Anda di halaman 1dari 39

SANGKALAN:

Pendapat yang disampaikan dalam monograf tidak mewakili posisi


atau pandangan resmi dari Lembaga Kebudayaan Embun
Kalimasada dan Yayasan Badan Wakaf UII. Pendapat yang
disampaikan merupakan pendapat pribadi penulis.

Hak Cipta 2019 dimiliki oleh penulis.

Diterbitkan oleh
Lembaga Kebudayaan Embun Kalimasada
Yayasan Badan Wakaf UII
Jalan Cik Di Tiro No. 1

Pertama kali diterbitkan pada 2019.

Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang.


MASA DEPAN ISLAM-POLITIK DAN
ISLAMISME DI INDONESIA

oleh AE Priyono

“Agama mencoba merebut hegemoninya dengan kekuasaan politik,


tapi kekuasaan politik adalah proses yang terjadi di dunia yang
berdosa. Kalaupun agama menang, atau merasa menang, ia tak akan
bisa membuat hidup jadi 100% suci.”
- Goenawan Mohamad

Islam-Politik Dan Islamisme: Sketsa Awal


Islam-politik (political-Islam) yang dimaksudkan dalam risalah ini
adalah berbagai ekspresi Islam dalam ranah politik, atau Islam yang
diekspresikan atau dimanifestasikan dalam bahasa politik, atau
Islam yang muncul sebagai diskursus atau gerakan sosial-politik
dengan tujuan politik. Singkatnya, entitas Islam sebagaimana
diwujudkan dalam kategori politik. Dalam pengertian ini,
Islam-politik harus dibedakan dengan, misalnya Islam-ritual
(ritual-Islam), atau Islam-kultural (cultural-Islam). Jika dilacak
penggunaannya yang paling awal di Indonesia, istilah Islam-politik
antara lain digunakan oleh Christian Snouck Horgronje untuk
mendeskripsikan sebuah kategori Islam pada masa kolonial. Ia
membedakan Islam-ibadah atau Islam-ritual dengan Islam-politik.
Atas dasar perbedaan itu ia merekomendasikan pemerintah kolonial
tidak boleh mempersoalkan Islam-ritual, tapi harus mewaspadai
Islam-politik. Ini yang menjelaskan mengapa dulu pemerintah
kolonial Balanda membantu orang Islam menyelenggarakan
transportasi haji, tapi di pihak lain melarang organisasi sosial Islam
yang bergerak di bidang politik.
Islam-politik pada masa kolonial muncul dalam bentuk Sjarikat
Islam (SI) yang merupakan evolusi dari Sjarikat Dagang Islam (SDI).
Jika SDI terutama bergerak dalam bidang penguatan usaha ekonomi

1
MONOGRAF EMBUN KALIMASADA YBW UII NO. 2
MASA DEPAN ISLAM-POLITIK DAN ISLAMISME DI INDONESIA

di kalangan pengusaha Muslim terutama untuk menghadapi


kekuatan bisnis Cina yang didukung Belanda, maka SI merupakan
organisasi dengan basis gerakan sosial untuk konsolidasi
sosial-politik masyarakat Muslim. Seperti diketahui, SI akhirnya
bertransformasi menjadi organisasi politik dengan basis sosial yang
meluas dan bersifat lintas-kelas dengan tujuan politik menentang
kolonialisme. Perkembangan ini membuktikan rekomendasi
Horgronje bahwa Islam-politik yang tidak dikontrol ketat akan
membahayakan kekuasaan. Bagi Horgronje, Islam-politik
mengandung aspirasi untuk melawan, merebut, atau membangun
kekuasaan politik.
Di zaman kemerdekaan Indonesia, Islam politik muncul dalam
bentuk partai-partai politik Islam. Di masa demokrasi liberal tahun
1950an, Islam-politik pernah muncul dalam bentuk koalisi
organisasi-organisasi Islam yang bernama Masjumi (Majelis Sjuro
Muslimin Indonesia). Tapi pada 1955, mulai terjadi pluralisasi
Islam-politik sehingga muncul Partai NU yang mewakili aspirasi
Islam tradisional yang tadinya bergabung dalam Masjumi. Ketika
akhirnya Masjumi dibubarkan oleh Bung Karno pada 1960, Partai
NU bertahan untuk memasuki pergantian zaman. Di zaman Orde
Baru, mula-mula muncul empat partai Islam dalam pemilu 1971
(Partai NU, PSII, Parmusi, dan Perti). Tapi pada 1973 partai Islam
digabungkan hanya menjadi satu, bernama PPP (Partai Persatuan
Pembangunan), dan sejak pemilu 1977 sampai Orde Baru tumbang
pada 1998, Islam-politik hanya diwakili oleh partai itu.
Pada zaman reformasi, mulai bermunculan partai-partai Islam
baru selain PPP yang masih bertahan. Partai-partai politik
semi-Islam juga bermekaran untuk mewakili kekuatan gerakan
sosialnya yang berbasis Muslim. Misalnya pada pemilu 1999, dari 48
partai yang lolos menjadi partai peserta pemilu, 17 di antaranya
(sekitar 35%-nya) adalah partai-partai dengan aspirasi Islam atau
semi-Islam – yakni: Partai Kebangkitan Muslim Indonesia, Partai
Ummat Islam, Partai Kebangkitan Ummat, Partai Masyumi Baru,
Partai Persatuan Pembangunan, Partai Syarikat Islam Indonesia,
Partai Abul Yatama, Partai Amanat Nasional, Partai Syarikat Islam
Indonesia 1905, Partai Politik Islam Indonesia Masyumi, Partai Bulan
Bintang, Partai Keadilan, Partai Nahdlatul Ummat, Partai Islam
Demokrat, Partai Persatuan, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai
Ummat Muslimin Indonesia.

2
MONOGRAF EMBUN KALIMASADA YBW UII
MASA DEPAN ISLAM DI INDONESIA

Islamisme di Indonesia: Partai Politik dan Gerakan Politik


Non-Partai
Setelah melewati empat kali pemilu berturut-turut pada 1999, 2004,
2009, dan 2014, dari 17 partai beraspirasi Islam yang berasal dari 1999
itu kini tinggal lima partai yang bisa bertahan – yakni PKB, PKS,
PAN, PPP, dan PBB. Kelima partai ini pula yang masih akan
bertanding kembali pada pemilu 2019. Dengan sedikit analisis pada
orientasi politik masing-masing, kita bisa melihat adanya pluralisasi
dan divergensi pada kelima partai politik itu. Namun demikian, pada
saat yang sama kita juga bisa dengan mudah menemukan titik-temu
di antara mereka, yaitu pada satu atau beberapa elemen ideologis
“Islamisme” di dalam masing-masing partai.
Islamisme sendiri mengandung beberapa pengertian dasar.
Istilah itu merujuk pada beragam bentuk aksi politik dan sosial yang
menginginkan bahwa kehidupan publik dan politik harus dituntun
oleh prinsip-prinsip Islam. Istilah itu juga merujuk pada gerakan
sosial-politik yang memperjuangkan penerapan Syariah secara
penuh. Dalam pengertian ini Islamisme kira-kira sama dengan
istilah Islam-politik. Di media Barat, penggunaan istilah itu merujuk
pada kelompok-kelompok yang bertujuan mendirikan negara Islam
berdasarkan Syariah. Gerakan kelompok-kelompok itu biasanya
dekat dengan praktek fundamentalisme agama dan
1
kekerasan-politik, dengan konotasi ekstremisme politik.
Menurut definisi di atas, kelima partai itu memiliki elemen
aspirasional yang sama, yakni:
[i] secara minimal bercita-cita memperjuangkan kehidupan publik
dan politik yang berdasarkan prinsip-prinsip etik dan politik Islam
atau; jika mungkin
[ii] mengusahakan penerapan Syariah Islam dalam bidang
kehidupan publik penting; dan
[iii] secara maksimal membangun rezim daulah Islamiyah (negara
Islam) walaupun harus ditempuh dengan berbagai taktik elektoral
maupun ekstra parlementer, atau

1 Lihat https://en.wikipedia.org/wiki/Islamism

3
MONOGRAF EMBUN KALIMASADA YBW UII NO. 2
MASA DEPAN ISLAM-POLITIK DAN ISLAMISME DI INDONESIA

[iv] dengan cara radikal dan penggunaan kekerasan atau praktek


ekstremisme politik dan/atau gerakan fundamentalisme Islam, di
luar politik parlementer atau politik elektoral.
Jika kita menggunakan empat poin spektrum Islamisme di atas,
kita bisa menilai sampai derajat apa kelima partai di atas
menerapkan strategi dan taktik Islamisnya. Namun demikian, sejauh
berkenaan dengan partai politik Islam yang menempuh jalur
parlementer atau politik elektoral, mereka menghindari kekerasan
politik karena parlementerisme atau elektoralisme memang
merupakan alat perjuangan politik non-kekerasan. Jadi, tabel di
bawah ini hanya menggunakan tiga dari empat parameter yang
tersedia, dan mengesklusikan parameter keempat karena tidak
relevan. Tabel ini sekadar simulasi awal untuk memberi gambaran
tentatif. Perlu ada survai dengan menggunakan indikator yang lebih
detail dan data kualitatif lain untuk gambaran yang lebih akurat.

Partai Penerapan Penerapan (Jika terbuka


prinsip Islam Syariah Islam peluang politik)
dalam wilayah dalam wilayah menegakkan
publik & publik penting Negara Islam
politik melalui politik
elektoral
PKB * -- --

PAN * --/* --

PKS * * *

PBB * * *

PPP * * *

Selama sekitar dua dasawarsa reformasi, Indonesia menyaksikan


pergeseran besar dalam praktek politik kalangan Islamisnya. Jika
gambaran di atas adalah ilustrasi mengenai praktek politik Islamis
yang dilakukan partai-partai politik Islam, ulasan di bawah ini
selanjutnya akan menggambarkan praktek Islam-politik atau
Islamisme yang dikerjakan di kalangan gerakan atau organisasi
sosial-politik non-partai.

4
MONOGRAF EMBUN KALIMASADA YBW UII
MASA DEPAN ISLAM DI INDONESIA

Islam-politik atau Islamisme berbasis organisasi sosial-politik


non-partai yang muncul selama masa reformasi sebenarnya adalah
produk dari dasawarsa terakhir kekuasaan Suharto. Studi yang
dilakukan Zarkasyi (2008) memberi gambaran bahwa pada 1990
hingga 1994 terlihat terjadinya gejala remobilisasi
kelompok-kelompok Islam setelah Suharto melonggarkan kebijakan
depolitisasinya terhadap Islam. Sebelumnya – sejak 1970an hingga
akhir 1980an – Suharto menempuh represi yang keras terhadap
semua jenis gerakan Islam-politik. Seperti meniru Horgronje, ia
betul-betul menindas Islam-politik. Akibatnya, selama masa itu
hampir semua kekuatan Islam menarik diri dari politik; dan hanya
sedikit sekali kelompok-kelompok Islamis yang mau menangung
risiko menerima sanksi pemerintah jika mereka berani menggalang
kekuatan politik.
Baru pada awal 1990an, ketika Suharto menghadapi perlawanan
diam-diam dari dalam rezimnya, terutama dari faksi nasionalis
sebagian kalangan jenderal, ia merasa perlu menggalang dukungan
Islam (Vatikiotis 1994, 127; Hefner 2001, 222). Ia misalnya mendirikan
ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) yang menghimpun
hampir semua segmen aktivis Muslim, kecuali dari kubu Gus Dur.
Gebrakan Suharto ini juga harus dipandang sebagai langkah
repolitisasi Islam oleh rezim Suharto dalam rangka menghadapi
perlawanan demokratik dari kalangan nasionalis-sekuler. Sebuah
langkah licik yang hendak menjauhkan Islam dari gerakan
demokratisasi, sekaligus menjadikannya “bemper” menghadapi
opisisi sipil dan militer sekaligus.
Tapi bukan hanya itu, akibat lebih jauhnya adalah konsolidasi
Islam-politik mulai berlangsung di basis-basis primordialnya. Di
kampus-kampus misalnya, setelah organisasi-organisasi mahasiswa
Islam “ditaklukkan” agar menerima Pancasila sebagai asas tunggal
organisasi, aktivitas mahasiswa muslim banyak bergeser ke
masjid-masjid. Bahkan dari masjid-masjid itu pula mulai
bermunculan organisasi-organisasi Islamis bawah-tanah (Zarkasyi
2008, 347-348) – mereka berasal dari tiga model kaderisasi politik,
yakni kelompok usroh, halaqah, dan tarbiyah. Mereka inilah produk
langsung pelatihan-pelatihan yang dilakukan para alumni
universitas-universitas Timur Tengah gelombang pertama yang baru
berdatangan pulang pada paruh kedua 1980an.

5
MONOGRAF EMBUN KALIMASADA YBW UII NO. 2
MASA DEPAN ISLAM-POLITIK DAN ISLAMISME DI INDONESIA

Pada periode sebelumnya, sejak akhir 1970an hingga


pertengahan 1980an, masjid kampus memang pernah menjadi pusat
aktivisme mahasiswa Muslim untuk berbagai macam kegiatan
keagamaan. Masjid-masjid kampus seperti Masjid Shalahuddin di
UGM, Masjid Salman di ITB, atau Masjid Arif Rahman Hakim di
UI begitu terkenal ketika itu. Terutama di bulan Ramadhan,
tempat-tempat itu berubah menjadi semacam pusat konsolidasi
mahasiswa Muslim lintas organisasi ekstra-universitas (HMI, PMII,
IMM, dan sebagian GMNI), untuk repolitisasi Islam. Di
tempat-tempat itulah kaum cendekiawan Muslim berbasis kampus
bermunculan. 2 Periode ini adalah periode penting menyusul
meluasnya pengaruh revolusi Iran pada 1979 yang sempat
menimbulkan gelombang ketertarikan intelektual terhadap para
pemikir Syiah seperti Ali Shariati, Murtadha Muttahari, Alamah
Tabatabai, dst. Namun pada pertengahan 1980an, yakni sejak Orde
Baru meningkatkan represinya melalui penerapan asas-tunggal
Pancasila, khususnya terhadap organisasi-organisasi mahasiswa,
masjid-masjid kampus dan masjid-masjid lainnya di sekitar kampus
menjadi tempat berbiaknya generasi baru Islamisme.
Penelitian Zarkasyi (2008, 349-352) membeberkan bahwa pada
periode inilah para alumni Timur Tengah mulai menancapkan
pengaruhnya. Tapi menurutnya, apa yang dibawa para alumni Timur
Tengah itu tidaklah tunggal. Setidaknya ada tiga arus pemikiran
Islam penting yang dijajakan oleh mereka.
Pertama adalah diskursus Ikhwanul Muslimin dari Mesir.
Mewarisi pemikiran pendirinya, Hasan al Banna yang sangat
anti-kolonial; juga penerusnya Syed Qutb yang radikal, ideologi
Ikhwanul Muslimin adalah anti-sekularisme – di mana terkandung

2 Umumnya para cendekiawan Muslim berbasis kampus ini adalah lulusan


universitas-universitas Amerika dan/atau Eropa. Ini untuk membedakan dengan
para aktivis dakwah belakangan yang berlatar pendidikan
universitas-universitas Timur Tengah yang kemudian menguasai jamaah
masjid-masjid lain. Para cendekiawan Muslim lulusan Barat di masjid-masjid
kampus terkemuka yang disebut pertama, antara lain adalah Amien Rais,
Syaifullah Mahyuddin, Ahmad Syafii Maarif, Kuntowijoyo (masjid Shalahuddin,
UGM); Imaduddin Abdurrachim, Ahmad Sadali, Ahmad Nu’man (masjid
Salman, ITB); sedangkan di masjid Arif Rahman Hakim (UI), hampir tidak ada
cendekiawan Muslim berbasis UI yang aktif di masjid kampusnya; kebanyakan
yang diundang adalah tokoh-tokoh dari luar kampus.

6
MONOGRAF EMBUN KALIMASADA YBW UII
MASA DEPAN ISLAM DI INDONESIA

semangat anti-liberalisme dan anti-Barat. Ikhwanul Muslimin adalah


organisasi besar yang mempunyai cabangnya di hampir semua
negara Timur Tengah, dan negeri-negeri Muslim seluruh dunia,
termasuk Indonesia. Dalam beberapa kasus, ketika organisasi ini
menjadi gerakan bawah tanah karena aktivitas politiknya, di Mesir
sendiri ia pernah berubah dan berganti nama menjadi Al Tahrir
al-Islam (1974), Al-Takfir wa al-Hijrah (1977), Tanzim al Jihad (1981),
dan bahkan menjadi partai politik pemenang pemilu Justice and
Freedom Party (2012). Aspirasi Ikhwanul Muslimin adalah
membangun kekuatan sosial, ekonomi, dan politik di lingkungan
masyarakat Muslim dalam rangka menegakkan negara dan
pemerintahan Islam (Nasution 2017, 72). Pemikiran Ikhwanul
Muslimin membentuk arus di kalangan mahasiswa yang membentuk
organisasi KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia),
cikal bakal berdirinya Partai Keadilan, yang di belakang hari berubah
nama menjadi PKS (Partai Keadilan Sejahtera).
Arus kedua adalah mazhab pemikiran Salafisme Wahabis dari
Arab Saudi. Pada mulanya paham ini terutama disebar-luaskan
untuk menandingi arus pemikiran Syiah Iran yang cukup
berpengaruh di kalangan mahasiswa. Bukan tidak mungkin pula,
Salafisme – terutama dari kelompok Wahabis yang disponsori Arab
Saudi – juga merupakan reaksi defensif terhadap perluasan pengaruh
kelompok Ikhwanul Muslimin ke Indonesia. Sudah lama diketahui,
Arab Saudi menganggap Ikhwanul Muslimin sebagai bahaya.
Salafisme ditancapkan pertama kali di masjid kampus UI, di IKIP
Jakarta (kini menjadi UNJ), dan di Universitas Trisakti. Belakangan
para pengusung Salafisme membentuk LPPD (Lembaga Pengkajian
dan Pengembangan Dakwah) untuk berekspansi lebih luas di
masjid-masjid sekitar kampus di Jabodetabek dan kawasan industri.
Dalam lerkembangan berikutnya, mereka memperluas kegiatannya
di berbagai kota besar, bahkan hingga keluar Jawa – Kalimantan,
Sumatra, NTT, sampai Irian Jaya.
Arus ketiga adalah Hizbut Tahrir yang meskipun muncul lebih
belakangan daripada Salafi tetapi merangsek lebih luas ke seluruh
pelosok. Memanfaatkan jaringan para aktivis Salafi di berbagai kota,
HTI dimulai dari kampus IPB, di Bogor. HTI diperkenalkan pertama
kali oleh Abdurrahman Al-Baghdadi, pemimpin Hizbut Tahrir
Australia, yang diminta datang ke Indonesia oleh Abdullah bin Nuh,
pemilik pesantren Al-Ghazali di Bogor. Dari Bogor, HTI berkembang

7
MONOGRAF EMBUN KALIMASADA YBW UII NO. 2
MASA DEPAN ISLAM-POLITIK DAN ISLAMISME DI INDONESIA

ke Bandung (Universitas Padjadjaran), IKIP Malang, Universitas


Airlangga Surabaya, bahkan sampai Universitas Hasanuddin
Makassar. Di kota terakhir inilah HTI berkembang pesat dan bahkan
menjadi basisnya yang terkuat di seluruh Indonesia. Kini HTI
memiliki cabang di sebagian besar provinsi. Mereka mendakwahkan
cita-cita politik agar umat Islam menegakkan kekuasaan politik
tunggal di tingkat dunia yang disebut sistem kekhalifahan. Bagi
mereka, sistem politik negara-bangsa dan demokrasi harus ditolak.
Ini berarti melawan secara eksistensial politik kenegaraan Indonesia
sebagai negara-bangsa dengan sistem demokratik. Pandangan
seperti inilah yang membuat HTI menjadi salah satu gerakan
Islamis yang paling radikal – berbeda dengan misalnya FPI (Front
Pembela Islam), sebuah gerakan Islamis yang lebih lokal, yang
tujuan politiknya adalah membangun NKRI-Bersyariah, menegakkan
Syariah di atas bangunan negara-bangsa.

Praksis Radikal Islamisme di Indonesia Pasca Orde Baru


Hingga jatuhnya Suharto, gerakan-gerakan Islamis seperti yang
disebutkan di atas masih merupakan fenomena bawah tanah –
kecuali FPI yang justru dibentuk oleh rezim dalam rangka
menghadapi oposisi demokratik yang semakin meluas ketika itu.
Zarkasyi (2008, h. 350) misalnya menyebutkan bahwa HTI baru
muncul ke permukaan pada 2001. Setelah periode senyap di bawah
tanah itu, berturut-turut muncul varian-varian Islamisme yang lebih
berorientasi jihadis dan pro-kekerasan, seperti misalnya DI (Darul
Islam) dan NII (Negara Islam Indonesia) yang bangkit kembali dari
tidur panjangnya sejak tahun 1950an. Gerakan-gerakan berikutnya
diperlihatkan misalnya oleh MMI (Majelis Mujahidin Indonesia),
Lasykar Jihad, dan Jamaah Islamiyah (ibid, h. 364). Varian baru
organisasi jihadis pro-kekerasan ini berkembang bersamaan dengan
terjadinya “konflik agama” antara Islam-Kristen yang pecah di
Maluku sejak 1999, disusul Bom Natal di Jakarta (2000).
Gerakan-gerakan radikal itu kemudian berpuncak pada aksi teror
Bom Bali pada 2002.
Sampai titik ini tidak penting apakah yang terjadi adalah
radikalisasi Islamisme atau Islamisasi radikalisme. Yang jelas
gerakan-gerakan Islamis garis keras semakin banyak bermunculan

8
MONOGRAF EMBUN KALIMASADA YBW UII
MASA DEPAN ISLAM DI INDONESIA

dan sering terbukti berada di belakang berbagai peristiwa teror.


Setelah Bom Bali (2002) yang memakan korban 202 orang tewas,
berturut-turut terjadi serangan bom di hotel J.W. Marriott (2003)
yang menewaskan 12 korban; lalu serangan lain di depan kedutaan
besar Australia di Jakarta (2004) dengan korban tewas 10 orang; lalu
Bom Bali kedua (2005) yang menewaskan 26 korban; menyusul
ledakan bom empat tahun kemudian di hotel Marriott dan
Ritz-Carlton (Jakarta, 2009) yang mebunuh 9 orang; serta berikutnya
pada Januari 2016 di kompleks pertokoan Sarinah (Jakarta) dengan 8
korban tewas, termasuk 4 di antaranya adalah pelakunya sendiri
(Marshall 2018, 127). Dua serangan terakhir berikutnya, yakni yang
terjadi di Samarinda (November 2016) dan Surabaya (Mei 2018)
mulai semakin membuktikan bahwa serangan-serangan teror itu
dilakukan di bawah jaringan organisasi Islam internasional.
Sebagaimana dulu sebagian Islamis garis keras seperti Abu Bakar
Ba’asyir (MMI) beririsan dengan Al-Qaeda,3 gerakan-gerakan teror
yang dilakukan di Surabaya itupun dilakukan oleh jaringan
internasional – cabang ISIS di Asia Tenggara, yakni JAD (Jamaah
Ansharut Daulah).4
Praktek Islamisme sejak awal 2000an sebagaimana ditunjukkan
di atas setidaknya memperlihatkan dua kecenderungan. Pertama,
varian-varian Islamis Timur Tengah telah menunjukkan bahwa
Islamisme di Indonesia adalah bukti dari apa yang disebut
Bruinessen (2013) sebagai “conservative turn” dengan beberapa
konsekuensi logisnya: eksklusivis, fundamentalis, dan jihadis. Ini
menyebabkan karakter Islam Indonesia yang sebelumnya moderat,
inklusif, dan pluralis menjadi memudar. Kedua, jauh dari watak
“Islam-kultural” sebagaimana dikenal sebelumnya, Islamisme telah
menyebabkan corak Islam Indonesia pasca Orde Baru menjadi lebih
bersifat politik dan ideologis. Inilah yang akhirnya menyebabkan
Islamisme menjadi semakin identik dengan “Islam-politik” – jika

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190118212047-12-362083/jejak-radika
l-baasyir-dari-era-soeharto-hingga-jokowi
4 https://id.wikipedia.org/wiki/Pengeboman_Surabaya. Untuk kajian terpisah
tentang kelompok teroris lain, misalnya Jamaah Islamiyah, Jamaah Ansharut
Tauhid, Jamaah Ansyarus Syariah, Lasykar Jihad, Mujahidin Indonesia Timur,
lihat Galamas (2015)

9
MONOGRAF EMBUN KALIMASADA YBW UII NO. 2
MASA DEPAN ISLAM-POLITIK DAN ISLAMISME DI INDONESIA

malah bukan “Islam-ideologis.” Kecenderungan ini menyebabkan


Islamisme menjadi lebih mirip dengan konsep “agama-politik”
daripada “agama-sipil.” Ini menyebabkan Islamisme menjadi sejajar
dengan konsep komunisme atau nazisme (Mozaffari, 2007, 21).
Demikianlah, praktek gerakan kaum Islamis seperti ditunjukkan
di atas mengungkap fakta tentang adanya proyek ideologis dan
proyek politik bersamaan dengan diproduknya apa yang disebut
“Muslim-politik” – subjek politik jihadis yang melintas batas-batas
negara. Aktivitas subjek-politik Muslim-jihadis itu melampaui
Islamisme lokal dan nasional. Subjek Muslim-politik adalah
bentukan Islamisme, yakni ideologi politik yang menginginkan
ditegakkannya kekuasaan politik atas nama Islam. Dalam
kasus-kasus yang ditunjukkan di atas, proyek kekuasaan politik itu
dikerjakan melalui gerakan terorisme. Kita akan kembali ke isu ini
setelah mengemukakan temuan-temuan berikut.
Riset yang dilakukan Hwang (2012) memperlihatkan bahwa
jaringan klandestin anggota Jamaah Islamiyah (JI) di Asia Tenggara
(Indonesia, Singapura, Malaysia, Filipina) dan sebagian Australia
misalnya, terikat oleh proyek jihadis untuk menciptakan negara
Islam yang dulu diwariskan oleh organisasi lain, yakni Darul Islam
(DI). Di antara kedua organisasi itu terdapat ikatan keluarga yang
juga terdiri dari subjek politik jihadis yang sama. Dengan kata lain,
DI, JI, dan MMI (Majelis Mujahidin Indonesia) adalah jaringan
perkerabatan besar di dalam kerangka Islamisme-politik. Di sini arti
penting subjektivitas-politik memegang fungsi strategis karena
organisasi-organisasi itu berperan membentuknya dalam suatu
jaringan perkerabatan politiko-religius. Hwang (ibid, 3) juga
menyebutkan jaringan itu akhirnya memperluas diri menjadi bagian
dari jaringan yang lebih besar, Al Qaedah, di tingkat global. Jadi, dari
sel-sel aktivisme lokal organisasi bawah tanah yang disebut
“ring-Banten,” mereka mengembangkan diri menjadi jaringan jihad
Asia Tenggara, Australia, serta Pakistan dan Arab Saudi.
Riset lain yang dilakukan Zakiyah (2016), mendeteksi bahwa
aktivitas jejaring itu adalah menyebarkan ideologi radikal yang
mereka yakini; membangun jaringan; dan merekrut anggota baru
dari Indonesia (untuk dikirim ke Afghanistan di masa lalu atau ke
Syria belum lama ini); selain menyiapkan dilakukannya aksi-aksi
militan di tanah air. Seperti yang ditemukan Hwang, Zakiyah juga

10
MONOGRAF EMBUN KALIMASADA YBW UII
MASA DEPAN ISLAM DI INDONESIA

mencatat bahwa jaringan-jaringan di tingkat sel lokal (Banten, Poso,


di berbagai pelosok Jawa Barat, juga Sumatra) itu akhirnya menjadi
bagian dari Darul Islam dan Jamaah Islamiyah di tingkat nasional
maupun regional, serta dengan jaringan Al-Qaedah di tingkat
internasional.

Islamisme sebagai Ideologi Totalitarian


Contoh-contoh studi di atas memberikan serangkaian data untuk
membuktikan bahwa beberapa aliran pemikiran politik Islam tidak
lagi bisa lagi dibedakan dengan paham politik ekstremis. Buku
Mozaffari (2017) dengan judul yang provokatif, Islamism: A New
Totalitarianism menegaskan kembali kesimpulan itu. Ia
mengkonstruksi sebuah naratif yang bertujuan menjelaskan
mengapa beberapa aliran Islam berkembang menjadi Islamisme,
“sebuah ekspresi kemunduran dan pengobatan imaginer atas
kemandegan (Islam).” Bagi Mozaffari (ibid, 268), Islamisme
pertama-tama dan terutama adalah sebuah ideologi, dan dengan
demikian harus diperlakukan seperti ideologi lainnya seperti
fasisme, nazisme, atau liberalisme. 5 Menurutnya, “Islamisme tak
lebih adalah ideologi yang didasarkan pada tafsir totalitarian atas
Islam, yang tujuan akhirnya adalah menaklukan dunia, dengan cara
apapun.” Sepandangan dengan itu, Asef Bayat (2013, 4) juga
mendefinisikan Islamisme sebagai ideologi dan gerakan untuk
memperjuangkan tegaknya semacam tatanan Islam – misalnya
sebuah negara agama, hukum agama, atau kode moral Syariah.
Singkatnya, seperti yang didefinisikan Yilmaz (2011), istilah itu pada
umumnya merujuk pada Islam-politik, ideologisasi agama, dan
penggunaan instrumental Islam dalam politik. Islamisme adalah
serangkaian ideologi-ideologi yang mengungkapkan pandangan
bahwa Islam bukan hanya sebuah agama, tetapi juga system politik.
Dalam perspektif ini Yilmaz percaya bahwa Islamisme tidak tunggal,
tetapi beragam.
Kembali ke Mozaffari, ia melihat Islamisme sebagai sebuah
mazhab Islam-politik yang anti-demokratik sekaligus anti-modern.
Di antara sumber-sumber doktriner yang sangat anti-Barat,

5 Dalam pandangan seperti inilah misalnya, Hansen & Kainz (2007) pernah
menulis analisis perbandingan antara Islamisme Sayyid Qutb dengan Marxisme
dan Nazisme.

11
MONOGRAF EMBUN KALIMASADA YBW UII NO. 2
MASA DEPAN ISLAM-POLITIK DAN ISLAMISME DI INDONESIA

Mozaffari (2017, 35-46) menemukan bahwa rujukan Islamisme


terutama adalah pada ajaran Ahmad Ibn Hanbal, seorang juris abad
ke-8 atau ke-9 yang antara lain menganggap filsafat Yunani sebagai
bid’ah, pendiri mazhab fiqih yang paling ortodoks dengan semangat
anti-intelektualnya yang sengit. Di samping itu Islamisme juga
merujuk pada Abu Hamid Al-Ghazali dari abad ke-11, seorang teolog
anti-filsafat yang mendukung restorasi kekuasaan imperial Islam
Sunni ortodoks. Sumber rujukan ketiga, kata Mozaffari, ditemukan
pula pada Ibn Taymiyyah, pemikir Islam ortodoks abad ke-13/14 yang
sering mengobarkan perang jihad dan menganggap mati syahid
sebagai pilihan terbaik seorang Muslim. Dengan menunjukkan
figur-figur di atas, benarkah Mozaffari mengklaim ortodoksi
Sunnisme sebagai sumber ideologis Islamisme? Ternyata tidak. Di
dalam tulisan lain sebelumnya, dia mengingatkan revolusi Iran
sebagai sumber lain radikalisasi Islamisme. Revolusi yang dipimpin
Ayatollah Khomeini berhasil menciptakan persepsi baru di kalangan
pengamat dan media Barat tentang adanya versi Islam yang lain,
yakni fundamentalisme Islam, radikalisme Islam, dan Islamisme
radikal (Mozaffari 2007, 18-19).
Menurut Olivier Roy (2002, 58), Islamisme adalah sebuah
cabang dari fundamnetalisme Islam-politik modern yang bertujuan
menciptakan masyarakat Islam yang sejati; tidak sekadar dengan
menerapkan Syriah, tetapi pertama-tama dengan mendirikan negara
Islam melalui aksi politik. Roy (1994, 37) juga mengatakan bahwa
para pendukung Islamisme meyakini Islam sebagai agama yang
menawarkan solusi lengkap pada semua masalah yang dihadapi
kaum Muslim di di setiap tempat dan waktu. Bagi mereka Qur’an
menawarkan cetak-biru programatik untuk didirikannya “negara
Islam” yang berisi ketentuan-ketentuan mengenai semua aspek
kehidupan sehari-hari umat manusia. Karena itu Islam harus
menjadi landasan bagi pengelolaan negara dan kehidupan sosial.

Dalam Bahasa para aktivis Muslim sendiri, Islamisme


dipadankan dengan istilah Islamiyyun. Hasan al-Turabi, intelektual
Muslim dari Sudan, menggunakan istilah ini untuk menggambarkan
“kalangan Muslim-politik yang meyakini bahwa Islam (yang
dianggap sebagai ideologi) adalah solusi atas segala masalah; Islam
adalah agama dan pemerintahan; dan Islam adalah Konstitusi dan

12
MONOGRAF EMBUN KALIMASADA YBW UII
MASA DEPAN ISLAM DI INDONESIA

hukum” – definisi yang mirip dengan yang digunakan Hizbut Tahrir.


Di sini sekali lagi, kita kembali diingatkan tentang esensi Islamisme
sebagai ideologi totalitarian seperti dikatakan Mozaffari. Ideologi
sendiri sering dipahami sebagai seperangkat gagasan yang dengan
mana manusia menjelaskan dan menjustifikasi tujuan (dan cara)
tindakan sosial yang mereka jalankan, yang dengan tujuan itu
mereka mempertahankan atau mengubah kenyataan yang ada.
Dalam sistem totalitarian, ideologi adalah instrumen yang sangat
kuat untuk mobilisasi massa, juga sebagai sumber legitimasi, serta
sebagai sumber “sense of mission” bagi para pemimpinnya.
Islamisme, lebih dari sekadar agama dalam pengertian keyakinan
teologis, ibadat ritual dan sembahyangan privat, lebih dipahami
sebagai cara hidup yang total untuk membimbing perilaku politik,
ekonomi, dan sosial. Secara selektif, para pemimpin Islamis
mencomot beberapa elemen Islam dan meramunya menjadi
ajaran-ajaran ideologis.

Islamisme dengan demikian memenuhi semua persayaratan


sebuah ideologi. Ia bahkan jauh melampaui dimensi yang
sepenuhnya ideologis, karena ia juga menskralisasi unsur
esensialnya yang berasal dari agama. Dari sudut pandang ini
Islamisme berbeda dari ideologi-ideologi totalitarian lainnya, karena
ia mengambil legitimasinya dari dua sumber: ideologi dan agama.
Berutang pada karakter ganda ini, tindakan kaum Islamis dilihat
oleh mereka sendiri sebagai kewajiban agama. Jika kaum Nazi
merasa bertanggungjawab kepada Führer, maka kaum Islamis
bertanggungjawab kepada pemimpinnya dan kepada Allah
(Mozaffari 2007, 22).

Tesis tentang Kegagalan Islam-Politik dan Munculnya


Post-Islamisme
Seperti disebutkan di atas, Olivier Roy (2002) melihat proyek politik
Islamisme yang terbesar adalah mendirikan Negara Islam.
Masyarakat Islam yang sejati bukan hanya harus adil, sejahtera, dan
kuat – karena didukung oleh ketaatan dan ketaqwaan warganya –
tapi juga harus melengkapi diri secara organik dengan institusi

13
MONOGRAF EMBUN KALIMASADA YBW UII NO. 2
MASA DEPAN ISLAM-POLITIK DAN ISLAMISME DI INDONESIA

politik negara-Islam. Negara-Islam lah yang bertugas menjamin agar


publik harus terus menerus diislamisasikan, yakni melalui
serangkaian kebijakan dan tindakan sosial-politik. Praktek seperti
ini pernah dikerjakan oleh Third Reich Jerman di bawah Hitler
dengan ideologi Nazisme-nya. Negara-Islam, menyerupai negara
Nazi, menjalankan program sosial politik secara totaliter dan
top-down.
Tapi bagi Olivier Roy (1994, 2) Islam-politik semacam itu telah
gagal. Salah satu penyebab kegagalannya adalah karena para Islamis
tidak pernah punya imaginasi mengenai apa itu “masyarakat-sipil.”
Mereka tidak percaya kepada masyarakat sipil. Mereka hanya
meyakini bahwa negara yang telah diislamkan bisa mengerjakan
segala hal untuk mewujudkan ideal-ideal Islam. Dan itu tidak
pernah terbukti, bahkan di Iran, yang menjadi negara-Islam pertama
versi Syiah pada 1979, setelah versi Sunni di Pakistan pada 1948.
Menurut Asef Bayat (1996, 44), di Iran Islamisasi melalui negara
dilakukan setelah Revolusi Islam menang dan para ulama
melakukan perombakan seluruh institusi pemerintahan di bawah
apa yang disebut wilayatul faqih (kekuasaan para ahli hukum agama).
Pada awal 1980an, revolusi kebudayaan dilancarkan untuk
merombak sistem pendidikan, mulai dari pendidikan prasekolah
hingga perguruan tinggi. Gagasan besarnya adalah untuk
menerapkan kurikulum keagamaan dalam rangka memproduk
warga-negara Islam. Kewajiban mengenakan hijab untuk kaum
perempuan pada 1980an adalah langkah paling drastis yang
memberikan identitas keagamaan bagi kaum perempuan Iran pasca
revolusi.
Banyak undang-undang yang dianggap bertentangan dengan
selera Islamisasi Iran peninggalan rezim lama dicabut. Ini termasuk
UU keluarga, UU ketenagakerjaan, dan berbagai kebijakan serta
peraturan tentang pendidikan yang menguntungkan perempuan.
Pusat-pusat pemeliharaan anak pada siang hari dan program
keluarga berencana dihujat sebagai konspirasi imperialis; poligami
dan hak-cerai secara otomatis diperbolehkan secara luas. Begitu juga
sistem kuota diterapkan untuk membatasi hak perempuan dalam
pendidikan tertentu. Ini semua adalah contoh-contoh tentang
bagaimana pemerintahan baru para mullah itu menggunakan agama

14
MONOGRAF EMBUN KALIMASADA YBW UII
MASA DEPAN ISLAM DI INDONESIA

untuk membatasi kegiatan dan peran publik perempuan. Tapi di sisi


lain mereka juga memperluas dan memonopoli peran politik agama.
Sejak hari-hari pertama Revolusi Islam, sudah ada perhatian
besar untuk mengganti sistem ekonomi yang berlaku dengan
“ekonomi Islam.” Mereka membayangkan sebuah sistem yang
didasarkan pada qist-i-Islami (keadilan Islam), sebuah sistem
ekonomi yang bukan kapitalis dan bukan pula sosialis. Mereka
mempersoalkan hak-milik sebagai sesuatu yang harus didefinisikan
ulang. Kesejahteraan kaum mustadz’afin, mereka yang terpinggirkan,
yang tersisih dan terdeprivasi, harus dijadikan tujuan system
ekonomi. Tapi hingga kini belum juga ditemukan model bagaimana
sistem Islam dalam bidang ekonomi yang seperti itu bisa
diwujudkan.
Banyak ironi lain yang memperlihatkan bahwa
program-program Islamisasi sistem kehidupan tidak jalan. Para
pengamat melihat bahwa kegagalan Islamisme atau Islam-politik di
Iran atau di manapun, adalah justru pada kecenderungan mereka
untuk lebih menekankan pada religiositas dan kesalehan individual,
tetapi menjauhi kerja-kerja politik kesejahteraan dan
kemasyarakatan. Kaum Islamis hanya terkonsentrasi pada entitas
keluarga, lalu bergerak ke entitas negara. Trajektorinya adalah dari
keluarga – melalui umat – menuju negara. Islamisme hanya
memperjuangkan Islam di tingkat keluarga dan negara. Ia bersikap
skeptis dan ambigu pada entitas masyarakat-sipil, dan curiga pada
apa yang disebut “bangsa.” Dalam banyak kasus seperti yang bisa
kita lihat juga di Indonesia, ketegangan antara kalangan Islamis dan
sekularis membuktikan akibat lebih luas dari kegagalan tersebut,
yakni kecenderungan politik Islamis yang menjadi semakin
eksklusivis dan anti-pluralis.

Adalah Sinanovic (2005, 345) yang melihat bahwa kegagalan


Islamisme juga terjadi akibat munculnya versi religiositas baru yang
lebih terindividualisasi. Gejala ini memang bertentangan dengan
yang berlangsung di kalangan keluarga Islamis yang religiositasnya
dibentuk dengan mode yang lebih komunalistik, lebih terorganisasi
berdasarkan program resmi, dan lebih didikte oleh otoritas klerikal.
Mode religiositas baru itu jauh lebih terbuka untuk dikembangkan

15
MONOGRAF EMBUN KALIMASADA YBW UII NO. 2
MASA DEPAN ISLAM-POLITIK DAN ISLAMISME DI INDONESIA

ke ruang-ruang publik masyarakat sipil, dan yang lebih penting dari


itu ia mulai dikerjakan dengan sadar justru di negeri-negeri yang
mengalami Islamisasi gerakan Islamis. Banyak pengamat menyebut
gejala ini merupakan benih bagi munculnya post-Islamisme – yang
umumnya ditandai dengan gejala peronalisasi agama dan
resekularisasi Islam. Gejala terakhir ini adalah tanda bagi kegagalan
Islamisme. Demikianlah, kegagalan Islamisme politik merupakan
conditio sine qua non bagi munculnya Post-Islamisme.
Sampai titik ini, kita perlu menegaskan peringatan Asef Bayat
(1996, 2005) bahwa kegagalan Islam politik tidak berarti berakhirnya
Islamisme. Bayat adalah pencipta istilah “post-Islamisme” ketika
pada 1996 ia menulis sebuah artikel yang menandai munculnya
suatu kecenderungan sosial, sebuah perspektif politik, dan sejenis
pemikiran keagamaan baru di Iran pasca Khomeini. Kecenderungan
itu pada kenyataannya adalah pergeseran diskursus Islam karena
munculnya kritisisme baru mengenai praktek bernegara di Iran
setelah berakhirnya perang Iran-Irak (1988) dan setelah wafatnya
Khomeini. Bayat menyebut terjadinya “post-Islamist turn” atau
pembalikan post-Islamis yang ditandai dengan keresahan kaum
muda, kemarahan mahasiswa, munculnya aspirasi baru kaum
perempuan, para intelektual agama, serta aktivis pro-demokrasi,
yang mendesak para elite politik dan para pemuka spiritual Iran
untuk melakukan perubahan paradigmatik dalam menjalankan
kekuasaan di Iran. Perubahan yang mereka ingin desakkan adalah
menyangkut hak-hak individu, toleransi, kesetaraan gender,
pluralisme, dan pemisahan agama dari negara (Bayat 2005, 5).
Meskipun konteks awal lahirnya riak post-Islamisme adalah
Iran pada dekade 1990an, tetapi gejala seperti itu – dengan skala
yang berbeda – juga terjadi di berbagai negeri Muslim. Umumnya
post-Islamisme merupakan reaksi terhadap Islamisme yang
hegemonik. Tapi karena Islamisme tidak tunggal dan pada dirinya
juga adalah respons terhadap konteks sosial-politik yang
berbeda-beda, maka post-Islamisme juga harus dipahami sebagai
fenomena yang beragam.
Seperti dikatakan Yilmaz (2011), karena tidak ada model tunggal
Islamisme, maka tidak ada pula post-Islamisme yang monolitik.
Islamisme di Afghanistan dan Pakistan, begitu juga Indonesia,
sangat dipengaruhi oleh Salafisme dengan gaya epistemologi

16
MONOGRAF EMBUN KALIMASADA YBW UII
MASA DEPAN ISLAM DI INDONESIA

keagamaannya yang skripturalis. Ini membedakannya dengan yang


terjadi di Turki dan Iran yang sangat sedikit tersentuh Wahabisme
Salafis. Jika di Iran imunitas dari Salafisme terjadi karena pengaruh
gnostik Syiah masih kuat, di Turki pemahaman keagamaan sufisme
terlalu dominan untuk ditaklukkan oleh Wahabisme Salafis yang
legalistik. Semua itu mengharuskan terbentuknya post-Islamisme
yang bervariasi sebagai respons terhadap Islamisme yang juga
beragam. Perlu ada penelitian lintas-geografi yang bisa memberikan
peta bagaimana corak Islamisme tertentu di suatu wilayah
menghasilkan terciptanya post-Islamisme tertentu pula, dan
bagaimana variasinya di tempat-tempat yang berbeda.
Bayat (2005) mencatat bahwa selain di Iran, “post-Islamist turn”
terjadi juga di Tunisia, Lebanon, Mesir, dan Turki – sebuah
fenomena yang terjadi sepanjang periode akhir 1990an hingga
pertengahan 2010an. Dalam pengamatannya, pembalikan
post-Islamis itu bukan sekadar sebuah kontra-diskursus terhadap
Islamisme, tetapi juga menyiratkan adanya pergeseran ideologis.
Para penganjur post-Islamisme menganggap bahwa monopoli
kebenaran agama, praktek supremasis, intoleransi, eksklusivisme,
sentiment anti-Barat, dan fanatisme, juga berbagai bentuk aksi
kekerasan untuk mewujudkan kekuasaan Islam – apa yang dianggap
sebagai serangkaian praktek “Islamisasi” kaum Islamis – tidak
mencerminkan cita-cita Islam. Dalam pandangan para penganjur
post-Islamis, ada banyak ideal Islam yang bisa diwujudkan di luar
politik. Ada banyak Islam yang sah diwujudkan selain melalui
Islamisme.

Iran – Munculnya Degarandishan dan Gerakan Feminisme


Islam
Di Iran, gerakan post-Islamisme yang paling artikulatif muncul
dalam bentuk gerakan pemikiran alternatif, disebut Andisheh-ye
Diger, yang dipimpin oleh seorang gurubesar filasafat, Dr.
Abdol-Karim Soroush. Gerakan ini sebenarnya merupakan protes

17
MONOGRAF EMBUN KALIMASADA YBW UII NO. 2
MASA DEPAN ISLAM-POLITIK DAN ISLAMISME DI INDONESIA

implisit terhadap dominasi para mullah yang memonopoli agama.


Soroush adalah mantan ideolog Revolusi Iran. Ia meraih gelar doktor
dari London University, juga mendalami bidang Syariah Islam
seperti Ali Shariati, ideolog penting lain yang mendukung Revolusi
Islam. Secara epistemologis, gerakan yang dipimpinnya
menganjurkan ditinjaunya kembali kapabilitas agama dalam dunia
modern, khususnya untuk mengakhiri profesionalisasi interpretasi
agama oleh golongan ulama yang cenderung memonopoli
pengetahuan agama. Fokus ini sebenarnya merupakan kritik implisit
terhadap lembaga yang disebut valayat-e-faqih, kekuasaan para ahli
hukum agama, yang merupakan lembaga tertinggi negara Islam Iran.
Gerakan pemikiran alternatif menganggap manajemen
masyarakat modern tidak bisa dipercayakan sepenuhnya kepada
para “ahli-agama,” tetapi harus diselenggarakan melalui perangkat
rasionalitas ilmiah dalam struktur yang demokratik. Soroush tidak
hanya percaya bahwa ada kecocokan antara Islam dan demokrasi,
tetapi bahwa kesesuaian antara keduanya tak terelakkan. Atas dasar
pemahaman itu gerakan yang dipimpinnya memperjuangkan
dibentuknya negara demokratik sekuler yang mengakomodasi Islam
sebagai keyakinan agama. Secara eksplisit ia menolak doktrin
al-Islam huwa al-hal (Islam adalah solusi) – sebuah gagasan popular
di kalangan gerakan Islamis di dunia Arab. Menurutnya agama
memiliki keterbatasan dalam menjawab masalah-masalah manusia.
Gerakan pemikiran alternatif tidak bersifat anti-Islam atau sekuler,
tetapi berusaha meredifinisi peran agama secara proporsional. Pada
kenyataannya domain agama bukan pada masalah-masalah duniawi,
tetapi melampaui itu, di wilayah misteri pasca-dunia. Gerakan
pemikiran aternatif tidak menganjurkan sekularisasi. Soroush justru
menganggap pentingnya keyakinan keagamaan dihormati dan diberi
tempat dalam wilayah kesadaran personal manusia. Ini karena fungsi
moral agama membuat manusia mampu mengontrol dirinya
berhadapan dengan manusia lain, sebagaimana demokrasi membuat
masyarakat bisa saling mengontrol dalam kehidupan bersama (Bayat
1996, 47-48).
Gerakan pemikiran alternatif mendapatkan dukungan luas dari
kalangan kaum muda, juga dari kalangan terpelajar Iran baik yang
berorientasi religius maupun sekular, khususnya di lapisan modern
di mana sebagian besar mereka termaginalisasi secara politik. Yang
lebih penting lagi, Soroush menemukan pengikut-pengikutnya yang

18
MONOGRAF EMBUN KALIMASADA YBW UII
MASA DEPAN ISLAM DI INDONESIA

signifikan dari para mahasiswa teologi yang jauh lebih banyak


dibandingkan yang didapatkan oleh ulama senior manapun. Para
mahasiswa teologi yang menjadi calon ulama muda itu sangat
tertarik pada agama sebagai institusi dan masa depannya; mereka
merasa bahwa basis prerogatif dan legitimasinya sedang tergerus di
tengah-tengah suasana anti-klerikalisme.
Gagasan-gagasan yang dilontarkan oleh kaum degarandishan
(para pemikir alternatif) itu disebarluaskan melalui kuliah-kuliah,
simposium-simposium, konferensi-konferensi internasional,
buku-buku, artikel-artikel, dan khususnya melalui jurnal bulanan
Kiyan. Gagasan-gagasan yang mirip sebenarnya juga biusa
ditemukan di kalangan para modernis Islam seperti Muhammad
Arkoun di Prancis, juga Hasan Hanafi dan Nasr Abou Zeid di Mesir.
Kendati demikian, bukan orisinalitas yang menjadi soal di sini,
tetapi lebih pada bagaimana ide-ide seperti itu meraih popularitas
justru di bawah kekuasaan negara Islam yang sadar-diri (Bayat 1996,
48-49).
Berlangsung bersamaan dengan gerakan pemikiran alternatif,
muncul pula gerakan feminis Islam yang juga meluas sejak 1990an di
Iran. Bisa dikatakan bahwa gerakan feminis inipun muncul di dalam
kerangka gerakan pemikiran alternatif yang dipelopori Soroush.
Bayat (1996, 49-51) bahwa para aktivis feminis itu muncul untuk
melawan diskursus Islamis dalam bentuk berbagai undang-undang
dan peraturan yang berwatak anti-perempuan dengan
mengatasnamakan agama. Mendasarkan diri pada slogan
“kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam Islam,” gerakan
merupakan usaha yang massif untuk memberdayakan perempuan di
dunia-kerja, di bidang pendidikan, dan hokum keluarga. Stereotipe
perempuan Iran di Barat sebagai kaum tertindas dalam
keterkungkungan domestisitas dan tersembunyai di balik
cadar-hitam kini tidak lagi punya basis empiris. Munculnya gerakan
feminis Muslimah Iran sedikit banyak mengubah keadaan itu. Meski
tetap di bawah tekanan berat, kini perempuan Iran yang sudah
terlibat aktif di dunia sosial, di bidang sains, di wilayah kebudayaan,
jauh lebih banyak dibandingkan dengan di periode sejarah yang
manapun. Sebagai contoh, separo dari jabatan di sektor
pemerintahan dan lebih dari 40% posisi di bidang pendidikan diisi
oleh kaum perempuan.

19
MONOGRAF EMBUN KALIMASADA YBW UII NO. 2
MASA DEPAN ISLAM-POLITIK DAN ISLAMISME DI INDONESIA

Seperti gerakan pemikiran alternatif, gerakan feminis Islam Iran


juga memiliki jurnal bulanannya, yakni Zanan. Melangkapi jurnal
Kiyan yang menjadi referensi gerakan pemikiran alternative yang
lebih umum, gerakan feminis Iran memiliki lebih banyak jurnal
dengan fokus yang lebih spesifik, misalnya Zan-e Rouz, Farzaneh,
juga Nime-ye Digar yang diterbitkan di Amerika. Dengan semua
media ini suara dan kepentingan kaum perempuan Iran menjadi
makin artikulatif. Banyak perempuan kelas bawah Iran menjadi
makin aktif secara sosial untuk terlibat dalam lembaga-lembaga
keagamaan dan ketetanggaan.
Aktivisme yang makin meluas ini membuat banyak aturan yang
merugikan perempuan semakin dipersoalkan: misalnya poligami
semakin dibatasi, perceraian tidak bisa lagi dilakukan
sewenang-wenang oleh para suami, begitu juga nikah mut’ah
dianggap tidak sah. Pemeliharaan anak yang dalam hukum Islam
menjadi hak ayahnya, mulai diperdebatkan. Perjuangan agar
perempuan bisa menjadi hakim jadi makin mungkin. Aktivis
perempuan Iran sangat aktif melakukan lobi kepada para politisi dan
para pengambil keputusan; juga kepada para ulama dan mullah.
Mereka juga sangat sering melakukan demo dan kampanye
mengenai berbagai is uke parlemen. Makin banyak aktivis
perempuan Iran terlibat dalam pertemuan-pertemuan internasional.
Kini ada lebih dari 60an asosiasi perempuan Iran dengan reputasi
internasional yang sering mempelopori berbagai agenda dan isu
internasional, mulai dari sains hingga hak asasi manusia. Perempaun
Iran kini sering melihat diri mereka berada di garis depan
perjuangan untuk pemberdayaan kaum perempuan di Dunia
Muslim.

Turki – Gerakan Sosial Fethullah Güllen


Islam-politik di Turki sudah lama mengalami posisi marginal dalam
perlawanannya terhadap kebijakan rezim sekularis otoritarian. Tapi
selama hampir dua dasawarsa terakhir ini, dengan kemenangan
partai AKP (Adalet ve Kalkınma Partisi, Partai Keadilan dan
Pembangunan), selama tiga kali pemilu berturut-turut (2002, 2007,

20
MONOGRAF EMBUN KALIMASADA YBW UII
MASA DEPAN ISLAM DI INDONESIA

dan 2011), Islamisme-politik berada pada posisi dominan baik di


tingkat negara maupun masyarakat. Secara keseluruhan ini
menimbulkan situasi di mana Turki sedang menyaksikan transisi
panjang dari hegemoni sekularis lama menuju hegemoni baru
kekuasaan Islamis (Hecker 2013).
Tetapi seperti yang berkembang belakangan, kekuasaan Turki
di bawah Presiden Recep Tayip Erdogan terbukti melampaui
Islamisme AKP. Di bawah Erdoganisme, ia menjadi rezim otoritarian
baru di Turki yang penuh curiga, khususnya terhadap berbagai
kelompok yang dianggap menyainginya. Kelompok yang sekarang
dianggap melawan Erdoganisme adalah sebuah gerakan sosial
bernama Hezmet (Hikmat) di bawah seorang tokoh ulama
karismatik, Fetullah Güllen. Inilah gerakan sosial dengan
pendukung puluhan juta pengikut di Turki dan di seluruh dunia,
termasuk di Indonesia. Kelompok ini pada 2016 dituding berada di
balik kudeta, dan hingga sekarang terus diburu oleh Erdogan untuk
dihukum mati.
Gerakan Hezmet pada awalnya dibangun oleh komunitas sufi
yang dipimpin Gülen di kota Izmir pada 1970-an. Sebelumnya Gülen
adalah penceramah agama yang aktif menyelenggarakan pengajian
dari kota ke kota. Ia memberikan ceramah. Ia juga aktif menulis.
Tema yang dibawakan kebanyakan soal jalan hidup sufi. Waktu itu,
pengaruh sekuler Ataturk masih sangat kuat. Ia mengatakan, masjid
di Turki sudah banyak; yang kurang adalah sekolah. Menurut dia,
persoalan masyarakat Islam adalah kobodohan dan kemiskinan.
Untuk mengatasi masalah itu, kuncinya adalah pendidikan. Karena
itu, ia meminta kepada para anggota jamaahnya untuk mendirikan
banyak sekolah, sekolah yang berkualitas. Penyelenggaraan
pendidikan melalui sekolah yang bagus adalah suatu bentuk hezmet
(perhikmatan) kepada masyarakat.
Sudiaman (2016) mencatat bahwa dengan konsentrasi pada
pendidikan, Hezmet berkembang meniadi menjadi sebuah gerakan
besar. Dari pendidikan mereka masuk ke pelayanan kesehatan, lalu
menjadi gerakan amal sosial dan kemanusiaan. Hezmet akhirnya
menjadi gerakan solidaritas sosial di Turki dengan bentuk organisasi
yang rapi dan fleksibel. Mereka menyadari gerakan sosial
membutuhkan dana yang besar. Untuk itu para pengikut Gülen itu
mendirikan bank; di antara para pengusahanya bergabung dalam

21
MONOGRAF EMBUN KALIMASADA YBW UII NO. 2
MASA DEPAN ISLAM-POLITIK DAN ISLAMISME DI INDONESIA

sebuah grup bisnis yang bernama Tuskon (Turkish Confederation of


Businessmen and Industrialists). Di bidang media, mereka
mengelola kantor berita Jehan, enam stasiun televisi, dan tiga radio.
Sedangkan untuk media cetak dan online, mereka mempunyai grup
Zaman yang menerbitkan koran Zaman berbahasa Turki dan Today
Zaman berbahasa Inggris, berikut dengan
versi online-nya. Zaman juga dicetak di negara-negara lain yang
mempunyai komunitas berbahasa Turki. Di bidang pendidikan,
Hezmet kini mengelola lebih dari 1.500 sekolah di berbagai
tingkatan serta 15 universitas yang tersebar di berbagai negara.
Tidak diketahui berapa kini jumlah pengikut gerakan yang
dipelopori Gülen itu. Namun, diperkirakan jumlahnya puluhan juta
orang dari berbagai profesi – dari guru, dosen, dokter, pengusaha,
polisi, tentara, intelijen negara, hakim, pengacara, pegawai negeri
dan swasta, hingga wartawan dan profesi-profesi lainnya.
Pada 1999, Fethullah Gulen mengasingkan diri ke Amerika
Serikat. Ulama berusia 78 tahun itu kini tinggal di daerah
pegunungan di Pennsylvania, Amerika Serikat. Dari tempat
peristirahatannya inilah ia mengendalikan semua kegiatannya.
Di Turki, para pengikut Gulen memang tidak berpolitik. Mereka
tidak bergabung dan tidak mendirikan partai politik, namun tetap
bekerja sama dengan berbagai partai politik, utamanya partai
penguasa. Dengan langkah ini mereka justru bisa mendapatkan
berbagai keuntungan, termasuk memperoleh jabatan-jabatan
penting dan strategis di berbagai lembaga pemerintahan; juga di
sektor militer, kepolisian, kehakiman, dan intelijen negara.
Pengaruh Gülen yang besar di jajaran pemerintahan Turki inilah
yang kemudian memunculkan kekhawatiran beberapa pihak bahwa
suatu waktu mereka akan mengambil kekuasaan. Presiden Recep
Tayyip Erdogan menyebut Gülen dan pengikutnya sudah seperti
negara di dalam negara. Bahkan, kekhawatiran itu kini telah
berkembang menjadi tuduhan bahwa Gülen berada di balik kudeta
gagal yang terjadi pada Juli 2016 yll. Hari-hari ini politik Turki di
bawah kekuasaan Erdogan masih terus diwarnai kepanikan karena
belum berhasil mendesak pemerintah Amerika mengekstradisi
Fethullah Gülen (Sardar 2019).

22
MONOGRAF EMBUN KALIMASADA YBW UII
MASA DEPAN ISLAM DI INDONESIA

Fenomena gerakan sosial yang dikendalikan Fethullah Gülen


adalah fenomena post-Islamisme. Hezmet tidak berorientasi politik.
Gerakannya inklusif, berbasis di kalangan masyarakat sipil, dan
meskipun berbasis pada ajaran Islam, mereka mengembangkan
moralitas kemanusiaan, memajukan toleransi keagamaan dan
pluralisme. Dewasa ini mereka bahkan terlibat dalam pertemuan
lintas agama untuk dialog-dialog perdamaian. Jauh dari fanatisme
dan fundamentalisme, mereka berada dalam posisi a-politis dan
tidak setuju dengan gerakan Islamisme-politik. Dalam karakter
seperti ini Yilmaz (2011, passim) bahkan menyebut gerakan ini
sebagai sebuah model gerakan “non-Islamis.”

Indonesia – Post-Islamisme dalam Kerangka Politik


Demokratik
Berbeda dengan Islamisme di Iran dan Turki yang berada dalam
posisi memegang kekuasaan, gerakan-gerakan Islamisme politik di
Indonesia belum pernah memiliki posisi berkuasa dalam
pemerintahan. Selama masa Orde Baru Islamisme Indonesia berada
di bawah tanah, sedangkan aspirasi-aspirasi Islam yang muncul ke
publik kebanyakan bersifat non-politik. Sikap umumnya
gerakan-gerakan Islam mainstream ketika itu tampak seperti yang
diwakili NU yang menganggap bentuk negara Indonesia sudah final
dan tak perlu di-Islamkan; 6 atau oleh Muhammadiyah yang
menganggap Pancasila sudah sesuai dengan Islam dan karena itu
harus diterima. 7 Akivisme gerakan-gerakan Islam berada dalam
kerangka “Islam-kultural,” bukannya Islam-politik – khususnya
dalam versinya sebagai gerakan ideologi untuk menegakkan
kekuasaan atau negara-Islam.
Gambaran di atas sekadar untuk memberi konteks bahwa
Islamisme pada masa Orde Baru belum merupakan gelombang

6
Pernyataan sikap NU yang menegaskan finalitas negara Indonesia dengan
dasar negaranya, Pancasila, dikemukakan pada Muktamar NU ke-27 pada 1984,
di Situbondo, Jawa Timur.
7 Sedangkan Muhammadiyah, melalui Muktamar ke-41 di Surakarta pada Juli
1985, menerima Pancasila sebagai asas tunggal bernegara.

23
MONOGRAF EMBUN KALIMASADA YBW UII NO. 2
MASA DEPAN ISLAM-POLITIK DAN ISLAMISME DI INDONESIA

politik sebesar yang terjadi pada masa pasca Orde Baru, ketika
aktivisme Islam-politik banyak mengambil sumberdaya ideologisnya
dari ide-ide Islamisme Timur Tengah – Salafisme Wahabis, Ikhwanul
Muslimin, Hizbut Tahrir – seperti yang dijelaskan di bagian awal
tulisan.
Gelombang baru Islamisme dari ketiga sumber ideologis inilah
yang akhirnya mewarnai corak Islam-politik Indonesia yang
berwatak konservatif, fanatik, sektarian, eksklusivis, supremasis, dan
anti-demokratik. Varian-varian lain Islamisme politik yang juga
membludak pada masa pasca Orde Baru adalah dari jenis
fundamentalisme-jihadis yang seringkali muncul melalui aksi-aksi
terorisme; juga dari jenis Islamisme transnasional radikal dengan
jejaring global; dan tak kalah penting dari jenis-jenis Islamisme lokal
yang lebih merupakan campuran dari fundamentalisme dan
premanisme – seperti FPI (untuk jenis yang terakhir ini, lihat Wilson
2019). Islamisme pasca Orde Baru inilah yang akhirnya
menimbulkan anathemanya berupa post-Islamisme pasca reformasi.
Istilah “post-Islamisme pasca-reformasi” dikemukakan oleh
Muhammad Ansor (2016) dalam artikelnya tentang “Post-Islamism
and the Remaking of Islamic Public Sphere in Post-reform
Indonesia” di jurnal Studia Islamika. Menurut Ansor, ruang-publik
pasca reformasi yang terbentuk sebagai hasil langsung demokratisasi
tidak hanya mencuatkan kembali kontestasi antara kalangan Islamis
dan sekularis, tetapi juga antar kelompok-kelompok Islam sendiri.
Catatan awal Ansor ini segera menyadarkan kita bahwa, tidak seperti
yang terjadi di Iran dan Turki di mana pertengkaran Islamisme vs.
post-Islamisme berlangsung secara vertikal, di Indonesia
kompetisinya berlangsung secara horisontal.
Lebih penting dari medan kompetisi yang lebih bersifat
horisontal itu, adalah konten pertarungannya. Jika Islamisme masih
mempersoalkan isu-isu negara-bangsa, demokrasi, Pancasila, sistem
politik, sistem ekonomi, dan sistem hukum di Indonesia sebagai
tidak sesuai dengan Islam, maka para pengusung post-Islamisme
justru terus berusaha melontarkan gagasan-gagasan untuk
mengharmoniskan Islam dengan demokrasi, dengan hak asasi
manusia; advokasi terhadap kelompok minoritas; atau pemajuan
kesetaraan gender – tema-tema yang menarik perhatian kalangan
akademisi Muslim untuk lebih dipromosikan (Ansor 2016, 475).

24
MONOGRAF EMBUN KALIMASADA YBW UII
MASA DEPAN ISLAM DI INDONESIA

Tema lain yang juga menjadi perhatian adalah tentang artikulasi


generasi muda Muslim yang lebih akrab dengan modernitas,
sebagaimana muncul dalam gaya-hidup urban (misalnya pernah
ditulis oleh Ariel Heryanto, 2014); juga tentang dukungan
kelompok-kelompok masyarakat sipil dan politik Muslim terhadap
hak minoritas untuk berkontestasi dalam meraih jabatan-jabatan
publik, misalnya dalam kasus Ahok (H.A. Harmakaputra, 2015).
Semua tema itu memperlihatkan bukti bahwa post-Islamisme
Indonesia sebenarnya memiliki lapisan pendukung yang kuat dan
meluas di Indonesia.
Bagi Noorhaidi Hasan (2009) pengalaman kaum Muslim
Indonesia selama dua dekade terakhir mengajarkan pelajaran
berharga bahwa berbagai proyek politik Islamisme justru banyak
menciptakan stigma buruk kepada Islam – fanatisme dan
konservatismenya, eksklusivismenya, anti-pluralismenya,
rasismenya, serta yang lebih menakutkan lagi – terorismenya.
Menurutnya, sebagai respons terhadap stigma itu, gerakan
post-Islamisme harus mampu menciptakan alternatif untuk
memperlihatkan Islam yang damai dan mengaktualisasikannya
secara nyata dalam masyarakat Indonesia yang plural, terutama
dalam latar Indonesia yang demokratik.
Namun demikian, membayangkan sebuah proyek untuk
membangun post-Islamisme Indonesia – misalnya dalam rangka
memperkuat konsolidasi demokrasi – bukanlah agenda yang
sederhana. Hingga dewasa ini demokrasi Indonesia sendiri
mengidap banyak patologi kronis. Selama satu setengah dasawarsa
terakhir, berbagai riset justru menunjukkan terjadinya stagnasi dan
kemunduran demokrasi di sana-sini. Alih-alih menuju perbaikan,
berbagai riset memperlihatkan bahwa prosedur, proses, dan
mekanisme politik demokrasi justru diokupasi oleh oligarki yang
makin kuat (Winters 2014); politik elektoral hanya memfasilitasi
elite konservatif yang korup dan sering terlibat dalam provokasi
konflik horisontal berbasis agama (Mietzner 2012); sementara
reorganisasi kekuasaan berlangsung mengikuti logika kartel untuk
kepentingan berbagai kelompok elite predatorial (Hadiz & Robison
2004), yang tak jarang didukung oleh populisme Islam (Hadiz 2016).

Pertanyaan besarnya adalah apakah gerakan post-Islamisme


mampu bertahan dalam praktek politik demokratik yang seperti itu?

25
MONOGRAF EMBUN KALIMASADA YBW UII NO. 2
MASA DEPAN ISLAM-POLITIK DAN ISLAMISME DI INDONESIA

Dalam skenario seperti apa partisipasi kelompok-kelompok


post-Islamis bisa secara produktif memajukan demokrasi maksimal
yang partisipatoris agar tidak lagi terjebak dalam kungkungan
oligarki, dan bahkan memungkinkan terciptanya koalisi progresif
untuk revitalisasi demokrasi; bagaimana pula agenda dan
trajektorinya? Apa saja prasyarat internal bagi kelompok-kelompok
aktivis post-Islamisme untuk bisa terlibat dalam kontestasi dengan
kekuatan-kekuatan politik konservatif – termasuk dengan
kelompok-kelompok Islamis anti-demokratik – dalam rangka
menciptakan kultur baru bagi demokrasi sosial yang lebih inklusif
dan partisipatoris, juga bagi demokrasi politik yang lebih egaliter?

Menyambut Post-Islamisme Indonesia: Kembali ke Diskursus


“Islam-Sipil.”
Sebagaimana tergambar di atas, tantangan-tantangan bagi
post-Islamisme untuk rehabilitasi dan revitalisasi demokrasi
Indonesia bukan hanya berat, tetapi juga banyak. Jika
post-Islamisme percaya kepada potensi transformatif iman dan
amal-saleh demi kemaslahatan Indonesia di masa depan, tidak ada
cara lain kecuali terlibat aktif dalam proses politik demokratisasi.
Janji demokrasi untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan
harus diwujudkan melalui kerjasama dan kerja-nyata. Epistemologi
harus diterjemahkan menjadi aksiologi. Epistemologi
post-Islamisme Indonesia adalah meyakini bahwa cara terbaik
mewujudkan rahmat Islam adalah melalui demokrasi; dan karena itu
aksiologinya adalah juga dengan demokrasi – kesetaraan, partisipasi,
pluralisme.
Post-Islamisme di Iran dan Turki juga sedang bergerak ke sana.
Mereka punya modal sosial dan kulturalnya masing-masing.
Post-Islamisme Indonesia juga punya modal sosial dan kulturalnya
sendiri. Banyak potensi post-Islamisme Indonesia yang masih
tersembunyi dan harus digali. Tantangan-tantangan untuk renovasi
demokrasi yang sebagian sudah digambarkan di atas tidak bisa
dihadapi dan ditangani sendiri. Tantangan-tangan itu harus
dihadapi Bersama, misalnya melalui kerjasama intra-Islam – dengan
NU yang memiliki program Islam-Nusantara, atau dengan
Muhammadiyah yang sudah mengusung program

26
MONOGRAF EMBUN KALIMASADA YBW UII
MASA DEPAN ISLAM DI INDONESIA

Islam-Berkemajuan; dan masih banyak yang lain. Jangan pula lupa


betapa banyak jaringan persahabatan dengan kelompok-kelompok
lain di luar Islam yang terjalin dalam solidaritas civic untuk
proyek-proyek kebajikan kolektif, instan maupun permanen. Ini
semua adalah modal sosial dan kultural bagi proyek pengembangan
post-Islamisme di tanah air melalui jalan demokratik.
Trajektori seperti ini mengingatkan kita pada gagasan
“Islam-sipil” yang pernah dipopulerkannya pada 1997 (Hefner 2001).
Sepuluh tahun kemudian, dalam refleksinya untuk meninjau
kembali gagasan itu, Hefner (2017, 6-7) mengingatkan bahwa
hubungan integral antara Islam dan demokrasi sebenarnya sangat
tergantung pada kuat tidaknya diskursus “Islam-sipil.” Menurutnya
ada tiga pendekatan prinsipil yang menjadi elemen utama gagasan
Islam-sipil.
Pertama, sambil mengakui niscayanya kolaborasi
negara-masyarakat, Islam-sipil berupaya mendorong pemisahan
kekuasaan secara signifikan antara para pejabat negara dan
masyarakat-agama. Hefner mengutip pandangan Abdolkarim
Soroush dan Nurcholish Madjid yang melihat bahaya “profanisasi
ideal-ideal agama oleh instrumentalitas negara” jika tidak ada
pemisahan seperti itu.
Kedua, dalam pandangan Islam-sipil otoritas negara dan agama
harus dibedakan; bahkan sampai tingkat tertentu Islam-sipil
menyetujui pandangan kaum sekularis agar nilai-nilai dan
praktek-praktek agama diturunkan ke wilayah privat saja. Akan
tetapi, Islam-sipil mendukung kolaborasi negara-masyarakat untuk
mengangkat dan mensosialisasikan nilai-nilai Islam yang sejalan
dengan norma-norma kewarganegaraan mengenai kebebasan dan
kesetaraan yang melintasi perbedaan-perbedaan etno-religius.
Ketiga, Islam-sipil menekankan bahwa demokrasi bukankah
entitas yang secara unik punya asal-usul “Barat,” tetapi merupakan
instrumen transkultural untuk menegosiasikan partisipasi sosial
dan keterlibatan warga di sebuah dunia modern yang telah
mengalami keberbagai-ragaman, diferensiasi. Varietas-varietas
demokrasi “liberal-Atlantik” dengan penekanannya pada otonomi
individual – demokrasi yang sering diberi label sebagai “Barat” –
hanya salah satu varietas demokrasi, yang mungkin kurang
meresonansi aspirasi-aspirasi etika-politik kebanyakan demokrat

27
MONOGRAF EMBUN KALIMASADA YBW UII NO. 2
MASA DEPAN ISLAM-POLITIK DAN ISLAMISME DI INDONESIA

Muslim. Kaum Muslim sendiri bisa mengembangkan varian


demokrasinya sendiri yang tentu tidak harus sama dengan yang
dikembangkan Barat.
Hefner mengakui bahwa “Islam-sipil” merupakan salah satu
aspirasi normatif Muslim Indonesia dalam membangun gerakan
sosial. Ini berbeda dengan “Islam-negara” yang merupakan aspirasi
politik untuk membangun kekuasaan atas nama Islam oleh
gerakan-gerakan Islamis. Saya sendiri cenderung mengidentikkan
Islam-sipil sebagai setara dengan gagasan post-Islamismenya Asef
Bayat baik yang terwujudkan melalui gerakan yang dipelopori
Abdolkarim Soroush di Iran, dan setara pula dengan gerakan
Hezmet yang dipelopori Fetullah Güllen di Turki.
Salah satu kesamaan ketiga ekspresi gerakan post-Islamisme di
Indonesia, Iran dan Turki di atas adalah keyakinan mereka pada
demokrasi, khususnya sebagai instrumen untuk mendorong
keterlibatan warga dan partisipasi kolektif dalam rangka
mewujudkan kebajikan publik. Demokrasi seperti itu memang
belum aktual di Indonesia, tetapi tetap harus direalisasikan. Dengan
memahami demokrasi menurut kata-kerja seperti itu, juga di dalam
ranah Indonesia sebagai negara-bangsa yang bertatanan republik,
Islam-sipil akan mampu mengatasi Islamisme-politik dan
kegagalan-kegagalannya yang memalukan. ***

28
BIBLIOGRAFI

Ansor, Muhammad (2016), “Post-Islamism and the Remaking of


Islamic Public Sphere in Post-Reform Indonesia,”
https://www.researchgate.net/publication/313228989
Bayat, Asef (1996), “The Coming of a Post-Islamist Society,” Critique,
Critical Middle East Studies, No. 9 (Fall 1996), pp. 43-52.
Bayat, Asef (2005), “What is Post-Islamism?,” ISIM Review No. 16,
Autumn 2005
Bayat, Asef (2013), “Post-Islamism at Large,” in Post-Islamism: The
Changing Faces of Political Islam, ed. by Asef Bayat (New
York: Oxford University Press), p. 4.
Bruinessen, Martin van (2013), “Introduction: Contemporary
Developments in Indonesian Islam and the ‘Conservative
Turn’ of The Early Twenty-First Century,”
https://www.researchgate.net/publication/291768219
Galamas, Fransisco (2015), “Terrorism in Indonesia: An Overview,”
IEEE.ES (Instituto Español de Estudio Estrategicos), The
Militant Groups of Radical Ideology and Violent Nature Series
Area: Indian Subcontinent and Southeast Asia, Research
Papers 04/2015, pp. 1-16.
Gartenstein, Daveed and Barr, Ross & Nathaniel (2018), “How
Al-Qaeda Works: The Jihadist Group’s Evolving
Organizational Design,” Fradkin, Hillel et.al [eds] (2018),
Current Trends in Islamist Ideology, Hudson Institute, Center
on Islam, Democracy, and the Future of Muslim World, pp.
66-122.
Hadiz, Vedi (2016), Islamic Populism in Indonesia and the Middle
East (Cambridge, UK: Cambridge University Press), x + 228
pp.

29
Hansen, Hendrik & Kains, Peter (2007), “Radical Islamism and
Totalitarian Ideology: A Comparison of Sayyid Qutb's
Islamism with Marxism and National Socialism,” Totalitarian
Movements and Political Religions, 8:1, 55-76, DOI:
10.1080/14690760601121648;
https://doi.org/10.1080/14690760601121648
Harmakaputra, Hans Abdiel (2015), “Islamism and Post-Islamism:
‘Non Muslim’ in Socio-Political Discourses of Pakistan, the
United States, and Indonesia,” Al-Jami’ah: Journal of Islamic
Studies Vol. 53, No. 1, p. 179.
Hasan, Noorhaidi (2009), “The Making of Public Islam: Piety,
Agency, and Commodifcation on the Landscape of the
Indonesian Public Sphere,” Contemporary Islam No.3, Vol. 3,
pp. 229–250.
Hecker, Pierre (2013), “Hegemony and Resistance: Turkey's
Ppost-Islamist Turn and the Meaning of Style,” paper
presented in a international conference on Islamism versus
Post-Islamism? Mapping Topographies of Islamic Political and
Cultural Practices and Discourses, Goethe-University
Frankfurt am MainCampus Westend, Building "Normative
Ordnungen" EG.01, Lübeckerstraße/Ecke Hansaallee
Heryanto, Ariel (2014), Identity and Pleasure: The Politics of
Indonesian Screen Culture (Singapore and Japan: NUS and
Kyoto University Press).
Hwang, Julie Chernov (2012), “Terrorism in Perspective: An
Assessement of ‘Jihad Project’ Trends in Indonesia,” Analysis
from the East-West Center, No. 104, September 2012, pp. 1-12
Hefner, Robert W (2001), Civil Islam, Islam dan Demokratisasi di
Indonesia [edisi Bahasa Indonesia] (Jakarta: The Asia
Foundation & ISAI).
Hefner, Robert W (2017), “Whatever Happened to Civil Islam? Islam
and Democratization in Indonesia, Twenty Years On,”
keynote address, Conference on Civil Islam Revisited:
Indonesia and Beyond, ARI (Asia Research OInstitute,
National University of Singapore, 23 October

30
Marshall, Paul (2018), “Conflicts in Indonesian Islam,” in Fradkin,
Hillel et.al [eds] (2018), Current Trends in Islamist Ideology,
Hudson Istitute, Center on Islam, Democracy, and the Future
of Muslim World, pp. 123-137.
Mietzner, Mietzner (2012), “Indonesia Democratic Stagnation:
Anti-Reformist Elites and Resilient Civil Society,”
Democratization, Vol. 19, No. 2, pp. 209-229.
Mozaffari, Mehdi (2007), “What is Islamism, History and Definition
of a Concept,” Totalitarian Movement and Political Religions,
Vol. 8, No. 1, March 2007, pp. 17-33, pp. 17-33.
Mozaffari, Mehdi (2017), Islamism: A New Totalitarianism, Boulder,
CO, and London, UK, Lynne Rienner Publishers, 345 pp.
Nasution, Hasan Bakti (2017), “Ikhwanul Muslimin and the Future of
Islamic Movement,” IOSR Journal of Humanities And Social
Science, Vol. 22, Issue 11, Ver. 5, November. 2017, pp. 67-75.
Robison, Richard and Hadiz, Vedi R. (2004), Reorganizing Power in
Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets (New
York: RoutledgeCurzon), 304 pp.
Roy, Olivier (1994), The Failure of Political Islam (Massachusetts:
Harvard University).
Roy, Olivier (2002), Globalized Islam: The Search for a New Ummah
(New York: Columbia University Press).
Sardar, Claire (2019), “Who is Fethullah Gulen? And why is the US
talking about extraditing him to Turkey?”
https://religionnews.com/2019/01/04/who-is-fethullah-gulen-
and-why-is-the-us-talking-about-extraditing-him-to-turkey/
Sudiaman, Maman (2016), “Fetullah Gullen (dan Ajarannya) yang
Saya Kenal,” Republika, 26 Juli 2016.
https://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/16/07/26/
oawm4m319-fethullah-gulen-dan-ajarannya-yang-saya-kenal
Sinanovic, Ermin (2005), “Post-Islamism: The Failure of Islamic
Activism?” featured book review on Olivier Roy (2002),
International Studies Review, 2005, No. 7, pp. 433-436.

31
Vatikiotis, Michael (1994), Indonesian Politics Under Suharto
(London: Routledge).
Weck, Winfried; Hasan, Noorhaidi; Abubakar, Irfan (2011), Islam in
the Public Sphere: The Politics of Identity and the Future of
Democracy in Indonesia (Jakarta: CSRC UIN Jakarta and KAS
Indonesia
Wilson, Ian (2019), Main Hakim Sendiri dan Militansi Islam Populis
di Indonesia, Studi Kasus Front Pembela Islam [FPI], (Jakarta:
IndoPROGRESS).
Winters, Jeffrey (2014), “Oligarki dan Demokrasi di Indonesia,”
dalam Priyono, AE & Hamid, Usman [ed.] (2014), Merancang
Arah Baru Demokrasi: Indonesia Pasca-Reformasi (Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia), hlm. 201-224.
Yilmaz, Ihsan (2011), “Beyond Post-Islamism: Transformation of
Turkish Islamism Toward ‘Civil Islam’ and Its Potential
Influence in the Muslim World,” EJEPS (European Journal of
Economic and Political Studies), Vol. 4, No. 1, pp. 246-280.
Zakiyah (2016), “The Chronicle of Terrorism and Islamic Militancy in
Indonesia,” Analisa, Journal of Social Science and Religion,
Vol. 01, No. 01, June 2016, pp. 19-40. Website Journal:
http://blasemarang.kemenag.go.id/journal/index.php/analisa,
DOI: http://dx.doi.org/10.18784/analisa.v1i1.276
Zarkasyi, Hamid Fahmi (2008), “The Rise of Islamic
Religious-Political Movement in Indonesia: The Background,
Present Situation, and Future,” Journal of Indonesian Islam,
Vol. 2, No. 2, December 2009, pp. 336-378.

32
Biogragi Penulis
AE Priyono adalah seorang peneliti dan penulis, tinggal di Jakarta.
Sebagai peneliti ia pernah bekerja di Demos, Lembaga Studi
Demokrasi dan Hak Asasi (2002-2009); Reform Institute
(2004-2008); ISAI, Institut Studi Arus Informasi (1999-2002); dan
LSPEU, Lembaga Studi Pengembangan Etika Usaha (1996-1999).
Sebelumnya adalah redaktur di harian Republika (1993-1996), Editor
Pelaksana untuk penerbitan buku akademis LP3ES (1990-1993); dan
harian Wawasan (Semarang, 1989).
Selama beberapa tahun terakhir ini ia adalah peneliti tidak tetap
untuk membantu platform penggalangan petisi publik berbasis
media online change.org, dan salah satu peneliti part-timer untuk
Amnesty International Indonesia.
Pada 2000, di masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, ia
diangkat sebagai Asisten Deputi di Kementerian Negara Urusan
HAM untuk bidang pemantauan dan evaluasi kasus-kasus
pelanggaran HAM berat. Pada 2012, bersama rekan-rekannya ia
mendirikan Public Virtue Institute, lembaga kajian yang
berkonsentrasi dalam kegiatan riset media sosial untuk
pengembangan demokrasi digital (cyber demcracy).
Ia pernah mengikuti beberapa studi dan pelatihan, antara lain
di bidang studi perdamaian dan resolusi konflik di University of the
Philippines (Manila, 1991); politik HAM di Danish Centre for Human
Rights Studies (Copenhagen, 2000); dan hukum HAM di Castan
Center for Human Rights Law, Monash University (Clayton,
Melbourne, 2001). Ia juga menghadiri beberapa seminar dan
konferensi, antara lain tentang politik demokrasi dan demokratisasi
di Stockholm University (Sweden, 2003); politik desentralisasi
(Phnom Penh, Cambodia, 2005); politisasi demokrasi di University
of Oslo (Norway, 2006); dan indeks demokrasi Asia di Sungkonghoe
University (Seoul, South Korea, 2010). Pada 2008-2010 ia mengambil
kuliah pasca sarjana untuk studi HAM dan Demokrasi yang
diselenggarakan sebagai program kerjasama sandwich antara
Universitas Gadjah Mada dan Universitete i Oslo.
Beberapa buku yang telah diterbitkannya antara lain tentang
karya-karya Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi
(Bandung: Mizan, 1991, edisi baru 2008; dan Yogyakarta: Tiara
Wacana, edisi 2017); tentang karya-karya Ziauddin Sardar, Jihad
Intelektual: Merumuskan Parameter-parameter Sains Islam
(Surabaya: Risalah Gusti, 1998); dan bersama Olle Törnquist,

33
Indonesia’s Post Soeharto Democracy Movement (Jakarta: Demos,
2003), Making Democracy Meaningful: Problem and Options
(Yogyakarta, Jakarta: PCD Press & Demos, 2007). Bersama Usman
Hamid, ia menerbitkan bunga rampai isu-isu demokrasi, Merancang
Arah Baru Demokrasi: Indonesia Pasca-Reformasi (Jakarta:
Gramedia, 2014).
Beberapa artikelnya sering muncul di berbagai koran/majalah –
antara lain Kompas, Tempo, Media Indonesia, IndoProgress, dll. juga
di beberapa jurnal, misalnya Studia Islamica; serta jurnal asing,
antara lain “Demilitarisierung und Transitionale Gerechtigkeit im
Rahmen des Demokratisierungprozess in Indonesien,” in Findeisen,
Grossmann, Weydmann (hrsg.), Herausforderungen fur Indonesiens
Demokratie: Bilanz und Perspektiven (Berlin: Regiospectra Verlag,
2010).

34
35

Anda mungkin juga menyukai