TINJAUAN PUSTAKA
2. Etiologi
Etiologi osteoarthritis (OA) yang dianggap memegang peranan penting
dalam perjalanan penyakit adalah stres harian yang dialami oleh sendi,
terutama pada sendi yang memikul berat badan. Kebanyakan riset
memercayai bahwa gangguan degeneratif pada osteoarthritis diawali secara
primer oleh beban yang terlalu berat pada sendi sehat atau beban yang normal
pada sendi yang sudah terganggu terlebih dulu. Adanya gaya dari luar akan
mempercepat efek katabolik kondrosit dan merusak matriks kartilago lebih
jauh lagi.
Penyebab dari OA untuk sekarang masih belum jelas tetapi ada faktor-
faktor yang dapat mendasari terjadinya penyakit OA ini yaitu :
a. Faktor Predisposisi
Beberapa faktor pencetus dari Osteoartritis yang banyak meyebabkan
gejala, meliputi:
6
7
1) Umur
Perubahan fisik dan biokimia yang terjadi sejalan dengan
bertambahnya usia dengan penurunan jumlah kolagen dan kadar air,
dan endapannya berbentuk pigmen yang berwarna kuning.
2) Pengausan
Pemakaian sendi yang berlebihan secara teoritis dapat merusak
rawan sendi melalui 2 mekanisme yaitu pengikisan dan proses
degenerasi karena bahan yang harus dikandungnya.
3) Kegemukan
Faktor kegemukan akan menambah beban pada sendi penopang
berat badan, sebaliknya nyeri atau cacat yang disebabkan oleh
osteoartritis mengakibatkan seseorang menjadi tidak aktif dan dapat
menambah kegemukan
4) Trauma
Kegiatan fisik yang dapat menyebabkan osteoartritis adalah trauma
yang menimbulkan kerusakan pada integritas struktur dan
biomekanik sendi tersebut.
5) Keturunan
Herbeden node merupakan salah satu bentuk osteortritis yang biasa
ditemukan pada pria yang kedua orang tuanya terkena osteoartritis
sedangkan wanita, hanya salah satu dari orang tuanya yang terkena.
6) Akibat penyakit radang sendi lain
Infeksi (artritis rematoid, infeksi akut, infeksi kronis) menimbulkan
reaksi peradangan dan pengeluaran enzim perusak matrik rawan
sendi oleh membran synovial dan sel- sel radang.
7) Joint mallignment
Pada akromegali karena pengaruh hormone pertumbuhan, maka
rawan sendi akan menebal dan menyebabkan sendi menjadi tidak
stabil/ seimbang sehingga memperceat proses degenerasi
8) Penyakit Endokrin
Pada hipertiroidisme terjadi produksi air dan garam- garam
proteglikan yang berlebihan pada seluruh jaringan penyokong
8
3. Patofisiologi
Penyakit sendi degeneratif merupakan suatu penyakit kronik, tidak
meradang, dan progresif lambat, yang seakan-akan merupakan proses
penuaan, rawan sendi mengalami kemunduran dan degenerasi disertai dengan
pertumbuhan tulang baru pada bagian tepi sendi. Proses degenerasi ini
disebabkan oleh proses pemecahan kondrosit yang merupakan unsur penting
rawan sendi. Pemecahan tersebut diduga diawali oleh stress biomekanik
tertentu. Pengeluaran enzim lisosom menyebabkan dipecahnya polisakarida
protein yang membentuk matriks di sekeliling kondrosit sehingga
mengakibatkan kerusakan tulang rawan. Sendi yang paling sering terkena
adalah sendi yang harus menanggung berat badan, seperti panggul lutut dan
kolumna vertebralis. Sendi interfalanga distal dan proksimasi.
Osteoartritis pada beberapa kejadian akan mengakibatkan terbatasnya
gerakan. Hal ini disebabkan oleh adanya rasa nyeri yang dialami atau
diakibatkan penyempitan ruang sendi atau kurang digunakannya sendi
9
4. Jenis-jenis Osteoartritis
Osteoartritis dibedakan menjadi 2 jenis yaitu :
a. Osteoartritis Tipe primer (idiopatik)
OA tipe Primer tidak diketahui dengan jelas penyebabnya, dapat
mengenai satu atau beberapa sendi. Osteoartritis jenis ini terutama
detemukan pada wanita kulit putih, usia baya, dan umumnya bersifat
poli-artikular dengan nyeri akut disertai rasa panas pada bagian distal
interfalang, yang selanjutnya terjadi pembengkakan tulang (Nodus
Heberden) (Muttaqin, 2008 hal 335)
b. Osteoartritis Tipe skunder
OA tipe Sekunder dapat disebabkan oleh penyakit yang menyebabkan
kerusakan pada synovia sehingga menimbulkan osteoartritis sekunder.
Beberapa kondisi yang dapat menimbulkan osteoartritis sekunder yaitu
bisa karena trauma, faktor genetik, dan penyakit metabolik/endokrin.
5. Manifestasi Klinis
Menurut Davey (2006), OA dapat mengenai sendi-sendi besar maupun
kecil. Distribusi OA dapat mengenai sendi leher, bahu, tangan, kaki, pinggul,
lutut.
a. Nyeri : Nyeri pada sendi berasal dari inflamasi pada sinovium, tekanan
pada sumsum tulang, fraktur daerah subkondral, tekanan saraf akibat
osteotit, distensi, instabilnya kapsul sendi, serta spasme pada otot atau
10
ligamen. Nyeri terjadi ketika melakukan aktifitas berat. Pada tahap yang
lebih parah hanya dengan aktifitas minimal sudah dapat membuat
perasaan sakit, hal ini bisa berkurang dengan istirahat.
b. Kekakuan sendi : kekakuan pada sendi sen'ng dikeluhkan ketika pagi hari
ketika setelah duduk yang terlalu lama atau setelah bangun pagi.
c. Krepitasi : sensasi suara gemeratak yang sering ditemukan pada tulang
sendi rawan.
d. Pembengkakan pada tulang biasa ditemukan terutama pada tangan
sebagai nodus Heberden (karena adanya keterlibatan sendi Distal
Interphalangeal (DIP)) atau nodus Bouchard (karena adanya keterlibatan
sendi Proximal Phalangeal (PIP)). Pembengkakan pada tulang dapat
menyebabkan penurunan kemampuan pergerakan sendi yang progresif.
e. Deformitas sendi : pasien seringkali menunjukkan sendinya perlahan-
lahan mengalami pembesaran, biasanya terjadi pada sendi tangan atau
lutut.
f. Gangguan Fungsi, kondisi ini muncul akibat tulang-tulang pembentuk
sendi menjadi tidak serasi
11
6. Pathway Osteoartritis
Gambar 2.1
Stress
biomekanis
Degradasi matriks
Kondrosit Sintesis matriks
- Sitokinin IGF-1 & TGF-β
- Enzim-MMP
- Nitrogen monoksida Integritas
Matriks Hilang
Osteoartritis
7. Klasifikasi
Menurut Kellgren dan Lawrence osteoartritis dalam pemeriksaan radiologis
diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Grade 0 : Normal, Tidak tampak adanya tanda-tanda OA pada
radiologis.
b. Grade 1 : Ragu-ragu, tanpa osteofit.
c. Grade 2 : Ringan, osteofit yang pasti, tidak terdapat ruang antar
sendi.
d. Grade 3 : Sedang, osteofit sedang, terdapat ruang antar sendi yang
cukup besar.
e. Grade 4 : Berat atau parah, osteofit besar, terdapat ruang antar sendi
yang lebar dengan sklerosis pada tulang subkondral.
Menurut American College of Rheumatology 2015 dalam Woolf dan
Pfleger 2010, hal 77 mendeskripsikan kesehatan seseorang berdasarkan
derajat keparahan. Antara lain sebagai berikut :
a. Derajat 0 : Tidak merasakan tanda dan gejala.
b. Derajat l : Terbentuk taji kecil, nyeri dirasakan ketika beraktifitas
cukup berat, tetapi masih bisa dilokalisir dengan cara
mengistirahatkan sendi yang terkena osteoartritis.
c. Derajat 2 : Osteofit yang pasti, mungkin terdapat celah antar sendi,
nyeri hampir selalu dirasakan, kaku sendi pada pagi hani,
krepitus, membutuhkan bantuan dalam menaiki tangga,
tidak mampu berjalan jauh, memerlukan tenaga asisten
dalam menyelesaikan pekeijaan rumah.
d. Derajat 3-4 : Osteoiit sedang-berat, terdapat celah antar sendi,
kemungkinan terjadi perubahan anatomis tulang, nyeri
disetiap hari, kaku sendi pada pagi hari, krepitus pada
gerakan aktif sendi, ketidakmampuan yang signifikan
dalam beraktivitas (Amanda, 2015: hal 13-14).
13
8. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi bila osteoartritis tidak ditangani yaitu
terjadi deformitas atau kerusakan struktur penunjang sendi dengan perjalanan
penyakit. Pergeseran ulnar atau jari, subluksasi sendi metakarpofalangeal,
deformitas bautonmere dan leher angsa pada kaki terdapat protrusi (tonjolan)
kaput metatarsal yang timbul sekunder dari subluksasi metatarsal. Kelainan
sistem pencernaan yang sering dijumpai adalah gastritis dan ulkus peptikum
yang merupakan komplikasi utama penggunaan obat anti inflamasi nonsteroid
(OAINS) atau obat pengubah perjalanan penyakit (disease modifying
antirhematoid drugs, DMARD).
Yang menjadi faktor penyebab morbiditas dan mortalitas utama pada
arthritis reumatoid. Komplikasi saraf yang terjadi memberikan gambaran
jelas, sehingga sukar dibedakan antara akibat lesi artikuler dan lesi
neuropatik. Umumnya berhubungan dengan mielopati akibat ketidakstabilan
vertebra servikal dan neuropati iskemik akibat vaskulitis.
d. Aspirasi sendi
Cairan sinovial menunjukkan adanya kekurangan serta proses radang
aseptik, cairan dari sendi dikultur dan bisa diperiksa secara makroskopik.
pada anak dan remaja. Penataan ini dilakukan agar sambungan/ engsel
tidakmenerima beban saat melakukan pergerakan.
b. Pemeriksaan fisik
Setelah melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik berguna untuk
mendukung data pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya
dilakukan persistem (Bl -B6) dengan fokus pemeriksaan B6 (Bone).
1) B1 (Breathing)
Pada inspeksi, bila tidak mengenai sistem pernapasan, biasanya
ditemukan kesimetrisan rongga dada normal, klien tidak sesak napas,
tidak ada penggunaan otot bantu pernafasan. Pada palpasi, taktil
fremitus seimbang kanan dan kiri. Pada perkusi, ada suara resonan
pada seluruh lapang paru. Pada auskultasi, suara napas
hilang/melemah pada sisi yang sakit, biasanya didapatkan suara
ronki atau mengi.
2) B2 (Blood)
Pengisian kapiler kurang dari 1 detik, sering ditemukan keringat
dingin dan pusing. Adanya pulsus perifer memberi makna terjadi
gangguan pembuluh darah atau edema yang berkaitan dengan efek
obat atau penyakit osteoartritis.
3) B3 (Brain)
Kesadaran biasanya compos mentis. Pada kasus yang lebih
parah, klien biasanya mengeluh pusing dan gelisah
a) Kepala dan wajah : Ada sianosis.
b) Mata : Sklera biasanya tidak ikterik, konjungtiva anemis pada
kasus efusi pleura hemoragi kronis.
c) Leher : Biasanya JVP dalam batas normal.
4) B4 (Bladder)
Produksi urine biasanya dalam batas normal dan tidak ada
keluhan pada sistem perkemihan.
5) B5 (Bowel)
Untuk kasus osteoartritis, tidak ada gangguan eliminasi.
Walaupun demikian, perlu dikaji frekuensi, kepekatan, warna, bau,
dan jumlah urine. Klien biasanya berasa mual, nyeri lambung, yang
20
1. Jantung berdebar-
debar
2. Cepat lelah
3. Nyeri dada
5. Fungsi Pencernaan
1. Mual/muntah
2. Nyeri ulu hati
3. Makan dan minum
banyak (berlebihan)
4. Perubahan
kebiasaan buang air
besar (mencret atau
sembelit)
6. Fungsi Pergerakan
1. Nyeri kaki saat
berjalan
2. Nyeri pinggang atau
tulang belakang
3. Nyeri
persendian/bengkak
7. Fungsi Persyarafan
1. Lumpuh/kelemahan
pada kaki atau
tangan
2. Kehilangan rasa
3. Gemetar/tremor
4. Nyeri pegal pada
daerah tengkuk
8. Fungsi Saluran
Perkemihan
1. Buang air kecil
banyak
2. Sering buang air
kecil pada malam
hari
3. Tidak mampu
mengontrol
pengeluaran air
kemih (ngompol)
JUMLAH
Analisis hasil data yang didapat :
Skor < 25 : Tidak ada masalah kesehatan kronis s/d masalah
kesehatan kronis ringan
Skor 26-50 : Masalah kesehatan kronis sedang
Skor >51 : Masalah kesehatan kronis berat
23
3) Status Fungsional
Pengkajian status fungsional didasarkan pada kemandirian klien
dalam menjalankan aktivitas kehidupan sehari-hari. Kemandirian
berarti tanpa pengawasan, pengarahan, atau bantuan orang lain.
24
Pengkajian ini didasarkan pada kondisi aktual klien dan bukan pada
kemampuan, artinya jika klien menolak untuk melakukan suatu
fungsi, dianggap sebagai tidak melakukan fungsi meskipun ia
sebenarnya mampu (Maryam, 2008 hal 174-175).
Tabel 2.3
No. Aktivitas Mandiri Tergantung
(Nilai 1) (Nilai 0)
1. Mandi di kamar mandi
(menggosok, membersihkan, dan
mengeringkan badan)
2. Menyiapkan pakaian, membuka
dan mengenakannya.
3. Memakan makanan yang telah
disediakan
4. Memelihara kebersihan diri untuk
penampilan diri (menyisir rambut,
mencuci rambut, menggosok gigi,
mencukur kumis)
5. Buang air besar di WC
(membersihkan dan mengeringkan
daerah bokong)
6. Dapat mengontrol pengeluaran
feses (tinja)
7. Buang air kecil di kamar mandi
(membersihkan dan mengeringkan
daerah kemaluan)
8. Dapat mengontrol pengeluaran air
kemih
9. Berjalan di lingkungan tempat
tinggal atau ke luar ruangan tanpa
alat bantu, seperti tongkat
10. Meminjamkan ibadah sesuai agama
dan kepercayaan yang dianut
11. Melakukan pekerjaan rumah,
seperti merapihkan tempat tidur,
mencuci pakaian, memasak, dan
membersihkan ruangan
12 Berbelanja untuk kebutuhan sendiri
atau kebutuhan keluarga.
13. Mengelola keuagan (menyimpan
dan menggunakan uang sendiri)
14. Menggunakan sarana transfortasi
umum untuk berpergian
15. Menyiapkan obat dan minum obat
sesuai dengan aturan (takaran obat
25
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah keputusan klinik tentang respon individu,
keluarga, dan masyarakat mengenal masalah kesehatan actual atau potensial,
di mana berdasarkan pendidikan dan pengalamannya, perawat dapat
mengidentifikasi dan memberikan intervensi secara pasti untuk menjaga,
menurunkan, membatasi, mencegah dan mengubah status kesehatan klien.
Diagnosa keperawatan ini memberikan gambaran tentang masalah atau status
27
kesehatan klien yang nyata (actual) dan kemungkinan yang akan terjadi,
dimana pemecahannya dapat dilakukan dalam batas wewenang perawat.
Rumusan diagnosa keperawatan mengandung tiga kompenen dasar, yaitu
problem (masalah), ethiologi (penyebab) dan symptom (gejala). Jika
disingkatkan mejadi PES. Problem atau masalah merupakan gambaran
keadaan klien dimana tindakan penyimpangan dari keadaan normal yang
seharusnya tidak terjadi. Sedangkan, etiologi menunjukan penyebab masalah
kesehatan yang memberikan arah terhadap terapi keperawatan. Penyebabnya
meliputi perilaku, lingkungan, sera interaksi antara perilaku dan lingkungan.
Sementaa itu symptom ialah ciri tanda atau gejala, yang merupakan informasi
yang diperlukan untuk merumuskan diagnosis keperawatan. (Evania. Nadia,
2010 hal 20)
Diagnosis keperawatan yang paling sering muncul adalah sebagai berikut
(Muttaqin, 2008 hal 343).
a. Nyeri sendi yang berhubungan dengan perubahan mekanis sendi
menyangga beban tubuh serta keterbatasan mobilitas.
b. Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan penurunan rentang
gerak, kelemahan otot, nyeri pada gerakan, dan kekakuan pada sendi
besar atau pada jari tangan.
c. Gangguan citra diri yang berhubungan dengan perubahan dan
ketergantungan fisik serta psikologis yang disebabkan oleh penyakit
atau terapi.
d. Resiko tinggi trauma yang berhubungan dengan keterbatasan ketahanan
fisik, perubahan fungsi sendi
e. Ketidakefektifan koping yang berhuubungan dengan gaya hidup atau
perubahan peran yang aktual atau dirasakan.
f. Defisiensi pengetahuan dan infomasi yang berhubungan dengan salah
persepsi, kurang informasi.
3. Intervensi Keperawatan
Langkah ketiga dari proses keperawatan adalah perencanaan. Menurut
Kozie (2008), perencanaan adalah sesuatu yang telah dipetimbangkan secara
28
Kaji ulang riwayat jatuh bersama pasien Mengidentifikasi hal yang menjadi
dan keluarga resiko setiap kali jatuh sebagai langkah
pencegahan dikemudian hari
Identifikasi karakteristik lingkungan Upaya dalam pencegahan resiko jatuh
yang mungkin meningkatkan potensi terjadi dengan menilai kondisi
jatuh lingkungan yang dapat menjadi
penyebab resiko jatuh terjadi
Monitor gaya berjalan (terutama Mengindentifikasi gaya berjalan,
kecepatan), keseimbangan dan tingkat keseimbangan dan tingkat kelelahan
kelelahan dengan ambulasi sebagai hal yang dapat menjadi faktor
resiko jatuh terjadi.
Ajarkan pasien bagaimana jika jatuh, Meminimalisir terjadinya cedera yang
untuk meminimalkan cedera parah
4. Implementasi Keperawatan
Implementasi adalah tahap ketika perawat mengaplikasikan asuhan
keperawatan ke dalam bentuk intervensi keperawatan guna membantu klien
mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kemampuan yang harus dimiliki
34
5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah tahap akhir dari proses keperawatan yang merupakan
perbandingan yang sistematis dan terencana antara hasil akhir yang teramati
dan tujuan atau kriteria hasil yang dibuat pada tahap perencanaan. Evaluasi
dilakukan secara berkesinambungan dengan melibatkan klien dan tenaga
kesehatan lainnya. Jika hasil evaluasi menunjukan tercapainya tujuan dan
kriteria hasil, klien bisa keluar dari siklus proses keperawatan. Jika
sebaliknya, klien akan masuk kembali ke dalam siklus tersebut mulai dan
pengkajian ulang (reassessment) (Asmadi, 2008 as cited in Aziz, 2008 hal 25-
26).
Menurut craven dan Himir (2000) evaluasi didefiniskan sebagai keputusan
dan efektivitas asuhan keperawatan anatara dasar tujuan keperawatan klien
yang telah ditetapkan dengan respons prilaku kalien yang tampil. Tujuan dari
evalusi adalah menetukan perkembangan kesehatan klien, menilai efektivitas,
efisiensi, dan produktivitas tindakan keperawatan yang telah diberikan
menilai pelaksanaan asuhan keperawatan, mendapatkan umpan balik, serta
tanggung jawab dan tanggung gugat dalam pelaksanaan pelayanan
keperawatan.
Terdapat dua tipe dokumentasi evaluasi yaitu evaluasi formatif yang
menyatakan evaluasi yang dilakukan pada saat memberikan intervensi dengan
respon segera, dan evaluasi sumatif yang merupakan rekapitulasi dari hasil
observasi dan analisis status pasien pada waktu tertentu. Evaluasi sumatif
dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan SOAP, sebagai berikut :
36
2. Pengaruh
Menurut Potter & Perry, 2013 hal 78 Pengaruh stimulasi kutaneus: slow-
stroke back massage meliputi:
a. Pelebaran pembuluh darah dan memperbaiki peredaran darah di dalam
jaringan tersebut. Dengan cara ini penyaluran zat asam dan bahan
makanan ke sel-sel diperbesar dan pembuangan dari zat-zat yang tidak
terpakai akan diperbaiki. Jadi akan timbul proses pertukaran zat yang
lebih baik. Aktifitas sel yang meningkat akan mengurangi rasa sakit dan
akan menunjang proses penyembuhan luka, radang setempat seperti
abses, bisul-bisul yang besar dan bernanah, radang empedu, dan juga
beberapa radang persendian.
38
5. Prosedur Pelaksanaan
Prosedur pelaksanaan stimulus kutaneus slow stroke back massage (Shocker,
2008), adalah:
a. Fase Orientasi :
1) Mengucapkan Salam
2) Memperkenalkan diri
3) Kontrak waktu
4) Menjelaskan tujuan
5) Menanyakan kesiapan pasien Fase Kerja
b. Fase Kerja
1) Klien dipersilahkan untuk memilih posisi yang diinginkan selama
intervensi, bisa tidur miring, telungkup, atau duduk.
2) Buka punggung klien, bahu, dan lengan atas. Tutup sisanya dengan
selimut.
3) Sebelum melakukan terapi SSBM, dilakukan pemeriksaan lokalis
terlebih dahulu
4) Setelah itu perawat mencuci tangan dalam air hangat. Hangatkan
losion (minyak kelapa) di telapak tangan atau tempatkan botol losion
ke dalam air hangat. Tuang sedikit losion di tangan. Jelaskan pada
responden bahwa losion akan terasa dingin dan basah. Gunakan
losion sesuai kebutuhan.
5) Lakukan usapan pada punggung dengan menggunakan jari-jari dan
telapak tangan sesuai dengan metode di atas selama 3-10 menit. Jika
responden mengeluh tidak nyaman, prosedur langsung dihentikan.
6) Akhiri usapan dengan gerakan memanjang dan beritahu klien bahwa
perawat mengakhiri usapan
7) Bersihkan kelebihan lotion di punggung klien dengan handuk mandi.
8) Bantu memakai baju/piyama.
9) Bantu klien posisi yang nyaman.
10) Rapikan alat dan cuci tangan
c. Fase Terminasi
1) Menyampaikan hasil anamnesa dan dokumentasi
40
D. Konsep Nyeri
1. Definisi Nyeri
Nyeri adalah perasaan yang tidak nyaman yang sangat subjektif dan hanya
orang yang mengalaminya yang dapat menjelaskan dan mengevaluasi
perasaan tersebut. Secara umum, nyeri dapat didefinisikan sebagai perasaan
tidak nyaman, baik ringan maupun berat.
41
2. Penyebab Nyeri
a. Trauma
1) Mekanik, yaitu rasa nyeri timbul akibat ujung-ujung saraf bebas
mengalami kerusakan. Misalnya akibat benturan, gesekan, luka, dan
lain-lain.
2) Termal, yaitu nyeri timbul karena ujung saraf reseptor mendapat
rangsangan akibat panas dan dingin. Misal karena api dan air.
3) Kimia, yaitu timbul karena kontak dengan zat kimia yang bersifat
asam atau basa kuat. & Elektrik, yaitu timbul karena pengaruh aliran
listrik yang kuat mengenai reseptor rasa nyeri yang menimbulkan
kekejangan otot dan luka bakar.
4) Peradangan, yakni nyeri terjadi karena kerusakan ujung-ujung saraf
reseptor akibat adanya peradangan atau terjepit oleh pembengkakan,
misalnya abses.
5) Gangguan sirkulasi darah dan kelainan pembuluh darah.
6) Gangguan pada jaringan tubuh, misalnya karena edema akibat
terjadinya penekanan pada reseptor nyeri.
7) Tumor, dapat juga menekan pada reseptor nyeri.
8) Iskemi pada jaringan, misalnya terjadi blokade pada arteri koronaria
yang menstimulasi reseptor nyeri akibat tertumpuknya asam laktat.
9) Spasme otot, dapat menstimulasi mekanik.
42
3. Pengukuran Nyeri
Menurut (Smeltzer & Bare, 2010 hal 67) Intensitas nyeri
menunjukkan seberapa banyak nyeri yang dialami seseorang. Pasien
biasanya mampu mendeskripsikan intensitas nyeri yang mereka rasakan
dalam wakru yang relatif cepat. Intensitas nyeri sering diungkapakan
dengan menggunakan kata-kata seperti ‘tidak ada nyeri’, ‘ringan’,
‘sedang’, ‘berat’ atau bisa juga menggunakan skoring untuk menunjukkan
intensitas nyeri yang dirasakan. Mengkaji nyeri tidak hanya sebatas
menilai intensitas nyeri, kualitas nyeri, dan durasi nyeri, tetapi, mengkaji
nyeri juga mempertimbangkan pengaruh dan respon nyeri tersebut
terhadap orang yang mengalaminya.
Pada osteoartritis pengukuran nyeri yang digunakan cukup banyak
meliputi Visual Analogue Scale (VAS), Numeric Rating Scale (NRS),
Neuropathic pain Scale (NPS), McGill Pain Quistionare (MPQ), The
Western Ontario and McMaster Universities Osteoarthritis Index
(WOMAC) yang menilai tiga dimensi yaitu nyeri, kekakuan, dang fungsi
fisik. Selain itu the Brief Pain Inventory (BPI) yang biasa digunakan pada
nyeri kanker dapat juga digunakan pada nyeri osteoartritis. Terdapat juga
The Health Assessment Questionnaire (HAQ) dan The Disease Activity
Score (DAS) merupakan alat yang mengukur nyeri pada osteoartritis.
a. Pengukuran nyeri dengan Numeric Rating Scale (NRS)
NRS adalah skala sederhana yang digunakan secara linier dan
umumnya digunakan untuk mengukur intensitas nyeri dalam praktek
klinis. NRS khas menggunakan skala 11 point dimana titik akhirnya
mewakili nyeri yang paling ekstrim. NRS ditandai dengan garis angka
nol sampai sepuluh dengan interval yang sama dimana 0 menunjukkan
tidak ada nyeri, 5 menunjukkan nyeri sedang, dan 10 menunjukkan nyeri
berat.
NRS biasanya dijelaskan kepada pasien secara verbal, namun dapat
disajikan secara visual. Ketika disajikan secara visual, NRS dapat
ditampilkan dalam orientasi horizontal atau vertikal. Alat ini telah
menunjukkan sensitivitas terhadap pengobatan dalam intensitas nyeri dan
43
4. Penanganan Nyeri
a. Farmakologi
1) Analgetik narkotik
Analgetik narkotik terdiri atas berbagai derivate opium seperti
mofrin dan kodein. Narkotik dapat memberikan efek penurunan
nyeri dan kegembiraan karena obat ini membuat ikatan dengan
reseptor opiat dan mengaktifkan penekanan nyeri endogen pada
susunan saraf pusat. Namun, penggunaan obat ini akan menimbulkan
efek menekan pusat pernafasan di medulla batang otak sehingga
perlu pengkajian secara teratur terhadap perubahan dalam status
pernafasan jika menggunakan analgesik jenis ini. Nyeri yang
membandel (intractable pain) tidak dapat dihilangkan secara
permanen. (Wahit Iqbal, dkk 2015 hal 221)
2) Analgetik non narkotik
Analgesik non narkotik seperti aspirin, asetaminofen, dan
ibuprofen selain memiliki efek anti nyeri juga memiliki efek anti
implamasi dan antipiretik. Obat golongan ini myenyebabkan
penurunan nyeri dengan menghambat produksi prostaglandin dari
44
E. Konsep Lansia
1. Pengertian
a. Lansia adalah golongan penduduk yang mendapat perhatian atau
pengelompokan tersendiri adalah populasi berumur 60 tahun keatas
(Nugroho, 2009).
b. Lansia adalah tahap akhir dari proses penuaan seseorang dimana terjadi
perubahan sel pada tubuhnya dan biasanya berusia 80 tahun keatas
(Suhartiana, 2010).
c. Lansia adalah sesorang yang lazimnya menginjak usia 50 tahun atau 60
tahun keatas maupun normal sosialnya ( Yaunul, 2010).
2. Proses Menua
Menua (menjadi tua) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-
lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan
45
untuk selalu menjaga kebugaran fisiknya agar tetap sehat secara fisik.
Motivasi tersebut diperlukan untuk melakukan latihan fisik secara benar dan
teratur untuk meningkatkan kebugaran fisiknya.
Berkaitan dengan perubahan, bahwa perubahan yang dialami oleh setiap
orang akan mempengaruhi minatnya terhadap perubahan tersebut dan
akhirnya mempengaruhi pola hidupnya. Bagaimana sikap yang ditunjukkan
apakah memuaskan atau tidak memuaskan, hal ini tergantung dari pengaruh
perubahan terhadap peran dan pengalaman pribadinya. Perubahan yang
diminati oleh para lanjut usia adalah perubahan yang berkaitan dengan
masalah peningkatan kesehatan, ekonomi/pendapatan dan peran sosial
(Nugroho, 2009 hal 90)
Dalam menghadapi perubahan tersebut diperlukan penyesuaian. Ciri-ciri
penyesuaian yang tidak baik dari lansia (Nugroho, 2009 hal 90) adalah:
a. Minat sempit terhadap kejadian di lingkungannya.
b. Penarikan diri ke dalam dunia fantasi
c. Selalu mengingat kembali masa lalu
d. Selalu khawatir karena pengangguran,
e. Kurang ada motivasi,
f. Rasa kesendirian karena hubungan dengan keluarga kurang baik, dan
g. Tempat tinggal yang tidak diinginkan.
Di lain pihak ciri penyesuaian diri lanjut usia yang baik antara lain
adalah: minat yang kuat, ketidaktergantungan secara ekonomi, kontak
sosial luas, menikmati kerja dan hasil kerja, menikmati kegiatan yang
dilkukan saat ini dan memiliki kekhawatiran minimla trehadap diri dan
orang lain.
3. Batasan Lansia
Menurut WHO, 2013 ada beberapa batasan umur lansia yaitu :
a. Middle Age : 45-59 tahun
b. Ederly : 60-70 tahun
c. Old : 75-90 tahun
d. Very Old : Diatas 90 tahun
47