Anda di halaman 1dari 11

KEBERADAAN HAK ASASI MANUSIA DALAM

MEWUJUDKAN KONSEPSI AGRARIA DI INDONESIA

Disusun Oleh :
Muhammad Abdullah Azzam F14190058 (Ketua)
U’un Maliun Hawa G24190034 (Moderator)
Sita Afrea Syamsiyah G14190082 (Penyaji)
Lilis Nurhasanah E24190013 (Notulen)
Muhamad Hanipan F14190033 (Notulen)
Vhaldo Riyan Ganesha F14190063 (Anggota)

Dosen Pembimbing :
Dr. Ir Parlaungan Adil Rangkuti M.Si

PROGRAM PENDIDIKAN KOMPETENSI UMUM


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2019

1
DAFTAR ISI

Daftar Isi i
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan 2
Ruang Lingkup 2
Permasalahan 2
STUDI PUSTAKA 3
Pemahaman Hukum dan Hak Asasi Manusia 3
Konsepsi Agraria 3
PEMBAHASAN 5
Kasus Pelanggaran Hukum dan Hak Asasi Manusia di Bidang Agraria 5
Studi Kasus Agraria di Taman Nasional Ujung Kulon 5
Studi Kasus Pada Masyarakat Suku Melayu Di Kesatuan Pemangkuan Hutan
Dharmasraya, Sumatera Barat 7
KESIMPULAN DAN SARAN 9
Kesimpulan 9
Saran 9
DAFTAR PUSTAKA 10

i
BAB I
PENDAHULUAN

I.1 LATAR BELAKANG


Indonesia merupakan negeri agraris yang kaya akan sumber daya alam. Tidak
hanya kaya akan sumber daya alamnya saja, kita juga memiliki potensi ekonomi
yang sangat besar dalam bidang pertanian, perikanan dan juga sektor riil. Indonesia
berpotensi besar untuk menjadi negara adidaya, karena kekayaan sumber daya
alamnya. Indonesia bahkan dikenal sebagai negara dengan sumber daya terbesar di
dunia. Namun faktanya terjadi ketimpangan di masyarakat, banyak permasalahan-
permasalahan mengenai pertanian di Indonesia yang menyebabkan Indonesia sebagai
negara darurat agraria dimana 71% wilayah daratan dikuasai korporasi kehutanan,
16% oleh korporasi perkebunan skala besar , 7% dikuasai oleh konglomerat,
sedangkan rakyat kecil hanya menguasai sisanya saja. Dampaknya 1% orang terkaya
di Indonesia menguasai 50,3% kekayaan nasional dan 10% orang terkaya menguasai
7% kekayaan nasional. Politik kebijakan agraria nasional semakin tidak bersahabat
dengan petani, sebab tanah dan kekayaan agraria lainnya telah dirubah fungsinya
menjadi objek investasi dan bisnis oleh pemerintah yang berkuasa.
Petani dan nelayan memiliki posisi yang sangat strategis dalam pemenuhan
pangan masyarakat Indonesia, sehingga peningkatan komoditas pertanian dan
perikanan amat perlu dilakukan. Konflik agraria dan sengketa tanah menjadi salah
satu gesekan yang mengganggu efektivitas kehidupan pertanian dan perikanan.
Setidaknya ada dua pemicu konflik agraria, pertama kurang tepatnya hukum dan
kebijakan pengatur masalah agraria , baik terkait pandangan atas tanah, status tanah
dan kepimilikan, hak- hak atas tanah. Kedua, kelambanan dan ketidakadilan dalam
proses penyelesaian sengketa tanah yang akhirnya berujung pada konflik.
Akibatnya, banyak petani dan nelayan yang kehilangan mata pencaharian dan
akhirnya menjadi pengangguran. Pengangguran menyebabkan bertambahnya
penduduk miskin di daerah terpencil seperti pedesaan yang sebagian besar adalah
petani dan nelayan.
Bagi kelompok ini, yang penting bukanlah memiliki tanahnya, namun ada tanah
yang dapat disewa dari pemiliknya atau ada tanah kosong tanpa peduli siapa yang

1
mempunyai dan dapat digunakan untuk mendirikan tempat kegiatan usaha ataupun
tempat sehingga mereka dapat menjaga kelangsungan hidup.
Ungkapan-ungkapan ini menggambarkan kedudukan dan fungsi tanah bagi
manusia. Tanah merupakan sumber penghidupan karena dari tanah mengalir
semangat harga diri, kemakmuran, kekuasaan, dan kesakralan. Oleh karenanya setiap
orang berjuang untuk memiliki tanah dan mempertahankannya sampai rela
mengorbankan nyawa daripada menanggung malu karena tidak memiliki tanah.
Oleh karna itu, diperlukan penegakkan hukum dan HAM dalam bidang
pertanian di Indonesia. Agar ketimpangan- ketimpangan tersebut dapat teratasi, dan
Indonesia bisa mencapai cita- citanya sebagai negara yang memiliki keadilan dan
kesejahteraan bagi semua rakyatnya.

I.2 TUJUAN
Penulisan makalah ini bertujuan untuk :
1. Untuk mengetahui peran hak asasi manusia bagi para petani di indonesia.
2. Untuk mengetahui kasus kasus pelanggaran hak asasi manusia di sektor pertanian
3. Untuk mengetahui cara menyelesaikan masalah pelanggaran hak asasi manusia di
sektor pertanian

I.3 RUANG LINGKUP


Ruang lingkup masalah dalam makalah ini adalah penegakkan hak asasi manusia
dalam bidang agraria di Indonesia serta kasus dan solusi pelanggaran hak asasi
manusia dalam bidang agraris tersebut.

I.4 PERMASALAHAN
Permasalahan yang diangkat dalam makalah ini adalah kasus- kasus pelanggaran
hak asasi manusia dalam bidang agraria yang dialamai sebagian besar petani di
Indonesia beserta solusi mengatasi permasalah tersebut.

2
BAB II
STUDI PUSTAKA

2.1 Pemahaman Hukum dan Hak Asasi Manusia


Menurut Utrecht, hukum adalah himpunan peraturan-peraturan (perintah,dan
larangan) yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat dan harus ditaati oleh
masyarakat itu (Kansil 1986).
Secara harfiah, hak asasi manusia adalah hak pokok atau hak dasar yang dibawa
oleh manusia sejak lahir yang secara kodrat melekat pada setiap manusia dan tidak
dapat diganggu gugat karena merupakan anugrah Tuhan Yang Maha Esa, atau dapat
dikatakan HAM merupakan penghargaan terhadap derajat dan martabat manusia
yang merupakan pengakuan yang nyata bahwa manusia adalah manusia (Hamidi
2012).

2.2 Konsepsi Agraria


Hukum agraria merupakan perlindungan kepentingan orang terhadap orang lain
mengenai tanah (Mertokusumo 2011). Hukum agraria dalam ilmu hukum sebenarnya
memiliki pengertian yang lebih luas. Dalam bahasa latin, agraria yang sering disebut
ager mempunyai arti tanah atau sebidang tanah, agrarius berarti perladangan,
persawahan dan pertanian. Dalam bahasa Belanda, dikenal dengan kata akker yang
berarti tanah pertanian, dalam bahasa Yunani kata agros yang juga berarti tanah
pertanian. Dalam KBBI, kata agraria berarti urusan pertanahan serta urusan
pemilikan atas tanah. Sedangkan dalam bahasa inggris, istilah agraria atau sering
disebut dengan agrariau yang berarti tanah dan sering dihubungkan dengan berbagai
usaha pertanian.
Hukum agraria adalah keseluruhan ketentuan- ketentuan hukum, baik hukum
perdata, hukum tata negara maupun tata usaha negara yang mengatur hubungan-
hubungan antara orang termasuk badan hukum, dengan bumi, air, dan ruang angkasa
dalam seluruh wilayah negara dan mengatur pula wewenang- wewenang yang
bersumber pada hubungan- hubungan tertentu (Harsono 2005).
Sumber- sumber hukum yang mengatur masalah agraria di Indonesia adalah
sebagai berikut.

3
1) Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Hukum
Pokok Agraria (UUPA);
2) Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan
Pendayumgam Tanah Terlantar;
3) Pasal 12 Ayat (2) huruf d Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pelayanan Pertanahan oleh Pemerintah;
4) Perpres Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan
Umum dan Perubahannya; dan
5) PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Tujuan dari diberlakunya peraturan peraturan lama adalah untuk mengisi
kekosongan sebelum peraturan-peraturan pelaksana dibentuk. Peraturan-peraturan
lama tersebut diatur dalam pasal56-58 UUPA salah satunya adalah Pasal 56 UUPA
yang memberlakukan ketentuan hukum adat setempat dan peraturan-peraturan
lainnya mengenai hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau
mirip dengan yang dimaksud dalam Pasal 20 UUPA (hak milik). Ketentuan-
ketentuan tersebut tetap berlaku sebelum diberlakukannya undang-undang yang
mengatur mengenai hak milik.
Adapun hukum agraria yang tidak tertulis berasal dari hukum adat yang sesuai
dengan ketentuan Pasal 5 UUPA,yang isinya sebagai berikut.
1) Tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara;
2) Bedasarkan atas persatuan bangsa;
3) Bedasarkan atas sosialisme indonesia;
4) Bedasarkan pertauran-peraturan yang tercantum dalam UUPA dan peraturan
perundangan lainnya; dan
5) Mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama

Selain hukum adat, sumber hukum agraria juga dari hukum kebiasaan yang
timbul sesudah berlakunya UUPA, yaitu yurisprudensi dan praktik administrasi.

BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Kasus Pelanggaran Hukum dan HAM di Bidang Agraria


Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat terjadi 659 konflik agraria
sepanjang 2017, dengan luasan mencapai 520.491,87 hektar (ha). Jumlah konflik
agraria meningkat 50% dibanding 2016. Konflik- konflik tersebut melibatkan
652.738 kepala keluarga. Sektor yang menempati posisi pertama konflik agraria

4
adalah perkebunan sebanyak 208 konflik (32%), dilanjut dengan properti 199 konflik
(30%), infrastruktur 94 konflik (14%), pertanian 78 konflik (12%), kehutanan 30
konflik (5%), Pesisir/kelautan 28 konflik (4%), serta pertambangan 22 konflik (3%).

3.2 Studi Kasus Agraria di Taman Nasional Ujung Kulon


Salah satu contoh kasus agraria adalah konflik yang terjadi di Desa Ujung Jaya,
Taman Nasional Ujung Kulon, yang dikaji oleh Vidya Hartini Simarmata, Aditya
Rahman, dan Astrid Rahayu Kristi dengan judul “Kajian Terhadap Konflik Agraria di
Desa Ujung Jaya Taman Nasional Ujung Kulon”. Kasus ini membahas tentang
konflik antara warga setempat dengan petugas pengelola Taman Nasional Ujung
Kulon. Awalnya pengelola Taman Nasional ingin merelokasi pemukiman warga Desa
Ujung Jaya karena desa tersebut bersinggungan langsung dengan Taman Nasional
Ujung Kulon, dikhawatirkan dapat merusak kelestarian Taman Nasional Ujung
Kulon. Namun warga menolak karena objek relokasi sangat jauh dari tempat asal dan
tidak terdapat areal pertanian atau sawah untuk penghidupan masyarakat dan tanah
tidak dapat ditanami. Akhirnya terjadi kesepakatan bahwa warga bisa tetap tinggal
dengan catatan tidak ada penambahan rumah di desa tersebut. Walaupun tidak ada
penambahan rumah di desa tersebut, namun terjadi pertambahan populasi warga
desa, sehingga dalam satu rumah bisa memiliki 3 kepala keluarga. Karena itu, warga
desa mengalami penindasan berupa pengadaan listrik secara swadaya tidak
diperbolehkan, masyarakat dilarang menebang kayu untuk kebutuhan sehari- hari,
pekerjaan mengolah lahan juga terganggu, lahan pertanian, saung dan kebun warga
dirusak, bahkan masyarakat dituduh melakukan perambahan hutan dan ditangkap.
Konflik di desa ini sudah terjadi selama 24 tahun silam. Hal ini diakibatkan
karena tidak adanya kepastian dalam hak penugasan tanah di Taman Nasional Ujung
Kulon. Adanya perbedaan paham mengenai batas penugasan tanah oleh masyarakat
dan petugas Taman Nasional Ujung Kulon, menyebabkan banyak kasus di mana
masyarakat ditangkap dan ditahan karena mengambil hasil dari tanah yang mereka
kelola secara turun- temurun dari nenek moyang mereka. Jika konflik ini dibiarkan
saja, dampaknya akan dirasakan oleh semua pihak. Oleh karena itu, konflik ini harus
segera diselesaikan.

5
Dalam mengatasi konflik agraria di Taman Nasional Ujung Kulon, perlu adanya
kesepakatan bersama antar pihak yang berkepentingan di mana pihak- pihak tersebut
duduk sejajar dan bersama- sama merumuskan jawaban dari semua permasalahan
yang ada di Taman Nasional Ujung Kulon dengan itikad baik demi kesejahteraan
masyarakat dan menjaga lingkungan.
Pemecahan masalah bisa terjadi jika kedua belah pihak memperhatikan
kesadaran akan pentingnya itikad baik dalam menyelesaikan konflik agraria di
Taman Nasional Ujung Kulon. Tanpa itikad baik, maka kesepakatan tidak dapat
dicapai.
Masyarakat akan merasakan kesulitan dan khawatir dalam mengambil hasil
hutan ataupun ladang mereka, pemerintah juga akan sulit dalam melakukan
kebijakan terkait hutan. Perlu ditekankan bahwa dalam pembentukan kesepakatan ini
dibuat secara bersama dan dalam posisi kedua belah pihak sejajar, tanpa ada pihak
yang lebih mendominasi atau terdominasi. Sehingga kesepakatan yang dibuat akan
dapat dilaksanakan, karena kedua belah pihak dapat diuntungkan dan sesuai aspirasi
masing-masing.
Penyelesaian konflik ini juga bisa melibatkan pihak ketiga (LSM) yang
dipercayai oleh kedua belah pihak untuk memfasilitasi dan menjadi penengah dalam
masalah tersebut, dengan melakukan konsorsium. Dimana kedua belah pihak
dipertemukan untuk menghasilkan kontrak sosial yang dirumuskan dan dilaksanakan
oleh kedua belah pihak. Kontarak sosial ini harus dilaksanakan secara berkelanjutan
karena perlu adanya pembaharuan.

3.3 Studi Kasus Pada Masyarakat Suku Melayu Di Kesatuan Pemangkuan Hutan
Dharmasraya, Sumatera Barat
Di Indonesia hukum negara dianggap memiliki posisi yang lebih tinggi dalam
pengelolaan sumber daya alam (Larson, 2012). Karena adanya dua hukum yang
berbeda, terjadi saling klaim hak atas tanah atau hutan. Masing-masing pihak
mengakui kebaradaan satu hukum untuk kepentingan. Seringkali negara mengambil
kebijakan sepihak dalam pengelolaan sumber daya alam tanpa melibatkan
masyarakat lokal yang menggantungkan hidup pada sumber daya alam tersebut.

6
Kasus tumpang tindih kepemilikan hutan akibat pluralisme hukum terjadi di
kesatuan pengelolaan hutan produksi (KPHP) model dharmasraya provinsi sumatera
barat. Secara hukum negara, wilayah tersebut merupakan hutan tanaman industri
(HTI) yang izinnya diberikan kepada pihak ketiga. Tetapi secara hukum adat tanah
tersebut merupakan Tanah Ulayat Suku Melayu yang telah di tempati sejak ratusan
tahun. Akibatnya terjadilah konflik agraria di kawasan KPHP antara masyarakat
dengan pemerintah. Dalam hal ini, negara tidak mengakui hukum adat sehingga
keberadaan hukum adat dalam posisi yang lemah.
Konflik agraria di KPHP terjadi sejak awal tahun 2000. Konflik terjadi di areal
hutan seluas 33.550 ha bekas HPA Ragusa yang dijadikan HTI milik PT. Inputani dan
PT. Dhara Silva. Hingga saat ini, lahan inhutani dan DS yang kini menjadi KPHP
sebagian besar telah di kuasai oleh masyarakat lokal dan diubah menjadi perkebunan
karet dan kelapa sawit. Setelah berhasil merebut hutan, terjadi tranksaksi tanah di
areal konflik yakni kegiatan pelepasan dan juga jual-beli Tanah Ulayat ke masyarakat
luar suku melayu. Pelepasan Tanah Ulayat suku melayu terjadi dalam skala masif dan
terus menerus sehingga masyarakat terancam kehilangan Tanah Ulayatnya.
Konflik agraria di wilayah KPHP terjadi karena saling klaim antara masyarakat
dan pemerintah terhadap kepemilikan hutan. Akibat konflik agraria ini, masyarakat
adat suku melayu merebut hutan dari perusahaan dan memperjual belikan Tanah
Ulayat secara bebas. Maraknya jual beli Tanah Ulayat dikarenakan penguasa Ulayar
memperjual belikan tanah tanpa mempertimbangkan kebutuhan jangka panjang.
Selain itu, tidak adanya kontrol dari masyarakat membuat penguasa Ulayat semakin
bebas dalam menjual tanah. Bukti sah dan di akuinya jual beli Tanah Ulayat adalah
adanya alas hak yang dikeluarkan oleh pihak nagari Bonjol yang di tanda tangani
penguasa Ulayat.
Keberadaan masyarakat adat suku melayu dan tanah ulayat juga perlu menjadi
perhatian penting dalam pengelolaan KPHP. Pemerintah Kabupaten Darmasraya
terutama dinas terkait perlu melibatkan masyarakat. Keterlibatan masyarakat dalam
pengelolaan yang diyakini mampu mengurangi konflik yang terjadi akibat persepsi
masyarakat yang menganggap negara telah merebut tanah ulayatnya. Selain itu
diperlukan implementasi program yang tidak hanya bertujuan memperbaiki kondisi
hutan namun juga mempertimbangkan kepentingan masyarakat sekitar yang

7
menggantungkan hidupnya di hutan. Contohnya dengan melaksanakan program-
program hutan kemasyarakatan atau hutan nagari di KPHP untuk
mengakomodasikepentingan masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari
pemanfaatan hutan.

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 KESIMPULAN
1. Masalah agraria di Indonesia seakan tidak ada titik terang untuk
penyelesaiannya. Setiap tahun bukannya menurun, masalah agraria di Indonesia
justru semakin meningkat. Peran pemerintah sangat dibutuhkan untuk
menyelesaikan konflik- konflik agraria tersebut sebagai pihak ketiga.
2. Keberadaan hukum dan HAM di bidang agraria seharusnya bisa menjadi
pedoman bagi pihak- pihak yang terkait dalam menyelesaikan konflik tersebut.
Namun kenyataan di lapangan, hukum dan HAM seakan tidak dihiraukan,
sehingga banyak korban akibat konflik agraria tersebut. Bukan hanya satu pihak
saja yang dirugikan, namun kedua belah pihak tidak ada yang diuntungkan.
Namun, dampak tersebut sangat terasa oleh rakyat kecil, kesejahteraan mereka
menjadi taruhannya. Hal ini juga berdampak pada negara, karena kesejahteraan
dan keadilan sosial di Indonesia tidak akan tercapai jika konflik- konflik agraria
tidak bisa diselesaikan dengan baik.

4.2 SARAN
1. Untuk mewujudkan konsepsi agraria di Indonesia diperlukan adanya jaminan
kesejahteraan hidup para petani di Indonesia melalui ditegakkan hak asasi
manusia di bidang agraria.
2. Semua lapisan masyarakat seharusnya memiliki kesadaran akan pentingnya
lahan pertanian yang menjadi aset Indonesia untuk mewujudkan Indonesia yang
lebih sejahtera.

8
DAFTAR PUSTAKA

Simarta et al. 2008. Kajian terhadap konflik agraria di desa ujung jaya taman nasional
ujung kulon [KTI]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.
Aswandi et al. 2019. Negara hukum dan demokrasi pancasila dalam kaitannya dengan
hak asasi manusia (HAM). Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia. 1(1) : 129.
Wahyudi R. 2011. Pembaruan hukum agraria melalui rancangan undang- undang bidang
hukum agraria dalam program legislasi nasional 2010- 2014 [TESIS]. Jakarta (ID):
Universitas Indonesia.
Hamidi et al. 2012. Teori Hukum Tata Negara: A Turning Point Of The State. Jakarta:
Salemba Huranika.
Nugroho OC. 2018. Konflik Agraria Di Maluku Ditinjau Dari Perspektif Hak Asasi
Manusia. Jurnal HAM. 9 (1: 91-99).
Estu Suryowati. 2017. 659 Konflik Agraria Tercatat Sepanjang 2017, Mencakup Lebih
Dari 500000 Hektar. https://www.google.com/search?q=KPA+mencatat+659+
konflik&oq=KPA+mencatat+659+konflik&aqs=chrome..69i57.19215j0j9&client=
ms-android-samsung-gj-rev1&sourceid=chrome-mobile&ie=UTF-8 .

Anda mungkin juga menyukai