1
Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata Umum dan Perdata Khusus, Buku II, Edisi 2007, Mahkamah Agung RI, Jakarta,
2008, hlm. 419-422 ).
sebagai jaminan untuk pembayaran hutang menurut putusan Hakim itu dan Hakim Pengadilan
Negeri jika perlu memberi perintah untuk melanjutkan penyitaan atas sekian banyak barang
yang belum disita terlebih dahulu, sehingga akan dapat mencukupi untuk membayar jumlah
uang menurut putusanputusan itu dan biaya penyitaan lanjutan itu.
Dalam hal yang dimaksud dalam ayat-ayat (1) dan (2) 2, Hakim Pengadilan Negeri
menentukan cara pembagian hasil penjualan antara pelaksana dan orang yang berpiutang, sete-
lah mengadakan pemeriksaan atau melakukan panggilan selayaknya terhadap penanggung
hutang kepada Negara, pelaksana dan orang yang berpiutang.
Pelaksanaan dan orang yang berpiutang yang menghadap atas panggilan termaksud
dalam ayat (3), dapat minta banding pada Pengadilan Tinggi atas penentuan pembagian
tersebut.
Segera setelah putusan tentang pembagian tersebut mendapat kekuatan pasti, maka Hakim
Pengadilan Negeri mengirimkan suatu daftar pembagian kepada juru lelang atau orang yang
ditugaskan melakukan penjualan umum untuk dipergunakan sebagai dasar pembagian uang
penjualan.
Oleh karena pasal tersebut berhubungan dengan penyitaan yang dilakukan oleh PUPN,
maka jelaslah pula, bahwa sita tersebut adalah sita eksekusi dan bukan sita jaminan. Obyek yang
disita bisa barang bergerak dan bisa barang tidak bergerak.
Sita Terhadap Obyek Hak Tanggungan
Dalam Undang Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan diatur bahwa,
Penangungan beban agunan lebih dari satu tempat tidak dilarang. Hal ini diatur dalam Pasal 5
UU Nomor 4 Tahun 1996 yang berbunyi :
(1) Suatu obyek Hak Tanggungan dapat dibebani dengan lebih dari satu Hak Tanggungan
guna menjamin pelunasan lebih dari satu utang;
(2) Apabila suatu obyek Hak Tanggungan dibebani dengan lebih dari satu Hak Tanggungan,
peringkat masing-masing Hak Tanggungan ditentukan menurut tanggal pendaftarannya
pada Kantor Pertanahan;
(3) Peringkat Hak Tanggungan yang didaftar pada tanggal yang sama ditentukan menurut
tanggal pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan;
Ketentuan dalam Pasal 5 UU Hak Tanggungan tersebut sama dengan yang terdapat
dalam pasal 11 ayat (12) UU PUPN, Undang Undang Nomor 49 Tahun 1960, sebagai berikut:
“Atas barang yang terlebih dahulu disita untuk orang lain yang berpiutang tidak dapat
dilakukan penyitaan. Jika juru sita mendapatkan barang yang demikian, ia dapat
memberikan salinan putusan Surat Paksa sebelum tanggal penjualan tersebut kepada Hakim
Pengadilan Negeri, yang selanjutnya menentukan bahwa penyitaan yang dilakukan atas
barang itu akan juga dipergunakan sebagai jaminan untuk pembayaran hutang menurut
surat paksa”;
Berdasarkan ketentuan diatas, dapat disimpulkan bahwa terhadap barang yang padanya
telah diletakkan/dibebani Hak Tanggungan atau menjadi jaminan atas suatu hutang, maka
padanya dapat diletakkan sita, karena fungsi sita adalah sama dengan fungsi
penjaminan/pembebanan hak tanggungan, yaitu melindungi hak seseorang agar
terlindungi/terjaga. Hanya saja sita jaminan terhadap benda yang telah menjadi jaminan suatu
hutang kedudukannya dibawah Hak Tanggungan. Sita Jaminan atas obyek yang dibebani Hak
Tanggungan berkedudukan sebagai Sita Persamaan, dan Sita Persamaan tersebut akan efektif
sebagai sita yang berharga bila Hak Tanggngan telah selesai dan hutang telah lunas.
Dari pasal tersebut diatas bilamana pengadilan tetap melakukan pensitaan maka sudah
jelas keliru dan melanggar asas pensitaan, tindakan yang dibenarkan hukum hanya tindakan
sita penyesuaian atau vergelijkende beslag, artinya adalah permohonan sita jaminan
menyesuaikan atau disejajarkan dengan pengagunan yang sedang ada sebagaimana diatur
dalam 463 RV. Dengan kata lain bahwa obyek sengketa yang sedang menjadi jaminan hutang
pada Lembaga Keuangan atau lainnya, maka sita jaminan yang dimohonkan kepada pengadilan
dapat dilakukan, hanya saja kemudian sita tersebut harus dinyatakan sah dan berharga sebagai
Sita Persamaan. Sehingga, jika tidak terjadi pelelangan oleh Penerima Hak Tanggungan (Bank)
sebagai pemilik hak previleg untuk pemenuhan hutang karena tidak adanya wanprestasi, maka
sita yang semula dimohonkan sebagai sita jaminan yang dinyatakan sebagai Sita Persamaan
tersebut adalah berlaku penuh. Dengan demikian, pihak yang tidak menguasai barang, lebih
terjamin haknya.
Prosedur Dan Tata Cara Melaksanakan Sita Persamaan
Mengenai bagaimana prosedur dan tatacara serta petunjuk teknis melaksanakan sita
persamaan nampaknya peraturan itu sendiri sangat minim dan bahkan tidak menentukan secara
detail. Biasanya, kalau undang-undang atau peraturan tidak menentukan, berarti memberi
kebebasan bagi majelis hakim untuk mengatur sendiri sesuai dengan yang dikehendakinya demi
tegak dan tertibnya proses peradilan.
Bila kita cermati ketenuan Pasal 463 RV maupun dalam dalam Pasal 11 ayat (12)
Undang-undang PUPN, Undang-undang No. 49 Tahun 1960, maka prosedur sederhana
penyitaan dapat dilakukan sebagai berikut:
- Atas permohonan Sita Jaminan dari salah satu pihak (suami/istri), Ketua/Majelis menetapkan
perintah sita jaminan menurut prosedur dan tata cara penyitaan;
- Berita acara sita jaminan dalam berkas perkara, setelah benar-benar terbukti bahwa obyek
sengketa dalam stautus diletakkan hak tanggungan atau telah terdapat sita, maka Majelis
dalam putusan akhir cukup menyatakan bahwa obyek yang disita jaminan dalam Berita
Acara Nomo….., tanggal …. … adalah sah dan berharga sebagai Sita Persamaan.
Ketentuan lain, sita persamaan barang tidak bergerak harus dilaporkan kepada Badan
Pertanahan Nasional atau Kelurahan setempat.
- Apabila sita jaminan (sita jaminan utama) telah menjadi sita eksekutorial dilelang atau
sudah dieksekusi riil, maka sita persamaan dengan sendirinya menjadi hapus demi
hukum.
- Apabila sita jaminan (sita jaminan utama) dicabut atau dinyatakan tidak berkuatan
hukum, maka sita persamaan sesuai dengan urutannya menjadi sita jaminan (sita jaminan
utama).
Buku rujukan:
1.Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23)
2.Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek Van Koophandel Voor Indonesie,
Staatsblad tahun 1847 No. 43)
3.Rv (Reglement Op De Rechtsvordering, Staatsblad Tahun 1847 No. 52 jo. Staatsblad Tahun
1849 No. 63)
5.Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-
benda yang Berkaitan dengan Tanah
6.Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia