Anda di halaman 1dari 17

JAWABAN FINAL

MEDIA, MASYARAKAT DAN SENI ACEH


DI
S
U
S
U
S
U
N
Oleh :
MASRIADI
NIM 201331013

DOSEN
SAIFUDDIN DHUHRI, MA
PROGRAM PASCA SARJANA
KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM [KPI]
STAIN MALIKUSSALEH
LHOKSEUMAWE
2014

1. Fase-fase sejarah Aceh, fase yang paling penting untuk dikaji lebih dalam
lagi, dan alasannya

Dari berbagai literatur sejarah, setidaknya sejarah Aceh bisa dibagi dalam
empat pase, yaitu pertama masa kerajaan dimana terjadi proses Islamisasi warga
Aceh dan pengembangan Islam di nusantara, kedua pase kerajaan Aceh
menghadapi serangan asing, ketiga peran Aceh dimasa kemerdekaan dan keempat
pemberontakan Aceh terhadap Indonesia.
Pada pase pertama, Aceh berperan aktif dalam mengembangkan konsep
pendidikan Islam di nusantara. Awalnya, Sultan Malikussaleh, raja Kerajaan
Samudera Pase, mewajibkan ulama menyebarkan agama Islam di seluruh negeri.
Ulama asing dari Timur Tengah dan Asia Pasifik juga diberikan ruang untuk
berinteraksi secara langsung dengan masyarakat Aceh. Perbauran budaya antara
ulama asing itu semakin menyatu ketika mereka menikahi wanita Aceh. Patut
dicatat, Aceh merupakan satu-satunya kerajaan yang tidak berhasi ditaklukkan
oleh Panglima Perang, Majapahit, Patih Gajah Mada dalam ikral sumpah palapa
(Putra Gara : 2012).
Di sektor pendidikan Islam, sistem pendidikan Islam secara struktural
dikembangkan oleh Kerajaan Iskandar Muda. Dimana, pada saat itu, telah
dibentuk struktur dayah tinggi, dan lain sebagainya, bahkan pada masa ini telah
dibentuk lembaga penjamin mutu pendidikan Islam. Konsep ini pula kemudian
dikembangkan oleh pemikir Islam, di Padang, Sumatera Barat yang belakangan
dibentuk dalam Sekolah Tinggi Agama Islam dan lain sebagainya.
Pada pase kedua, ini bisa dilihat dalam buku Alfian Ibrahim, Perang di
Jalan Allah: Perang Aceh 1873-1912 buah karya Ibrahim Alfian. Buku ini ingin
menjawab kekuatan yang mendorong orang Aceh tetap terus berperang melawan
kekuatan asing. Buku ini mengupas tuntas tentang Atjeh-oorlog (Perang Aceh)
serta kelemahan struktur kesultanan Aceh dalam menghadapu ujian dari pihak
luar, akan tetapi mencari sesuatu dibalik tindakan orang Aceh dalam aksi perang
yang berlangsung lebih dari tiga dasawarsa.
Buku yang direvisi dari disertasi Alfian ini membagi Perang Aceh dalam
beberapa fase yang saling bersentuhan. Waktu fase kedua bermula, fase pertama
masih berlanjut. Ketika agresi dilancarkan Batavia, maka yang terjadi ialah perang
dari dua Negara. Inilah fase pertama (1873-1875), disaat perang berada dibawah
komando Sultan atau yang mewakilinya. Tetapi, kemudian setelah dalam
(keraton) diduduki dan sultan mangkat, sementara sultan yang baru dinobatkan
masih dibawah umur (usia 3 tahun), maka Atjeh-oorlog berubah menjadi perang-
perang di daerah yang dipimpin para uluebalang, melawan gerak maju tentara
Hindia Belanda. Struktur kenegaran yang relatif lemah serta keterikatan antara
sultan dengan uleebalang melalui surat pengabsahan uluebalang (sarakata) dan
bantuan ekonomis dari ulee balang kepada sultan, menjadikan hubungan antara
dalam dengan wilayah kekuasaan uluebalang terganggu faktor luar lainnya.
Begitulah ketika faktor luar telah berhasil melumpuhkan dalam, maka uluebalang-
uluebalang lebih banyak bertindak sendiri daripada menunggu instruksi dari
sultan.
Inilah fase kedua (1876-1896), ketika para uluebalang tampil sebagai
pemimpin dan sultan atau wakilnya lebih merupakan unsur pemersatu daripada
sebuah komando. Fase ini merupakan sejarah terpanjang dan paling berdarah dari
Atjeh-oorlog. Tak lama uluebalang-uluebalang terkemuka di sepanjang pantai
Timur telah dapat ditaklukkan, maka mereka yang masih hidup bersedia
menerima pengaturan kekuasaan baru dengan mengakui kedaulatan Hindia
Belanda. Ketika itulah perang rakyat berkecamuk dengan ulama sebagai
pemimpinnya. Di bawah kepemimpinan ulama, perang bukanlah sekedar
menyabung nyawa dalam membela negeri, tetapi juga sebagai tindakan yang
secara spiritual bermakna. Dengan demikian, perangpun disakralkan, dijadikan
sebagai tugas suci. Mati tidaklah berarti berakhirnya kehidupan, akan tetapi
sebaliknya sebagai awal mula kehidupan yang semurninya dan keabadian yang
menjanjikan kebahagian tanpa henti. Dibawah ulama, ideologisasi perang
dilakukan sehingga mati dalam melawan kafir adalah syahid di jalan Allah dan
itulah sesungguhnya kehidupan seorang muslim yang taat dalam konteks perang.
Fase ketiga (1896-1903) diakhiri dengan memnyerahnya Tuanku Muhammad
Daud Syah pada 1903. Kemudian fase keempat (1903-1912) ialah perlawanan di
Aceh Besar (1903-1912), di Pidie (1902-1913), di Aceh Tengah dan Tenggara
(1903-1912), dan di Aceh Barat (1903-1912).
Berdasarkan fase-fase perang tersebut, ternyata lebih kepada perbedaan
corak kepemimpinan. Oleh sebab itu, betapapun para ule balang harus berperang
sendiri-sendiri dan para ulama kemudian lebih banyak tampil dalam memobilisasi
massa, namun wibawa sultan sebagai pewaris sah dari dalam serambi mekkah,
tetap diakui. Dalam buku ini pula, tidak terlalu banyak memperlihatkan aspek
ekonomi dan diplomatik dari perang yang lama itu dan dirasakan pula kurang
menonjolkan kegetiran dan kepahitan perang dari rakyat Aceh menghadapi gerak
maju Hindia Belanda.
Pase ketiga yaitu di masa awal kemerdekaan Dimana, Aceh dibawah
kepemimpinan Abu Daud Beureueh, menyatakan diri bergabung dalam NKRI. Di
bawah kepemimpinan ulama kharismatik itu pula, Aceh menyumbangkan dua
pesawat sebagai cikal bakal Garuda Indonesia airlines. Belakangan, konflik antar
Aceh dan pusat dipicu oleh dileburnya Aceh ke provinsi Sumatera Utara. Konflik
panjang ini, berakhir ketika perjanjian Lam Teh.
Terakhir, masa pemberontakan Aceh dan Indonesia. Sejatinya,
pemberontakan telah dilakukan oleh Abu Daud Beureueh terhadap pusat. Di
bawah bendera DI/TII Aceh, Abu Daud mengibarkan perlawanan terhadap
Indonesia dan Soekarno. Meski belakangan berkahir setelah ditandatanganinya
perjanjian Lam Teh.
Konflik berikutnya dideklrasikan Hasan Tiro. Dalam buku yang ditulis
Murizal Hamzah,Hasan Tiro, Jalan Panjang Menuju Damai Aceh mengungkapkan
fakta-fakta menarik penyebab Hasan Tiro mendeklarasikan Gerakan Aceh
Merdeka (GAM) di Gunong Halimun, Pidie, 38 tahun lalu.
Dalam buku ini, perang Aceh dilihat sebagai sebuah gerakan yang berawal
dari kekecewaan mendalam terhadap pemerintah Indonesia. Kekecewaan atas
pengelolaan Sumber Daya Alam yang melimpah, namun habis dikeruk ke
pemerintah pusat. Di sisi lain, Aceh sebagai daerah penghasil minyak dan gas
tidak mendapatkan apa pun.
Sejatinya, yang perlu diteliti kembali adalah asal mula konflik Aceh
khususnya GAM-RI. Meski beberapa buku telah mengupas tentang asal mula
konflik ini, namun belum ada literatur yang komprehensif tentang misteri Alm
Hasan Tiro dan para pendiri GAM. Banyak pertanyaan muncul, benarkah GAM
semata-mata idealisme untuk rakyat? Bukankah GAM sudah terdesak ketika
darurat militer diberlakukan, lalu tiba-tiba TNI memperkendor pengamanan di
Aceh? Apakah GAM dibentuk atau membentuk diri? Fakta ini yang belum
muncul. Layaknya sebuah referensi sejarah yang berbau “darah”, baru akan
muncul 60 tahun kemudian atau bahkan lebih. Ini melihat pengalaman Indonesia
dan peneliti sejarahnya dalam mengungkapkan fakta. Ketakutan peneliti
mengungkap fakta sebenarnya, adalah satu keniscayaan. Ini pula yang
menyebabkan, riwayat PKI baru terungkap di era 2000an.
Mengungkap konlik GAM-RI, itu sangat penting untuk memutus mata
rantai konflik berkepanjangan di Aceh. Sehingga, publik mengetahui sebenarnya
idiologi perang tersebut. Jika fakta ini diungkap, maka akan diketahui sebenarnya
niat awal dan pergeseran idiologi GAM dalam perjuangannya.

Apakah relasi antara romantisme sejarah dengan konflik berkepanjagan di


Aceh ?

Sejumlah ilmuan politik dan resolusi konflik meyakini rlasi romantisme


sejarah dengan konflik merupakan dua mata uang yang tak bisa dipisahkan.
Keduanya merekat dalam satu keping.
Khusus untuk konflik Aceh, setidaknya ada dua penyebab yang
melatarbelakangi romantisme sejarah dengan konflik berkepanjangan di provinsi
paling ujung Pulau Sumatera itu. Pertama, penolakan pemerintah RI terhadap
keinginan masyarakat Aceh untuk menerapkan syariat
Islam. Kedua, ketidakadilan pemerintah RI terhadap masyarakat Aceh dalam hal
bagi hasil atas pengolaan sumber daya alam di Aceh (Andri Tri Kuncoro : 2013).
Tidak bisa dipungkiri, beberapa eksplorasi SDA di Aceh memberikan
keuntungan yang berlimpah. Pada 1969 di Arun ditemukan ladang gas yang
depositnya diperkirakan dapat dieksplorasi selama 30 tahun lebih dan baru
berakhir pada tahun 2014. Dengan nilai produksi rata-rata pertahun US$ 31
miliar. Selain itu masih terdapat berbagai industri seperti PT. Pupuk Iskandar
Muda, PT Aceh Asean Fertilizer, dan PT Kraft Aceh. Tak kalah besarnya,
produksi hutan Aceh juga melimpah. Pada tahun 1997 mencapai Rp. 1 triliun
pertahun.
Namun, sekali lagi melimpahnya kekayaan di atas tidak memberi manfaat
secara langsung kepada masyarakat Aceh. Kondisi tersebut diperparah oleh
berbagai macam teror, siksaan fisik dan psikis yang dilakukan oleh aparat militer
terhadap masyarakat Aceh.
Puncak kekecewaan masyarakat Aceh ditandai oleh munculnya gerakan
ideo-nasionalisme Aceh Merdeka pada 4 Desember 1976. Gerakan yang dipimpin
oleh Teungku Hasan Muhammad di Tiro ini menuntut pemisahan diri dari RI
dengan mendirikan Negara/Kerajaan Aceh Sumatera. Arus utama ideologi yang
dipakai merujuk pada perspektif historis bahw aAceh tidak tidak pernah dijajah
Belanda. Oleh karena itu, wilayah Aceh tidak termasuk dalam penyerahan
kedaulatan dari Belanda ke Indonesia. Mereka menegaskan bahwa yang mereka
perjuangkan adalah “seccessor state”, meneruskan negara yang pernah dibangun
oleh paraendatu (nenek moyang). Persoalan ini diakui secara tekstual dalam buku
Catatan Istri Mantan Perdana Menteri Gerakan Aceh Merdeka (Azimar : 2014).
Dimana, kelompok pertama yang bergabung dalam Gerakan Aceh Merdeka
(GAM) seperti Hasan Tiro, dr Muchtar Y Hasbi, dr Zaini Abdullah, dr Zubir
melihat Indonesia sebagai sebuah negara yang menyengsarakan anak bangsa.
Menganggap Aceh sebagai sebuah bayangan, bukan sebuah provinsi nyata yang
telah memberikan sumbangsih untuk pembangunan republik.
Sejak itulah konflik antara RI-GAM berlangsung dari tahun ke tahun,
mengalami pasang surut seiring dengan tingkat kebencian masyarakat terhadap
perilaku pemerintah RI. Beberapa tindakan pemerintah yang turut meninggikan
eskalasi konflik adalah penutupan pelabuhan bebas Sang yang berpengaruh
terhadap perekonomian masyarakat Aceh, penghapusan tunjangan pensiunan
berdasarkan surat keterangan bekas tentara (SKBT) kepada para pejuang revolusi
awal kemerdekaan. Namun perilaku curang pemerintah dalam setiap
penyelenggaraan Pemilu menjadi penyebab penting semakin menggumpalnya
kebencian masyarakat Aceh. Seperti dikutip Hamid, Otto Syamsudin
menyimpulkan bahw pelanggaran HAM (di Aceh) dimulai dengan kekerasan
politik pada Pemilu 1987. Pelanggaran ini berbentuk represi yang menggiring
preferensi rakyat Aceh untuk memilih Golkar. Usaha mempertahankan
kemenangan Golkar dalam pemilu merupakan agenda tersembunyi dari tekanan
politik dan militer melalui pemberlakuan Daerah Operasi Militer (DOM).
DOM adalah Operasi Jaring Merah yang mulai digelar pada 1989 untuk
menumpas GAM. Operasi ini di bawah kendali Kodam I/ Bukit Barisan di Medan
dengan dua korem yang berada di Aceh, yaitu korem 011/Liliwangsa di
Lhokseumawe dan Korem 012/Teuku Umar di Banda Aceh. Pada tahun 1990,
dikerahkan 6.000 pasukan tambahan. Jumlah yang sangat besar untuk menumpas
anggota GAM yang hanya berjumlah 203 pada waktu itu.
Dampak yang ditimbulkan DOM-yang berakhir pada tanggal 17 agustus
1998–memang luar biasa buruk. Bukan saja mengakibatkan rusaknya tatanan
sosial masyarakat Aceh namun juga menimbulkan banyaknya korban fisik. Dari
laporan Tim Komnas HAM untuk kasus Aceh tanggal 24 Agustus 1998
menyatakan, selama DOM diberlakukan, sebanyak 781 orang meninggal dunia
akibat tindak kekerasan, 368 orang dianiaya, 163 orang hilang, 3.000 wanita
menjadi janda karena suaminya dibunuh atau dihilangkan secara paksa. 15.000-
20.000 anak menjadi yatim, 102 bangunan dibakar dan terjadi 102 kasus
perkosaan.
Untuk menganalisis romantisme sejarah dengan konflik berkepanjangan
bisa digunakan model Graham T Allison yang dipopulerkan pada tahun 1971.
Ilmuan politik dan resolusi konflik itu menganalisis konflik dari sudut pandang
model rasional aktor, model proses organisasi, dan politik birokratik. Terkait
dengan alasan dari pembuatan keputusan, model rasional aktor mampu
menjelaskan dengan baik bahwa kalkulasi untung-rugilah yang melatarbelakangi
tindakan yang diambil oleh pemerintah, apakah pemerintah akan mengambil
operasi militer atau dialog. Model politik birokratik juga dapat membantu
menjelaskan bahwa kalkulasi yang digunakan pemerintah pada dasarnya hanya
pergulatan kepentingan antar pihak dalam tubuh pemerintah yang pada akhirnya
akan mengadopsi kalkulasi pihak yang dominan. Pada gilirannya hal tersebut
mempengaruhi out put yang dihasilkan dan inilah yang dianggap sebagai
keputusan pemerintah secara organisasi sebagaimana dijelaskan oleh model
proses organisasi.
Respon positif masyarakat Aceh untuk Gerakan Aceh Merdeka (GAM)
terjadi pada tahun 2000. Dua tahun sebelumnya, pemerintah melalui Presiden BJ
Habibie resmi mencabut status Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh. Dari sini,
generasi kedua GAM, seperti Abdullah Syafiie, Sofyan Daud mampu meyakinkan
publik Aceh bahwa Indonesia sebagai negara tidak memasukkan Aceh dalam
perioritas pembangunan. Jasa baik Aceh dibalas dengan DOM, selanjutnya
dibalas dengan Darurat Militer ketika pemerintahan dipegang oleh Megawati
Soekarno Putri. Relevansi ketiga model itu semuanya digunakan GAM dan
Indonesia dalam konflik berkepanjangan di Aceh.
Indonesia menggunakan politik birokrasi yang melihat Aceh dari sudut
kaku regulasi negara. Bahwa, Aceh bukanlah Istimewa. Bahwa Aceh sama dengan
provinsi lainnya. Tanpa memikirkan jasa-jasa Aceh sejak Indonesia berdiri.
Sehingga, pendekatan yang dilakukan kala itu adalah pendekatan perang.
Pendekatan ini berubah pada masa Susilo Bambang Yudhoyono, yang
mengedepankan dialogis sebagai solusi menyelesaikan konflik Aceh. Musibah
tsunami, mempercepat proses damai yang dirintis pemerintah dibawah Wakil
Presiden kala itu, Muhammad Jusuf Kalla. Hal yang sama dilakukan oleh
kelompok Gerakan Aceh Merdeka. Tuntutan merdeka berubah menjadi otonomi
khusus. Dan, beberapa regulasi terkait turunan UU Pemerintah Aceh seperti RPP
Migas, RPP Kewenangan, dan RPP Pertahanan belum rampung, namun proses
damai telah berlangsung sepuluh tahun lebih. Tinggal lagi, apakah regulasi
turunan UUPA itu akan disetujui oleh pemerintah pusat atau tidak? Ini
dikhawatirkan bisa menjadi pemicu konflik di masa mendatang. Romantisme
sejarah “pengkhianatan” Indonesia terhadap janji-janji pada rakyat dikhawatirkan
sebagai pemantik konflik baru di Aceh.

2. Analisis Framing Berita Penghentian Pengajian Tastafi Masjid


Baiturrahman Banda Aceh di Media Atjehpost.co

Untuk menganalisis arah idiologi media massa, bisa dilakukan dengan


pendekatan analisis framing. Mari melihat detail peristiwa yang disajikan oleh
Atjehpost.co.
Persoalan ini bisa dilihat dalam model framing yang ditawarkan framing
yang diperkenalkan oleh Zhondang Pan dan Gerald M Kosicki. Dalam model Pan
dan Konsicki, framing dibagi ke dalam empat struktur besar yaitu skematis, skrip,
tematik dan retoris (Eriyanto : 2012).
Pengajian Tasawuf, Tauhid, dan Fikih (Tastafi) diselenggarakan sejak
setahun terakhir setiap Jumat pagi di Masjid Raya Baiturrahman. Berita tentang
penghentian pengajian atau lebih tepat panitia tidak memberikan izin pengajian itu
digelar mulai muncul di Atjehpost.co pada 22 Desember 2014. Padahal, peristiwa
itu terjadi pada 19 Desember 2014 pagi hari di Masjid Baiturrahman, Banda Aceh.
Berita ini baru dihentikan oleh Atjehpost.co pada 25 Desember 2014. Artinya,
berita ini menjadi isu utama liputan media itu selama empat hari berturut-turut.
Atjehpost.co, berdiri sejak tahun 2011. Dua pendiri media ini yaitu Nurlis
E Muko dan Yuswardi A Suud, keduanya alumni Majalah Tempo. Awalnya,
pemilik saham media ini adalah, Yuswardi A Suud, Nurlis E Muko, Muzakkif
Manaf (Ketua Partai Aceh dan Wakil Gubernur Aceh), Humam Hamid (Dosen
Fakultas Pertanian Universitas Syah Kuala) dan Alm Mawardi Nurdin (Mantan
Wali Kota Banda Aceh). Dua tahun media ini berdiri, Humam Hamid dan
Mawardi Nurdin menarik sahamnya. Praktis, kini saham media itu dimiliki oleh
Nurlis, Yuswardi dan Muzakkir Manaf. Pada akhir 2013, Nurlis menjadi Ketua
Informasi DPP Partai Aceh. Media ini menjadi “corong” Partai Aceh. Seluruh
kegiatan Partai Aceh dipublis secara menyeluruh, meski pun tidak memiliki
magnitude berita.
Khusus untuk pemberitaan panitia masjid tidak memberikan izin
pengadian Tahtafi di Masjid Baiturrahman bisa melihat skematis, skrip, tematik
dan retoris.
Dari skema yang ditampilkan, media ini cenderung tidak mengupas
kronologis peristiwa secara rinci. Tidak satu pun berita yang ditampilkan
membahas kronologis peritiswa, bahkan sebaliknya media ini memfokuskan
pemberitaan pada pembubaran pengajian. Ada tiga kata yang berbeda makna
digunakan media ini dalam setiap judul berita terkait pengajian Tahtafi tersebut.
Ketiga kata itu yaitu pembubaran,pelarangan dan pengusiran.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebutkan pembubaran
merupakan proses dan tata cara membubarkan. Artinya, ada rangkaian proses dan
cara dalam satu peristiwa yang mengakibatkan orang bubar (berpisah-pisah).
Sedangkan arti kata pengusiran adalah peroses atau cara untuk mengusir
disertai ancaman. Terakhir, kata pelarangan proses atau cara melarang yang tidak
diperbolehkan atau diperkenankan.
Artinya, dari segi pemaknaan kata, berita tersebut lebih tepat digunakan
kata pelarangan, artinya pengurus masjid melarang digelar pengajian pada pagi
hari, namun diganti menjadi pada siang hari selepas salat Jumat. Dari
ketidakkonsistesan judul yang digunakan, terlihat media ini ingin menekankan
peristiwa itu pada titik “mengadu” antara Pemerintah Aceh, pengurus masjid dan
ulama yang akan menggelar pengajian tersebut.
Konon, larangan itu berawal dari Pemerintah Aceh yang diteruskan ke
pengurus masjid dan seterusnya diteruskan ke panitia pelaksana. Namun, dalam
runtutan berita tidak ada satu pun penjelasan yang bisa membuktikan bahwa
larangan itu datang dari Pemerintah Aceh. Harusnya, menganut prinsip
keberimbangan berita, media harus membuktikan tudingan yang disampaikan.
Tidak ada sumber yang akurat yang menjelaskan bahwa Pemerintah Aceh
melarang pengajian itu. Lebih-lebih membubarkan atau pengusiran. Sumber
pertama adalah sumber terkuat untuk menyebut fakta awal. Sedangkan pemerintah
hanya bersifat konfirmasi saja.saja.
Dari penjelasan dan keterangan Kadis Syariat Islam, dan Kabiro Humas
Pemerintah Aceh tidak satu pun menerangkan bahwa itu bentuk pelarangan.
Selain itu, terdapat dua berita yang tidak relevan ditayangkan oleh
Atjehpost.co. Kedua berita itu yakni komentar Ketua DPD Gerindra Aceh, TA
Khalid dan Juru Bicara Partai Aceh Adi Laweung terkait pelarangan pengajian
tersebut. Dua narasumber ini dalam ilmu jurnalisme disebut narasumber tidak
berkompeten. Dalam jurnalisme, narasumber berkompeten adalah mereka yang
mengetahui peristiwa, mereka yang terlibat, melihat, mendengar atau
menyaksikan dan mereka karena jabatannya terkait dalam peristiwa tertentu. TA
Khalid dan Adi Laweung, bukanlah narasumber berkompeten, karena keduanya
politisi dalam satu koalisi, Partai Aceh dan Gerindra sejak Pemilu 2014
menyatakan diri berkoalisi. Mereka juga bukan anggota DPRA, yang karena
jabatannya layak berkomentar untuk isu tertentu, sesuai dengan komisi tempatnya
bertugas. Kedua politisi itu juga bukan ulama dan bukan orang yang melihat
langsung kejadian itu. Jika kedua politisi ini dikutip, maka mengandung unsur
konflik kepentingan. Dimana, Nurlis juga pengurus Partai Aceh dan TA Khalid
sebagai mitra koalisi Partai Aceh yang setahun terakhir berkonflik dengan
Gubernur Aceh, dr Zaini Abdullah.
Sebaliknya, ada narasumber yang tidak seharusnya berbicara, namun tidak
ditampilkan seperti Kapolresta Banda Aceh, Gubernur Aceh, Wakil Gubernur
Aceh, Sekda Aceh dan Imam Besar Masjid Baiturrahman. Atjehpost.com, hanya
memilih narasumber terlemah dalam pemerintah yaitu Kabiro Humas Pemerintah
Aceh dan Kadis Syariat Islam, Aceh. Sedangkan pada level pengambil kebijakan
tertinggi tidak diwawancarai. Sejatinya,jika tudingan yang disampaikan adalah
pengusiran, pelarangan pengajian itu dari permintaan pemerintah Aceh, maka
yang harus dicari komentarnya atau tanggapannya adalah gubernur, wakil
gubernur, dan sekda. Ketiga ini merupakan pimpinan tertinggi untuk sebuah
kebijakan. Sehingga, berita Atjehpost.co bisa dinyatakan sebagai berita berimbang
dan memenuhi unsur jurnalisme ideal.
Dari sisi skrip, berita yang ditampilkan cenderung provokatif. Seakan-akan
ada peritiswa pengusiran yang terjadi di Masjid Baiturrahman. Padahal, faktanya
bukan pengusiran, namun pelarangan, dan pemindahan jadwal. Seakan-akan polisi
sudah datang menggunakan senjata dan mengusir jamaah yang sedang mengaji.
Sehingga, diperlihatkan Aceh sebagai negeri syariat ternyata lebih mementingkan
kepentingan politik daripada kepentingan agama. Skrip ini bisa dilihat dari
penjelasan-penjelasan panitia penyelenggara pengajian. Sangat disayangkan, tidak
memuat penjelasan imam besar Masjid Baiturrahman dan gubernur Aceh.
Sehingga, publik memiliki pengetahuan komfrehensif tentang pelarangan
pengajian dan pemindahan jadwal pengajian itu. Sehingga prinsip keberimbangan
dalam berita terpenuhi.
Dari sisi tematik, tema ini sangat menarik dan sangat sensitif karena
menyangkut isu religiusitas. Di negara mana pun, tema religi, merupakan satu hal
yang sensitif dan bisa menimbulkan konflik berbau SARA (Karen Amstrong :
2011). Seharusnya, menulis isu regili harus memiliki pemahaman konfrehensif
dan berupaya menggunakan kalimat-kalimat yang netral, tidak bombastis, apalagi
provokatif. Idealnya, berita yang diturunkan menggunakan konsep piramida
terbalik bertingkat, dimana seluruh pihak disatukan dalam satu paket berita.
Sehingga, pembaca memiliki pemahaman yang sama. Hal ini terkait pula dengan
kode etik tentang keberimbangan berita. Konsep berita online, yang memecah
berita menjadi beberapa bagian sebenarnya tidak cocok digunakan dalam isu
konflik tentang agama atau religi. Tujuanya, agar pembaca tidak terpengaruh
pada doktrin atau setting yang disajikan media. Namun, Atjehpost.co tetap
menggunakna konsep pemecahan berita dengan memuat link (tautan) antara berita
yang satu ke berita lainnya.
Dari sisi retoris, media ini menampilkan berita dengan konsep
straighnews, atau berita ringkas. Dari pola pemberitaan, media ini berupaya
memuat komentar-komentar yang mendukung skema yang digunakan yaitu
provokatif. Media ini tidak membeberkan retoris dari sumber lain, seperti
kepolisian yang hadir pada peristiwa itu. Komentar kepolisian digunakan mulut
panitia pelaksana kegiatan. Hal ini sangat tidak relevan untuk dikutip, jika tidak
ada komentar polisi secara utuh.
Kepentingan yang melatarbelakangi berita ini dan kisruh pengajian
tersebut sejatinya adalah kepentingan politik. Konflik antara dr Zaini (gubernur
Aceh) dan wakilnya Muzakkir Manaf merembet pada pengajian tersebut. Namun,
beruntung, Wagub dan Nurlis selaku pemilik media itu, terkesan memanfaatkan
media itu untuk mendeskriditkan pengurus masjid dan gubernur Aceh.

3. Tafsir foto semiotika


Semiotika secara terminologis adalah ilmu yang mempelajari sederetan
luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda. Menurut
Eco, semiotik sebagai “ilmu tanda” (sign) dan segala yang berhubungan
dengannya cara berfungsinya, hubungannya dengan kata-kata lain,
pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya.
Seluruh aktifitas manusia dalam keseharian selalu diliputi berbagai
kejadian-kejadian yang secara langsung atau tidak langsung, disadari atau tak-
sadar, memiliki potensi makna yang terkadang luas nilainya jika dipandang dari
sudut-sudut yang dapat mengembangkan suatu objek pada kaitan-kaitan yang
mengindikasikan suatu pesan atau tanda tertentu. Jika diartikan melalui suatu
penjelasan maka akan dapat diterima oleh orang lain yang menyepakati.
Semiotika, yang biasanya didefinisikan sebagai pengkajian tanda-tanda
(the study of signs), pada dasarnya merupakan sebuah studi atas kode-kode, yaitu
sistem apapun yang memungkinkan kita memandang entitas-entitas tertentu
sebagai tanda-tanda atau sebagai sesuatu yang bermakna (Sholes :1982).

Barbie adalah boneka yang diproduksi oleh Mattel Inc, sebuah perusahaan mainan
Amerika. Boneka hasil kreasi Ruth Handler – pemilik Mattel Inc – ini pertama
kali dirilis tahun 1959 dan menjadi boneka fenomenal yang penjualannya tidak
pernah kurang dari 1 juta unit perbulan, sejak pemunculan pertamanya hingga hari
ini.
Apa yang menarik dari boneka Barbie, mampu menghipnotis anak-anak
perempuan seluruh dunia? Temukan fakta-fakta mengejutkan dari boneka
tercantik di dunia ini.
Kelahiran Boneka Barbie diawali dari keprihatinan Ruth Handler saat
melihat anak perempuannya – Barbara – yang bermain dengan boneka kertas dan
memperlakukan boneka itu layaknya manusia dewasa. Pada masa itu (tahun
1950an), mainan-mainan yang diproduksi di Amerika adalah mainan untuk bayi.
Dan melihat interaksi anaknya dengan boneka kertas itu, Ruth – yang kala itu
sudah mendirikan perusahaan mainan Mattel – menangkap peluang untuk
membuat mainan bagi anak-anak di atas lima tahun. Waktu itu, Elliot Handler –
suaminya yang juga salah satu pendiri Mattel – tidak terlalu antusias menanggapi
ide istrinya itu.
Ide itu kemudian menjadi obsesi Ruth saat bersama keluarganya berlibur
ke Jerman tahun 1956. Di sebuah toko mainan, dia menemukan boneka mainan
bernama Bild Lilli. Boneka yang dibuat berdasarkan gambar kartun kreasi
Reinhard Beuthin itu cukup populer di Jerman. Melihat animo anak-anak pada
boneka itu, akhirnya membuka mata Elliot dan Ruth untuk membuat boneka
sejenis yang diproduksi di negara mereka, Amerika Serikat.
Bersama Jack Ryan – designer Mattel – Ruth dan Elliot mendesain ulang
boneka Bild Lilli menjadi boneka cantik bernama Barbie. Boneka tersebut
pertama kali ditampilkan di American International Toy Fair di New York pada
tanggan 9 Maret 1959. Tanggal tersebut secara resmi dinyatakan sebagai tanggal
ulang tahun Barbie.
Setelah Barbie sukses dirilis di pasar Amerika, pada tahun 1964 Mattel
membeli hak cipta Bild Lilli. Pada tahun itu pula, produksi boneka Bild Lilli
dihentikan dan seluruh sahamnya dibeli oleh Mattel.
Barbie merupakan mainan pertama di dunia yang latar belakang dibuat
secara khusus dan dipublikasikan oleh media. Pada tahun 1960, penerbitan
Random House membuat serangkaian novel yang menceritakan tentang riwayat
hidup boneka ini. Dikisahkan bahwa nama lengkap Barbie adalah Barbra
Millicent Roberts, terlahir dari pasangan suami-istri George dan Margaret Roberts
yang tingggal di kota Willows, Wisconsin.
Sebagai gadis cantik, Barbie disukai banyak pria di kotanya. Namun dari
sekian banyak pria, satu-satunya pria yang berhasil merebut hatinya adalah Ken –
nama lengkapnya Ken Carson. Kisah cinta mereka dimulai tahun 1961. Hubungan
Barbie dan Ken tidak berjalan mulus dan sering mengalami putus-sambung.
Hubungan mereka berakhir tahun 2004, ketika Mattel menyatakan secara resmi
bahwa Barbie dan Ken memutuskan untuk berpisah. Namun bulan Februari 2006,
Mattel menyatakan kisah asmara Barbie dan Ken terjalin kembali.
Barbie memiliki 6 bersaudara, yaitu :
1. Skipper Roberts (biasa dipanggil Skipper, diperkenalkan oleh Mattel pada
tahun 1964), merupakan adik perempuan Barbie.
2. Sepasang saudara kembar : Todd dan Tutti (kedua karakter ini diperkenalkan
tahun 1960. Nantinya, pada tahun 1990, Tutti berganti nama menjadi Stacie).
3. Kelly Robertson (disebut juga Kelly atau Shelly. Karakter ini diperkenalkan
pada tahun 1995), merupakan adik bungsu Barbie. Kelly biasanya tampil dalam
wujudul anak berusia 4 tahun.
4. Krissy Roberts (diperkenalkan Mattel pada tahun 1999) juga adalah salah satu
adik Barbie yang kurang populer. Karakter Krissy ditarik dari peredaran pada
tahun 2001.
5. Chelsea (akan diperkenalkan Mattel pada tahun 2011), adalah adik Barbie yang
akan muncul di pertengahan tahun 2011.
Nama Barbie terinspirasi dari nama anak perempuan Ruth dan Elliot
Handler : Barbara. Sementara nama Ken – kekasih Barbie – adalah nama anak
laki-laki mereka : Kenneth.
Jika dikonversi menjadi seukuran manusia, maka postur Barbie adalah :
Berat : 49 kg
Tinggi : 161 cm
Ukuran vital : 29 – 46 – 84 cm
Boneka Barbie pertama yang dirilis pada tahun 1959 mengenakan pakaian
renang berstrip zebra hitam-putih dengan rambut kucir ekor kuda (yang kelak
menjadi ciri khas semua boneka Barbie). Dalam pemunculan perdananya itu,
Barbie muncul dalam 2 versi : Barbie berambut pirang (blonde) dan berambut
coklat (brunette).
Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Mattel sejak tahun 1959 hingga
2010 : Sedikitnya ada 100,000 orang kolektor Barbie fanatik di dunia ini.
Sembilan puluh persen diantaranya adalah wanita – rata-rata berusia 40 tahun –
yang rata-rata membeli dua puluh boneka Barbie setiap tahunnya. Sekitar 40%
dari mereka menghabiskan sedikitnya US$ 1000 / tahun hanya untuk membeli
pernak-pernik boneka Barbie (mulai dari pakaian, asesoris, dan lain-lain).
Barbie adalah mainan ketiga yang dipromosikan lewat televisi. Mainan
pertama yang dipromosi dan diiklankan di media tersebut adalah Mr Potato Head.
Mainan ini pertama kali ditayangkan di televisi pada tanggal 1 Mei 1952 dan
dijual seharga US$ 0.98. Sedangkan mainan kedua, adalah Mrs Potato yang
iklannya ditayangkan di televisi pada tahun 1953.
Barbie adalah mainan pertama yang dijual secara internasional ke 150
negara. Mattel mengklaim sedikitnya 3 boneka Barbie terjual setiap detik.
Barbie adalah mainan pertama yang memperkenalkan "Modeling Skala
1/6″ (1:6 Scale Modeling), yang kelak menjadi standar ukuran mainan modelling
dan action figure. "Modeling Skala 1/6″ disebut juga Playscale Miniaturism.
Barbie pun adalah boneka – serta mainan – pertama yang dijual di
pelelangan Christie, London. Pada tanggal 26 September 2006, Boneka Barbie in
Midnight Red (produksi tahun 1965) terjual dengan harga tertinggi US$ 17,000
(9,000 poundsterling)
Barbie adalah mainan dan boneka pertama yang menjadi aktris virtual.
Sejak tahun 1987 hingga hari ini, Barbie telah "berperan" dalam 23 film dan
menjadi figuran dalam 2 film. Film pertama Barbie adalah Barbie and the Rockers
: Out of this World (dirilis tahun 1987, dibuat oleh DIC Entertainment dan Saban
Productions). Sementara film teranyar Barbie berjudul Barbie Princess Charm
School akan dirilis pertengahan tahun 2011 ini. Barbie pun turut berperan sebagai
figuran dalam film Toy Story 2 dan Toy Story 3. Di film itu, Barbie berperan
sebagai dirinya sendiri.
Boneka Barbie menjadi Ikon Budaya dunia dan merupakan mainan
pertama yang mendapatkan gelar kehormatan tersebut. Sebagai penghargaan, pada
tahun 1974, Pemerintah New York mengubah nama Times Square menjadi Barbie
Boulevard & menggunakan nama tersebut selama 1 minggu.
Dalam tampilan Barbie berjilbab merupakan bentuk penghinaan terhadap
kaum muslim. Pada saat bersamaan barbie ditampilkan mengenakan cawat,
berpakaian seksi, hanya mengenakan pakaian dalam dan pada sisi lain
menampilkan pakaian barbie berjilbab. Sehingga, yang ingin dimunulkan adalah
mengenakan pakaian jilbab pada saat bersamaan bisa mengenakan pakaian seksi.
Doktrinisasi pada pola pikir anak sejak dini untuk berpakaian seksi dan pada saat
bersamaan bisa berpakaian muslim. Padahal, hukum Islam menyatakan wajib
menutup aurat.

Anda mungkin juga menyukai