Anda di halaman 1dari 17

PERLINDUNGAN TENEGA KERJA INDONESIA KABUPATEN TTS DI LUAR

NEGERI

Oleh

Ampera Seke Selan

A. Pendahuluan..

Konsekwensi Indonesia meratifikasi kovenan internasionalICESCR (The


International Covenan Economic, Social and Cultural Rights) - Konvensi Internasional
Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, yakni Negara berkewajiban utama menghormati
hak asasi manusia, kewajiban melindungi hak asasi manusia, dan kewajiban pemenuhan
hak asasi manusia. Negara sebagai pemegang mandat untuk melakukan tindakan
berdasarkan undang-undang, berkewajiban atas pemenuhan hak asasi manusia.
Kewajiban ini mengharuskan negara untuk bersikap proaktif yang bertujuan untuk
memperkuat akses masyarakat atas sumber daya dimana kewajiban ini menuntut
intervensi negara (positive measure) sehingga terjamin hak setiap orang atas kesempatan
memperoleh haknya yang tidak dapat dipenuhi oleh negara.

Bekerja merupakan hak asasi manusia yang wajib dijunjung tinggi, dihormati,
dijamin penegakannya dan pemenuhannya oleh Negara. Oleh karena itu setiap orang
tanpa diskriminasi mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memperoleh
pekerjaan dan penghidupan yang layak demi kesejahteraan hidupnya sebagai tujuan
utama terbentuknya Negara. Hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan terjamin secara konstitusional dalam ketentuan Pasal 27 ayat (2) UUD
Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi “ Tiap-tiap waraga
negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.

Konsekuensi dianutnya faham negara hukum kesejahteraan (welfare state),


Negara wajib berperan aktif menyelenggarakan kesejaheraan publik (public welfare) dan
menjamin keadilan sosial bagi seluruh warga negara untuk meningkatkan kualitas
hidupnya. Negara menjamin penyediaan lapangan pekerjaan yang layak dan memadai
bagi warganya demi terwujudnya hak dasar setiap orang untuk mendapatkan pekerjaan
dan penghidupan yang layak. Konteks perlindungan tenaga kerja, Negara wajib
menyediakan akses bagi tenaga kerja untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, upah
yang layak, serta hidup layak1, sebagai hak dasar. Hal ini rasional karena pencapaian
kesejahteran sosial hanya dapat diperoleh melalui pendapatan dan pendapatan diperoleh
salah satunya dengan bekerja, termasuk bekerja di luar negeri.

Kebijakan pengiriman tenaga kerja ke luar negeri diawali dengan kebijakan


Presiden Soeharto yang terkenal dengan peristiwa “green revolution” berkonsekuensi
bahwa perempuan yang awalnya tersingkir dari pekerjaan perladangan harus mencari
alternatif sumber penghidupan yang lain, karena tenaga manusia telah digantikan dengan
teknonologi modern. Salah satunya adalah bekerja ke luar negeri sebagai satu alternatif
pilihan. Peningkatan intensitas pengiriman pekerja migran ke luar negeri terjadi pada
Tahun 2004-2009. Sejak saat itu, terjadi arus migrasi buruh melalui pengiriman tenaga
kerja ke luar negeri2 ke seluruh negara penempatan yang didominasi buruh perempuan
dari pada laki-laki. Tidak dinafikan bahwa, kondisi pekerja yang serba terbatas sehingga
sektor formal seperti pembantu rumah tangga, perawat manusia usia lanjut dan babby
sitter menjadi lapangan pekerjaan pilihan yang disediakan.

Salah satu negara tujuan penempatan tenaga kerja yang paling banyak merekrut
pembantu rumah tangga dan sektor kerja lainnnya bagi perempuan adalah Malayasia.
Berdasarkan data Penempatan Tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri Periode sampai
Tahun 2009 Sekretariat Utama Pusat Penelitian Pengembangan dan Sistem informasi
BNP2TKI Tahun 2010 berdasarkan data yang dari Kementrian Ketenagakerjaan dan
Transmigrasi RI, terjadi lonjakan secara tajam pengiriman tenaga kerja Indonesia ke
Malayasia berjumlah 1.2002.955.

Kondisi kehidupan sosial ekonomi yang memprihatinkan, faktor kebutuhan


ekonomi yang mendesak dan keterbatasan lapangan kerja dapat menghalangi pekerja
untuk mendapatkan akses pekerjaan yang layak dan memadai. Kondisi kehidupan sosial
ekonnomi yang memprihatinkan masyarakat kabupaten TTS dapat menyebabkan
tingginya angka pengagguran terbuka3. Jumlah angka tersebut menggambarkan bahwa
jumlah pencari kerja dari Kabupaten TTS masih sangat besar dan belum diimbangi

1
Hadhi Subhan, Revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan, Kompas, Rabu 4 Maret 2015.
2
Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BPN2TKI).
Survei Tenaga Kerja (SAKERNAS ) mendefinisikan penagguran terbuka sebagai orang yang sedang
mencari pekerjaan atau yang sedang mempersiapakan usaha atau juga yang tidak mencari pekerjaan,
karena mersa tidak mungkin lagi mendapatkan pekerjaan tetapi belum mulai bekerja. Pengangguran
terbuka tidak termasuk orang yang masih sekolah atau mengurus rumah tangga, sehingga hanya orang
yang termasuk angkatan kerja saja yang yang merupakan pengangguran terbuka. Disadur oleh Sabhana
Azmy dari www.sakernas.blogspot.com pada tanggal 20 Juni 2011, pukul03.30 WIB.
dengan tersedianya lapangan pekerjaan yang luas. Kondisi ini menyebabkan minat
sebagian besar warga untuk mencari lapangan pekerjaan ke daerah lain termasuk ke luar
negeri.

Walaupun buruh migrasi yang berasal dari Kabupaten Timor Tengah Selatan
(TTS) yang berada di beberapa negara penempatan dalam perhitungan prosentase sangat
kecil,bukan berarti bahwa pekerja migran yang berasal dari Kabupaten TTS tidak
memberikan kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi lokal.Data tersebut menggambarkan
bahwa pekerja migran Indonesia terutama perempuan berkontribusi besar terhadap
lajunya perekonomian negara. Akan tetapi, besaran pengiriman tenaga kerja ke beberapa
negara pemasok tidak diimbangi dengan perlindungan hukum yang memadai. Pekerja
masih tetap dipandang sebagai obyek yang terus dieksploitasi demi kepentingan profit
atau sebagai komoditi untuk memenuhi permintaan pasar dan bukannya sebagai subyek
yakni pekerja memiliki hak-hak yang wajib dilindungi. Buruh merasakan hanya sebagai
bagian kecil dari mekanisme sistem produksi yang kapan saja dapat dengan mudah
digantikan jika diangap tidak produktif lagi4.

Walaupun kebutuhan akan sektor pekerja domestik telah dipenuhi oleh tenaga
kerja perempuan dan memberikan kontribusi yang besar bagi pendapatan negara, tetapi
pemerintah justru mengabaikan kebutuhan kebijakan perlindungan pekerja yang
berkualitas. Mengacu pada kondisi dan problem pekerja migran tersebut, dibutuhkan
intervensi Pemerintah untuk melindungi kepentingan sosial pekerja/buruh migran. Salah
satu bentuk intervensi negara yakni fungsi negara sebagai regulator (The State function as
Regulator)5 melalui peraturan perundang-undangan untuk melindungi buruh migran yang
secara sosial ekonomi lemah dibandingkan dengan pemberi kerja kerja, terutama dari
kesewenang-wenangan pemberi kerja yang dapat terjadi dalam hubungan kerja.6
Intervensi negara diperlukan bertujuan menjamin agar kesamaan hak bagi setiap individu
tetap terjaga dan menghindari penindasan, serta menjaga agar perekonomian tetap
tumbuh dan berkembang secara teratur.

4
Hyronimus Buyanaya, Nilai Keadilan Dalam Norma Pemogokan Buruh, Makalah, Program
Doktor Universitas Airlangga, Surabaya, 2013, hlm.6.
5
W. Friedmann, The State and The Rule of Law in a Mixed Economy, Steven & Sons London, 1971,
p.3.
6
Hikmahanto Juwana, Politik Hukum Undang-Undang Bidang Ekonomi di Indonesia, Jurnal Hukum,
Vol. No. 1 Tahun 2005, Program Magister Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, hlm. 29.
Beberapa Kebijakan Pemerintah Indonesia terutama dalam masa
kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkait perindungan hukum bagi
tenaga kerja migran. Kebijakan dimaksud, yakni :Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004
Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja ke Luar Negeri, Instruksi Presiden
Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Kebijakan Reformasi Sistem Penempatan dan
Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri dan Peraturan Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Nomor 18 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Penempatan dan
Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.Akan tetapi, kebijakan tersebut,
jusrtu tidak menolong pekerja migran keluar dari masalah kekerasan yang masih sering
terjadi. Perlindungan yang tidak berkualitas bagi pekerja migran Indonesia tampak dalam
kasus-kasus kekerasan terhadap pekerja perempuan pekerja sektor informal, antara lain
:penganiayaan terhadap Nirmala Bonat, Sitti Hafdjar , Ceriaty, dan Winfaidah.

Bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi pada buruh migran perempuan dan


upaya survival mereka untuk menghadapi kekerasan yang terjadi. Bahwa Kekerasan
yang terjadi adalah kekerasan ekonomi, psikis, fisik, dan seksual dan ada juga kekerasan
yang bersifat interaktif dan struktural karena pelaku kekerasan bisa individu, seperti
oknum kepala desa, calon, suami, atau ayah dan kolektif seperti kelembagaan yakni
PJPTKI, Depnaker, dan KBRI.Perlawanan yang dilakukan adalah pura-pura sakit,
memperlambat pekerjaan, dan berkresponden secara diam-diam”. Kekerasan yang terjadi
berupa gaji tidak dibayar, tidak betah bekerja, kerja berat, dan eksploitasi. Selain itu
kekerasan fisik, pelecehan seksual dan pemerkosaan, perdagangan orang (trafficking),
sakit/stress, terlantar/illegal, dan lain-lain7. Kekerasan juga terjadi disebabkan oleh
krakteristik dari buruh migran perempuan, yakni : memiliki latar belakang budaya
patriarkhi; mayoritas berasal dari keluarga di daerah pedesaan yang menempati lapisan
bawah dalam struktur ekonomi; sebagian besar memiliki latar belakang pendidikan
formal yang terbatas (SD-SMA);

Konteks ini Pembentukan hukum ketenagakerjaan yang bijak, netral dan adil
diperlukan karena pemerintah begitu kuat dan dominan dalam pembentukan perundang-
undangan sehingga dapat memfasilitasi dua kepentingan yang berbeda, sehingga
anggapan umum bahwa perundang-undangan bidang ketenagakerjaan merupakan sarana
politik pemerintah melegitimasi tindakan pemerintah membatasi ruang kebebasan
pekerja/buruh dan mengutamakan kepentingan pengusaha dihilangkan.
7
Data Ketenagakerjaan KBRI Kualalumpur, Malayasia, 20 Mei 2011.
Tidak dapat dinafikan bahwa karakterisitik buruh migran yang demikian, turut
serta membuat buruh migran terutama perempuan Kabupaten TTS khususnya yang
bekerja di sektor informal mengalami tindakan kekerasan dari tahap pra penempatan,
penempatan hingga purna penempatan. Mengantisipasi, mencegah dan menyelesaikan
permasalahan kekerasan tersebut, dibutuhkan intervensi hukum berbentuk Peraturan
Daerah yang berkualitas, yang memihak, yang bijak, adil sebagai bentuk keberpihakan
Pemerintah Daerah atas perlindungan buruh migran. Perlindungan hukum yang memadai
dan berkualitas, menjamin buruh migran dapat bekerja dengan layak dalam kondisi kerja
yang layak, mendapatkan upah yang layak, sehingga dapat hidup layak sebagai manusia.

Mengacu pada realitas masalah sosial dan kewenangan yang tergambar pada latar
belakang pemikiran tersebut, menjadi alasan kuat bagi Pemerintah Daerah dalam hal ini
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten TTS melakukan inisiasi
pembentukan Peraturan Daerah Kabupaten TTS tentang Perlindungan Tenaga Kerja
Indonesia Kabupaten TTS.

B.Rumusan masalah.

Mengacu pada latar belakang tersebut di atas, permasalahan dapat diriumuskan


sebagai berikut : “Lemahnya Perlindungan Hukum Bagi Tenaga Kerja Kabupaten Timor
Tengah Selatan Ke Luar Negeri”.

C.Analaisis

Konsekwensi asas desentralisasi dalam penyelenggaaran pemerintahan, sebagian


kewenangan penyelenggaraan pemerintahan didelegasikan kepada daerah untuk
diselenggarakan dalam bentuk urusan-urusan baik urusan wajib maupun urusan pilihan8.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 hakekatnya mempertegas otonomi daerah tidak
hanya kepada Daerah kabupaten dan kota melainkan juga kepada Daerah provinsi,
sekaligus mempertegas bahwa otonomi daerah dimaknai sebagai pengalihan fungsi public
service kepada pemerintah Daerah menjadi urusan rumah tangganya Daerah.

Bidang ketenagakerjaan merupakan urusan pemerintahan konkuren memiliki


pendasaran yuridis dalam Pasal 12 ayat (2) huruf a UU Negara Republik Indonesia
Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah yang menegaskan bahwa :”Urusan

8
Pasal 18 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tentang Pembagia Wilayah Negara
Republik Indonesia
Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) meliputi : salah satunya adalah tenaga
kerja”.Mempertegas ketentuan Pasal 12 ayat (2) UU Nomor 23 Tahun 2014, dalam
Lampiran UU Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah
ditegaskan bahwa: “ Pembagian Urusan Pemerintahan Konkuren Antara Pemerintahan
Pusat dan Pemerintah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota, sebagai berikut :“Point G
Tentang Pembagian Urusan Bidang Tenaga Kerja, Sub Urusan yang menjadi kewenangan
Daerah Kabupaten/Kota adalah sub 2 tentang Penempatan Tenaga Kerja yang meliputi :
(i) Pelayanan antar kerja di Daerah Kabupaten/Kota; (ii) Penerbitan Izin LPTKS dalam
satu Daerah Kabupaten/Kota; (iii) Pengelolaan Informasi pasar kerja dalam Daerah
Kabupaten/Kota; (iv) Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri (pra dan purna
penempatan) di Daerah Kabupaten/Kota; serta; (v) Penerbitan Perpanjangan IPTA yang
lokasi kerja dalam 1 (satu) Daerah Kabupaten/Kota”.

Berlandaskan padaketentuan Pasal 12 ayat (2) huruf a dan Lampiran UU Nomor


23Tahun 2014 Huruf G Sub Uursan 2, maka urusan tenaga kerja khususnya perlindungan
tenaga kerja migran merupakan urusan konkuren wajib yang tidak berkaitan dengan
pelayanan dasar. Konsekwensinya, Pemerintah Daerah Kabupaten TTS berwenang
menyelenggarakan pemerintahan daerah khususnya urusan tenaga kerja dengan cara
menjamin perlindungan hukum bagi tenaga kerja yang bekerja di luar negeri. Mengacu
pada wewenang tersebut, kewajiban Pemerintah Daerah Kabupaten TTS membuat
peraturan dan kebijakan yang dapat menjamin perlindungan terhadap pekerja migran
yang bekerja di luar negeri menjadi urgen.

Mengacu pada kasus-kasus yang ada, maka upaya perlindungan hukum yang
memadai dan efektif bagi TKI Kabupaten TTS menjadi tuntutan yang perlu
dipertimbangkan dalam penyelenggaraan pemerintahan di Daerah. Mengacu pada fakta
bahwa selalu terjadi tindakan eksploitasi buruh, penindasan dan kekerasan, dan
ketidakadilan yang dialami buruh migran yang berdampak menimbulkan trauma, kondisi
kerja menjadi tidak layak. Buruh migran tidak dapat bekerja dengan layak dalam kondisi
kerja yang tidak layak, tidak mendapatkan upah yang layak, sehingga tidak dapat hidup
layak sebagai manusia.

Karena itu perindungan hukum bagi tenaga kerja migran TTS menjadi urgen dalam
bnetuk instrumen hukum yang berkualitas, bijak, adil dan yang menentramkan, serta
berpihak bagi buruh migran. Kebjakan ini sebagai salah satu kewajiban Negara untuk
memenuhi hak-hak asasi buruh migran. Agar kebijakan ini berkuaitas, maka perlu
dilakukan identifikasi permasalahan yang berkaitan dengan pengiriman TKI ke luar
negeri sehingga mempermudah dalam melakukan analisis atas kebijakan yang mau
diambil.

1.1.Identifikasi Masalah.

Menyelesaikan permasalahan sosial terkait pengiriman TKI TTS keluar negeri


penting merumuskan model kebijakan publik dalam bentuk peraturan daerah yang
terbuka dan partisipatif. Ada dua model analisis kebijakan dilihat dari perspektif
legislative drafting (Robert Seidman 9. Pertama, ends means methode. Tujuan akhir
merupakan tolak ukur untuk menentukan pilihan solusi. Terlebih dahulu menganalisis
tujuan-tujuan yang hendak dicapai dari suatu kebijakan, dimana tujuan tersebut
ditentukan oleh otoritas pembuat kebijakan. Kedua, incrementalist metthode, yakni
menyelesaikan masalah (problem solving), merupakan orientasi dari metode ini. Metode
ini mencermati pengalaman semua aspek penyebab munculnya suatu masalah sosial.
Suatu analisis kebijakan harus menyertakan metodologi pemecahan masalah untuk
menunjukkan bahwa analisis tersebut bertumpu pada pemikiran yang berdasarkan pada
pengalaman.

Mengembangkan kebijakan dalam rangka pemecahan masalah sosial, terdapat 3


(tiga) analisis kebijakan langkah-langkah tersebut bertumpu dan berorientasi pemecahan
masalah (Aan Seidman.10. Langkah dimaksud, yakni :

a. .Mengenal masalah sosial (identifying difficulty). Langkah ini melibatkan


dua aktivitas. Pertama, persepsi dari analisis tentang suatu permasalahan
sosial atau bentuk-bentuk perilaku bermasalah. Kedua, perilaku siapa dan
perilaku yang bagaimanakah yang menimbulkan masalah sosial tersebut.
b. Mengajukan fakta-fakta dan bukti-bukti pendukung. Sasaran dari analisis
kebijakan ini adalah menyelesaikan perilaku bermasalah dari pemegang
peran (Role Occupant).

9
Aan Seidmann, dkk , 2000,hlm. 234,dalam Usfunan dkk., Penyusunan Rancangan Undang-
Undang Dalam Perubahan Masyarakat yang Demokratis : Sebuah Panduan untuk Rancangan Undang-
Undang, ELLIPD, 2002.

10
Aan Seidman, 2000, hlm. 10-12, dalam Usfunan, Ibid.
c. Pengusulan solusi segera setelah mengajukan fakta-fakta dan bukti-bukti
pendukung, (tahap dua) argumen tentang sebab-sebab perilaku bermasalah
yang ada, kemungkinan pembuat rancangan perubahan kebijakan yakni
untuk memperkirakan perilaku selanjutnya.

Mengacu pada metode tersebut di atas, Aan Seidmann11, lemahnya


perlindungan hukum bagi TKI merupakan masalah sosial yang disebabkan oleh
perilaku bermasalah baik dari pemegang peran peran (role occupan) maupun lembaga
pelaksana (law implementing agency/IA). Perilaku bermasalah tersebut disebabkan
oleh faktor- faktor yang dalam terminologi Seidmaan disebut sebagai ROCCIPI (Rule,
opportunity, Capacity, Communcation, Interest, Porccess and
Idiology).Mengidentifikasi permasalahan sosial yang terjadi terkait perlindungan bagi
buruh migran ke luar negeri, konsep ROCCIPI dijadikan sebagai landasan. Agar
mempermudah identifikasi permasalahan sosial berkaitan dengan perlindungan
hukum bagi TKI Kabupten TTS, identifikasi dilakukan menurut pihak yang terlibat
dan tahapan-tahapan pengiriman tenaga kerja, yakni : Pra Penemptan, dan Purna
Penempatan.

1.1.Perilaku Bermasalah Pemegang Peran


a. Calon TKI dan TKI dan Orang Tua/Keluarga
 Tidak berusaha untuk mendapatkan informasi yang benar kepada Dinas
Ketenagakerjaan dan Transmigrasi tentang bekerja keluar negeri.
 Menyerahkan proses pengurusan kepada PPTKIS atau Calo/sponsor.
Bukan kepada Dinas Nakertrans kaupaten.
 Tidak melibatkan orang tua/keluarga dalam urusan bekerja ke luar negeri.
 Tidak melakukan penuntutan terhadap PPTKI yang gagal
memberangkatkan Calon TKI yang ditampung dan telah menandatangani
Perjanjian Penempatan dengan PPTKIS gagal berangkat yang bukan
disebakan oleh TKI.
 Tidak melakukan tuntutan terhadap PPTKIS yang memngut biaya dari
CTKI tetapi tidak memberangkatkan dengan alasan tidak ada job order dan
kelengkapan persyaratan dokumen.
 Setuju diberangkatkan meski tidak dilengkapi dengan dokumen resmi.
 Membiarkan dokumen dipalsukan PPTKI.
 Menerima begitu dan percaya atas informasi bekerja ke luar negeri yang
menyesatkan dari sponsor atau calo dan tidak mendapatkan informsi
bandingan dri sumber lain.
 Membiarkan permasalahan berat yang menimpah seperti : TKI yang
mengalami kerugian/kehilangan uang dan barang pada saat tibanya di
tanah air dan saat pulang ke daerah asal akibat perbuatan pihak-pihak
11
Aan Seidmann, dkk; 2000, hlm. 4-11, dalam Usfunan dkk., Ibid.
tertentu.TKI membawa pulang anak saat kembali ke tanah air akibat
perbuatan TKI dengan TKI; menderita sakit yang disebabkan kecelakaan,
pengaiayaan, pekerja berat, cuaca, home sick, yang dapat menyebabkan
cacat permanent, cacat sebagian, depresi dan sebagainya.TKI mengalami
kecelakaan pada saat kembali ke daerah asal; TKI yang melakukan
tindakan kriminal seperti pencurian, peganiayaan, pengelapan, dan
tindakan kejahatan lainnya; TKI yang mengalami pelecehan seksual dalam
perjalanan pulang ke daerah asal.TKI mengalami penipuan seperti
penukaran valas, daur ulang dalam perjalanan pulang ke daerah asal.
 Perpanjangan Kontrak TKI tidak melibatkan orang tua, suami atau isteri
melainkan hanya urusan agency, majikan dan TKI.
 Tidak berupaya untuk mendapatkan informasi tentang hak-hak TKI,
prosedur migrasi, migrasi di negara penempatan, program-program
pemerintah bagi TKI, maupun untuk pemberdayaan masyarakat, akses
informasi psar dan peluang usaha. Ini terjadi karena proses sosialisasi tidak
sampai ke tingkat bawah dan pihak pemerintah bersifat pasif sehingga
informasi mandeg. Ini semua membuat Negara tidak hadir bagi masyarakat
di saat kebutuhan justru nyata dan bahkan tinggi; Tidak berupaya untuk
mendapatkan informasi tentang peluang pasar dan peluang usaha.
b. PPTKIS
 Tidak memberikan informasi yang mememadai tentang migrasi kerja ke
luar negeri denga segala dampaknyaksa setempat.epada CTKI, orang
tua/Keluarga dan Pemerintah desa setempat.
 Menggagalkan pemberangkatan CTKI yang ditampung dan telah
menandatangani perjanjian penempatan bukan atas kesalahan CTKI/TKI.
 Memungut biaya dari TKI/orang tua/keluarga tapi tidak menempatkan TKI
dengan alasan tidak ada job order dan kelengkapan persyaratan.
 Memberangkatkan TKI tanpa dilengkapi denga dokumen resmi.
 Memberikn informasi yang tidak akurat kepada CTKI/orang tua/keluarga
dan mensosialisaskan perekrutan tanpa perstujuan Dinas Nakertrans
Kabupaten.
 Tidak mengkoordinasikan perekrutan CTKI dengan orang tua/keluarag
dan kepala desa.
 Tidak melaporkan hasil perekrutan kepada Dinas Nakertrans kabupaten.
 Menyerahkan urusan perekrutan CTKI kepada calo/sponsor.
 Memiliki kewenagan yag luas untuk menseleksi calon pada hal
kewenangan Dinas Nakertrans.
 Tidak memiliki kantor cabang di daerah wilayah perekrutan.Memalsukan
dokumen TKI untuk kepentingan PPTKIS. Memiliki pelayanan yang
sangat buruk.
 Tempat penampungan dan tempat pelatihan calon TKI yang tidak standar,
tidak layak.
 Responsibiity rendah terhadap TKI yang mengalami masaha sebagiman
telah dikemukakan di atas.
 Tidak berkoordinsi dengan Pemda untuk melaksanakan program
pemberdayaan bagi TKI purna penempatan.
 Tidak melibatkan diri dalam perpanjangan kontrak TKI.
 Calon TKI tidak diberikan pendidikan dan pelatihan sesuai dengan bidang
kerjanya dan tidak diberikan hasil pemeriksaan kesehatan sebelum
pemberangkatan.
 PPTKIS mengabaikan kewajibannya bagi TKI saat purna penempatan dan
tidak sampai pada daerah asal, sehingga keamanan dan keselamatan TKI
terutama perempuan tidak terjamin
c. Sponsor /Calo.
 Memberikan informasi yang sesat kepada CTKI/orang tua/keluarga
tentang bekerja keluar negeri dan implikasinya.
 Menarik iuran dari orang tua/keluarga CTKI sebagai biaya perekrutan.
 Memungut biaya melebihi standar yang ditetpkan pemerintah.
 Merekrut CTKI yang bukan merupakan wewenangnya.
2. 1Perilaku Bermasalah Lembaga Pelaksana.

a. Dinas Ketenagakerjaan dan TransmigrasiKabupaten TTS.


 Tidak memberikan informasi yang memeadi secara rutin bagi CTKI/orang
tua/keluarga dan masyarakat luas tentang bekerja ke luar negeri dan
implikasinya.
 Tidak ada koordianasi dengan Kepala desa dalam hal sosialisasi tentang
bekerja ke luar negeri.
 Tidak mewajibkan PPTKIS untuk melaporkan hasil perekrutan CTKI.
 Prosedur operasional dan koordinasi antar lembaga pemerintah terkait,
juga belum berjalan.Prosedur yg ada hanya terjadi dalam internal masing-
masing lembaga yang ada.
 Pengawasan terhadap PPTKIS minim keterlibatan pengguna itu sendiri.
Pengawasan hanya dilakukan oleh Kementrian Tenaga Kerja.
 Lemahnya pengawasan terhadap tempat penampungan dan tempat
pelatihan CTKI yang tidak berstandar.
 Lemahnya pemberian sanksi administrasi bagi PPTKIS yang melanggar
ketentuan pasal 75UU nomor 39 Tahun 2004.
 Lemahnya pembagian peran antara PPTKIS dan Pemerintah.
 Pemberian kebebasan kepada PPTKIS sebagai pelaksana penempatan
tanpa adanya reward dan punishment.
 Tidak menindaklanjuti laporan CTKI/orang tua/keluarga atas tindakan
PPTKIS atau calo yangmealukan tindakan yang merugikan.
 Tidak memberikan sanksi administrasi bagi PPTKI yang melakukan
pelanggaran ketentuan undang-undang.
 Tidak berkoordinasi dengan PPTKIS, BNP2TKI dan APJATI dalam
menyelesaiknn persoalan TKI purna penempatan berkaitan dengan
kebijakan pemberdayaan dan advokasi terutama bagi kaum perempuan.
 Tidak membuat program pemberdayan bagi masyarakat miskin dan
keompok rentan lainnya agar mencegah banyaknya migrasi.
 Tidak mengkoordinasikan dengan KPPA, BNP2TKI, Kemenakertrans,
Kemenkeu dan Kemediknas berkaita dengan pelatihan untuk membining
TKI purn penempatan.
b. Kepala Desa.
 Tidak melakukan pendataan secara rutin mutasi penduduk untuk
mengetahui perkembangan mutasi penduduk desa.
 Tidak melibatkan diri dalam sosialisasi tentang bekerja ke luar negeri dan
implikasinya.
 Tidak melakukan kontrol terhadap pengurusan dokumen-do kumen yang
dimintakan warga untuk kepentingan apapun demi mencegah terjadinya
perekrutan yang tidak sah, tidak transparan.
 Tidak berkoordinasi dengan Dinas Nakertrans Kabupaten berkaitan
dengan perekrutan CTKI ke luar negeri.
 Memberikan dukungan bagi CTKI.
 Terlibat dalam memuluskan perekrutan yng bermasalah.

c. Tokoh Agama.
 Memberikan informasi yang terbatas soal bekerja luar negeri pda batas
mimbar gereja.
 Tidak melakukan kontrol pada saat warga/jemaah meminta dukumen yang
berada di bawah wewenangnya demi kepentingan tertentu.

Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab perilku bermasalah dari


penegang peran , digambarkan padatabel berikut.

No. Faktor Indikator


1
Peraturan (Rules)  Absennya Pasal khusus yang mengatur
tentang seluk beluk kebutuhan
perlindungan mulai dari pra penempatan,
penempatan hingga purna penempatan bagi
perempuan.
 Tidak ada kepastian hukum tentang
kewenangan Pemda Kabupaten/Kota dalam
penempatan TKI (Pasal 5 UU Nomor 39
Tahun 2004 bersifat dapat).
 Lemahnya pengawasan Pemda
Kabupaten/Kota dan kebebasan PPTKIS
terutama berkaitan dengan pelimpahan
wewenang sosialisasi dan perekrutan
kepada sponsor atau calo. (Pasal 21 UU
Nomor 39 Tahun 2004 :”PTKIS dapat
membentuk kantor cabangdi daerah di luar
domisili kantor pusat”. Ketentuan ini
bersifat menyarankan dan tidak
mewajibkan. Ketentuan ini memberi
kebebasan bagi sponsor sebagai salah satu
alternatif PPTKIS untuk tetap melakukan
prekrutan dan membawa ke Jakarta yang
belum tentu tempat penampungannya
memenuhi standar.
 Belumada pengaturan tentang kewajiban
bagi Dinakertrans untuk memberikan
informasi dan meknisme perekrutan yang
transparan, dan melibatkan tokoh
masyarakat dan agama, dan kepala desa.
 Belum ada pengaturan tentang kewajiban
PPTKIS melaporkan hasil perekrutan
kepada Dinas Nakertrans Kabupaten.
 Belum ada pengaturan tentang larangan
bagi soponsor/calo untuk melakukan
perekrutan.
 Belum ada pengaturan hukum tentang
pembuatan master contract yang dibuat
oleh PPTKIS dengan employer di negara
penempatan, yang menjadi payung
kerjasama keduanya dalam penempatan
dan perlindungan TKI. Master contract
menyangkut ketentuan-ketentua terhadap
penempatan dan perlindungan TKI. Selama
ini hanya sampai pada tahap penempatan
(recruitment agreement ), PPTKIS
membuat demand letter dan recruitment
agreement. Hal ini merupakan kelemahan
dari perlindungan hukum bagi TKI.
 Penempatan Atase Ketenagakerjaan belum
merupakan satu kebutuhan (Ketentuan
hukum Pasal 79 UU Nomr 39 Tahun 2004
bersifat menyarankan :“dapat diadakan”,
bukan bersifat mewajibkan.

1.
Kesempatn (Opportunity).  Belum ada aturan.
 Tidak ada pengawasan dan penerapan
sanksi administrasi dan ganti rugi serta
pidana bagi PPTKIS dan Calo.
 Penegakan hukum yang diskriminasi dan
tidak adil.
 Perbedaan insentif yang diterima calo
tinggi dan tidak ada insentif bagi aparat
desa atau CBO.
 Minimnya akses informasi oleh warga
miskin, keluarga, TKI, bahkan pemerintah
desa terkait hak-hak TKI, prosedur migrasi,
migrasi di negara penempatan, program-
program pemerintah bagi TKI, maupun
untuk pemberdayaan masyarakat, akses
informasi pasar dan peluang usaha. Ini
terjadi karena proses sosialisasi tidak
sampai ke tingkat bawah dan pihak
pemerintah bersifat pasif sehingga
informasi mandeg.

2.
Kemampuan (Capacity) 
Tingkat pendidikan terbatas

Penghasilan/pendapatan terbatas.

Tidak ada kebijakan dan progran
pemberdayaan, peluang pasar dan peluang
kerja yang terbatas.

Daya jangkau calo luas dari pada
pemerintah.

4
Komunikasi (comunication). 
Tidak memiliki sumber informasi yang
memadai dan tidak ada sarana informasi
yang memadai di desa.

Calo/sponsor lebih militan untuk mancapai
pelososk sehingga mampu berkomunikasi
dan mudah merekrut CTKI.

Lemanya koordinasi antara dinas
Nakertrans dengan Kepala Desa dan tokoh
agama dan masyarakat.

5 Proses (Process) 
Proses perekrutan tidak transparan, top
down dan tidak ada pelibatan Kepala Desa,
tokoh agama tokoh masyarakat dan
kepolisian setempat da orang tua atau
keluaraga CTKI.

Proses tidak berbelit .

6 Kepentingan (Interest) 
Penghasilan/modal dan insentif besar.

7 Ideologi (Idiology) 
Percaya Calo karena lebih militan dan
menjangkau pelosok dari pada aparat desan
dan CBO.. Urusan dipermudah.

PPTKIS dan Calo memandang CTKI/orang
tua/keluarga sebagai obyek dalam proses
perekrutan.

Berikut disajikan faktor penyebab perilaku bersmasalah dari Lembaga Pelaksana (IA).

No. Faktor Indikatior.

1. Peraturan (Rules)  Absennya Pasal khusus yang mengatur


tentang seluk beluk kebutuhan
perlindungan mulai dari pra penempatan,
penempatan hingga purna penempatan bagi
perempuan.
 Tidak ada kepastian hukum tentang
kewenangan Pemda Kabupaten/Kota dalam
penempatan TKI (Pasal 5 UU Nomor 39
Tahun 2004 bersifat dapat).
 Lemahnya pengawasan Pemda
Kabupaten/Kota dan kebebasan PPTKIS
terutama berkaitan dengan pelimpahan
wewenang sosialisasi dan perekrutan
kepada sponsor atau calo. (Pasal 21 UU
Nomor 39 Tahun 2004 :”PTKIS dapat
membentuk kantor cabangdi daerah di luar
domisili kantor pusat”. Ketentuan ini
bersifat menyarankan dan tidak
mewajibkan. Ketentuan ini memberi
kebebasan bagi sponsor sebagai salah satu
alternatif PPTKIS untuk tetap melakukan
prekrutan dan membawa ke Jakarta yang
belum tentu tempat penampungannya
memenuhi standar.
 Belum ada pengaturan tentang kewajiban
bagi Dinakertrans untuk memberikan
informasi dan meknisme perekrutan yang
transparan, dan melibatkan tokoh
masyarakat dan agama, dan kepala desa.
 Belum ada pengaturan tentang kewajiban
PPTKIS melaporkan hasil perekrutan
kepada Dinas Nakertrans Kabupaten.
 Belum ada pengaturan tentang larangan
bagi sponsor/calo untuk melakukan
perekrutan.
 Belum ada pengaturan hukum tentang
pembuatan master contract yang dibuat
oleh PPTKIS dengan employer di negara
penempatan, yang menjadi payung
kerjasama keduanya dalam penempatan
dan perlindungan TKI. Master contract
menyangkut ketentuan-ketentua terhadap
penempatan dan perlindungan TKI. Selama
ini hanya sampai pada tahap penempatan
(recruitment agreement ), PPTKIS
membuat demand letter dan recruitment
agreement. Hal ini merupakan kelemahan
dari perlindungan hukum bagi TKI.
 Penempatan Atase Ketenagakerjaan belum
merupakan satu kebutuhan (Ketentuan
hukum Pasal 79 UU Nomr 39 Tahun 2004
bersifat menyarankan :“dapat diadakan”,
bukan bersifat mewajibkan.

2. Kesempatan (Opportunitiy)  Belum ada aturan yangg mengatur.


 Tidak ada sanksi administrasi bagi
Pengawas yang tidak melaksanakan
pengawasan dan koordinasi.
 Tidak adanya pembagian peran yang
proporsional.
 Pendanaan terbatas untuk koordinasi dan
pengawasan.

3 Kemampuan (Capacity)  Tidak ada pengaturan tentang kewajiban


pengawasan dan koordinasi dan pemberian
sanksi administrasi bagi PPKIS seperti
pembekuan izin usaha danatau pencabutan
izin usaha.

3. Komunikasi  Sarana komunkasi yang terbatas.


(Communication).  Tidak ada kewajiban melaporkan hasil
perekrutan CTKI bagi PPTKIS.

5 Kepentingan (Interest)  PAD.

6 Porses (Process).  Perekrutan tidak transparan sehingga


terjadi kesulitan melakukan pengawasan
dan monitoring.

7  Kewenangan terbatas.
Ideologi (Idiology)

D. Penutup.

Berdasarkan ientifikasi permasalahan, perilaku bermasalah dan sebab-sebab


perilaku bermasalah, beberapa konsep dasar pemikiran sebagai solusi bagi
permasalahan perlindungan TKI yang bekerja di luar negeri adalah :

a. Merancang Peraturan Perundang-Undangan tentang Perlindungan TKI Kabupaten


TTS di Luar Negeri secara substansial mengatur antara lain : kewenangan Dinas
Tenaga kerja dan Transmigrasi Kabupaten, mekanisme/prosedur perekrutan yang
transparan dan melibatkan Kepala Desa, tokoh agama dan masyarakat dan
kepolisian setempat serta LSM; Sarana Informasi di tingkat Desa sebagai sumber
informasi; lembaga khusus untuk menyelesaiakan permasalahan TKI purna
penempatan, hak, kewajibban dan larangan bagi PPTKI dan Calo, serta
pemerintah daerah berkaitan dengan regulasi dan kebijakan mengarah
pemberdayaan bagi TKI purna penempatan. Selain itu berkaitan dengan
Penegakan hukum dan rumusan sanksi yang dapat memaksakan kepatuhan
PPTKIS dan Sponsor/calo untuk melindungi CTKI dan TKI. Serta koordinasi
sesuai dengan kepentingan yang mau diselesaikan. Kebijakan yang dimaksudkan
lebih bersifat pencegahan.
b. Pihak yang terkait melakukan sosialisasi dan advokasi untuk mencegah intensitas
pekerja lokal migrasi ke luar negeri.
Daftar Bacaan

Hadhi Subhan, Revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan, Kompas, Rabu 4


Maret 2015.
Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia
(BPN2TKI).
Hyronimus Buyanaya, Nilai Keadilan Dalam Norma Pemogokan Buruh,
Makalah, Program Doktor Universitas Airlangga, Surabaya, 2013
W. Friedmann, The State and The Rule of Law in a Mixed Economy, Steven &
Sons London, 1971.
Hikmahanto Juwana, Politik Hukum Undang-Undang Bidang Ekonomi di
Indonesia, Jurnal Hukum, Vol. No. 1 Tahun 2005, Program Magister Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara, Medan.
Sabhana Azmy dari www.sakernas.blogspot.com pada tanggal 20 Juni 2011,
pukul03.30 WIB.
Data Ketenagakerjaan KBRI Kualalumpur, Malayasia, 20 Mei 2011.

Aan Seidmann, dkk , 2000,hlm. 234,dalam Usfunan dkk., Penyusunan


Rancangan Undang-Undang Dalam Perubahan Masyarakat yang Demokratis :
Sebuah Panduan untuk Rancangan Undang-Undang, ELLIPD, 2002.

Anda mungkin juga menyukai