Anda di halaman 1dari 41

LAPORAN KASUS

Epilepsi

Pembimbing :

dr. Haryo Teguh. Sp.S.,M.Si,Med

Penyusun :

Ni Luh Made Atia Kornita Sari

030.15.136

KEPANITERAAN KLINIK ILMU SARAF

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARDINAH

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

PERIODE 28 OKTOBER – 30 NOVEMBER 2019

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “Epilepsi” tepat pada
waktunya. Penyusunan referat ini ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan
dalam menempuh kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Saraf. Penulis mengucapkan terima kasih
sebesar besarnya kepada dr. Haryo Teguh. Sp.S.,M.Si,Med

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, hal tersebut tidak lepas dari
segala keterbatasan kemampuan yang peneliti miliki. Oleh karena itu bimbingan dan kritik
yang membangun dari semua pihak sangatlah diharapkan

Tegal, 2019

Penulis

2
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN KASUS DENGAN JUDUL

“EPILEPSI”

Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing, sebagai syarat untuk menyelesaikan
KEPANITERAAN KLINIK ILMU SARAF

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARDINAH

Tegal, 2019

Koorpanit

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Epilepsi merupakan salah satu penyakit saraf yang sering dijumpai, terdapat pada semua
bangsa, segala usia dimana laki-laki sedikit lebih banyak dari wanita. Insiden tertinggi terdapat
pada golongan usia dini yang akan menurun pada gabungan usia dewasa muda sampai setengah
tua, kemudian meningkat lagi pada usia lanjut.

Di negara-negara maju, kejadian epilepsi tahunan diperkirakan sekitar 50 per 100.000


penduduk dan prevalensinya diperkirakan sekitar 700 per 100.000 penduduk. Di negara
berkembang, jumlahnya diperkirakan lebih tinggi. Insiden epilepsi umumnya tinggi pada
kelompok usia kanak-kanak dan lanjut usia, cenderung lebih tinggi pada pria daripada wanita.2

Kelompok Studi Epilepsi Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (POKDI


Epilepsi PERDOSSI) mengadakan penelitian pada 18 rumah sakit di 15 kota pada tahun 2013
selama 6 bulan. Didapatkan 2288 pasien terdiri atas 487 kasus baru dan 1801 kasus lama. Rerata
usia kasus baru adalah 25,06 16,9 tahur. Sedangkan rerata usia pada kasus lama adalah 29,2
kurang lebih 16,5 tahun Sebanyak 77,9% pasien berobat pertama kali ke dokter spesialis saraf,
6,8% berobat ke dokter umum, sedangkan sisanya berobat ke dukun dan tidak berobat.3

4
BAB II
LAPORAN KASUS

STATUS PASIEN
BAGIAN PENYAKIT SARAF
RUMAH SAKIT UMUM KARDINAH TEGAL

I. IDENTITAS PASIEN
 Nama : Ny. S
 Jenis Kelamin : Perempuan
 Usia : 60 tahun
 Alamat : Jl. Werkudoro, Tegal
 Status Perkawinan : Menikah
 Agama : Islam
 Pekerjaan : Tidak Bekerja
 Tanggal Kunjungan RS : 6 November 2019
 Poliklinik : Saraf

II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis. Anamnesis dilakukan pada hari Rabu,
tanggal 6 November 2019

Keluhan Utama
Kejang 3 Bulan SMRS

Keluhan Tambahan
Sakit Kepala

Riwayat Penyakit Sekarang


Seorang pasien perempuan berusia 60 tahun datang ke poliklinik Saraf RS Kardinah
dengan keluhan kejang 3 Bulan SMRS. Kejang terjadi tiba-tiba saat pasien sedang dalam
5
keadaan beristirahat. Pasien mengaku sebelum kejang dirinya merasa sakit kepala, pandangan
gelap dan menjadi kosong lalu tiba-tiba pasien tidak sadarkan diri. Pasien tidak ingat kejang
berlangsung berapa menit. Setelah kejang pasien mengaku tersadar. Keluhan kejang dirasakan
sejak tahun 2016. Kejang yang terjadi tidak berhubungan dengan demam. Biasanya setelah
kejang pasien tersadar dan merasa pusing lalu tertidur karena lemas. Pasien mengaku juga
sering sakit kepala, merasa kepala nya seperti kurang nyaman. Sakit kepala berputar disangkal
oleh pasien. Pasien menyangkal ada mual muntah. Demam disangkal. BAK dan BAB normal.

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien mengaku pernah mengalami hal serupa pertama kali pada tahun 2016 satu kali
dan tahun 2017 satu kali namun pasien lupa tentang pola kejangnya. Riwayat trauma kepala
atau infeksi sebelumnya disangkal. Riwayat DM, hipertensi, penyakit jantung, penyakit paru
serta alergi obat-obatan di sangkal oleh pasien.

Riwayat Penyakit Keluarga


Pasien mengaku tidak ada yang mempunyai keluhan serupa dengan pasien. Riwayat
DM, hipertensi, penyakit jantung, penyakit paru dalam keluarga di sangkal oleh pasien

Riwayat Pengobatan
Pasien mengaku rutin melakukan kontrol ke poliklinik saraf dan mengkonsumsi kutoin
dan folic acid untuk keluhan kejangnya.

Riwayat Kebiasaan
Pasien menyangkal memiliki riwayat kebiasaan merokok maupun minum minuman
beralkohol. Pasien jarang berolahraga.

6
III. PEMERIKSAAN FISIK
A. Status generalis
Keadaan umum Kesadaran: compos mentis
Kesan sakit: tampak sakit ringan
Tanda vital Tekanan darah: 130/80 mmHg
Nadi: 90 x/menit
Respirasi: 20x/menit
Suhu: 36,5°C
Kepala Normosefali, rambut hitam, tidak rontok, terdistribusi merata,
terdapat luka
Mata: pupil isokor, refleks pupil +/+, konjungtiva anemis -/-, sklera
ikterik -/- oedem -/+
Telinga: deformitas (-), kemerahan (-), oedem (-), serumen (-), nyeri
tekan (-), nyeri tarik (-)
Hidung: deviasi septum (-), deformitas (-), sekret (-), pernapasan
cuping hidung (-)
Mulut: mukosa bibir merah muda, sianosis (-), gusi kemerahaan (-)
oedem (-), plak gigi (-)
Leher KGB dan kelenjar tiroid tidak membesar, JVP (5+2 cm H2O)
Thorax Inspeksi: bentuk dada simetris, gerak dinding dada simetris, tipe
pernapasan torakoabdominal, sela iga normal, sternum datar, retraksi
sela iga (-)
Palpasi: pernapasan simetris, vocal fremitus simetris, tidak teraba
thrill, ictus cordis teraba di ICS VI linea midclavicularis sinistra
Perkusi: hemitoraks kanan dan kiri sonor, batas paru dan hepar
setinggi ICS VI linea midclavicularis dextra dengan perkusi redup,
batas bawah paru dan lambung setinggi ICS VIII linea axillaris
anterior sinistra dengan perkusi timpani. Batas paru dan jantung
kanan setinggi ICS IV linea parasternal dextra, batas paru dan jantung
kiri setinggi ICS VI linea midclavicularis sinistra, batas atas jantung
ICS II linea parasternalis sinistra, pinggang jantung setinggi ICS III
linea parasternal sinistra

7
Auskultasi: Suara napas vesikuler +/+, ronki -/-, wheezing -/-, Bunyi
Jantung I dan II reguler, gallop (-), murmur (-)
Abdomen Inspeksi: datar, ikterik (-), eritema (-), spider naevi (-), benjolan (-)
Auskultasi: bising usus 3x/menit, arterial bruit (-)
Palpasi: teraba supel, massa (-), nyeri lepas (-), hepar dan lien tidak
membesar, ballottement ginjal (-), undulasi (-)
Nyeri tekan - - -
- - -
- - -
Perkusi: shifting dullness (-)
Ekstremitas Ekstremitas Atas
Simetris kanan dan kiri, turgor kulit baik, deformitas -/-, CRT < 2
detik, akral hangat +/+, oedem -/-, ptekie -/-
Ekstremitas Bawah
Simetris kanan dan kiri, turgor kulit baik, deformitas -/-, CRT < 2
detik, akral hangat +/+, oedem -/-, ptekie -/-

8
B. Status Neurologis
- Kesadaran dan Fungsi Luhur
GCS: E4V5M6

- Rangsangan Meningeal
• Kaku kuduk : - (tidak ditemukan tahanan pada tengkuk)
• Brudzinski 1 : -/- (tidak ditemukan fleksi pada tungkai)
• Brudzinski 2 : -/- (tidak ditemukan fleksi pada tungkai)
• Brudzinski 3 :-
• Brudzinski 4 :-
• Kernig : -/- (tidak terdapat tahanan sblm mencapai 135º/tidak terdapat
tahanan sblm mencapai 135º)
• Laseque : -/- (tidak timbul tahanan sebelum mencapai 70o/tidak timbul
tahanan sebelum mencapai 70o)

- Nervus Cranialis
1. N-I (Olfaktorius) : tidak ada gangguan penciuman
2. N-II (Optikus)
a. Visus : tidak dilakukan pemeriksaan
b. Warna : tidak dilakukan pemeriksaan
c. Funduskopi : tidak dilakukan pemeriksaan
d. Lapang pandang :
3. N-III, IV, VI (Okulomotorius, Trochlearis, Abducens)
a. Gerakan bola mata : atas (+/+), bawah (+/+), lateral (+/+), medial (+/+), atas
lateral (+/+), atas medial (+/+), bawah lateral (+/+), bawah medial (+/+)
b. Ptosis :- /-
c. Pupil : Isokor, bulat, 3mm / 3mm
e. Refleks Pupil
 langsung :+/+

9
 tidak langsung :+/+
4. N-V (Trigeminus)
a. Sensorik
 N-V1 (ophtalmicus) : +
 N-V2 (maksilaris) : +
 N-V3 (mandibularis) : +
(pasien dapat menunjukkan tempat rangsang raba)
b. Motorik : +
Pasien dapat merapatkan gigi dan membuka mulut
c. Refleks kornea : tidak dilakukan pemeriksaan
5. N-VII (Fasialis)
a. Sensorik (indra pengecap) : tidak dilakukan pemeriksaan
b. Motorik
 Angkat alis : + / +, terlihat simetris kanan dan kiri
 Menutup mata : +/+
 Menggembungkan pipi : kanan (baik), kiri (baik)
 Menyeringai : kanan (baik), kiri (baik)
 Gerakan involunter : -/-
6. N. VIII (Vestibulocochlearis)
a. Keseimbangan
 Nistagmus : tidak ditemukan
 Tes Romberg : tidak dilakukan pemeriksaan
b. Pendengaran
 Tes Rinne : tidak dilakukan pemeriksaan.
 Tes Schwabach : tidak dilakukan pemeriksaan.
 Tes Weber : tidak dilakukan pemeriksaan.
7. N-IX, X (Glosofaringeus, Vagus)
a. Refleks menelan : +
b. Refleks batuk : +
10
c. Perasat lidah (1/3 anterior): tidak dilakukan pemeriksaan.
d. Refleks muntah : tidak dilakukan pemeriksaan.
e. Posisi uvula : normal; deviasi ( - )
f. Posisi arkus faring : simetris
8. N-XI (Akesorius)
a. Kekuatan M. Sternokleidomastoideus : + /+
b. Kekuatan M. Trapezius : + /+

9. N-XII (Hipoglosus)
a. Tremor lidah :-
b. Atrofi lidah :-
c. Ujung lidah saat istirahat : -
d. Ujung lidah saat dijulurkan: tidak terdapat deviasi
e. Fasikulasi :-

c. Pemeriksaan Motorik
1. Refleks
a. Refleks Fisiologis
 Biceps : +/+
 Triceps : +/+
 Achiles : +/+
 Patella : +/+

b. Refleks Patologis
 Babinski : -/-
 Oppenheim : -/-
 Chaddock : -/-
 Gordon : -/-

11
 Schaeffer : -/+
 Hoffman-Tromner : -/+

2. Kekuatan Otot
5555 5555
Ekstremitas Superior Dextra Ekstremitas Superior Sinistra
5555 5555
Ekstremitas Inferior Dextra Ekstremitas Inferior Sinistra

Ket: 5  Dapat melawan tahanan, normal

3. Tonus Otot
a. Hipotoni : -/-
b. Hipertoni : -/-

d. Sistem Ekstrapiramidal
1. Tremor : -
2. Chorea : -
3. Balismus : -
Tidak ditemukan saat dilakukan pemeriksaan

e. Sistem Koordinasi
1. Romberg Test : tidak dilakukan pemeriksaan.
2. Tandem Walking : tidak dilakukan pemeriksaan
3. Finger to Finger Test : tidak dilakukan pemeriksaan
4. Finger to Nose Test : tidak dilakukan pemeriksaan

f. Fungsi Kortikal
1. Atensi : dalam batas normal

12
2. Konsentrasi : dalam batas normal
3. Disorientasi : dalam batas normal
4. Kecerdasan : tidak dilakukan pemeriksaan
5. Bahasa : dalam batas normal
6. Memori : tidak ditemukan gangguan memori
7. Agnosia : pasien dapat mengenal objek dengan baik

g. Susunan Saraf Otonom


Inkontinensia :-
Hipersekresi keringat :-

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG ANJURAN


Pada os dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan EEG. Hasil EEG pada pasien ini tidak
dibawa oleh pasien.

V. RESUME
Seorang pasien perempuan berusia 60 tahun datang ke poliklinik Saraf RS Kardinah dengan
keluhan kejang 3 Bulan SMRS. Kejang terjadi tiba-tiba saat pasien sedang dalam keadaan
beristirahat. Pasien mengaku sebelum kejang dirinya merasa sakit kepala, pandangan gelap dan
menjadi kosong lalu tiba-tiba pasien tidak sadarkan diri. Pasien tidak ingat kejang berlangsung
berapa menit. Setelah kejang pasien mengaku tersadar. Kejang yang terjadi tidak berhubungan
dengan demam. Biasanya setelah kejang pasien tersadar dan merasa pusing lalu tertidur karena
lemas. Pasien mengaku juga sering sakit kepala, merasa kepala nya seperti kurang nyaman. Sakit
kepala berputar disangkal oleh pasien. Pasien menyangkal ada mual muntah. Demam disangkal.
BAK dan BAB normal. Pasien mengaku pernah mengalami hal serupa pertama kali pada tahun
2016 satu kali dan tahun 2017 satu kali namun pasien lupa tentang pola kejangnya. Pasien mengaku
rutin melakukan kontrol ke poliklinik saraf dan mengkonsumsi kutoin dan folic acid untuk keluhan
kejangnya.

13
VI. DIAGNOSIS KERJA
a. Diagnosis klinis : Kejang disertai gangguan kesadaran awal kejang
b. Diagnosis Topis : Korteks serebri
c. Diagnosis Etiologi : Epilepsi bangkitan umum absans tipikal

VII. PENATALAKSANAAN
1. Non Medikamentosa
 Pembedahan epilepsi
 Stimulasi nervus vagus
 Diet ketogenik

2. Medikamentosa
 Kutoin 3x1
 Folic acid 1x1

VIII. PROGNOSIS
Ad Vitam : ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad malam

14
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

2.1.1 Definisi Konseptual

Epilepsi adalah kelainan otak yang ditandai dengan kecenderungan terus menerus urtuk
menimbulkan bangkitan epileptik dengan konsekuensi neurobiologis, kognitif, psikologis, dan
sosial. Definisi ini mensyaratkan terjadinya minimal 1 kali bangkitan epileptik.4

2.1.2 Definsi Operasional


Epilepsi adalah suatu penyakit otak yang ditandai dengan salah satu kondisi/ gejala sebagai
berikut:4
1. minimal terdapat 2 bangkitan tanpa provokasi atau 2 bangkitan refleks dengan jarak
waktu antar bangkitan pertama dan kedua lebih dari 24 jam;
2. satu bangkitan tanpa provokasi atau 1 bangkitan refleks dengan kemungkinan terjadinya
bangkitan berulang dalam 10 tahun kedepan sama dengan bila terdapat 2 bangkitan tanpa
provokasi alau bangkitan refleks;
3. sudah ditegakkan diagnosis sindrom epilepsi (oleh dokter yang kompeten).

Epilepsi dianggap dapat diatasi (resolved) pada individu dengan sindrom epilepsi
tergantung usia tetapi sudah melewati batas usia tertentu ATAU mereka yang tetap bebas
bangkitan selama 10 tahun terakhir, tanpa obat antiepilepsi (OAE) selama 5 tahun terakhir.

15
2.2 Epidemiologi

Di negara-negara maju, kejadian epilepsi tahunan diperkirakan sekitar 50 per 100.000


penduduk dan prevalensinya diperkirakan sekitar 700 per 100.000 penduduk. Di negara
berkembang, jumlahnya diperkirakan lebih tinggi. Insiden epilepsi umumnya tinggi pada
kelompok usia kanak-kanak dan lanjut usia, cenderung lebih tinggi pada pria daripada wanita.2
Kelompok Studi Epilepsi Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (POKDI Epilepsi
PERDOSSI) mengadakan penelitian pada 18 rumah sakit di 15 kota pada tahun 2013 selama 6
bulan. Didapatkan 2288 pasien terdiri atas 487 kasus baru dan 1801 kasus lama. Rerata usia kasus
baru adalah 25,06 16,9 tahun.

2.3 Etiologi

Enam kelompok etiologi adalah struktural, genetik, infeksi, metabolik, dan imun, serta
kelompok yang tidak diketahui. Epilepsi pasien dapat diklasifikasikan ke dalam lebih dari satu
kategori etiologi; etiologinya tidak bersifat hierarki dan mungkin tergantung pada keadaan pasien.5

1. Struktural

Etiologi struktural berdasarkan pada pemeriksaan pencitraan yang dikaitkan dengan


pemeriksaan elektroklinik. Etiologi struktural antara lain stroke, trauma, infeksi; atau yang
berkaitan dergan genetik seperti malformasi perkembangan kortikal. Identifikasi lesi struktural
memerlukan pemeriksaan MRI dengan menggunakan protokol spesifik epilepsi.

2. Genetik

Akibat mutasi genetik yang diketahui atau diduga di mana bangkitan merupakan gejala
utama dari gangguan tersebut. Contch: Childhood Absence Epilepsy atau Juvenile Myoclonic
Epilepsi.

16
3 Infeksi

Akibat dari pasca-infeksi intrakranial, seperti neurosistiserkosis, tuberkulosis, HIV,


malaria serebral, pan-ensefalitis sklerosis subakut, toksoplasmosis serebral, dan infeksi kongenital
seperti virus Zika dan virus Sitomegalo. Infeksi ini kadang memiliki korelasi struktural.

4. Metabolik

Identifikasi penyebab metabolik sangat penting sehubungan dengan terapi spesifik dan
pencegahan gangguan intelektual.

5. Imun

Gangguan imunitas disertai adanya peradangan SSP yang berhubungan dengan reaksi
autoimun contoh: epilepsi pada multiple sklerosis.

6. Tidak diketahui

Penyebab epilepsi belun diketahui. Diagnosis hanya berdasarkan usia awitan, semiologi
bangkitan dan pemeriksaan EEG.

2.4 Patofisiologi

Kejang epilepsi (serangan epilepsi, epileptic fit) dipicu oleh perangsangan sebagian besar
neuron secara berlebihan, spontan, dan sinkron sehingga menyebabkan aktivasi fungsi motorik
(kejang), sensorik (kesan sensorik), otonom (misal, salivasi), atau fungsi kompleks (kognitif,
emosional) secara lokal atau umum. Kejang epilepsi dapat terjadi secara lokal, misalnya di girus
presentralis kiri dengan neuron di daerah tersebut yang mengatur kaki kanan (kejang parsial).
Kejang dapat menyebar dari tempat tersebut ke seluruh girus presentralis (epilepsi Jacksonian).
Seperti contoh ini, kram klonik dapat menyebar dari kaki kanan ke seluruh tubuh bagian kanan
("gerakan motorik Jacksonian") tanpa pasien kehilangan kesadarannya. Namun, jika kejang
menyebar ke tubuh sisi lainnya, pasien akan kehilangan kesadaran (kejang parsial dengan general
isasi sekunder). Kejang umum primer selalu disertai hilangnya kesadaran. Kejang tertentu
("absans") dapat juga hanya menyebabkan kehilangan kesadaran yang terisolasi. Fenomena
pemicunya adalah depolarisasi paroksismal pada neuron tunggal (pergeseran depolarisasi

17
paroksismal. Hal ini disebabkan oleh pengaktifan kanal Ca, Ca2 yang masuk mula-mula akan
membuka kanal kation yang tidak spesifik sehingga menyebabkan depolarisasi yang berlebihan,
yang akan terhenti oleh pembukaan kanal K dan C yang diaktivasi oleh Ca. Kejang epilepsi terjadi
jika jumlah neuron yang terangsang terdapat dalam jumlah yang cukup. Penyebab atau faktor yang
memudahkan terjadinya epilepsi adalah, misal, kelainan genetik (kanal K dan lainnya), malformasi
otak, trauma otak (jaringan parut di sel glia), tumor, perdarahan, atau abses. Kejang juga dapat
dipicu atau dipermudah oleh keracunan (misal, alkohol), inflamasi, demam, pembengkakan sel
atau pengerutan sel (lebih jarang), hipoglikemia, hipomagnesemia, hipo- kalsemia, kurang tidur,
iskemia atau hipoksia, dan perangsangan berulang (misal, kilatan cahaya). Hiperventilasi dapat
menyebabkan hipoksia serebri melalui vasokonstriksi serebri dan hipokapnia, dan karena itu
memudahkan rerjadinya kejang. Kejang epileptik memiliki insiden yang lebih tinggi pada wanita
hamil.

Perangsangan neuron atau penyebaran ke neuron di sekitarnya ditingkatkan rangsangan


oleh sejumlah mekanisme selular: Dendrit sel piramidal mengandung kanal Ca2 bergerbang
voltase pada saat depolarisasi sehingga meningkatkan depolarisasi. Pada lesi neuron, akan lebih
ba- nyak kanal Ca yang diekspresikan. Kanal Ca dihambat oleh Mg+2, sedangkan hipomagnesemia
akan meningkatkan aktivitas kanal ini. Peningkatan konsentrasi K ekstrasel akan me- ngurangi
efluks K melalui kanal K. Hal ini berarti K' memiliki efek depolarisasi, dan karena itu pada waktu
pengaktifan kanal Ca. Dendrit sel piramidal juga didepolarisasi oleh glutamat dari sinaps
eksitatorik. Glutamat bekerja pada kanal kation permeabel terhadap Ca2 (kanal AMPA) dan pada
kanal yang permeabel terhadap Ca2 (kanal NMDA). Kanal NMDA normalnya dihambat oleh
Mg2. Akan tetapi, depolarisasi yang dipicu oleh pengaktifan kanal AMPA menghilangkan
penghambatan Mg+2 (kerja sama dari kedua kanal). Jadi, defisiensi Mg2 dan depolarisasi
memudahkan pengaktifan kanal NMDA Potensial membran neuron normalnya akan membuka
bersamaan meningkatkan yang yang tidak dipertahankan oleh kanal K. Syarat untuk hal ini adalah
gradien K+ yang melewati membran sel harus adekuat. Gradien ini dihasilkan oleh Na'/ K -
ATPASE. Kekurangan energi (misal, akibat kekurangan O, atau hipoglikemia) akan menghambat
Na'/K' -AT Pase sehingga memu- dahkan depolarisasi sel. Depolarisasi normalnya dikurangi oleh
neuron inhibitorik yang mengaktifkan kanal K dan/atau CF di antaranya melalui GABA. GABA
18
dihasilkan oleh glutamat dekarboksilase (GD), yakni enzim yang membutuhkan piridoksin
(vitamin B) sebagai ko-faktor. Defisiensi vitamin B atau berkurangnya afinitas enzim terhadap
vitamin B (kelainan genetik) memudahkan terjadinya epilepsi. Hiperpolarisasi talamus dapat
meningkatkan kesiapan kanal Ca" tipe-T untuk diaktifkan sehingga memudahkan serangan absans

Gambar 1. Patofisiologi Epilepsi

19
2.5 Klasifikasi

Epilepsi dapat diklasifikasikan menurut tipe bangkitan (sesuai International League


Againts Epilepsi/ILAE tahun 1981) dan menurut sindrom epilepsi (klasifikasi ILAE 1989). Secara
garis besar menurut klasifikasi ILAE tahun 1981, bangkitan epileptik dibagi menjadi:

1. Bangkitan parsial (fokal atau lokal)

Tabel 1. Klasifikasi Bangkitan Parsial

20
2. Bangkitan umum (tonik, klonik, atau tonik klonik, mioklonik, dan absans tipikal atau
atipikal)

Tabel 2. Klasifikasi Bangkitan Umum

3. Bangkitan epileptik tidak terklasifikasi


4. Bangkitan berkepanjangan atau berulang (status epileptikus)

Klasifikasi sindrom epilepsi (ILAE 1989) dibuat berdasarkan tipe bangkitan dan etiologi
epilepsi. Penegakan diagnosis berdasarkan sindrom dapat mengarahkan ke tata laksana yang
lebih spesifik dan dapat menentukan prognosis pasien. Klasifikasi sindrom secara garis besar
dibagi menjadi 4, yaitu:
1. Epilepsi dan sindrom localization related (fokal, lokal, parsial)
2. Epilepsi dan sindrom generalized atau umum
3. Epilepsi dan sindrom yang tidak dapat ditentukan apakah fokal atau umum
4. Sindrom spesial

21
Tabel 3. Klasifikasi Sindrom Epilepsi

2.6 Manifestasi Klinis

1. Bangkitan Umum Tonik-klonik

Bangkitan ini secara etiologi dapat berupa idiopatik, kriptogenik, atau simtomatik Tipe bangkitan
ini dapat terjadi pada semua usia kecuali neonatus. Manifestasi klinis: hilang kesadaran sejak awal
bang- kitan hingga akhir bangkitan, bangkitan tonik-klonik umum, dapat disertai gejala autonom
seperti mengompol dan mulut berbusa. Gambaran iktal: tiba-tiba mata melotot dan tertarik ke atas,

22
seluruh tu- buh kontraksi tonik, dapat disertai suara teriakan dan nyaring, selanjutnya diikuti
gerakan klonik berulang simetris di selu- ruh tubuh, lidah dapat tergigit dan mulut berbusa serta
diikuti mengompol. Setelah iktal, tubuh pasien menjadi hipotonus, pasien dapat tertidur dan terasa
lemah. Pada pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) saat interiktal didapatkan aktivi- tas
epileptiform umum berupa kompleks gelombang paku-ombak (spike wave) ter- utama pada saat
tidur stadium non-REM.

2. Bangkitan Tonik

Bangkitan tonik ditandai oleh kontraksi se- luruh otot yang berlangsung terus menerus,
berlangsung selama 2-10 detik namun dapat hingga beberapa menit, di-sertai hi- langnya
kesadaran. Dapat disertai gejala autonom seperti apnea. Gambaran EEG in- teriktal menunjukkan
irama cepat dan lombang paku atau kompleks paku-ombak frekuensi lambat yang bersifat umum.

3. Bangkitan Klonik

Bangkitan ini ditandai oleh gerakan kon- traksi klonik yang ritmik (1-5Hz) di seluruh tubuh
disertai hilangnya kesadaran sejak awal bangkitan. Pada EEG iktal didapatkan aktivitas
epileptiform umum berupa gelom- bang paku, paku multipel, atau kombinasi gelombang irama
cepat dan lambat.

4. Bangkitan Mioklonik

Mioklonik adalah gerakan kontraksi invo- lunter mendadak dan berlangsung sangat singkat (jerk)
tanpa disertai hilangnya ke- sadaran. Biasanya berlangsung 10-50mi- lidetik, durasi dapat
mencapai lebih dari 100milidetik. Otot yang berkontraksi dapat tunggal atau multipel atau berupa
sekumpulan otot yang agonis dari berbagai topografi. Mioklonik dapat berlangsung fokal,
segmental, multifokal, atau umum. Gambaran EEG berupa gelombang poly- spikes yang bersifat
umum dan singkat.

23
5. Bangkitan Atonik

Bangkitan ditandai oleh hilangnya tonus otot secara mendadak. Bangkitan atonik dapat didahului
oleh bangkitan mio- klonik atau tonik. Bentuk bangkitan bisa berupa "jatuh" atau "kepala
menunduk". Pemulihan pascaiktal cepat, sekitar 1-2 detik. Gambaran EEG dapat berupa ge-
lombang paku (spikes) atau polyspikes yang bersifat umum dengan frekuensi 2-3Hz dan
gelombang lambat.

6. Bangkitan Absans Tipikal

Bangkitan absans (petit mal) berlangssung sangat singkat (dalam hitungan detik) dengan onset
mendadak dan ber- henti mendadak. Bentuk bangkitan beru- pa hilang kesadaran atau "pandangan
kosong". Dapat pula disertai komponen motorik yang minimal (dapat berupa mioklonik, atonik,
tonik, automatisme). Pada pemeriksaan EEG didapatkan ak- tifitas epileptiform umum berupa
kom- pleks paku-ombak 3Hz (>2,5Hz).

7. Bangkitan Absans Atipikal

Bangkitan berupa gangguan kesadaran disertai perubahan tonus otot (hipotonia atau atonia), tonik,
atau automatisme. Pasien dengan bangkitan absans atipikal sering mengalami kesulitan belajar
akibat seringnya disertai terjadinya bangkitan tipe lain seperti atonik, tonik, dan mio- klonik. Pada
absans atipikal, onset dan berhentinya bangkitan tidak semendadak bangkitan absans tipikal, dan
peruba- han tonus otot lebih sering terjadi pada bangkitan tipe absans atipikal. Pada EEG
didapatkan gambaran kompleks paku- ombak frekuensi lambat (1-2,5Hz atau <2,5Hz) yang
iregular dan heterogen dan dapat bercampur dengan irama cepat.

8. Bangkitan Fokal/Parsial

Bentuk bangkitan yang terjadi tergan- tung dari letak fokus epileptik di otak. Fokus epileptik
berasal dari area terten- tu yang kemudian mengalami propagasi dan menyebar ke bagian otak
yang lain. Bentuk bangkitan dapat berupa gejala motorik, sensorik (kesemutan, baal), sensorik
spesial (halusinasi visual, halusi- nasi auditorik), emosi (rasa takut, marah), autonom (kulit pucat,
24
merinding, rasa mual). Bangkitan parsial sederhana yang diikuti dengan bangkitan parsial kom-
pleks atau bangkitan umum sekunder disebut sebagai aura.

2.7 Diagnosis

Diagnosis epilepsi ditegakkan terutama dari anamnesis yang didukung oleh pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang.5
1. Tentukan tipe bangkitan
2. Tentukan tipe epilepsi
3. Tentukan sindrom epilepsi
Dalam praktik klinis, langkah-langkah dalam penegakan diagnosis epilepsi adalah sebagai
berikut: 3
Anamnesis
auto dan allo-anamnesis dari saksi mata mengenai hal-hal terkait di bawah ini.
a. Gejala dan tanda sebelum, selama, dan pasca-bangkitan
1) Sebelum bangkitan/gejala prodromal Kondisi fisik dan psikis yang mengindikasikan
akan terjadinya bangkitan, misalnya perubahan perilaku, perasaan lapar, berkeringat,
hipotermi, mengantuk, menjadi sensitif, dan lain-lain.
2) Selama bangkitan/iktal
a) Apakah terdapat aura, gejala yang dirasakan pada awal bangkitan?
b) Bagaimana deskripsi bangkitan, mulai dari deviasi maia, gerakan kepala,
gerakan tubuh, vokalisasi, automatisme, gerakan pada salah satu atau kedua
lengan dan tungkai, bangkitan tonik/klonik, inkontinensia, lidah tergigit, pucat,
berkeringat, dan lain-lain. Akan lebih baik bila keluarga dapat diminta menirukan
gerakan bangkitan atau merekam video saat bangkitan.
o Apakah terdapat lebih dari satu tipe bangkitan?
o Apakah terdapat perubahan tipe dari bangkitan sebelumnya?
o Waktu terjadi bangkitan: saat tidur, saat terjaga, bermain video berkemih, atau
sewaktu-waktu.

25
3) Pasca-bangkitan/post-ictal: bingung, langsung sadar, nyeri kepala, tidur, gaduh
gelisah, hemiparesis pasca-bangkitan (paralisis Todd)
b. Faktor pencetus: kelelahan, kurang tidur, hormonal, stres psikologis, alkchol.
c. Faktor lain: usia awitan, durasi bangkitan, frekuensi bangkita:n, interval terpanjang
antar bangkitan, awareness antar bangkitan.
d. Terapi dan respons terhadap OAE sebelumnya:
1) jenis, dosis, jadwal minum, kepatuhan minum obat; dan
2) kadar OAE dalam plasma.
e. Penyakit yang diderita sekarang dan riwayat penyakit lain yang menjadi penyebab
serta komorbiditas.
f. Riwayat epilepsi dan penyakit lain dalam keluarga.
g. Riwayat pre-natal, natal dan tumbuh kembang, riwayat bangkitan neonatal/kejang
demam.

Pemeriksaan fisik umum dan neurologis


Pemeriksaan fisik umum untuk mencari tanda-tanda misalnya:
a. trauma kepala,
b. tanda-tanda infeksi,
c. kelainan kongenital,
d. kecanduan alkohol atau napza,
e. kelainan pada kulit (neurooculocutaneus)
f. tanda-tanda keganasan.
Pemeriksaan neurologis
Untuk mencari tanda-tanda detisit neurologis fokal atau difus yang dapat berhubungan dengan
bangkitan, seperti paralisis Todd, gangguan kesadaran pasca-iktal, afasia pasca-iktal.

Pemeriksaan penunjang
a. Elektroensefalografi (EEG)
1) membantu menunjang diagnosis

26
2) membantu penentuan tipe bangkitan maupun sindrom epilepsy
3) membantu menentukan prognosis
4) membantu penentuan perlu/tidaknya pemberian OAE
5) membantu menentukan penghentian OAE
b. Pencitraan otak untuk mendeteksi lesi epileptogenik diotak.
1) CT scan kepala pada kasus kejang pertama kali pada usia dewasa, lebih ditujukan untuk
kasus kegawatdaruratan.
2) MR: (minimal 1,5 Tesla).
3) Positron Emission Tomography Scan (PET-Scan).
4) Single Photon Emission Computed Tomography (SPECT).
5) Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS).
6) USG Doppler (pada neonatus)
c. Pemeriksaan laboratorium
1) Pemeriksaan hematologis
a) hemoglobin, leukosit dan hitung jenis, hematokrit, trombosit elektrolit (natrium,
kalium, kalsium, magnesium), kadar gula darah, fungsi hati (SGOT/SGPT), ureum,
kreatinin, dan albumin.
Dilakukan pada:
a) awal pengobatan untuk pemilihan OAE;
b) dua bulan setelah pemberian OAE untuk mendeteksi efek samping OAE;
c) rutin diulang setiap tahun sekali untuk memonitor efek samping OAE, atau bila timbul
gejala klinis akibat efek samping OAE Pemeriksaan kadar OAE dalam plasma
2) Dilakukan bila bangkitan belum terkontrol meskipun OAE sudah mencapai dosis terapi
maksimal atau untuk memonitor kepatuhan pasien.
d. Pemeriksaan penunjang lainnya dilakukan sesuai dengan indikasi misalnya:
1) pungsi lumbal
2) EKG

27
2.8 Terapi OAE Pada Epilepsi

Tujuan Terapi
Tujuan utama terapi epilepsi adalah mengupayakan pasien epilepsi dapat hidup senormal mungkin
dan tercapcinya kualitas hidup optimal. Harapannya adalah "bebas bangkitan, tanpa efek samping
OAE (ESO)

Prinsip Terapi Farmakologi


Tidak ada satupun OAE yang ideal untuk semua pasien. Prinsip umum terapi farmakologi dapat
dilihat pada Gambar 1

Gambar 2. Algoritme tata laksna epilepsi

28
Terapi OAE Pada Epilepsi Dewasa

Memulai Terapi OAE8

1. OAE diberikan bila:


a. diagnosis epilepsi sudah dipastikan
b pasien dan/atau keluarganya setuju dan sudah menerima penjelasan tentang tujuan
pengobatan, potensi efek samping terapi, interaksi obat, kepatuhan, teratogenisitas, dan
mengemudi.

2. Terapi OAE
a. Pada umumnya terapi OAE tidak diberikan pada bangkitan tanpa provokasi yang pertama.
b. Terapi direkomendasikan bila kemungkinan kekambuhan tinggi, yaitu:9 11
1) dijumpai fokus epilepsi yang jelas pada EEG (Level A);
2) pada pemeriksaan CT-scan atau MRI otak dijumpai lesi yang berkorelasi dengan
bangkitan; misalnya meningioma, neoplasma otak, AVM, abses otak, ensefalitis herpes
(Level B);
3) pada pemeriksaan neurologik dijumpai kelainan yang mengarah pada adanya kerusakan
otak;
4) terdapatnya riwayat epilepsi pada saudara sekandung (bukan orang tua);
5) riwayat bangkitan simtomatik;
6) terdapat sindrom epilepsi yang berisiko kekambu han tinggi seperti JME (Juvenie
Myoclonic Epilepsy);
7) riwayat trauma kepala terutama yang disertai penurunan kesadaran, stroke, infeksi SSP
(Level A); dan
8) bangkitan pertama berupa status epileptikus.

Cara Pemberian OAE8,12


1. Terapi dimulai dengan monoterapi sesuai dengan jenis bangkitan dan sindrom epilepsi dengan
mempertimbangkan biaya. Bemberian OAE dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan bertahap,

29
2. sampai dosis efektif tercapai atau timbul efek samping. Bila pada pemberian OAE pertama
timbul efek sampirg yang tidak dapat
3. ditoleransi, berikan OAE lini pertama yang lain.
4. Bila OAE pertama dapat ditoleransi tapi tidak efektif, pertimbangkan hal-hal berikut sebelum
mengganti OAE:
a. apakah diagnosis epilepsi sudah benar
b. apakah pasien patuh meminum OAE
c. apakah pemilihan OAE sudah sesuai dengan tipe bangkitan dan sindron;
d. apakah ada kondisi yang mendasari; dan
e. apakah ada penggunaan alkohol dan obat-cbatan yang lain.
Bila faktor tersebut sudah disingkirkan, naikkan dosis OAE pertama sampai yang bisa ditoleransi
pasien dosis maksimal
5. OAE pertaina diganti jika: OAE pertama tidak efektif walaupun sudah mencapai dosis
maksimal;
a. dan muncul efek samping atau alergi.
6. Cara penggantian dan penambahan OAE:
a. bila OAE kedua telah mencapai kadar terapi, maka OAE pertama diturunkan bertahap
(tapering off);
b. bila terjadi bangkitan saat penurunan OAE pertama, maka kedua OAE tetap diberikan
dengan dosis terakhir yang bisa mengont rol bangkitan;
c. penambahan OAE ketiga baru dilakukan bila terdapat respons dengan OAE kedua, tetapi
respons tetap sub optimal walaupun penggunaan kedua OAE pertama sudah maksimal; dan
d. kombinasi OAE harus memiliki mekanisme kerja yang berbeda.
7. Efek samping OAE perlu diperhatikan (Tabel 11), demikian pula halnya dengan profil
farmakologis tiap OAE (Tabel 12) dan interaksi farmakokinetik antar-OAE (Tabel 13). Risiko efek
samping OAE berkisar 7-13%, sebagian besar ringan dan reversibel.
8. Strategi untuk mencegah efek samping13
a. Pilih OAE yang paling ccok untuk karakteristik pasien.
b. Gunakan titrasi dengan dosis terkecil dan rumatan terkecil mengacu pada sindrom epilepsi

30
dan karakteristik pasien.

Pemeriksaan Kadar Obat Dalam Plasma


Pemeriksaankadar cbat dalam plasma dilakukan bila8
a. bangkitan tidak terkontrol dengan dosis efektif;
b. diduga ada perubahar farmakokinetik OAE (disebabkan oleh kehamilan, penvakit hati, penyakit
ginjal, gangguan absorbsi OAE);
c. diduga pasien tidak patuh pada pengobatan;
d bila dicurigai ada toksisitas obat, terutama pada pasien yang mendapat politerapi;
e. setelah penggantian dosis/regimen OAE; dan
f. untuk melihat interaksi antar OAE atau obat lain.

Jenis Obat Anti Epilepsi


Pemilihan OAE bersifat individual, berdasarkan atas jenis bangkitan, jenis drom epilepsi, efek
samping OAE yang mungkin terjadi, profil farmakologi dan interaksi antara OAE

Tabel 4. Pilihan OAE pada dewasa berdasarkan tipe bangkitan

31
Tabel 5. Dosis OAE untuk orang dewasa

32
Tabel 6. Dosis OAE untuk orang dewasa

33
Tabel 7. Efek samping OAE

34
Tabel 8. Efek samping OAE

35
Tabel 9. Efek samping OAE

36
Tabel 10. Efek samping OAE

Penghentian OAE
Pada dewasa, penghentian OAE secara bertahap dapat dipertimbangkan setelah 3-5 tahun
bebas bangkitan. OAE dapat dihentikan tanpa kekambuhan pada 60% pasien. Dalam hal
penghentian OAE maka ada dua hal penting yang perlu diperhatikan, yaitu syarat umum untuk
menghentikan OAE dan kemungkinan kambuhnya bangkitan setelah OAE dihentikan.8,22
Syarat umum untuk menghentikan pemberian OAE adalah sebagai berikut:
1. Setelah minimal 3 tahun bebas bangkitan dan gambaran EEG normal.

37
2. Penghentian OAE disetujui oleh pasien atau keluarganya.
3. Harus dilakukan secara bertahap, 25% dari dosis semula setiap bulan dalam jangka
waktu 3-6 bulan, dapat lebih lambat untuk pasien dengan politerapi dosis tinggi atau yang
mendapat barbiturat/benzodiazepine
4. Bila digunakan lebih dari 1 OAE, maka penghentian dimulai dari 1 OAE yang bukan
utama
Kekambuhan setelah penghentian OAE akan mening kat pada keadaaan sebagai berikut:
1. Usia tua
2. Epilepsi "simtomatik"
3. Gambaran EEG yang abnormal
4. Bangkitan yang sulit terkontrol dengan OAE
5 Jenis sindrom: epilepsi fokal kriptogeiik/simtomatik, epilepsi mioklonik pada anak, dan JME
6. Penggunaan lebih dari satu OAE
7. Gangguan belajar.
Bila bangkitan timbul kembali maka gunakan dosis efektif terakhir (sebelum pengurangan dosis
OAE), kernudian di evaluasi kembali.7,22

38
BAB IV

KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan

Epilepsi merupakan gangguan susunan saraf pusat (SSP) yang dicirikan oleh terjadinya
bangkitan (seizure, fit, attact, spell) yang bersifat spontan (unprovoked) dan berkala. Bangkitan
dapat diartikan sebagai modifikasi fungsi otak yang bersifat mendadak dan sepintas, yang berasal
dari sekolompok besar sel-sel otak, bersifat singkron dan berirama. Bangkitnya epilepsi terjadi
apabila proses eksitasi didalam otak lebih dominan dari pada proses inhibisi. Setiap orang punya
resiko satu di dalam 50 untuk mendapat epilepsi. Pengguna narkotik dan peminum
alkohol punya resiko lebih tinggi. Pengguna narkotik mungkin mendapat seizure pertama
karena menggunakan narkotik, tapi selanjutnya mungkin akan terus mendapat seizure
walaupun sudah lepas dari narkotik. Umumnya epilepsi mungkin disebabkan oleh kerusakan
otak dalam process kelahiran, luka kepala, strok, tumor otak, alkohol. Kadang epilepsi mungkin
juga karena genetik, tapi epilepsi bukan penyakit keturunan. Tapi penyebab pastinya tetap belum
diketahui

39
DAFTAR PUSTAKA

1. Fisher RS, Acevedo C, Arzimanoglou A, Bogacz A, Cross H, Elger CE, dkk. A practical
clinical defini- tion of epilepsy. Epilepsia. 2014;55(4):475-82
2. World Health Organization. Epilepsy: Fact sheet. WHO [serial online] 2016. [diunduh 11
Novenber 2016];2016:999. Tersedia dari: WHO Media Centre.
3. Kusumastuti K, Kustiowati E, Gunadharma S, Mi- rawati K, Octaviana F, Aulina S, dkk.
Character- istics of epilepsy at 5 main islands in Indonesia. Poster at 10th Asian &
Oceanian Epilepsy Con- gress; 2014 Agustus 24-27; Singapore: ILAE/IBE Congress:
Epilepsy Congress; 2014.
4. Octaviana F,Budikayanti A, Belfas Z, Ayuputri M. Characteristics of epilepsy patients in
outpatient clinic neurology departement Cipto Mangungkusu- mo Hospital Jakarta. Poster
at 10h Asian &Oceani- an Epilepsy Congress; 2014 Agustus 24-27; Singa- pore: ILAE/IBE
Congress: Epilepsy Congress; 2014.
5. Engelborghs S, D'Hooge R, De Deyn PP. Pathopysiolo- gy of epilepsy. Acta neurol belg.
2000;100 (4) :20 1-13.
6. Stafstrom CE. The pathophysiology of epileptic seizures: a primer for pediatricians. Pediatr
Rev 1998;19(10) :342-51.
7. Penderis J. Pathophysiology of epileptic seizure. In practice. 2014;36 (suppl 1):3-9.
8. Vezzani A. Epilepsy and inflammation in the brain: overview and pathophysiology.
Epilepsy curr. 2014;14(suppl 1):1-7.
9. Proposal for revised classification of epilepsies and epileptic syndromes. Commission on
classifi- cation and terminology of the international league against epilepsy. Epilepsia.
1989;30(4) :389-99.
10. Engel J. ILAE classification of epilepsy syn- dromes. Epilepsy Res. 2006;70(suppl):5-10.
11. Panayiotopoulos CP, penyunting. A clinical guide to epileptic syndromes and their
treatment. Lon- don: Springer Healthcare Ltd; 2010.

40
12. Heijbel J, Bloom S, Bergfors. Benign epilepsy of chil- dren with temporal EEG foci. A
study of incidence rate in ouptaient care. Epilpesia. 1975;16(5) :57-664.
13. MA CK, Chan KY. Benign childhood epilepsy with centrotemporal spikes: a study of 50
Chinese children. Brain Dev. 2003;25 (6):390-5.
14. Chanine LM, Mikati MA. Benign pediatric lo- calization-related epilepsies. Epileptic
Disord. 2006;8(4):243-58.
15. Gobbi G, Boni A, Filippini M. The spectrum of idiopatic Rolandic epilepsy syndromes and
idio- patic occipital epilepsies: from the benign to the diabling. Epilepsia. 2006;47 (suppl
2):62-6.
16. Bouma PA, Bovenkerk A, Westendrop RG, Brou- wer OF. The course of benign partial
epilepsy in childhood with centrotemporal spikes a meta- analysis. Neurology.
1997;48(2):430-7.
17. Wirrel EC. Benign epilepsy of childhood with cen- trotemporal spikes. Epilepsia.
1998;39:S32-41.
18. Loddenkemper T, Wyllie E, Hirsch E. Epileptic syndromes with focal sizures of childhood
and adolescence. Dalam: Stefan H, Theodore WH, edi- tor. Handbook of Clinical
Neurology.Edisi ke-3. 2012;107:195-208.
19. Panayiotopoulus CP, Michael M, Sanders S, Valeta T. Koutroumanidis M. Benign
childhood focal epilep- sies: assessment of established and newly recog- nized syndromes.
Brain. 2008:131 (Pt 9);2264-86.
20. Pardoe HR, Berg AT, Archer JS, Fulbright RK, Jack- son GD. A neurodevelop mental
basis for BECTS: evidence from structural MRI. Epilepsy Res. 2013;105(0):139-9.
21. Holmes GL. Rolandic epilepsy: clinical an electro- encephalographic features. Epilepsy
Res Suppl. 1992:6;29-43. 22. Sarkis RA, Loddenkemper T, Burgess RC. Child- hood
absence epilepsy in patients with benign focal epileptiform disharges. Pediatr Neurol.
2009:41(6);428-34.
22. Gkampeta A, Pavlou E. Emerging genetic influences in benign epilepsy with centro-
temporal spikes- BECTS.Epilepsy Res. 2012;101 (3): 197-201.

41

Anda mungkin juga menyukai