Disusun Oleh :
Muhammad Abdullah Azzam F14190058 (Ketua)
U’un Maliun Hawa G24190034 (Moderator)
Sita Afrea Syamsiyah G14190082 (Penyaji)
Lilis Nurhasanah E24190013 (Notulen)
Muhamad Hanipan F14190033 (Notulen)
Vhaldo Riyan Ganesha F14190063 (Anggota)
Dosen Pembimbing :
Dr. Ir Parlaungan Adil Rangkuti M.Si
1
DAFTAR ISI
Daftar Isi i
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan 2
Ruang Lingkup 2
Permasalahan 2
STUDI PUSTAKA 3
Pemahaman Hukum dan Hak Asasi Manusia 3
Konsepsi Agraria 3
PEMBAHASAN 5
Kasus Pelanggaran Hukum dan Hak Asasi Manusia di Bidang Agraria 5
Studi Kasus Agraria di Taman Nasional Ujung Kulon 5
Studi Kasus Pada Masyarakat Suku Melayu Di Kesatuan Pemangkuan Hutan
Dharmasraya, Sumatera Barat 7
KESIMPULAN DAN SARAN 9
Kesimpulan 9
Saran 9
DAFTAR PUSTAKA 10
i
BAB I
PENDAHULUAN
1
mempunyai dan dapat digunakan untuk mendirikan tempat kegiatan usaha ataupun
tempat sehingga mereka dapat menjaga kelangsungan hidup.
Ungkapan-ungkapan ini menggambarkan kedudukan dan fungsi tanah bagi
manusia. Tanah merupakan sumber penghidupan karena dari tanah mengalir
semangat harga diri, kemakmuran, kekuasaan, dan kesakralan. Oleh karenanya setiap
orang berjuang untuk memiliki tanah dan mempertahankannya sampai rela
mengorbankan nyawa daripada menanggung malu karena tidak memiliki tanah.
Oleh karna itu, diperlukan penegakkan hukum dan HAM dalam bidang
pertanian di Indonesia. Agar ketimpangan- ketimpangan tersebut dapat teratasi, dan
Indonesia bisa mencapai cita- citanya sebagai negara yang memiliki keadilan dan
kesejahteraan bagi semua rakyatnya.
I.2 TUJUAN
Penulisan makalah ini bertujuan untuk :
1. Untuk mengetahui peran hak asasi manusia bagi para petani di indonesia.
2. Untuk mengetahui kasus kasus pelanggaran hak asasi manusia di sektor pertanian
3. Untuk mengetahui cara menyelesaikan masalah pelanggaran hak asasi manusia di
sektor pertanian
I.4 PERMASALAHAN
Permasalahan yang diangkat dalam makalah ini adalah kasus- kasus pelanggaran
hak asasi manusia dalam bidang agraria yang dialamai sebagian besar petani di
Indonesia beserta solusi mengatasi permasalah tersebut.
2
BAB II
STUDI PUSTAKA
3
1) Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Hukum
Pokok Agraria (UUPA);
2) Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan
Pendayumgam Tanah Terlantar;
3) Pasal 12 Ayat (2) huruf d Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pelayanan Pertanahan oleh Pemerintah;
4) Perpres Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan
Umum dan Perubahannya; dan
5) PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Tujuan dari diberlakunya peraturan peraturan lama adalah untuk mengisi
kekosongan sebelum peraturan-peraturan pelaksana dibentuk. Peraturan-peraturan
lama tersebut diatur dalam pasal56-58 UUPA salah satunya adalah Pasal 56 UUPA
yang memberlakukan ketentuan hukum adat setempat dan peraturan-peraturan
lainnya mengenai hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau
mirip dengan yang dimaksud dalam Pasal 20 UUPA (hak milik). Ketentuan-
ketentuan tersebut tetap berlaku sebelum diberlakukannya undang-undang yang
mengatur mengenai hak milik.
Adapun hukum agraria yang tidak tertulis berasal dari hukum adat yang sesuai
dengan ketentuan Pasal 5 UUPA,yang isinya sebagai berikut.
1) Tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara;
2) Bedasarkan atas persatuan bangsa;
3) Bedasarkan atas sosialisme indonesia;
4) Bedasarkan pertauran-peraturan yang tercantum dalam UUPA dan peraturan
perundangan lainnya; dan
5) Mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama
Selain hukum adat, sumber hukum agraria juga dari hukum kebiasaan yang
timbul sesudah berlakunya UUPA, yaitu yurisprudensi dan praktik administrasi.
BAB III
PEMBAHASAN
4
adalah perkebunan sebanyak 208 konflik (32%), dilanjut dengan properti 199 konflik
(30%), infrastruktur 94 konflik (14%), pertanian 78 konflik (12%), kehutanan 30
konflik (5%), Pesisir/kelautan 28 konflik (4%), serta pertambangan 22 konflik (3%).
5
Dalam mengatasi konflik agraria di Taman Nasional Ujung Kulon, perlu adanya
kesepakatan bersama antar pihak yang berkepentingan di mana pihak- pihak tersebut
duduk sejajar dan bersama- sama merumuskan jawaban dari semua permasalahan
yang ada di Taman Nasional Ujung Kulon dengan itikad baik demi kesejahteraan
masyarakat dan menjaga lingkungan.
Pemecahan masalah bisa terjadi jika kedua belah pihak memperhatikan
kesadaran akan pentingnya itikad baik dalam menyelesaikan konflik agraria di
Taman Nasional Ujung Kulon. Tanpa itikad baik, maka kesepakatan tidak dapat
dicapai.
Masyarakat akan merasakan kesulitan dan khawatir dalam mengambil hasil
hutan ataupun ladang mereka, pemerintah juga akan sulit dalam melakukan
kebijakan terkait hutan. Perlu ditekankan bahwa dalam pembentukan kesepakatan ini
dibuat secara bersama dan dalam posisi kedua belah pihak sejajar, tanpa ada pihak
yang lebih mendominasi atau terdominasi. Sehingga kesepakatan yang dibuat akan
dapat dilaksanakan, karena kedua belah pihak dapat diuntungkan dan sesuai aspirasi
masing-masing.
Penyelesaian konflik ini juga bisa melibatkan pihak ketiga (LSM) yang
dipercayai oleh kedua belah pihak untuk memfasilitasi dan menjadi penengah dalam
masalah tersebut, dengan melakukan konsorsium. Dimana kedua belah pihak
dipertemukan untuk menghasilkan kontrak sosial yang dirumuskan dan dilaksanakan
oleh kedua belah pihak. Kontarak sosial ini harus dilaksanakan secara berkelanjutan
karena perlu adanya pembaharuan.
3.3 Studi Kasus Pada Masyarakat Suku Melayu Di Kesatuan Pemangkuan Hutan
Dharmasraya, Sumatera Barat
Di Indonesia hukum negara dianggap memiliki posisi yang lebih tinggi dalam
pengelolaan sumber daya alam (Larson, 2012). Karena adanya dua hukum yang
berbeda, terjadi saling klaim hak atas tanah atau hutan. Masing-masing pihak
mengakui kebaradaan satu hukum untuk kepentingan. Seringkali negara mengambil
kebijakan sepihak dalam pengelolaan sumber daya alam tanpa melibatkan
masyarakat lokal yang menggantungkan hidup pada sumber daya alam tersebut.
6
Kasus tumpang tindih kepemilikan hutan akibat pluralisme hukum terjadi di
kesatuan pengelolaan hutan produksi (KPHP) model dharmasraya provinsi sumatera
barat. Secara hukum negara, wilayah tersebut merupakan hutan tanaman industri
(HTI) yang izinnya diberikan kepada pihak ketiga. Tetapi secara hukum adat tanah
tersebut merupakan Tanah Ulayat Suku Melayu yang telah di tempati sejak ratusan
tahun. Akibatnya terjadilah konflik agraria di kawasan KPHP antara masyarakat
dengan pemerintah. Dalam hal ini, negara tidak mengakui hukum adat sehingga
keberadaan hukum adat dalam posisi yang lemah.
Konflik agraria di KPHP terjadi sejak awal tahun 2000. Konflik terjadi di areal
hutan seluas 33.550 ha bekas HPA Ragusa yang dijadikan HTI milik PT. Inputani dan
PT. Dhara Silva. Hingga saat ini, lahan inhutani dan DS yang kini menjadi KPHP
sebagian besar telah di kuasai oleh masyarakat lokal dan diubah menjadi perkebunan
karet dan kelapa sawit. Setelah berhasil merebut hutan, terjadi tranksaksi tanah di
areal konflik yakni kegiatan pelepasan dan juga jual-beli Tanah Ulayat ke masyarakat
luar suku melayu. Pelepasan Tanah Ulayat suku melayu terjadi dalam skala masif dan
terus menerus sehingga masyarakat terancam kehilangan Tanah Ulayatnya.
Konflik agraria di wilayah KPHP terjadi karena saling klaim antara masyarakat
dan pemerintah terhadap kepemilikan hutan. Akibat konflik agraria ini, masyarakat
adat suku melayu merebut hutan dari perusahaan dan memperjual belikan Tanah
Ulayat secara bebas. Maraknya jual beli Tanah Ulayat dikarenakan penguasa Ulayar
memperjual belikan tanah tanpa mempertimbangkan kebutuhan jangka panjang.
Selain itu, tidak adanya kontrol dari masyarakat membuat penguasa Ulayat semakin
bebas dalam menjual tanah. Bukti sah dan di akuinya jual beli Tanah Ulayat adalah
adanya alas hak yang dikeluarkan oleh pihak nagari Bonjol yang di tanda tangani
penguasa Ulayat.
Keberadaan masyarakat adat suku melayu dan tanah ulayat juga perlu menjadi
perhatian penting dalam pengelolaan KPHP. Pemerintah Kabupaten Darmasraya
terutama dinas terkait perlu melibatkan masyarakat. Keterlibatan masyarakat dalam
pengelolaan yang diyakini mampu mengurangi konflik yang terjadi akibat persepsi
masyarakat yang menganggap negara telah merebut tanah ulayatnya. Selain itu
diperlukan implementasi program yang tidak hanya bertujuan memperbaiki kondisi
hutan namun juga mempertimbangkan kepentingan masyarakat sekitar yang
7
menggantungkan hidupnya di hutan. Contohnya dengan melaksanakan program-
program hutan kemasyarakatan atau hutan nagari di KPHP untuk
mengakomodasikepentingan masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari
pemanfaatan hutan.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 KESIMPULAN
1. Masalah agraria di Indonesia seakan tidak ada titik terang untuk
penyelesaiannya. Setiap tahun bukannya menurun, masalah agraria di Indonesia
justru semakin meningkat. Peran pemerintah sangat dibutuhkan untuk
menyelesaikan konflik- konflik agraria tersebut sebagai pihak ketiga.
2. Keberadaan hukum dan HAM di bidang agraria seharusnya bisa menjadi
pedoman bagi pihak- pihak yang terkait dalam menyelesaikan konflik tersebut.
Namun kenyataan di lapangan, hukum dan HAM seakan tidak dihiraukan,
sehingga banyak korban akibat konflik agraria tersebut. Bukan hanya satu pihak
saja yang dirugikan, namun kedua belah pihak tidak ada yang diuntungkan.
Namun, dampak tersebut sangat terasa oleh rakyat kecil, kesejahteraan mereka
menjadi taruhannya. Hal ini juga berdampak pada negara, karena kesejahteraan
dan keadilan sosial di Indonesia tidak akan tercapai jika konflik- konflik agraria
tidak bisa diselesaikan dengan baik.
4.2 SARAN
1. Untuk mewujudkan konsepsi agraria di Indonesia diperlukan adanya jaminan
kesejahteraan hidup para petani di Indonesia melalui ditegakkan hak asasi
manusia di bidang agraria.
2. Semua lapisan masyarakat seharusnya memiliki kesadaran akan pentingnya
lahan pertanian yang menjadi aset Indonesia untuk mewujudkan Indonesia yang
lebih sejahtera.
8
DAFTAR PUSTAKA
Simarta et al. 2008. Kajian terhadap konflik agraria di desa ujung jaya taman nasional
ujung kulon [KTI]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.
Aswandi et al. 2019. Negara hukum dan demokrasi pancasila dalam kaitannya dengan
hak asasi manusia (HAM). Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia. 1(1) : 129.
Wahyudi R. 2011. Pembaruan hukum agraria melalui rancangan undang- undang bidang
hukum agraria dalam program legislasi nasional 2010- 2014 [TESIS]. Jakarta (ID):
Universitas Indonesia.
Hamidi et al. 2012. Teori Hukum Tata Negara: A Turning Point Of The State. Jakarta:
Salemba Huranika.
Nugroho OC. 2018. Konflik Agraria Di Maluku Ditinjau Dari Perspektif Hak Asasi
Manusia. Jurnal HAM. 9 (1: 91-99).
Estu Suryowati. 2017. 659 Konflik Agraria Tercatat Sepanjang 2017, Mencakup Lebih
Dari 500000 Hektar. https://www.google.com/search?q=KPA+mencatat+659+
konflik&oq=KPA+mencatat+659+konflik&aqs=chrome..69i57.19215j0j9&client=
ms-android-samsung-gj-rev1&sourceid=chrome-mobile&ie=UTF-8 .