Oleh: Zulkifli*
Abstract: There were three paradigm of relationship between religion and state. The first kind was
integrated paradigm. This dealed with the relationship between religion (including
political issue) and state. This paradigm was represented by ‘Syiah’ and ‘Sunni’. The
second kind was symbolic paradigm. This kind dealed with the mutual relationship
between religion and state in which religion could be developed because of the state
existency, and the state also could be developed because of the religion. This paradigm
supported by M. Mawardi Al-Ghazali. The last kind was secular paradigm. This
kind opposed integreted and symbolic paradigm. This paradigm was supported by Ali
Abdul Raziq.
berlakuan hukum (law enforcement). dengan hal ini adalah imamah atau
Oleh karena itu, doktrin dasar ne- kepemimpinan) adalah lembaga ke-
gara, seperti diungkapkan Immanuel agamaan dan mempunyai fungsi
Kant, adalah negara berdasarkan keagamaan. Menurut pandangan
hukum dan bertujuan untuk men- Syi'ah, berhubung legitimasi ke-
ciptakan perdamaian abadi. agamaan berasal dari Tuhan dan
Dalam pemikiran politik Islam diturunkan lewat garis keturunan
terdapat, paling tidak, tiga para- Nabi Muhammad, legitimasi politik
digma tentang hubungan agama dan harus berdasarkan legitimasi ke-
negara. Nuansa di antara ketiga agamaan dan hal ini hanya dimiliki
paradigma ini terletak pada konsep- oleh keturunan Nabi.
tualisasi yang diberikan kepada Berbeda dengan paradigma pe-
kedua istilah tersebut. Kendati Islam mikiran politik Sunni, yang me-
dipahami sebagai agama yang me- nekankan ijma' (pemufakatan) dan
miliki totalitas --dalam pengertian bay'ah (pembalatan) kepada "kepala
meliputi keseluruhan aspek kehi- negara" (khalifah), paradigma Syi'ah
dupan manusia, termasuk pofitik-- menekankan walayah (kecintaan" dan
namun sumber-sumber Islam juga "pengabdian" kepada Tuhan) dan
mengajukan pasangan istilah seperti 'ismah (kesucian dari dosa), yang
dunya-akhirat (dunia-akhirat), din- hanya dimiliki oleh para keturunan
dawlah (agama negara), atau umur al- Nabi, sebagai yang berhak dan absah
dunya-umur al-din (urusan dunia- untuk menjadi "kepala negara"
urusan agama). Pasangan istilah-istilah (imam). (Hamid Enayat, 1982: 6)
tersebut menunjukkan adanya per- Sebagai lembaga politik yang
bedaan konseptual dan mengesan- didasarkan atas legitimasi keagama-
kan adanya dikotomi. (M. Din an dan mempunyai fungsi menye-
Syamsuddin, 1993: 1-3) lenggarakan "kedaulatan Tuhan" ne-
Paradigma pertama memecah- gara, dalam perspektif Syi'ah, ber-
kan masalah dikotomi tersebut de- sifat teokratis. Negara teokrasi
ngan mengajukan konsep bersatu- mengandung unsur pengertian bah-
nya agama dan negara. Agama wa kekuasaan mutlak berada di
(Islam) dan negara, dalam hal ini tangan Tuhan, dan konstitusi negara
tidak dapat dipisahkan (integrated). berdasarkan pada wahyu Tuhan
Wilayah agama juga meliputi politik (Syariah). Sifat teokratis negara
atau negara. Karenanya, menurut dalam pandangan Syi'ah dapat
paradigma ini, negara merupakan ditemukan dalam pemikiran banyak
lembaga politik dan keagamaan se- ulama politik Syi'ah. Khomeini,
kaligus. Pemerintahan negara dise- umpamanya, menyatakan bahwa
lenggarakan atas dasar "kedaulatan “dalam Negara Islam wewenang
Illahi" (divine sovereignty), karena me- menetapkan hukum berada pada
mang kedaulatan itu berasal dan Tuhan. Tiada seorang pun berhak
berada di “tangan" Tuhan. menetapkan hukum. Dan yang boleh
Paradigma seperti ini dianut berlaku hanyalah hukum dari
oleh kelompok Syi'ah. Paradigma Tuhan”. (Imam Khomeini, 1981: 55)
pemikiran Syi'ah memandang bah- Kendati demikian, pemikir
wa negara (istilah yang relevan politik Iran kontemporer menolak
177 Zulkifli, Paradigma Hubungan Agama dan Negara
kepala pemerintahan, dalam separuh Dia juga telah mengirim raja-raja dan
kedua dari bukunya al-Mawardi memberi mereka "kekuatan Illahi"
menguraikan tugas-tugas adminis- (farr-i izadi). Keduanya memiliki
tratif dan seorang kepala peme- tujuan yang sama: kemaslahatan
rintahan (khalifah). Namun hal ini kehidupan manusia (masalahat-
tidak dapat disimpulkan bahwa al- izandaghani). (Al-Ghazali, 1317: 10)
Mawardi mengeliminasi watak Mungkin al-Ghazali tidak
keagamaan dari lembaga kenegaraan bermaksud menyamakan antara nabi
(kekhalifahan). Dalam pandangan- dan raja, mungkin dapat berarti
nya, negara tetap merupakan lem- antara agama dan negara, namun
baga politik dengan sanksi-sanksi paralelisme yang dilakukannya me-
keagamaan. nunjukkan status tinggi dan raja atau
Dalam konsepsi al-Mawardi negara dalam hubungannya dengan
tentang negara, syari’ah (baca: nabi atau agama. Paralelisme ini
agama) mempunyai posisi sentral dapat ditafsirkan sebagai simbiosis
sebagai sumber legitimasi terhadap yang bersifat setara. Kesimpulan ini
realitas politik. Dalam ungkapan lain, dikuatkan oleh al-Ghazali dalam
al-Mawardi mencoba mengkompro- Kimiya yi Sa'adat bahwa agama dan
mikan realitas politik dengan idea- negara adalah saudara kembar
litas politik seperti diisyaratkan oleh (tawaman) yang lahir dari satu ibu.
agama, dan menjadikan agama (Al-Ghazali, 1940: 59)
sebagai alat justifikasi kepantasan Konsep farr-i izadi yang men-
atau kepatutan politik. Dengan de- jadi dasar simbiosis agama dan
mikian, al-Mawardi sebenarnya me- negara dalam pemikiran al-Ghazali,
ngenalkan sebuah pendekatan prag- mempunyai akar sejarah pada pe-
matik dalam penyelesaian persoalan mikiran pra-Islam Iran. Konsep ini
politik kala dihadapkan dengan mengandung arti bahwa kualitas-
prinsip-prinsip agama. kualitas tertentu yang harus dimiliki
Seorang pemikir lain yang juga oleh seorang pemimpin atau kepala
dapat disebut membawa pandangan negara, seperti pengetahuan, keadil-
simbiosis agama dan negara adalah an, dan kearifan. Kualitas-kualitas
al-Ghazali (w. 1111). Kendati al-- demikian diyakini bersumber pada
Ghazali tidak secara khusus dikenal Tuhan dan bersifat "titisan" (pre-
sebagai pemikir politik, namun ordained). Dengan menegaskan farr-i
beberapa karyanya mengandung izadi dalam kepemimpinan negara,
pemikiran pemikiran politik yang al-Ghazali mungkin bermaksud me-
signifikan, seperti Nasihat al- Mulk, negaskan dimensi keagamaan. dalam
Kimiya-yi al-Sa'adat, dan al-Iqtisad fi lembaga negara. Jika demikian ada-
al-I'tiqad. nya, maka al-Ghazali, seperti halnya
Dalam nasihat al-Mulk, al-Ghazali al-Mawardi, juga mengenalkan sua-
antara lain, mengisyaratkan hubung- tu pendekatan realistik dalam me-
an paralel antara agama dan negara, lakukan rekonsiliasi antara idealitas
seperti dicontohkan dalam paralelis- agama dan realitas penyelenggaraan
me nabi dan raja. Menurut al-Ghazali, negara.
jika Tuhan telah mengirim nabi-nabi Paradigma ketiga bersifat seku-
dan memberi mereka wahyu, maka laristik. Paradigma ini menolak baik
179 Zulkifli, Paradigma Hubungan Agama dan Negara
model negara Islam atau partai Pada masa klasik, kala kekuasaan
Islam. berada dalam dominasi penguasa
Pendekatan substantivistik, se- muslim dan rakyat terdiri dari kaum
baliknya, cenderung menekankan isi muslim, unifikasi agama dan negara
dari pada bentuk atau format negara hanya berada pada tingkat formal,
itu, tapi memusatkan perhatian ke- tapi proses politik kenegaraan tidak
pada bagaimana mengisinya dengan sepenuhnya memantulkan etika dan
etika dan moralitas agama. moralitas Islam. Begitu pula, bebe-
Kedua pendekatan ini juga rapa eksperimentasi negara Islam di
menampilkan perbedaan mendasar masa modern, di mana kekuasaan
pada aktualisasi keyakinan keagama- negara juga berada dibawah domi-
an (religious belief) ke dalam aksi politik nasi penguasa muslim dan rakyat
(political action). Kelompok formalis- terdiri dari mayoritas pemeluk
me keagamaan akan cenderung Islam, masih dihadapkan pada per-
mengadakan politisasi agama, se- tanyaan tentang kualitas inple-
dangkan kelompok substantivisme mentasi nilai-nilai Islam. Penerapan
cenderung melakukan substansiasi nilai-nilai Islam, dalam hal ini,
agama ke dalam proses politik. terkesan formalistik dan juristik da-
Terlepas dari adanya berbagai lam bentuk pemberlakuan hukum-
paradigma hubungan agama dan positif berdasarkan norma-norma
negara, dan berbagai kecenderungan Islam.
dalam menemukan jawaban Islam Beberapa prinsip Islam tentang
bagi konsep tentang negara, uni- pemerintahan dan kenegaraan, se-
fikasi agama dan negara dalam perti prinsip demokrasi, persamaan
kenyataan sejarah agama Islam ma- hak politik, kebebasan politik, belum
sih memerlukan pembuktian hakiki. menjelma dalam kenyataan.
DAFTAR PUSTAKA
Tradisi, Kemodernan dan
Al-Buraey, Muhammad A. Islam
Metamodernisme, Yogyakarta:
Landasan Alternatif Adminstrasi
LKiS, 1996
Pembangunan, Jakarta: Rajawali
Press, 1986 Imam Khomeini, Islam and
Revolution, Writing and
Enayat, Hamid, Modern Islamic
Declaration of Imam Khomeini.
Political Thought, Austin: 1982
Terjemahan dan anotasi Hamid
Al-Ghazali, Kimiya yi Sa'adat, Vol. l, Algar, Berkeley: 1981
Teheran: 1940
Imarah, Muhammad, al-Islam wa
______, Nasihat al-Mulk, Teheran: Ushul al-Hukm ii 'Ali 'Abd al-
1317 H Raziq, Beirut: 1972
Hasyim, Syafiq, Islam dan Politik: Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat
Sebuah Studi Keterkaitan, Telaah Islam, Bandung: Mizan, 1997
Awai Mengenai Pemikiran
Al Maududi, Abul A'la, "Political
Mohammad Arkoun, dalam John
Theory of Islam" dalam Khursid
Hendrik Meuleman (ed),
183 Zulkifli, Paradigma Hubungan Agama dan Negara