Anda di halaman 1dari 23

REFERAT

“ANEMIA”

Oleh:

Bisart Benedicto Ginting

Dear Apriyani Purba

Shafira Fauzia

Preceptor:

Dr. Ade Yonata, Sp.PD


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anemia merupakan salah satu masalah kesehatan di seluruh dunia

terutama negara berkembang yang diperkirakan 30% penduduk dunia

menderita anemia. Anemia banyak terjadi pada masyarakat terutama pada

remaja dan ibu hamil. Penyebab anemia bervariasi berdasarkan usia, sebagian

besar disebabkan oleh defisiensi besi, sehingga prevalensi defisiensi besi

sering digunakan untuk mewakili prevalensi anemia defisiensi besi (ADB).

Pada tahun 2002, ADB merupakan faktor terpenting yang memberi kontribusi

global burden of disease (Janus dan Moerschel 2010; WHO, 2008). Anemia

pada remaja putri sampai saat ini masih cukup tinggi, menurut World Health

Organization (WHO) (2013), prevalensi anemia dunia berkisar 40-88%.

Jumlah penduduk usia remaja (10-19 tahun) di Indonesia sebesar 26,2% yang

terdiri dari 50,9% laki-laki dan 49,1% perempuan (Kemenkes RI, 2013).

Anemia merupakan salah satu faktor penyebab tidak langsung

kematian ibu hamil. Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia adalah tertinggi

bila dibandingkan dengan Negara ASEAN lainnya. Perempuan yang

meninggal karena komplikasi selama kehamilan dan persalinan mengalami

penurunan pada tahun 2013 sebesar 289.000 orang. Target penurunan angka

kematian ibu sebesar 75% antara tahun 1990 dan 2015 (WHO, 2015). Jika

perempuan mengalami anemia akan sangat berbahaya pada waktu hamil dan
melahirkan. Perempuan yang menderita anemia akan berpotensi melahirkan

bayi dengan berat badan rendah (kurang dari 2,5 kg). Selain itu, anemia dapat

mengakibatkan kematian baik pada ibu maupun bayi pada waktu proses

persalinan (Rajab, 2009).

Menurut data hasil Riskesdas tahun 2013, prevalensi anemia di

Indonesia yaitu 21,7% dengan penderita anemia berumur 5-14 tahun sebesar

26,4% dan 18,4% penderita berumur 15-24 tahun (KemenkesRI, 2014). Data

Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2012 menyatakan bahwa

prevalensi anemia pada balita sebesar 40,5%, ibu hamil sebesar 50,5%, ibu

nifas sebesar 45,1%, remaja putri usia 10-18 tahun sebesar 57,1% dan usia

19-45 tahun sebesar 39,5%. Wanita mempunyai risiko terkena anemia paling

tinggi terutama pada remaja putri (KemenkesRI, 2013).


Anemia normokromik normositer

a. Anemia aplastik

Anemia aplastik merupakan suatu kelainan dari sindrom klinik yang

diantaranya ditandai oleh defisiensi sel darah merah, neutrophils, monosit dan

platelet tanpa adanya bentuk kerusakan sumsum lainnya. Dalam pemeriksaan

sumsum dinyatakan hampir tidak ada hematopoetik sel perkusi dan digantikan

oleh jaringan lemak. Kerusakan ini bisa disebabkan oleh zat kimia beracun,

virus tertentu, atau bisa juga karena faktor keturunan. Anemia aplastik juga

merupakan anemia yang disertai oleh pansitopenia pada darah tepi yang

disebabkan oleh kelainan primer pada sumsum tulang dalam bentuk aplasia atau

hipoplasia.

Anemia aplastik dapat diggolongkan menjadi tiga berdasarkan

penyebabnya yaitu : anemia aplastik didapat (acquired aplastic anemia); familial

(inherited); idiopathik (tidak diketahui). Sumber lainnya membagi penyebabnya

menjadi primer (kongenital, idiopatik) dan sekunder (radiasi, obat, penyebab

lain).

Patogenesis

Penyebab anemia aplastik sebagian besar tidak diketahui atau bersifat

idiopatik. Kesulitan dalam mencari penyebab penyakit ini disebabkan oleh proses

penyakit yang berlangsung perlahan-lahan. Penulusuran penyebab dilakukan

melalui penelitian epidemiologik. Penyebab anemia aplastik dapat dibagi dua

sebagai berikut:
Penyebab Kongenital (20% dari kasus) antara lain : (a) anemia fanconi, (b) non

fanconi Seperti cartilage hair hypoplasia, pearson syndrome, amegakaryotic

thrombocytopenia, scwachman-diamond syndrome, dubowitz syndrome, diamond

blackfan syndrome, familial aplastic anemia,dan (c) dyskeratosis congenital.

Penyebab yang didapat (80% dari kasus) antara lain : (a) akibat infeksi Seperti

virus hepatitis, epstein barr virus, HIV, parovirus, dan mycobacteria, (b) akibat

terpaparnya radiasi, bahan kimia seperti Benzene, Chlorinated hycrocarbons, dan

organophospates, (c) akibat pemakaian obat-obatan seperti chloramphenicol,

phenylbutazone, (d) akibat penyakit jaringan ikat seperti rheumatoid arthritis dan

systemic lupus erythematosus (SLE), dan (e) akibat kehamilan.

Patofisiologi

Pansitopenia dalam anemia aplastik menggambarkan kegagalan proses

hematopoetik yang ditunjukkan dengan penurunan drastis jumlah sel primitif

hematopoetik. Dua mekanisme dijelaskan pada kegagalan sumsum tulang.

Mekanisme pertama adalah cedera hematopoetik langsung karena bahan

kimia seperti benzene, obat, atau radiasi untuk proses proliferasi dan sel

hematopoetik yang tidak bergerak. Mekanisme kedua, didukung oleh observasi

klinik dan studi laboratorium, yaitu imun sebagai penekan sel sumsum tulang,

sebagai contoh dari mekanisme ini yaitu kegagalan sumsum tulang setelah graft

versus host disease, eosinophilic fascitis, dan hepatitis. Mekanisme idiopatik,

asosiasi dengan kehamilan, dan beberapa kasus obat yang berasosiasi dengan

anemia aplastik masih belum jelas tetapi dengan terperinci melibatkan proses

imunologi. Sel sitotoksik T diperkirakan dapat bertindak sebagai faktor


penghambat dalam sel hematopoetik dalam menyelesaikan produksi

hematopoesis inhibiting cytokinesis seperti interferon dan tumor nekrosis faktor.

Efek dari imun sebagai media penghambat dalam hematopoesis mungkin

dapat menjelaskan mengapa hampir sebagian besar pasien dengan anemia

aplastik didapat memiliki respon terhadap terapi imunosupresif. Pasien dengan

anemia aplastik biasanya tidak memiliki lebih dari 10% jumlah sel batang

normal. Bagaimanapun, studi laboratorium menunjukkan bahwa sel stromal dari

pasien anemia aplastik dapat mendukung pertumbuhan dan perkembangan dari

sel induk hematopoetik dan dapat juga menghasilkan kuantitas faktor

pertumbuhan hematopoetik dengan jumlah normal atau meningkat. Dari

patofisiologi dari anemia aplastik, oleh karena itu disarankan dua pendek atan

utama untuk pengobatannya : penggantian sel induk yang tidak

sempurna dengan cara transplantasi sumsum tulang dan penekanan proses

imunologi yang bersifat merusak.


GEJALA DAN TANDA KLINIK ANEMIA APLASTIK

Permulaan dari suatu anemia aplastik sangat tersembunyi dan

berbahaya, yang d isertai dengan penurunan sel darah merah secara berangsur

sehingga menimbulkan kepucatan, rasa lemah dan letih, atau dapat lebih hebat

dengan disertai panas badan namun pasien merasa kedinginan, dan faringitis

atau infeksi lain yang ditimbulkan dari neutropenia. Selain itu pasien sering

melaporkan terdapat memar (eccymoses), bintik merah (petechiae) yang

biasanya muncul pada daerah superficial tertentu, pendarahan pada gusi

dengan bengkak pada gigi, dan pendarahan pada hidung (epitaxis). Menstruasi

berat atau menorrhagia sering terjadi pada perempuan usia subur. Pendarahan

organ dalam jarang dijumpai, tetapi pendarahan dapat bersifat fatal.

Pemeriksaan fisik secara umum tidak ada penampakan kecuali tanda infeksi

atau pendarahan. Jejas purpuric pada mulut (purpura basah) menandakan jumlah

platelet kurang dari 10.000/ l (10 109/liter) yang menandakan risiko yang

lebih besar untuk pendarahan otak. Pendarahan retina mungkin dapat dilihat pada

anemia berat atau trombositopenia. Limfadenopati atau splenomegali tidak selalu

ditemukan pada anemia aplastik, biasanya ditemukan pada infeksi yang baru

terjadi atau diagnosis alternatif seperti leukemia atau limpoma.

Kelainan Laboratorium
Penemuan pada Darah. Pasien dengan anemia aplastik

memiliki tingkat pansitopenia yang beragam. Anemia diasosiasikan dengan

indeks retikulosit yang rendah. Jumlah retikulosit biasanya kurang dari satu
persen atau bahkan mungkin nol. Makrositosis mungkin dihasilkan dari

tingkat eritropoietin yang tinggi, merangsang sedikit sisa sel eritroblas untuk

berkembang dengan cepat, atau dari klon sel eritroid yang tidak normal. Jumlah

total leukosit dinyatakan rendah, jumlah sel berbeda menyatakan sebuah tanda

pengurangan dalam neutropil. Platelet juga mengalami pengurangan, tetapi

fungsinya masih normal. Pada anemia ini juga dijumpai kadar Hb <7 g/dl.

Penemuan lainnya yaitu besi serum normal atau meningkat, Total Iron

Binding Capacity (TIBC) normal, HbFmeningkat.

Penemuan pada Sumsum Tulang. Sumsum tulang biasanya mempunyai

tipikal mengandung spicule dengan ruang lemak kosong, dan sedikit sel

hematopoetik. Limfosit, plasma sel, makrofag, dan sel induk mungkin

mencolok, tetapi ini mungkin merupakan refleksi dari kekurangan sel lain dari

pada meningkatnya elemen ini. Anemia aplastik berat sudah didefinisikan oleh

International Aplastic Anemia Study Group sebagai sumsum tulang kurang

dari 25 persen sel, atau kurang dari 50 persen sel dengan kurang dari 30 persen

sel hematopoetik, dengan paling sedikit jumlah neutropil kurang dari 500/ ul

(0.5x109/liter), jumlah platelet kurang dari 20.000/ul (20 x 109/liter), dan

anemia dengan indeks koreksi retikulosit kurang dari 1 persen. Pengembangan

in vitro menunjukkan, kumpulan granulosit monosit atau Colony Forming

Unit-Granulocyte/Macrophage (CFU-GM) dan eritroid atau Burst Forming

Unit-Erythroid (BFU-E) dengan pengujian kadar logam menyatakan tanda

pengurangan dalam sel primitif.


Penemuan Radiologi. Nuclear Magnetic Resonance Imaging (NMRI)

dapat digunakan untuk membedakan antara lemak sumsum dan sel hemapoetik.

Ini dapat memberikan perkiraan yang lebih baik untuk aplasia sumsum

tulang dari pada teknik morpologi dan mungkin membedakan sindrom

hipoplastik mielodiplastik dari anemia aplastik.

Penemuan pada Plasma dan Urin. Serum memiliki tingkat faktor

pertumbuhanhemapoetik yang tinggi, yang meliputi erythropoietin,

thrombopoietin, dan faktor myeloid colony stimulating. Serum besi juga

memiiki nilai yang tinggi, dan jarak ruang Fe diperpanjang, dengan

dikuranginya penggabungan dalam peredaran sel darah merah.

DIAGNOSIS LABORATORIUM

Tanda pasti yang menunjukkan seseorang menderita anemia aplastik adalah

pansitopenia dan hiposelular sumsum tulang, serta dengan menyingkirkan adan

ya infiltrasi atau supresi pada sumsum tulang. Anemia aplastik dapat

digolongkan menjadi ringan, sedang, dan berat berdasarkan tingkat keparahan

pansitopenia. Menurut International Agranulocytosis and Aplastic Anemia Study

Group (IAASG) kriteria diagnosis anemia aplastik dapat digolongkan sebagai

satu dari tiga sebagai berikut : (a) hemoglobin kurang dari 10 g/dl, atau

hematokrit kurang dari 30%; (b) trombosit kurang dari 50 x 109/L; dan (c)

leukosit kurang dari 3.5 x 109/L, atau neutrofil kurang dari 1.5 x 109/L.

Retikulosit < 30 x 109/L (<1%). Gambaran sumsum tulang (harus ada

spesimen adekuat) : (a) penurunan selularitas dengan hilangnya atau


menurunnya semua sel hemopoetik atau selularitas normal oleh hyperplasia

eritroid fokal dengan deplesi segi granulosit dan megakarosit; dan (b) tidak

adanya fibrosis yang bermakna atau infiltrasi neoplastik. Pansitopenia karena

obat sitostatika atau radiasi terapeutik harus dieksklusi.

Setelah diagnosis ditegakkan maka perlu ditentukan derajat penyakit

anemia aplastik.

Hal ini sangat penting dilakukan karena mengingat strategi terapi yang akan

diberikan. Kriteria yang dipakai pada umumnya adalah kriteria Camitra et al.

Tergolong anemia aplastik berat (severe aplastic anemia) bila memenuhi

kriteria berikut : paling sedikit dua dari tiga : (a) granulosit < 0.5 x 109/L;

(b) trombosit < 20 x 109/L ; (c) corrected retikulosit < 1%. Selularitas

sumsum tulang < 25% atau selularitas < 50% dengan <

30% sel-sel hematopoetik. Tergolong anemia aplastik sangat berat bila

neutrofil < 0.2 x 109/L. Anemia aplastik yang lebih ringan dari anemia aplastik

berat disebut anemia aplastik tidak berat (nonserve aplastic anemia).

TERAPI

Anemia aplastik memiliki tingkat kematian yang lebih besar dari 70% dengan

perawatan suportif saja. Ini adalah darurat hematologi, dan perawatan harus

diputuskan segera. Obat- obatan tertentu diberikan tergantung pada pilihan

terapi dan apakah itu perawatan suportif saja, terapi imunosupresif, atau BMT.

Rawat inap untuk pasien dengan anemia aplastik mungkin diperlukan selama
periode infeksi dan untuk terapi yang spesifik, seperti globulin antithymocyte

(ATG).

Secara garis besarnya terapi untuk anemia apalstik dapat dibagi menjadi 4

yaitu terapi kausal, terapi suportif, dan terapi untuk memperbaiki fungsi

sumsum tulang (terapi ini untuk merangsang pertumbuhan sumsum tulang),

serta terapi definitif yang terdiri atas pemakaian anti-lymphocyte globuline,

transplantasi sumsum tulang. Berikut ini saya akan bahas satu persatu tentang

terapi tersebut.

Terapi Kausal

Terapi kausal adalah usaha untuk menghilangkan agen penyebab. Hindarkan

pemaparan lebih lanjut terhadap agen penyebab yang diketahui, tetapi sering hal

ini sulit dilakukan karena etiologinya yang tidak jelas atau penyebabnya tidak

dapat dikoreksi.

Terapi suportif
Terapi ini diberikan untuk mengatasi akibat pansitopenia.

Mengatasi infeksi. Untuk mengatasi infeksi antara lain : menjaga higiene

mulut, identifikasi sumber infeksi serta pemberian antibiotik yang tepat dan

adekuat. Sebelum ada hasil, biarkan pemberian antibiotika berspektrum luas

yang dapat mengatasi kuman gram positif dan negatif. Biasanya dipakai derivat

penicillin semisintetik (ampisilin) dan gentamisin. Sekarang lebih sering

dipakai sefalosporin generasi ketiga. Jika hasil biakan sudah datang, sesuaikan

hasil dengan tes sensitifitas antibiotika. Jika dalam 5 -7hari panas tidak turun
maka pikirkan pada infeksi jamur. Disarankan untuk memberikan ampotericin -

B atau flukonasol parenteral.

Transfusi granulosit konsentrat. Terapi ini diberikan pada sepsis berat


kuman gram
negatif, dengan nitropenia berat yang tidak memberikan respon pada antibiotika

adekuat. Granulosit konsentrat sangat sulit dibuat dan masa efektifnya sangat

pendek.

Usaha untuk mengatasi anemia. Berikan tranfusi packed red cell atau

(PRC) jika hemoglobin <7 g/dl atau ada tanda payah jantung atau anemia yang

sangat simtomatik. Koreksi sampai Hb 9%-10% tidak perlu sampai Hb normal,

karena akan menekan eritropoesis internal. Pada penderita yang akan

dipersiapkan untuk transplantasi sumsusm tulang pemberian transfusi harus

lebih berhati-hati.

Usaha untuk mengatasi pendarahan. Berikan transfusi konsentrat


trombosit jika
terdapat pendaran major atau jika trombosit kurang dari 20.000/mm. Pemberian

trombosit berulang dapat menurunkan efektifitas trombosit karena timbulnya

antibodi anti -trombosit. Kortikosteroid dapat mengurangi pendarahan kulit.

Terapi untuk memperbaiki fungsi sumsum tulang.

Beberapa tindakan di bawah ini diharapkan dapat merangsang

pertumbuhan sumsum tulang, meskipun penelitian menunjukkan hasil yang

tidak memuaskan.

Anabolik steroid. Anabolik steroid dapat diberikan oksimetolon atau

stanozol. Oksimetolon diberikan dalam dosis 2-3mg/kg BB/hari. Efek terapi


tampak setelah 6-12 minggu. Awasi efek samping berupa firilisasi dan gangguan

fungsi hati.

Kortikosteroid dosis rendah-menengah. Fungsi steroid dosis rendah

belum jelas. Ada yang memberikan prednisone 60-100mg/hari, jika dalam 4

minggu tidak ada respon sebaiknya dihentikan karena memberikan efek samping

yang serius.

Granulocyte Macrophage - Colony Stimulating Factor (GM-

CSF) atau Granulocyte - Colony Stimulating Factor G-CSF. Terapi ini

dapat diberikan untuk meningkatkan jumlah netrofil, tetapi harus diberikan terus

menerus. Eritropoetin juga dapat diberikan untuk mengurangi kebutuhan

transfusi sel darah merah.

Terapi definitif

Terapi definitif adalah terapi yang dapat memberikan kesembuhan jangka

panjang. Terapi definitif untuk anemia apalstik terdiri dari 2 jenis pilihan yaitu

: 1.) Terapi imunosupresif;

2.) Transplantasi sumsum tulang.

Terapi imunosupresif. Terapi imunosupresif merupakan lini pertama

dalam pilihan terapi definitif pada pasien tua dan pasien muda yang tidak

menemukan donor yang cocok.

Terdiri dari (a) pemberian anti lymphocyte globulin : Anti lymphocyte

globulin (ALG) atau anti tymphocyte globulin (ATG) dapat menekan proses
imunologi. ALG mungkin juga bekerja melalui peningkatan pelepasan

haemopoetic growth factor sekitar 40%-70% kasus memberi respon pada ALG,

meskipun sebagian respon bersifat tidak komplit (ada defek kualitatif atau

kuantitatif). Pemberian ALG merupakan pilihan utama untuk penderita

anemia aplastik yang berumur diatas 40 tahun; (b) terapi imunosupresif lain :

pemberian metilprednisolon dosis tinggi dengan atau siklosforin-A dilaporkan

memberikan hasil pada beberapa kasus, tetapi masih memerlukan konfirmasi

lebih lanjut. Pernah juga dilaporkan keberhasilan pemberian siklofosfamid dosis

tinggi.

Transplantasi sumsum tulang. Transplantasi sumsum tulang merupakan

terapi definif yang memberikan harapan kesembuhan, tetapi biayanya sangat

mahal, memerlukan peralatan canggih, serta adanya kesulitan mencari donor

yang kompatibel sehingga pilihan terapi ini sebagai pilihan pada kasus anemia

aplastik berat. Transplantasi sumsum tulang merupakan pilihan untuk kasus

yang berumur dibawah 40 tahun, diberikan siklosforin -A untuk mengatasi

graft versus host disease (GvHD), transplantasi sumsum tulang memberikan

kesembuhan jangka panjang pada 60%-70% kasus, dengan kesembuhan

komplit. Meningkatnya jumlah penderita yang tidak cocok dengan pendonor

terjadi pada

kasus transplantasi sumsum tulang pada pasien lebih muda dari 40 tahun

yang tidak mendapatkan donor yang cocok dari saudaranya.


b. Anemia akibat penyakit kronik

Anemia yang terjadi pada penyakit kronis, tidak semua dapat digolongkan

sebagai anemia akibat penyakit kronis, walaupun beberapa penyakit kronis

seringkali disertai dengan anemia. Anemia pada penyakit kronis merupakan

anemia yang dijumpai pada keadaan penyakit kronis tertentu, yang khas ditandai

dengan adanya gangguan metabolisme besi sehingga dalam pemeriksaan darah

tampak hipoferemia dan menyebabkan berkurangnya penyediaan besi yang

dibutuhkan untuk sintesis hemoglobin tetapi cadangan besi sumsum tulang masih

cukup. Anemia peyakit kronis memiliki gambaran klinis sebagai berikut :

 Indeks dan morfologi eritrosit normositik normokromik atau

hipokrom ringan dengan MCV jarang <75 fl.

 Anemia bersifat ringan atau tidak progresif, kadar haemoglobin pada

pasien jarang ditemukan kurang dari 9,0 g/dl, namun perlu dicatat

bahwa beratnya anemia tergantung dari penyakit yang mendasari

terjadinya anemia tersebut.

 Kadar TIBC yang menurun dengan kadar sTfR yang normal.

 Kadar feritin serum yang normal maupun adanya peningkatan.

 Kadar besi cadangan di sumsum tulang masih normal, sedangkan

kadar besi dalam eritroblas berkurang.

A. Etiologi

Laporan dan data yang didapat dari penyakit tuberculosis, abses paru,

endokarditis bakteri subakut, osteomielitis dan infeksi jamur kronis serta HIV

telah membuktikan bahwa anemia berkaitan dengan hampir semua infeksi


supuratif kronis. Untuk terjadinya anemia, diperlukan waktu sekitar satu hingga

dua bulan setelah infeksi terjadi pada pasien. Derajat anemia yang diderita

sebanding dengan berat ringannya gejala, seperti demam, penurunan berat badan,

dan debilitas umum.

B. Epidemiologi

Anemia pada penyakit kronik merupakan jenis anemia hipokromik

mikrositer yang paling sering nomor dua setelah anemia defisiensi besi, jadi

anemia pada penyakit kronik tergolong anemia yang cukup sering dijumpai baik

di klinik maupun di lapangan. Penyakit yang paling sering menyebabkannya

adalah cronic kidney disease (CKD), Human Immunodeficiency Virus (HIV),

Inflammatory Bowel Disease (IBD), Rheumatoid Arthritis (RA), dan Congestive

Heart Failure.

Dilaporkan pada suatu studi bahwa telah ditemukan prevalensi yang cukup

tinggi, yaitu 77% laki laki tua dan 68% perempuan tua dengan kanker menderita

anemia. Studi lain menunjukkan anemia terjadi pada 41% pasien tumor solid. Di

Rumah Sakit Sanglah Denpasar, penyebab tersering anemia pada penyakit kronik

adalah tuberkulosis paru. Data epidemiologis anemia pada penyakit kronik di

Indonesia memang belum banyak dipublikasikan.

C. Patogenesis

Terdapat tiga abnormalitas utama pada patogenesis terjadinya anemia pada

penyakit kronis, yaitu : menurunnya umur eritrosit, adanya penurunan produksi


eritrosit akibat produksi eritropoitin yang menurun, dan gangguan metabolisme

berupa gangguan reutilisasi besi.

Derajat anemia sebanding dengan berat ringanya gejala, seperti demam ,

penurunan berat badan dan debilitas umum. Untuk terjadinya anemia memerlukan

waktu 1-2 bulan setelah infeksi terjadi dan menetap, setelah terjadi keseimbangan

antara produksi dan penghancuran eritrosit dan Hb menjadi stabil.

Berikut adalah patogenesis secara umum penyebab terjadinya anemia

penyakit kronis:

 Pemendekan masa hidup eritrosit

Anemia yang terjadi diduga merupakan bagian dari sindrom stress

hematologic, adalah keadaan dimana terjadinya produksi sitokin yang

berlebihan karena kerusakan jaringan akibat infeksi, inflamasi atau kanker.

Sitokin tersebut dapat menyebabkan sekuetrasi makrofag sehingga mangikat

lebih banyak zat besi, meningkatkan destruksi eritrosit di limpa, menekan

produksi eritropoetin oleh ginjal, serta menyebakan perangsangan yang

inadekuat pada eritropoesis di sumsum tulang. Pada keadaan lebih lanjut,

malnutrisi dapat menyebabkan penurunan transformasi T4 manjadi T3,

menyebabkan hipotirod fungsional dimana terjadi penurunan kebutuhan Hb

yang mengangkut O2 sehingga sintesis eritropetin-pun akhirnya berkurang.

 Penghancuran eritrosit

Beberapa penilitian membuktikan bahwa masa hidup eritrosit memendek

pada sekitar 20-30 % pasien. Defek ini terjadi pada ekstrakorpuskuler, karena
bila eritrosit pasien ditransfusikan ke resipien normal, maka dapat hidup

normal. Aktivasi makrofag oleh sitokin menyebabkan peningkatan daya

fagositosis makrofag tersebut dan sebagai bagian dari filter limpa, menjadi

kurang toleran terhadap perubahan/kerusakan minor dari eritrosit.

 Produksi eritrosit

- Gangguan metabolisme zat besi.

Kadar besi yang rendah meskipun cadangan besi cukup menunjukkan

adanya gangguan metabolisme zat besi pada penyakit kronik. Hal ini

memberikan konsep bahwa anemia dapat disebabkan oleh penurunan

kemampuan Fe dalam sintesis Hb.

- Fungsi sumsum tulang.

Meskipun sumsum tulang yang normal dapat mengkompensasi

pemendakan masa hidup eritrosit, diperlukan stimulus eritropoetin oleh

hipoksia akibat anemia. Pada penyakit kronik, kompensasi yang terjadi

kurang dari yang diharapkan akibat berkurangnya pelepasan atau

menurunya respon terhadap eritropoetin.

Pengaruh dari sitokin proinflamasi, IL-1, dan TNFalfa terhadap proses

eritripoiesis dapat menyebabkan perubahan-perubahan diatas. Gangguan

pelepasan besi ke plasma menyebabkan berkurangnya penyediaan besi untuk

eritropoiesis yang berakibat pada gangguan pembentukan hemoglobin sehingga

terjadi anemia hipokromik mikrositer.


D. Diagnosis

Anemia tersebut disebut sebagai anemia pada penyakit kronis hanya

apabila anemia yang terjadi adalah :

 anemia sedang

 selularitas sumsum tulang normal

 kadar besi serum rendah

 TIBC (Total Iron Binding Capacity) rendah

 kadar besi dalam makrofag dan sumsum tulang normal ataupun meningkat

 feritin serum yang meningkat

Apabila kriteria tersebut tidak terpenuhi maka anemia tersebut tidak dapat

dikatakan sebagai anemia pada penyakit kronis, meskipun banyak pasien dengan

infeksi kronis, inflamasi dan keganasan menderita anemia.

Karena anemia yang terjadi umumnya dengan derajat yang ringan dan

sedang, gejalanya seringkali tertutup oleh gejala dari penyakit dasarnya dan kadar

Hb sekitar 7-11 gr/dL juga umumnya asimtomatik. Meskipun demikian, apabila

demam atau debilitas fisik meningkat, pengurangan kapasitas transport O2

jaringan akan memperjelas gejala anemianya atau memperberat keluhan

sebelumnya.
Pada pemeriksaan fisik, biasanya hanya ditemukan konjungtiva yang pucat

tanpa adanya kelainan yang khas dari anemia dan diagnosis biasanya hanya

bergantung dari hasil pemeriksaan laboratorium.

E. Penatalaksanaan

Terapi utama pada anemia penyakit kronis adalah dengan mengobati

penyakit dasarnya. Terdapat juga beberapa pilihan untuk menangani anemia pada

penyakit kronis, diantaranya yaitu :

 Transfusi

Transfusi merupakan pilihan pada kasus-kasus yang disertai dengan

dengan gangguan hemodinamik. Beberapa literature menyebutkan bahwa

pasien anemia pada penyakit kronik yang disertai infark miokard, transfusi

dapat mengurangi resiko kematian secara bermakna. Tidak ada batasan

yang pasti pemberian transfusi harus dilakukan pada kadar hemoglobin

berapa, namun sebaiknya kadar hemoglobin pada pasien dipertahankan

pada 10-11 gr/dL.

 Eritropoietin

Selain untuk menghindarkan pasien dari transfusi beserta efek

sampingnya, pemberian eritropoietin juga mempunyai beberapa

keuntungan, yaitu:

a. Mempunyai efek anti inflamasi dengan cara menekan produksi dari

TNF-α dan interferon-γ.


b. Pemberian eritropoetin juga akan menambah proliferasi dari sel-sel

kanker ginjal serta meningkatkan rekurensi pada kanker kepala dan

leher.

Saat ini telah terdapat tiga jenis eritropoietin, yakni eritropoietin alfa,

eritropoietin beta dan darbopoietin. Masing - masing eritropoietin ini berbeda

struktur kimiawi, afinitas terhadap reseptor serta waktu paruhnya sehingga

memungkinkan untuk memilih mana yang lebih tepat dalam menangani suatu

kasus.
Dapus:

1. Shadduck RK. Aplastic Anemia. In: Beuttler E, Coller BS, Lichtman M, Kipps TJ.

Williams Hematology. 6th ed. USA: McGraw-Hill;2001. p. 504-523.

2. Bakta IM. Anemia Karena Kegagalan Sumsum Tulang. In: Hematologi Klinik

Ringkas. Cetakan I. Jakarta: EGC;2006. p. 97-112.

3. Alkhouri N, Ericson SG. Aplastic Anemia:Review of Etiology and Treatment. [serial

online]1999;70:46-52

4. Young NS, Shimamura A. Acquired Bone Marrow Failure Syndromes. In: Handin RI,

Lux SE, Stossel TP. Blood Principle and Practice of Hematology. 2nd ed. USA: Lippincott

Williams & Wilkins;2003. p. 55-59.

1. Muhammad A, Sianipar O. 2005. Penentuan Defisiensi Besi Anemia Penyakit Kronis


Menggunakan Peran Indeks sTRfR-F. Indonesian Journal of Clinical Pathology and
Medical Laboratory, Vol. 12, No. 1, Nov 2005. Diakses melalui:
http://www.journal.unair.ac.id/filerPDF/IJCPML-12-1-03.pdf pada 14 April 2016.
2. Kumar, Cotran, Robbins. Sistem Hematopoietik dan Limfoid. Buku Ajar Patologi. Edisi
2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC,2007;h.463
3. A.V. Hoffbrand, J.E. Pettit, P.A.H. Moss, Ahli bahasa : dr. Lyana Setiawan. Buku Kapita
Selekta Hematologi Edisi IV. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.2013.
4. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, dkk. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid II edisi VI. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai