Anda di halaman 1dari 18

KONSEP DASAR ANESTESIOLOGI DAN TINJAUAN KASUS ANESTESI

KONSEP TEORI ANESTESI

A. PENGERTIAN ANESTESI
Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an-"tidak, tanpa" dan aesthētos,"persepsi,
kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika
melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh.
Anastesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasri berbagai tindakan meliputi
pemberian anastesi maupun analgetik, pengawasan keselamatan pasien di operasi maupun tindakan
lainnya, bantuan hidup (resusitasi), perawatan intensif pasien gawat, pemberian terapi inhalasi dan
penanggulangan nyeri menahun.
B. SKALA RESIKO “ASA”
“American Society of Anaesthesiologists” (ASA) menetapkan sistem penilaian yang membagi
status fisik penderita ke dalam lima kelompok.
Golongan Status Fisik
Tidak ada gangguan organic, biokimia dan psikiatri, misalnya penderita
I dengan hernia inguinalis tanpa kelainan lain, orang tua sehat dan bayi
muda yang sehat.
Gangguan sistemik ringan sampai sedang yang bukan disebabkan oleh
penyakit yang akan dibedah, misalnya penderita dengan obesitas,
II
penderita bronchitis dan penderita DM ringan yang akan menjalani
apendektomi
Penyakit sistemik berat, misalnya penderita DM dengan komplikasi
III
pembuluh darah dan datang dengan appendicitis akut
Penyakit gangguan sistemik berat yang membahayakan jiwa yang tidak
IV selalu dapat diperbaiki dengan pembedahan, missal insufisiensi koroner
atau MCI
Keadaan terminal dengan kemungkinan hidup kecil, pembedahan
V dilakukan sebagai pilihan terakhir, missal penderita syok berat karena
perdarahan akibat kehamilan di luar uterus yang pecah.

C. PEMBAGIAN ANASTESI
1. ANASTESI UMUM
Adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri/sakit secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan dapat
pulih kembali (reversible). Komponen trias anastesi ideal terdiri dari hipnotik, analgesia dan relaksasi
otot.
Cara pemberian anastesi umum:
a. Parenteral (intramuscular/intravena)
Digunakan untuk tindakan yang singkat atau induksi anastesi.
b. Perektal
Dapat dipakai pada anak untuk induksi anastesi atau tindakan singkat.
c. Anastesi Inhalasi
Yaitu anastesi dengan menggunakan gas atau cairan anastesi yang mudah menguap
(volatile agent) sebagai zat anestetik melalui udara pernapasan. Zat anestetik yang digunakan
berupa campuran gas (denganO 2 ) dankonsentrasi zat anestetik tersebut tergantung dari
tekanan parsialnya.
Stadium Anestesi
Guedel (1920) membagi anestesi umum dengan eter dalam 4 stadium (stadium III dibagi
menjadi 4 plana), yaitu:
a. Stadium I
Stadium I (analgesi) dimulai dari saat pemberian zat anestetik sampaihilangnya kesadaran.
Pada stadium ini pasien masih dapat mengikuti perintah dan terdapat analgesi (hilangnya rasa
sakit). Tindakan pembedahan ringan, seperti pencabutan gigi dan biopsi kelenjar dapat dilakukan
pada stadium ini
b. Stadium II
Stadium II (delirium/eksitasi, hiperrefleksi) dimulai dari hilangnya kesadaran dan refleks
bulu mata sampai pernapasan kembali teratur.
c. Stadium III
Stadium III (pembedahan) dimulai dengan tcraturnya pernapasan sampai pernapasan spontan
hilang. Stadium I I I dibagi menjadi 4 plana yaitu:
1) Plana 1 : Pernapasan teratur, spontan, dada dan perut seimbang, terjadi gerakan bola
mata yang tidak menurut kehendak, pupil midriasis, refleks cahaya ada, lakrimasi
meningkat, refleks faring dan muntah tidak ada, dan belum tercapai relaksasi otot lurik
yang sempurna. (tonus otot mulaimenurun).
2) Plana 2 : Pernapasan teratur, spontan, perut-dada, volume tidak menurun, frekuensi
meningkat, bola mata tidak bergerak, terfiksasi di tengah, pupil midriasis, refleks cahaya
mulai menurun, relaksasi otot sedang, dan refleks laring hilang sehingga dikerjakan
intubasi.
3) Plana 3 : Pernapasan teratur oleh perut karena otot interkostal mulai paralisis, lakrimasi
tidak ada, pupil midriasis dan sentral, refleks laring dan peritoneum tidak ada, relaksasi
otot lurik hampir sempuma (tonus otot semakin menurun).
4) Plana 4 : Pernapasan tidak teratur oleh perut karena otot interkostalparalisis total, pupil
sangat midriasis, refleks cahaya hilang, refleks sfmgter ani dan kelenjar air mata tidak
ada, relaksasi otot lurik sempuma (tonus otot sangat menurun).
d. Stadium IV
Stadium IV (paralisis medula oblongata) dimulai dengan melemahnya pernapasan perut
dibanding stadium III plana 4. pada stadium ini tekanan darah tak dapat diukur, denyut
jantung berhenti, dan akhirnya terjadi kematian. Kelumpuhan pernapasan pada stadium ini
tidak dapat diatasi dengan pernapasan buatan.
Obat-obat anestesi umum
a. Tiopenthal :
1) Bubuk berbau belerang, berwarna kuning, dalam ampul 500/1000 mg. Dilarutkan
dengan aquades sampai konsentrasi 2,5%. Dosis 3-7 mg/kgBB.
2) Melindungi otak oleh karena kekurangan O2.
3) Sangat alkalis, nyeri hebat dan vasokonstriksi bila disuntikkan ke arteri yang
menyebabkan nekrosis jaringan sekitar.
b. Propofol:
1) Dalam emulsi lemak berwarna putih susu, isotonic, dengan kepekatan 1%. Dosis induksi
2-2,5 mg/kgBB, rumatan 4-12mg/kgBB/jam, sedasi perawatan intensif 0,2mg/kgBB.
Pengenceran hanya dengan Dextrosa 5%.
2) Dosis dikurangi pada manula, dan tidak dianjurkan pada anak dibawah 3 thn dan ibu
hamil.
c. Ketamin:
1) Kurang disenangi karena sering takikardi, HT, hipersalivasi, nyeri kepala. Paska
anestesi mual, muntah, pandangan kabur dan mimpi buruk. Dosis bolus iv 1-2mg/kgBB,
im 3-10mg/kgBB.
2) Dikemas dalam cairan bening kepekatan 5%, 10%, 1%.
d. Opioid:
1) Diberikan dosis tinggi, tak menggangu kardiovaskular, sehingga banyak digunakan
untuk pasien dengan kelainan jantung.
2) Untuk induksi dosis 20-50mg/kgBB, rumatan dosis 0,3-1 mg/kgBB/mnt.
Untuk memberikan cairan dalam waktu singkat dapat digunakan vena-vena di punggung
tangan, di dalam pergelangan tangan, lengan bawah atau daerah kubiti. Pada anak kecil dan bayi
digunakan punggung kaki, depan mata kaki atau di kepala. Bayi bari lahir digunakan vena
umbilikus.
2. ANASTESI LOKAL/REGIONAL
Adalah tindakan menghilangkan nyeri/sakit secara lokal tanpa disertai hilangmya kesadaran.
Pemberian anestetik lokal dapat dengan tekhnik:
a. Anastesi Permukaan
Yaitu pengolesan atu penyemprotan analgetik lokal diatas selaput mukosa, seperti mata,
hidung atau faring.
b. Anastesi Infiltrasi
Yaitu penyuntikan larutan analgetik lokal langsung diarahkan disekitar tempat lesi, luka
dan insisi.
c. Anastesi Blok
Penyuntikan analgetik lokal langsung ke saraf utama atau pleksus saraf. Hal ini bervariasi dari
blokade pada saraf tunggal, misal saraf oksipital dan pleksus brachialis, anastesi spinal,
anastesi epidural, dan anestesi
kaudal. Padaanestesi spinal, anestesi lokal disuntikkan ke ruang subarakhnoid.
1) Anastesi Spinal
Anestesi spinal merupakan tipe blok konduksi saraf yang luas dengan
memasukkan anestesi local dalam rung subarachnoid di tingkat lumbal (biasanya L4 dan
L5). Cara ini menghasilkan anesthesia pada ekstermitas bawah, perenium dan abdomen
bawah. Untuk prosedur fungsi lumbal, pasien dibaringkan miring dalam posisi lutut-dada.
Teknik steril diterapkan saat melakukan fungsi lumbal dan medikasi disuntikkan melalui
jarum. Segera setelah penyuntikan, pasien dibaringkan terlentang. Jika diinginkan tingkat
blok yang secara relative tinggi, maka kepala dan bahu pasien diletakkan lebih rendah.
Penyebab agens anastetik dan tingkat anesthesia bergantung pada jumlah cairan
yang disuntikkan, posisi pasie setelah penyuntikan, dan berat jenis agens. Jika berat jenis
agens lebih berat dari berat jenis cairan serebrospinal (CSS), agens akan bergerak keposisi
dependen spasium subarachnoid, jika berat jenis agens anastetik lebih kecil dadri CSS,
maka anasteti akan bergerak menjauh bagian dependen. Perbatasan ini dikendalikan oleh
ahli anestesi. Secara umum, agens yang digunakan adalah prokain, tetrakain (Pontocaine),
dan lidokain (Xylokain).
Dalam beberapa menit, anestesia dan paralisis mempengaruhi jari-jari kaki dan
perineum dan kemudian secara bertahap mempengaruhi tungkai dan abdomen. Jika
anestetik mencapai toraks bagian atas dan medulla spinalis dalam konsentrasi yang tinggi,
dapat terjadi paralisis respiratori temporer, parsial atau komplit. Paralisis oto-otot
pernapasan diatasi dengan mempertahankan respirasi artificial sampai efek anestetik pada
saraf respiratori menghilang. Mual, muntah dan nyeri dapat terjadi selama pembedahan
ketika digunakan anestesia spinal. Sebagai aturan, reaksi ini terjadi akibat traksi pada
berbagai struktur, terutama pada struktur di dalam rongga abdomen. Reaksi tersebut dapat
dihindari dengan pemberian intarvena secara simultan larutan teopental lemah dan inhalasi
oksida nitrat.
Indikasi
Anestesi spinal dapat diberikan pada tindakan yang melibatkan tungkai bawah,
panggul, dan perineum. Anestesi ini juga digunakan pada keadaan khusus seperti bedah
endoskopi, urologi, bedah rectum, perbaikan fraktur tulang panggul, bedah obstetric, dan
bedah anak. Anestesi spinal pada bayi dan anak kecil dilakukan setelah bayi ditidurkan
dengan anestesi umum.
Kontraindikasi
Kontraindikasi mutlak meliputi infeksi kulit pada tempat dilakukan pungsi lumbal,
bakteremia, hipovolemia berat (syok), koagulopati, dan peningkatan tekanan intracranial.
Kontraindikasi relatf meliputi neuropati, prior spine surgery, nyeri punggung, penggunaan
obat-obatan preoperasi golongan AINS, heparin subkutan dosis rendah, dan pasien yang
tidak stabil, serta a resistant surgeon.
Persiapan Pasien
Pasien sebelumnya diberi informasi tentang tindakan ini (informed concernt)
meliputi pentingnya tindakan ini dan komplikasi yang mungkin terjadi.
Pemeriksaan fisik dilakukan meliputi daerah kulit tempat penyuntikan untuk
menyingkirkan adanya kontraindikasi seperti infeksi. Perhatikan juga adanya scoliosis atau
kifosis. Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan adalah penilaian hematokrit. Masa
protrombin (PT) dan masa tromboplastin parsial (PTT) dilakukan bila diduga terdapat
gangguan pembekuan darah.
Perlengkapan
Tindakan anestesi spinal harus diberikan dengan persiapan perlengkapan operasi
yang lengkap untuk monitor pasien, pemberian anestesi umum, dan tindakan resusitasi.
Jarum spinal dan obat anestetik spinal disiapkan. Jarum spinal memiliki
permukaan yang rata dengan stilet di dalam lumennya dan ukuran 16G sampai dengan 30G.
obat anestetik lokal yang digunakan adalah prokain, tetrakain, lidokain, atau bupivakain.
Berat jenis obat anestetik lokal mempengaruhi aliran obat dan perluasan daerah teranestesi.
Pada anestesi spinal jika berat jenis obat lebih besar dari berat jenis CSS (hiperbarik), maka
akan terjadi perpindahan obat ke dasar akibat gravitasi. Jika lebih kecil (hipobarik), obat
akan berpindah dari area penyuntikan ke atas. Bila sama (isobarik), obat akan berada di
tingkat yang sama di tempat penyuntikan. Pada suhu 37oC cairan serebrospinal memiliki
berat jenis 1,003-1,008.
Perlengkapan lain berupa kain kasa steril, povidon iodine, alcohol, dan duk steril
juga harus disiapkan. Jarum spinal. Dikenal 2 macam jarum spinal, yaitu jenis yang
ujungnya runcing seperti ujung bamboo runcing (Quincke-Babcock atau Greene) dan jenis
yang ujungnya seperti ujung pensil (whitacre). Ujung pensil banyak digunakan karena
jarang menyebabkan nyeri kepala pasca penyuntikan spinal.
Teknik Anestesi Spinal
Berikut langkah-langkah dalam melakukan anestesi spinal, antara lain:
1. Posisi pasien duduk atau dekubitus lateral. Posisi duduk merupakan posisi termudah
untuk tindakan punksi lumbal. Pasien duduk di tepi meja operasi dengan kaki pada
kursi, bersandar ke depan dengan tangan menyilang di depan. Pada posisi dekubitus
lateral pasien tidur berbaring dengan salah satu sisi tubuh berada di meja operasi.
2. Posisi permukaan jarum spinal ditentukan kembali, yaitu di daerah antara vertebrata
lumbalis (interlumbal).
3. Lakukan tindakan asepsis dan antisepsis kulit daerah punggung pasien.
4. Lakukan penyuntikan jarum spinal di tempat penusukan pada bidang medial dengan
sudut 10o-30o terhadap bidang horizontal ke arah cranial. Jarum lumbal akan
menembus ligamentum supraspinosum, ligamentum interspinosum, ligamentum
flavum, lapisan duramater, dan lapisan subaraknoid.
5. Cabut stilet lalu cairan serebrospinal akan menetes keluar.
6. Suntikkan obat anestetik local yang telah disiapkan ke dalam ruang
subaraknoid. Kadang-kadang untuk memperlama kerja obat ditambahkan
vasokonstriktor seperti adrenalin.
Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi adalah hipotensi, nyeri saat penyuntikan, nyeri
punggung, sakit kepala, retensio urine, meningitis, cedera pembuluh darah dan saraf, serta
anestesi spinal total.
Pengkajian keperawatan yang dilakukan setelah anestesia spinal, selain memantau
tekanan darah, perawat perlu mengobservasi pesien dengan cermat dan mencatat waktu
saat perjalanan sensasi kaki dan jari kembali. Jika sensasi pada jari kaki telah kembali
sepenuhnya, pasien dapat dipertimbangkan telah pulih dari efek anestetik spinal.
2) Blok Epidural
Anestesia epidural dicapai dengan menyuntikkan anestetik local ke dalam kanalis
spinalis dalam spasium sekeliling durameter. Anestesia epidural memblok fungsi sensori,
motor dan otonomik yang mirip, tetapi tempat injeksinya yang membedakannya dari
anestesi spinal. Dosis epidural lebih besar disbanding dosis yang diberikan selama anestesi
spinal karena anestesi epidural tidak membuat kontak langsung dengan medulla atau radiks
saraf. Keuntungan dari anestesi epidural adalah tidak adanya sakit kepala yang kadang
disebabkan oleh penyuntikan subarachnoid. Kerugiannya adalah memiliki tantangan
teknik yang lebih besar dalam memasukkan anestetik ke dalam epidural dan bukan ke
dalam spasium subarachnoid. Jika terjadi penyuntikan subarachnoid secarA tidak sengaja
selama anestesi epidural dan anestetik menjalar ke arah kepala, akan terjadi anestesia
spinal “tinggi”. Anestesia spinal tinggi dapat menyebabkan hipotensi berat dan depresi atau
henti napas. Pengobatan untuk komplikasi ini adalah dukungan jalan napas, cairan
intravena, dan penggunaan vasopresor.
3) Blok Pleksus Brakialis
Blok pleksus brakialis menyebabkan anestesia pada lengan.
4) Anestesia Paravertebral
Anestesia paravertebral menyebabkan anestesia pada saraf yang mempersarafi dada,
dindind abdomen dan ekstremitas.
5) Blok Transakral (Kaudal)
Blok transakral menyebabkan anestesia pada perineum dan kadang abdomen bawah.
d. Anastesi Regional Intravena
Yaitu penyuntikan larutan analgetik lokal. Ekstremitas dieksanguinasi dan diisolasi bagian
proksimalnya dari sirkulasi sistemik dengan torniquet pneumatik.
D. OBAT PREMEDIKASI
Pemberian obat premedikasi bertujuan untuk:
1. Menimbulkan rasa nyaman pada pasien (menghilangkan kekhawatiran, memberikan
ketenangan, membuat amnesia, memberikan analgesi).
2. Memudahkan/memperlancar induksi, rumatan, dan sadar dari anastesi.
3. Mengurangi jumlah obat-obatan anastesi.
4. Mengurangi timbulnya hipersalivasi, bradikardi, mual dan muntah pascaanastesi.
5. Mengurangi stres fisiologis (takikardi, napas cepat, dan lain-lain).
6. Mengurangi keasaman lambung.
Obat-obat yang dapat diberikan sebagai premedikasi pada tindakan anestesi adalah sebagai berikut:
1. Analgetik narkotik
a. Morfin
Dosis premedikasi dewasa 5-10 mg (0,1-0,2 mg/kg BB) intramuskular diberikan untuk mengurangi
kecemasan dan ketegangan pasien menjelang operasi, menghindari takipnu pada pemberian
trikloroetilen, dan agar anestesi berjalan dengan tenang dan dalam. Kerugiannya adalah terjadi
perpanjangan waktu pemulihan, timbul spasme serta kolik biliaris dan ureter.
b. Petidin
Dosis premedikasi dewasa 50-75 mg (1-1,5 mg/kg BB) intravena diberikan untuk menekan
tekanan darah dan pernafasan serta merangsang otol polos. Dosis induksi 1-2 mg/kg BB
intravena.
2. Barbiturat
Penobarbital dan sekobarbital). Diberikan untuk menimbulkan sedasi. Dosis dewasa 100-200
mg, pada anak dan bayi 1 mg/kg BB secara oral atau intramuslcular.
3. Antikolinergik
Atropin. Diberikan untuk mencegah hipersekresi kelenjar ludah dan dan bronkus selama 90 menit.
Dosis 0,4-0,6 mg intramuskular bekerja setelah 10-15 menit.
4. Obat penenang (tranquillizer)
a. Diazepam
Diazepam (valium) merupakan golongan benzodiazepin. Dosis premedikasi dewasa 10 mg
intramuskular atau 5-10 mg oral (0,2-0,5 mg/kgBB) dengan dosis maksimal 15 mg. Dosis
sedasi pada analgesi regional 5-10 mg (0,04-0,2mg/kgBB) intravena. Dosis induksi 0,2-1
mg/kg BB intravena.
b. Midazolam
Mempunyai awal dan lama kerja lebih pendek dibandingkan dengan diazepam.
E. OBAT PELUMPUH OTOT
Obat golongan ini menghambat transmisi neuromuskular sehinggamenimbulkan kelumpuhan
pada otot rangka. Menurut mekanisme kerjanya obat ini dibagi menjadi 2 golongan, yaitu obat
penghambat secara depolarisasi resisten dan obat penghambat kompetitif atau nondepolarisasi. Pada
anestesi umum, obat ini memudahkan dan mengurangi cedera tindakan laringoskopi dan intubasi
trakhea, sertamemberi relaksasi otot yang dibutuhkan dalam pembedahan dan ventilasi kendali.
Perbedaan Obat Pelumpuh Otot Depolarisasi dan Nondepolarisasi
Depolarisasi Nondepolarisasi
Ada vasikulasi otot Tidak ada vasikulasi otot
Berpotensiasi dengan antikolinesterase Berpontisiasi dengan hipokalemia, hipotermia,
obat anestetik inhalasi, eter, halotan, enfluran dan
isofluran
Tidak menunjukkan kelumpuhan yangbertahap Menunjukkan kelumpuhan yangbertahap pada
pada perangsangan tunggalatau tetanik perangsangan tunggal atautetanik
Belum dapat diatasi dengan obatspesifik Dapat diantagonis oleh antikolinesterase
Kelumpuhan berkurang denganpemberian
obat pelumpuh ototnondepolarisasi dan asidosis

1. Obat Pelumpuh Otot Nondepolarisasi


Pavulon (pankuronium bromida). Dosis awal untuk relaksasi otot 0,008 mg/kgBB intravena pada
dewasa. Dosis rumatan setengah dosis awal. Dosis intubasi trakhea 0,15 mg/kgBB intravena.
Trakrium (atrakurium besilat). Keunggulannya adalah metabolisme terjadi di dalam darah,
tidak tergantung pada fungsi hati dan ginjal. Dosis intubasi 0,5-0,6 mg/kgBB intravena. Dosis
relaksasi otot 0,5-0,6 mg/kgBB intravena. Dosis rumatan 0,1-0,2 mg/kgBB intravena.
Vekuronium (norkuron).
Rokuronium. Dosis intubasi 0,3-0,6 mg/kgBB. Dosis rumalan 0,1-2 mg/kgBB.
2. Obat Pelumpuh Otot Depolarisasi
Suksametonium (suksinil kolin). Mula kerja 1-2 menit dan lama kerja 3-5 menit. Dosis intubasi 1-
1,5 mg/kgBB intravena.
3. Antagonis Pelumpuh Otot Nondepolarisasi
Prostigmin (neostigmin metilsulfat). Prostigmin mempunyai efek nikotik, muskarinik, dan
merupakan stimulan otot langsung. Dosis 0,5 mg bertahap sampai 5 mg, biasa diberikan bersama
atropin dosis 1- 1,5mg.
F. OBAT ANESTES1 INHALASI
Zat Untung Rugi
N2O Analgesik kuat, baunya manis, tidak Jarang digunakan tunggal, harus disertai
iritasi, tidak terbakar. O2 minimal 25%, anestetik lemah,
memudahkan hipoksia difusi.
Halotan Baunya enak. Tidak merangsang jalan Vasodilator serebral, meningkatkan aliran
nafas, anestesi kuat darah otak yang sulit dikendalikan,
analgesik lemah.
Kelebihan dosis akan menyebabkan depresi
nafas, menurunnya tonus simpatis,
hipotensi, bradikardi, vasodilator perifer,
depresi vasomotor, depresi miokard.
Kontraindikasi gangguan hepar. Paska
pemberian menyebabkan menggigil.
Enfluran Induksi dan pemulihan lebih cepat dari Pada EEG, menunjukkan kondisi epileptik.
halotan. Efek relaksasi terhadap otot Depresi nafas, iritatif, depresi sirkulasi.
lebih baik
Isofluran Menurunkan laju meta-bolisme otak Meninggikan aliran darak otak dan TIK.
terhadap O2
Desfluran Sangat mudah menguap, potensi rendah.
Simpatomimetik, depresi nafas, me-
rangsang jalan nafas atas.
Sevofluran Bau tidak menyengat, tidak
merangsang jalan nafas,
kardiovaskular stabil
G. OBAT ANESTESI INTRAVENA
1. Natrium Tiopental (tiopental, pentotal)
2. Ketamin
3. Droperidol
4. Diprivan
H. OBAT ANESTESI REGIONAL/LOKAL
Obat anestesi regional/lokal adalah obat yang menghambat hantaran saraf bila dikenakan
secara lokal. Anestesi lokal ideal adalah yang tidak mengiritasi atau merusak jaringan secara permanen,
batas keamanan lebar, mula kerja singkat, masa kerja cukup lama, larut dalam air, stabil dalam
larutan, dapat disterilkan tanpa mengalami perubahan, dan efeknya reversibel. Obat anestesianya
yaitu lidokain dan bupivikain.
I. POSISI PASIEN DI MEJA OPERASI
Posisi pasien di meja operasi bergantung pada prosedur operasi yang akan dilakukan juga pada
kondisi fisik pasien. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut :
1. Pasien harus dalam posisi senyaman mungkin, apakah ia tetidur atau sadar.
2. Area operatif harus terpajan secara adekuat.
3. Pasokan vascular tidak boleh terbendung akibat posisi yang salah.
4. Pernapasan pasien harus bebas dar gangguan tekanan lengan pada dada atau konstriksi pada
leher dan dada yang disebabkan oleh gaun.
5. Saraf harus dilindungi dari tekanan yang tidak perlu. Pengaturan posisi lengan, tangan, tungkai,
atau kaki yang tidak tepat dapat mengakibatkan cedera serius atau paralisis. Bidang bahu harus
tersangga dengan baik untuk mencegah cedera saraf yang tidak dapat diperbaiki, terutama jika
posisi Trendelenburg diperlukan.
6. Tindak kewaspadaan untuk keselamatan pasien harus diobservasi, terutama pada pasien kurus,
lansia atau obes.
7. Pasien membutuhkan restrain tidak keras sebelum induksi, untuk berjaga-jaga bila pasien
melawan
Posisi pasien di meja operasi:
1. Posisi Dorsal Rekumben
Posisi lazim untuk pembedahan adalah terlentang dasar; satu lengan di sisi tubuh, dengan telapak
tangan tertelungkup; tangan satunya diposisikan di atas sebuah papan lengan untuk infuse
intravena. Posisi ini kebanyakan digunakan pada bedah abdomen, kecuali untuk bedah kandung
empedu dan pelvis.
2. Posisi Trendelenberg
Posisi ini biasanya digunakan untuk pembedahan abdomen bawah dan pelvis untuk mendapat
pajanan area operasi yang baik dengan mengeser intestine ke dalam abdomen atas. Dalam posisi
ini kepala dan badan lebih rendah dan lutut dalam keadaan fleksi.
3. Posisi Litotomi
Dalam posisi litotomi, pasien terlentang dengan tungkai dan paha fleksi dengan sudut yang tepat.
Posisi ini dipertahankan dengan menempatkan telapak kaki pada pijakan kaki. Posisi ini digunakan
pada pembedahan perineal, rectal dan vaginal.
4. Untuk Bedah Ginjal
Pasien dibaringkan miring pada sisi tubuh yang tidak dioperasi dalam posisi Sims menggunakan
bantal udara dengan ketebalan 12,5 cm samapai 15 cm di bawah pinggang, atau di atas meja dengan
ginjal dan punggung di atas.
5. Untuk Bedah Dada dan Abdominotorakik
Posisi yang dibutuhkan beragam sesuai dengan pembedahan yang akan dilakukan. Ahli bedah dan
ahli anestesi membaringkan pasien dalam posisi yang diinginkan.
6. Pembedahan pada Leher
Bedah leher, misalnya bedah tiroid, dilakukan dengan pasien dalam posisi terlentang, leher ekstensi
menggunakan bantal yang diletakkan dibawah bahu, dan kepala serta dada ditinggikan untuyk
mengurangi aliran balik vena.
7. Pembedahan pada Tulang Tengkorak dan Otak
Prosedur ini membutuhkan posisi dan peralatan khusus, biasanya diataur oleh ahli bedah.
J. PERALATAN
Mesin anestesi merupakan peralatan anestesi yang sering digunakan. Secara umum mesin
anestesi terdiri dari tiga komponen yang saling berhubungan yaitu:
1. Komponen 1: sumber gas, penunjuk aliran gas (flow meter),dan alat penguap(vaporizer).
2. Komponen 2: sistem napas, yang terdiri dari sistem lingkar dan
sistem Magill.
3. Komponen 3: alat yang menghubungkan sistem napas dengan
pasien yaitu sungkup muka (face mask), pipa endotrakhea
(endotrakheal tube).
K. TAHAPAN
1. Persipan Praanestesi
Keadaan fisis pasien telah dinilai sebelumnya. Dilakukan penilaian praoperasi. Keadaan
hidrasi pasien dinilai, akses intravena dipasang untuk pemberian cairan infus, transfusi dan obat-
obatan. Dilakukan pemantauan elektrografi, tekanan darah, saturasi Cb, kadar CO2 dalam darah
(kapnograf), dan tekanan vena sentral (CVP).Premedikasi dapat diberikan. oral, rektal,
intramuskular, atau intravena.
2. Induksi Anestesi
Pasien diusahakan tenang dan diberikan O2 melalui sungkup muka. Obat-obat induksi
diberikan secara intravena seperti tipental, ketamin, diazepam, midazolam, dan profol. Jalan napas
dikontrol dengan sungkup muka atau napas orofaring/nasofaring. Setelah itu dilakukan intubasi
trakhea. Setelah kedalaman anestesi tercapai, posisi pasien disesuaikan.
3. Rumatan Anestesi
Selama operasi berlangsung dilakukan pemantauan anestesi. Hal-hal yang dipantau
adalah fungsi vital (pernapasan, tekanan darah, nadi, dan kedalaman anestesi, misalnya adanya
gerakan, batuk, mengedan, perubahan pola napas, takikardi, hipertensi, keringat, air mata,
midriasis.
Ventilasi pada anestesi umum dapat secara spontan, bantu, atau kendali tergantung jenis,
lama, dan posisi operasi. Cairan infus diberikan dengan memperhitungkan kebutuhan puasa,
rumatan, perdarahan, evaporasi, dan lain-lain
Selama pasien dalam anestesi dilakukan pemantauan frekuensi nadi dan tekanan darah.
Peningkatan tekanan darah dan dan frekuensi nadi terjadi bila anestesi kurang dalam. Hal ini
disebabkan karena terjadi sekresi adrenalin. Diatasi dengan membuat anestesi lebih dalam, yaitu
dengan meningkatkan konsentrasi halotan atau suntikan barbiturat. Penurunan tekanan darah dan
nadi halus sebagaitanda syok dapat disebabkan karena kehilangan banyak darah. Hal ini diatasi
dengan pemberian cairan pengganti plasma atau darah. Penurunan tekanan darah dan frekuensi nadi
dapat disebabkan karena anestesi terlalu dalam atau terlalu ringan serta kehilangan banyak darah
atau cairan. Peningkatan tekanan darah dan tekanan nadi serta penurunan frekuensi nadi disebabkan
transfusi yang berlebihan.Diatasi dengan penghentian transfusi.
4. Pemulihan Pasca-Anestesi
Setelah operasi selesai pasien dibawa ke ruang pemulihan (recovery room)atau keruang
perawatan intensif (bila ada indikasi). Secara umum, ekstubasi terbaik dilakukan pada saat pasien
dalam anestesi ringan atau sadar. Di ruang pemulihan dilakukan pemantauan keadaan
umum, kesadaran, tekanan darah, nadi, pemapasan, suhu, sensibilitas nyeri, perdarahan dari drain,
dan lain-lain
Kriteria yang digunakan dan umumnya yang dinilai adalah warna kulit, kesadaran,
sirkulasi, pemapasan dan aktivitas motorik, seperti Skor Aldrette. Idealnya pasien baru boleh
dikeluarkan bila jumlah skor total adalah 10. namun bila skor total telah diatas 8 pasien boleh
dipindahkan dari ruang pemulihan.
Skor Pemulihan Pasca-Anestesi

Penilaian Nilai
Merah muda 2
Warna Pucat 1
Sianotik 0
Dapat bernafas dalam dan batuk 2
Pernapasan Dangkal namun pertukaran udara adekuat 1
Apnea atau obstruksi 0
Tekanan darah menyimpang <20%> 2
Sirkulasi Tekanan darah menyimpang 20-50% dari normal 1
Tekanan darah menyimpang >50% dari normal 0
Sadar, siaga, dan orientasi 2
Kesadaran Bangun namun cepat kembali tertidur 1
Tidak berespon 0
Seluruh ekstremitas dapat digerakkan 2
Aktivitas Dua ekstremitas dapat digerakkan 1
Tidak bergerak 0

L. INTUBASI TRAKEA
Intubasi trakea adalah tindakan memasukkan pipa endotrakeal ke dalam trakea sehingga
jalan napas bebas hambatan dan napas mudah dibantu atau dikendalikan. Ekstubasi trakea adalah
tindakan pengeluaran pipa endotrakeal.
a. Tujuan
Pembersihan saluran trakeobronkial, mempertahankan jalan napas agar tetap paten,
mencegah aspirasi, serta mempermudah pemberian ventilasi dan oksigenisasi.
b. Indikasi
Tindakan resusitasi, tindakan anestesi, pemeliharaan jalan napas, dan pemberian
ventilasi mekanis jangka panjang.
c. Peralatan
Sebelum mengerjakan intubasi trakea, dapat diingat kata STATICS
S : scope, laringioskop dan stetoskop
T : tubes, pipa endotrakeal
A : airway tubes, pipa orofaring/nasofaring
T : tape, plester
I : introducer, stilet, mandrin
C: connector, sambungan-sambungan
S : suction, penghisap lendir
d. Komplikasi
a. Komplikasi tindakan laringioskopi dan intubasi:
1) Malposisi: intubasi esofagus, intubasi endobronkial,
malposisi laryngeal cuff.
2) Trauma jalan napas: kerusakan gigi, laserasi bibir, lidah,
atau mukosa mulut, cedera tenggorokan, dislokasi
mandibula, dan diseksi retrofangeal.
3) Gangguan refleks: hipertensi, takikardi, tekarian
intrakranial meningkat, tekanan intraokular meningkat,
dan spasme laring.
4) Malfungsi tuba: perforasi cuff.
b. Komplikasi pemasukan pipa endotrakeal:
1) Malposisi: ekstubasi yang terjadi sendiri, intubasi ke
endobronkial, malposisi laringeal cuff.
2) Trauma jalan napas: inflamasi dan ulserasi mukosa, serta
ekskoriasi kulit hidung.
3) Malfungsi tuba: obstruksi.
c. Komplikasi setelah ekstubasi:
1) Trauma jalan napas: edema dan stenosis (glotis, subglotis,
atau trakea), suara serak/ parau (granuloma atau paralisis
pita suara), malfungsi dan aspirasi laring.
2) Gangguan refleks: spasme laring.
e. Penentuan ukuran ETT
Usia Diameter Skala French Jarak sampai bibir
Prematur 2,0-2,5 10 10 cm
Neonatus 2,5-3,5 12 11 cm
1-6 bulan 3,0-4,0 14 11 cm
0,5-1 tahun 3,5-3,5 16 12 cm
1-4 tahun 4,0-5,0 18 13 cm
4-6 tahun 4,5-5,5 20 14 cm
6-8 tahun 5,0-5,5 22 15-16 cm
8-10 tahun 5,5-6,0 24 16-17 cm
10-12 tahun 6,0-6,5 26 17-18 cm
12-14 tahun 6,5-7,0 28-30 18-22 cm
Dewasa wanita 6,5-8,5 28-30 20-24 cm
Dewasa pria 7,5-10,0 32-34 20-24 cm

Cara memilih pipa trakhea untuk bayi dan anak kecil


a. Dalam pipa trakheal (mm) = 4,0 + ¼ umur (thn)
b. Panjang pipa oro trakheal (cm) = 12 + ½ umur (thn)
c. Panjang pipa nasotrakheal (cm) = 12 + ½ umur (thn)
M. INTUBASI PADA OPERASI DARURAT
Pada operasi darurat dilakukan induksi cepat (crush induction) untuk mencegah aspirasi
selama tindakan intubasi. Diindikasikan terutama pada pasien dengan lambung penuh. Selain
peralatan intubasi dipersiapkan pula alat penghisap dan pipa lambung. Pasien dipersiapkan dalam
posisi setengah duduk atau telentang dengan posisi kepala lebih rendah.
Awali dengan pemberian O2 100% (praoksigenisasi) selama 3-5 menit kemudian obat
pelumpuh otot nondepolarisasi ¼ dosis (prekurarisasi). Suntikan obat induksi cepat diberikan sampai
refleks bulu mata hilang. Tulang krikoid ditekan ke arah posterior(Sellick manouver) dan kemudian obat
pelumpuh otot depolarisasi diberikan dengan dosis 1,5-2 kali dosis normal. Setelah itu baru
dilakukan tindakan laringioskopi dan intubasi. Bila pipa endotrakeal telah masuk, balon pipa (cuff) segera
dikembangkan.
N. HIPOTERMIA
Hipotermia adalah keadaan dimana suhu tubuh di bawah batas normal fisiologis (36,6 -
37,5°C). Hipotermia yang tidka diinginkan mungkin dialami oleh pasien sebagai akibat suhu yang
rendah diruang operasi, infuse denga cairan yang dingin, inhalasi gas-gas yang dingin, kavitas atau
kula terbuka pada tubuh, aktivitas otot yang menurun, usia lanjut atau agens obat-obatan yang
digunakan.
Penanganan hipotermi antara lain dengan membuat suhu lingkungan dalam ruang operasi
diataur pada suhu 25° - 26,6°C. Cairan intravena dan irigasi dihangatkan samapai 37°C. gaun dan
selimut basah diganti dengan yang kering, karena gaun dan selimut yang basah memperbesar
kehilangan panas.
Diperlukan pemantauan suhu inti tubuh, haluan urin, EKG, tekanan darah, gas darah dalam
ateri, dan serum elektrolit yang cermat. Perhatikan terhadap penatalaksanaan hiportemi meluas hingga
keperiode pascaoperatif untuk mencegah kehilangan nitrogen yang signifikan dan katabolisme.
Pengobatan mencakup pemberian oksigen, hidrasi yang adekuat, dan nutrisi yang sesuai. Kehilangan
panas pada pasien lansia di rung operasi dapat dicegah dengan menutupi kepala pasien mengguanakn
topi penahan panas selama anestesi, jaga suhu ruangan operasi harus dipertahankan pada 26,6 oC.
larutan antiseptic yang digunakan dalam persiapkan awal kulit sebelum pemasangan selimut harus
cukup hangat, dan bukan yang dingin.
O. HIPERTERMIA MALIGNA SELAMA ANASTESI UMUM
Hipertermia maligna adalah gangguan otot yang diturunkan yang secara kimiawi diinduksikan
oleh anestetik. Selama anastesi agen protein seperti anastesi inhalasi dan relaksan otot dapat memicu
gejala hipertermi maligna. Medikasi seperti simpatomimetik, teofilin, aminofilin, dan glikosida
jantung dapat juga menginduksi atau mengeluarkan reaksi tersebut, proses ini diawali oleh setres.
Patofisiologi ini berkaitan dengan aktivitas sel-sel otot. Sel-sel otot terdiri atas cairan bagian
dalam dan membrane bagian terluar. Kalsium, suatu factor penting dalam proses kontraksi otot,
normalnya disimpan dalam froses kontraksi otot, kalsiu dilepaskan sehingga memungkinkan
terjadinya kontraksi otot, hipertermia, dan kerusakan pada system saraf pusat. Dengan angka moralitas
yang melebihi 50%, mengidentifasikan pasien yang beresiko adalah penting penting.
Manifestasi klinis; gejala awal hipertermia maligna adalah yang berkaitan dengan aktivitas
kardiovaskuler dan muskuloskletal. Takikardi sering merupakan tanda dini. Selain takikardi, silmulasi
saraf sinpatis mengarah pada disrima ventikuler, hipotensi, dan penurunan curah jantung, oliguria, dan
selanjutnya henti jantung. Dengan transport kalsium yang abnormal, kekakuan atau gerakan seperti
tetani yang sering terjadi pada rahang. Kenaikan suhu tubuh sebenarnya adalah tanda lanjut yang
terjadi dengan cepat, dan dapat meningkat 1oC setiap 5 menit.
Pemindahan dari ruang operasi ke unit perawatan pascaanestesia (PACU), yang juga disebut
sebagai ruang pemulihan pascaanestesia (PARR), memerlukan pertimbangan khusus pada letak insisi,
perubahan vascular dan pemajanan.letak posisi insisi harus selalu dipertimbangkan setiap kali pasien
pascaoperatif dipindahkan banyak luka tertutup dalam tetgangan yang cukup tinggi, dan setiap upaya
dilakukan untuk mencegah renggangan sutura lebih lanjut. Selain itu pasien diposisikan sehingga ia
tidak berbaring pada dan menyumbat drain atau selang drainase.
Hipotensi arteri yang serius dapat terjadi ketika pasien digerakkan dari satu posisi ke posisi
lainya, seperti dari posisi litotomi keposisi hozontal, dari lateral ke posisi terlentang. Bahkan
memindahklan pasien yang telah dianestesi ke brankar dapat menimbulkan masalah. Jadi pasien harus
dipindahkan secara perlahan lahan dan secara cermat.
P. UNIT PERAWATAN PASCA ANESTESIA
PACU biasanya berdekatan dengan ruang operasi. Pasien yang masih terpengaruh anestesi
atau yang pulih dari anestesi ditempatkan diunut untuk kemudahan akses ke
1. Perawat yang disiapkan dalam merawat pasien pascaoperatif segera
2. Ahli anestesi dan ahli bedah
3. Alat pemantau dan peralatan khusus medikasi dan penggantian cairan.
Ruang dijaga agar harus, bersih dan bebas dari peralatan yang tidak dibutuhkan. Ruang juga
harus dicat dengan warna yang lembut dan menyenangkan dan mempunyai
1. Pencahayaan tidak langsung
2. Plafon kedap suara
3. Peralatan yang mengontrol atau menghilangkan suara mis basin emesis dari plastic
4. Ruang terisolasi (kotak berkaca) untuk pasien yang terganggu
Alat pemantau tersedia untuk memberikan penilaian yang akurat dan cepat tentang kondisi
pasien.
1. Alat bantu pernapasan
2. Oksigen
3. Laringoskop
4. Set trakeostomi
5. Peralatan bronchial
6. Kateter
7. Ventilator mekanis
8. Peralatan suction
Sasaran pelaksanan PACU adalah untuk memberikan perawatan sampai pasien pulih dari
efek anestesi (sampai kembalinya fungsi motorik dan sensorik), terorientasi, mempunyai tanda vital
yang stabil, dan tidak memperlihatkan tanda-tanda hemoragik.
Pengkajian pascaoperatif segera perawat PACU menerima pasien memeriksa hal – hal
berikut dengan ahli-ahli anestesi atau anastesis :
1. Diagnosa medis dan jenis pembedahan yang dilakukan
2. Usia dan kondisi umum pasien masih, kepatenen jalan nafas, tanda-tanda vital
3. Anestetik dan medikasi lain yang digunakan misalnya narkotik, relaksan otot, antibiotic
4. Segala masalah yang terjadi dalam ruang operasi yang mungkin mempengaruhi pascaoperatif
midalnya hemoralgi berlebihan, syok dan henti jantung
5. Patologi yang dihadapi (jika malignansi, apakah pasien atau keluarga sudah diberitahukan)
6. Cairan yang diberikan, kehilangan darah dan penggantian.
7. Segala slang, drain kateter, atau alat bantu pendukung lainnya
8. Informasi spesifik tentang siapa ahli bedah atau anestesi yang akan diberitahukan
Q. INTERVENSI KEPERAWATAN
Tanda vital dipantau dan status fisik umum pasien dikaji pada setidaknya setiap 5 menit.
Kepatenan jalan nafas dan fungsi pernafasan selalu dievaluasi pertama kali, diikuti dengan pengkajian
fungsi kardiovaskuler, kondisi letak yang dioperasi dan fungsi system saraf pusat.
Sasaran utama intervensi adalah mempertahankan ventilasi pulmonal dan dengan demikian
mencegah hipoksemia (penurunan oksigen dalam darah) dan hiperkapnea (kelebihan kadar dioksida
dalam darah) hal ini terjadi jika jalan nafas tersumbat dan ventilasi berkurang.
Kesulitan pernafasan berkaitan dengan tipe spesifik anestesi
Tanda-tanda kesulitan ini termasuk :
1. Tersedak
2. Pernapasan yang bising dan tidak teratur
3. Dalam beberapa menit kulit menjadi berwarna biru agak kehitaman
Satu-satunya cara untuka mengetahui apakah pasien bernafas atau tidak adalah dengan
menmpatkan telapak tangan di atas hidung dan mulut pasien untuk merasakan hembusan napas.
Tindakan obstruksi hipofaringeus termasuk mendongakan kepala kebelakang dan mendorong kedepan
pada sudut rahang bawah.
1. Obstruksi hipofaringeus terjadi leher yang fleksi memungkinkan dagu untuk turun kearah
dada; obstruksi hamper selalu terjadi ketika kepala dalam midposisi.
2. Mendongakan kepala kebelakang untuk meregangkan struktur leher anterior menyebabkan
dasar lidah terangkat menjauhi dinding faringeal posterior. Arah anak panah menunjukkan
tekanan dari tangan.
3. Membuka mulut diperlukan untuk memperbaiki obstruksi seperti katup dari saluran hidung
selama ekspirasi yang terjadi pada sekitar 30 % pasien tidak sadar.
R. PROSES KEPERAWATAN MERAWAT PASIEN PASCA ANESTESIA
Pengkajian segera pasien bedah saat kembali ke unit klinik terdiri atas yang berikut :
1. Repirasi kepatenan jalan napas ; kedalaman, frekuensi, dan karakter pernapasan ; sulit dan
bunyi napas
2. Sirkulasi ; tanda-tanda vital termasuk tekanan darah kondisi kulit.
3. Neurologi ; tingkat respon
4. Drainase ; adanya drainase keharusan untuk menghubungkan selang kesistem drainase yang
spesifik adanya dan kodisi balutan
5. Kenyamanan ; tipe nyeri dan likasi mual atau muntah perubahan posisi yang dibutuhkan.
6. Psikologi ; sifat dari pertanyaan pasien kebutuhan akan istirahat dan tidur ; gangguan oleh
kebisingan pengunjung, ketersedian bel pemanggil.
7. Keselamatan ; kebutuhan akan pagar tempat tidur ; drainase selang tidak tersumbat; cairan IV
terinfus dengan tepat dan letak IV terbebat dengan baik
8. Peralatan ; diperiksa untiuk fungsi yang baik
S. PENGKAJIAN RESPIRASI
Yang harus diamati kualitas pernapasan dicatat seperti :
1. Kedalaman
2. Frekuensi
3. Bunyi napas
Pernapasan pendek dan cepat mungkin karena nyeri, balutan yang terlalu ketat, dilatasi
lambung atau obstruksi oleh sekresi.
T. PENGKAJIAN SIRKULASI
Pertimbangan dasar dalam mengkaji fungsi kardiovaskuler adalah Pemantaun tanda-tanda
syok dan hemoragi. penampilan pasien, TTV untuk menentukan fungsi kardiovaskuler. Tekanan vena
sentral (TVS) dan nilai gas darah arteri dipantau jika kondisi pasien membutuhkan pengkajian yang
demikian.
Institusi mempunyai protocol spesifik untuk pemantauan pascaoperatif. Nadidarah dan
pernapasan dicatat setiap 15 menit selama 2 jam pertama, dan setiap 30 menit selama 2 jam, dan setiap
30 menit selama 2 jam berikutnya, kecuali diindikasikan untuk dilakukan lebih sering setelanhnya
mereka diukur lebih jarang jika semuanya tetap stabil. Suhu tubuh dipantau setiap 4 jam selama 24
jam pertama.
1. Suhu tubuh diatas 37,70C (100oF) atau dibawah 36,1oC (97oF) pernapasan lebih dari 30 kali
atau kurang dari 16 kali permenit dan tekanan darah sistolik turun dibawah 90 mmhg biasanya
dianggap segera dilaporkan. Namun tekanan darah dasar atau praoperatif pasien digunakan
sebagai perbandingan pascaoperatif yang jelas.
2. Tekanan darah yang sebelumnya stabil yang menunjukkan kecendrungan menurun 5 mmHg
pada pengukuran setiap 15 menit juga harus mewaspadakan perawat terhadap adanya masalah.
U. KONSEP ANESTESI GENERAL ANESTESI PADA ISTMOLOBECTOMY
Pemilihan jenis tindakan untuk isthmolobecomy ditentukan berdasarkan usia pasien, kondisi
kesehatan pasien , keadaan umum pasien, sarana prasarana dan ketrampilan dokter bedah dan perawat
anestesi di
1. Anestesi Perioperatif
Pelaksanaan anestesi pada operasi Isthmolobectomy yang dilakukan dengan aestesi general
perlu dilakukan persiapan antara lain penilaian klinis pasien dari hasil anamnesis, rekam medik
dan pemeriksaan fisik serta penilaian terhadap hasil pemeriksaan laboratorium dan radilogik
yang diperlukan.
a. Anamnesis
1) Konfirmasi identitas pasien yang bertujuan untuk menghindari kesalahan pasien
2) Riwayat penyakit yang diderita, termasuk pengobatan. Perlu juga ditanyakan alergi
yang dimiliki dan pencetus obat yang biasa digunakan untuk mengatasinya.
3) Gaya hidup dan kebiasaan merokok, minum alkohol dan penggunaan obat-obat
rekreasional (metamfetamin, heroin, kokain).
4) Riwayat penyakit keturunan dan penyakit menular pada keluarga
5) Riwayat kematian keluarga di atas meja operasi. Hal ini perlu ditnyakan secara hati-
hati dan seksama. Terutama pada pasien muda atau yang memiliki kelainan sistem
muskuloskeletal. Yang diingat adalah jenis kematian yang dapat merupakan informasi
adalah kematian selama operasi dengan anestesi inhalasi dengan gangguan kekakuan
otot disertai panas tinggi “Hipertermy Maligna”.
b. Pemeriksaan Fisik
1) Kemungkinan kesulitan ventilasi dan intubasi diperkirakan dari bentuk wajah. Leher
pendek dan kaku, jarak tiro-mental, lidah besar, maksila yang protusif.
2) Pasien sesak nafas dapat dilihat dari posisi berbaring, frekuensi nafas, jenis pernafasan
dan tingkat saturasi HbO2 dari pulse oxymeter.
3) Auskultasi dada selain untuk mendeteksi murmur jantung dan bunyi abnormal lain.
c. Pemriksaan Tambahan
1) Pemeriksaan tambahan yang direkomendasikan untuk Isthmolobectomy antara lain :
a) Pemeriksaan darah tepi : Hb, Hct, leukosit, hitung jenis, trombosit, serta
pemeriksaan faal hemostasis : BT/CT, PPT/APTT.
b) Pemeriksaan laboratorium : T4 total, T3 serum, FT4, tunda operasi sampai klinis
dan lab eutiroid.
c) Diharapkan perioperatif tes fungsi tiroid normal, HR < 85x/menit saat istirahat.
Pasien dengan hipotiroid berat yang tidak terkoreksi (T4 < 1 mcg/dl) atau koma
myxedema, harus dibatalkan untuk operasi elektif dan harus diterapi segera dengan
hormon tiroid terutama untuk operasi emergensi. Pasien yang telah dieutiroidkan
biasanya menerima dosis obat tiroid pada pagi hari pembedahan, harus diingat
bahwa rata-rata preparat yang diberikan mempunyai waktu paruh yang lama (t1/2
T4 adalah 8 hari). Tidak ada bukti yang mendukung untuk menunda bedah elektif
(termasuk bedah by-pass arteri koronaria) menyebabkan perubahan hipotiroidisme
ringan ke hipotiroidisme yang sedang.
d) BMR : 0,75{(0,74(sistole-diastole) + N)} – 72 nilai normal : - 10 s/d 10.
e) Pemeriksaan radiologi thorak dan leher, untuk melihat ada gangguan atau tidak
pada paru jantung, serta perubahan anatomi trakea.
f) Pemeriksaan penunjang lainnhya dilakukan atas indikasi.
d. Penentuan status fisik pasien
Status fisik menggambarkan tingkat kebugaran pasien utuk menjalani anestesia.klasifikasi
status fisik yang disusun oleh American Society of Anestesia (ASA)
ASA I : pasien sehat yang akan menjalani operasi
ASA II : pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang tanpa pembatasan aktivitas
ASA III : pasien dengan peyakit sitemik berat yang membatasi aktivitas rutin
ASA IV : pasien dengan kelainan sistemik yang menyebabkan ketidakmampuan
melakukan aktivitas rutin, yang mengancam nyawanya setiap waktu
ASA V : pasien tidak ada harapan, dengan atau tanpa pembedahan diperkirakan akan
meninggal dalam 24 jam.
e. Puasa
Puasa sangat diperlukan dalam demi keselamatan pasien karena dapat mencegah terjadinya
pnemonia aspirasi yang berakibat fatal. Pasien – pasien isthmolobectomy adalah orang
dewasa sehingga puasa yang diperlukan yaitu 6 -8 jam untuk pengosongan lambung dan
makanan padat. Minuman bening, air putih teh manis diperbolehkan maksimal 3 jam
sebelum induksi. Untuk keperluan minum obat, air putih dalam jumlah terbatas
diperbolehkan maksimal 1 jam sebelum induksi anestesi (Latief dkk, 2010).
f. Premedikasi
Premedikasi diberikan 1 – 2 jam sebelum induksi dengan tujuan untuk memberikan sedasi,
analgesi sehingga memberikan ketenangan pada pasien, pasien bebas dari ketakutan dan
nyeri, memperlancar induksi anestesi, mengurangi mual muntah, dan mencegah terjadinya
aspirasi.
Semua obat-obatan dapat digunakan untuk premedikasi pada pasien yang menjalani operasi
Isthmolobectomy dengan anestesi general, tapi kecenderungan penggunaan obat-obatan
yang merupakan histamine release agar dihindari, obat-obatan yang bisa dipakai antara lain
:
1) Sedasi
Benzodiazepin pilihan yang baik preoperaif sedasi
a) Diazepam, dosis 0,1 – 0,2 mg/kgBB, IM/IV
b) Midazolam, dosis 0,07 – 0,1 mg/kgBB, IV
2) Analgesik
Analgetik yang sering digunakan adalah analgetik opioid karena merupakan golongan
anlgesik yang paling kuat dan bekerja dengan baik bersama-sama obat sedatif. Opioid
pilihan untuk premedikasi antara lain :
a) Pethidin, dosis 1-2 mg/kgBB, IM/IV
b) Fentanyl, dosis 1-5 mg/kgBB, IV
Dan disarankan untuk menghindari penggunaan morphine karena merupakan histamine
release, dan ketamin merupakan obat yang mengaktivasi sistem saraf simpatis (tapi juga
pilihan pada pasien hipotiroid)
3) Anti kolinergik
Pada operasi Isthmolobectomy, antikolinergikdiberikan bertujuan untuk mengurangi
sekresi ludah, sehingga visualisasi saat intubasi menjadi lebih baik. Selain itu, anti
kolinergik diperlukan untuk mencegah aspirasi. Obat yang digunakan adalah
glikopirolat karena tidak menyebabkan takikardi seperti sulfas atropin, karena pasien
dengan gangguan tiroid cenderung takikardi.
4) Anti emetik
Anti emetik diberikan dengan tujuan untuk menghambat mual dan muntah. Anti emetik
yang dapat digunakan antara lain :
a) Ondancentron
Menghambat reseptor serotinin pada sistem saraf serebral dan saluran pencernaan
sehingga dapat digunakan untuk mengobati mual dan muntah pasca operasi.
b) Metoclorpamide
Bekerja di saraf otak untuk mengobati rasa mual dan muntah karena obat-obatn
anestesi umum.
c) Promethazine
Golongan antihistamin (antagonis resptor H1 histamin)
d) Ranitidin
Menghambat kerja histamin secara kompetitif pada reseptor H2 dan mengurangi
sekresi asam lambung.
5) Obat antitiroid dan beta adrenergik antagonis lanjut sampai operasi
6) Pada bedah darurat, sirkulasi hiperdinamik dapat kontrol dengan titrasi esmolol
g. Persiapan peralatan
Sebelum pasien naik ke atas meja operasi, petugas anestesi perlu melakukan persiapan
antara lain :
1) Memastikan sumber listrik terpasang pada elektronik. Lampu ruangan, mesin anestesi,
berbagai alat pantau, mesin penghangat tempat tidur / blanket roll, infusion pump,
syring pump, defibrilator dan sebagainya harus dapat berfungsi.
2) Sumber gas terutama oksigen harus disambungkan dengan mesin anestesi. Dilakukan
pengecekan dengan cara melihatgerakan flow meter.
3) Memastikan tidak adanya kebocoran sirkuit nafas dan memeriksa kondisi APL
(adjustable pressure-limiting valve)
4) Menyiapkan STATICS
5) Menyiapkan obat-obatan yang akan digunakan
6) Menyiapkan setting ventilator dan monitor
h. Persiapan pasien
Ketika pasien masuk di ruang operasi yang harus dilakukan adalah memastikan patensi
akses intravena dan memasang alat pantau pada pasien.
selanjutnya pasien diposisikan tidur terlentang (supine), oksiput diganjal dengan bantal
intubasi untuk memudahkan ketika intubasi, yaitu kepala dapat ekstensi serta trakea dan
laringoskop berada dalam 1 garis lurus.
Langkah-langkah anestesi
1) Induksi anestesi
Induksi yang digunakan pada operasi Isthmolobectomy adalah induksi intravena dengan
pilihan obat-obatan antara lain :
a) Induksi dengan tiopental, dosis tinggi 3-6 mg/kgBB bisa sebagai antitiroid
b) Fentanyl dengan dosis 1-5 mcg/kgBB.
c) Midazolam dengan dosis 0,3 – 0,6 mg/kgBB
d) Propofol dengan dosis 2 – 3 mg/kgBB, karena penyuntikan dapat menimbulkan
nyeri, maka 1 menit sebelumnya diberikan lidokain 1 mg/kgBB. (untuk kasus tiroid
disarankan tidak memakai propofol karena merupakan histamine rlease)
2) Preoksigenasi
Sebelum dilakukan intubasi, dilakukan preoksigenasi selama 5 menit dengan oksigen
100 % bertujuan untuk membuang nitrogen yang masih tersimpan dalam volume residu
sehingga FRC (Functional Residual Capacity) terisi oleh 02 murni. Preoksigenasi dapat
memberi cadangan oksigen selama 10 menit saat periode parau.
3) Pemberian obat pelumpuh otot
Operasi istmolobectomy diperkirakan berlangsung 3-5 jam, sehingga dapat diberikan
pelumpuh otot yang long acting atau middle acting dengan penambahan dosis rumatan.
Pada pasien tanpa penyakit atau tanpa riwayat penyakit asatma dapat diberikan
atracurium dengan dosis awal 0,5-0,6 /kgBB dan dosis rumatan 0,1 mg/kgBB. Durasi
atrakurium yaitu 20 – 45 menit. Dan disarankan menghindari pankuroinum karena
meningkatkan denyut jantung.
Pelumpuh otot digunakan secara hati-hati, karena dapat meningkatkan insiden miopati
dan myestania gravis, dan sebaiknya sebelum diberikan pelumpuh otot sebaiknya
dicoba dilakukan ventilasi terlebih dahulu.
4) Intubasi endotracheal
Pasien diposisikan tidur terlentang (supine), oksiput diganjal dengan bantal intubasi
yang memudahkan ketika intubasi, yaitu kepala dapat ekstensi serta trachea dan
laringoskope berada dalam satu garis lurus. Anestesi dalam selama laringoskop dan
stimulasi bedah untuk menghindari takikardi, hipertensi aritmia ventrikular.
Dilakukan intubasi endotracheal secara oral, sleep apnea dengan ETT non kingking
dengan ukuran yang sesuai dengan pasien. Setelah ETT terpasang kemudian
dihubungkan dengan sirkuit oksigen dan gas anestesi lain.
5) Proteksi mata karena eksotalmus beresiko terjadinya ulserasi dan abrasi kornea
6) Elevasi meja operasi 15 – 20 menit yang membantu aliran vena dan mengurangi
perdarahan (walaupun meningkatkan resiko emboli air pada vena).
2. Anestesi intraoperatif
a) Maintenance
Pada periode ini pasien diberikan maintenance atau rumatan anestesi yang bertujuan untuk
mempertahankan trias anestesia dan mempertahankan kedalaman anestesi tetap pada
stadium pembedahan.
Stadium anestesi meliputi :
1) Stadium I
Stadium I (analgesi) dimulai dari saat pemberian zat anestetik sampaihilangnya
kesadaran. Pada stadium ini pasien masih dapat mengikuti perintah dan terdapat
analgesi (hilangnya rasa sakit). Tindakan pembedahan ringan, seperti pencabutan gigi
dan biopsi kelenjar dapat dilakukan pada stadium ini
2) Stadium II
Stadium II (delirium/eksitasi, hiperrefleksi) dimulai dari hilangnya kesadaran dan
refleks bulu mata sampai pernapasan kembali teratur.
3) Stadium III
Stadium III (pembedahan) dimulai dengan tcraturnya pernapasan sampai pernapasan
spontan hilang. Stadium I I I dibagi menjadi 4 plana yaitu:
1. Plana 1 : Pernapasan teratur, spontan, dada dan perut seimbang, terjadi gerakan
bola mata yang tidak menurut kehendak, pupil midriasis, refleks cahaya ada,
lakrimasi meningkat, refleks faring dan muntah tidak ada, dan belum tercapai
relaksasi otot lurik yang sempurna. (tonus otot mulaimenurun).
2. Plana 2 : Pernapasan teratur, spontan, perut-dada, volume tidak menurun,
frekuensi meningkat, bola mata tidak bergerak, terfiksasi di tengah, pupil
midriasis, refleks cahaya mulai menurun, relaksasi otot sedang, dan refleks
laring hilang sehingga dikerjakan intubasi.
3. Plana 3 : Pernapasan teratur oleh perut karena otot interkostal mulai paralisis,
lakrimasi tidak ada, pupil midriasis dan sentral, refleks laring dan peritoneum
tidak ada, relaksasi otot lurik hampir sempuma (tonus otot semakin menurun).
4. Plana 4 : Pernapasan tidak teratur oleh perut karena otot interkostalparalisis
total, pupil sangat midriasis, refleks cahaya hilang, refleks sfmgter ani dan
kelenjar air mata tidak ada, relaksasi otot lurik sempuma (tonus otot
sangat menurun).
4) Stadium IV
Stadium IV (paralisis medula oblongata) dimulai dengan melemahnya pernapasan
perut dibanding stadium III plana 4. pada stadium ini tekanan darah tak dapat
diukur, denyut jantung berhenti, dan akhirnya terjadi kematian. Kelumpuhan
pernapasan pada stadium ini tidak dapat diatasi dengan pernapasan buatan.
Maintenannce dilakukan dengan menggunakan oksigen atau campuran oksigen
dengan nitrous oxide (N2O) bersama dengan agen inhalasi. Pilihan agen inhalasi antara
lain dengan isoflurane atau sevoflurane yang mencegah eksagregasi sistem saraf simpatis
yang berespon terhadap rangsangan pebedahan. MAC isoflurane 1,15 – 1,2 vol%,
sevoflurane 1,80 – 2,0 vol%.
Pada saat durante operasi jika diketahui durasi obat pelumpuh otot telah berkurang,
maka perlu diberikan obat pelumpuh otot telah berkurang, maka perlu diberikan obat
pelumpuh otot dengan dosis maintenance.
b) Monitoring durante operasi
Monitoring durante operasi meliputi :
1) Jalan nafas tetap bebas
2) Posisi ETT yang baik, tidak mengganggu operasi dan perlu diperhatikan agar posisi
tidak berubah karena manipulasi operator atau asisten operator.
3) Pernafasan gerak dada cukup
4) Saturasi oksigen diatas 95%
5) Monitor fungsi kardiovaskuler, denyut nadi yang reguler dan teratur
6) Kebutuhan pasien terpenuhi
7) Pasien dengan hipotiroid lebih mudah mengalami hipotensi dengan obat-obat anestesi,
sebab obat anestesi menurunkan cardiac output, menumpulkan reflek baroreseptor dan
menurunkan volume intravaskular. Untuk ini ketamin sering dianjurkan untuk induksi.
8) Masalah lain yang dapt timbul termasuk hipoglikemi, anemia, hiponatremi, kesulitan
intubasi karena lidah yang besar, dan hipotermia karena metabolisme basal rate yang
rendah.
9) Perhatian hyang cermat harus diberikan untuk mempertahankan temperatur tubuh.
10) Badai tiroid (tiroid storm)
Badai tiroid jugabisa terjadi selama intra anestesia, dan penanganan sama seperti pada
penangan badai tiroid pada komplikasi pasca bedah. Untuk pembedahn tiroid lebih baik
dilakukan pemasangan NGT, guna mempermudah pemberian obat-oabatan per oral
selama durante op.
c) Ekstubasi
Ekstubasi dapat dilakukan pada keadaan pasien sudah sadar. Pada saat itu jalan nafas telah
terjaga dan bebas (intact protective airway reflex). Namun ekstubasi juga dapat dilakukan
dalam keadaan pasien masih teranestesi dalam. Hati – hati pasien mudah terjadi depresi
nafas.
3. Pasca Anestesi
Morbiditas pasca bedah paling banyak disebabkan oleh analgesia yang tidak adekuat dan
hipoksia. Hipoksia pasca bedah dapat merupakan akibat dari tingginya konsumsi / kebutuhan
oksigen, atau karena turunnya supplay O2 (misalnya akibat metabolik aktif pelumpuh otot yang
menyebabkan pasien hipoventilasi bahkan apneu)
Komplikasi pasca anestesi yang juga sering terjadi adalah mual – muntah. Oleh karena itu perlu
dilakukan antisipasi sejak awal. Adapun komplikasi yang timbul pada anestesi pasien struma
antara lain :
a) Pemulihan anestesi yang mungkin melambat pada pasien hipotiroid, hipotermi, depresi
pernafasan atau biotransformasi obat yang lambat. Obat opioid seperti ketorolac merupakan
pilihan untuk nyeri pasca operasi.
b) Koma miksedema adalah kegawat daruratan medis yang memburtuhkan terapi cepat
1) Ditandai dengan gangguan mental, hipoventilasi, hiponatremia (dari ketidaktepatan
sekresi hormon anti diuretik dan CHF)
2) Sering terjadi pada pasien yang lebih tua dan mungkin dipercepat oleh infeksi,
pembedahn dan trauma.
c) Komplikasi jalan nafas
Tindakan general anestesi dapat menyebabkan trauma jalan nafas, bisa berupa lidah yang
tergigit saat melakukan ventilasi, cidera glotis pada saat tindakan laringoskop dan ntubasi,
kelumpuhan pita suara karena penekanan sraf laringeal rekuren, edema laring dll. Sehingga
disarankan lebih memakai alat-alat yang lebih aman dan nyaman baik bagi anestesiologis
ataupun pasien, dan melakukan tindakan seaman dan senyaman mungkin.
d) Komplikasi sistem pernafasan
Komplikasi sistem pernafasan bisa berupa hipoxia berat, barotrauma atau valotrauma,
obstruksi nafas karena tertekuknya pipa ETT sehingga bisa menyebabkan hipoksia dan
hiperkarbi, sehingga disarankan menggunakan ETT non kingking, penggunaan pressure
preset ventilation dan pengawasan yang ketat.
e) Komplikasi sitem kardiovaskuler
Obat-obat general anestesi merupakan selain obat – obat yang mempengaruhi peingkatan
aktivitas simpatis, aktifitas parasimpatis terjadi, bisa menyebabkan vasodilator, sehingga
pemantauan hemodinamik yang ketat sangat diperlukan.
f) Komplikasi neurologik
Trauma pada medula spinalis atau saraf – saraf yang keluar dari medula spinalis meskipun
jarang bisa terjadi, cidera vertebrae servikalis akibat usaha laringoskopi, cerebrovaskuler
accident akibat hipertensi yang tak terkendali, cerebral insult akibat tekanan intrakranial.
g) Komplikasi organ lain
Dan komplikasi organ lain akibat tindakan general anestesi, mial tertanggalnya gigi akibat
tindakan laringoskopi dll.

DAFTAR PUSTAKA

Latief, A. Said, dkk. Anestesiology. Jakarta: FKUI. 2009


Ganiswarna, Sulistia. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: FKUI. 1995
Tjay, Tan Hoan. Obat-Obat Penting. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo. 2002

Anda mungkin juga menyukai