Soal Midterm Komunikasi Politik Islam
Soal Midterm Komunikasi Politik Islam
Komunikasi merupakan proses penyampaian suatu pesan oeh seseorang kepada orang lain untuk
memberi tahu atau untuk mengubah sikap (attitude), pendapat (opinion), atau perilaku
(behaviour) baik secara langsung maupun tidak langsung melalui media1.
Komunikasi yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah proses penyampaian pesan yang
dilakukan oleh komunikator dengan tujuan kegiatan politik.
Sedangkan politik (politics) adalah kebijakan, cara bertindak (dalam menghadapi atau
menangani suatu masalah)2. Pada umumnya dikatakan bahwa politik (politics) adalah bermacam-
macam kegiatan dalam sistem politik atau sebuah penyelenggaraan negara yang menyangkut
proses menentukan tujuan dari sistem tersebut.3
1
Onong Uchjana Effendy, Dinamika Komunikasi, (Bandung: Remaja Rosda Karya, cet II, 1992), hal 5.
2
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta, Balai Pustaka, cet II, 1989), hal. 694.
3
Miriam Budiarjo,Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia,cet VII, 1982), hal. 8
Sementara Joyce Mitchell dalam bukunya “political Analysis and Public Policy” seperti dikutip
Meriam Budiarjo, mendefinisikan politik adalah pengambilan keputusan kolektif atau pembuat
kebijaksanaan umum untuk masyarakat seluruhnya.4
Kaitannya dengan pembahasan ini adalah keputusan yang telah ditetapkan oleh partai politik
menyangkut dan berhubungan dengan kepentingan umum, keputusan yang terkait dengan
negara, sosial, kekuasaan dan keagamaan.
Komunikasi Politik Islam merupakan bahasa lain dari Dakwah Politik Islam, secara etimologis
da’wah berasal dari bahasa arab yang berarti seruan, ajakan, panggilan. 5 sedangkan secara
terminologis da’wah adalah penyampaian pesan-pesan tertentu berupa ajakan atau seruan dengan
tujuan agar orang lain memenuhi ajakan tersebut.
Berdasarkan pengertian diatas ditegaskan bahwa dimensi da’wah mencakup berbagai aspek
termasuk aspek politik. Maka da’wah politik adalah pelaksanaan amar ma’ruf nahi mungkar
dalam sebuah sistem politik dengan tujuan agar terealisasinya ajaran Islam dalam berbagai aspek
kehidupan masyarakat.
Untuk dewasa ini, komunikasi politik Islam yang ideal merupakan sebuah barang langka yang
mewah, dengan tujuan untuk mewujudkan tatanan kehidupan sosial, politik, ekonomi dan budaya
pada masyarakat agar sesuai dengan prinsip-prinsip dan tujuan agama Islam, yakni menjadi
rahmatan lil alamin, merujuk pada tujuan tersebut tentu saja tidak sukar untuk mewujudkannya,
karena pada dasarnya secara naluri manusia menginginkan sesuatu yang menyenangkan terjadi
pada diri dan hidupnya, dan keinginan-keinginan tersebut tidak akan lekang oleh bergantinya
masa. Jika tidak dapat diwujudkan secara individu, mereka akan mencari cara untuk mewujudkannya
melalui organisasi ataupun lembaga, jika membahas mengenai relevansinya dengan politik saat ini, tentu
menjadi sangat relevan untuk diaplikasikan mengingat banyaknya partai politik saat ini yang sudah tidak
memiliki tempat dihati masyarakat.
Komunikasi Politik secara sadar ataupun tidak sudah menjadi bagian dari kehidupan
masyarakat Indonesia, berjalan beriringan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi dan
4
Ibid, hal. 11
5
Toto Asmara, Ibid, hal. 31
6
E. S. Anshari, Pokok-Pokok Pikiran Tentang Islam, (Jakarta: Penerbit Usaha Interprises, 1976), hal 87.
menjadi sejarah dalam pendewasaan Republik ini, presiden dan sistem pemerintahan silih
berganti, pertumbuhan jumlah partai politik yang fluktuatif silih berganti, serta upaya-
upaya untuk mempengaruhi massa dalam mendukung kinerja serta efektifitas merupakan
bagian kecil dari komunikasi politik.
Indonesia menjamin masyarakatnya dalam Undang-Undang untuk bebas menyuarakan
pendapatnya secara bertanggung jawab, berpendapat dalam kaitannya dalam hal ini
adalah komunikasi politik, dan komunikasi politik diperlukan untuk mendukung
berlangsungnya proses demokrasi yang sedang dan sudah berjalan.
Semua yang kita lihat, belum tentu indah seperti yang terlihat, namun tidak dapat dinisbikan
bahwasanya masyarakat Indonesia mengidamkan seorang pemimpin yang ideal, dekat dengan
rakyat, walaupun hal tersebut hanya pencitraan. Banyak hal yang mendukung suksesnya politik
pencitraan yang dilakukan oleh politikus, selain karena pola pikir, lingkungan dan budaya yang
melekat pada masyarakat ada hal-hal lain yang tidak dapat dipaparkan secara ilmiah yang
mendukung suksesnya politik pencitraan tersebut.
2.AGITASI
Dalam makna denotatifnya, agitasi berarti hasutan kepada orang banyak untuk
mengadakan huru-hara, pemberontakan dan lain sebagainya. Kegiatan ini biasanya
dilakukan oleh tokoh/aktivis partai politik, ormas dan lain sebagainya dalam sesi pidato
maupun tulisan. Dalam praktek, dikarenakan kegiatan agitasi yang cenderung
“menghasut” maka seringkali disebut sebagai kegiatan “provokasi” atau sebagai
perbuatan untuk membangkitkan kemarahan. Bentuk agitasi sebetulnya bisa dilakukan
secara individual maupun dalam basis kelompok (massa).
Beberapa perilaku kolektif yang dapat dijadikan sebagai pemicu dalam proses agitasi
adalah :
1. Perbedaan kepentingan, seperti misalnya isu SARA (Suku, Agama, Ras). Perbedaan
kepentingan ini bisa menjadi titik awal keresahan masyarakat yang dapat dipicu dalam
proses agitasi
2. Ketegangan sosial, ketegangan sosial biasanya timbul sebagai pertentangan antar
kelompok baik wilayah, antar suku, agama, maupun pertentangan antara pemerintah
dengan rakyat.
3. Tumbuh dan menyebarnya keyakinan untuk melakukan aksi, ketika kelompok merasa
dirugikan oleh kelompok lainya, memungkinkan timbul dendam kesumat dalam dirinya.
Hal ini bisa menimbulkan keyakinan untuk dapat melakukan suatu aksi bersama;
3.PERIKLANAN POLITIK
4.RETORIKA
Retorika menurut arti katanya adalah ilmu bicara (rhetorica). Menurut Cleanth Brooks
dan Robert Penn Warren adalah retorika merupakan seni penggunaan bahasa secara
efektif. Namun sebagian besar pakar komunikasi mengartikan retorika tidak hanya
menyangkut pidato (public speaking), tapi juga termasuk seni menulis.
Dalam politik, kegiatan agitasi dan propaganda dapat menjadi pemicu ledakan social jika
diarahkan pada hal negatif yang memancing emosi massa, terlebih jika dimainkan oleh
motor penggerak yang aktif. Untuk hari ini dengan semakin mudahnya masyarakat
mengakses media baik media yang netral maupun provokatif, maka menjadi semakin
mudah untuk membuat letupan-letupan konflik yang riskan terhadap perpecahan. Internet
dan media hari ini dapat menjadi pisau bermata dua, jangankan untuk masyarakat dengan
tingkat pendidikan yang rendah, masyarakat dengan tingkat pendidikan yang tinggi pun
kadang terkecoh dengan propaganda dan agitasi yang dilakukan oleh partai politik.
Pada masa akhir zaman orde baru, dapat dilihat bagaimana sebuah agitasi dan
propaganda bekerja dalam mendongkel penguasa dengan kekuatan yang legitimate,
peristiwa demi peristiwa dijadikan alat propaganda dan agitasi untuk menggiring
masyarakat memiliki satu pemahaman, dan selanjutnya letupan-letupan tersebut
memancing mobilisasi massa hingga muncul kondisi collaps.
Dalam proses agitasi pemahaman perilaku massa menjadi sangat penting. Agar agitasi
dapat sesuai dengan tujuan dan dapat menjadi efektif maka perlu diperhatikan sifat dan
karakter yang membentuk orang-orang dalam kelompok (massa) tersebut, seperti ; massa
yang cenderung tidak rasional, mudah tersugesti, emosional, lebih berani mengambil
resiko, tidak bermoral. Kemampuan seorang agitator untuk mengontrol emosi massa
menjadi kunci dari keberhasilan proses agitasi massa. Sedangkan pendekatan hubungan
interpersonal merupakan kunci sukses dalam agitasi individu.
Sosialisasi kebijakan politik tentang kenaikan BBM yang ditayangkan di media massa
merupakan upaya pemerintah untuk mempengaruhi masyarakat bahwa apa yang dilakukan oleh
mereka adalah benar, dengan bebagai sudut pandang dan nara sumber yang pro terhadap
keputusan mereka ditayangkan dan diberitakan berulang-ulang kali dalam sajian khusus seolah-
olah memang benar langkah yang sudah pemerintah lakukan, namun pemberitaan yang kontra
terhadap kenaikan BBM dari para ahli juga tidak kurang jumlahnya.
Dalam teori komunikasi, yang dilakukan oleh pemerintah merupakan pendekatan dari Teori
Jarum Suntik (Hypodermic Needle Theory)
Teori jarum suntik berpendapat bahwa khalayak sama sekali tidak memiliki kekuatan untuk
menolak informasi setelah ditembakkan melalui media komunikasi. Khalayak terlena seperti
kemasukan obat bius melalui jarum suntik sehingga tidak bisa memiliki alternative untuk
menentukan pilihan lain, kecuali apa yang disiarkan oleh media. Teori ini juga dikenal dengan
sebutan teori peluru (bullet theory).[1]
Berdasarkan teori tersebut, komunikator politik (politisi, professional, dan aktivis) selalu
memandang bahwa pesan politik apa pun yang disampaikan kepada khalayak, apalagi kalau
melalui media massa, pasti menimbulkan efek yang positif berupa citra yang baik, penerimaan
atau dukungan. Ternyata asumsi tersebut tidak benar seluruhnya, karena efek sangat tergantung
pada situasi dan kondisi khalayak, di samping daya tarik isi, dan kredibilitas komunikator.
Bahkan berbagai hasil penelitian membuktikan bahwa media massa memiliki pengaruh lebih
dominan dalam tingkat kognitif (pengetahuan) saja, tetapi kurang mampu menembus
pengaruh pada sikap dan perilaku. Ditemukan bahwa sesungguhnya khalayak itu tidak pasif
dalam menerima pesan.
Dengan demikian, asumsi bahwa khalayak tak berdaya dan media perkasa, tidak terbukti secara
empiric. Meskipun demikian, teori jarum hipodermik atau teori peluru tidak runtuh sama sekali
karena tetap diaplikasikan atau digunakan untuk menciptakan efeksivitas dalam komunikasi
politik. Hal ini tergantung kepada system politik, system organisasi dan situasi, terutama yang
dapat diterapkan dalam system politik yang otoriter, dengan bentuk kegiatan seperti indoktrinasi,
perintah, instruksi, penugasan, dan pengarahan. Itulah sebabnya teori ini tetap relevan dan
mampu menciptakan komunikasi yang efektif. Teori ini juga lebih memusatkan perhatian kepada
efek afektif dan behavioral.