Anda di halaman 1dari 9

SITA PERSAMAAN DALAM PRAKTEK PERADILAN

Oleh: Drs. H. Abd. Salam, S.H. M.H.


Wakil Ketua Pengadilan Agama Mataram
Pendahuluan
Berdasarkan pengamatan penulis, Sita Persamaan atau Sita Bandingan (Vergelijkende
Beslag) jarang dilakukan dalam praktek peradilan. Hal ini bukan berarti tidak ada kasus yang
perlu diterapkannya Sita Persamaan, tetapi nampaknya karena hakim sering menganggap bahwa
terhadap benda yang telah diletakkan sita atau menjadi jaminan kredit atau sedang diletakkan
Pembebanan Hak Tanggungan tidak boleh diletakkan disita. Sehingga ketika dalam sengketa
terdapat permohonan penyitaan atas barang-barang sebagai tersebut diatas bisanya ditolak oleh
hakim. Persepsi yang demikian menurut hemat penulis tidaklah tepat dan kita perlu mencermati
kembali ketentuan yang mengatur Sita Persamaan.
Seiring dengan pesatnya laju pemberian Kredit Perumahan Rakyat (KPR) maupun
pemberian kredit produktif dan pembiayaan yang pelunasannya membutuhkan waktu yang cukup
lama, Lembaga perbankan maupun non Bank selaku kreditur biasanya mempersyaratkan adanya
barang jaminan yang diikat dengan Pembebanan Hak Tanggungan. Akibatnya peristiwa
penjualan lelang hampir tak dapat dipisahkan dari kesibukan pelayanan peradilan, sesuai dengan
semakin berkembangnya pertumbuhan lalu lintas kegiatan perekonomian. Kehidupan masyarakat
sudah dimasuki semangat kegairahan berusaha, sehingga lembaga perjanjian hutang-piutang dan
perkreditan sudah lumrah terjadi. Bentuk-bentuk perjanjian groses akta hipotik maupun
pernyataan hutang semakin luas. Semua ini merupakan faktor penyebab semakin seringnya
terjadi adanya permohonan penyitaan dalam sengketa di depan pengadilan.
Permasalahan
Ketika terjadi masalah antara kreditur (Bank) dan debitur (nasabah) yang harus
diselesaikan di Pengadilan, obyek (KPR) yang menjadi jaminan/diletakkan pembebanan Hak
Tanggungan. Terhadap permohonan tersebut hakim akan menolak permohoan sita, dengan
alasan bahwa obyek sengketa (KPR) masih menjadi jaminan Bank, karena obyek yang menjadi
jaminan suatu hutang atau diletakkan Hak Tanggungan tidak boleh disita.
Dalam kasus tertentu, pendapat yang demikian sangat berpotensi merugikan salah satu
pihak yang tidak menguasai obyek dan akan dirasakan tidak ada keadilan. Contoh kasus adalah
sebagai berikut;
- Seorang istri yang telah bercerai dengan suaminya menggugat harta bersama dan mohon
penyitaan atas obyek rumah KPR yang jatuh tempo (lunas) masih 2 tahun, sementara
angsuran sudah berjalan 18 tahun;
- Dalam pemeriksaan persidangan terbukti (diakui) suami bahwa KPR tersebut sebagai
harta bersama, hanya saja dinyatakan bahwa obyek sengketa (KPR) masih dalam jaminan
di Bank. Dalam putusan Majelis, menyatakan antara lain:
1. Rumah (KPR) adalah harta bersama P dan T (karena dibeli dalam masa perkawinan);
2. Sisa angsuran adalah hutang bersama P dan T yang harus ditanggung dari harta
bersama penggugat dan tergugat;
3. Menghukum tergugat untuk membagi dan menyerahkan separuh dari harga KPR
setelah dikurangi dengan hutang kredit kepada penggugat;
4. Menolak permohonan sita, dengan alasan obyek sengketa masih dalam
anggunan/jaminan dan/atau diletakkan Hak Tanggungan:
Alasan materiil yang sering dijadikan dasar pertimbangan pokoknya adalah bahwa harta
yang diperoleh secara kredit dikategorikan sebagai milik ghairu tam atau milk naqisha yang
tidak bisa/tidak boleh dibagi oleh suami-istri yang telah bercerai, karena belum menjadi milik
tam. Karena belum menjadi milik mutlak bagi penggugat dan tergugat, maka belum bisa dibagi
kepada mereka dan tidak dapat diletakkan sita.
Penolakan permohonan sita jaminan atas kasus sebagai tersebut diatas, mengesankan
penyelesaian perkara menjadi tidak sederhana sebagaimana diatur oleh hukum acara, karena
dengan menolak permohonan sita tersebut, putusan pengadilan akan menjadi mandul ketika
pihak-pihak (tergugat) tidak menjalankan putusan dengan suka rela. Disatu sisi Pengadilan telah
mengakui bahwa obyek rumah (KPR) dan sisa hutang/angsuran adalah harta bersama P dan T.
Dalam kasus penolakan sita atas obyek yang telah menjadi jaminan hutang sebagai
tersebut diatas sangat sering terjadi, karenanya perlu diwacanakan untuk menghimpun berbagai
pendapat yang tepat dan pemeriksaan pengadilan dapatkan berjalan sederhana dan menutup hal-
hal yang berpotensi merugikan salah satu pihak. Karena dalam hukum acara sendiri sebenarnya
telah mengatur adanya lembaga Sita Persamaan.
Sifat dan Tujuan Penyitaan
Sita dan penyitaan sebagai tindakan hukum yang dilakukan oleh pengadilan yang yang
diatur oleh hukum acara sebagai kelengkapan dan kesempurnaan proses jalannya pemeriksaan
perkara. Oleh karena itu sita dan penyitaan tiada lain daripada tindakan yang berkesinambungan
dari keseluruhan proses hukum acara perdata. Dengan kata lain penyitaan merupakan suatu
sarana untuk menunjang pelaksanaan tata tertib beracara yang terkandung dalam beracara
dimuka pengadilan.
Dalam perspektif hukum acara, sita merupakan tindakan eksepsional (pengecualian) dari
asas umum hukum, dalam arti tindakan penyitaan dalam proses hukum seakan-akan sesuatu
yang distimewakan. Karena memang demikianlah halnya, HIR sendiri menempatkan pasal-pasal
berkaitan dengan sita (Pasal 226-227) pada Bagian Keenam yang diberi judul “Tentang
Beberapa Hal Mengadili perkara yang istimewa”. Dimanakah letak keistimewaan lembaga sita ?
Karena dengan tindakan penyitaan seakan-akan Hakim telah menganggap bahwa gugatan yang
belum dijatuhkan oleh hakim itu benar adanya.
Dalam Pasal 227 HIR maupun Pasal 720 RV, menentukan bilamana dalam suatu
sengketa terdapat permohonan (penggugat) agar diletakkan sita terhadap harta kekayaan
tergugat. Maka atas adanya permohonan itu, pada tahap awal oleh undang undang hakim (Ketua
Majelis) diberi wewenang mengabulkan sebelum dimulai proses permeriksaan pokok perkara.
Pada hal hakim (Ketua Majelis) belum mengetahui secara jelas dan komplit dasar-dasar alasan
gugatan, Tetapi Ketua Majelis telah diberikan kewenangan oleh undang undang untuk
melaksanakan sita yang dikenal dengan Sita Jaminan (conservatoir beslag).
Disini seolah-olah hakim telah bertindak gegabah dan memaksakan kepada tergugat
dijatuhi hukuman berupa penyitaan atas harta bendanya dan menganggap akan kebenaran dalil-
dalil penggugat sebelum kebenarannya diuji dimuka peradilan, bahkan mungkin oleh pihak
tersita dianggap sebagai tindakan perampasan hak yang bertentangan dengan Pasal 36 ayat (2) U
U Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM yang menegaskan pada pokoknya seseorang tidak boleh
dirampas hak miliknya dengan sewenang-wenang dan secara melawan hukum. Namun demikian
tindakan hakim yang demikian dijustifikasi oleh hukum acara sehingga tindakan itu sah menurut
hukum.
Dalam peradilan modern, system yang demikian memang dianggap kurang layak
(unappropriate) atau unfair. Meskipun demikian, undang undang tetap memberi kewenangan
sebagai tindakan eksepsional.
Macam-macam Sita Dilihat Dari Tujuannya
Sita dan penyitaan sebenarnya telah dibahas tuntas oleh Bapak Yahya Harahab, S.H.
dalam beberapa buku dan tulisannya yang tidak asing bagi kalangan hakim, praktisi hokum dan
mahasiswa hukum. Namun terdapat beberapa sita yang sering dijalankan dalam praktek
peradilan dan setiap sita tersebut mempunyai tujuan tertentu yang berbeda satu dengan lainnya;
- Sita Revindikasi (Revindicatoir Beslag), dimaksudkan untuk menuntut pengembalian
barang (bergerak) yang ada pada yang bersangkutan kepada Penggugat sebagai pemilik;
- Sita Jaminan (Conservatoir Beslag), bertujuan menjadikan barang yang disita sebagai
pemenuhan pembayaran utang tergugat atau kewajiban lainnya;
- Sita Harta Bersama dalam Burgerlijke Wet Book (BW) pada praktek peradilan umum
disebut dengan istilah “Sita Marital” berasal dari Maritaal Beslag, yang dalam
perkembangan terakhir populer dengan sebutan Matrimonial Beslag, karena istilah yang
terakhir ini mengandung makna kesetaraan antara suami-istri dalam perkawinan, sedangkan
dalam KUH Perdata (BW) sebagaimana diatur dalam pasal 105 dan pasal 106 mengandung
konotasi menempatkan istri dibawah (inferior) kekuasaan suami (superior);
Bahwa tujuan “Sita Harta Bersama” bukan untuk menjamin tagihan pembayaran kepada
Penggugat, juga bukan untuk penyerahan hak milik (revindikasi) atas benda bergerak yang
berada/dikuasai Tergugat, tetapi tujuan utamanya adalah membekukan harta bersama suami-
istri melalui penyitaan, agar tidak berpindah kepada pihak ketiga selama proses pembagian
harta bersama berlangsung dalam bentuk transaksi apapun, baik disewakan, dihibahkan
apalagi dijual, oleh karena itu menjalankan sita jaminan atas harta-bersama dengan
mendasarkan ketentuan-ketentuan dalam HIR adalah tidak relevan lagi sebagai landasan
yuridis, sebab sita jaminan yang diatur dalam HIR hanya untuk memenuhi executorial
verkop, yaitu eksekusi penjualan lelang sebagai akibat putusan pembayaran sejumlah uang
akibat hutang-piutang maupun pemasangan hipotik, credit verband, vidusia maupun Hak
Tanggungan, yang lahir dari perikatan yang bersifat pribadi, sedangkan harta bersama
(famili-vermogen) adalah merupakan harta kolektif lazim disebut sebagai pemilikan
bersama-sama (boedel-gemeenschap/gebonden mede-eigendom) yang memiliki
karakteristik berbeda dengan hak kebendaan pribadi, sehingga bentuk eksekusi
pembagiannya adalah eksekusi riil; Walaupun demikian tujuan Marital Beslag dalam KUH
Perdata (BW), adalah sejalan dengan maksud yang terkandung dalam pasal 78 huruf (c)
Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang diubah dengan Undang Undang Nomor 3 Tahun
2006 dan dengan Undang Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama; Maksud
yang sama diatur dalam Pasal 24 ayat (2) Peraturan Pemerntah Nomor 9 Tahun 1975, sebagai
aturan khusus (lex spesialis) yang mengatur tentang penyitaan atas harta bersama dalam
hukum keluarga di Indonersia;
Pengertian Sita Persamaan
Istilah sita persamaan dalam bahasa Belanda disebut Vergelijkend beslag. Dari kata itu
ada yang memaknai sita perbandingan, ada pula yang menerjemahkan dalam sita persamaan.
Mahkamah Agung memakai istilah sita persamaan.
Sita persamaan tidak diatur dalam HIR maupun R.Bg, tetapi diatur dalam Pasal 463 RV
yang karena untuk kebutuhan praktek (process doelmatigheid) ketentuan dalam Pasal 463 RV
tersebut diakomodir dalam praktek peradilan. Pasal 463 RV tersebut perlu dijadikan prinsip agar
tidak terjadi penyitaan yang tumpang tindih, disisi lain demi terciptanya kepastian perlindungan
kepada penggugat yang mengajukan sita.
Satu satunya aturan yang dapat dirujuk sebagai dasar melaksanakan sita persamaan atau
sita perbandingan adalah Pasal 463 Rv yang berbunyi: "Apabila juru sita akan melakukan
penyitaan dan menemukan barang-barang yang akan disita sebelumnya telah disita, maka juru
sita tidak dapat melakukan penyitaan lagi. Namun juru sita mempunyai wewenangan untuk
mempersamakan barang-barang yang disita dengan Berita Acara Penyitaan yang harus
diperlihatkan oleh tersita kepadanya. Juru sita kemudian dapat menyita barang-barang yang
tidak disebut dalam Berita Acara itu dan segera kepada penyita pertama untuk menjual barang-
barang tersebut secara bersamaan dalam waktu sebagaimana ditentukan dalam Pasal 466 Rv.
Atas dasar Pasal tersebut untuk perkara perdata, atas satu objek yang sama dapat
dijatuhkan “sita” lebih dari satu kali, dengan istilah yang dikenal dalam hukum acara perdata
sebagai “Sita Persamaan”, semisal sita jaminan atas agunan kredit.
Mengapa demikian, karena prinsip hukum jaminan bahwa hak preferen dari Kreditor
pemegangnya (Kreditor Preferen) terhadap harta kekayaan yang telah sah diikat oleh suatu hak
jaminan kebendaan adalah diutamakan (droit de preference), prinsip hukum jaminan mana antara
lain ditegaskan dalam Pasal 6 UU Hak Tanggungan. Konsekuensi dari berlakunya prinsip
hukum ini adalah jika dilakukan eksekusi penjualan atau eksekusi lelang atas harta kekayaan
tersebut, maka Kreditor Preferen lah yang berhak untuk pertama kali mengambil uang hasil
eksekusinya hingga terlunasinya tagihan piutangnya, dan jika masih terdapat sisanya, maka baru
lah itu menjadi bagiannya pihak (pihak-pihak) yang berhak berdasarkan Sita Persamaan [yang
dalam pelaksanaan eksekusi menjadi berstatus Sita Eksekusi (Executoriaal Beslag)].
Hanya saja terdapat ketentuan khusus dalam perkara pidana terhadap perkara perdata,
yaitu bahwa barang-barang yang telah disita dalam perkara pidana, tidak dapat disita untuk
perkara perdata. Namun, atas objek barang dalam perkara perdata yang telah dibebankan
penyitaan diatasnya dapat disita dalam perkara pidana, sehingga terdapat dua buah sita di
atasnya, meski sita pidana didahulukan pemenuhannya dari sita perdata yang sekalipun sita
pidana dijatuhukan kemudian.
Pada awalnya pasal 463 RV tersebut hanya mengatur tentang eksekusi barang bergerak.
namun demikina telah berkembang dalam praktek bahwa sita persamaan itu dapat saja dilakukan
terhadap barang tidak bergerak.
Kedudukan Sita Persamaan
Mencermati ketentuan dalam Pasal 463 RV tersebut, berarti terdapat klasifikasi antara
sita Jaminan yang sebelumnya telah diletakkan atas sesuatu obyek dengan sita persamaan; yaitu
apabila sita jaminan (sita jaminan utama) telah menjadi sita eksekutorial dilelang atau sudah
dieksekusi riil, maka sita persamaan dengan sendirinya menjadi hapus demi hukum. Namun
apabila sita jaminan (sita jaminan utama) dicabut atau dinyatakan tidak berkuatan hokum atau
tidak jadi dilaksanakan ekserkusi, maka sita persamaan sesuai dengan urutannya menjadi sita
jaminan (sita jaminan utama) dan menjadi sah dan berharga sebagaimana eksistensi sita.1
Ketentuan yang hampir serupa terdapat dalam pasal 11 (12) Undang-undang PUPN,
Undang-undang No. 49 tahun 1960, yang berbunyi sebagai berikut: “Atas barang yang terlebih
dahulu disita untuk orang lain yang berpiutang tidak dapat dilakukan penyitaan. Jika jurusita
mendapatkan barang yang demikian, ia dapat rnemberikan salinan putusan Surat paksa sebelum
tanggal penjualan tersebut kepada Hakim Pengadilan Negeri, yang selanjutnya menentukan,
bahwa penyitaan yang dilakukan atas barang itu akan juga dipergunakan sebagai jaminan untuk
pembayaran hutang menurut Surat Paksa”.
“Apabila setelah dilakukan penyitaan, tetapi sebelum dilakukan penjualan barang yang disita
diajukan permintaan untuk melaksanakan suatu putusan Hakim yang diajukan terhadap
penanggung hutang kepada Negara, maka penyitaan yang telah dilakukan itu dipergunakan juga

1
Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata Umum dan Perdata Khusus, Buku II, Edisi 2007, Mahkamah Agung RI, Jakarta,
2008, hlm. 419-422 ).
sebagai jaminan untuk pembayaran hutang menurut putusan Hakim itu dan Hakim Pengadilan
Negeri jika perlu memberi perintah untuk melanjutkan penyitaan atas sekian banyak barang
yang belum disita terlebih dahulu, sehingga akan dapat mencukupi untuk membayar jumlah
uang menurut putusanputusan itu dan biaya penyitaan lanjutan itu.
Dalam hal yang dimaksud dalam ayat-ayat (1) dan (2) 2, Hakim Pengadilan Negeri
menentukan cara pembagian hasil penjualan antara pelaksana dan orang yang berpiutang, sete-
lah mengadakan pemeriksaan atau melakukan panggilan selayaknya terhadap penanggung
hutang kepada Negara, pelaksana dan orang yang berpiutang.
Pelaksanaan dan orang yang berpiutang yang menghadap atas panggilan termaksud
dalam ayat (3), dapat minta banding pada Pengadilan Tinggi atas penentuan pembagian
tersebut.
Segera setelah putusan tentang pembagian tersebut mendapat kekuatan pasti, maka Hakim
Pengadilan Negeri mengirimkan suatu daftar pembagian kepada juru lelang atau orang yang
ditugaskan melakukan penjualan umum untuk dipergunakan sebagai dasar pembagian uang
penjualan.
Oleh karena pasal tersebut berhubungan dengan penyitaan yang dilakukan oleh PUPN,
maka jelaslah pula, bahwa sita tersebut adalah sita eksekusi dan bukan sita jaminan. Obyek yang
disita bisa barang bergerak dan bisa barang tidak bergerak.
Sita Terhadap Obyek Hak Tanggungan
Dalam Undang Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan diatur bahwa,
Penangungan beban agunan lebih dari satu tempat tidak dilarang. Hal ini diatur dalam Pasal 5
UU Nomor 4 Tahun 1996 yang berbunyi :
(1) Suatu obyek Hak Tanggungan dapat dibebani dengan lebih dari satu Hak Tanggungan
guna menjamin pelunasan lebih dari satu utang;
(2) Apabila suatu obyek Hak Tanggungan dibebani dengan lebih dari satu Hak Tanggungan,
peringkat masing-masing Hak Tanggungan ditentukan menurut tanggal pendaftarannya
pada Kantor Pertanahan;
(3) Peringkat Hak Tanggungan yang didaftar pada tanggal yang sama ditentukan menurut
tanggal pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan;
Ketentuan dalam Pasal 5 UU Hak Tanggungan tersebut sama dengan yang terdapat
dalam pasal 11 ayat (12) UU PUPN, Undang Undang Nomor 49 Tahun 1960, sebagai berikut:
“Atas barang yang terlebih dahulu disita untuk orang lain yang berpiutang tidak dapat
dilakukan penyitaan. Jika juru sita mendapatkan barang yang demikian, ia dapat
memberikan salinan putusan Surat Paksa sebelum tanggal penjualan tersebut kepada Hakim
Pengadilan Negeri, yang selanjutnya menentukan bahwa penyitaan yang dilakukan atas
barang itu akan juga dipergunakan sebagai jaminan untuk pembayaran hutang menurut
surat paksa”;
Berdasarkan ketentuan diatas, dapat disimpulkan bahwa terhadap barang yang padanya
telah diletakkan/dibebani Hak Tanggungan atau menjadi jaminan atas suatu hutang, maka
padanya dapat diletakkan sita, karena fungsi sita adalah sama dengan fungsi
penjaminan/pembebanan hak tanggungan, yaitu melindungi hak seseorang agar
terlindungi/terjaga. Hanya saja sita jaminan terhadap benda yang telah menjadi jaminan suatu
hutang kedudukannya dibawah Hak Tanggungan. Sita Jaminan atas obyek yang dibebani Hak
Tanggungan berkedudukan sebagai Sita Persamaan, dan Sita Persamaan tersebut akan efektif
sebagai sita yang berharga bila Hak Tanggngan telah selesai dan hutang telah lunas.
Dari pasal tersebut diatas bilamana pengadilan tetap melakukan pensitaan maka sudah
jelas keliru dan melanggar asas pensitaan, tindakan yang dibenarkan hukum hanya tindakan
sita penyesuaian atau vergelijkende beslag, artinya adalah permohonan sita jaminan
menyesuaikan atau disejajarkan dengan pengagunan yang sedang ada sebagaimana diatur
dalam 463 RV. Dengan kata lain bahwa obyek sengketa yang sedang menjadi jaminan hutang
pada Lembaga Keuangan atau lainnya, maka sita jaminan yang dimohonkan kepada pengadilan
dapat dilakukan, hanya saja kemudian sita tersebut harus dinyatakan sah dan berharga sebagai
Sita Persamaan. Sehingga, jika tidak terjadi pelelangan oleh Penerima Hak Tanggungan (Bank)
sebagai pemilik hak previleg untuk pemenuhan hutang karena tidak adanya wanprestasi, maka
sita yang semula dimohonkan sebagai sita jaminan yang dinyatakan sebagai Sita Persamaan
tersebut adalah berlaku penuh. Dengan demikian, pihak yang tidak menguasai barang, lebih
terjamin haknya.
Prosedur Dan Tata Cara Melaksanakan Sita Persamaan
Mengenai bagaimana prosedur dan tatacara serta petunjuk teknis melaksanakan sita
persamaan nampaknya peraturan itu sendiri sangat minim dan bahkan tidak menentukan secara
detail. Biasanya, kalau undang-undang atau peraturan tidak menentukan, berarti memberi
kebebasan bagi majelis hakim untuk mengatur sendiri sesuai dengan yang dikehendakinya demi
tegak dan tertibnya proses peradilan.
Bila kita cermati ketenuan Pasal 463 RV maupun dalam dalam Pasal 11 ayat (12)
Undang-undang PUPN, Undang-undang No. 49 Tahun 1960, maka prosedur sederhana
penyitaan dapat dilakukan sebagai berikut:
- Atas permohonan Sita Jaminan dari salah satu pihak (suami/istri), Ketua/Majelis menetapkan
perintah sita jaminan menurut prosedur dan tata cara penyitaan;
- Berita acara sita jaminan dalam berkas perkara, setelah benar-benar terbukti bahwa obyek
sengketa dalam stautus diletakkan hak tanggungan atau telah terdapat sita, maka Majelis
dalam putusan akhir cukup menyatakan bahwa obyek yang disita jaminan dalam Berita
Acara Nomo….., tanggal …. … adalah sah dan berharga sebagai Sita Persamaan.
Ketentuan lain, sita persamaan barang tidak bergerak harus dilaporkan kepada Badan
Pertanahan Nasional atau Kelurahan setempat.
- Apabila sita jaminan (sita jaminan utama) telah menjadi sita eksekutorial dilelang atau
sudah dieksekusi riil, maka sita persamaan dengan sendirinya menjadi hapus demi
hukum.
- Apabila sita jaminan (sita jaminan utama) dicabut atau dinyatakan tidak berkuatan
hukum, maka sita persamaan sesuai dengan urutannya menjadi sita jaminan (sita jaminan
utama).
Buku rujukan:
1.Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23)
2.Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek Van Koophandel Voor Indonesie,
Staatsblad tahun 1847 No. 43)
3.Rv (Reglement Op De Rechtsvordering, Staatsblad Tahun 1847 No. 52 jo. Staatsblad Tahun
1849 No. 63)
5.Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-
benda yang Berkaitan dengan Tanah
6.Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia

Anda mungkin juga menyukai