Anda di halaman 1dari 5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ikan Tuna
Salah satu hasil perikanan di Indonesia yang memiliki nilai ekonomis
penting baik sebagai komoditi ekspor maupun sebagai konsumsi lokal adalah ikan
tuna. Tuna merupakan anggota dari famili Scombridae dan genus Thunnus. Dalam
genus Thunnus ini, tuna lebih spesifik dibandingkan genera lain, karena tuna lebih
banyak mempunyai sirip dada (gurat sisi sirip dada tuna berkisar 30-36 sedangkan
jenis yang lain berkisar 23-27) (Collette et al., 2001). Tuna merupakan ikan
perenang cepat dan hidup bergerombol (schooling) sewaktu mencari makan.
Beberapa jenis tuna yang tertangkap di perairan Indonesia, diantaranya adalah
madidihang atau yellowfin tuna, YFT (Thunnus albacares), tuna mata besar atau
bigeye tuna, BET (Thunnus obesus), albakora atau albacore, ALB (Thunnus
alalunga) dan tuna sirip biru atau bluefin tuna, SBT (Thunnus maccoyi).
Tingginya produksi ikan tuna di Indonesia tidak hanya menguntungkan,
tetapi juga menimbulkan masalah. Ikan tuna yang tidak diolah dengan baik setelah
ditangkap akan dibuang begitu saja atau dibiarkan menumpuk dan menyisakan
limbah seperti darah, insang, kulit, sisik atau tulang. Tulang ikan merupakan salah
satu bentuk limbah dari industri pengolahan ikan yang memiliki kandungan
kalsium terbanyak diantara bagian tubuh ikan, karena unsur utama dari tulang
ikan adalah kalsium, fosfor dan karbonat. Tulang ikan mengandung sel-sel hidup
dan matrik intraseluler dalam bentuk garam mineral. Kandungan gizi dalam 100
gram tulang ikan tuna mendidihang terdiri dari energi 105,0 kal, protein 24,1 g,
abu 1,2 g, lemak 0,1 g, abu 1,2 g, kalsium 9,0 mg, fosfor 220,0 mg, besi 1,1 mg,
sodium 78,0 mg, retinol 5,0 mg, thiamin 0,1 mg, riboflavin 0,1 mg, dan niasin
12,0 mg. Tulang ikan memiliki proporsi 10% dari total susunan tubuh ikan yang
merupakan salah satu limbah yang memiliki kandungan kalsium tinggi (Ahmad
Thalib, 2015:12 dalam Karlinda, 2018). Kandungan kalsium pada tulang ikan tuna
juga dapat membentuk kompleks dengan fosfor dalam bentuk apatit atau
trikalsiumfosfat yang mudah diserap tubuh hingga 60-70 persen. Sehingga tulang
ikan tuna berpotensi menjadi sumber alami hidroksiapatit yang murah dan
berfungsi sebagai bonegraft. Selain itu, tulang ikan tuna juga banyak
dimanfaatkan sebagai tepung dan pakan ternak.

2.2 Flavor
Senyawa perisa (flavor) merupakan suatu makanan senyawa yang berperan
sangat penting pada aroma. Food and Drug Administration (FDA) mendefinisikan
flavoring agents dan adjuvat sebagai suatu zat yang ditambahkan untuk
memberikan atau membantu pada memberikan rasa atau aroma pada obat-obatan.
FDA mengidentifikasikan flavoring enhancer sebagai suatu zat yang ditambahkan
untuk melengkapi, meningkatkan, atau memodifikasi rasa atau aroma pada
makanan, tanpa memberikan karakteristik rasa atau aromanya sendiri. Senyawa
flavor menentukan sifat organoleptik yang merupakan salah satu atribut mutu
makanan/minuman dan menentukan pasar produk tersebut. Tujuan penambahan
flavor adalah meningkatkan daya tarik pangan, menstandarisasi flavor produk
akhir, menguatkan flavor awal yang lemah, menggantikan flavor yang hilang
selama pengolahan, menutupi karakter-karakter yang tidak menyenangkan dan
meningkatkan nilai ekonomis produk.
Senyawa flavor dibagi menjadi dua kelompok flavor, yaitu kelompok
senyawa indigenus (indigenous flavor) dan kelompok senyawa yang sengaja
ditambahkan ke dalam produk makanan/minuman. Senyawa flavor indigenus
berasal dari bahan baku makanan itu sendiri atau terbentuk di dalam makanan
selama proses pengolahan. Kelompok senyawa flavor yang kedua adalah senyawa
flavor yang sengaja ditambahkan untuk memperbaiki mutu sensoris (flavor)
makanan atau minuman tersebut. Senyawa flavor ini termasuk ke dalam bahan
tambahan makanan.
2.3 Teknologi Pembuatan Flavor
Flavor dapat dibuat dari campuran berbagai komponen flavor, baik yang
alami maupun sintetik. Berdasarkan bentuk fisiknya flavor dapat diklasifikasikan
menjadi tiga kelas yaitu bentuk padat (solid), bentuk cair (liquid), dan bentuk
pasta (paste) (Furia dan Nicolo 1970 dalam Ismiwarti 2005). Flavor kering atau
bubuk berasal dari flavor cair yang diabsorbsi oleh bahan pembawa kering atau
dienkapsulasi oleh edible polimer yang bersifat inert seperti gum arab atau pati.
Flavor kering atau bubuk banyak dipergunakan untuk produksi gelatin, minuman
bubuk, adonan kue dan adonan es krim (Heath 1986 dalam Winarno 2002).
Flavor dapat dihasilkan dari beberapa jenis proses yaitu
1) Senyawa volatil dan non volatil biokimia yang dihasilkan selama
proses metabolisme tanaman normal dan masih ada ketika
tanaman dipanen.
2) Komponen flavor yang dihasilkan melalui proses reaksi katalisis
enzim.
3) Flavor yang dihasilkan dari proses fermentasi dan kegiatan
bakteri.
4) Flavor yang dihasilkan melalui proses pemanasan
Pembuatan flavor tulang ikan tuna yang dilakukan pada penelitian ini
diperoleh dari hasil pemanasan sehingga diperoleh ekstrak tulang ikan tuna.
Proses pemanasan dengan suhu 80°C selamat 30 menit, yang mengakibatkan
terjadinya reaksi kimia sehingga terbentuk senyawa sekunder dan tersier yang
dapat berinteraksi lebih lanjut membentuk senyawa-senyawa volatil pembentuk
flavor (Mottram 1991 dalam Aniar 2008). Reaksi kimia pembentuk flavor yaitu
reaksi
maillard (reaksi antara gugus amina dan gugus karboksil), oksidasi lemak,
deproteinase (Wong 1989 dalam Ismiwarti 2005).
Reaksi Maillard merupakan reaksi antara senyawa karbonil yang berasal
dari gula pereduksi dan amina yang berasal dari asam amino atau protein
sedangkan reaksi oksidasi merupakan reaksi antara oksigen dan asam lemak
jenuh. Reaksi Maillard antara karbohidrat dengan gugus amino secara alami tidak
memerlukan bahan kimia tambahan dan akan berlangsung dalam kondisi suhu,
waktu, pH dan kelembaban yang terkendali (Oliveira et al. 2014). Komponen
pembentuk flavor yang dominan adalah senyawa heterosiklik yang mengandung
oksigen, nitrogen, sulfur dan kombinasinya (Reineccius 1981 dalam Suharso
2006).
Flavor dapat diklasifikasikan berdasarkan bentuk fisiknya yaitu bentuk
cair, pasta dan padat. Contoh flavor cair meliputi minyak essensial, ekstrak cair,
essence larut air, emulsi dan konsentrasi cair. Flavor bentuk pasta meliputi ekstrak
lembut, resin, emulsi dan resinoidin konsentrat. Flavor bentuk padat meliputi
flavor bentuk kristal, bubuk dan enkapsulasi. Flavor padat merupakan flavor yang
telah dikeringkan dengan plate dryer, drum dryer, maupun spray dryer
(Reineccius 1981 dalam Suharso 2006). Flavor bentuk bubuk berasal dari flavor
cair yang diabsorbsi oleh bahan pembawa kering atau dienkapsulasi oleh edible
polimer yang bersifat inert yaitu gum arab dan pati (Heath 1986 dalam Suharso
2006).
Banyak komponen kimia yang bertanggung jawab terhadap flavor
bersifat tidak stabil dan sulit untuk dikendalikan. Volatilitasnya yang tinggi
menyebabkan komponen flavor banyak yang menguap selama proses
penanganan dan pengolahan. Selain itu, kondisi proses pengolahan,
penyimpanan, ingredien produk dan jenis (bahan) kemasan yang digunakan
dapat menyebabkan modifikasi flavor karena terjadinya penurunan intensitas
komponen aroma dan/atau terbentuknya komponen off flavor. Kondisi asam,
penggunaan suhu tinggi, kontak dengan cahaya, oksigen atau interaksi dengan
komponen lain menyebabkan modifikasi flavor melalui reaksi-reaksi kimia seperti
hidrolisis, rearrangement, polimerisasi dan oksidasi. Proses enkapsulasi dilakukan
untuk membatasi proses degradasi atau kehilangan flavor selama proses
pengolahan dan penyimpanan. Selain itu, proses enkapsulasi mengubah bentuk
komponen flavor dari cair dan/atau gas menjadi bentuk powder yang mudah
mengalir, juga melindungi flavor dari interaksi yang tidak menguntungkan dengan
komponen pangan lainnya dan meminimumkan interaksi antar komponen flavor.
Enkapsulasi merupakan teknik melindungi suatu material yang dapat berupa
komponen bioaktif berbentuk cair, padat, atau gas menggunakan penyalut yang
membentuk lapisan kompleks yang menyelimuti inti. Bahan inti yang dilindungi
dalam proses enkapsulasi disebut sebagai core dan struktur yang dibentuk oleh
bahan pelindung yang menyelimuti inti disebut sebagai dinding, membran, atau
kapsul (Kailasapathy, 2002 dalam Suaib, 2015). Melalui teknik enkapsulasi, inti
yang berada di dalam kapsul akan terhindar dari pengaruh lingkungan sehingga
akan terjaga dalam keadaan baik dan inti tersebut akan dilepaskan hanya ketika
persyaratan kondisi terpenuhi.
Proses enkapsulasi mampu mengubah bentuk dari senyawa bioaktif yang
semula berupa cair atau gas menjadi mampat dalam bentuk bubuk (padatan) yang
stabil. Teknik enkapsulasi saat ini dapat dibedakan atas ukuran partikel yang
dihasilkan. Makrokapsul ditujukan untuk partikel yang memiliki partikel
berukuran > 5.000 µm, mikroenkapsulasi apabila memiliki ukuran partikel 1-
5.000 µm, dan nanoenkapsulasi apabila menghasilkan partikel berukuran < 1µm
(Suaib, 2015)
Pada enkapsulasi dengan teknik spray drying, maka pemilihan bahan
dinding menjadi sangat kritis karena akan mempengaruhi sifat emulsi sebelum
pengeringan, retensi dari komponen volatil selama proses pengeringan dan umur
simpan dari encapsulated powder setelah pengeringan.
Gum arab merupakan ingredien yang paling populer sebagai bahan dinding
untuk enkapsulasi minyak dan flavor dengan teknik spray drying karena memiliki
sifat emulsifikasi dan retensi volatil yang sangat baik selama proses
pengeringan. Masalah ketersediaan, kemurnian dan harganya yang cukup tinggi
menyebabkan upaya pengembangan bahan alternatifnya terus dilakukan. Saat ini,
penggunaan pati dan ingredien berbasis pati (pati modifikasi, maltodekstrin, β-
cyclodextrin) untuk mempertahankan dan melindungi komponen volatil mulai
banyak digunakan oleh industri pangan. Mereka bisa berperan sebagai carrier
untuk enkapsulasi aroma, fat replacer dan penstabil emulsi.

Anda mungkin juga menyukai