Anda di halaman 1dari 21

LATENT AUTOIMMUNE DIABETES OF ADULTS ( LADA ),

MATURITY ONSET DIABETES OF THE YOUNG ( MODY )


DAN SERTA PERBEDAAN DIABETES TIPE 1 DAN 2

Disusun Oleh :
GALI RAKA SIWI
NIM 180203119

UNIVERSITAS HARAPAN BANGSA


FAKULTAS KESEHATAN
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN S1
TA 2018/2019
I. DIABETES AUTOIMUN LATEN PADA DEWASA (LADA)
Latent Autoimmune Diabetes of Adults (LADA) adalah sebuah konsep yang
diperkenalkan pada tahun 1993 untuk menggambarkan slow-onset autoimun DM
tipe 1 pada dewasa. Biasanya individu dewasa yang menderita LADA sering salah
didiagnosa menderita DM tipe 2 karena mungkin pengaruh dari umur tetapi bukan
etiologi. Pasien dengan LADA memiliki gejala lebih sedikit dibanding DM tipe 2.
Ciri khas lainnya adalah pada pasien LADA ada kesulitan untuk mengontrol kadar
glukosa darah menggunakan obat standar hipoglikemi oral.
Pasien LADA memiliki marker autoimmun dalam darahnya seperti marker
pada DM tipe 1 tetapi bisanya pada awal diagnosis, pasien LADA tidak
membutuhkan terapi insulin – bukan insulin dependen. Tetapi ketika kelainan
metaboliknya terus berlanjut, maka pasien dengan LADA akan membutuh terapi
insulin (insulin dependen) seperti pada DM tipe 1. Gejala ketoasidosis juga mulai
timbul pada keadaan lanjut pasien dengan LADA yang tidak terkontrol.
Berdasarkan The UK Prospective Diabetes Study menemukan bahwa
antibodi spesifik LADA dapat ditemukan pada 6% - 10% pasien yang didiagnosis
menderita DM tipe 2. Diagnosis LADA ditegakkan ketika ditemukan peningkatan
kadar marker autoantibodi dalam darah pasien seperti pada DM tipe 1.
Karakteristik LADA yang mungkin dapat digunakan pada diferensial diagnosis
:
1. Onset biasanya umur 25 tahun atau lebih tua.
2. Bergejala awal seperti DM tipe 2 pada orang yang bukan obese. (pasien LADA
biasanya memiliki berat badan yang ideal.
3. Sering tetapi tidak selalu, pasien LADA jarang memiliki riwayat DM tipe 2
dalam keluarganya.
4. Individu dengan LADA kelihatannya seperti resisten insulin.
5. HLA gen berhubungan dengan DM tipe 1 bukan DM tipe 2.
6. Biasanya sekitar 12 tahun setelah salah didiagnosa sebagai DM tipe 2, pasien
LADA akan dependen insulin.
II. DIABETES AWITAN DEWASA MUDA (MODY)
Maturity Onset Diabetes of the Young (MODY) adalah kelainan genetik dan
klinik yang heterogen dan merupakan salah satu tipe dari DM yang ditandai dengan
onset yang cepat, kelainan genetik autosomal dominan dan defek utama pada
sekresi insulin - Genetic defects of beta cell function. Mutasi pada pada enam gen
merupakan penyebab MODY terbanyak. Kelainan gen tersebut adalah :
1. Hepatocyte nuclear transcription factor (HNF) 4 (MODY 1)
2. Glucokinase (MODY 2)
3. HNF-1 (MODY 3)
4. Insulin promoter factor-1 (IPF-1; MODY 4)
5. HNF-1 (MODY 5)
6. NeuroD1 (MODY 6)

MODY seperti DM tipe 2 yang disebabkan oleh kelainan gen autosomal


dominan dan terjadi pada usia muda dengan riwayat DM dalam keluarga. MODY
merupakan kelainan genetik diwariskan melalui keturunan. MODY sering
dibandingkan dengan DM tipe 2 dan memiliki beberapa kesamaan gejala. Tetapi
bagaimanapun, MODY tidak ada hubungannya dengan obesitas, penderitanya
biasanya muda dan tidak ada kaitannya dengan kelebihan berat badan. Onset terjadi
sebelum usia 25 tahun. Dapat terjadi dari satu generasi ke generasi berikutnya
dalam keluarga. MODY tidak selalu membutuhkan pengobatan insulin.
Manifestasi klinis yang digunakan untuk menegakkan diagnosis MODY :
1. Hiperglikemik ringan sampai sedang (tpically 130–250 mg/ dl, atau 7–14
mmol/ l) dan ditemukan sebelum usia 30 tahun. Tetapi bagaimanapun, MODY
masih dapat berkembang sampai dibawah usia 50 tahun.
2. Gejala awal sama seperti gejala DM pada umumnya.
3. Tidak ada autoantibodi atau kelainan autoimun lainnya.
4. Kadar insulin yang Persita rendah.
5. Tidak ada obesitas atau kelainan lainnya yang berhubungan dengan DM tipe 2.
6. Resistensi insulin jarang terjadi.
7. Adanya kista pada ginjal pasien juga sering ditemukan.
8. Non-transient neonatal DM.

Maturity onset diabetes of the young has strong genetic associations. Photo credit:
KTPH

Model of a pancreatic beta cell and the proteins implicated in maturity onset
diabetes of the young (MODY). Photo credit: Fajans SS, Bell GI, Polonsky KS/The
University of Chicago Medicine

III. PERBEDAAN DIABETES TIPE 1 DAN 2


A. Definisi
a. Tipe 1
Diabetes Mellitus tipe 1 diakibatkan oleh karena berkurangnya sekresi insulin
akibat kerusakan sel β-pankreas yang didasari proses autoimun.
b. Tipe 2
DM tipe 2 merupakan penyakit kronik dan kompleks yang melibatkan berbagai
defek patofisiologis, meliputi gangguan fungsi pankreas dan resistansi insulin yang
menyebabkan gangguan toleransi glukosa serta produksi yang tidak tepat dari
glukosa hati yang tinggi.

B. Etiologi
a. Tipe 1
Etiologi DM tipe 1 diakibatkan oleh kerusakan sel beta pankreas karena
paparan agen infeksi atau lingkungan, yaitu racun, virus (rubella kongenital,
mumps, coxsackievirus dan cytomegalovirus) dan makanan (gula, kopi, kedelai,
gandum dan susu sapi).
Beberapa teori ilmiah yang menjelaskan penyebab diabetes mellitus tipe 1
sebagai
berikut:
1. Hipotesis sinar matahari
Teori yang paling terakhir adalah "hipotesis sinar matahari," yang menyatakan
bahwa waktu yang lama dihabiskan dalam ruangan, dimana akan mengurangi
paparan sinar matahari kepada anak-anak, yang akan mengakibatkan berkurangnya
kadar vitamin D. Bukti menyebutkan bahwa vitamin D memainkan peran integral
dalam sensitivitas dan sekresi insulin (Penckofer, Kouba, Wallis, & Emanuele,
2008). Berkurangnya kadar vitamin D, dan jarang terpapar dengan sinar matahari,
dimana masing-masing telah dikaitkan dengan peningkatan risiko diabetes mellitus
tipe 1.
2. Hipotesis higiene "Hipotesis kebersihan"
Teori ini menyatakan bahwa kurangnya paparan dengan prevalensi patogen,
dimana kita menjaga anak-anak kita terlalu bersih, dapat menyebabkan
hipersensitivitas autoimun, yaitu kehancuran sel beta yang memproduksi insulin di
dalam tubuh oleh leukosit. Dalam penelitian lain, peneliti telah menemukan bahwa
lebih banyak eksposur untuk mikroba dan virus kepada anak-anak, semakin kecil
kemungkinan mereka menderita penyakit reaksi hipersensitif seperti alergi.
Penelitian yang berkelanjutan menunjukkan bahwa "pelatihan" dari sistem
kekebalan tubuh mungkin berlaku untuk pencegahan tipe 1 diabetes (Curry, 2009).
Kukrija dan Maclaren menunjukkan bahwa pencegahan diabetes tipe 1
mungkin yang akan datang melalui penggunaan imunostimulasi, yakni
memaparkankan anak-anak kepada bakteri dan virus yang ada di dunia, tetapi yang
tidak menyebabkan efek samping imunosupresi.
3. Hipotesis Susu Sapi
Teori ini menjelaskan bahwa eksposur terhadap susu sapi dalam susu formula
pada 6 bulan pertama pada bayi dapat menyebabkan kekacauan pada sistem
kekebalan tubuh dan meningkatkan risiko untuk mengembangkan diabetes mellitus
tipe 1 di kemudian hari. Dimana protein susu sapi hampir identik dengan protein
pada permukaan sel beta pankreas yang memproduksi insulin, sehingga mereka
yang rentan dan peka terhadap susu sapi maka akan direspon oleh leukosit, dan
selanjutnya akan menyerang sel sendiri yang menyebabkan kerusakan sel beta
pankreas sehingga terjadi dibetes mellitus tipe 1. Peningkatan pemberian ASI di
1980 tidak menyebabkan penurunan terjadinya diabetes tipe 1, tetapi terjadi
peningkatan dua kali lipat diabetes mellitus tipe 1. Namun, kejadian diabetes tipe 1
lebih rendah pada bayi yang diberi ASI selama 3 bulan (Ekoe, Zimmet, & Williams,
2001).
4. Hipotesis POP
Hipotesis ini menjelaskan bahwa eksposur terhadap polutan organik yang
persisten (POP) meningkatkan risiko kedua jenis diabetes. Publikasi jurnal oleh
Institut Nasional Ilmu Kesehatan Lingkungan menunjukkan peningkatan yang
signifikan secara statistik dalam tingkat rawat inap untuk diabetes dari populasi
yang berada di tempat Kode ZIP yang mengandung limbah beracun (Kouznetsova,
Huang, Ma, Lessner, & Carpenter, 2007).
5. Hipotesis Akselerator
Sebuah teori yang menunjukkan bahwa tipe 1 diabetes merupakan bagian
sederhana dari kontinum yang sama dari tipe 2, tetapi muncul lebih dulu. Hipotesis
akselerator menyatakan bahwa peningkatan berat dan tinggi anak-anak pada abad
terakhir ini telah "dipercepat", sehingga kecenderungan mereka untuk
mengembangkan tipe 1 dengan menyebabkan sel beta di pankreas di bawah tekanan
untuk produksi insulin. Beberapa kelompok mendukung teori ini, tetapi hipotesis
ini belum merata diterima oleh profesional diabetes (O'Connell, Donath, &
Cameron, 2007)
b. Tipe 2
Untuk kebanyakan individu, DM tipe 2 berkaitan dengan kegemukan. Selain
itu, kecenderungan pengaruh genetik cukup kuat dalam menentukan kemungkinan
individu mengidap penyakit ini. Diperkirakan terdapat sifat genetik yang belum
teridentifikasi yang menyebabkan pankreas mengeluarkan insulin yang berbeda,
atau menyebabkan reseptor insulin atau perantara kedua tidak dapat berespons
secara adekuat terhadap insulin. Terdapat kemungkinan lain bahwa kaitan rangkai
genetik antara yang dihubungkan dengan kegemukan dan rangsangan
berkepanjangan reseptor-reseptor insulin. Rangsangan berkepanjangan atas
reseptor-reseptor tersebut dapat menyebabkan penuruanan jumlah reseptor insulin
yang terdapat di sel tubuh. Penurunan ini disebut down regulation.
Mungkin pula bahwa individu yang menderita diabetes tipe 2 menghasilkan
auto antibodi insulin yang berikatan dengan reseptor insulin, menghambat akses
insulin ke reseptor, tetapi tidak merangsang aktivitas pembawa karier. Penelitian
lain menduga bahwa defisit hormon leptin, akibat kekurangan gen penghasil leptin
atau tidak berfungsi, mungkin bertanggung jawab untuk diabetes melitus tipe 2
pada beberapa individu. Tanpa gen leptin, yang sering disebut gen obesitas pada
hewan, mungkin termasuk manusia, gagal berespons terhadap tanda kenyang, dan
itulah mengapa menjadi gemuk dan menyebabkan insensitivitas insulin.
Meskipun obesitas merupakan resiko utama untuk diabetes melitus tipe 2,
ada beberapa individu yang mengidap penyakit ini di usia muda dan individu yang
kurus atau dengan berat badan normal. Salah satu tipe penyakit ini adalah MODY
(maturity-onset diabetes of the young), suatu kondisi yang dihubungkan dengan
defek genetik pada sel beta pankreas yang tidak mampu menghasilkan insulin.
Pada keadaan seperti ini dan beberapa kondisi lainnya, berkaitan erat dengan
rangkai genetik suatu sifat yang diwariskan.

C. Tanda dan Gejala


a. Tipe 1
 Polidipsi, poliuria, polifagia, berat badan turun
 Hiperglikemia (≥ 200 mg/dl), ketonemia, glukosuria
Anak dengan DM tipe 1 cepat sekali menjurus ke dalam ketoasidosis diabetik
yang disertai atau tanpa koma dengan prognosis yang kurang baik bila tidak diterapi
dengan baik. Oleh karena itu, pada dugaan DM tipe 1, penderita harus segera
dirawat inap.
b. Tipe 2
 Sering kencing/miksi atau meningkatnya frekuensi buang air kecil (poliuria)
Adanya hiperglikemia menyebabkan sebagian glukosa dikeluarkan oleh
ginjal bersama urin karena keterbatasan kemampuan filtrasi ginjal dan kemampuan
reabsorpsi dari tubulus ginjal. Untuk mempermudah pengeluaran glukosa maka
diperlukan banyak air, sehingga frekuensi miksi menjadi meningkat.
 Meningkatnya rasa haus (polidipsia) Banyaknya miksi menyebabkan tubuh
kekurangan cairan (dehidrasi), hal ini merangsang pusat haus yang mengakibatkan
peningkatan rasa haus.
 Meningkatnya rasa lapar (polipagia) Meningkatnya katabolisme, pemecahan
glikogen untuk energi menyebabkan cadangan energi berkurang, keadaan ini
menstimulasi pusat lapar.
 Penurunan berat badan Hal ini disebabkan karena tubuh kehilangan banyak cairan,
glikogen dan cadangan trigliserida serta massa otot.
 Kelainan pada mata, penglihatan kabur Pada kondisi kronis, keadaan hiperglikemia
menyebabkan aliran darah menjadi lambat, sirkulasi ke vaskuler tidak lancar,
termasuk pada mata yang dapat merusak retina serta kekeruhan pada lensa.
 Kulit gatal, infeksi kulit, gatal-gatal disekitar penis dan vagina Peningkatan glukosa
darah mengakibatkan penumpukan gula pada kulit sehingga menjadi gatal, jamur
dan bekteri mudah menyerang kulit.
 Ketonuria Ketika glukosa tidak lagi digunakan untuk energi, maka akan digunakan
asam lemak untuk energi, asam lemak akan dipecah menjadi keton yang
kemudian berada pada darah dan dikeluarkan melalui ginjal.
 Kelemahan dan keletihan Kurangnya cadangan energi, adanya kelaparan sel,
kehilangan potassium menjadi akibat pasien mudah lelah dan letih.
 Terkadang dan tanpa gejala Pada keadaan tertentu, tubuh sudah dapat beradaptasi
dengan peningkatan glukosa darah.
 Peningkatan angka infeksi akibat peningkatan konsentrasi glukosa disekresi mucus,
gangguan fungsi imun, dan penurunan aliran darah.
 Paretesia, atau abnormalitas sensasi
 Pelisutan otot dapat terjadi karena protein otot digunakan untuk memenuhi
kebutuhan energi tubuh.

D. Pemeriksaan Diagnostik
a. Tipe 1
Laboratorium :
 Kadar glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dl dan 2 jam setelah makan > 200 mg/dl.
 Ketonemia, ketonuria.
 Glukosuria
 Bila hasil meragukan atau asimtomatis, perlu dilakukan uji toleransi glukosa oral
(oral glucosa tolerance test).
 Kadar C-peptide.
 Marker imunologis : ICA (Islet Cell auto-antibody), IAA (Insulin auto-antibody),
 Anti GAD (Glutamic decarboxylase auto-antibody).
b. Tipe 2
Jenis pemeriksaan laboratorium yang berkaitan dengan DM :
1. Glukosa urin
Pemeriksaan ini banyak dipakai dahulu kala untuk mengetahui perkiraan kadar
glukosa darah, tetapi tidak dapat mendeteksi adanya hipoglikemia. Selain
itu, banyaknya glukosa yang dikeluarkan di dalam urin tergantung dari ambang
ginjal terhadap glukosa. Bila ambang ginjal untuk glukosa rendah seperti pada
glukosuria renal akan terdapat glukosa di dalam urin walaupun tidak dijumpai
hiperglikemia. Keadaan ini dapat dijumpai pada wanita hamil.
2. Kadar gula darah
Untuk mengetahui adanya DM dan pengontrolan kadar gula darah dapat
diketahui dengan mengukur kadar gula darah puasa atau kadar gula darah sewaktu
seperti terlihat pada alogaritma 1 atau 2.
3. Test Toleransi Glukosa Oral (TTGO)
Pemeriksaan TTGO bila didapatkan kadar gula darah yang meragukan baik pada
kadar gula darah puasa maupun sewaktu seperti terlihat pada alogaritma 1 atau 2.
Untuk pemeriksaan TTGO pasien harus memenuhi persyaratan sbb :
 Tiga hari sebelum pemeriksaan, makan dan kegiatan jasmani dilakukan seperti
biasa. Puasa satu malam 10 -12 jam
 Di laboratorium pasien dilakukan pemeriksaan gula darah puasa, kemudian
diberikan 250mL air yang ditambahkan 75g glukosa, yang dihabiskan dalam waktu
5 menit.
 Selama menunggu 2 jam pasien istirahat dan tidak merokok.
 Periksa kada gula darah 2 jam pasca penambahan glukosa.
4. Hemoglobin glikasi (HbA1c).
Sebagaimana diketahui hemoglobin di dalam tubuh akan mengalami glikasi
dengan kecepatan yang proporsional dengan kadar glukosa darah. Reaksi ini terjadi
secara reversible membentuk senyawa stabil yang disebut hemoglobin glikasi atau
hemoglobin A1c.

E. Komplikasi
a. Tipe 1
Komplikasi jangka pendek (akut) yang sering terjadi : hipoglikemia dan
ketoasidosis. Komplikasi jangka panjang biasanya terjadi setelah tahun ke-5,
berupa : nefropati, neuropati, dan retinopati. Nefropati diabetik dijumpai pada 1
diantara 3 penderita DM tipe 1.
Diagnosis dini dan pengobatan dini penting sekali untuk :
1. mengurangi terjadinya gagal ginjal berat, yang memerlukan dialisis.
2. menunda ”end stage renal disease” dan dengan ini memperpanjang umur penderita.
Adanya ’mikroalbuminuria’ merupakan parameter yang paling sensitif untuk
identifikasi penderita resiko tinggi untuk nefropati diabetik. Mikroalbuminuria
mendahului makroalbuminuria. Pada anak dengan DM tipe-1 selama > 5 tahun,
dianjurkan skrining mikroalbuminuria 1x/tahun. Bila tes positif, maka dianjurkan
lebih sering dilakukan pemeriksaan. Bila didapatkan hipertensi pada penderita DM
tipe-1, biasanya disertai terjadinya nefropati diabetik. Tindakan : pengobatan
hiperglikemia dan hipertensi (bila ada).
b. Tipe 2
Komplikasi diabetes melitus dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu
komplikasi metabolik akut dan komplikasi vaskular jangka panjang.
1. Komplikasi metabolik akut
Komplikasi metabolik diabetes disebabkan oleh perubahan yang relatif akut
dari konsentrasi glukosa plasma. Hiperglikemia, hiperosmolar, koma nonketoik
(HHNK) adalah komplikasi metabolik akut yang sering terjadi pada penderita
diabetes melitus tipe 2 yang lebih tua. Bukan karena defisiensi insulin yang absolut,
namun relatif, hiperglikemia muncul tanpa ketosis. Hiperglikemia berat dengan
kadar glukosa serum lebih besar dari 600mg/dl. Hiperglikemia menyebabkan
hiperosmolalitas, diuresis osmotik dan dehidrasi berat. Pasien dapat menjadi tidak
sadar dan meninggal bila keadaan ini tidak segera ditangani.
Komplikasi lain yang sering terjadi adalah hipoglikemia (reaksi insulin,syok
insulin), terutama komplikasi terapi insulin. Pasien diabetes dependen insulin
mungkin suatu saat menerima insulin yang jumlahnya lebih banyak daripada yang
dibutuhkannya untuk mempertahankan kadar glukosa normal yang mengakibatkan
terjadi hipoglikemia. Gejala-gejala hipoglikemia disebabkan oleh pelepasan
epinefrin (berkeringat, gemetar, sakit kepala dan palpitasi) juga akibat kekurangan
glukosa dalam otak (tingkah laku yang aneh, sensorium yang tumpul, dan koma).
Harus ditekankan bahwa serangan hipoglikemia adalah berbahaya, bila sering
terjadi dalam waktu yang lama dapat menyebabkan kerusakan otak permanen atau
bahkan kematian.
Penatalaksanaan hipoglikemia adalah dengan segera diberikan
karbohidrat baik oral maupun intravena. Kadang diberikan glukagon , suatu
hormon glikogenesis secara intramuskular untuk meningkatkan kadar glukosa
darah. Hipoglikemia akibat pemberian insulin pada pasien diabetes dapat
memicu pelepasan hormon pelawan regulator
(glukagon,epinefrin,kortisol,hormon pertumbuhan) yang seringkali meningkatkan
kadar glukosa dalam kisaran hiperglikemia (efek somogyi). Kadar glukosa yang
naik turun menyebabkan pengontrolan diabetik yang buruk. Mencegah
hipoglikemia adalah dengan menurunkan dosis insulin dan dengan demikian
menurunkan hiperglikemia.
2. Komplikasi kronik jangka panjang
Komplikasi diabetes jangka panjang dapat dibagi menjadi tiga tipe:
mirovaskular, maskrovaskular dan neuropati perifer. Komplikasi vaskular jangka
panjang melibatkan pembuluh-pembuluh kecil-mikroangiopati dan pembuluh-
pembuluh sedang atau besar-makroangiopati. Mikroangiopati merupakan lesi
spesifik kapiler yang menyerang kapiler dan arteriola retina (retinopati
diabetik),glomerulus ginjal (nefropati diabetik) dan saraf-saraf perifer (neuropati
diabetik), otot-otot serta kulit. Dari sudut histokimia,lesi-lesi ini ditandai dengan
peningkatan penimbunan glikoprotein. Karena senyawa kimia dari membran dasar
dapat dari glukosa, maka hiperglikemia menyenbabkan bertambahnya
kecepatan pembentukan sel-sel membran dasar. Penggunaan glukosa dari sel-sel
ini tidak membutuhkan insulin. Bukti histologik mikroangiopati sudah tampak
nyata pada penderita IGT. Namun, manifestasi klinik penyakit vaskular, retinopati
atau nefropati biasanya baru muncul 15 sampai 20 tahun sesudah awitan diabetes.
Ada kaitan yang kuat antara hiperglikemia dengan insidens
dan berkembangnya retinopati. Manifestasi dini retinopati berupa mikroaneurisma
(pelebaran sakular yang kecil) daria rteriola retina. Akibatnya, perdarahan,
neurovaskularisasi dan jaringan parut retina dapat mengakibatkan kebutaan.
Pengobatan yang paling berhasil untuk retinopati adalah fotokoagulasi keseluruhan
retina. Pengobatan cara ini dapat menekan neurovaskularisasi dan perdarahann
yang menyertainya. Manifestasi dini neuropati berupa proteinuria dan hipertensi.
Jika hilanhnya fungsi nefron terus berlanjut, pasien akan menderita insufisiensi
ginjal dan uremia. Neuropati dan katarak disebabkan oleh jalur poliol (glukosa-
sorbitol-fruktosa) nakibat kekurangan insulin. Terdapat penimbunan sorbitol dalam
lensa sehingga mengakibatkan pembentukan katarak dan kebutaan. Pada jaringan
saraf terjadi penimbunan sorbitol dan fruktosan serta penurunan kadar mionositol
yang menimbulkan neuropati. Perubahan biokimia dalam jaringan saraf akan
mengganggu kegiatan metabolik sel-sel sechwann dan menyebabkan hilangnya
akson. Kecepatan konduksi motorik berkurang pada tahap dini perjalanan
neuropati.
Selanjutnya timbul nyeri,parestesia, berkurangnya sensasi getar dan
proprioseptik dan gangguan motorik yang disertai hilangnya refleks-refleks tendon
dalam, kelemahan otot dan atrofi. Neuropati dapat menyerang saraf-saraf perifer,
saraf kranial atau sistem saraf otonom. Terserangnya saraf otonom dapat disertai
dengan diare nokturnal, keterlambatan pengosongan lambung dengan
gastroparesis, hipotensi postural dan impotensi. Pasien dengan neoropati otonom
diabetik dapat menderita infark miokardial akut tanpa nyeri. Pasien ini juga dapat
kehilangan respons katekolamin terhadap hipoglikemia dan tidak menyadari reaksi
hipoglikemia.
Makroangiopati diabetik mempunyai gambaran hispatologisberupa
aterosklerosis, gabungan dari gangguan biokimia yang disebabkan oleh insufisiensi
insulindapat menjadi penyebab penyakit ini.gangguan ini berupa:
1. penimbunan sorbitol dalam intima vaskular
2. Hiperlipoproteinemia
3. kelainan pembekuan darah
Pada akhirnya makroangiopati diabetik ini akan menyebabkan penyumbatan
vaskular. Jika mengenai arteri-arteri perifer, maka dapat mengakibatkan
insufisiensi vaskular perifer yang disertai klaudikasio intermitten dan gangren pada
ekstremitas serta insufisiensi serebral dan stroke. Jika yang terkena adalah arteria
koronaria dan aorta, maka dapat mengakibatkan angina dan infark miokardium.
Bukti klinis dan percobaan sekarang ini menunjukkan bahwa timbulnya komplikasi
diabetik jangka panjang karena kelainan kronikkronik metabolisme disebabkan
olehinsufisiensi sekresi insulin. Komplikasi diabetik ini dapat dicegah atau
dikurangi jika pengobatan diabetes cukup efektif untuk membawa kadar glukosa ke
dalam kisaran normal seperti yang diindikasikan oleh hemoglobin glikat.

F. Penatalaksanaan
a. Tipe 1
 Pada dugaan DM tipe-1 penderita harus segera rawat inap.
 Insulin
Dosis total insulin adalah 0,5 - 1 UI/kg BB/hari. Selama pemberian perlu dilakukan
pemantauan glukosa darah atau reduksi air kemih. Gejala hipoglikemia dapat
timbul karena kebutuhan insulin menurun selama fase ”honeymoon”. Pada keadaan
ini, dosis insulin harus diturunkan bahkan sampai kurang dari 0,5 UI/kg BB/hari,
tetapi sebaiknya tidak dihentikan sama sekali.
 Diet
 Jumlah kebutuhan kalori untuk anak usia 1 tahun sampai dengan usia pubertas dapat
juga ditentukan dengan rumus sebagai berikut : 1000 + (usia dalam tahun x 100) =
....... Kalori/hari
 Komposisi sumber kalori per hari sebaiknya terdiri atas : 50-55% karbohidrat, 10-
15% protein (semakin menurun dengan bertambahnya umur), dan 30-35% lemak.
 Pembagian kalori per 24 jam diberikan 3 kali makanan utama dan 3 kali makanan
kecil sebagai berikut :
20% berupa makan pagi.
10% berupa makanan kecil.
25% berupa makan siang.
10% berupa makanan kecil.
25% berupa makan malam.
10% berupa makanan kecil.
 Pengobatan penyakit penyerta seperti infeksi dan lain-lain.
b. Tipe 2
Tujuan dari terapi yang diberikan meliputi pengontrolan gliukosa darah,
menurunkan berat badan, meningkatkan aktifitas fisik,normalisasi gangguan lipid
dan menurunkan hipertensi. Mengidentifikasi komplikasi sistem organ sedini
mungkin sehingga dapat ditangani juga merupakan inti. Meningkatkan rasa
kesejahteraan pasien dan tingkah laku serta kebiasaan perawatan diri penting untuk
memastikan hasil jangka panjang yang lebih sehat. Tujuan dari pengontrolan
glikemia meliputi glukosa serum puasa dan sebelum makan kurang dari 126 mg/dl,
glukosa setelah makn kurang dari 160, dan hemoglobin terglikosilasi kurang dari 7.
Pemantauan glukosa darah sendiri adalah yang paling diinginkan pada pasien
diabetes tipe 2, cukup untuk meyakinkan pengontrolan glikemia yang optimal.
Olahraga dalam batasan yang berdasarkan kemampuan kardiovaskuler, pasien
harus memulai regimen olah raga individual dengan penekanan pada olah raga
aerobik minimal 3 kali per minggu selama 30 menit. Harus dimulai bertahap dan
ditingkatkan seiring dengan peningkatan kemampuan olah raga. Olahraga dapat
mengurangi resistensi insulin. Diet diabetik bertujuan menormalkan kadar glukosa
dan lipid darah, serta untuk memperoleh dan mempertahankan berat badan optimal
dan keseimbangan antara asupan kalori dengan pemakaian kalori.
Rekomendasi diet terkini menganjurkan :
a. Karbohidrat harus dalam bentuk kompleks dan kaya serat dan menyusun 55%
sampai 60% total energi.
b. Lemak total harus dikurangi menjadi 30% sampai 35% dari asupan energi total;
lemak binatang harus diganti dengan lemak tak jenuh tunggal atau tak jenuh ganda.
c. Protein harus dikurangi 10% dari asupan kalori.
d. Asupan kolestrol di batasi hanya 300 mg per hari.
e. Konsumsi alkohol harus harus dibatasi sampai setara dengan 4 ons anggur per hari.
f. Studi terkini melaporkan adanya profil lipid, glukosa dan insulin yang lebih kuat
baik setelah mengonsumsi diet yang didominasi lemak tak jenuh tunggal. Bila
pengontrolan glikemia tidak cukup dicapai dengan intervensi diet dan olahraga
maka obat hipoglikemik oral dapat diberikan. Pemantauan glukosa dirumah sangat
penting saat berupaya mengontrol glikemia dan menghindari hipoglikemia. Ada
lima kategori obat hipoglikemik oral :
1. Sulfonilure (tolbutamid,asetoheksamid,klorpropamid,gliburid,glipizid,glimepirid)
 Secara primer menstimulasi pelepasan insulin dari sel beta selama waktu kerja
farmakologis obat (4 sampai 24 jam).
 Sulfonilurea sering berhasil jika digunakan secara tunggal.
 Efek samping meliputi penambahan berat badan dan hipoglikemia.
 Interaksi obat : sulfonamid,salisilat,probenesit dan penyekat-beta dapat
memperkuat hipoglikemia.
 Dikontraindikasikan pada defisiensi insulin (diabetes tipe 1), kehamilan dan
menyusui. Pasien perioperatif paling baik ditangani dengan insulin.
2. Biguanida (metformin)
 Menurunkan glukosa darah dengan menurunkan absorbsi glukosa usus,
meningkatkan sensitivitas insulin dan ambilan glukosa perifer dan menghambat
produksi glukosa hepar.
 Tidak menyebabkan hipoglikemia.
 Keuntungan lain meliputi penurunan kadar kolesterol total,trigliserida dan LDL.
 Karena terkadang berefek samping kehilangan selera makan dan penurunan berat
badan, obat ini lebih disukai dsalam penanganan pasien obese.
 Efek samping meliputi efek gastrointestinal (GI) minor yang dapat dikontrol
dengan menurunkan dosis. Konsekuensi serius yang jarang terjadi adalah asidosis
laktat; ini biasanya muncul bila ada kontraindikasi seperti insufisiensi ginjal yang
tidak ketahuan.
 Dikontraindikasikan pada gangguan ginjal, kehamilan dan ketergantungan insulin,
dan harus digunakan dengan hati-hati pada pasien penyakit hepar,jantung, atau
paru;simetidin meningkatkan kadar serum metformin.
3. Derifat Asam Benzoat
 Secara struktur berbeda dari sulfonilurea, tetapi serupa dalam mekanisme stimulasi
sekresi insulin.
 Dirancang untuk meningkatkan sekresi insulin saat makan dan harus diminum saat
makan.
4. Inhibitor alfa-glukoisidase (acarbose,voglibose,miglitol)
 Mempunyai aksi memengaruhi enzim didalam usus yang memecah gula kompleks.
Memeperlambat kecepatan pencernaan polisakarida, mengakibatkan keterbatasan
absorbsi glukosa dari karbohidrat yang dikonsumsi. Tampaknya memperbaiki
kadar glukosa darah setelah makan dan menurunkan hemoglobin terglikosasi.
 Tidak menyebabkan hipoglikemia.
 Efek samping serupa dengan intoleransi laktosa karena efek gula yang tidak
tercerna oleh bakteria kolon (diare,nyeri abdomen,flatus dan distensi abdomen).
5. Tiazolidinedion (rosiglitazon,pioglitazon)
 Meningkatkan sensitivitas hepar dan menurunkan resistensi insulin.
 Efek sampingnya minimal dan meliputi retensi cairan dan kadang peningkatan
enzim fungsi hepar secara reversibel. Karena kekhawatiran adanya gangguan hepar
maka peningkatan enzim fungsi hepar merupakan indikasi untuk menghentikan
obat.
Insulin eksogen mengganti defek sel beta dengan menurunklan kadar glukosa,
menekan produksi glukosa hepar, dan meningkatkan ambilan glukosa ke dalam sel.
Penanganan insulin dimulai bila pengontrolan metabolik tidak memadai meskipun
sudah diberikan obat hipoglikemik oral dosis maksimal;dosisi besar (200 sampai
300 unit per hari) mungkin diperlukan untuk mengatasi resistensi insulin. Efek
samping pemberian insulin meliputi penambahan berat badan, hipoglikemia dan
hiperinsulinemia. Insulin sangat berguna selama masa medis atau bedah akut
saat penatalaksanaan glukosa darah yang lebih cermat diperlukan.
Untuk penatalaksanaan umum, penanganan dimulai dengan satu obat
hipoglikemik oral (metformin,sulfonilurea,derivat asam benzoat). Bila tidak
efektif, diindikasikan terapi 2 atau 3 obat dengan menggunakan obat oral dari kelas
lain. Karena faktor biaya maka tiazolidinedion jarang digunakan meskipun efektif
untuk terapi tunggal. Kombinasi obat oral dan regimen insulin tertentu
memperlihatkan keuntungan pada diabetes tipe 2.
G. Klasifikasi DM tipe 1 dan DM tipe 2
Klasifikasi Diabetes Melitus menurut PERKENI 2006 dalam dilihat dalam
tabel dibawah ini :
a. DM tipe 1
Insulin dependent diabetes mellitus (IDDM) Diabetes jenis ini terjadi akibat
kerusakan sel β pakreas. Dahulu, DM tipe 1 disebut juga diabetes onset-anak (atau
onset-remaja) dan diabetes rentan-ketosis (karena sering menimbulkan ketosis).
Onset DM tipe 1 biasanya terjadi sebelum usia 25-30 tahun (tetapi tidak selalu
demikian karena orang dewasa dan lansia yang kurus juga dapat mengalami
diabetes jenis ini). Sekresi insulin mengalami defisiensi (jumlahnya sangat rendah
atau tidak ada sama sekali). Dengan demikian, tanpa pengobatan dengan insulin
(pengawasan dilakukan melalui pemberian insulin bersamaan dengan adaptasi
diet), pasien biasanya akan mudah terjerumus ke dalam situasi ketoasidosis diabetik
(Arisman, 2011).
Gejala biasanya muncul secara mendadak, berat dan perjalanannya sangat
progresif; jika tidak diawasi, dapat berkembang menjadi ketoasidosis dan koma.
Ketika diagnosa ditegakkan, pasien biasanya memiliki berat badan yang rendah.
Hasil tes deteksi antibodi islet hanya bernilai sekitar 50-80% dan KGD >140 mg/dL
(Arisman, 2011).
b. DM tipe 2
non-insulin dependent diabetes mellitus (NIDDM) DM jenis ini disebut juga
diabetes onset-matur (atau onset-dewasa) dan diabetes resistan-ketosis (istilah
NIDDM sebenarnya tidak tepat karena 25% diabetes, pada kenyataannya, harus
diobati dengan insulin; bedanya mereka tidak memerlukan insulin sepanjang usia).
DM tipe 2 merupakan penyakit familier yang mewakili kurang-lebih 85% kasus
DM di Negara maju, dengan prevalensi sangat tinggi (35% orang dewasa) pada
masyarakat yang mengubah gaya hidup tradisional menjadi modern (Arisman,
2011).
DM tipe 2 mempunyai onset pada usia pertengahan (40-an tahun), atau lebih
tua, dan cenderung tidak berkembang kearah ketosis. Kebanyakan penderita
memiliki berat badan yang lebih. Atas dasar ini pula, penyandang DM jenis ini
dikelompokkan menjadi dua : (1) kelompok obes dan (2) kelompok non-obes.
Kemungkinan untuk menderita DM tipe 2 akan berlipat ganda jika berat badan
bertambah sebanyak 20% di atas berat badan ideal dan usia bertambah 10 tahun
atau di atas 40 tahun (Arisman, 2011).
Gejala muncul perlahan-lahan dan biasanya ringan (kadang-kadang bahkan
belum menampakkan gejala selama bertahun-tahun) serta progresivitas gejala
berjalan lambat. Koma hiperosmolar dapat terjadi pada kasus-kasus berat. Namun,
ketoasidosis jarang sekali muncul, kecuali pada kasus yang disertai stress atau
infeksi. Kadar insulin menurun atau bahkan tinggi, atau mungkin juga insulin
bekerja tidak efektif (Arisman, 2011). Pengendaliannya boleh jadi hanya berupa
diet dan (jika tidak ada kontraindikasi) olahraga, atau dengan pemberian obat
hipoglisemik (Arisman, 2011).
Perbedaan DM tipe 1 dan 2 dapat di gambarkan di dalam tabel di bawah ini :
perbedaan DM tipe 1 DM tipe 2
Onset Anak/dewasa muda(<25 Biasanya setelah usia
tahun) pertengahan
Proporsi <10% dari semua penyandang >90% dari semua penyandang
DM DM
Riwayat Tidak lazim Sangat lazim
Keluarga
Gejala Akut/sub-akut Lambat

Ketoasidosis Sering sekali Jarang, kecuali jika sakit/stress


Antibodi Sangat sering positif Biasanya negative
ICA, GAD
Obesitas saat Tidak obes Obes sebelum onset
onset
Kaitan Ada Tidak ada
dengan HLA
tipe tertentu
Kaitan Kadang-kadang ada Tidak ada
dengan
penyakit
autoimun
C-peptida Sangat rendah Rendah/normal/tinggi
darah/urin
Kegunaan Penyelamat nyawa Kadang-kadang diperlukan
insulin sebagai pengawasan gula darah
Penyebab Pankreas tidak mampu Produksi insulin masih ada,
membuat insulin tetapi sel target tidak peka
Kegunaan Mengawasi gula darah Menurunkan BB (jadwal tidak
diet (makan/jajan harus diatur harus ketat, kecuali kalau
seputar pemberian insulin agar insulin juga diberikan)
tidak terjadi hipoglisemia)
Kegunaan Merangsang sirkulasi dan Membuat tubuh menjadi lebih
latihan fisik membantu tubuh dalam peka terhadap insulinnya
penggunaan insulin sendiri, di samping
menggunakan energi untuk
mengurangi BB

DAFTAR PUSTAKA

Jong WD. Kanker, apakah itu? Jakarta: Arcan; 2005.h.104.


Karam JH, Forsham PH. Hormon-hormon pankreas dan diabetes melitus. Dalam:
Greenspan FS, Baxter JD, editor. Endokrinologi dasar dan klinis. Edisi ke-4.
Jakarta: EGC; 2008.h.754-72.
Nelson WE, Behrman ER, Kliegman R, Arvin MA. Nelson ilmu kesehatan anak.
Volume 2. Edisi ke-15. Jakarta: EGC; 2012.h.1658-63, 1455-8.
Price SA, Wilson LM. Patofisiologi. Volume 2. Edisi ke-6. Jakarta: EGC;
2006.h.1261-70.
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S. Buku ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid 3. Edisi ke-5. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit
Dalam; 2009.h.1880-82, 1900-13.
Powers AC. Diabetes melitus. In: Harrison’s Principle of Internal Medicine. 17th
ed. USA: McGraw-Hill; 2008.p.2293.
Achmad T, Sutisna H, Kurniawan A.N. Diabetes melitus. Buku saku dasar patologi
penyakit. Edisi ke-5. Jakarta: EGC; 2004.h.557- 8.
Mortensen HB, et al. Multinational study in children and adolescents with newly
diagnosed type 1 diabetes: association of age, ketoacidosis, HLA status, and
autoantibodies on residual beta-cell function and glycemic control 12 months
after diagnosis. Pediatric Diabetes 2010: 11: 218–226.
Thomas RC, et al. Autoimmunity and the Pathogenesis of type 1 Diabetes. McGill
University Medical School, Montreal, Canada; 2010; 47(2): 51–71
Irland NB. The story of type 1 diabetes. Nursing for women’s health, volume 14,
2010; 327-338
Al Homsi MF, Lukic ML. An Update on the pathogenesis of Diabetes Mellitus.
Faculty of Medicine and Health Sciences, UAE University, Al Ain, United
Arab Emirates; 2000

Anda mungkin juga menyukai