NEGERI
Oleh
A. Pendahuluan..
Bekerja merupakan hak asasi manusia yang wajib dijunjung tinggi, dihormati,
dijamin penegakannya dan pemenuhannya oleh Negara. Oleh karena itu setiap orang
tanpa diskriminasi mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memperoleh
pekerjaan dan penghidupan yang layak demi kesejahteraan hidupnya sebagai tujuan
utama terbentuknya Negara. Hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan terjamin secara konstitusional dalam ketentuan Pasal 27 ayat (2) UUD
Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi “ Tiap-tiap waraga
negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.
Salah satu negara tujuan penempatan tenaga kerja yang paling banyak merekrut
pembantu rumah tangga dan sektor kerja lainnnya bagi perempuan adalah Malayasia.
Berdasarkan data Penempatan Tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri Periode sampai
Tahun 2009 Sekretariat Utama Pusat Penelitian Pengembangan dan Sistem informasi
BNP2TKI Tahun 2010 berdasarkan data yang dari Kementrian Ketenagakerjaan dan
Transmigrasi RI, terjadi lonjakan secara tajam pengiriman tenaga kerja Indonesia ke
Malayasia berjumlah 1.2002.955.
1
Hadhi Subhan, Revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan, Kompas, Rabu 4 Maret 2015.
2
Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BPN2TKI).
Survei Tenaga Kerja (SAKERNAS ) mendefinisikan penagguran terbuka sebagai orang yang sedang
mencari pekerjaan atau yang sedang mempersiapakan usaha atau juga yang tidak mencari pekerjaan,
karena mersa tidak mungkin lagi mendapatkan pekerjaan tetapi belum mulai bekerja. Pengangguran
terbuka tidak termasuk orang yang masih sekolah atau mengurus rumah tangga, sehingga hanya orang
yang termasuk angkatan kerja saja yang yang merupakan pengangguran terbuka. Disadur oleh Sabhana
Azmy dari www.sakernas.blogspot.com pada tanggal 20 Juni 2011, pukul03.30 WIB.
dengan tersedianya lapangan pekerjaan yang luas. Kondisi ini menyebabkan minat
sebagian besar warga untuk mencari lapangan pekerjaan ke daerah lain termasuk ke luar
negeri.
Walaupun buruh migrasi yang berasal dari Kabupaten Timor Tengah Selatan
(TTS) yang berada di beberapa negara penempatan dalam perhitungan prosentase sangat
kecil,bukan berarti bahwa pekerja migran yang berasal dari Kabupaten TTS tidak
memberikan kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi lokal.Data tersebut menggambarkan
bahwa pekerja migran Indonesia terutama perempuan berkontribusi besar terhadap
lajunya perekonomian negara. Akan tetapi, besaran pengiriman tenaga kerja ke beberapa
negara pemasok tidak diimbangi dengan perlindungan hukum yang memadai. Pekerja
masih tetap dipandang sebagai obyek yang terus dieksploitasi demi kepentingan profit
atau sebagai komoditi untuk memenuhi permintaan pasar dan bukannya sebagai subyek
yakni pekerja memiliki hak-hak yang wajib dilindungi. Buruh merasakan hanya sebagai
bagian kecil dari mekanisme sistem produksi yang kapan saja dapat dengan mudah
digantikan jika diangap tidak produktif lagi4.
Walaupun kebutuhan akan sektor pekerja domestik telah dipenuhi oleh tenaga
kerja perempuan dan memberikan kontribusi yang besar bagi pendapatan negara, tetapi
pemerintah justru mengabaikan kebutuhan kebijakan perlindungan pekerja yang
berkualitas. Mengacu pada kondisi dan problem pekerja migran tersebut, dibutuhkan
intervensi Pemerintah untuk melindungi kepentingan sosial pekerja/buruh migran. Salah
satu bentuk intervensi negara yakni fungsi negara sebagai regulator (The State function as
Regulator)5 melalui peraturan perundang-undangan untuk melindungi buruh migran yang
secara sosial ekonomi lemah dibandingkan dengan pemberi kerja kerja, terutama dari
kesewenang-wenangan pemberi kerja yang dapat terjadi dalam hubungan kerja.6
Intervensi negara diperlukan bertujuan menjamin agar kesamaan hak bagi setiap individu
tetap terjaga dan menghindari penindasan, serta menjaga agar perekonomian tetap
tumbuh dan berkembang secara teratur.
4
Hyronimus Buyanaya, Nilai Keadilan Dalam Norma Pemogokan Buruh, Makalah, Program
Doktor Universitas Airlangga, Surabaya, 2013, hlm.6.
5
W. Friedmann, The State and The Rule of Law in a Mixed Economy, Steven & Sons London, 1971,
p.3.
6
Hikmahanto Juwana, Politik Hukum Undang-Undang Bidang Ekonomi di Indonesia, Jurnal Hukum,
Vol. No. 1 Tahun 2005, Program Magister Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, hlm. 29.
Beberapa Kebijakan Pemerintah Indonesia terutama dalam masa
kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkait perindungan hukum bagi
tenaga kerja migran. Kebijakan dimaksud, yakni :Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004
Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja ke Luar Negeri, Instruksi Presiden
Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Kebijakan Reformasi Sistem Penempatan dan
Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri dan Peraturan Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Nomor 18 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Penempatan dan
Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.Akan tetapi, kebijakan tersebut,
jusrtu tidak menolong pekerja migran keluar dari masalah kekerasan yang masih sering
terjadi. Perlindungan yang tidak berkualitas bagi pekerja migran Indonesia tampak dalam
kasus-kasus kekerasan terhadap pekerja perempuan pekerja sektor informal, antara lain
:penganiayaan terhadap Nirmala Bonat, Sitti Hafdjar , Ceriaty, dan Winfaidah.
Konteks ini Pembentukan hukum ketenagakerjaan yang bijak, netral dan adil
diperlukan karena pemerintah begitu kuat dan dominan dalam pembentukan perundang-
undangan sehingga dapat memfasilitasi dua kepentingan yang berbeda, sehingga
anggapan umum bahwa perundang-undangan bidang ketenagakerjaan merupakan sarana
politik pemerintah melegitimasi tindakan pemerintah membatasi ruang kebebasan
pekerja/buruh dan mengutamakan kepentingan pengusaha dihilangkan.
7
Data Ketenagakerjaan KBRI Kualalumpur, Malayasia, 20 Mei 2011.
Tidak dapat dinafikan bahwa karakterisitik buruh migran yang demikian, turut
serta membuat buruh migran terutama perempuan Kabupaten TTS khususnya yang
bekerja di sektor informal mengalami tindakan kekerasan dari tahap pra penempatan,
penempatan hingga purna penempatan. Mengantisipasi, mencegah dan menyelesaikan
permasalahan kekerasan tersebut, dibutuhkan intervensi hukum berbentuk Peraturan
Daerah yang berkualitas, yang memihak, yang bijak, adil sebagai bentuk keberpihakan
Pemerintah Daerah atas perlindungan buruh migran. Perlindungan hukum yang memadai
dan berkualitas, menjamin buruh migran dapat bekerja dengan layak dalam kondisi kerja
yang layak, mendapatkan upah yang layak, sehingga dapat hidup layak sebagai manusia.
Mengacu pada realitas masalah sosial dan kewenangan yang tergambar pada latar
belakang pemikiran tersebut, menjadi alasan kuat bagi Pemerintah Daerah dalam hal ini
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten TTS melakukan inisiasi
pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten TTS tentang Perlindungan Tenaga Kerja
Indonesia Kabupaten TTS.
B.Rumusan masalah.
C.Analaisis
8
Pasal 18 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tentang Pembagia Wilayah Negara
Republik Indonesia
Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) meliputi : salah satunya adalah tenaga
kerja”.Mempertegas ketentuan Pasal 12 ayat (2) UU Nomor 23 Tahun 2014, dalam
Lampiran UU Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah
ditegaskan bahwa: “ Pembagian Urusan Pemerintahan Konkuren Antara Pemerintahan
Pusat dan Pemerintah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota, sebagai berikut :“Point G
Tentang Pembagian Urusan Bidang Tenaga Kerja, Sub Urusan yang menjadi kewenangan
Daerah Kabupaten/Kota adalah sub 2 tentang Penempatan Tenaga Kerja yang meliputi :
(i) Pelayanan antar kerja di Daerah Kabupaten/Kota; (ii) Penerbitan Izin LPTKS dalam
satu Daerah Kabupaten/Kota; (iii) Pengelolaan Informasi pasar kerja dalam Daerah
Kabupaten/Kota; (iv) Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri (pra dan purna
penempatan) di Daerah Kabupaten/Kota; serta; (v) Penerbitan Perpanjangan IPTA yang
lokasi kerja dalam 1 (satu) Daerah Kabupaten/Kota”.
Mengacu pada kasus-kasus yang ada, maka upaya perlindungan hukum yang
memadai dan efektif bagi TKI Kabupaten TTS menjadi tuntutan yang perlu
dipertimbangkan dalam penyelenggaraan pemerintahan di Daerah. Mengacu pada fakta
bahwa selalu terjadi tindakan eksploitasi buruh, penindasan dan kekerasan, dan
ketidakadilan yang dialami buruh migran yang berdampak menimbulkan trauma, kondisi
kerja menjadi tidak layak. Buruh migran tidak dapat bekerja dengan layak dalam kondisi
kerja yang tidak layak, tidak mendapatkan upah yang layak, sehingga tidak dapat hidup
layak sebagai manusia.
Karena itu perindungan hukum bagi tenaga kerja migran TTS menjadi urgen dalam
bnetuk instrumen hukum yang berkualitas, bijak, adil dan yang menentramkan, serta
berpihak bagi buruh migran. Kebjakan ini sebagai salah satu kewajiban Negara untuk
memenuhi hak-hak asasi buruh migran. Agar kebijakan ini berkuaitas, maka perlu
dilakukan identifikasi permasalahan yang berkaitan dengan pengiriman TKI ke luar
negeri sehingga mempermudah dalam melakukan analisis atas kebijakan yang mau
diambil.
1.1.Identifikasi Masalah.
9
Aan Seidmann, dkk , 2000,hlm. 234,dalam Usfunan dkk., Penyusunan Rancangan Undang-
Undang Dalam Perubahan Masyarakat yang Demokratis : Sebuah Panduan untuk Rancangan Undang-
Undang, ELLIPD, 2002.
10
Aan Seidman, 2000, hlm. 10-12, dalam Usfunan, Ibid.
c. Pengusulan solusi segera setelah mengajukan fakta-fakta dan bukti-bukti
pendukung, (tahap dua) argumen tentang sebab-sebab perilaku bermasalah
yang ada, kemungkinan pembuat rancangan perubahan kebijakan yakni
untuk memperkirakan perilaku selanjutnya.
c. Tokoh Agama.
Memberikan informasi yang terbatas soal bekerja luar negeri pda batas
mimbar gereja.
Tidak melakukan kontrol pada saat warga/jemaah meminta dukumen yang
berada di bawah wewenangnya demi kepentingan tertentu.
1.
Kesempatn (Opportunity). Belum ada aturan.
Tidak ada pengawasan dan penerapan
sanksi administrasi dan ganti rugi serta
pidana bagi PPTKIS dan Calo.
Penegakan hukum yang diskriminasi dan
tidak adil.
Perbedaan insentif yang diterima calo
tinggi dan tidak ada insentif bagi aparat
desa atau CBO.
Minimnya akses informasi oleh warga
miskin, keluarga, TKI, bahkan pemerintah
desa terkait hak-hak TKI, prosedur migrasi,
migrasi di negara penempatan, program-
program pemerintah bagi TKI, maupun
untuk pemberdayaan masyarakat, akses
informasi pasar dan peluang usaha. Ini
terjadi karena proses sosialisasi tidak
sampai ke tingkat bawah dan pihak
pemerintah bersifat pasif sehingga
informasi mandeg.
2.
Kemampuan (Capacity)
Tingkat pendidikan terbatas
Penghasilan/pendapatan terbatas.
Tidak ada kebijakan dan progran
pemberdayaan, peluang pasar dan peluang
kerja yang terbatas.
Daya jangkau calo luas dari pada
pemerintah.
4
Komunikasi (comunication).
Tidak memiliki sumber informasi yang
memadai dan tidak ada sarana informasi
yang memadai di desa.
Calo/sponsor lebih militan untuk mancapai
pelososk sehingga mampu berkomunikasi
dan mudah merekrut CTKI.
Lemanya koordinasi antara dinas
Nakertrans dengan Kepala Desa dan tokoh
agama dan masyarakat.
5 Proses (Process)
Proses perekrutan tidak transparan, top
down dan tidak ada pelibatan Kepala Desa,
tokoh agama tokoh masyarakat dan
kepolisian setempat da orang tua atau
keluaraga CTKI.
Proses tidak berbelit .
6 Kepentingan (Interest)
Penghasilan/modal dan insentif besar.
7 Ideologi (Idiology)
Percaya Calo karena lebih militan dan
menjangkau pelosok dari pada aparat desan
dan CBO.. Urusan dipermudah.
PPTKIS dan Calo memandang CTKI/orang
tua/keluarga sebagai obyek dalam proses
perekrutan.
Berikut disajikan faktor penyebab perilaku bersmasalah dari Lembaga Pelaksana (IA).
7 Kewenangan terbatas.
Ideologi (Idiology)
D. Penutup.