubungan (was}l). Susunan semacam
inilah yang menyebabkan muncul pergeseran ke tema tentang Nuh sebagai sosok
yang bersyukur. Penuturan tema tentang Nuh seperti ini menyebabkan ujaran
kalimat yang satu dengan yang lainnya terkait karena kesamaan fa>s}ilah pada satu
sisi, dan sisi yang lain untuk mengisyarahkan bahwa bani Israil yang sezaman
dengan turunnya teks, semestinya meneladani Nuh.188 Seperti dua hal yang sama
dan serupa. Hubungan keduanya terkadang berlawan, seperti muna>sabah antara
rahmat yang disebut setelah siksa, senang setelah takut. Kebiasaan Alquran yang
agung adalah menyebut hukum, setelah itu, menyebut janji dan ancaman. Hal itu
membangkitkan dorongan mengamalkan apa yang sudah disebutkan, kemudian
menyebut ayat-ayat tauhid dan penyucian Allah, agar diketahui keagungan dzat
yang memerintah dan melarang.”189
Menurut Abu>> Zayd mencari titik muna>sabah al-a>ya>t antara surah al-Isra’
dan kisah bani Israil dapat diungkap melalui dua sudut:
”pertama, bahwa peristiwa isra’ bertujuan untuk memperlihatkan
yang ghaib, yakni dengan kisah-kisah Alquran. Peristiwa isra’ merupakan
penglihatan yang ghaib, yang metafisik, sementara kisah merupakan
berita atau penjelasan mengenai hal-hal ghaib yang historis. Kedua,

kalimat dengan kalimat lain ”dengan wawu” (‫)يقصد علماء المعاني بكلمة الوصل عطف جملة على أخرى بالواو‬,
contohnya Q.S. al-Inqit}a>r (82): 13-14 ‫”ان االبرار لفي نعيم وان الفجارلفي جحيم‬Dan sungguh orang-orang
baik (shalih) itu ada dalam kenikmatan (surga), dan sesungguhnya orang-orang jahat (z}alim) itu
ada dalam neraka”, sedang al-Fas}l adalah tidak menghubungkan (‫)ويقصدون بالفصل ترك هذا العطف‬
contohnya Q.S. Yu>suf (12): 53 ‫“ وما ابرئ نفسي ان النفس آلمارة بالسوء‬Dan aku tidak akan
membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungghunya nafsu itu selalu menyuruh kepada
kejahatan”. Lihat, ‘Ali al-Ja>zimi> dan Must}afa Ami>n, al-Balaghah al-Wa>d}ih}ah (Mesir: Da>r al-
Ma’a>rif, t.th.), 228. Lihat pula, Fad}l H}asan ‘Abba>s, al-Bala>ghah Funu>nuha> wa Afna>nuha> (tp.: Da>r
al-Furqa>n, t.tp.), 301, ‘Ilm al-Di>n Ya>si>n bin ‘Abba>s al-Fa>dani>, H}asan al-S}iya>ghah Sharh}} Duru>s al-
Bala>ghah (Rembang: al-Ma‘had al-Di>ni> al-Anwa>r, tt.), 81-82.
188
Lihat Nas}r H{a>mid Abu> Zayd, Mafhu>m al-Nas}, 169-180. Lihat pula, al-Qad}i> Abu> Bakar
al-Baqilla>ni>, I’ja>z al-Qur’a>n (Kairo: Mat}ba‘ah Mus}t}afá al-Bab al-H}alabi>, 1370 H.), 91-92.
189
Nas}r H{a>mid Abu> Zayd, Mafhu>m al-Nas}, 167, lihat pula Al-Zarkashi>>, Al-Burha>n fi> ‘Ulu>m
al-Qur’a>n, 40.
71

kesamaan antara isra’ Muh}ammad Saw., pada sebagian malam dengan


keluarnya Musa AS dari Mesir dalam keadaan ketakutan sambil sembunyi
setelah ia menolak orang Mesir yang kemudian meninggal. Setelah itu,
fokus cerita dialihkan ke Nabi Nuh as. Peralihan ini menjadikan seluruh
kisah demikian bermakna dalam konteks hubungan teks dengan realitas.
Bukankah tujuan dari kisah Alquran tidak hanya memberikan hiburan
atau kesenangan, lebih dari itu tujuannya, selain bermakna menunjukkan
sesuatu yang ghaib-historis kepada Muh}ammad terkait dengan tujuan dan
orientasi teks secara umum, yaitu mengubah realitas melalui dialektika
teks dengan realitas. Oleh karena itu, kisah Nuh semacam mengingat
kembali sejarah bani Israil yang pernah dikarunia nikmat oleh Allah
tatkala diselamatkan bersama Nuh. Dengan demikian, pemberian atribut
kepada Nuh sebagai hamba yang banyak bersyukur bersifat simbolik dan
menyiratkan bahwa mereka harus bersyukur atas nikmat yang berupa
rasul Muh}ammad. Hal ini tentunya, selain nilai ritmik yang muncul dari
deskripsi cerita, juga menjadikan ayat ini bertalian dengan ayat
berikutnya.”190

Selain penjelasan di atas, untuk menguraikan sisi muna>sabah nya, yang


terlihat tidak memerlukan asba>b al-nuzul, maka untuk mengungkap muna>sabah
pada beberapa ayat dibutuhkan pengetahuan tentang asba>b al-nuzul191 dalam
rangka menyingkap maknanya. Pengetahuan ini menurut Abu>> Zayd dapat
membantu mufassir menyingkap sisi keterkaitan atau muna>sabah .192

190
Nas}r H{a>mid Abu> Zayd, Mafhu>m al-Nas}, 171.
191
Ada analisis menarik dari Abu> Zayd ketika mengakhiri perdebatan muna>sabat al-a>ya>t
yang berupaya memasukkan kajian asba>b al-Nuzul dalam memahami muna>sabah. Bahwa ilmu
asba>b al-Nuzul memandang teks dari sudut acuannya dan keterkaitannya dengan peristiwa-
peristiwa, sementara ilmu muna>sabah dari segi keterkaitan bahasa, stilistika, rasionalitas, dan
konsep. Ilmu ini mengkaji hubungan-hubungan dalam teks, sementara ilmu asba>b al-Nuzul
mengkaji hubungan-hubungan teks dengan apa yang berada di dalam realitas di luar teks. Lihat,
Nas}r H{a>mid Abu> Zayd, Mafhu>m al-Nas}, 175.
192
Hal ini bisa dilihat misalnya pada Q.S. al-Baqarah/2: 189. “Mereka bertanya kepadamu
tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan
(bagi ibadat) haji; dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi
kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-
pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung .” Jika dicermati, muna>sabah apa
yang ada antara bulan sabit dengan hukum mendatangi rumah? Pertanyaan ini sedemikian
penting karean dua topik terkandung dalam satu ayat. Ada dua kemungkinan bertalian masalah
ini, pertama, mendatangi rumah dari belakang digunakan sebagai tamthi>l simboik terhadap
pertanyaan mereka tentang bulan sabit. Dalam perspektif kemungkinan ini, berdasarkan asba>b al-
nuzul pertanyaan ini dipahami sebagai bukan pertanyaan yang membutuhkan jawaban, tetapi
pertanyaan yang dimaksud mengejek dan hinaan. Jawaban teks ayat malahan mengabaikan
pertanyaan mereka, maka kemudian, dan menjawab pertanyaan lain yang seharusnya mereka
tanyakan dan inilah yang kemudian dikenal dengan uslu>b al-h}aki>m, kemudian teks mengejek
mereka. Kemungkinan kedua, berkaitan dengan aspek keterkaitan antara dua bagian ayat
72

Selain pendapat di atas, di sini penulis kemukakan pula pendapat ulama


Alquran kontemporer yang tetap mengejawantahkan keilmuan klasik yang
bukunya tetap menjadi rujukan termasuk di Indonesia. Dia adalah Manna‘ al-
Qat}t}a>n. Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa Manna‘ al-Qat}t}an
memasukkan muna>sabah dalam kajian asba>b al-nuzu>l,193 ia mengartikan
muna>sabah berarti kedekatan sebagaimana ia menulis:

‫ يقال فالن يناسب فالان أي يقرب منه ويشاكله ومنه املناسبة يف العلة يف‬،‫ املقاربة‬:‫واملناسبة يف اللغة‬
194
.‫ وهي الوصف املقارب للحكم‬،‫ابب القياس‬
Artinya: “Muna>sabah (korelasi) dalam pengertian bahasa berarti
kedekatan. Dikatakan, “Si fulan muna>sabah dengan si fulan” berarti ia
mendekati dan menyerupai si fulan itu. Dan di antara pengertian ini
adalah muna>sabah ‘illat hukum dalam bab qiyas, yakni sifat yang
berdekatan dengan hukum.

Akan tetapi yang menjadi fokus kajian muna>sabah yang dimaksud di sini
adalah muna>sabah dari sisi keterkaitan antarsatu kalimat dengan yang lain, satu
ayat dengan ayat yang lain, atau antarsurat yang satu dengan surat yang lain
sebagaimana dikatakan al-Qat}t}a>n.

‫ وجه اإلرتباط بني اجلملة واجلملة يف اآلية الواحدة_ أوبني اآلية واآلايت‬:‫واملراد ابملناسبة هنا‬
195
.‫ أوبني السورة والسورة‬،‫املتعددة‬
al-Qat}t}a>n mengatakan bahwa setiap ayat mempunyai aspek muna>sabah
dengan ayat sebelumnya dalam arti hubungan yang menyatukan, seperti
perbandingan atau perimbangan antara sifat mukmin dengan orang musyrik,
antara ancaman dengan janji, penyebutan ayat rahmat sesudah ayat-ayat adzab,
ayat anjuran sesudah ayat ancaman, ayat tauhid dan kemahaesaan Allah sesudah

tersebut, tidak memahami ayat sebagai perumpamaan mendatangi rumah dari belakang,
kemungkinan kedua ini memfokuskan pada hubungan teks dengan realitas. Mendatangi rumah
dari belakang dianggap sebagai semacam sisipan setelah sebelumnya pembicaraan difokuskan
pada masalah haji, sebagai sanggahan atas pertanyaan mereka tentang bulan sabit, hilal. Lihat,
Nas}r H{a>mid Abu> Zayd, Mafhu>m al-Nas}, 172-173.
193
Lihat, Manna>‘ al-Qat}t}a>n, Maba>h}ith fi>> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, 75-99.
194
Manna>‘ al-Qat}t}a>n, Maba>h}ith fi>> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, 97
195
Manna>‘ al-Qat}t}a>n, Maba>h}ith Fi>> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, 97.
73

ayat-ayat tentang alam dan seterusnya. Beberapa contoh muna>sabah yang


diungkap al-Qat}t}a>n misalnya:
a. Terkadang muna>sabah itu terletak pada perhatiannya terhadap keadaan
lawan bicara,196 seperti firman Allah:
Artinya: “Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta
bagaimana dia diciptakan, Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan
gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia
dihamparkan?” (Q.S. al-Gha>shiyah/88: 17-20).

Al-Qat}t}a>n memberikan keterangan terhadap ayat di atas dikaitkan dengan


muna>sabah bahwa:
“Penggabungan antara unta, langit, dan gunung-gunung ini karena
memperhatikan adat dan kebiasaan yang berlaku di kalangan lawan bicara
yang tinggal di padang pasir, di mana mereka bergantung pada unta.
Sehingga, mereka memperhatikannya. Namun, keadaan demikian tidaklah
mungkin berlangsung tanpa ada air yang menumbuhkan rumput di tempat
gembala dan diminum unta. Keadaan demikian bila terjadi turun hujan.
Dan hal ini yang menjadi penyebab kenapa mereka selalu menengadah ke
langit. Kemudian mereka juga membutuhkan tempat berlindung, dan
tidak ada tempat berlindung yang baik kecuali gunung-gunung. Mereka
memerlukan rerumputan dan air, sehingga meninggalkan satu daerah dan
turun ke daerah lain, dan berpindah dari tempat gembala yang tandus ke
tempat gembala yang subur. Maka bila mereka mendengar ayat di atas,
maka mereka merasa menyatu hatinya dengan apa yang mereka saksikan
sendiri yang senantiasa tidak lepas dari benak mereka.”197

Gambaran di atas, betapa sangat realitasnya antara teks dan konteks.


Dilihat dari sisi muna>sabah, ternyata merupakan jawaban atas realitas yang ada.
Karena itu, muna>sabah dipentingkan dalam menafsirkan Alquran.
b. Terkadang muna>sabah terjadi antara satu surat dengan surat yang lain,198
Misalnya pembuka surat al-H{adi>d yang diawali dengan sabbah}a dengan
akhir surat al-Wa>qi‘ah yang diakhiri dengan fasabbih}.

196
Manna>‘ al-Qat}t}a>n, Maba>h}ith Fi>> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, 98.
197
Manna>‘ al-Qat}t}a>n, Maba>h}ith fi>> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, 98-99.
198
Manna>‘ al-Qat}t}a>n, Maba>h}ith fi>> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, 99.
74

Artinya: “Semua yang berada di langit dan yang berada di bumi


bertasbih kepada Allah (menyatakan kebesaran Allah). dan dialah yang
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. al-H{adi>d/57: 1).
Pembukaan ini sesuai dengan akhir surat al-Wa>qi‘ah yang memerintahkan
bertasbih:
Artinya: “Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Rabbmu
yang Maha besar.” (Q.S. al-Wa>qi‘ah/56: 96).
c. Muna>sabah terjadi pula antara awal surat dengan akhir surat.199
Contohnya dalam surat al-Qas}as}. Surat ini dimulai dengan
menceritakan tentang Musa, menjelaskan langkah awal dan mendapatkan
pertolongan, kemudian menceritakan kelakuannya mendapatkan dua
orang laki-laki yang sedang berkelahi. Allah mengisahkan doa Musa:
Artinya: “Musa berkata: "Ya Tuhanku, demi nikmat yang telah
Engkau anugerahkan kepadaku, Aku sekali-kali tiada akan menjadi
penolong bagi orang- orang yang berdosa". (al-Qas}as}/28: 17)
Kemudian, surat ini diakhiri dengan menghibur nabi Muh}ammad
bahwa ia akan keluar dari Makkah dan dijanjikan akan kembali lagi ke Makkah
serta melarangnya menjadi penolong bagi orang-orang kafir:
Artinya: “Sesungguhnya yang mewajibkan atasmu (melaksanakan
hukum-hukum) Alquran, benar-benar akan mengembalikan kamu ke
tempat kembali. Katakanlah: "Tuhanku mengetahui orang yang
membawa petunjuk dan orang yang dalam kesesatan yang nyata". Dan
kamu tidak pernah mengharap agar Alquran diturunkan kepadamu, tetapi
ia (diturunkan) karena suatu rahmat yang besar dari Tuhanmu, sebab itu
janganlah sekali-kali kamu menjadi penolong bagi orang-orang kafir.” (al-
Qas}as}/28: 85-86).

E. MENYOAL MUNASABAH: RESPOM TERHADAP KRITIK ILMUWAN


BARAT DAN ORIENTALIS
Alquran menyatakan dirinya sebagai kitab yang terhindar dari keraguan
(la> rayba fi>h),200 dijamin keotentikannya (wa inna> lahu> lah}a>fiz}u>n),201 dan bahkan

199
Manna>‘ al-Qat}t}a>n, Maba>h}ith fi>> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, 99
200
Q.S. al-Baqarah/2: 2.
75

sampai saat ini tidak ada kitab tandingannya (‘ala> ayya’tu> bimithli ha>dha> al-
Qur’a>n la> ya’tu>na bimithlih).202 Namun demikian, telah terjadi pergeseran cara
pandang dikalangan sarjana terhadap Alquran sejak beberapa dekade terakhir
sebelum berakhir abad XX. Huston Smith dalam The World Religions
mengatakan bahwa belum pernah ada kitab dalam khazanah kegamaan pada
kebudayaan lain yang demikian sulit dimengerti oleh orang barat selain
Alquran.203 Apabila di masa-masa sebelumnya kitab suci tersebut di pandang
secara teologis, fenomena Alquran dari sisi asal usul dari mana ia berasal, maka
akhir-akhir ini fenomena tersebut didekati sebagai fenomena independen, sebagai
sebuah fakta kultural bukan karena sumber kemunculannya, tetapi karena dirinya
sendiri memang bermakna bagi masyarakat.
Di sepanjang sejarah, ada beberapa kalangan yang masuk dalam kategori
ini yang diperlakukan sebagai pelaku bid’ah, atau paling tidak diperangi bahkan
pahit-pahitnya hukuman mati sebagai imbas terberat. Bagaimanapun juga kedua
hukum tersebut memiliki konsekwensi makna yang sama, yakni berupa
memojokkan dan menafikan suara yang berbeda. Meskipun tidak dikafirkan,
misalnya Muktazilah tidak dapat tumbuh subur.204 Kecuali belakangan ini, dalam
tradisi Islam, termasuk Sunni tidak dapat berdampingan harmonis dengan aliran
ini. Bahkan, yang lebih menyedihkan buku-buku yang ditulis oleh mereka, tidak
sampai kepada kita karena dibakar atau di bumi hanguskan akibat fanatisme
mazhhab.
Orientalis atau orientalisme terambil dari kata orient yang berarti timur.
Ia adalah ilmu yang membahas tentang bahasa, budaya termasuk agama dan

201
Q.S. al-H{ijr/19: 9.
202
Q.S. al-Isa>’/17: 88.
203
Ketika Smith membandingkan Alquran, Perjanjian lama, dan Perjanjian Baru, ia
memaparkan bahwa Alquran memang lebih komplit meskipun hanya empat perlima panjangnya
dari Perjanjian Lama dan Baru. Begitupun sebaliknya, keduanya memiliki kekurangan yang tidak
terdapat dalam Alquran, yang kedua kitab suci Yahudi dan Nasrani itu diwahyukan pada tahap-
tahap awal dalam perkembangan rohani manusia dan proses penyampaiannya sebagaian telah
didistorsi. Lihat, Huston Smith, The World’s Religions (Sanfransisko: Harper Collins Publisher,
1991), 268.
204
Nas}r H{a>mid Abu> Zayd, Al-Quran Hermeneutika dan Kekuasaan, 9-10.
76

kesusastraan masyarakat Timur.205 Meskipun tidak selamanya benar, bisa jadi


ada pengecualian. Ini terbukti misalnya, Issa Boullata seorang penganut Kristen
asal Palestina dan kini warga Negara Kanada yang sempat juga mengajar di IAIN
Jakarta, menyangsikan bahkan mempertanyakan tulisan Na>jib al-‘Aqi>qi> dalam al-
Mustshriqu>n yang mencantumkan nama Fazlur Rahman, cendekiawan muslim
Pakistan, sebagai salah seorang orientalis.206 Perhatian pada spektrum yang lebih
luas mengenai serangan orientalis terhadap Alquran dalam berbagai dimensi
untuk dapat menyajikan suatu citra beberapa upaya dan tujuan Barat dalam
mencemarkan kemurnian teks Alquran. Tampaknya terdapat beberapa pintu
gerbang yang digunakan sebagai alat penyerang terhadap teks Alquran, salah
satunya menghujat dan meragukan penulisan dan kompilasinya.207
Menurut Jeffery sebagaimana dikutip M.M. A’z}ami> bahwa para ilmuwan
Barat tidak sependapat bahwa susunan teks Alquran baik ayat maupun suratnya
yang ada di tangan kita sekarang, sama dengan apa yang terdapat pada zaman
Nabi Muh}ammad.208 Semangat ini nampaknya bagi orientalis mempertanyakan
sebuah kegelisahan ‘Umar bin Khattab yang ketakutan akan lenyapnya ayat-ayat

205
M. Quraish Shihab. “Orientalisme.” Jurnal Studi al-Qur’ân, 1, no. 2 (2006): 21.
206
Lihat lebih lanjut, Na>jib al-‘Aqi>qi, al-Mustshriqu>n (Mesir: Da>r al-Ma‘a>rif, t.th.), 146.
Lihat pula, M. Quraish Shihab. “Orientalisme.” 22.
207
Ibnu Waraq kelahiran Rajkot, India tahun 1946 dari pasangan keturunan muslim India
yang melanjutkan studinya di Universitas Edinburg, Inggris di bawah asuhan langsung tokoh
orientalis terkenal, Montgomery Watt menyorot beberapa isu kontroversi yang berhubungan
dengan orisinalitas dan otentisitas Alquran. di antara isu itu adalah sebagai beikut: kerancuan
gramatika Alquran, dugaan adanya pengurangan dan penambahan ayat, nasikh mansukh dalam
Alquran, mengukur validitas Alquran dengan penemuan sains, kelahiran Isa, kekelirian sejarah
(histirical errors) dalam Alquran, cerita Yesus dalam Alquran. selain Ibnu Warraq, Mark A.
Gabriel juga banyak menyorot doktrin Alquran tentang jihad, perang, dan hubungan umat Islam
dengan Yahudi dan Kristen. Misalnya Gabril membahas surat al-Qita>l sebagai legitimasi perang,
Islam adalah teroris, kontradiksi dalam Alquran, dan Alquran memerangi ahl al-Kita>b. lihat, Ibn
Warraq, The Origins of The Qur’an, Essays on Islam’s Holy Book (New York: Prometheus
Books, 1998), 110-123, lihat pula Ibnu Warraq, Why I Am Not a Muslim (New York: Prometheus
Books, 1995), 111-158. Nasaruddin Umar. “al-Qur’an di Mata Mantan Intelektual Muslim: Ibn
Warraq dan Mark A. Gabriel”. Jurnal Studi al-Qur’ân, 1, No. 2 (2006): 87-132.
208
M.M. Al-A‘z}ami>, The History of The Qur’anicText From Revelation to Compilation A
Comparative Study The Old and New Testamenth, (Sejarah Teks Al-Qur’a>n dari Wahyu Sampai
Kompilasi: Kajian Perbandingan dengan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, terj. Sohirin
Solihin et. All. (Jakrta: Gema Insani Press, 2005), 338. Lihat pula Arthur Jeffery, The Textual
History of The Qur’an, (diakses 27 April 2010); diambilkan dari
http://www.bible.ca/islam/library/Jeffery/thq.htm.
77

suci Alquran, setelah banyaknya para penghafal Alquran wafat pada perang
Yamamah. Bukti kegelisahan Umar itu, diluapkan dengan mendesak Abu> bakar
yang ketika itu menjadi khalifah untuk segera mengkodifikasikan Alquran.
Pertanyaan lain misalnya yang dikembangkan oleh para orientalis, kenapa
tulisan-tulisan yang berbentuk suh}uf tidak langsung disimpan sendiri oleh Nabi,
dan kenapa pula Zayd bin Thabit yang ditunjuk sebagai pencatat kodifikasi
Alquran seolah tidak siap dengan hilangnya beberapa ayat dari surat Bara>’ah.
Walaupun sudah diketahui bahwa peristiwa itu diabadikan oleh hadis yang
diriwayatkan oleh Imam al-Bukha>ri> yang sudah dikenal kredibilitasnya di bidang
hadis, namun ini semua tidak diindahkan bahkan dianggap palsu oleh orientalis.
Di masa moderen seperti sekarang ini, gerakan-gerakan itu muncul dan
hampir mirip dengan fenomena di atas, baik mengatasnamakan lembaga maupun
gerakan perorangan. Hal ini dipengaruhi oleh trend pemikiran yang sedang
berkembang, umumnya datang dari pemikir Barat, di luar afiliasi keagamaan. Di
awal pergerakan dan pergeserannya trend besar itu muncul secara sadar ataupun
tidak, muncul melalui para orientalis. Tetapi pada kenyataannya sekarang, bukan
hanya muncul dari kalangan orientalis, tetapi sudah ada percikan dan cikal bakal
pemikiran orientalis yang menular kepada para sarjana Muslim yang berupaya
”membongkar” Alquran. Badawi> dalam penelitiannya menulis ada 294
orientalis. Urutan yang paling pertama, Badawi> memasukkan nama Arthur John
Arberry (1905-1069) dan posisi terakhir Theodor Willem Juynboll (1866-
1048).209 Beberapa nama ilmuan barat dan orientalis yang konsen terhadap
kajian Alquran misalnya Theodor Nöldeke (1836-1930), Goldziher, Yosep Schat,
Flügel, Blachëre, Mingana, Joseph Puin, Richard Bell, W. Montgomery Watt,
dan lain-lain. Metodologi yang menarik dari kajian mereka dapat dilihat sebagai
balas dendam, partisan dan keji. Maka, Parvez Manzoor menilai orientalis

209
‘Abd al-Rah}ma>n Badawi>, Mawsu>‘ah al-Mustasyriqi>n (Bayru>t: Da>r al-‘Ilm al-Mala>yi>n,
1993).
78

sebagai sesuatu yang frontal, subversif ketika itu, behind the lines, serangan
terhadap Alquran.210
Hubungan antara orientalis dan dunia Timur tentu tidak bisa dilepaskan
dari perkembangan sejarah hubungan antara dunia Islam an Kristen sejak
permulaan.211 Seperti diketahui, hubungan diskursif dan intelektual antara Timur
dan Barat sangat diwarnai oleh konteks permusuhan di abad pertengahan,212
khususnya pada Perang Salib.213 Polemik itu bertujuan menciptakan otentisitas
dari keunggulan, dengan mencitrakan Islam sebagai pejoratif, keliru dan
penyalahgunaan yang sengaja.214 Persentuhan kesarjanaan Barat tentang Alquran
pertama kali dilakukan dengan menerjemahkan Alquran ke bahasa-bahasa
Barat.215 Melacak tradisi awal orientalis yang berkonsentrasi dalam penyusunan
al-Qur’an berdasarkan kronologi turunnya surat-surat, disinyalir telah ada sejak
pertengahan abad ke-19.216 Bahkan, Rodinson menelusuri sejarah orientalisme

210
S. Parvez Manzoor. “Method Vis A Vis Truth: Orientalisme dan Studi al-Qur’ân.” Jurnal
Studi al-Qur’ân 1, no. 2 (2006): 46.
211
Karel Stenbrink. “Berdialog dengan Karya-karya Kaum Orientalis.” Jurnal Studi al-
Qur’an, 2, no. 2 (1996): 24.
212
Faried F. Saenong. “Kesarjanaan Alquran di Barat; Studi Bibliografis.” Jurnal Studi al-
Qur’an, 2, no. 2 (1996): 145.
213
Southern menjelaskan bahwa Perang Salib antara Islam dan Kristen memberikan
kontribusi terhadap kesalah pahaman Barat terhadap Islam. Lihat, Richard W. Southern, Western
Views of Islam in the Middle Ages (Cambridge: Harvard Univerrsity, 1962), 28.
214
Azim Nanji. “Introduction” dalam Azim Nanji (ed.), Mapping Islamic Studies:
Genealogy, Continuity and Change (Berlin & New York: Mouton de Gruyter, 1997), xi.
215
Beberapa karya penelitian misalnya terlihat mengindikasikan hal tersebut misalnya bisa
dilihat karya Arthur J. Arberry, The Koran Interpreted (London: Allen & Uwin, 1955), 7, George
Sale, The Koran: Translated into English (London: Frederick Warne, 1724), vii, W.M. Watt &
Richard Bell, Introduction to the Qur’an (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1991) 173,
‘Ali Qull Qara’i. ”The Qur’an and Its Translator.” Al-Tauhid, XII, no. 2 (1994).
216
Bahkan jauh sebelum itu, al-Ba>hi> menduga embrio orientalisme sudah ada pada abad XIII
M. hal ini ditandai dengan mula munculnya orientalisme khususnya setelah renaissance dan
reformasi ajaran agama Kristen. Pada mulanya agama Kristen menjadi motif utama kegiatan ini.
Bahkan agamawan Kristen Protestan memandang perlu memberikan interpretasi baru terhaap
teks-teks keagamaan mereka, agar sejalan dengan perkembangan baru. Sampai kemudian mereka
mengarah ke Timur, dengan mempelajari bahasa Ibrani dan Arab. Sehingga studi mereka
mencakup bahasa-bahasa Timur, agama dan kebudayaannya. Upaya agamawan ini disambut baik
oleh politisi yang merasa gagal dalam invasi ke Timur yang dikenal dengan Perang Salib,
makanya, sekian banyak agamawan bersekutu dengna penjajah. Akan tetapi tidak dapat
dinafikan, bukan satu-satunya tujuan mereka menyebarkan agama dan menjajah, ada juga yang
betul-betul bertujuan memenuhi hasrat kepada pengetahuan. Dalam rangka memantapkan itu,
79

sejak abad ke-4 M., hingga pertengahan abad ke-20.217 Cetusan Gustav Weil
(1808-1889 M.) melalui karyanya Historische-Kritische Einleitung in der
Koran,218 pada tahun 1844. Asumsi yang dikembangkan Weil adalah bahwa
dalam hal periodisasi Alquran ia membaginya ke dalam Makkiyah awal, tengah,
akhir, serta Madaniyyah.219
Di atas telah disinggung tentang pandangan sarjana muslim berkaitan
dengan penentuan kronologis pada riwayat yang menjelaskan tarti>b al-a>ya>t wa
al-suwar, yang menarik untuk diungkap di sini bagaimana pandangan kesarjanaan
barat, Montgomery Watt mengungkapkan bahwa para orientalis memusatkan
perhatian pada pertimbangan gaya Alquran, perbendaharaan kata, mereka
menjadikan al-Qur’an sebagai sasaran penelitian dengan menggunakan metode
kritik sastra dan kritik sejarah modern.220 Sedang dalam menetapkan pembagian

maka, dibentuklah lembaga-lembaga pendidikan yang berkembang di Negara “penjajah” seperti


di Inggris, Perancis, Belanda, Portugal dan lain-lain. Pada tahun 1636 Loud salah satu uskup
kenamaan Inggris membentuk program studi ( chair) di Universitas Oxford yang secara khusus
mempelajari bahasa Arab. Kemudian berkembang pesat di berbagai Universitas dan Akademi di
Inggris. Anatara lain, London University (1916), lahir pula di Negara-negara jajahan Inggris
Khurtum, Sudan dibentuk Gordon Memorial for Arabic Studies, di Afrika Selatan ada University
of Cape Town (1918), di Pakistan Universitas Punjab, Dakka, Australia lahir Universitas Sydney,
Melbourne, Queensland dan lain-lain. Tujuan yang ingin dicapai dari semua upaya itu adalah
selain motifasi ilmiah, juga mempersembahkan sesuatu yang bermanfaat buat raja dan Negara
melalui perdagangan, mengagungkan Tuhan, memperluas batas gereja, dan melakukan ajakan
memeluk agama Kristen. Lihat Muh}ammad Ba>ha>, al-Fikr al-Isla>mi> al-H{adi>th wa S}ilatuh bi al-
Isti‘ma>r al-Gharbi> (t.tp.: Maktabah Wahbah, 1991), 475-477. Lihat juga, M. Quraish Shihab.
“Orientalisme.”25-27.
217
Maxim Rodinson, Europe and the Mystique of Islam (London: Univ. of Washington
Press, 1987), ix-x. Lihat pula, Ihsan Ali Fauzi. “Orientalisme di Mata Orientalis Maxim Rodinson
tentang Citra dan Studi Barat atas Islam.” Jurnal Ilmu dan Kebuayaan Ulumul Qur’an, III , no. 2
(1991): 6.
218
Asumsi yang dipakai Weil dari para sarjana muslim ini kemudian diadopsi oleh Noldeke
tahun 1860 dan Schwally pada tahun 1909, dalam karya monumentalnya Geschichte des Qoran
dengan perubahan pada susunan kronologis surat-surat Alquran. karya bersama antara Noldeke
dan Schwally ini memengaruhi Regis Blachere dalam membuat terjemahan Alqurannya yang
berjudul Le Coran: Troduction Selon un Essai de Reclassement des Sourates (1949-1950). lihat
George Tamir, Muqaddimah al-Tarjamah al-‘Arabiyyah li Tari>kh al-Qur’an, (Bayru>t: Konrad-
Adenauer-Stiftung, 2004), xviii, Taufi>k Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an, 116-119,
lihat pula, al-Wah}idi, Asba>b al-Nuzul, 21-23.
219
Jane Dammen McAuliffe, Encyclopaedia of the Qur’an, (Leiden; Brill, 2001), 322, lihat
pula Muh}ammad ‘A>bid al-Ja>biri>, Madkhal ila> al-Qur’a>n (Bayru>t; Markaz Dira>sat al-Wih}dah al-
‘Arabiyah, 2004), 240-241.
220
W. Montgomery Watt, Bell’s Introduction to the Qur’an, ( Edinburgh, Edinburg
University Press, 2005), lihat juga: Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an, 116.
80

surat-surat Alquran mereka tetap mengikuti pembagian oleh kesarjanaan muslim


seperti yang telah diterangkan di awal.221
Beberapa penulis dari kalangan ilmuwan Barat222 dan orientalis membuat
teori miring tentang Alquran di antaranya Theodor Noldeke penulis Geshichte
des Qura>ns223 misalnya mengungkapkan anggapan bahwa Nabi Muh}ammad
pernah lupa tentang wahyu sebelumnya, sedang pada tahun 1927, Alphonse
Mingana pendeta Kristen asal Irak dan sekaligus guru besar di Universitas
Birmingham Inggris, menegaskan bahwa Nabi Muh}ammad maupun masyarakat
muslim tidak pernah menganggap Alquran secara berlebihan, kecuali setelah
meluasnya negara Islam. Bahkan, cukup aneh John Burton murid Wansbrough
mengklaim secara paradoks dan lebih dari semua klaim muslim tradisional,
bahwa keseluruhan Alquran sekarang adalah karya nabi Muhammad sendiri.224

221
Theodor Nöldeke, (Ed.) Freiderich Schwally, Ta>rikh al-Qur’a>n, terj. dan tah}qi>q George
Tamir, (Bayru>t: Konrad-Adenauer-Stiftung, 2004), 60.
222
Fazlur Rahman, guru besar kajian Islam di Universitas Chicago, mempunyai perhatian
serius berkenaan dengan ilmuwan Barat dan kajian Alquran dengan upayanya memetakan
literatur Barat dan kajian Alquran dalam abad modern ini menjadi tiga. Pertama: karya iru
berusaha mencari titik temu dan titik pengaruh Yahudi-Kristen di dalam kajian Alquran, kedua:
karya yang mengurai rangkaian kronologis dari ayat-ayat Alquran, dan ketiga: karya tersebut
berupaya menerangkan Alquran baik secara holistic maupun parsial saja dari ayat Alquran. Lihat
lebih lanjut Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur`an, (Chicago, University of Chicago Press,
1980), xvi.
223
Buku ini pertama kali terbit dengan bahasa Jerman pada tahun 1860, oleh penerbit
Gottingen, dalam pelacakan peneliti, karya Noldeke ini diterbitkan pula oleh Leipzig
Dicterich’sche Verlagsbuchhandlung, University of Toronto Library pada tahun 1919, kemudian
karya ini dianggap yang paling penting dalam memberikan sumbangan berharga bagi kajian
kronologi Qur’an. Edisi kedua dari buku ini direvisi dan diperluas oleh Schwally August Fi>scher,
Gotthelf Bergsträsser dan Otto Pretzl. Terbit dalam tiga jilid pada tahun 1909, 1919 dan 1938,
dan dicetak ulang dengan proses foto kopy pada tahun 1961, di terjemahkan dan di tah}qi>q pula
oleh George Tamir dengan judul Ta>rikh al-Qur’a>n. Karya Nöldeke ini terus dikembangkan
bersama Schwally, Bergsträsser, dan Otto Pretzl, dan ditulis selama 68 tahun sejak edisi pertama.
Hasilnya, sampai saat ini, Geschichte des Qorans menjadi karya standar bagi para orientalis
khususnya dalam sejarah kritis penyusunan Alquran. lihat lebih lanjut, W. Montgomery Watt,
Bell’s Introduction to the Qur’an, (Edinburgh, Edinburg Universitu Press, 2005), 109-110, lihat
pula Rudi Paret, The Study of Arabic and Islam at German Universities: German Orientalist
Since Theodor Nöldeke, (Weisbaden; Franz Steiner, 1968), 13-14, Theodor Nöldeke, (Ed)
Friedrich Schwally, Ta>rikh al-Qur’a>n, terj. dan tah}qi>q George Tamir, (Bayru>t: Konrad-Adenauer-
Stiftung, 2004), George Tamir, Muqaddimah al-Tarjamah al-‘Arabiyyah li Ta>rikh al-Qur’a>n,
(Bayru>t: Konrad-Adenauer-Stiftung, 2004), xi.
224
Penolakan yang lebih tegas terhadap tesis Wansbrough misalnya pernah dilakukan oleh
R.B. Sarjeant misalnya, menjelaskan intisari counter argument-nya terhadap Wansbrough dengan
ungkapan “an historical circumstance so public, (karena sejarah pewahyuan Alquran tidak pernah
81

Mereka, sekurang-kurangnya mempunyai pikiran bahwa kemungkinan ada


gunanya memelihara ayat-ayat Alquran bagi generasi mendatang. Melakukan
pendekatan terhadap permasalahan yang ada dari sudut pandang akal semata
tidaklah cukup untuk menolak anggapan itu.225 Lebih lanjut Mingana menabuh
genderang dengan mengumumkan statemen bahwa sudah tiba saatnya sekarang
untuk melakukan kritik teks terhadap Alquran sebagaimana telah kita lakukan
terhadap kitab suci Yahudi yang berbahasa Ibrani-Arami dan kitab suci Kristen
yang berbahasa Yunani (The time has surely come to subject the text of the
Koran to the some criticism as that to wich we subject the Hebrew and Aramaic
of The Jewish Bible, and the Greek of the Christian Scriptures).226
Genderang yang ditabuh Mingana di atas, kendati menyesatkan, namun
tidak serta merta ditanggapi dengan membabi buta, namun harus pula ditanggapi
secara ilmiah. Entah karena apa Mingana mengungkapkan seperti itu,227 peneliti
menduga bahwa pernyataan di atas keluar akibat dari kitab suci mereka yang
diyakini mereka sebagai kitab suci yang dianggap sudah banyak campur tangan
manusia, sebagaimana cendekiawan Kristen telah lama meragukan autentisitas
Bibel.228 Pernyataan di atas, ternyata cukup memikat, sehingga banyak diikuti
oleh orientalis belakangan lainnya.

terungkap). Perdebatan imiah yang ringkas dan tegas tentang penolakan terhadap metodologi
Wansbrogh, lihat Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an, (Chicago, University of Chicago
Press, 1980), Fazlur Rahman, Aproaches to Islam in Religion Studies, dalam R.C. Martin (ed.),
Aproaches to Islam in Religion Studies, (Arizona, 1985), 189-202, lihat juga Fazlur Rahman,
“Some Recent Books on the Qur’an by Western Authors.” Journal of Religion, 61, no. 1, (Januari,
1984): 73-95.
225
M.M. Al-A‘z}ami>, The History of The Qur’anicText, 56.
226
Syamsuddin Arif, “Al-Qur’an, Orientalisme dan Luxenberg”. dalam Al-Insan, Jurnal
Kajian Islam, Depok: Lembaga kajian dan Pengembangan Islam, Gema Insani, 1 , no. 1, (Januari,
2005): 9-10.
227
Hamka mengutip pendapat ‘Ali> H{usni> al-Kharbut}y, Guru Besar di ‘Ayn Syams, Mesir,
menyebutkan, bahwa ada tiga tujuan orientalisme di dunia Islam, yaitu (1) Untuk penyebaran
agama Kristen ke negeri-negeri Islam, (2) Untuk kepentingan penjajahan, (3) Untuk kepentingan
ilmu pengetahuan semata. Hamka, Studi Islam, (Jakarta: 1985), 12. Lihat pula, Catatan Akhir
Pekan Adian Husaini, Kajian Orientalis di UIN Jakarta, (akses 27 Aril 2010); didapatkan dari
www.hidayatullah.com.
228
Ada hasil penelitian seminar yang cukup mengejutkan yang dilakukan oleh 76 ahli dalam
berbagai disiplin keilmuan dari berbagai Universitas terkenal di dunia, yang dirangkum dalam
buku yang berjudul The Fi>ve Gospels: What did Jesus Really Say? The Search for the Authentic
82

Mingana tercatat bukan orang yang pertama kali melontarkan gagasan


semacam itu, dan ia juga tidak sendirian. Ternyata, jauh sebelum Mingana tahun
1834, Gustav Fluegel seorang orientalis Jerman, tepatnya di Leipzig. Fleugel
menerbitkan mus}h}af hasil renungan dan kajian filologinya, dan karya itu dikenal
dengan Corani Textus Arabicus. Baru kemudian datang Noldeke.229
Dalam satu artikel Encyclopesia Britannica (1891) Noldeke, tokoh
orientalis, menyebutkan banyak kekeliruam di dalam Alquran. Karena kejahilan
Muh}ammad kata Noledeke tentang sejarah awal agama Yahudi, kecerobohan
nama-nama dan perincian yang lain, yang ia curi dari sumber-sumber Yahudi.230
Ada ungkapan Noldeke yang perlu disimak sebagai berikut:
”Bahkan orang yahudi yang paling tolol sekalipun tidak pernah
salah menyebut Hamam (menteri Ahasuerus) untuk menteri Fir’aun,
ataupun menyebut Miriam saudara perempuan Musa dengan Maryam
(Miriam) ibunya al-masih... (dan) dalam kebodohannya tentang sesuatu di
luar tanah Arab, ia menyebutkan suburnya negeri Mesir di mana hujan
hampir-hampir tidak pernah kelihatan dan tidak pernah hilang karena
hujan dan bukan karena kebanjiran yang disebabkan oleh sungai Nil.”231

Dari pemaparan di atas, jelas Noldeke seolah mengada-ada, dipandang


dari segi logika bagaimana mungkin Nabi lupa dalam menyampaikan ayat yang
langsung disampaikan dari Allah melalui sentuhan malaikat Jibril. Jibril inilah
yang selalu mengawal dan membimbing Nabi, bahkan kema’shuman Nabi tidak

Words of Jesus, yang dialihbahasakan dan dikomentari oleh Robert W. Funk, Roy W. Hoover dan
Jesus Seminar. Dalam teks itu diberi tanda sebagai symbol yaitu merah ( red): that Jesus, pink:
sure sounds like Jesus, Grey: well, maybe, black: Jesus did not say this there been some mistaken.
Dan kesimpulan akhir para ahli dari seluruh dunia dalam seminar tentang ucapan Yesus dalam
Injil mengatakan “eighty two percent of the words ascribed to Jesus in the gospel werw not
actually spoken by him, according to the Jesus seminar” (delapan puluh dua persen yang dianggap
ucapan Yesus dalam Injil, sesungguhnya tidak diucapkan Yesus, menurut seminar tentang Yesus).
229
Syamsuddin Arif, “Al-Qur’an, Orientalisme dan Luxenberg.” 11.
230
Lihat, Ibn Waraq (ed.), The Origins of The Koran: Classic Essays on Islam’s Holy Book,
(Prometheus Book, Amherst, NY, 1998), 36-63, lihat pula Mus}t}afá A‘z}ami>, mengutip artikel di
Encyclopedia Britannica (1891), ia paparkan bahwa Nöldeke menyebutkan banyaknya kekeliruan
dalam Al-Quran karena, kata Nöldeke, “Kejahilan Muh}ammad” tentang sejarah awal agama
Yahudi – kecerobohan nama-nama dan perincian yang lain yang ia curi dari sumber-sumber
Yahudi.’’ Kemudian, A‘z}ami> membuktikan sejumlah kesalahan fatal kajian Noldeke tentang Al-
Quran. Mus}t}afá A‘z}ami>, The History of The Qur’anic Text, 341.
231
Teodor Noldeke, The Koran, dalam Ibn Waraq (ed.), The Origins of The Koran: Classic
Essays on Islam’s Holy Book, 43.
83

bisa dielakkan, dalam memelihara ingatan Nabi Muh}ammad secara konsisten


malaikat Jibril berkunjung setiap tahun, yang dengan sendirinya membantah
pandangan Noldeke di atas. Kalaupun dalam sejarah kodifikasi Alquran, Zayd
bin Thabit selaku sekertaris pencatat Alquran pernah kehilangan dua ayat
terakhir surat Bara’ah, namun berkat kecermatan dan ketepatannya akhirnya dua
ayat yang hilang bisa ditemukan dari mus}h}af H{afsah. Selanjutnya, Mingana
dalam pendapatnya di atas, nampaknya keliru. Dikatakan demikian karena
Alquran baik di mata Nabi maupun sahabat adalah wahyu yang agung, bahkan
setiap ayat turun kepada Nabi ada sahabat yang menulisnya melalui beberapa
media, ada pula yang langsung menghafalnya dalam hati mereka. Sehingga,
Alquran dalam perjalanan sejarahnya bahkan hingga kini, tetap terjaga keaslian
dan kemurniaannya. Bahkan, dalam beberapa redaksi Alquran menggunakan
kosakata tala>, yutla>, atlu>, tatlu>, dan yatlu> seperti pada Q.S. 2: 129 dan 151, 3:
164, 22: 45, dan 62: 2. Kesemua maknanya mengandung isyarat akan peranan
Nabi dalam mengenalkan langsung kepada ummatnya.
Hal lain yang tidak luput dari kritikan para orientalis adalah berkenaan
perbedaan ragam bacaan dalam Alquran. Menurut penelitian MM. Al-A’z}ami>
terdapat lebih dari 250,000 naskah Alquran dalam bentuk manuskrip, secara
lengkap maupun sebagian-sebagian, hingga abad hijriah sampai hari ini.
Kesalahan-kesalahan yang fatal sesungguhnya pernah dikaji dalam lingkungan
akademik pada dua kelompok disengaja atau tidak, dan dalam jumlah manuskrip
yang banyak ini, secara manusia mungkin saja masih ada kekurangan-kekurangan
dan celah, untuk mengatakan kurang sempurna. Beberapa karya tulis yang
mengupas masalah ini misalnya sebagai berikut: (1) Ernst Wurtwein, The Text of
The Old Testament, edisi kedua yang telah direvisi dan diperluas, William B.
Eerdmans publishing company, Grand rapids, Michigan, 1995; (2) Bart D.
Ehrman, The Ortodox Corruption of Scripture, Oxford Univ. Press, 1993; dan (3)
Bruce M. Metzger, The Text of The New Testament, Edisi ketiga, Oxford Univ.
Press, 1992.232

232
M.M. Al-A‘z}ami>, The History of The Qur’anicText, 167.
84

Buku pertama tentang Perjanjian Lama dan yang lainnya Perjajian Baru,
dan kesemuanya mengelompokkan tentang kesalahan. Hanya saja, nampaknya
kurang tepat bila perlakuan seperi itu dilakukan pula pada Alquran. Kalaupun
menurut mereka penulisan Alquran terdapat kesalahan, maka di mana letak
kesalahannya? Apakah dilakukannya dengan sengaja atau tidak. Baiklah coba
kita akan urai kejelasannya. Secara jujur kita akui sebelum terjadi seperti mus}h}af
yang kita pegang sekarang, Alquran atau tepatnya teks Alquran betul-betul
masih belum terdapat tanda baca, tanda titik dan bentuk huruf lainnya.
Goldziher sebagaimana dikutip M.M. A’dzami menanggapi perbedaan
bacaan dalam Alquran adalah kekeliruan dalam penulisan bahasa Arab zaman
dulu, tidak ada titik dan tanda diakritikal. Oleh karena itu Goldziher lebih
menajamkan analisisnya dengan membuat contoh, bentuk kata fi>l saat dibuang

tanda titiknya memungkinkan lahirnya ragam bacaan seperti: -‫قيل‬-‫قتل‬-‫فيل‬-‫ فيل‬,

‫قبل‬-‫قبل‬-‫قبل‬ ini berarti dia telah dibunuh seekor gajah sebelum mencium bagian

depan seperti yang telah disebut.233


Selain beberapa tokoh di atas, Sir William Muir (1819-1905 M),
menyodorkan upayanya menyusun surah berdasarkan kronologi pewahyuan
Alquran tentang biografi Nabi dalam karyanya Life of Mohamet (1858-1861 M.),
yang dimuat dalam essei mengenai: Sourches for the Biography of Mohamet”
dan ia mengungkapkan lebih lengkap dalam The Coran, its Composition and
Teaching; and the Testimony it Bears to the Holy Scriptures. Muir mengajukan
suatu aransemen kronologi surat-surat Alquran yang dikelompokkan pada enam
periode, lima periode Mekkah dan satu periode Madinah. Muir menyebutkan 93
surat Makkiyah dan 21 Madaniyah.234

233
M.M. Al-A‘z}ami>, The History of The Qur’anicText, 168.
234
Sir William Muir, The Life of Mahomet and History of Islam to the Era of the Hegira:
with Introductory Chapters on the Original Sourches for the Biography of Mahomet and on the
Pre-Islamite History of Arabia, (London, Smith, Elder and Co, 1981), 2, The Cöran, its
Composition and Teaching; and the Testimony it Bears to the Holy Scriptures, ( New York; E. &
J. B. Young & Co), 37, 43, lihat pula Theodor Noldeke, (Ed) Friedrich Schwally, Ta>rikh al-
Qur’a>n, 66-67, M. Watt, Bell’s Introduction to the Qur’an, 212, Taufi>k Adnan Amal,
85

Kemudian pada tahun 1937 muncul orientalis asal Australia yang pernah
mengajar di American University, Cairo dan menjadi guru besar di Columbia
University, Arthur Jefferi yang berupaya mendekonstruksi mus}h}af ‘Uthma>ni
dengan upayanya membuat mus}h}af baru. Hal ini berdasar pada kitab al-mas}a>h}if
karya Ibn Abi> Da>wud al-Sijasta>ni>, yang ia anggap sebagai bacaan-bacaan dalam
mus}h}af tandingan, yang dalam istilah Jeffery ia sebut rival codices.235 Usaha
kerasnya ini merupakan kelanjutan dari upaya Gothelf Bergstraesser dan Otto
Pretzl, keduanya ini yang mengumpulkan foto-foto lembaran manuskrip Alquran
dengan membuat edisi kritis, tetapi upayanya ini gagal karena dokumen-
dokumennya terbakar pada peristiwa Perang Dunia ke-II.236
Dari semua upaya-upaya itu, terlihat begitu besar ketertarikannya
orientalis terhadap kajian Alquran, terlepas usaha keras itu ingin merekonstruksi
Alquan, yang pasti dari kajian mereka kita kembali dikejutkan untuk selalu
menjaga dan paling tidak selalu mengakaji Alquran. Maka upaya apapun, baik
misalnya perdebatan na>sikh-mansu>kh menyoal adanya surat tambahan versi
Syi’ah, ingin merombak susunan ayat dan surat Alquran secara kronologis,
mengoreksi bahasa Alquran ataupun ingin mengubah redaksi ayat-ayat tertentu,
bahkan bukan hanya sampai di situ menebar isu mempersoalkan autentisitas
Alquran, dan lain-lain. Jelasnya, stigma miring ini tidak kemudian melunturkan
keimanan atau memurtadkan keyakinan, karena upaya mereka terbukti sampai
sekarang tidak berhasil. Justru malah sebaliknya, animo untuk mengkaji Alquran
dan keyakinan akan kitab suci Alquran semakin tinggi

Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an, 125-127, Taufi>k Adnan Amal &Sumsu Rizal Panggabean, Tafsir
Kontekstual al-Qur’an: Sebuah Kerangka Konseptual, (Bandung: Mizan, 1989).
235
Arthur Jefferi, Materials for The History of The Text of the Quran: The Old Codices,
(Leiden: E.J. Brill, 1937, akses 27 April 2010); didapatkan dari
http://www.bible.ca/islam/library/Jeffery/thq.htm.
236
Arthur Jefferi, The Quran as Scripture, (New York: R.F. Moore Co., 1952, akses 27 April
2010); yang berasal dari ceramah bertajuk The Textual History of The Quran, yang disampaikan
pada 31 Oktober 1946 di sebuah pertemuan the middle east society of Jarussalem, Israel.
Didapatkan dari http://www.bible.ca/islam/library/Jeffery/thq.htm.
86

DAFTAR PUSTAKA
‘Abba>s, Fad}l H}asan, al-Bala>ghah Funu>nuha> wa Afna>nuha>, tp.: Da>r al-Furqa>n,
t.tp.
Adnan, R. Muhammad, Al-Qur’an Suci Basa Jawi, 1969
Amal, Taufik Adnan, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Alvabet,
2005
Amal, Taufi>k Adnan &Sumsu Rizal Panggabean, Tafsir Kontekstual al-Qur’an:
Sebuah Kerangka Konseptual, Bandung: Mizan, 1989
Ambari, Muarif, Shaykh Nawawi al-Bantani Indonesia, Jakarta: Sarana Utama,
tt.
al-‘Aqi>qi, Na>jib, al-Mustshriqu>n, Mesir: Da>r al-Ma‘a>rif, t.th.
Appleby, Joyce, Lynn and Margaret Jacob, Post Modernism and The Crisis of
Modernity, dalam Telling the Truth About History, New York: W.W. Norton,
1994

Ananewbie, Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab (diakses 4 Juli 2010);


didapatkan dari http://ananewbie.wordpress.com/2009/09/07/prof-dr-
muhammad-quraish-shihab.

Anshori, Penafsiran Ayat-ayat Jender Dalam tafsir al-Mishbah, disertasi di UIN


Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2006.

Ahmad, Asnawi, “Pemahaman Shaykh Nawa>wi> tentang Ayat Qadar dan Jabbar
dalam kitab tafsirnya “Marah Labid.” Disertasi IAIN Syarif Hidayatullah,
Jakarta, 1989

At}a’, ‘Abd al-Qadir Ah}mad, dalam pengantar al-Suyu>thi, Asra>r Tarti>b al-Qur’a>n,
Kairo: Da>r al-I‘tis}a>m, 1978.
al-Bantani, Syaikh Nawawi, Tafsi>r al-Muni>r. Kairo, al-H{alabi, 1887.
Arif, Syamsuddin, “Al-Qur’an, Orientalisme dan Luxenberg”. dalam Al-Insan,
Jurnal Kajian Islam, Depok: Lembaga kajian dan Pengembangan Islam,
Gema Insani, 1, no. 1, Januari, 2005
Arief Subhan. “Tafsir Yang Membumi.” Majalah Tsaqafah, I. No. 3, 2003
Anwar, Hamdani, Jurnal Mimbar Agama dan Budaya, vol. XIX, no.2, 2003
A‘Zami, MM., The History of Qur’a>nic Text From Revelation to Compilation A
Comparative Study with the old and new Testament, (Sejarah Teks al-Qur’a>n
dari Wahyu sampai Kompilasi kajian Perbandingan dengan Perjanjian Lama
dan Perjanjian Baru), terj. Sohirin Solihin, Anis Mata, Ugi Suharto, Lili
Mulyadi, Jakarta: Gema Insani Press, 2005
Azra, Azyumardi, Jaringan Global dan Lokal I>slam Nusantara, Bandung: Mizan,
2002.
87

_______, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVI>I>
dan XVIII, Jakarta: Mizan, 1998

_______, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru,


Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2000
_______, (ed.), Sejarah dan Ulumul Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000.
Badawi>,‘Abd al-Rah}ma>n, Mawsu>‘ah al-Mustasyriqi>n, Bayru>t: Da>r al-‘Ilm al-
Mala>yi>n, 1993
Bakhtiar, Edi, “M. Quraish Shihab dan Metode Penafsiran al-Qur’an.” Jurnal
Substansia, I, No. 1, 2001
Bakker, Anton dan Achmad Charris Zubeir, Metodologi Penelitian Filsafat,
Yogyakarta: Kanisius, 1990

Ba>ha>, Muh}ammad, al-Fikr al-Isla>mi> al-H{adi>th wa S}ilatuh bi al-Isti‘ma>r al-


Gharbi>, t.tp.: Maktabah Wahbah, 1991
Barrie, Indonesians in Focus: M Quraish Shihab (akses 4 Juli 2010); didapatkan
dari http://www.planetmole.org/indonesian-news/indonesians-in-focus-m-
quraish-shihab.html.
Al-Bayhaqi>, Al-Madkhal ila> al-Sunan al-Kubra>, Kuwayt: Da>r al-Khulafa>’ li> al-
Kita>b al-Isla>mi>, 1404

Benda, Harry J., “Islam di Asia Tenggara dalam Abad ke-20.” Dalam Perspektif
Islam di Asia Tenggara, penyunting Azyumardi Azra, Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 1989

Behrend, T.E., et.al. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara jilid 4,


Perpustakaan Nasional Indonesia, Jakarta: YOI, 1998
al-Biqa>‘i>, Burha>n al-Din Ibn ‘Umar Ibrahi>m, Nadz} al-Dura>r fi> Tana>sub al-A>yat
wa al-Suwar, H{eidiradab: Majlis Da>ira>t al-Ma‘a>rif al-‘Uthma>niyyah, 1969

Al-Ba>qilla>ni>, I‘ja>z al-Qur’a>n, Bayrūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1996.

al-Bu>t}i, Muh}ammad Sa‘id Ramad}an, Min Rawa>‘i al-Qur’a>n, Bayrut-


Libanon/Damshik: Maktabah al-Farabi, 1397 H/1977 M.

Baidan, Nashruddin, Perkembangan Tafsir di Indonesia, diterbitkan oleh Tiga


serangkai, tahun 2003.
_______, Metodologi Penafsiran al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000
al-Baghda>di, I>d}a>h al-Maknu>n, Bayrut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1982

Baljon, J.M.S., Modern Muslim Koran Interpretation (1880-1960), Leiden: E.J.


Brill, 1968
88

Boulatta, Isa J.. “H{assan H{anafi>.” dalam John L. Esposito, (ed.), The Oxford
Encyclopedia of Islamic World, New York: Oxford University Press, 1995

Burhanuddin, Mamat S., “Hermeneutika Al-Quran ala Pesantren (Analisis


Trehadap Tafsir marah Labid Karya KH. Nawawi Banten, Yogyakarta: UII
Press, 2006
_______, “Hermeneutika al-Qur’a>n di Indonesia: Suatu Kajian Terhadap Kitab
tafsir al-Muni>r Karya KH. Nawawi Banten.” Disertasi UIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta, 2003
_______, “Shaykh Nawawi al-Bantani al-Jawi: al-Ghazali Modern.” Diakses dari
wwww. syaikh-nawawi-al-bantani-4.html.
Chalil, Munawar, Tafsi>r al-Qur’a>n Hidayatur Rahman, (Jakarta: Siti Sjamsiah,
1958)
Chaidar, Sejarah Pujangga Islam, Shaykh Nawawi al-Bantani-Indonesia, Jakarta:
CV. Utama, 1979

Abu> Da>wu>d, Sunan Abi> Da>wu>d, Mesir, Must}afa> al-Ba>bi> al-H{alabi>, 1952
al-Dhahabi>, Muh}ammad H{usayn, al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>>n, Kairo: Maktabah
Wahbah, 2000
Djamil, Fathurrahman, Jurnal Studia Islamika, vol. 6, no. 2, 1999

Departemen Agama, al-Qur’an dan Tafsirnya, Jakarta: Departemen Agama RI,


2004
al-Di>n, H}asan Muh}ammad Baja’, al-Wih}dah al-Maud}u>’iyyah fi> Su>rah Yu>suf,
Jeddah: Mat}bu>’ah Tiha>mah, 1983
El-Awa, Salwa M.S., Texstual Relation in The Quran: Relevance, Coherence and
Structure, Routledge, New York, 2006
Fawzi>, Rif‘at, al-Wah}dat al-Maud}u>‘iyah li> Surat al-Qur’a>niyah, Bayru>t: Da>r al-
Sala>m, 1986
Federspiel, Howard M., Popular Indonesian Literature of The Quran,
diterjemahkan oleh Tajul Arifin berjudul Kajian al-Quran di Indonesia Dari
Mahmud Yunus Hingga Quraish Shihab, Bandung: Miz}an, 1996
al-Fa>dani>,‘Ilm al-Di>n Ya>si>n bin ‘Abba>s, H}asan al-S}iya>ghah Sharh}} Duru>s al-
Bala>ghah, Rembang: al-Ma‘had al-Di>ni> al-Anwa>r, tt.

al-Farmawi, Abd al-H{ay, al-Bida>yah fi> Tafsi>r al-Maud}u‘’i>, Kairo: al-Had}arah al-
‘Arabiyah, 1977
Faiz, Fahruddin, Hermeneutika Al-Qur’an Tema-tema Kontroversial,
Yogyakarta: eLSAQ, 2005
89

Fauzi, Ihsan Ali. “Orientalisme di Mata Orientalis Maxim Rodinson tentang


Citra dan Studi Barat atas Islam.” Jurnal Ilmu dan Kebuayaan Ulumul
Qur’an, III, no. 2, 1991
Fath, Amir Faishol, The Unity of al-Qur’an, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2010
Gusmian, Islah, Khaz}anah Tafsir Indonesia: dari Hermeneutic hingga Idiologi,
Jakarta: Teraju, 2003.
Hasan, Hamka, Tafsir Jender: Studi Perbandingan antara Tokoh Indonesia dan
Mesir, Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Depag RI, 2009

Hanafi, Muhlis M., “Metode Tafsir Alquran Modern di Indonesia: Analisa


Terhadap Beberapa Karya Quraish Shihab.” Makalah “Refleksi karya M.
Quraish Shihab.” Perpustakaan PSQ, 23 Desember 2009
_______, “Refleksi karya M. Quraish Shihab.” Perpustakaan PSQ, 23 Desember
2009. Disampaikan pula pada acara Tribute to Prof. Dr. H.M. Quraish Shihab,
Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
_______, Urgensi Memahami Ilmu Muna>sabat, disampaikan dalam “Workshop
Para Penyusun Tafsir Tiga Serangkai, TOT Medan,” Jakarta, Gedung Pusat
Studi Alquran, 2009
Hakim, Lukmanul, Analisis Tentang Aspek Munasabah Dalam Ki>tab Tafsir al-
Maraghi> (Studi> Munasabah Antar Surat dan Antar Ayat), Disertasi di UIN
Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2006
H{anafi>, H{assan, al-Tura>th wa al-Tajdi>d: Mauqifuna min al-Tura>th al-Qadi>m,
Kairo: al-Markaz al-‘Arabi>, 1980

Hadiyanto, Andy, Repetisi Kisah Al-Quran (Analisis Struktural Genetik


Terhadap Kisah Ibrahim dalam Surat Makiyyah dan Madaniyyah), disertasi
UIN, 2009.

Harun, Salman, Hakekat Tafsir Tarjuman al-Mustafid Karya Syekh Abdurrauf,


disertasi doktornya di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 1988
_______, Mutiara Surat al-Fa>tihah; Analisis Syekh Muhammad Nawawi Banten,
Jakarta: CV Kafur, 2000

Hafiduddin, Didin, Tinjauan atas Tafsir Munir Karya Imam Muhammad Nawawi
Tanara dalam Warisan Intelektual Islam Indonesia, (Bandung: Miz}an, 1987

Hidayat, Komaruddin, “Membaca Sosok Quraish Shihab”, makalah Seminar


Pemikiran Quraish Shihab, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Ciputat
Jakarta, 28 September 1996
Hasan, A., Al-Furqa>n, Jakarta: Tinta Mas, 1962
Hafiduddin, Didin, “Tinjauan Atas Tafsi>r Muni>r Karya Imam Muh}ammad
Nawa>wi> Tanara” dalam Warisan Intelekyual Islam Indonesia, Bandung:
Mizan, 1987
90

Harahap, Syahri, Penuntun Penulisan Karya Ilmiah Studi Tokoh Dalam Bidang
Pemikiran Islam, Medan: IAIN Press, 1995

Hamka, Kenang-kenangan Hidup, Jakarta: Bulan Bintang, 1979


_______, Tafsir al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1994
H{anbal, Ima>m Ah}mad Ibn, Musna>d Ah}mad ibn H{anbal, Bayru>t: Da>r al-S{adi>r,
t.th.
Ichwan, Moch Nur, Al-Qur’an Sebagai Teks (Teori Teks dalam Hermeneutik
Qur’an Nasr Hamid Abu Zayd, dalam Studi al-Qur’a>n Kontemporer Wacana
Baru Berbagai Metodologi Tafsir, ed. Abdul Mustaqim – Sahiron Syamsudin,
Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2002

Iman, Fauzul. “Munasabah Al-Qur’an.” Jurnal Panji Masyarakat, no. 843,


November, 2005
Isti’anah, Metodologi> Muhammad Quraish Shihab dalam Menafsirkan Al-Quran.
Tesis di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2002.
Iyazi, Ali, al-Mufassirun, Hayatuhum wa Manhajuhum, Makkah: Wizarah al-
Thqafah, 1415
al-Ja>biri, Muh}ammad ‘A>bid, Madkhal ila> al-Qur’a>n al-Kari>m, Bayru>t; Markaz
Dira>sat al-Wih}dah al-‘Arabiyah, 2004

al-Ja>zimi>, ‘Ali dan Must}afa Ami>n, al-Balaghah al-Wa>d}ih}ah, Mesir: Da>r al-
Ma’a>rif, t.th.
Jansen, J.J.G., Diskursus Tafsir al-Qur’an Modern [buku on-line), Yogyakarta:
Tiara Wacana, t.th.
_______, The Interpretation of The Koran in Modern Egypt, Leiden: E.J. Brill,
1974

al-Ja>biri>, Muh}ammad ‘A>bid, Madkhal ila> al-Qur’a>n, Bayru>t; Markaz Dira>sat al-
Wih}dah al-‘Arabiyah, 2004
Jefferi, Arthur, Materials for The History of The Text of the Quran: The Old
Codices, Leiden: E.J. Brill, 1937
_______, The Koran Interpreted, London: Allen & Uwin, 1955
_______, The Textual History of The Qur’an, (diakses 27 April 2010);
diambilkan dari http://www.bible.ca/islam/library/Jeffery/thq.htm.

_______, The Quran as Scripture, New York: R.F. Moore Co., 1952, akses 27
April 2010, http://www.bible.ca/islam/library/Jeffery/thq.htm.
91

Johns, Anthony H., Islam di Dunia Melayu: Sebuah Survei Penyelidikan dengan
Beberapa Referensi Kepada Tafsir Alquran, dalam Az}yumardi Az}ra,
Perspektif Islam Asia Tenggara, Jakarta: YOI, 1987
_______, “Tafsir al-Qur’a>n di Dunia Indonesia-Melayu.” terj. Syahrullah
Iskandar, Jurnal Studi al-Qur’a>n, I, no. 3, 2006
_______, Islam in The Malay World: an Explanatory Survey With Some
Reference to Qur’anic Exegesis, Islam in Asia: Volume II Southeas and East
Asia, Boulden: Westview, 1984.
_______, Qur’anic Exegesis in the Malay World: in Search of a Profile, dalam
Andrew Rippin ed., Aproaches to The History of The Interpretation of the
Qur’an, Oxford: Clarendon House, 1988

al-Ja>wi>, Al-Syaykh Muh}ammad Nawa>wi>, Mara>h Labi>d – Tafsi>r al-Nawa>wi>,


Kairo: Da>r Ih}ya>’ al-Kutub al-‘Arabiyyah - ‘I>sa> al-Ba>bi> al-H}alibi>, t.t.
al-Jurjani, ‘Ali bin Muhammad bin ‘Ali, al-Ta‘rifat, Bayrut: Dar al-Kutub al-
‘Arabi>, 1405 H.

Khalaf Alla>h, Muh}ammad Ah}mad, al-Fann al-Qas}a>si} > fi> al-Qur’a>n al-Kari>m,
sharah} wa al-ta‘li>q oleh Khali>l ‘Abd al-Kari>m, Bayrut, Kairo, Si>na> li> al-Nashr
wa al-Intisha>r al-‘Araby, 1999

LAL, Anshari, Penafsiran Ayat-ayat Jender menurut Muhammad Quraish Shihab,


Jakarta: Visindo Media Pustaka, 2008

Kasim Bakri, Tafsir al-Quranul Hakim, 1960

Kemajuan Islam Yogyakarta, Qur’an Kejawen Sundawiyah


Khali>fah, H}aji, Kashfu al-Z}unun ‘an Asas al-Kutub wa al-Funun, Bayru>t: Da>r al-
Fikr, 1990
al-Khat}i>b, Muh}ammad Aja>j, Al-Sunnah Qabla al-Tadwi>n, trj., AH. Akram
Fahmi, Jakarta: Gema Insani Press, 1999

Kahalah, ‘Umar Rid}a, Mu'jam al-Mu’allifi>n Tara>jum Mus}annif al-Kutub al-


'Arabiyyah, Bayru>t: Da>r Ih}ya> Tura>s al-'Arabi, t.th.

Komaruddin, Kamus Riset, Bandung: Angkasa, 1984


Kompas, “Lebih Jauh dengan M. Quraish Shihab”, Minggu, 18 Februari
1996Shihab, Umar, Kontekstualisasi Al-Qur’an: Kajian Tematik Atas Ayat-
ayat Hukum dalam Al-Qur’an, Jakarta: Penamadani, 2005

Mir, Mustansir, Coherence in The Quran: A Study of Ishlahi’s Concept of Naz}m


in Tadabbur al-Quran, Indianapolis: American Trust Publication, 1986
92

Maarif, Syafii, Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, Bandung: Mizan,


1993

Muhajir, Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Yake Sarasin,


1996
Muhammad, Ahsin Sakho, “Aspek-aspek Penyempurnaan Terjemah dan Tafsir
Departemen Agama.” Jurnal Lektur Keagamaan, Jakarta, Puslitbang Lektur
Keagamaan Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Departemen
Agama RI, 3, no. 1, 2005

Manzoor, S. Parvez. “Method Vis A Vis Truth: Orientalisme dan Studi al-
Qur’ân.” Jurnal Studi al-Qur’ân 1, no. 2, 2006

Muir, Sir William, The Life of Mahomet and History of Islam to the Era of the
Hegira: with Introductory Chapters on the Original Sourches for the
Biography of Mahomet and on the Pre-Islamite History of Arabia, London,
Smith, Elder and Co, 1981
Ma>lik, Ima>m, al-Muwat}t{a’, Mesir: Kita>b al-Sha‘bab, t.th.
Mushtahafa Rembang, Bisyri, al-Ibri>z}, 1960
Musadad, Endad, Muna>sabah dalam Tafsi>r Mafa>tih al-Ghaib, Tesis di UIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta, tahun 2005.
Nahrawi, Izza Rahman, Profil Kajian Alquran di Nusantara Sebelum Abad ke 20,
Jurnal al-Huda, vol. II, no.6, 2000.
Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Beberapa Aspeknya, Jakarta: UI Press,1985

Nurtawab, Ervan, Melacak Tradisi Awal Penafsiran Alquran di Nusantara, Jurnal


Lektur Keagamaan 4:2, 2006.

_______, Discourse on Translation in Hermeneutics: Its Application to The


Analysis of Abdurra’uf’s Turjuman al-Mustafid, tesis di Sekolah
Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2007.
_______, Tafsir al-Quran Nusantara Tempo Doeloe, Jakarta: Ushul Press, 2009.

Nöldeke, Theodor, (Ed.) Freiderich Schwally, Ta>rikh al-Qur’a>n, terj. dan tah}qi>q
George Tamir, Bayru>t: Konrad-Adenauer-Stiftung, 2004
Nawawi, Hadari, Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gajah Mada
University Press, 2003
Nawawi, S}ah}i>h} Muslim bi Sharh} Nawawi, Kairo: Da>r al-H}adi>th, 1994

> id Abu> Zayd, Al-Quran Hermeneutika dan Kekuasaan, terj. Dede


Nas}r H{am
Iswadi, et.all., Bandung: RQiS, 2003
93

Nizar, M., Metodologi Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988

Nanji, Azim. “Introduction” dalam Azim Nanji (ed.), Mapping Islamic Studies:
Genealogy, Continuity and Change, Berlin & New York: Mouton de
Gruyter, 1997
Noer, Deliar, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: PL3ES,
1990
Paret, Rudi, The Study of Arabic and Islam at German Universities: German
Orientalist Since Theodor Nöldeke, Weisbaden; Franz Steiner, 1968

P., Musthafa, M. Quraish Shihab Membumikan Kalam di Indonesia,


(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010

Powers, David S., “The Exegetical Genre Na>sikh al-Qur’`a>n wa mansu>khuhu,”


dalam Andrew Rippin, Approach to the History of the Interpretation of the
Qur’an, Oxford: Clarendon Press, 1988
al-Qat}t}a>n, Manna>‘ Khali>l, Maba>hi} th fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, Bayru>t: Manshu>ra>t al-
‘As}r al-H{adi>th, 1393 H.
Qara’i, ‘Ali Qull. ”The Qur’an and Its Translator.” Al-Tauhid, XII, no. 2, 1994
al-Qurt}u>bi, Abi> ‘Abd Alla>h Muhammad bin Ah}mad al-Ans}a>ri, al-Jami‘ li> al-
Ah}ka>m al-Qura>n, Bayrut: Da>r al-Fikr, 1993.
Rahman, Fazlur, Islam dan Modernitas : Tentang Transformasi Intelektual, Ahsin
Mohammad (penterjemah), Bandung : Penerbit Pustaka, 1995

_______, Islam and Modernity, Chicago: Universitas of Chicago Press, 1982


_______, “Some Recent Books on the Qur’an by Western Authors.” Journal of
Religion, 61, no. 1, Januari, 1984

Setiawan, M. Nur Kholis. “Al-Qur’an dalam Kesarjanaan Klasik dan


Kontemporer.” Jurnal Studi al-Qur’ân, 1, no. 1, 2006
al-Sya>thi’, A‘i>shah ‘Abd al-Rah}ma>n bint, al-Tafsi>r al-Baya>ni li> al-Qur’a>n al-
Kari>m, Kairo: Da>r Ih}ya> al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1992

Rid}a>, Muh}ammad Rashi>d, Tafsi>r al-Mana>r, Bayru>t: Da>r al-Fikr, 1998

al-Rafi>‘i>, Mus}t}afá S}adiq, Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m, Bayru>t: Da>r al-Ma>‘rifah, t.t.
al-Ra>fi’i>, Mus}t}afa> S{a>diq, I‘ja>z} al-Qur’a>n wa al-Bala>gah al-Nah}wiyyah, Bayrūt:
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. ke-3, 1990.
Riddell, Peter G., From Kitab Malay to Literary Indonesian: A Case Study in
Semantic Change, dalam Indo-Islamika, Journal of Islamic Science, Sekolah
94

Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Volume 5, November 1,


2008/1429
_______, “The Sources of ‘Abd al-Ra’u>fs Tarjuma>n al-Mustafi>d.” Journal of
Malaysian Branch of Royan Asiatic Sociaty, LVII 92, 1984

_______, Transferring a Tradition: Abd al-Rauf al-Singkili’s rendering into


Malay of The Jalalayn Commentary, Berkeley, CA: Center for South and
Southeast Asian Studies, University of California, 1990.
Rodinson, Maxim, Europe and the Mystique of Islam, London: Univ. of
Washington Press, 1987
Saenong, Faried F.. “Kesarjanaan Alquran di Barat; Studi Bibliografis.” Jurnal
Studi al-Qur’an, 2, no. 2, 1996

Rasyad, Aminuddin, “Perguruan Diniyyah Perkembangan Puteri Padang Panang


1923-1978: Suatu Studi Mengenai Perkembangan Sistem Pendidikan
Agama.” Disertasi IAIN Jakarta (1982
al-Shaukani, Muh}ammad ‘Ali, al-Badr al-T}ahli bi Mah}as> in min Ba‘di al-Qarn al-
Sabi‘, Bayru>t: Da>r al-Ma’a>rif, t.t.

Southern, Richard W., Western Views of Islam in the Middle Ages, Cambridge:
Harvard Univerrsity, 1962
Steenbrink, Karl A., Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad 19,
Jakarta: Bulan Bintang, 1984
_______, Qur’an Interpretations of Hamzah Fansuri (1600) and Hamka (1908-
1982): A Comparison, Jurnal Studia Islamika, 2:2, Program Pascasarjana
I>AI>N Jakarta, 1995.

_______, “Hamka (1908-1981) The Integration of The Islamic Ummah of


Indonesia.” Studia Islamika, Indonesian Journal for Islamic Studies, 1, no. 3,
1994

_______, “Berdialog dengan Karya-karya Kaum Orientalis.” Jurnal Studi al-


Qur’an, 2, no. 2, 1996
Suprayogo, Imam dan Tobroni, Metode Penelitian Sosial-Agama, Bandung:
Remaja Rosda Karya, 2001

Subhan, Arif, Majalah Tsaqafah, Vol. 1, no.3, 2003.

Surur, M. Sobahus, “Telaah tentang Tafsir Alquran Departemen Agama RI.”


Jurnal Lektur Keagamaan, Jakarta, Puslitbang Lektur Keagamaan Badan
95

Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Departemen Agama RI, 1, no. 1,


2003
Shaghir, Wan Moh. Shaghir Abdullah, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Toko-
Tokohnya di Nusantara, Surabaya: al-Ikhlas, 1980
Sale, George, The Koran: Translated into English, London: Frederick Warne,
1724
al-Sabt, Kha>lid ‘Uthma>n, Qawa>’id al-Tafsi>r Jam’an wa Dira>sah, Mesir: Da>r Ibn
‘Affa>n, 1421 H.

Shihab, Alwi, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, Bandung:
Mizan, 1999

Shihab, Umar, Kontekstualisasi Al-Qur’an: Kajian Tematik Atas Ayat-ayat


Hukum dalam Al-Qur’an, Jakarta: Penamadani, 2005

Ash-Shiddiqy, Hasbi, Tafsir An-Nur, Jakarta: Bulan Bintang, 1976

Shihab, M. Quraish. “Naz}m al-Durar li> al-Biqa‘i> Tah}qi>q wa Dira>sah.” Disertasi


Doktor Universitas al-Azhar Cairo, 1982
_______, Ibrahim bin Umar al-Biqa‘i>: Ahli Tafsir yang Kontroversial, Jurnal
Ulumul Qur’an, LSAF, Vol. 1, 1989
_______, “Metode Tafsir: Tak ada yang Terbaik.” Jurnal Pesantren, VII, no. 1,
1991

_______, “Orientalisme.” Jurnal Studi al-Qur’ân, 1, no. 2, 2006

_______, Tafsir al-Mishba>h Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Jakarta:


Lentera hati, 2006
_______, Al-Luba>b: Makna, Tujuan dan Pelajaran dari al-Fa>tih}ah} & Juz ‘Amma
Jakarta: Lentera Hati, 2008
_______, dalam pengantar buku Taufik Adnan Amal. Rekonstruksi Sejarah Al-
Qur’an, (Jakarta: Pustaka al-Fabets, 2005
_______, Panduan Shalat Bersama Quraish Shihab, Jakarta: Republika Press,
2003
_______, Doa Harian Bersama M. Quraish Shihab, Jakarta: Lentera Hati, 2009
_______, Rasionalitas al-Quran Studi Kritis atas Tafsir al-Manar, Jakarta:
Lentera hati, 2006
_______, Perjalanan Menuju Keabadian, Kematian, Surga dan Ayat ayat Tahlil,
Jakarta, Lentera Hati, 2001
96

_______, Hidangan Ilahi Ayat-Ayat Tahlil, Jakarta: Lentera Hati, 1996

_______, Fatwa-Fatwa Seputar Tafsir al-Qur’an, Bandung: Miz}an, 1999

_______, Pengantin al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, 1999

_______, Sejarah dan Ulumul-Qur’an Jakarta : Pustaka Firdaus, 1999

_______, Fatwa-Fatwa Seputar al-Qur’an dan Hadis, Bandung: Miz}an, 1999

_______, M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu


dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1994

_______, Studi Kritis Tafsir al-Manar Karya Muhammad Abduh dan M.Rasyid
Ridha, Bandung : Pustaka Hidayah, 1994

_______, Untaian Permata Buat Anakku ; Pesan al-Qur'an untuk mempelai,


Bandung: al-Bayan, 1995

_______, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat,


Bandung: Mizan, 2005

_______, Mukjiz}at al-Qur’an Ditinjau dari Aspek Kebahasaan Isyarat Ilmiah dan
Pemberitaan Gaib, Bandung: Miz}an, 1998.
_______, Menyingkap Tabir Ilahi, Asma> al-Husna> dalam Perspektif al-Qur'an
Jakarta: Lentera Hati, 1998
_______, Ensiklopedia Al-Qur’an: Kajian Kosakata, Jakarta: Lentera Hati, 2007
_______, Fatwa-Fatwa Seputar Ibadah Mahdah, Bandung: Mizan, 1999
_______, Fatwa-Fatwa Seputar Ibadah dan Muamalah, Bandung: Mizan, 1999
_______, Fatwa-Fatwa Seputar Wawasan Agama, Bandung: Mizan, 1999
_______, Fatwa-Fatwa Seputar Tafsir Alquran, Bandung: Mizan, 1999
_______, Haji Bersama M. Quraish Shihab Panduan Praktis Menuju Haji
Mabrur, Bandung: Mizan, 1999
_______, Panduan Puasa Bersama Muhammad Quraish Shihab, Jakarta:
Republika, 2000
_______, Sahur Bersama Muhammad Quraish Shihab di RCTI, Bandung: Mizan
1997
_______, Yang Tersembunyi : Jin, Iblis, Setan, dan Malaikat dalam al-Qur’an –
as-Sunnah, Jakarta: Lentera Hati, 1999
97

_______, Menjemput Maut, Jakarta: Lentera Hati, 2002


_______, Mistik, Seks dan Ibadah, Jakarta: Republika, 2004
_______, Jilbab, PakaianWanita Muslimah Pandangan Ulama Masa Lalu &
Cendekiawan Kontemporer, Jakarta : Lentera Hati, 2004
_______, Dia Dimana Mana Tangan Tuhan di balik Setiap Fenomena, Jakarta:
Lentera Hati, 2004
_______, Perempuan: dari Cinta Sampai Seks, dari Nikah Mut’ah ke Nikah
Sunnah, dari Bias Lama sampai Bias Baru, Jakarta : Lentera Hati, 2005
_______, Logika Agama; Kedudukan Wahyu dan Batas-batas Akal dalam Islam,
Jakarta : Lentera Hati, 2005
_______, Menabur Pesan Ilahi; al-Qur’an dan Dinamika Kehidupan Masyarakat
Jakarta: Lentera hati, 2006
_______, Wawasan al-Qur’an tentang Zikir dan Doa, Jakarta: Lentera Hati 2006
_______, Yang Sarat & Yang Bijak, Jakarta: Lentera hati, 2007
_______, Secercah Cahaya Ilahi Hidup bersama al-Qur’an (Mizan: Bandung,
2007
_______, Ayat-ayat Fitna Sekelumit Keadaban Islam di Tengah Purbasangka,
Jakarta: Pusat Studi al-Quran dan Lentera Hati, 2008
_______, M. Quraish Shihab Menjawab: 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda
Ketahui, Jakarta: Lentera hati, 2008
_______, Kehidupan Setelah Kematian Surga yang Dijanjikan al-Qur’an, Jakarta:
Lentera Hati, 2008
_______, M. Quraish Shihab Menjawab – 101 Soal Perempuan yang Patut Anda
Ketahui, Jakarta: Lentera hati, 1010
_______, Berbisnis dengan Allah: Tips Jitu Jadi Pebisnis Sukses Dunia-Akhirat
(Jakarta: Lentera hati, 2008
_______, 40 Hadits Qudsi Pilihan, Jakarta: Lentera Hati, 2005

_______, Tafsir al-Manar, Keistimewaan dan Kelemahannya, Ujung Pandang:


IAIN Alaudin,1984

_______, Tafsir al-Amanah, Jakarta:Pustaka Kartini, 1992

_______, Tafsir al-Qur’an al-Karim atas Surat-Surat Pendek Berdasarkan Urutan


Turunnya, Bandung :Pustaka Hidayah,1997

_______, Mahkota Tuntunan Ilahi; Tafsir Surah al-Fatihah, Jakarta : Untagama,


1998
98

Shihab, M. Quraish, Filsafat Hukum Islam, Jakarta : Depag, 1987

_______, Satu Islam Sebuah Dilema, Bandung: Mizan, 1987

_______, Pandangan Islam Tentang Perkawinan Usia Muda, MUI, Unisco,1990

_______, Fatwa-Fatwa Seputar Ibadah dan Muamalah, Bandung: Mizan, 1999

_______, Fatwa-Fatwa Seputar Wawasan Agama, Bandung: Mizan, 1999

_______, Menuju Haji Mabrur, Jakarta: Pustaka, Zaman, 1999

_______, Panduan Puasa Bersama Muhammad Quraish Shihab, Jakarta:


Republika, 1999

_______, Mahkota Tuntunan Ilahi; Tafsir Surah al-Fatihah, Jakarta:


Untagama,1988

_______, Lentera Hati Kisah dan Hikmah Kehidupan, Bandung: Mizan, 1994

_______, Sahur Bersama Muhammad Quraish Shihab di RCTI, Bandung: Mizan


1997

_______, Menyingkap Tabir Ilahi, Asma al-Husna dalam Perspektif al-Qur'an,


Jakarta: Lentera Hati, 1998

_______, Fatwa Fatwa Seputar Ibadah Mahdah, Bandung: Mizan, 1999

_______, Yang Tersembunyi : Jin, Iblis, Setan, dan Malaikat, Jakarta: Lentera
Hati, 1999

_______, Perjalanan Menuju Keabadian, Kematian, Surga dan Ayat ayat Tahlil,
Jakarta: Lentera Hati, 2001

_______, Menjemput Maut, Jakarta: Lentera Hati, 2002

_______, Mistik Seks dan Ibadah, Jakarta: Republika, 2004

_______, Jilbab PakaianWanita Muslimah, Jakarta: Lentera Hati>, 2004

_______, Dia Dimana Mana, Jakarta: Lentera Hati, 2004

_______, Perempuan, Jakarta: Lentera Hati, 2005

_______, Logika Agama, Jakarta : Lentera Hati, 2005


99

al-Siba>‘i>, Mus}t}afá, al-Sunnah wa Maka>natuha> fi> al-Tashri>>‘ al-Isla>mi> (Sunnah dan


Peranannya dalam Penetapkan Syariat Islam) terj. Nurchalis Madjid, Jakarta:
Pustaka Fi>rdaus, 1995
al-Sa‘id, Labib, al-Jam‘ al-S}auti> li> al-Qur’a>n al-Kari>m, Mesir: Da>r al-Ka>tib al-
‘Ara>by, t.th.

Syari>f, Muh}ammad, Ittija>ha>t al-Tajdi>d fi> Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m fi> Mis}r,
Kairo: Da>r al-Tura>th, 1982

al-Sabt, Kha>lid Uthma>n, Qawâ‘id al-Tafsi>r Jam‘an wa Dira>satan, al-Mamlakah


al-‘Arâbiyyah al-Su‘u>diyyah: Da>r ibn ‘Affan, 1999

al-Suyu>thi, Jalaluddi>>n, al-Itqan fi>> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, Damaskus: Da>r al-Fi>kr, 1979.
Suma, Muhammad Amin, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Fi>rdaus,
2000
Syuhbah, Muh}ammad ibn Muh}ammad Abu>, al-Madkhal li Dira>sa>h al-Qur’a>n al-
Kari>m, Mesir: Maktabah al-Sunnah, 1992
Subh}i al-S}a>lih}, Maba>hi} th fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Bayru>t, Da>r al-‘Ilm li> al-Mala>yi>n,
1988), 71.

al-S}abu>ni>, Muh}ammad ‘Ali>, Al-Tibyan fi> ‘Ulum al-Qur’a>n, 1401 H/1981 M.

al-Sya>thibi>, al-Muwa>faqa>t, Bayrut: Da>r al-Fi>kr, 1975.

Shahrur, Muhammad, Al-Ki>ta>b wa al-Qur’a>n : Qira’ah Mua>s}irah, Kairo : Sina


Publisher, 1992.

Shahat}ah, ‘Abd Alla>h Mah}mu>d, Ahda>f Kulli Su>rat wa Maqa>s}i>diha> fi>> al-Qur’a>n
al-Kari>>m, Mesir: Al-H{ay’at al-Mis}riyyah al-‘Ammah li>> al-Kita>b, 1986

al-Suyu>t}i>, ‘Abd Al-Rah}ma>n Ibn Abi>> Bakr Ibn Muh}ammad Abu> al-Fad}l, Asra>r
Tarti>>b al-Qur’a>n, Kairo: Da>r al-I‘tisha>m, 1978
_______, al-Suyu>t}i>,‘Abd al-Rah}ma>n bin Abi> Bakr, al-Tah}ri>r Fi> ‘Ilm al-Tafsi>r,
tah}qi>q: Fath}i> Fari>d, Kairo: Da>r al-Mana>r li> al-Nashr wa al-Tauzi‘, 1406 H.
SPS UI>N Jakarta, The School, vol. 2. No. 5/ Mei 2009, h. 4
Tihami. “Pemikiran Fiqh Shaykh Imam Nawawi al-Bantani.” Studia Islamika 8,
no. 1-3, 2001
Tamir, George, Muqaddimah al-Tarjamah al-‘Arabiyyah li Ta>rikh al-Qur’a>n,
Bayru>t: Konrad-Adenauer-Stiftung, 2004
Umar, Nasaruddin. “al-Qur’an di Mata Mantan Intelektual Muslim: Ibn Warraq
dan Mark A. Gabriel”. Jurnal Studi al-Qur’ân, 1, No. 2, 2006
100

al-Wa>h}idi>, Abu> H{asan ‘Ali ibn Ah}mad, Asba>b al-Nuzu>l, Bayru>t, Da>r al-Fi>kr,
1991

Watt, W. Monthomery, Bell’s Introduction to The Qur’a>n, Leiden: Edi>nburgh


Uni>versi>ty Press, 1994
_______, Richard Bell: Pengantar Studi> Quran, terj. Lilian D. Tedjasudana,
Jakarta: I>NI>S, 1998
Ibnu Warraq, Why I Am Not a Muslim, New York: Prometheus Books, 1995
Ibn Warraq, The Origins of The Qur’an, Essays on Islam’s Holy Book, New
York: Prometheus Books, 1998

Yusuf, Yunan, Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar, Sebuah telaah tentang
Pemikiran Hamka Dalam Teologi Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990.
_______, Karakteristik Tafsir al-Quran di Indonesia Abad 20, Jurnal Ulum al-
Quran, Vol. III, no.4, 1992
Yu>suf, Muh}ammad Ah}mad, I’ja>z al-Baya>ni> fi> Tarti>b A>ya>t al-Qur’a>n wa
Suwaruh, Mesir: Da>r al-Mat}ba’ah al-Dauliyah, 1979

Yunus, Mahmud, Tafsi>r Qur’a>n Indonesia, 1935

al-Z}arqa>ni>, Muh}ammad ‘Abd al-‘Az}i>m, Mana>hil al-‘Irfa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n,


Bayru>t: Da>r al-Fikr, 1988

Al-Z}arkasyi>, Muhammad Burhanuddin, Al-Burha>n fi ‘Ulu>m al-Qur’a>n, Mesir:


Da>r Ih}ya> al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1957.

Zayd, Nas}r H{ami>d Abu>, Mafhu>m al-Nas}: Dira>sah fi>> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, kairo: Da>r
al-Ihya> al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1992

_______, Tekstualitas al-Qur’an : Ktitik Terhadap Ulumul Qur’an, terj. Khai>ran


Nahdiyyin, Yogyakarta : LkiS, 2001

E. Websi>te
101

Harun Salman, “Kerancuan-kerancuan Istilah-istilah dalam Metodologi Tafsir.”


Diakses tanggal 19 Agustus 2010 dari http://salmanharun-
institute.blogspot.com/2009/01/kerancuan-istilah-istilah-dalam_01.html.

Husaini, Adian, Kajian Orientalis di UIN Jakarta, (akses 27 Aril 2010);


didapatkan dari www.hidayatullah.com.

http://doi.wiley.com/10.1002/9780470751428.fmatter, unduhan, 20 Januari 2010,

http://www.google.co.id/search?client=opera&rls=en&q=Salwa+M.S.+ElAwa&s
ourceid=opera&ie=utf-8&oe=utf-8, unduhan, 20 Januari 2010

http://www.psq.or.id/profi>le.asp?mnid=14, unduhan 14 Januari 2010

http://www.bible.ca/islam/library/Jeffery/thq.htm.

http://kolom-biografi.blogspot.com/2009/08/biografi-quraish-shihab.html.

http://ichwanzt.blogspot.com/2008/06/biografi-quraish-shihab.html.
http://tiarawacana.co.id/kat_infobuku.php?ID=31.
http://wikipedia.org/wiki/Daftar_Menteri_Agama _Republik_Indonesia, akses 14
Juli 2010.

http://www.psq.or.id/profile.asp?mnid=15, akses 14 Juli 2010


Omar, Hasuria Che, Haslina Haroon, Aniswal Abd Ghani, The Sustainable of
The Translation Field, 26. [book on-line] (diakses 19 Agustus 2010); didapatkan
dari:http://books.google.com/books

Singh, Nagendra Kr, International Encyclopaedia of Islamic Dinasties :103.


[book on-line], (diakses 19 Agustus 2010); didapatkan dari
http://books.google.com/books?id.

al-Sha>mir, Ra>bit}ah ’Udaba>’. Al-Shaykh Manna‘ al-Qat}t}a>n, (akses 3 Juli 2010);


dari http://www.odabasham.net/show.php?sid=8353.

Latif, Yudi, Indonesian Muslim Intelligentsia and Power, Institute of Southeast


Asia Studies International Encyclopaedia of Islamic Dynasties, 69-73. [book on-
102

line] (diakses 19 Agustus 2010); didapatkan dari:


http://books.google.com/books?

Kamilah, Natijah, Corak tafsir al-Mishba>h Karya M. Quraish Shihab (akses 5 Juli
2010); didapatkan dari http://natijahkamilah.blogspot.com/2009/03/corak-tafsir-
al-misbah-karya-m-quraish.html

F. Kamus
al-Afri>qi>, I>bnu Manz}u>r, Lisa>n al-‘Ara>b, Bayrut: Da>r al-S{adi>>r, tth.

Al-Baqi>>, Muh}ammad Fu’ad ‘Abd, al-Mu‘ja>m al-Mufharas li> al-Fa>z} al-Qur’a>n,


Bayrut: Da>r al-Fi>kr, 1987

Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1996

al-Fayru>z Aba>di, Kamu>s al-Muh}it> }, Bayrut: Da>r al-H{ayl, t.th.

al-Is}faha>ni>, Ima>m, al-Mufrada>t li> Al-Fa>z} al-Qur’a>n, Damaskus: Da>r al-Qalam,


1992

Munawwir, A.Warson, Kamus al-Munawwir, Yogyakarta: Unit Pengadaan Buku


PP al-Munawwir, 1984

Ma’luf, Lois, Qamus al-Munjid fi>> al-Lughah wa al-A‘lam, (Bayrut: Da>r al-
Sharqy, 1976.

McAuliffe, Jane Dammen, Encyclopaedia of the Qur’an, Leiden; Brill, 2001

al-Zarkashi>, Muh}ammad Badr al-Di>n, Al-Burha>n fi> ‘Ulum al-Qur’an, Bayru>t-


Libanon, ‘Isa al-Babi al-H}alabi>, t.t.
al-Suyu>t}i>, Jala>l al-Di>n, Luba>b al-Nuqu>l fi>Asba>b al-Nuzu>l, Bayru>t: Da>r Ih}ya>’ al-
‘Ulu>m, t.t.
Departemen Agama, al-Qur’an dan Tafsirnya, Jakarta: Departemen Agama RI,
200
Syari>f, M. Ibra>hi>m, Ittija>ha>t al-Tajdi>d fi> Tafsi>r al-Qur’a>n al-Kari>m fi> Mis}r, Kairo:
Da>r al-Tura>ts, 1982
al-Zarkashi>, Muh}ammad Badr al-Di>n, Al-Burha>n fi> ‘Ulum al-Qur’an, Bayru>t-
Libanon, ‘Isa al-Babi al-H}alabi>, t.t.
103

al-Suyût}i>, Jalaluddîn, al-Itqan fî ‘Ulu>m al-Qur’a>n, Bayru>t: Dar al-Fikr, 1979


al-S}abu>ni>, Muh}ammad ‘Ali>, S}afwat al-Tafa>si>r, Bayru>t: Da>r al-Fikr, 1992
Departemen Agama, al-Qur’an dan Tafsirnya (edisi yang disepurnakan), Jakarta:
Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, 2004
Abd al-Rah>ma>n Ibn Khaldu>n, Muqaddimah Ibn Khaldu>n (Bayru>t: Da>r al-Fikr,
1406 H.), h. 33-34.
At}a’, ‘Abd al-Qadir Ah}mad, dalam Asra>r Tarti>b al-Qur’a>n, Da>r al-I’tis}a>m, 1978
M. Quraish Shihab, “Ibrahi>m bin ‘Umar al-Biqa>’i>: Ahli Tafsir yang
Kontroversial”, Jurnal ‘Ulumul Qur’an, Vol. 1, Jakarta, LSAF, 1998
Rid}á, Muh}ammad Rashi>d, Wah}y al-Muh}ammadi>, Kairo: Maktabah al-Isla>mi>, t.t.
M. Quraish Shihab, Mukjizat al-Qur'an: Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat
Ilmiah, dan Pemberitaan Gaib, Bandung: Mizan, 1997
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishba>h: Pesan, Kesan dan Keserasian Alquran,
Jakarta: Lentera Hati, 2002
Al-Suyu>t}i>, ‘Abd al-Rah}ma>n Ibn Abi> Bakr Ibn Muh}amad Abu> al-Fad}l Jala>l al-Di>n,
Asra>r Tarti>b al-Suwar, Kairo: Da>r al-I‘tis}am, t.t.
Al-Suyu>t}I, Jala>l al-Di>n >, Qat}f al-Azhar fi> Kashf al-Asra>r, Qatar: Kementerian
Wakaf dan Urusan Islam, 1414 H.
_______, Al-Itqa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Kairo: Mus}t}afá> al-Ba>b al-H}alabi>, 1951),
109.
Al-Zamakhshari>, Al-Ima>m Abu> al-Qasim Jarullah Mah}mud bin ‘Umar, Tafsi>r al-
Kashaf ‘an H}aqa>iq Ghawa>mid al-Tanzi>l wa ‘Uyu>n al-Aqa>wil fi> Wuju>h al-Ta’wi>l,
Bayru>t: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995
al-Jauziyyah, Ibn Qayyim, Mada>rij al-Sa>liki>n Bayn Mana>zil Iyya<ka Na’budu wa
Iyya>ka Nasta’i>n Bayru>t: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t.
Sayyid Qut}b, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, Bayru>t: Da>r al-Shuru>q, 1405 H.
Rid}a>, Muh}ammad Rashid, Tafsi>r al-Fa>tih}ah wa Sitti Suwar min Khawa>tim al-
Qur’a>n al-Kari>m Kairo: Da>r al-Manar, 1367 H.
al-Su‘ud, Muhammad bin Muhammad Abi>, Irsha>d al-‘Aql al-Salim Ila> al-Qur’a>n
al-Kari>m Bayru>t: Da>r Ih}ya> al-tura>th al-‘Arabi, 1990

al-Qa>s}i>mi>, Muhammad Jama>l al-Di>n, Mah}as> in al-Ta’wi>l, Bayru>t: Da>r al-Fikr,


1975
Al-S}awi, Hasiyah ‘Ala> al-‘Ala>mah al-S}awi ‘Ala Tafsi>r al-Jala>layn, t.p.: Da>r al-
Ih}ya>’, t.t.
al-Khat}i>b, ‘Abd al-Kari>m, Tafsi>r al-Qur’a>n li> al-Qur’a>n, Bayru>t: Da}r al-Fikr,
1970
Hawa, Sa’id, al-Asa>s fi> al-Tafsi>r, Mesir: Da>r al-Salam, 1989
104

al-Ra>zi>, Fakhr al-Di>n, Mafa>tih}} al-Ghayb, Bayru>t: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah,


1994), 105.
1

Zayd, Nas}r H{a>mid Abu>, Mafhu>m al-Nas} Dira>sah fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, Kairo: Da>r
al-Ih}ya> al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1992
al-Kha>lidi>, S}alah}, al-Manhaj al-H}araki fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, Jeddah: Da>r al-
Manarah, 1986
Qut}b, Sayyid, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, Bayru>t: Da>r al-Shuru>q, 1405 H.
al-Biqa>‘i>, Burha>n al-Di>n, Naz}m al-Durar fi> Tana>sub al-A>ya>t wa al-Suwar,
Bayru>t: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1415 H.
al-Suyu>t}I, Jala>l al-Di>n, Al-Itqa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, Bayru>t: Da>r al-Fi>kr, 1399
H./1979 M.
Jala>l al-Di>n al-Suyu>t}i, Luba>b al-Nuqu>l fi> Asba>b al-Nuzu>l, Bayru>t-Libanon, Da>r
Ih}ya>’ al-‘Ulu>m, t.t.
al-Naysabu>ri>, Abi al-H{asan ‘Ali bin Ah}mad al-Wa>h}i>di>, Asba>b al-Nuzu>l, Bayru>t:
Da>r al-Fi>kr, 1409 H./1988 M.
al-Zarkashi>, Muh}ammad Badr al-Di>n, Al-Burha>n fi> ‘Ulum al-Qur’an, Bayru>t-
Libanon, ‘Isa al-Babi al-H}alabi>, t.t.
Muh}ammad ‘Abd al-‘Az}i>m al-Zarqa>ni, Mana>hil al-‘Irfan Fi> ‘Ulu>m al-Qur’an,
Bayru>t: ‘Isa al-Babi al-H}alabi>, t.t.
al-‘Itr, Nu>r al-Di>n, ‘Ulu>m al-Qur’a>n al-Kari>m, Damsyik: Mat}ba‘at al-S}abba>h,}
1416 H./1996 M.
Manna>‘ al-Qat}t}a>n, Maba>h}ith fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, Riya>d}: Mansyu>ra>t al-‘As}r al-
H}adi>th, 1983 M/1393 H.
Juhdi, Masjfuk, Pengantar Ulumul Qur’an, Surabaya: PT Bina Ilmu, 1980
al-H{asani>, Muh}ammad ibn ‘Alawi> al-Ma>liki>, Zubdah al-Itqa>n Fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n
(Samudera Ilmu-ilmu Alquran Ringkasan Kitab al-Itqa>n Fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n
Karya al-Ima>m Jala>l al-Di>n al-Suyu>t}i, terj. Tarmana Abdul Qasim, Bandung: PT.
Mizan Pustaka, 2003
Abadi, al-Fayruz, Kamus al-Muh}it> }, Bayrut: Da>r al-H{ayl, t.th.
Muh}ammad Badr al-Di>n al-Zarkashi>, Al-Burha>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’an (Kairo: Da>r
al-Ih}ya> Kutub al-‘Arabiyah, 1957
Jala>l al-Di>n al-Suyu>t}i, Al-Itqa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Kairo: Mus}t}afá> al-Ba>b al-
H}alabi>, 1951), 108.
Muh}ammad H{usayn al-Dhahabi>, Tafsi>r Ma’a>li>m al-Tanzi>l (Baghda>d: al-
Mut}anna>, t.th.), 141.
105

Jala>l al-Di>n al-Suyu>t}i, Al-Itqa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Kairo: Mus}t}afá> al-Ba>b al-
H}alabi>, 1951), 108.
Mu>sá, Muh}ammad H}asan bin ‘Aqil, I‘ja>z al-Qur’a>n al-Kari>m bain al-Suyu>t}i> wa
al-‘Ulama>’ Jeddah: Da>r al-Andalu>s al-H}ad}ara>’, 1989
Khali>di>, S{ala>h,} al-Baya>n fi> I‘ja>z al-Qur’a>n, Amma>n: Da>r Ammar, 1411 H.
Al-Ja>hiz, al-Baya>n wa al-Tibya>n, Kairo: Mat}ba‘ah Lajnah tarjamah wa Nashr,
1948
As-Shiddieqy, T.M. Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tafsir, Jakarta: Bulan
Bintang, 1965
Fakhr al-Di>n al-Ra>zi, Tafsi>r Mafa>tih} al-Ghayb (Kairo, al-Khayriyyah, 1308 H.),
45.
Qut}b, Sayyid, Tafsi>r fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, Bayru>t: Da>r al-Ih}ya>’ al-Tija>ri al-
’Arabiyyah, 1386 H.
Muh}ammad Rasyi>d Rid}á, Tafsi>r al-Mana>r, Kairo: Da>r al-Manar, 1373 H.), 63.
Al-Alu>si, Tafsi>r Ru>h} al-Ma‘a>ni>>, Kairo: al-Mu>niriyyah, 1980
Muh}ammad ‘Ali al-S}a>bu>ni>, al-Tibya>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Bayrut: ‘A>lim al-
Kutub, 1405 H./1985 M.), 49.
Zaini, Syahminan dan Ananto Kusuma Seta, Bukti-bukti Kebenaran Alquran,
Jakarta: Kalam Mulia, 1993
Subh}i al-S}a>lih}, Maba>hi} th fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n, Bayrut-Libanon, Da>r al-‘Ilm li>
al-Mala>yi>n, 1988
Shuhbah, Muh}ammad bin Muh}ammad Abu>, al-Madkhal li> Dira>sah al-Qur’a>n al-
Kari>m, Kairo: Maktabah al-Sunnah, 1992
Atjeh, Abu Bakat, Sejarah Alquran, Jakarta: Ramadhani, 1950
Isma‘i>l, ‘Abd al-Fatah, Rasm al-Mus}h}af wa al-Ihtija>j bih fi> al-Qira>’ah, Mesir:
Maktabah Nahd}ah, 1960
Nu>r al-Di>n ‘Itr, ‘Ulu>m al-Qur’a>n al-Kari>m, Damsyik: Mat}ba‘ah al-S}aba>h}, 1996
M./1416 H.

al-Ka>fi>ji>, Muh}ammad bin Sulayma>n, al-Taysi>r fi> Qawa>‘id ‘Ilm al-Tafsi>r, tah}qi>q,
Na>s}ir bin Muh}ammad al-Mat}ru>di,> Damsyik: Da>r al-Qalam, 1410 H.
‘Asyu>r, Muh}ammad al-T{a>hir bin, al-Tah}ri>r wa al-Tanwi>r, Tu>nis: al-Da>r al-
Tu>nisiyyah li> al-Nashr, t.t.
Taymiyah, Ah}mad bin ‘Abd. Al-H{ali>m bin, Majmu>‘ al-Fata>wa>, Jam‘ wa tarti>b:
‘Abd. al-Rah}ma>n bin Qa>sim al-‘A>s}imi>,

Anda mungkin juga menyukai