Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Global status report on NCD World Health Organization (WHO)


tahun 2017 melaporkan bahwa 70% penyebab kematian di seluruh dunia
adalah karena PTM. Penyakit kardiovaskular global menyebabkan 17 juta
kematian per tahun dan komplikasi hipertensi mencapai 9,4 juta kematian
di seluruh dunia (WHO, 2017).

Hipertensi atau tekanan darah tinggi merupakan peningkatan


tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan darah diastolik
lebih dari 90 mmHg. Hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2007 yang
dilakukan di Indonesia menunjukkan bahwa proporsi penyebab kematian
tertinggi adalah penyakit tidak menular (31,9%) termasuk hipertensi dan
stroke. Prevalesi hipertensi juga dilaporkan makin meningkat seiring
dengan meningkatnya usia. Usia hipertensi paling sering dijumpai adalah
usia 40 tahun ke atas.

Hipertensi merupakan penyakit kronis yang sering dijumpai tanpa


adanya gejala klinis dan membutuhkan kontrol optimal serta kepatuhan
terus-menerus untuk mengonsumsi obat sehingga dapat mengurangi
komplikasi kardiovaskular maupun penyakit ginjal. Hipertensi merupakan
faktor resiko independen yang kuat untuk terjadinya penyakit ginjal tahap
akhir.

Peningkatan tekanan darah yang berlangsung dalam jangka waktu


lama (persisten) dapat menimbulkan kerusakan pada ginjal (gagal ginjal),
jantung (penyakit jantung koroner, otak (menyebabkan stroke) dan dapat
menyebabkan kematian bila tidak dideteksi secara dini dan mendapat
pengobatan yang memadai.

Hipertensi pada dasarnya merusak pembuluh darah. Jika pembuluh


darahnya yang berada pada ginjal pecah, maka ginjal tersebut akan
mengalami kerusakan. Di dalam ginjal terdapat jutaan pembuluh darah
kecil yang berfungsi sebagai penyaring guna mengeluarkan produk sisa
darah. Karena ukuran pembuluh darah yang kecil, ginjal tidak dapat
menerima aliran darah dengan jumlah besar dalam waktu yang bersamaan.
Akibatnya pembuluh darah kapiler dalam ginjal mengalami kerusakan.

1
Peningkatan tekanan darah yang berlangsung dalam jangka waktu
lama (persisten) dapat menimbulkan kerusakan pada ginjal (gagal ginjal),
jantung (penyakit jantung koroner, otak (menyebabkan stroke) dan dapat
menyebabkan kematian bila tidak dideteksi secara dini dan mendapat
pengobatan yang memadai. Proteinuria adalah manifestasi paling umum
dari penyakit ginjal. Definisi proteinuria menurut National Institute
Disesase (NIDDK) adalah sebuah keadaan dimana terdapatnya komponen
protein dalam kandungan urin. Komponen protein dalam urin yang paling
sering adalah albumin, yang akan meningkat sejalan dengan meningkatnya
kerusakan pembuluh darah di ginjal.

Pemeriksaan terhadap protein urin termasuk pemeriksaan rutin.


Munculnya jumlah protein yang berkembang di urin bisa dijadikan
indikator penting dari penyakit ginjal. Normalnya, hanya sebagian kecil
dari protein plasma difiltrasi di glomerulus. Protein yang difiltrasi tersebut
kemudian direabsorbsi di tubulus, sehingga dalam keadaan normal tidak
ada protein plasma yang muncul di urin.

Untuk mendeteksi adanya albuminuria dapat dilakukan dengan tes


dipstick. Tes dengan dipstick merupakan tes yang mudah dilakukan di
seluruh fasilitas kesehatan. Riskesdas 2013 juga melaporkan cakupan
tenaga kesehatan di Indonesia untuk mendeteksi hipertensi hanya 36,8%
sedangkan sebagian besar masyarakat yaitu 63,2% kasus hipertensi tidak
terdiagnosis. Pemeriksaan albuminuria yang mudah dan murah dilakukan
dapat membantu masyarakat untuk meningkatkan kewaspadaan
terdapatnya hipertensi yang dapat menyebabkan kerusakkan ginjal. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara hipertensi dengan
albuminuria pada usia 40-70 tahun.

1.2 RUMUSAN MASALAH


a. Apa yang dimaksud dengan protein?
b. Apa yang dimaksud dengan protein urin (albuminuria)?
c. Apa yang dimaksud dengan hipertensi?
d. Bagaimana hubungan antara hipertensi dengan albuminuria?

1.3 TUJUAN
a. Untuk mengetahui defenisi protein
b. Untuk mengetahui defenisi protein urin (albuminuria)
c. Untuk mengetahui defenisi hipertensi
d. Untuk mengetahui hubungan antara hipertensi dengan albuminuria

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 PROTEIN

2.1.2 Pengertian Protein

Protein adalah senyawa organic kompleks yang merupakan polimer


dari monomer-monomer asam amino yang dihubungkan satu sama lain
dengan ikatan peptide. Molekul protein mengandung karbon, hidrogen,
oksigen dan nitrogen (Patra, 2019).
Ada 4 tingkat struktur protein yaitu:
a. Struktur primer
Struktur primer merupakan struktur yang sederhana dengan
urutan-urutan asam amino yang tersusun secara linear yang
mirip seperti tatanan huruf dalam sebuah kata dan tidak terjadi
percabangan rantai.

b. Struktur sekunder
Struktur sekunder protein bersifat regular, pola lipatan berulang
dari rangka protein. Dua pola terbanyak adalah alpha helix dan
beta sheet.

c. Struktur tersier
Struktur tersier protein adalah lipatan secara keseluruhan dari
rantai polipeptida sehingga membentuk 3 dimensi tertentu.

d. Struktur kuartener
Beberapa protein tersusun atas lebih dari satu rantai
polipeptida. Struktur kuartener menggambarkan subunit-
subunit yang berbeda dipakai bersama-sama membentuk
struktur protein.

2.1.2 Fungsi Protein

Protein memiliki beberapa fungsi, yaitu:

a. Protein hormon
Hormon protein bertugas mengatur tindakan dan fungsi
hormone dalam tubuh. Setiap hormone memengaruhi tiap satu

3
sel tertentu untuk mengkoordinasi proses metabolism dalam
tubuh. Misalnya organ pancreas yang menghasilkan hormon
insulin untuk mengatur kadar gula dalam darah.

b. Protein enzim
Bertugas sebagai pembentuk enzim, yakni zat yang
mendukung terjadinya reaksi kimia dalam tubuh. Misalnya
enzim dihasilkan untuk mengubah karbohidrat, protein, dan
lemak ke dalam bentuk yang lebih sederhana agar mudah
diserap tubuh.

c. Protein struktural
Berfungsi untuk mempertahankan struktur dan membangun
konstruksi tubuh dari tingkat sel. Misalnya protein kolagen
yang menjadi komponen utama tendon, tulang rawan, dan
kulit. Protein keratin juga berfungsi untuk membentuk struktur
kulit, kuku, rambut dan gigi.

d. Protein antibodi
Disebut juga protein defensive, berfungsi melindungi tubuh
dari serangan virus, bakteri, dan zat asing lainnya. Protein ini
bertindak sebagai komponen pembentuk antibodi dalam tubuh.
Misalnya fibrinogen dan thrombin yang merupakan antibody
dan berfungsi membantu proses pembekuan darah, mencegah
kehilangan darah setelah terjadinya cedera, serta mempercepat
proses penyembuhan luka.

e. Protein transport
Berfungsi sebagai pengatur molekul dan zat gizi dalam tubuh.
Misalnya hemoglobin yang berfungsi unntuk mengikat oksigen
yang mengantarkannya.

f. Protein pengikat
Berfungsi menyimpan asam amino dan ion logam yang
dibutuhkan tubuh. Protein ini jugs bertindak sebagai cadangan
makanan yang memberikan energy jika dibutuhkan oleh tubuh.
Misalnya protein ferritin yang menyimpan dan mengontrol
kadar zat besi dalam tubuh.

4
g. Protein penggerak
Protein ini bertanggung jawab untuk pergerakan otot dalam
tubuh, seperti mengatur kekuatan dan kecepatan jangtungg
bergerak dan otot saat berkontraksi. Misalnya myosin dan
aktin untuk menghasilkan kontraksi otot, dan relaksasi seperti
saat menekuk dan meluruskan lutut kaki (Anonim, 2017).

2.1.3 Penggolongan Protein


a. Penggolongan protein berdasarkan struktur susunan molekul
 Protein fible/skleroprotein adalah protein yang berbentuk
serabut. Protein ini tidak larut dalam pelarut pelarut encer, baik
larutan garam, asam, basa maupun alkohol. Kegunaan protein
ini terutama hanya untuk membentuk struktur bahan dan
jaringan. Kadang protein ini disebut albuminoid dan sklerin.
Contoh protein fibler adalah kolagen yang terdapat pada tulang
rawan, miosin pada otot, keratin pada rambut dan fibrin pada
gumpalan darah
 Protein globuler/sferoprotein yaitu protein yang berbentuk
bola. Protein ini banyak terdapat pada bahan pangan seperti
susu, telur dan daging.

b. Penggolongan protein berdasarkan kelarutan


 Albumin: larut dalam air dan terkoagulasi oleh panas.
Contohnya albumin telur, albumin serum,dan laktabumin pada
susu.
 Globulin: tidak larut dalam air, terkoagulasi oleh panas, larut
dalam larutan garam encer, dan mengendap dalam larutan
konsentrasi tinggi. Contohnya miosin dalam otot, ovoglobulin
dalam kuning telur, amandin dari buah almonds, leugamin
dalam kacang-kacangan.
 Glutein: tidak larut dalam pelarut netral tetapi larut dalam
asam/basa encer.
 Protamin: protein paling sederhana dibanding protein-protein
lain. Protein ini larut dalam air dan tidak terkoagulasi oleh
panas.

c. Penggolongan protein berdasarkan senyawa lain pada protein


 Protein konjugasi: protein yang mengandung senyawa lain
yang nonprotein. Contohnya hemoglobin darah.
 Protein sederhana: hanya mengandung senyawa protein

5
d. Penggolongan protein berdasarkan tingkat degradasi
 Protein alami: protein dalam sel
 Turunan protein yang merupakan hasil degradasi protein.

2.1.4 Pencernaan Protein

Protein dicerna atau dihidrolisis di dalam tubuh, untuk membedakan


asam amino agar dapat diserap dan didistribusikan oleh darah keseluruh
organ dan jaringan tubuh. Asam amino merupakan produk akhir dari
perombakan protein. Proses perubahan protein menjadi asam amino
berlangsung didalam saluran pencernaan, terutama usus halus, akan
dihasilkan 20 jenis asam amino yang berbeda (Afrianto dan Liviawaty,
2007).
Protein yang berbentuk polipeptida (polimer dari asam amino) akan
diubah menjadi peptida yang lebih sederhana oleh enzim pepsin dan
tripsin. Selanjutnya, dengan bantuan amino peptidase, peptida ini akan
diubah lagi menjadi asam amino. Asam amino akan diserap oleh darah dan
diangkut keseluruh bagian tubuh. Didalam jaringan tubuh, asam amino
akan diubah kembali menjadi protein dan selanjutnya disimpan sebagai
cadangan dalam bentuk protein tubuh (Afrianto dan Liviawaty, 2007).

2.2 PROTEIN URIN (ALBUMINURIA)

2.3.1 Pengertian Albuminuria

Albumin adalah protein utama yang terdapat dalam darah manusia


yang diproduksi oleh organ hati. Albumin berfungsi untuk mengatur
tekanan dalam pembuluh darah dan menjaga agar cairan yang terdapat
dalam pembuluh darah tidak bocor ke jaringan tubuh lainnya. Albumin
diproduksi di dalam hati melalui proses penyaringan dan penghancuran
protein dalam darah menjadi menjadi molekul yang lebih kecil sehingga
terbentuklah albumin. Kadar normal albumin dalam darah antara 3,4 – 4,5
g/dL.
Albuminuria adalah suatu kondisi di mana urin mengandung potein
albumin yang banyak. Albumin adalah protein utama yang terdapat dalam

6
darah, sehingga albuminuria disebut juga sebagai proteinuria
(Gandasoebrata, 2013).

2.3.2 Patofisiologi Albuminuria

Pada keadaan normal selektifitas muatan listrik dan ukuran dari


dinding kapiler glomerulus akan mencegah protein (albumin, globulin dan
molekul protein plasma yang besar) melewatinya. Proteinuria terjadi
karena molekul protein dapat melewati membrane glomerulus. Proteinuria
dapat meningkat pada kondisi berikut:

a. Perubahan permeabilitas glomerulus yang mengikuti peningkatan


filtrasi dari protein plasma normal terutama albumin.
b. Kegagalan tubulus mengabasorbsi sejumlah kecil protein yang
normal difiltrasi.
Derajat proteinuria dan komposisi protein pada urin tergantung
mekanisme jejas pada ginjal yang berakibat hilangnya protein. Sejumlah
besar protein secara normal melewati kapiler tetapi tidak memasuki urin.
Muatan dan selektivitas dinding glomerulus mencegah transportasi
albumin, globulin dan protein dengan berat molekul besar lainnya untuk
menembus dinding glomerulus. Jika terjadi kerusakan, akan terdapat
kebocoran protein plasma dalam urin (Bawier, 2006)

2.3.3 Metode Pemeriksaan Protein Urin

a. Pemeriksaan kualitatif
 Metode carik celup: akurasi untuk protein kurang akurat
disbanding pemeriksaan standar. Hal ini karena carik celup hanya
sensitif untuk albumin
 Metode heller: kurang akurat karena penilaian hanya secara
kualitatif dan tidak ada nilai untuk protein urin yang positif atau
terbentuk cincin putih

b. Pemeriksaan semi kualitatif


 Metode Ewitz (Asam sulfosalicy 20%) tidak bersifat spesifik,
meskipun sangat peka, adanya protein dalam konsentrasi 0,002%
dapat diketahui
 Pemeriksaan Asam Asetat 6% tidak bersifat spesifik karena
penilaian dinilai adanya kekeruhan pada urin apabila urin dari awal
sudah keruh maka hasil protein urin tidak dapat dipakai

7
c. Pemeriksaan semi kuantitatif

Pemeriksaan kuantitatif menggunakan metode Esbach yang sensitif


terhadap 60 mg/L albumin, tetapi kurang sensitif terhadap protein Bence
Jones dan protein lain yang berat molekul rendah.

2.3 HIPERTENSI
2.3.3 Pengertian Hipertensi

Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah peningkatan darah


sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari 90
mmHg pada dua kali pengukuran dengan selang waktu lima menit dalam
keadaan cukup istirahat/tenang (Kementerian Kesehatan RI, 2014).
Tekanan darah adalah gaya (atau dorongan) darah ke dinding arteri
saat darah di pompa keluar dari jantung ke seluruh tubuh. Hasil
pengukuran tekanan darah berupa dua angka yang menunjukkan tekanan
sistolik dan diastolik (misalnya 120/80, disebut ‘seratus dua puluh per
delapan puluh’). Angka yang di atas menunjukkan tekanan sistolik, yaitu
tekanan arteri saat jantung memompa darah melalui pembuluh. Angka
yang di bawah menunjukkan tekanan diastolik, yaitu tekanan arteri saat
jantung bereaksi di antara dua denyutan (kontraksi) (Rachmawati, 2013)

2.3.4 Faktor Resiko Hipertensi

Menurut (Kementerian Kesehatan RI, 2014) pada umumnya


hipertensi tidak mempunyai penyebab yang spesifik. Namun ada beberapa
faktor resiko hipertensi, diantaranya: umur, riwayat keluarga, kebiasaan
merokok, konsumsi garam, kebiasaan mengonsumsi minum-minuman
beralkohol, obesitas, stress.

a. Umur
Insiden hipertensi meningkat seiring dengan pertambahan
umur. Pasien yang berumur diatas 60 tahun, 50-60%
mempunyai tekanan darah lebih besar atau sama dengan
140/90 mmHg. Hal ini merupakan pengaruh degenerasi yang
terjadi pada orang yang bertambahnya usia.

b. Riwayat keluarga
Seseorang yang mempunyai riwayat keluarga sebagai
pembawa hipertensi mempunyai resiko dua kali lebih besar

8
untuk terkena hipertensi. Hal ini berkaitan dengan gen dan
faktor genetik, dimana banyak gen turut berperan pada
perkembangan gangguan hipertensi.

c. Kebiasaan merokok
Nikotin dan rokok meningkatkan tekanan darah secara akut.
Merokok akan memaksa jantung bekerja lebih keras karena
suplai oksigen yang sedikit. Nikotin dan karbon monoksida
yang dikandung rokok ketika dihisap akan masuk ke dalam
aliran darah dan merusak lapisan endotel pembuluh darah
arteri, dan mengakibatkan proses aterosklerosis dan tekanan
darah tinggi

d. Konsumsi garam
Untuk menormalkannya cairan intraseluler ditarik ke luar,
sehingga volume cairan ekstraseluler meningkat.
Meningkatnya volume cairan ekstraseluler tersebut
menyebabkan meningkatnya volume darah, sehingga
berdampak kepada timbulnya hipertensi.

e. Konsumsi minuman beralkohol


Minum alkohol mengandung banyak ethanol. Semakin
banyak ethanolnya, semakin keras minumannya. Konsumsi
alkohol yang berlebihan dapat meningkatkan tekanan darah.

f. Obesitas
Lemak yang berlebihan memberikan tekanan berlebihan pada
arteri, dan akibatnya pada jantung. Hal ini meningkatkam
tekanan pada arteri dan jantung. Secara tidak langsung
menyebabkan kenaikan tekanan darah.

g. Stress
Stres dapat meningkatkan tekanah darah sewaktu. Hormon
adrenalin akan meningkat sewaktu kita stres, dan itu bisa
mengakibatkan jantung memompa darah lebih cepat sehingga
tekanan darah pun 12 meningkat.

9
2.3 HUBUNGAN ANTARA HIPERTENSI DAN ALBUMINURIA

Hipertensi pada dasarnya merusak pembuluh darah. Jika pembuluh


darahnya yang berada pada ginjal pecah, maka ginjal tersebut akan
mengalami kerusakan. Di dalam ginjal terdapat jutaan pembuluh darah
kecil yang berfungsi sebagai penyaring guna mengeluarkan produk sisa
darah. Karena ukuran pembuluh darah yang kecil, ginjal tidak dapat
menerima aliran darah dengan jumlah besar dalam waktu yang bersamaan.
Akibatnya pembuluh darah kapiler dalam ginjal mengalami kerusakan.
Munculnya protein yang berkembang di urin bisa dijadikan
indikator penting dari penyakit ginjal, karena dalam keadaan normal
protein yang ada di dalam darah akan disaring oleh glomerulus ginjal
sehingga tidak akan mungkin terdapat di dalam urin (Arianda, 2015).
Protein darah merupakan molekul yang memiliki ukuran molekul
yang sangat besar sehingga pada orang yang normal, tidak akan bisa
menembus saringan ginjal pada bagian glomerulus. Jika ditemukan protein
di dalam urin, itu artinya saringan yang ada di glomerulus tersebut telah
rusak dan jebol. Dengan rusaknya saringan di glomerulus tadi maka dapat
menyebabkan zat-zat lain yang seharusnya disaring oleh glomerulus juga
akan ikut lewat. Jika telah lolos dari saringan di glomerulus, protein tidak
akan direabsorpsi lagi pada bagian tubulus sehingga akan keluar melalui
urin. Berbeda dengan zat-zat lain yang ukuran molekulnya lebih kecil,
seperti glukosa yang masih bisa reabsorpsi pada bagian tubulus. Sehingga
pemeriksaan protein dalam urin bisa digunakan sebagai parameter untuk
menentukan ada tidaknya kerusakan ginjal pada pasien yang memiliki
kadar protein urin tinggi atau albuminuria memiliki resiko lima kali lipat
menderita luka ginjal akut (Rachmawati, 2013).

10
BAB III
METODE DAN PEMBAHASAN

3.1 METODE

Metode penelitian pada jurnal (Hubungan antara hipertensi dengan


albuminuria pada usia 40-70 tahun) merupakan penelitian dengan desain
potong lintang yang mengikutsertakan 40 responden. Data diambil dari
rekam medis dari bulan Desember 2014 – Desember 2015 di salah satu
rumah sakit swasta di Jakarta Pusat.
Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah pasien pria dan wanita
usia 40-70 tahun, terdapat data hasil pemeriksaan laboratorium
albuminuria dan menderita hipertensi dengan kriteria sebagai berikut:

Table 1. Klasifikasi Hipertensi


Kategori Tekanan Darah Tekanan Darah
Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)
Normal ≤ 120 dan ≤ 80
Pre hipertensi 120 – 139 atau 80 – 90
Hipertensi derajat 1 140 – 159 atau 90 – 99
Hipertensi derajat 2 ≥ 160 atau ≥ 100
Hipertensi sistolik ≥ 140 dan ≥ 90

Kriteria ekslusinya adalah pasien dengan rekam medis yang tidak


lengkap, diabetes mellitus, penyakit jantung dan menderita infeksi saluran
kemih. Pemeriksaan albuminuria dilakukan dengan tes dipstick. tes disebut
negative bila didapatkan albuminuria <150mg/hari; positif 1: 200-
500mg/hari; positif 2: 500-1500mg/hari dan positif 3 >2,5 g/hari.

3.2 PEMBAHASAN

Table 2. Distribusi usia berdasarkan albuminuria


Albuminuria (n) P
Negatif Positif
40 – 49 tahun 5 6
50 – 59 tahun 6 9 0.400
≥60 9 5
Keterangan: p<0,05 berbeda bermakna (Uji Chi Square)

11
Table 3. Distribusi responden dengan hipertensi dan albuminuria

Albuminuria (n) P
Negatif Positif
Pre hipertensi 7 1
Hipertensi derajat 1 8 4 0.001*
Hipertensi derajat 2 1 14
Hipertensi sistolik 4 1
Keterangan: p<0,05 berbeda bermakna (Uji Fitsher)
.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa usia tidak menunjukkan
perbedaan bermakna secara statistik dengan albuminuria. Sedangkan
berdasarkan perbedaan derajat hipertensi dengan albuminuria didapatkan
jumlah terbanyak pada subjek dengan hipertensi derajat 2 sebanyak 15
orang. Hasil ini menunjukkan bahwa urinalisa albumin dapat digunakan
sebagai pemeriksaan penunjang pada penderita hipertensi yang merupakan
pertanda adanya komplikasi ke organ ginjal.
Implikasi penelitian ini adalah bahwa diperlukan pemeriksaan
tekanan darah secara rutin dan pemeriksaan urinalisis yang mencangkup
adanya tes albuminuria sebagai skrining pada pasien yang berusia di atas
40 tahun karena dapat mengetahui kemungkinan adanya hipertensi atau
penyakit lainnya yang menyebabkan terjadinya albuminuria, mengingat
banyaknya pasien dengan hipertensi yang tidak menyadari bahwa dirinya
hipertensi. Keterbatasan penelitian ini adalah data yang digunakan adalah
data sekunder sehingga tidak diketahui berapa lama pasien sudah
menderita hipertensi

12
BAB IV

PENUTUP

4.1 KESIMPULAN

Sebagai kesimpulan terdapat kolerasi yang bermakna antara


hipertensi dengan albuminuria yang menunjukkan bahwa semakin besar
nilai tekanan darah pada pasien hipertensi akan memengaruhi organ ginjal
sehingga menyebabkan terjadinya albuminuria.

13
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 7 Jenis dan Fungsi Protein bagi Tubuh. Tersedia


https://www.halodoc.com/inilah-7-jenis-dan-fungsi-protein-bagi-tubuh.
Diakses 05 Oktober 2015.

Ariand Dedy. 2015. Kimia Klini Seri 1 Sistem Urinaria dan Pemeriksaan
Urinalisa. Bekasi: Am-publising.

Bawier LA. 2006. Proteinuria. Dalam buku ajar Penyakit Dalam. Edisi keempat
jilid 1. Jakarta: Pusat Penerbit Departemen Ilmu Penyakit Dalam

Patra Setiawan. Protein: Pengertian, Fungsi, Sumber, Manfaat, Unsur dan


Struktur. Tersedia https://www.gurupendidikan.co.id/pengertian-protein/.
Diakses 05 Oktober 2015

Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. 2014. Hipertensi.

Rachmawati Novi. 2013. Gambaran Protein Urin pada Penderita Hipertensi.


Program Studi Analis Kesehatan Fakultas Ilmu kesehatan: Universitas
Muhammadiyah Palangkaraya. Tersedia dalam http://umpalangkaraya.ac.id.
Diakses 05 Oktober 2019.

Word Health Organization. 2017. Non Communicable Disease. Tersedia dalam


http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs355/en/. Diakses 08 Oktober
2019

14

Anda mungkin juga menyukai