Anda di halaman 1dari 2

B.

Indikator Terjadinya Pencemaran

Lingkungan tercemar berarti lingkungan tidak berada dalam keadaan normal atau keadaan yang
seharusnya. Banyak hal yang menjadi faktor lingkungan tercemar, baik yang disebabkan oleh
alam itu sendiri maupun akibat ulah manusia. Indikator atau tanda bahwa udara lingkungan
telah tercemar adalah dengan adanya perubahan atau tanda yang secara umum dapat
digolongkan menjadi dua, yaitu kebakaran hutan dan asap kabut dari hasil kegiatan industri.

Kebakaran hutan dan lahan juga dapat yang disebabkan oleh alam atau ulah manusia. Namun,
kebanyakan disebabkan oleh kegiatan manusia seperti pembukaan lahan dengan pembakaran
secara besar-besaran untuk HTI dan adanya Proyek di Lahan Gambut (PPLG) seluas lebih dari 1
juta hektar serta titik api yang tidak diketahui yang kebanyakan disebabkan oleh petani dan
perusahaan perkebunan yang ingin membuka lahan dengan melakukan pembakaran telah
menjadi faktor pencemaran lingkungan. Hal ini mengakibatkan penurunan kualitas udara
sampai ke tingkat tertentu. Pengertian tingkat tertentu dalam definisi ini adalah tingkat kualitas
udara yang menjadi batas antara tingkat tak cemar (tingkat kualitas udara belum sampai batas)
dan tingkat cemar (kualitas udara yang telah sampai ke batas atau melewati batas). Pencemaran
lingkungan dikatakan telah mencapai batas atau melewati batas apabila tidak dalam keadaan
yang semestinya. Sedangkan pencemaran lingkungan dikatakan belum mencapai batas apabila
masih dalam keadaan normal atau belum melewati keadaan normal.

Sebagai contoh salah satu indikator terjadinya pencemaran udara adalah kebakaran hutan pada
musim kemarau yang mulai terjadi sekitar bulan Juni di beberapa tempat di Provinsi Kalimantan
Barat hingga puncaknya pada akhir bulan Agustus dan awal September (menjelang mulai turun
hujan). Penyebaran titik api terus merambat sejalan dengan semakin meningkatnya panas bumi
yang membuat tanaman dan semak belukar semakin kering, meranggas dan mudah terbakar.
Lokasi sebagian wilayah di Provinsi Kalimantan Barat yang dilalui garis katulistiwa membuat
daerah ini menjadi lebih panas dibandingkan dengan wilayah lain di Pulau Kalimantan. Lahan
gambut yang tidak dapat menahan air ternyata menyimpan panas yang sangat besar dan selalu
turut terbakar ketika kebakaran terjadi. Bahkan dampak dari kebakaran ini juga dirasakan
kalangan pemerintah daerah dan masyarakat di Pontianak yang terjadi disekitar Bandara
Supadio merupakan indikator besarnya kebakaran di Provinsi Kalimantan Barat. Hal ini
dikarenakan asap yang tebal dapat mengganggu kegiatan penerbangan pesawat udara (untuk
mendarat dan lepas landas) sehingga sektor ekonomi daerah pun ikut terganggu (Pasaribu &
Friyatno, 2008).

Erat kaitannya dengan masalah indikator pencemaran udara, ternyata komponen pencemaran
udara turut menentukan bagaimana indikator tersebut terjadi. Komponen pencemaran udara
yang berasal dari industri. Dalam hal ini adalah asap kabut. Asap kabut sering dikaitkan dengan
pencemaran udara. Dalam kondisi cuaca tertentu asap kabut dapat bertahan dalam jangka
waktu yang cukup lama menutupi suatu kota dengan jumlah penduduk yang padat seperti
pernah terjadi di London, Los Angeles dan Athena. Asap kabut disebabkan oleh beberapa jenis
hasil pembakaran bahan kimia yang dikatalisasi oleh kehadiran cahaya matahari. Asap kabut ini
mengandung hasil oksidasi nitrogen, misalnya nitrogen dioksida, ozon troposferik, VOCs (volatile
organic compounds), dan peroxyacyl nitrat (PAN). VOC’s adalah hasil penguapan dari bahan
bakar minyak, cat, solven, pestisida dan bahan kimia lain. Sementara oksida nitrogen banyak
dihasilkan oleh proses pembakaran dalam bahan bakar fosil seperti mesin mobil, pembangkit
listrik, dan truk. Terdapat dua jenis utama asap kabut, yaitu asap kabut fotokimia seperti di Los
Angeles dan asap kabut klasik seperti di London. Asap kabut fotokimia biasanya terjadi di
daerah-daerah industri atau kota padat mobil yang menghasilkan emisi berat dan
terkonsentrasi. Namun asap kabut fotokimia tidak hanya menjadi masalah di kota-kota industri,
karena bisa menyebar ke daerah non-industri. Sedangkan contoh asap kabut klasik adalah asap
kabut yang terjadi di London setelah terjadinya revolusi industri yang menghasilkan
pencemaran besar-besaran dari pembakaran batubara. Pembakaran ini menghasilkan campuran
asap dan sulfur dioksida. Selain itu gunung berapi yang juga menyebabkan berlimpahnya sulfur
dioksida di udara, menghasilkan asbut gunung berapi atau vog (vulcanic smog atau asap kabut
vulkanis).

Sementara itu, asap kabut yang ada di wilayah perbatasan Indonesia adalah asap kabut yang
disebabkan oleh kebakaran hutan dan lahan. Asap dari kebakaran hutan dan lahan itu ternyata
telah menurunkan kualitas udara dan jarak pandang terutama di region Sumatera, Kalimantan,
termasuk Malaysia, Singapura, Brunei dan Thailand. Kebakaran hutan ini disebabkan karena
adanya praktik konversi lahan dimana penyiapan, pembersihan atau pembukaan lahan oleh
perusahaan (perkebunan/ HTI/ HPH) dengan cara membakar. Cara ini dilakukan karena dinilai
merupakan cara yang paling murah. Kemudian juga disebabkan teknik babat bakar oleh petani
tradisional ketika membuka atau membersihkan lahan peladangan (Suryani, 2012).

Polusi yang diakibatkan dari kegiatan industri memberikan kontribusi gas berbahaya seperti
sulfur dioksida (SO2), nitrogen dioksida (NO2), hidrokarbon (HC), karbon monoksida (CO) dan
debu. Polusi tidak hanya mengancam kelestarian lingkungan hidup, namun juga memberikan
dampak buruk terhadap kesehatan dan kesejahteraan manusia. Di Indonesia permasalahan
limbah selalu menjadi masalah yang sangat serius. Adanya masalah polusi ini akibat keberadaan
gas SO2 dan NO2 khususnya yang keluar dari cerobong industri. Senyawa-senyawa tersebut
merupakan penyebab utama terjadinya hujan asam, efek rumah kaca dan menjadi salah satu
penyebab menurunnya kualitas lingkungan (Djayanti, 2012).

Anda mungkin juga menyukai