Anda di halaman 1dari 11

LEBAK PADA MASA ISLAM DAN KESULTANAN BANTEN∗

Oleh: Miftahul Falah, S. S.**

A. Politik
1. Mitos Pasca Kerajaan Sunda
Setelah Kerajaan Tarumanagara runtuh sekitar abad ke-8, di sebelah
barat Sungai Citarum berdiri pusat kekuasaan baru yang bernama Kerajaan Sunda.
Akan tetapi, sampai saat ini belum diketahui secara pasti siapa nama rajanya.
Prasasti Rakyan Juru Pangambat pun, yang berangka tahun 854 Saka (932
Masehi) dan berbahasa Melayu, tidak menyebutkan nama Raja Sunda, tetapi
menyebutkan “… ba [r] pulihkan haji Sunda…” (memulihkan raja Sunda). Hal
ini dapat diartikan bahwa sebelum prasasti itu dibuat sangat dimungkinkan di
daerah ini telah ada Kerajaan Sunda menggantikan Kerajaan Tarumanagara.1
Sementara itu, pada waktu yang bersamaan di sebelah timur Tatar Sunda berdiri
pula pusat kekuasaan di Galuh di bawah kekuasaan Rahyang Sanjaya. Oleh
Rahyang Sanjaya, kedua kerajaan ini disatukan menjadi Kerajaan Sunda, karena
ia menjadi menantu Raja di Sunda.2
Pada masa Kerajaan Sunda ini, Banten merupakan salah satu daerah
kekuasaan Raja Sunda yang terletak di sebelah barat pusat kekuasaannya. Bagi
Kerajaan Sunda, Banten merupakan salah satu daerah yang dianggap penting
terutama untuk kepentingan perdagangan. Kedudukan Banten sebagai salah satu
pusat perdagangan Kerajaan Sunda dapat diketahui dari berita Tome Pires yang
mengatakan bahwa Banten (bersama-sama dengan Kalapa) merupakan pelabuhan
milik Kerajaan Sunda yang paling pesat perkembangannya. Antara Pakuan
Pajajaran dan Banten dihubungkan dengan jalan darat melalui Jasinga –
Rangkasbitung – Serang – Pelabuhan Banten.3
Kerajaan Sunda dikalahkan oleh Maulana Yusuf tahun 1579 dan para
pengikut setianya melarikan diri ke pedalaman di wilayah Banten Selatan,
tepatnya di wilayah yang sekarang masuk ke dalam Kabupaten Lebak. Proses
kehancuran Kerajaan Sunda berkaitan erat dengan penyebaran Islam di daerah
Banten yang dilakukan oleh Sunan Gunung Jati dan Maulana Hasanudin. Dalam
tradisi Banten, peran Sunan Gunung Jati lebih menonjol dalam penyebaran agama


Dipresentasikan dalam “Lokakarya Penelitian dan Penulisan Sejarah Kabupaten Lebak” di
AULA Pemkab Lebak, Rangkasbitung, 19 September 2006.
**
Asisten Ahli di Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Padjadjaran; Staf Peneliti Puslit
Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lemlit Unpad; Sekretaris MSI Cabang Jawa Barat; Anggota
Peneliti Sejarah Kabupaten Lebak.
Islam. Sementara itu, Maulana Hasanudin selain penyebar Islam di Banten juga
dipandang sebagai pendiri Kesultanan Banten.
Menurut cerita tradisi, suatu ketika, Kibuyut ‘Afil diperintahkan oleh
Syarif Hidayatullah untuk mendirikan sebuah kampung di daerah Banten sebagai
tempat tinggalnya kelak. Untuk melaksanakan perintah tersebut, Kibuyut ‘Afil
pergi ke Banten atas bimbingan gaib Syarif Hidayatullah. Setibanya di di Banten,
Kibuyut ‘Afil menemukan sebuah tongkat yang dilempar Syarif Hidayatullah dari
Cirebon di sebuah tempat yang sekarang bernama Kecirebonan dan di tempat
itulah Kibuyut ‘Afil mendirikan tempat tinggal untuk Syarif Hidayatullah. Ketika
Syarif Hidayatullah tiba di Banten untuk mengislamkan daerah ini, ia tinggal di
kampung yang yang telah didirikan oleh Kibuyut ‘Afil. Setelah memandang
anaknya, Maulana Hasanudin, cukup ilmu untuk menyebarkan agama Islam,
Syarif Hidayatullah meninggalkan Banten dan kembali Cirebon. Sementara itu,
kampung sebagai tempat tinggal Syarif Hidayatullah terus dijaga oleh Kibuyut
‘Afil sampai ia meninggal dunia. Oleh karena itu, sampai sekarang kampung itu
dinamai kampung Kacirebonan. 4
Ketika Maulana Hasanudin berhasil mengalahkan Prabu Pucuk Umun
terciptalah sebuah mitos yang oleh masyarakat Lebak dikenal dengan nama tubuy
yakni cerita pantun yang dituturkan secara lisan. Isi cerita ini mengacu kepada
nama tempat yang sangat dikeramatkan di Banten Selatan dan dipergunakan untuk
memperingati peristiwa kekalahan Prabu Pucuk Umun oleh Maulana Hasanudin.
Menurut cerita ini, Prabu Pucuk Umun merupakan wakil Raja Sunda untuk daerah
Banten dan leluhur para puun suku Baduy.5 Menurut tubuy, Maulana Hasanudin
adalah putra sulung Sunan Gunung Jati yang datang ke Banten untuk
mengislamkan wilayah barat Kerajaan Sunda. Dalam melaksanakan tugasnya itu,
Maulana Hasanudin disertai oleh dua orang pembantunya yang bernama Agus Jo
dan Mas Lei. Upaya mengislamkan Prabu Pucuk Umun tidak dapat dilakukan
oleh Maulana Hasanudin secara langsung melainkan harus melalui pertarungan di
antara keduanya. Adu kesaktian ini dilakukan karena Prabu Pucuk Umun hanya
bersedia memeluk Islam kalau kesaktiannya dikalahkan oleh kesaktian Maulana
Hasanudin.
Jenis pertandingan yang disepakati oleh kedua orang yang sama-sama
sakti ini adalah mengadu ayam. Ayam Pucuk Umun diciptakan dari besi baja,
berpamor air raksa, berinti besi berani, dan diberi nama Jalak Rarawe. Sedangkan
ayam Maulana Hasanudin merupakan penjelmaan jin. Ayam putih ini berasal dari
serbannya yang dihentakkan sekali dan diberi nama Jalak Putih. Kedua jenis
ayam ini mencerminkan sifat masing-masing pemiliknya. Jalak Rarawe
merupakan ayam yang terlihat sangat garang sebagai cerminan bahwa Prabu
Pucuk Umun memiliki sifat dendam kesumat. Sementara itu, Jalak Putih
kelihatan tenang dan sabar yang mencerminkan keluhuran budi pekerti yang
dimiliki oleh Maulana Hasanudin. Dalam pertandingan itu, Jalak Rarewe dapat
dikalahkan oleh Jalak Putih dan bertepatan dengan kekalahan itu, si Jalak Putih
kembali kepada wujud aslinya. Melihat kejadian itu, Prabu Pucuk Umun sangat
kaget dan berseru “Ketahuilah Hasanudin bahwa kekalahanku kali ini hanya
merupakan sebagian terkecil dari seluruh kesaktianku dan aku belum menyerah
kalah, apabila kau sanggup susullah aku”.6
Dengan kekalahan itu, seharusnya Prabu Pucuk Umun takluk kepada
Maulana Hasanudin dan memeluk Islam. Akan tetapi, perjanjian dengan Maulana
Hasanudin dilanggar oleh Pucuk Umun. Ia tidak mau memeluk agama Islam dan
memilih untuk memusnahkan dirinya dengan berubah menjadi burung beo.
Burung beo jelmaan Pucuk Umun itu kemudian terbang meninggalkan Maulana
Hasanudin agar ia tidak ditangkap oleh Maulana Hasanudin. Ketika sedang
terbang mengembara, Pucuk Umum melihat hamparan pasir sehingga merasa
tertarik untuk turun kembali ke bumi. Ketika telah mendarat di bumi, burung beo
itu menjelma kembali menjadi Prabu Pucuk Umun. Setelah dirinya menjadi
manusia lagi, Pucuk Umun menemukan sisa-sisa rakyatnya yang tidak mau masuk
Islam dan mendirikan perkampungan baru di daerah Banten Selatan, tepatnya di
daerah Lebak. Berdasarkan cerita ini, sebagian masyarakat Lebak menamakan
tempat Pucuk Umun menjadi burung beo sebagai Cibeo, tempat burung beo
melihat hamparan pasir dan berubah kembali menjadi Pucuk Umun sebagai
Cikeusik, dan tempat Pucuk Umun mendirikan perkampungan baru dinamai
sebagai Cikertawana.
Mitos tentang kekalahan Pucuk Umun ketika beradu kesaktian dengan
Maulana Hasanudin memang tidak ditemukan di setiap tradisi lisan atau cerita
rakyat. Dalam suntingan Sajarah Banten yang lain, diceritakan bahwa Pucuk
Umun itu tidak pernah bertanding untuk mengadu keasktian dengan Maulana
Hasanudin. Dengan kesaktian yang dimilikinya, Pucuk Umum telah
memperkirakan bahwa dirinya sebagai penguasa Pakuan Pajajaran yang berkuasa
di Banten Girang akan digantikan oleh Maulana Hasanudin. Oleh karena itu, ia
kemudian memusnahkan dirinya karena tidak mau tunduk kepada Maulana
Hasanudin, seperti yang dinyatakan dalam Sadjarah Banten.7
Ada juga yang meneritakan bahwa ketika ayam Pucuk Umun kalah oleh
ayam Maulana Hasanudin, Pucuk Umun menguji kesaktian Maulana Hasanudin
dengan cara bersembunyi dan meminta Maulana Hasanudin untuk menemukan
tempat persembunyiannya itu. Tantangan itu diterima oleh Maulana Hasanudin
dan segera memerintahkan kedua jin santrinya untuk mengejar dan menangkap
Pucuk Umun. Setelah mengejarnya, kedua jin santri Maulana Hasanudin berkata
kepada majikannya “Maaf Tuan, Pucuk Umun menghilang”. Kemudian berkata
Maulana Hasanudin, “Yah sudahlah santri jin, barangkali sudah kehendak Tuhan
Yang Agung, mungkin sudah kehendak-Nya kalau Pucuk Umun menjadi iblis atau
kafir siluman selama-lamanya”.8 Dalam salah satu cerita rakyat, Pucuk Umun
menghilang di Tubuy dan masuk ke dalam bumi sampai tidak pernah kelihatan
lagi.9
Suntingan Sajarah Banten lainnya yang digubah dalam bentuk prosa
menceritakan bahwa Pucuk Umun telah mengetahui maksud kedatangan Molana
Hasanudin yaitu untuk mengislamkan daerah Banten dan menggantikan
kedudukan dirinya sebagai Raja Pakuan yang berkuasa atas wilayah Banten
Girang. Oleh karena itu, sebelum Maulana Hasanudin menginjakkan kakinya di
tanah Banten, ia memusnahkan dirinya karena tidak mau memeluk Islam dan
menjadi bawahan Maulana Hasanudin. Selain itu, diceritakan pula bahwa adu
ayam yang dilakukan oleh Maulana Hasanudin bukan untuk mengalahkan Pucuk
Umun, tetapi untuk memancing agar penduduk dari daerah lain lebih banyak lagi
yang datang ke Banten.10
Telah disebutkan sebelumnya bahwa dalam tradisi masyarakat Banten,
peranan Sunan Gunung Jati dalam proses berdirinya Kesultanan Banten kurang
begitu menonjol. Hal ini bisa dilihat dari suatu kenyataan bahwa masyarakat
Banten selalu merujuk kepada Maulana Hasanudin sebagai pendiri Kesultanan
Banten. Hal yang sebaliknya terjadi di Cirebon bahwa baik Kesultanan Banten
maupun Kesultanan Cirebon didirikan oleh Sunan Gunung Jati. Ketika Sunan
Gunung Jati masih berkuasa di Cirebon hubungan antara kedua kesultanan ini
begitu harmonis. Akan tetapi, ketika Sunan Gunung Jati telah meninggal dunia,
hubungan tersebut menjadi kurang begitu harmonis. Selain itu, Kesultanan Banten
justru semakin berkembang dan menjelma menjadi sebuah pusat kekuasaan Islam
di Pulau Jawa bagian barat. Sementara Kesultanan Cirebon secara perlahan-lahan
mengalami kemunduran karena tidak mampu menghadapi kekuatan-kekuatan
kerajaan yang ada di sekitarnya, yakni Banten dan VOC di sebelah barat, serta
Mataram di sebelah timur.
Dalam tradisi Cirebon, perkembangan itu sendiri telah diperkirakan
karena simbol kekuasaan yang tadinya ada di Cirebon telah berpindah ke Banten.
Cerita tentang pindahnya simbol kekuasaan Cirebon ke Banten diawali oleh
keputusan para wali untuk menghukum mati Syeh Lemah Abang karena memiliki
paham keagamaan yang berbeda dengan para wali lainnya. Paham yang dimiliki
oleh Syeh Lemah Abang itu sangat berbahaya kalau diajarkan kepada kaum
muslimin yang awam. Dengan menggunakan keris Kantanaga milik Sunan
Gunung Jati, Sunan Kudus menusuk tubuh Syeh Lemah Abang sampai meninggal
dunia. Seketika, tubuhnya menghilang dan seiring dengan itu keluarlah suara gaib
yang meramalkan masa depan Cirebon. Suara gaib itu berkata, “Bahwa Cirebon
akan menjadi negara merdeka sampai anak-cucu, tetapi nanti jika telah datang
kerbau putih, anak-cucu harus tahu sendiri”. Sunan Gunung Jati pun
membenarkan ramalan suara gaib itu dan hal itu akan terjadi pada generasi
kesembilan keturunannya.11
Setelah Sunan Gunung Jati meninggal dunia, kekuasaan atas Cirebon
diserahkan kepada Panembahan Ratu. Pada masa itu, Mesjid Agung Cirebon
terbakar dan bagian atas masjid itu (momolo) meloncat menuju Banten. Sejak saat
itu berdirilah Kesultanan Banten yang mengalami perkembangan begitu pesat.
Sebaliknya dengan Cirebon, sejak peristiwa itu mengalami kemunduran yang
ditandai dengan takluknya Panembahan Ratu atas Sultan Mataram. Selain takluk
kepada Sultan Mataram, ia pun kemudian menjadi bayangan penguasa Banten.12
Sejak saat itulah, di daerah paling barat Pulau Jawa berdiri Kesultanan Banten
yang mengalami kemajuan pesat dan kekuasaannya meliputi sebagian Pulau
Sumatera. Kejayaan Kesultanan Banten tidak bisa dikalahkan baik oleh VOC
maupun oleh Mataram. Hanya karena terjadi konflik intern, kedaulatan
Kesultanan Banten sedikit demi sedikit berkurang dan mengalami kehancuran
memasuki abad ke-19.

2. Kesultanan Banten
Kesultanan Banten didirikan oleh dua unsur utama, yaitu kekuatan politik
dan kekuatan ekonomi. Kekuatan politik yang merintis berdirinya Kesultanan
Banten terdiri atas tiga kekuatan utama yaitu Demak, Cirebon, dan Banten sendiri
dengan Sunan Gunung Jati, Fatahillah, dan Maulana Hasanuddin sebagai
pelopornya. Perintisannya diawali dengan kegiatan penyebaran agama Islam,
kemudian pembentukkan kelompok masyarakat muslim, penguasaan daerah
secara militer (1526), dan akhirnya penguasaan daerah secara politik sampai
berdirinya suatu pemerintahan yang berdiri sendiri yang diberi nama Kesultanan
Banten. Kekuatan kedua yang melahirkan Kesultanan Banten adalah para
pedagang muslim, baik para pedagang setempat maupun para pedagang yang
berasal dari daerah lainnya. Kenyataan ini didukung oleh fakta bahwa sejak awal
abad ke-15 Masehi di pesisir utara teluk Banten telah tumbuh kantong-kantong
permukiman orang-orang muslim.13
Dalam tradisi Banten, Kesultanan Banten didirikan oleh Maulana
Hasanudin tahun 1552 bertepatan dengan penobatannya sebagai penguasa Banten
oleh Sunan Gunung Jati. Pada tahun 1570, Maulana Hasanuddin wafat digantikan
oleh Maulana Yusuf, yang memerintah Banten dari tahun 1570-1580. Pada masa
pemerintahannya, Pakuan Pajajaran dapat ditaklukan sehingga berdirilah
Kesultanan Banten di atas bekas wilayah Kerajaan Sunda dengan batas Sungai
Citarum dari muara sampai ke daerah pedalamannya (Cianjur sekarang).14
Sepeninggal Maulana Yusuf, Maulana Muhammad Nasrudin dinobatkan
sebagai penguasa Banten di bawah bimbingan seorang kadi (hakim agung). Untuk
urusan pemerintahan ditangani oleh Mangkubumi.15 Maulana Muhammad
berkehendak menguasai Palembang untuk mengembangkan perniagaan
Kesultanan Banten. Akan tetapi, penguasa Banten itu tewas dalam peperangan
dengan Palembang sehingga politik ekspansinya menemui kegagalan. Penguasa
Banten ini kemudian dikenal sebagai Prabu Seda ing Palembang atau Pangeran
Seda ing Rana. 16
Pada bulan Januari 1624, Abdul Mufakhir Mahmud Abdulkadir (1596-
1651) yang sebelumnya berada di bawah bimbingan seorang wali. Setelah
memegang tahta Kesultanan Banten, bidang pertanian, pelayaran, dan kesehatan
rakyat menjadi perhatian utama Sultan Banten ini. Pada tahun 1636, penguasa
Arab di Mekkah memberikan gelar “sultan” kepada dirinya sehingga dialah
penguasa Banten pertama yang memakai gelar sultan. Sultan Abdul Mufakhir
menolak mentah-mentah kemauan VOC yang hendak memaksakan monopoli
perdagangan di Banten.17 Sikap tegas inilah yang kemudian menjadi sumber
konflik berkepanjangan antara Banten dan VOC.
Pada tanggal 10 Maret 1651 Pangeran Adipati Anom Pangeran Surya
menggantikan kakeknya sebagai Sultan Banten dengan gelar Sultan Abu Al Fath
Abdul Fattah Muhammad Syifa Zainal Arifin atau lebih dikenal dengan Sultan
Ageng Tirtayasa (1651-1684). 18 Di bawah kepemimpinannya, Kesultanan Banten
mencapai puncak kejayaannya dan eksistensinya diakui baik oleh Mataram
maupun VOC yang berkedudukan di Batavia. Akan tetapi, kejayaan Banten
lambat laun menghilang seiring dengan terjadinya konflik intern antara Sultan
Ageng Tirtayasa dan Sultan Haji. Sultan Haji merupakan anak pertama Sultan
Ageng Tirtayasa yang berhasil dihasut oleh VOC sehingga mengkhianati
perjuangan Sultan Ageng Tirtayasa. Dengan demikian, Sultan Ageng Tirtayasa
menghadapi dua musuh sekaligus yakni Sultan Haji dan VOC. Konflik intern itu
berakhir seiring dengan penangkapan Sultan Ageng Tirtayasa tanggal 14 Maret
1683 di Istana Surosowan oleh Sultan Haji dan VOC.19
Selama Sultan Haji menduduki tahta Kesultanan Banten, di daerah ini
banyak terjadi kerusuhan, pemberontakan, dan kekacauan di segala bidang yang
ditimbulkan oleh rakyat. Selain menghadapi penentangan dari rakyatnya sendiri,
Sultan Haji pun menghadapi suatu kenyataan bahwa VOC merupakan tuan yang
harus dituruti segala kehendaknya. Karena tekanan-tekanan itu, akhirnya Sultan
Haji jatuh sakit hingga meninggal dunia pada tahun 1687. Gubernur Jenderal
VOC van Imhoff mengangkat anak pertama, Pangeran Ratu menjadi Sultan
Banten dengan gelar Sultan Abu’l Fadhl Muhammad Yahya yang berkuasa hanya
selama tiga tahun.20
Oleh karena Sultan Abu’l Fadhl Muhammad Yahya tidak mempunyai
anak, tahta kesultanan diserahkan kepada adiknya Pangeran Adipati dengan gelar
Sultan Abu’l Mahasin Muhammad Zainul Abidin juga biasa disebut Kang
Sinuhun ing Nagari Banten yang menjadi gelar sultan-sultan Banten berikutnya.
Ia memerintah dari tahun 1690 sampai 1733. Oleh karena putra tertuanya sudah
meninggal, sejak tahun 1733 tahta Kesultanan Banten dilanjutkan oleh putra
keduanya yang bergelar Sultan Abulfathi Muhammad Shifa Zainul Arifin (1733-
1747). Pada tahun 1753 Pangeran Gusti dinobatkan menjadi sultan dengan gelar
Abu’l Nasr Muhammad ‘Arif Zainul ‘Asiqin (1753-1773) yang didahului oleh
berbagai perlawanan rakyat, di antaranya Perlawanan Ratu Bagus Buang dan Kiai
Tapa.21 Berbagai perlawanan rakyat terus menerus terjadi di wilayah Banten
sehingga pada tahun 1809 Gubernur Jenderal Daendels menghapus Kesultanan
Banten dan bekas wilayahnya dibagi dua menjadi Caringin dan Serang.

B. Sosial Budaya
1. Masuknya Islam
Sampai saat ini, sumber sejarah yang menginformasikan proses
penyebaran agama Islam di Kabupaten Lebak sangatlah sedikit. Namun demikian,
patut diduga bahwa masa awal penyebaran agama Islam di Kabupaten Lebak
terkait erat dengan upaya Maulana Yusuf melebarkan kekuasaan Banten ke daerah
pedalaman. Cerita tentang masyarakat Baduy dan kaolotan merupakan salah satu
petunjuk tentang masuknya Islam ke daerah Kabupaten Lebak.
Dalam Babad Banten diceritakan bahwa setelah berhasil mengalahkan
penguasa Banten Girang dan mengislamkan penduduknya, Sunan Gunung Jati dan
Hasanuddin melanjutkan penyebaran Islam ke Gunung Pulosari. Tempat ini
berada di sebelah selatan Banten Girang tempat persemayaman 800 ajar. Seluruh
ajar yang didatangi oleh Sunan Gunung Jati dan Hasanudin dapat diislamkan
bahkan semuanya menjadi pengikut Hasanuddin ketika Kesultanan Banten
berdiri.22
Dalam menyebarkan ajaran Islam kepada penduduk pribumi, Hasanuddin
menggunakan cara-cara yang dikenal oleh masyarakat setempat, seperti
menyabung ayam ataupun mengadu kesaktian. Diceritakan dalam sumber lokal
bahwa dalam acara menyabung ayam di Gunung Lancar yang dihadiri oleh
banyak pembesar negeri, dua orang ponggawa Pajajaran, yakni Mas Jong dan
Agus Jo, yang disebut juga Ki Jongjo, menyatakan diri memeluk agama Islam dan
bersedia menjadi pengikut Hasanuddin.23
Ketika Maulana Yusuf berkuasa atas tahta Banten, ia melanjutkan
penyebaran agama Islam ke daerah pedalaman dengan berupaya menaklukan
pusat kekuasaan Kerajaan Sunda. Usaha itu berhasil dilakukan oleh Maulana
Yusuf yang ditandai dengan penaklukan Pakuan Pajajaran pada 1579. Para
pembesar atau pengikut setia Raja Sunda yang tidak mau memeluk Islam
melarikan diri ke pedalaman Banten Selatan. Dalam kondisi seperti inilah, diduga
agama Islam masuk dan menyebar ke Banten Selatan (Kabupaten Lebak).
Konon diceritakan bahwa untuk menyebarkan agama Islam ke Banten
Selatan, Sultan Banten berencana hendak mendirikan masjid agung kesultanan di
daerah yang sekarang bernama Susukan, Kecamatan Cipanas, Kabupaten Lebak.
Rencana Sultan Banten itu tidak terlaksana dengan baik karena penduduk
setempat tidak secara penuh membantunya. Meskipun demikian, untuk keperluan
penyebaran Islam, Sultan Banten tetap membangun sebuah mesjid yang kemudian
dikenal dengan nama Masjid Susukan, karena memang letaknya tidak terlalu jauh
dari susukan (sungai). Selain itu, Sultan Banten pun mengeluarkan ancaman
kepada penduduk setempat bahwa barangsiapa menentang Islam, ia akan gila
seperti anjing edan.24 Dengan berdirinya Masjid Susukan ini, diduga agama Islam
menyebar dari daerah ini ke berbagai penjuru Kabupaten Lebak.

Foto 1: Masjid Susukan yang diyakini oleh Masyarakat Lebak


sebagai masjid tertua di Kabupaten Lebak.

Sumber: Dokumentasi Tim Peneliti, 2006.


Foto 2: Tempat mengambil air wudlu. Menurut cerita, batu-batu yang berjajar
di bawah merupakan batu asli ketika Mesjid Susukan
dibangun pada masa Kesultanan Banten

Sumber: Dokumentasi Tim Peneliti, 2006.

2. Stratifikasi Sosial
Berdasarkan status sosialnya, masyarakat Lebak mengenal beberapa
pelapisan sosial dalam kehidupan mereka. Pertama, masyarakat yang memiliki
hubungan darah dengan Kesultanan Banten. Kelompok masyarakat ini dipandang
sebagai kelompok bangsawan kelas tinggi. Masyarakat yang masuk ke dalam
golongan ini biasanya bergelar tubagus (untuk laki-laki) atau ratu (untuk
perempuan). Gelar tubagus dan ratu mulai dipakai sejak masa pemerintahan
Maulana Yusuf. Akan tetapi, ketika itu sebutannya agak berbeda yakni ratu bagus
untuk keturunan sultan berkelamin laki-laki dan ratu untuk keturunan sultan
berkelamin perempuan. Gelar kebangsawanan ini dianugrahkan kepada keturunan
sultan semenjak si bayi dilahirkan. Setelah melalui proses sejarah yang cukup
panjang, sebutan ratu bagus berubah menjadi tubagus dan gelar ini merupakan
ciri khas golongan bangsawan Banten sebagai keturunan langsung sultan.
Keturunan dari Kasunyatan, Kanari, Labuan, Cimanuk (termasuk daerah Muruy
dan Menes), dan Tirtayasa merupakan masyarakat yang berhak menyandang gelar
tubagus dan ratu.25
Selain yang bergelar tubagus dan ratu, ada juga bangsawan yang bergelar
raden. Berdasarkan keterangan salah seorang tokoh perempuan Lebak, gelar
kebangsawan ini diturunkan dari kaum bangsawan yang berasal dari Priangan.
Gelar kebangsawanan ini ada disandang secara turun temurun, namun ada juga
yang diberikan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Gelar kebangsawanan yang
diberikan oleh Pemerintah Hindia Belanda biasanya bernama Sastrawiguna atau
Sastranegara.26
Selain itu, gelar raden pun merupakan ciri sekelompok masyarakat yang
memiliki hubungan darah dengan penguasa Raja Sunda. Gelar kebangsawanan ini
dianugrahkan oleh Sultan Banten kepada keturunan Raja Sunda yang
mengabdikan dirinya kepada penguasa Banten. Dalam salah satu sumber
diceritakan bahwa salah seorang putra Puun Cikertawana yang bernama Wirasuta
menyatakan diri masuk Islam dan mengabdikan dirinya kepada Sultan Ageng
Tirtayasa. Setelah mengetahui bahwa Wirasuta merupakan keturunan Prabu
Pajajaran, Sultan Ageng kemudian mengangkatnya menjadi hulubalang dalam
pasukan perang Kesultanan Banten dan dianugrahi gelar kebangsawanan raden
adipati aria. Seiring dengan itu, nama Wirasuta kemudian diubah menjadi R. A. A.
Akmaldiningrat. Ia meninggal dunia ketika sedang menumpas pemberontakan di
Lampung dan oleh sultan dianugrahi gelar anumerta Pangeran Astapati. 27
Selain itu, terdapat juga kelompok masyarakat yang menempati golongan
bangsawan rendah. Biasanya mereka menyandang gelar entol. Gelar
kebangsawanan ini disandang oleh mereka yang menjadi keturunan Ajar Djo.
Menurut cerita tradisi, Ajar Djo merupakan salah seorang hulubalang pasukan
perang Prabu Pucuk Umun. Bersama-sama dengan saudara kandungnya yang
bernama Ajar Djong, mereka menyatakan diri menganut agama Islam dan menjadi
pengikut setia Maulana Hasanudin. Oleh karena pengabdiannya itu, Maulana
Hasanudin memberikan gelar kepada mereka sehingga namanya berubah menjadi
Ki Mas Djo dan Ki Mas Djong. Pada masa kekuasaan Maulana Hasanudin, Ki
Mas Djo menjadi ulama dan umara sekaligus. Kelak di kemudian hari, keturunan
Ki Mas Djo ini dapat diketahui dari gelar yang mereka pakai yakni entol dan
menyebar ke seluruh wilayah Banten.28
Pada abad ke-19, stratifikasi masyarakat Lebak terbagi atas dua lapisan,
yaitu golongan elite dan golongan rakyat biasa. Golongan elite terdiri atas kaum
ulama, pamong praja, dan kaum jawara. Bagi masyarakat Lebak, ulama
dipandang sebagai tokoh masyarakat yang menjadi sumber kepemimpinan
informal terpenting. Masyarakat mematuhi perintah ulama karena memandang
kaum ulama sebagai sosok yang disegani. Berbeda dengan kedudukan ulama,
pamong praja dan jawara merupakan kelompok sosial yang kedudukannya
tidaklah melibihi kedudukan kaum ulama. Pamong praja merupakan aparat
pemegang kekuasaan formal yang kadang-kadang lebih membela kepentingan
penguasa daripada rakyatnya. Mereka memiliki senjata untuk memaksa rakyatnya
tunduk atas keinginannya. Hal yang sama diperlihatkan oleh kelompok jawara.
Oleh karena itu, rakyat menjadi patuh baik kepada pamong praja maupun jawara.
Akan tetapi, kepatuhan itu tidaklah didasarkan pada keseganan terhadap
kharismanya, melainkan karena adanya rasa takut di kalangan rakyat.29
Terdapat juga sekelompok masyarakat yang memandang lembaga
kaolotan sebagai kelompok elite masyarakat Lebak. Mayoritas masyarakat Lebak
sangat menghormati dan menjaga nama baik para olot, karena dipandang sebagai
orang yang memiliki kelebihan. Saat ini, di Kabupaten Lebak terdapat beberapa
kaolotan, di antaranya Bayah, Cisungsang, Cisitu, Cicarucub, dan Citorek.30

C. Perekonomian
Tidak diketahui secara pasti mata pencaharian masyarakat Lebak pada
masa Kesultanan Banten karena kurangnya sumber sejarah yang
menginformasikan hal tersebut. Berladang sepertinya menjadi mata pencaharian
yang dikenal umum oleh masyarakat Lebak, baik semasa kekuasaan Kerajaan
Sunda maupun Kesultanan Banten. Dalam naskah Sanghyang Siksakanda ng
Karesian diberitakan bahwa tiga dari lima orang titisan pancakusika (lima orang
resi murid Siwa dalam mitologi Hindu) menjelma menjadi seorang pahuma
(peladang), panggerek (pemburu), dan panyadap (penyadap). Ketiga istilah
tersebut jelas hanya dikenal dalam sistem ladang. Demikian juga dengan alat-alat
yang digunakan oleh ketiganya sangat berkaitan dengan ladang. Kujang, patik,
baliung, kored, dan sadap merupakan alat-alat untuk bekerja di ladang.31 Carita
Parahyangan memang menyebut satu kali istilah sawah, namun istilah tersebut
berkaitan dengan nama suatu daerah tempat dipusarakannya Ratu Dewata.32
Dengan demikian, besar kemungkinan masyarakat Lebak belum mengenal sawah
sehingga bisa jadi petani-sawah belum menjadi sebuah mata pencaharian.
Persawahan baru diperkenalkan oleh Maulana Yusuf dalam rangka meletakkan
dasar-dasar pembangunan Banten.33 Maulana Yusuf mendorong rakyatnya untuk
membuka daerah-daerah baru bagi persawahan, tetapi tidak diketahui sejak kapan
sistem persawahan ini dikenal oleh masyarakat Lebak.

Anda mungkin juga menyukai