Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
FAKULTAS EKONOMI
MANAJEMEN
2015/2016
PAJAK PENGHASILAN (PPH) UMUM
A. Pengertian Pajak Penghasilan (PPh)
Pajak penghasilan adalah pajak yang dikenakan untuk orang pribadi, perusahaan atau
badan hukum lainnya atas penghasilan yang didapat. Dasar hukum untuk pajak penghasilan
adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983, kemudian mengalami perubahan berturut-turut,
dari mulai Undang-Undang Nomor 7 & Tahun 1991, Undang-Undang Nomor 10 & Tahun 1994,
Undang-Undang Nomor 17 & Tahun 2000, dan terakhir Undang-Undang Nomor 36 & Tahun
2008.
B. Jenis Penghasilan
1. Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas, seperti gaji,
honorarium, penghasilan dari praktik dokter, notaries, aktuaris, akuntan, pengacara, dan
sebagainya.
3. Penghasilan dari modal atau penggunaan harta, seperti sewa, bunga, dividen, royalty,
keuntungan dari penjualan harta yang tidak digunakan, dan sebagainya.
4. Penghasilan lain-lain, yaitu penghasilan yang tidak dapat diklasifikasikan ke dalam salah
satu dari tiga kelompok penghasilan di atas, seperti:
Selanjutnya dalam UU No. 36 Tahun 2008- Pajak Penghasilan, pasal 2 ayat (1)
dijelaskan, bahwa yang menjadi subjek pajak dalam Pajak Penghasilan adalah :
a. Orang Pribadi (Perseorangan). Orang pribadi sebagai subjek pajak dapat
bertempat tinggal di Indonesia, atau pun tidak bertempat tinggal di Indonesia.
b. Warisan yang belum terbagi, sebagai satu kesatuan. Warisan sebagai subjek
pajak, merupakan subjek pajak pengganti, menggantikan mereka yang berhak
dikemudian hari, ini menjadi dasar agar pengenaan pajak dari warisan
tersebut tetap terjamin, berhubung misalnya yang punya harta (warisan)
semasa hidup tidak menetapkan siapa yang bertanggung jawab dikemudian
hari apabila yang bersangkutan meninggal dunia.
Contoh : Ahmad semasa hidup memiliki usaha bengkel mobil yang
selalu tetap memenuhi kewajiban pajaknya setiap tahun. Suatu saat Ahmad
meninggal, harta (warisan berupa bengkel mobil) belum dibagikan kepada
ahli waris, maka selama belum dibagikan harta (bengkel mobil) tersebut,
berstatus sebagai subjek pajak. Apabila harta (bengkel mobil) dimaksud,
telah dibagikan (ditetapkan) pemilik barunya, maka warisan (harta) tersebut
berakhir kedudukannya sebagai subjek pajak. Hal tersebut berdasarkan
ketentuan dari Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. KEP-161/PJ./2001,
Tgl 21 Pebruari 20016.
c. Badan. Pengertian badan sebagai subjek pajak, adalah sekumpulan orang dan
atau modal yang merupakan satu kesatuan, baik yang melakukan usaha
maupun tidak melakukan usaha, yang meliputi Perseroan Terbatas, Perseroan
Komanditer (CV), Perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara/Daerah
dengan nama dan dalam bentuk apapun, Firma, Kongsi, Koperasi, Dana
Pensiun, Persekutuan, Perkumpulan, Yayasan, Organisasi masa, Orgaisasi
sosial politik, atau organisasi yang sejenis, Lembaga, Bentuk Usaha Tetap,
dan bentuk badan lainnya, termasuk Reksa dana.
d. Bentuk Usaha Tetap (BUT). BUT adalah bentuk usaha yang dipergunakan
oleh pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang
berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan,
dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia
untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia. BUT
ditentukan sebagai subjek pajak tersendiri sebagai Subjek Pajak Luar Negeri,
sekalipun tatacara pengenaannya serta ketentuan administrasi perpajakannya
sama dengan wajib pajak dalam negeri seperti kewajiban NPWP, SPT dan
lain sebagainya.
Contoh: China Corporation adalah sebuah perusahaan dari China
yang memenangkan tender pembangunan PLTU di Cilacap. Untuk
membangun PLTU tersebut China Corporation mendirikan BUT yang akan
beroperasi selama pembangunan PLTU tersebut. Saat setelah selesai maka
BUT tersebut dibubarkan dan dapat mengajukan penghapusan NPWP.
Dalam penjelasan pasal 2 ayat (1) huruf b, UU No. 36 Tahun 2008, unit usaha
tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria berikut, yang tidak termasuk
sebagai subjek pajak yaitu :
a. Dibentuk berdasarkan peraturan perundang- undangan yang berlaku.
b. Dibiayai dengan dana yang bersumber dari APBN atau APBD.
c. Penerimaan lembaga tersebut dimasukan dalam anggaran pemerintah
pusat atau pemerintah daerah.
d. Pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara.
Apabila suatu badan/lembaga memenuhi syarat–syarat tersebut diatas, maka ia tidak
termasuk subjek pajak penghasilan. Sebalikya apabila syarat-syarat tersebut tidak
dipenuhi, maka badan/lembaga tersebut adalah subjek pajak pada pajak
penghasilan. Selain itu dalam pengecualian sebagai subjek pajak diatur dalam Pasal
3 UU No.36 Thn 2008, dimana dalam pasal tersebut dikemukakan bahwa yang
tidak termasuk sebagai Subjek Pajak adalah :
a. Kantor Perwakilan Negara Asing atau organisasi internasional.
b. Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-pejabat
lain dari negara asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada
mereka, yang bekerja dan bertempat tinggal bersama mereka, dengan
syarat :
Bukan warga negara Indonesia;
Tidak menerima penghasilan selain diluar tugas dan jabatannya;
Negara yang bersangkutan memberikan perlakuan yang sama
(azas timbal balik).
c. Organisasi-organisasi Internasional yang ditetapkan dengan Keputusan
Menteri Keuangan (terakhir dengan Kep. MK 601/KMK.03/2005, dengan
syarat :
Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut dan tidak
menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh
penghasilan dari Indonesia, selain dari pemberian pinjaman kepada
pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota, contoh:
Organisasi Internasional PBB.
d. Pejabat-pejabat perwakilan organisasi Internasional yang ditetapkan
dengan Keputusan Menteri Keuangan (sebagaimana dimaksud huruf c),
dengan syarat bukan WNI, dan di Indonesia tidak melakukan kegiatan
usaha atau pekerjaan untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.
Penjelasan Pasal 3 huruf (a) dan (b) tersebut diatas, menerangkan bahwa sesuai
dengan kelaziman yang berlaku secara Internasional, bahwa badan perwakilan
negara asing beserta pejabat-pejabatnya, serta orang yang diperbantukan, serta
tinggal bersama mereka dengan syarat bukan WNI, tidak melakukan kegiatan lain,
serta negara asing tersebut memberikan perlakauan yang sama (azas timbal balik),
dikecualikan sebagai subjek pajak.
Pengecualian tersebut tidak berlaku, apabila mereka memperoleh penghasilan lain
di Indonesia, diluar jabatannya atau mereka adalah WNI. Dengan demikian apabila
pejabat perwakilan suatu negara asing, memperoleh penghasilan lain diluar
jabatannya, maka ia termasuk subjek pajak yang dapat dikenakan pajak atas
penghasilan tesebut. Namun apabila negara asal pejabat tersebut memberikan
pembebasan pajak kepada perwakilan Indonesia, atas penghasilan lain diluar tugas
dan jabatannya, maka kembali lagi berlaku azas timbal balik.
2. Warisan..
3. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b sebagai pengganti saham atau
sebagai pengganti penyertaan modal.
4. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang
diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari
Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib
Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan pajak secara final atau Wajib Pajak
yang menggunakan norma penghitungan khusus (deemed profit)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15.
5. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan
dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi
dwiguna, dan asuransi bea siswa.
6. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas
sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, Badan Usaha Milik Negara,
atau Badan Usaha Milik Daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha
yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat:
Dividen berasal dari cadangan laba yang
ditahan.
Bagi perseroan terbatas, Badan Usaha Milik
Negara dan Badan Usaha Milik Daerah yang menerima dividen,
kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling
rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor.
7. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah
disahkan oleh Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja
maupun pegawai.
8. Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana
dimaksud pada huruf g, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan
dengan Keputusan Menteri Keuangan.
9. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan
komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan,
perkumpulan, firma, dan kongsi.
10. Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksadana selama 5
(lima) tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian ijin usaha
(terhitung mulai 1 Januari 2009 ketentuan ini dihapus).
11. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa
bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan
usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha
tersebut; (2) merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang
menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; dan (2) sahamnya tidak
diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.
12. Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur
lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
13. Sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang
bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan
pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya,
yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan
pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu
paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, yang
ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
14. Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
E. Dasar Pengenaan Pajak dan Cara Menghitung Penghasilan Kena
Pajak
Untuk wajib pajak dalam negeri dan untuk usaha tetap ( BUT ) yang menjadi dasar pengenaan
pajak adalah penghasilan kena pajak. Sedangkan untuk wajib pajak luar negeri adalah
penghasilan bruto.
Yang perlu diingat besarnya penghasilan kena pajak untuk wajib pajak pada badan dihitung
sebesar penghasilan netto
Penghasilan kena pajak (WP badan ) = penghasilan netto
Sedangkan untuk wajib pajak orang pribadi dihitung dari pengfhasilan netto – PTKP
Penghasilan kena pajak (WP orang pribadi ) = penghasilan netto- PTKP
Bagi Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN), pada dasarnya terdapat 2 cara untuk menentukan
besarnya penghasilan kena pajak, yaitu:
1. Cara biasa ( cara pembukuan ), yaitu penghasilan bruto dikurangi dengan biaya-biaya yang
diperkenankan, yaitu:
a. Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan.
b. Biaya penyusutan dan amortisasi
c. Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya disahkan oleh menteri keuangan
d. Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta
e. Kerugian karena selisih kurs mata uang asing.
f. Natura di daerah tertentu
g. Biaya lain, seperti biaya perjalanan, biaya administrasi, biaya litbang yang dilakukan di
indonesia
2. Menggunakan norma penghitungan penghasilan netto
Untuk menghitung penghasilan kena pajak maka wajib pajak menggunakan norma penghitungan
penghasilan netto. Dimana penghasilan netto adalah besar penghasilan netto sama dengan
besarnya (persentase) NPPN
Untuk Menghitung menentukan penghasilan netto perlu disempurnakan secara terus menerus dan
di terbikan oleh direktur jenderal pajak yang di tentukan menterii keuangan
Wajib pajak yang boleh menggunakan NPPN adalah WP orang pribadi yang memenuhi syarat
sebagai berikut:
1. Predaran bruto kurang dari Rp.4.800.000.000,00 Per tahun
2. Mengajukan permohonan dalam jangka waktu tiga bulan pertama dari tahun buku
3. Menyelenggarakan pencatatan
Contoh penghitungan pajak yang terutang (NPPN)
Diket: anto menikah ( istri tidak bekerja) dan memiliki 3 orang anak, asnto seorang dokter
bertempsat tinggal dijakarta ia memiliki industri rotan. Misalnya besar presentase norma untuk
industri rotan dicirebon 12,5% , dan dokter jakarta 45%.
Peredaran usaha dari industri rotan dicirebon setahun Rp.400.000.000 , penerimaan seorang
dokter dijakarta setahun Rp. 100.000.000, hitunglah penghasilan netto?
Jawaban:
Dari industri rotan: 12,5% x Rp.400.000.000 Rp. 50.000.000
Sebagai seorang dokter: 45% x Rp. 100.000.000 RP. 45.000.000
Jumlah penghasilan netto RP. 95.000.000
PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAK Rp. 48.000.000
Penghasilan kena pajak Rp. 47.000.000
F. Penghasilan Tidak Kena Pajak
Besarnya PTKP setahun yang berlaku saat ini:
NO Jenis PTKP Setahun Sebulan
1 Untuk Wajib Pajak Sendiri Rp.36.000.000 Rp.3.000.000
2 Tambahan untuk Wajib Pajak Rp.3.000.000 Rp.250.000
Kawin
3 Tambahan untuk seorang istri yang Rp. 36.000.000 Rp. 3.000.000
yang perhasilannya digabung
dengan penghasilan suami
4 Rp. 3.000.000 Rp. 250.000
Tambahan untuk setiap anggota
keluarga sedarah dan keluarga
semenda dalam garis keturunan
lurus serta anak angkat, yang
menjadi tanggungan sepenuhnya,
paling banyak 3 (tiga) orang untuk
setiap keluarga
G. Tarif Pajak
Wajib pajak orang pribadi dalam negri
1. Tarif pajak yang diterapkan atas penghasilan kena pajak bagi wajip pajak orang pribadi dalam
negri adalah sebagai berikut
Lapisan penghasilan kena pajak Tarif pajak
Sampai dengan Rp.50.0000.000,00 5%
Di atas Rp 50.0000.000,00 sampai dengan
15%
Rp 250.0000.000,00
Diatas 250.0000.000,00 sampai dengan Rp.
25 %
500.0000.000,00
Diatas Rp. 500.0000.000,00 30%
2. Wajib pajak badan usaha dalam negri dan bentuk usaha tetap
a. Sedangkan tarif pajak yang di terapkan untuk penghasilan kena pajak untuk wajib pajak badan
dalam negri dan bentuk usaha tetap Adalah sebesar 28 % .
b. Sedangkan tarif pajak yang di terapkan untuk penghasilan kena pajak untuk wajib pajak badan
dalam negri mulai berlaku sejak tahun pajak 2010 diturunkan menjadi 25 %
c. Wajib pajak badan dalam negri berbentuk perseroan terbuka yang paling sedikit 40 % dari
jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan di bursa efek di indonesia dan
memenuhi persyaratan tertentu lainnya memperoleh tarif sebesar 5 %
d. Wajib pajak badan dalam negri dengan peredarfan bruto sampai dengan Rp.50.0000.000,00
mendapat fasilitas pengurangan tarif 50 % yang dikenakan atas penghasilan kenapajak dari
bagian peredaran bruto sampai dengan Rp.4.800.000.000,00.
Contoh
Pt. Maju Selalu adalah perusahaan yang bergerak dalam bidang percetakan. Berikut adalah data
keuangan tahun 2016 :
Peredaran Usaha Rp. 83.000.000.000
Persediaan 1 januari 2016 Rp. 19.000.000.000
Pembelian Rp. 17.500.000.000
Persediaan 31 Desember 2016 Rp. 14.300.000.000
Biaya Adm & Opr Rp. 520.000.000
Penghasilan lain-lain Rp. 1.225.500.000
Kerugian tahun 2012 Rp. 372.000.000
Hitunglah besarnya pajak penghasilan terutang PT. Maju Selalu pada tahun 2016!
Contoh :
Bapak Rama (K/2) adalah seorang pengrajin meubel di Jepara. Menurut pembukuan, hasil
penjualan meubel pada tahun 2016 adalah sebesar Rp. 714.000.000 dengan harga poko penjualan
Rp. 168.000.000. Biaya-biaya untuk memproduksi meubel antara lain biaya operasional Rp.
12.500.000 dan biaya administrasi Rp. 10.160.000. pada tahun 2016 bapak Rama juga menerima
penghasilan dari rental motor sebesar Rp. 9.890.000. Hitunglah berapa besarnya pajak
penghasilan yang terutang apabila masih terdapat sisa kerugian tahun 2013 sebesar Rp.
13.425.000.000?