Anda di halaman 1dari 38

NAMA : Neng Nia Yuliyanti

Nim : 17.026

Kelas : 3A

Jurnal ke 1
EFEKTIFITAS KONSELING DIET CAIRAN TERHADAP
PENGONTROLAN INTERDIALYTIC WEIGHT GAIN (IDWG) PASIEN
HEMODIALISIS DI RS TELOGOREJO SEMARANG

ABSTRAK

Di Indonesia, angka kejadian CKD pada tahun 2010 sebanyak 2 juta kasus.
Sedangkan pasien CKD yang menjalani hemodialisis baru sekitar 100.000 orang.
Masalah yang sering terjadi pada pasien hemodialisis adalah peningkatan IDWG
yang dapat dipengaruhi oleh ketidak patuhan pasien dalam pembatasan asupan cairan.
Upaya untuk mencegah peningkatan IDWG dapat dilakukan dengan pemberian
konseling diet cairan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas konseling
diet cairan terhadap pengontrolan IDWG pasien hemodialisis di RS Telogorejo
Semarang. Rancangan penelitian ini menggunakan quasy experimental dengan desain
penelitian pre-test and post-test with control. Jumlah sampel pada penelitian ini
sebanyak 52 responden dengan teknik pengambilan sampel menggunakan purposive
sampling. Uji statistik yang digunakan adalah uji Friedman dan dilanjutkan dengan
analisis post hoc menggunakan uji Wilcoxon. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pemberian konseling diet cairan terbukti efektif terhadap pengontrolan IDWG dengan
p value 0,000. Rekomendasi hasil penelitian ini adalah agar perawat menerapkan
konseling diet cairan pada setiap pasien hemodialisis supaya mencegah peningkatan
IDWG yang berlebihan.

Kata Kunci: CKD, hemodialisis, IDWG, konseling diet cairan


ABSTRACT

In Indonesia, there were two million cases of CKD in 2010. However only about
100.000 CKD patients have underwent hemodialysis. The hemodialysis patients
problem that frequently occurs is the increase in IDWG can be affected by
disobedient patients dealing with the restriction of fluid intake. One of efforts to
prevent the increase in IDWG can be do with a liquid diet counseling. The goal of
this research was to determine the effectiveness of the liquid diet counseling forward
the control of hemodialysis patients IDWG in Telogorejo Hospital Semarang. The
design of this research used a quasi experimental design with pre-post test with
control. The sample was 52 respondents selected by used purposive sampling
technique. The statistical test used in this research was Friedman test with followed
by post hoc analysis used Wilcoxon test. The results of the research show that liquid
diet counseling is effective to control IDWG. Based on the result of this research, it’s
necessary for nurses to give liquid diet counseling to every hemodialysis patient in
order to prevent an excessive increase in IDWG.

Key words: CKD, hemodialysis, IDWG, liquid diet counselin

PENDAHULUAN
Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan kegagalan fungsi ginjal untuk
mempertahankan metabolisme serta keseimbangan cairan dan elektrolit akibat
destruksi struktur ginjal yang progresif dengan manifestasi penumpukan sisa
metabolik (toksik uremik) di dalam darah (Muttaqin & Sari, 2011, hlm.166). Menurut
Santoso (2009, hlm.2) di negara maju, angka kejadian gangguan ginjal cukup tinggi.
Di Amerika Serikat, rata-rata prevalensi pasien CKD 10-13% atau sekitar 25 juta
orang (Juanda, 2012, hlm.1). Sedangkan angka kejadian CKD di Indonesia pada
tahun 2010 sebanyak 2 juta kasus (Yogiantoro, 2012, 1). Berdasarkan data dari
Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) setiap tahunnya terdapat 200.000 kasus
baru CKD dengan stadium akhir (Anna, 2013, 2). Sementara itu, data menurut Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 prevalensi CKD di Jawa Tengah sebanyak
0,3% atau sekitar 99.810 pasien (Depkes, 2013, hlm.95). Berdasarkan data dari
Rekam Medis RS Telogorejo Semarang tahun 2013 tercatat jumlah pasien CKD yang
menjalani rawat inap sebanyak 301 pasien, sedangkan jumlah pasien CKD yang
menjalani rawat jalan sebanyak 868 pasien (RS Telogorejo, 2014). Apabila ginjal
sudah mengalami kegagalan fungsi ginjal atau Glomerular Filtration Rate (GFR)
menunjukkan nilai di bawah 15 mL/menit/1.73 m2, maka perlu dilakukan dialisis
(National Kidney Foundation/NKF, 2002, dalam Sodikin, 2010, 11). Hemodialisis
merupakan salah satu Terapi Pengganti Ginjal (TPG) buatan dengan tujuan untuk
membuang sisa–sisa produk metabolisme (protein) dan mengurangi gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit antara kompartemen darah dan dialisat melalui
selaput membran semipermiabel yang berperan sebagai ginjal buatan (Sukandar,
2006, hlm.576).

Menurut Suharyanto dan Madjid (2009, hlm.202) tujuan hemodialisis adalah


untuk mengeluarkan zat–zat nitrogen yang bersifat toksik dari dalam darah dan
mengeluarkan air yang berlebih dari dalam tubuh. Menurut data dari World Health
Organization (WHO), sekitar 1,5 juta orang di dunia menjalani hidup bergantung
pada cuci darah (Afdal, 2012, 1). Sedangkan, menurut data dari Pernefri pasien CKD
di Indonesia yang menjalani cuci darah (hemodialisis) baru sekitar 100.000 orang
(Anna, 2013, 1). Berdasarkan hasil studi dokumentasi dari bagian pencatatan dan
pelaporan di Renal Unit Rumah Sakit TelogorejoSemarang, tercatat selama tahun
2012 sebanyak 1.282 pasien menjalani hemodialisis dengan rawat jalan dan sebanyak
168 pasien menjalani hemodialisis dengan rawat inap, sedangkan pada tahun 2013
mengalami penurunan yakni sebanyak 1.213 pasien menjalani hemodialisis dengan
rawat jalan dan sebanyak 162 pasien menjalani hemodialisis dengan rawat inap (RS
Telogorejo, 2014). Meskipun hemodialisis aman dan bermanfaat untuk pasien, namun
bukan berarti hemodialisis tanpa efek samping. Komplikasi yang sering terjadi pada
pasien yang menjalani hemodialisis adalah penambahan berat badan di antara dua
waktu hemodialisis (Interdialytic Weight Gain= IDWG). Idealnya peningkatan berat
badan antar waktu hemodialisis tidak boleh melebihi 5% dari berat badan kering
(Kresnawan, 2012, 6). Menurut Kimmel, et al., (2000) peningkatan IDWG yang ideal
adalah 1,5 kg. Peningkatan IDWG disebabkan dari berbagai faktor internal seperti
usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, rasa haus, stress, self efficacy, maupun faktor
eksternal yaitu dukungan keluarga dan sosial serta jumlah intake cairan (Levey, et al.,
2003). Pembatasan cairan merupakan hal yang kurang dipatuhi oleh pasien CKD
(Fransisca, 2013, hlm.7). Pembatasan cairan merupakan hal yang penting bagi pasien
CKD. apabila asupan cairan pasien terlalu berlebih, maka dapat menyebabkan beban
sirkulasi menjadi berlebihan, dan dapat terjadi edema, sedangkan apabila asupan
cairan pasien terlalu rendah dapat mengakibatkan dehidrasi, hipotensi dan gangguan
fungsi ginjal (Suharyanto & Madjid, 2009, hlm.192).

Di Negara maju, data pasien yang mengalami kenaikan IDWG terus mengalami
peningkatan. Di Amerika Serikat sekitar 9,7%-49,5% dan di Eropa 9,8%-70%
(Kugler, et al., 2005). Hal tersebut didukung penelitian yang dilakukan oleh Kamyar
dan Kalantar (2009) dari Harold Simmons Pusat Penelitian Penyakit Ginjal dan
Epidemiologi di Universitas California di Los Angeles, menemukan bahwa 86% dari
pasien yang menjalani hemodialisis memiliki berat badan interdialisis lebih dari 1,5
kg. Penelitian tersebut juga didukung studi kasus yang dilakukan oleh Lolyta (2012)
menunjukkan bahwa mayoritas responden mengalami peningkatan berat badan lebih
dari 5% dari berat badan kering sebanyak 25 responden (52,1%) dan yang tidak lebih
dari 5% dari berat badan kering sebanyak 23 responden (47,1%).

Ketidak patuhan pasien dalam hal pembatasan asupan cairan memerlukan


perhatian yang serius dari perawat. Perawat dapat memberikan edukasi mengenai
aturan yang dipakai untuk menentukan banyaknya asupan cairan dengan menentukan
jumlah urin yang dikeluarkan selama 24 jam terakhir + 500 ml (IWL) (Suharyanto &
Madjid, 2009, hlm.192). Akan tetapi, edukasi yang dilakukan oleh perawat mengenai
pembatasan asupan cairan belum menunjukkan hasil yang maksimal terhadap
pengontrolan IDWG pasien.

Hal tersebut didukung penelitian yang dilakukan oleh Baraz, et al., (2009)
menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan terhadap penurunan berat
badan interdialisis meskipun telah mendapatkan edukasi pembatasan cairan. Selain
itu, juga didukung penelitian oleh Alharbi dan Enrione (2012) dengan hasil penelitian
pasien yang menjalani hemodialisis terdapat 58,7% tidak patuh terhadap pembatasan
cairan, sehingga perlu mendapatkan konseling dan edukasi secara rutin dan
berkelanjutan.

Konseling keperawatan adalah bantuan yang diberikan perawat melalui interaksi


yang mendalam, dalam bentuk kesiapan perawat untuk menampung ungkapan
perasaan dan permasalahan pasien (meliputi aspek kognitif, afektif, behavioural,
sosial, emosional, dan religious) kemudian perawat sebagai konselor berusaha keras
untuk memberikan alternatif pemecahan masalah untuk menjaga kestabilan emosi dan
motivasi pasien (konseli) dalam menghadapi masalah kesehatan (Mundakir, 2006,
hlm.98).

Proses konseling diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pasien antara lain
membantu pasien untuk mengenali permasalahan kesehatan yang dihadapi dan
membatu mengatasi masalah kesehatan pasien serta mendorong pasien untuk mencari
dan memilih cara pemecahan masalah yang paling sesuai (Cornelia, et al., 2013,
hlm.17). Konseling yang dilakukan pada pasien yang menjalani hemodialisis
mempunyai pengaruh terhadap penurunan IDWG pasien. Hal tersebut sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Hidayati (2012) dengan hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa ada perbedaan rata-rata IDWG sebelum konseling sebesar 2,65
kg menjadi 1,92 kg sesudah konseling (p= 0,003, α < 0,05) pada kelompok intervensi.

Berdasarkan laporan tahunan jumlah pasien rawat jalan yang menjalani


hemodialisis tahun 2013 sebanyak 1.213 pasien, sehingga rata-rata tiap bulan
sebanyak 101 pasien. Hasil studi pendahuluan dari catatan medik pasien di ruang
Renal Unit bulan September-Desember 2013 dari 19 pasien didapatkan data bahwa
rata-rata pasien yang akan menjalani hemodialisis mengalami peningkatan IDWG
lebih dari 2 kg. Hasil wawancara dengan pasien didapatkan 7 dari 10 (70%) pasien
mengatakan susah membatasi asupan cairan sehari-harinya dikarenakan mereka
sering merasa haus dan selalu ingin minum, meskipun perawat telah memberikan
pendidikan kesehatan mengenai pembatasan asupan cairan.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan rancangan
penelitian eksperimen semu (Quasy experimental). Dalam penelitian ini
menggunakan desain penelitian pre-test and post test with control design atau satu
kelompok dilakukan intervensi sesuai dengan metode yang dikehendaki, kelompok
lainnya dilakukan sebagai kontrol.

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien CKD yang menjalani
hemodialisis secara rawat jalan di ruang Renal Unit RS Telogorejo Semarang yang
berjumlah 104 pasien (data rata-rata bulan Maret-April tahun 2014). Teknik
pengambilan sampel penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling. Jumlah
sampel yang diperoleh dalam penelitian ini sebanyak 52 responden, dengan perincian
27 responden sebagai kelompok intervensi dan 25 responden sebagai kelompok
kontrol. Alat pengumpulan data dalam penelitian ini berupa SOP konseling, lembar
observasi IDWG dan kuesioner karakteristik responden. Berdasarkan uji normalitas
data menunjukkan hasil bahwa IDWG pada kelompok intervensi sebelum intervensi
dengan menggunakan Sapiro-Wilk didapatkan p value 0,002 dan sesudah intervensi
pada pengukuran 1 didapatkan p value 0,07 sehingga dapat disimpulkan data tidak
berdistribusi normal. Sedangkan IDWG pada kelompok kontrol sebelum intervensi
dengan menggunakan SapiroWilk didapatkan p value 0,012 dan sesudah intervensi
pada pengukuran 1 didapatkan p value 0,001 serta pada pengukuran 2 didapatkan p
value 0,05 sehingga dapat disimpulkan data tidak berdistribusi normal. Dikarenakan
data tidak berdistribusi normal maka uji statistik yang digunakan adalah uji Friedman.

HASIL PENELITIAN
1. Gambaran Karakteristik Responden (umur, jenis kelamin, pendidikan dan lama
menjalani hemodialisis)
Tabel 1
Distribusi Responden Berdasarkan Umur di RS Telogorejo Semarang Bulan
Maret-April 2014 (n=52)

Intervensi Kontrol
Variable n Mean SD Min-Max n Median Min-Max
Umur 27 54,22 9,27 32-70 25 54 23-75
Berdasarkan tabel 1 menunjukkan hasil bahwa rata-rata umur responden pada
kelompok intervensi adalah 54,22 tahun dengan standar deviasi 9,27. Sedangkan
nilai tengah umur, responden pada kelompok kontrol adalah 54 tahun dengan umur
termuda 23 tahun dan tertua 75 tahun.
Tabel 2
Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin, Pendidikan dan Lama
Menjalani Hemodialisis di RS Telogorejo Semarang Bulan Maret-April 2014
(n=52)
Variabel Intervensi Kontrol Total(%)
n % n %
Jenis kelamin
Laki – laki 14 51,9 21 84 35 (67,3)
Perempuan 13 48,1 4 16 17 (67,3)
Jumlah 27 100 25 100 52 (100)
Pendidikan
Tidak Tamat 1 3,7 0 0 1 (1,9)
SD 2 7,4 1 4 3 (5,8)
SMP 2 7,4 1 4 3 (5,8)
SMA 14 51,9 11 44 25 (48,1)
DIPLOMA 6 22,2 1 4 7 (13,5)
S1 1 3,7 10 40 11 (21,1)
S2 1 3,7 1 4 2 (3,8)
Jumlah 27 100 25 100 52 (100)
Lama Menjalani
Hemodialisis
< 1 tahun 10 37 9 36 19 (36,5)
1-3tahun 7 25,9 5 20 12 (23,5)
>4 tahun 10 37 11 44 21 (40,4)
Jumlah 27 100 25 100 52 (100)

Berdasarkan tabel 2 didapatkan hasil bahwa jenis kelamin responden pada


kelompok intervensi laki-laki berjumlah sebanyak 14 responden (51,9%) dan
perempuan sebanyak 13 responden (48,1%), sedangkan pada kelompok kontrol
sebagian besar responden berjenis kelamin laki-laki sebanyak 21 responden
(84%). Dilihat dari tingkat pendidikan responden yang terbanyak dari kelompok
intervensi maupun kelompok kontrol adalah SMA yaitu sebanyak 14 responden
(51,9%) pada kelompok intervensi dan 11 responden (44%) pada kelompok
kontrol. Untuk lama menjalani hemodialisis, jumlah responden pada kelompok
intervensi yang menjalani hemodialisis rata-rata menjalani hemodialisis < 1
tahun sebanyak 10 responden (37%) dan > 3 tahun sebanyak 10 responden
(37%), sedangkan pada kelompok kontrol sebagian besar responden menjalani
hemodialisis > 3 tahun sebanyak 11 responden (44%).
2. IDWG sebelum intervensi
Tabel 3
Distribusi Rata-rata IDWG Sebelum Intervensi di RS Telogorejo Semarang
Bulan Maret-April 2014 (n=52)
Variable Intervensi Kontrol

Median Mid – max Median Mid – max


IDWG 3 2-4 3 2-6
Berdasarkan tabel 3 menunjukkan hasil bahwa nilai tengah IDWG
pada kelompok intervensi adalah 3 kg. Sedangkan nilai tengah IDWG pada
kelompok kontrol adalah 3 kg.
3. IDWG sesudah intervensi
Tabel 4
Distribusi Rata-rata IDWG Setelah Intervensi Berdasarkan Setiap Pengukuran
di RS Telogorejo Semarang Bulan Maret-April 2014 (n=52)
Variabel Intervensi Kontrol
Median Mid – max median Mid – max
IDWG
Pengukuran 1 1,5 0,5-3 2,5 2-6
Pengukuran 2 2,5 1-4 3,5 2-5
Pengukuran 3 2,5 0,5-4 2,5 1-5
Pengukuran 4 2,5 1,4 3,5 2-5,5
Pengukuran 5 2 0,5-4 3,5 1,5-5,5
Pengukuran 6 2,5 0,4 3,5 2-6
Rata - rata 2,33 0,92-3,58 3,17 2,17-4,67
Berdasarkan tabel 4 menunjukkan hasil bahwa nilai tengah IDWG pada
kelompok intervensi yang paling rendah terdapat pada pengukuran 1 yaitu 1,5.
Sedangkan nilai tengah IDWG yang paling tinggi pada kelompok intervensi
terdapat pada pengukuran 2 yaitu 2,5 kg. Untuk rata-rata nilai tengah IDWG
setelah intervensi adalah 2,33 kg. Berdasarkan tabel diatas, IDWG pada
kelompok intervensi mengalami penurunan pada semua pengukuran
setelah intervensi jika dibandingkan dengan sebelum intervensi.Pada kelompok
kontrol nilai tengah IDWG yang paling rendah terdapat pada pengukuran 3
yaitu 2,5 kg. Sedangkan nilai tengah IDWG yang paling tinggi pada kelompok
kontrol terdapat pada pengukuran 4 yaitu 3,5 kg. Untuk rata-rata nilai tengah
IDWG kelompok kontrol adalah 3,17 kg. Berdasarkan tabel diatas, IDWG
pada kelompok kontrol mengalami peningkatan.
4. Perbedaan IDWG
Tabel 5
Analisis Perbedaan IDWG Sebelum Dan Sesudah Diberikan Konseling Pada
Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol di RS Telogorejo Semarang
Bulan Maret-April 2014 (n=52)
Intervensi Kontrol
Variable Pengukran Median P value Median P value
IDWG Sebelum 3 0,000 3 0, 607
Sesudah 2,33 3,17

Berdasarkan tabel 5 menunjukkan hasil bahwa perbedaan penurunan


nilai tengah IDWG pada kelompok intervensi sebelum diberikan konseling
adalah 3 kg, sedangkan setelah diberikan konseling didapatkan penurunan
nilai tengah IDWG menjadi 2,33 kg. Dari tabel diatas didapatkan p value
0,000 (p ≤ 0,05),
maka dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan
antara IDWG sebelum dan sesudah diberikan konseling pada kelompok
intervensi. Berdasarkan tabel diatas, nilai tengah IDWG pada kelompok
kontrol pengukuran sebelum adalah 3 kg, sedangkan pada pengukuran sesudah
didapatkan peningkatan nilai tengah IDWG menjadi 3,17 kg. Hasil uji statistik
diperoleh p value 0,607 (p > 0,05), maka dapat diambil kesimpulan bahwa
tidak terdapat perbedaan IDWG yang signifikan antara pengukuran sebelum
dan sesudah pada kelompok kontrol.
5. Efektifitas Konseling Terhadap Pengontrolan IDWG
Tabel 6
Analisis Efektifitas Konseling Terhadap Pengontrolan IDWG Kelompok
Intervensi dan Kelompok Kontrol di RS Telogorejo SemarangBulan Maret-
April 2014 (n=52)
Kelompok N df P volue
Intervensi 27 6 0,000
Control 25 6 0,000

Berdasarkan tabel 6 menunjukkan hasil bahwa dengan uji Friedman


pada kelompok intervensi diperoleh p value 0,000. Sedangkan pada kelompok
kontrol juga diperoleh p value 0,000. Dari hasil tersebut menunjukkan p value
≤ 0,05, maka dapat dilakukan uji post hoc dengan uji Wilcoxon untuk
mengetahui pengukuran mana yang mempunyai perbedaan IDWG.
Berdasarkan uji statistik diperoleh p value 0,000 (p ≤ 0,05), maka Ha diterima
(H0 ditolak) yang mempunyai arti bahwa efektif pemberian konseling diet
cairan terhadap pengontrolan IDWG pasien hemodialisis di RS Telogorejo
Semarang.

Tabel 7
Analisis Post Hoc IDWG Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol Di RS
Telogorejo Semarang Bulan Maret-April 2014 (n=52)
IDWG Intervensi Kontrol
P volue P volue
Pengukuran 1-sebelum 0,000 0,158
Pengukuran 2-sebelum 0,093 0,237
Pengukuran 3-sebelum 0,000 0,083
Pengukuran 4-sebelum 0,004 0,089
Pengukuran 5- sebelum 0,000 0,958
Pengukuran 6- sebelum 0,002 0,450
Pengukuran 2-pengukuran 1 0,000 0,002
Pengukuran 3-pengukuran 1 0,024 0,904
Pengukuran 4-pengukuran 1 0,001 0,002
Pengukuran 5-pengukuran 1 0,094 0,257
Pengukuran 6-pengukuran 1 0,061 0,060
Pengukuran 3-pengukuran 2 0,005 0,006
Pengukuran 4-pengukuran 2 0,667 0,253
Pengukuran 5-pengukuran 2 0,007 0,129
Pengukuran 6-pengukuran 2 0,202 0,572
Pengukuran 4-pengukuran 3 0,004 0,000
Pengukuran 5-pengukuran 3 0,694 0,029
Pengukuran 6-pengukuran 3 0,538 0,013
Pengukuran 5 pengukuran 4 0,008 0,008
Pengukuran 6-pengukuran 4 0,79 0,114
Pengukuran 6-pengukuran 5 0,429 0,342

Berdasarkan tabel 7 menunjukkan bahwa dari 21 perbandingan IDWG


pada kelompok intervensi yang mempunyai perbedaan IDWG terdapat 12
kelompok perbandingan dan yang tidak terdapat perbedaan IDWG sebanyak 9
kelompok perbandingan. Sedangkan pada kelompok kontrol didapatkan bahwa
dari 21 perbandingan IDWG pada kelompok kontrol yang mempunyai
perbedaan IDWG terdapat 7 kelompok perbandingan dan yang tidak terdapat
perbedaan IDWG sebanyak 14 kelompok perbandingan.

PEMBAHASAN
Dari hasil penelitian diatas dapat diketahui bahwa nilai tengah IDWG
pada kelompok intervensi sebelum diberikan konseling adalah 3 kg. Hal
tersebut dapat disebabkan karena responden tidak mengetahui secara pasti
aturan pembatasan asupan cairan sehari-hari. Sebagian besar responden
mengungkapkan bahwa hanya mengetahui harus membatasi minumnya
sehari-hari tanpa mengetahui secara jelas berapa jumlah cairan yang harus
dibatasi. Selain itu, responden juga mengungkapkan bahwa jika minum terlalu
banyak maka tubuh terasa berat, bengkak pada anggota tubuh, sesak nafas,
mual muntah, tekanan darah meningkat dan tidur tidak nyenyak. Hal tersebut
didukung oleh teori yang menyatakan bahwa apabila peningkatan IDWG
melebihi 4,8% dari berat kering maka dapat mengakibatkan komplikasi antara
lain hipertensi, hipotensi interdialisis, gagal jantug kiri, sesak nafas, mual
muntah, bengkak pada tungkai dan lengan, asites, pleural effusion, gagal
jantung kongestif dan penurunan kualitas hidup (Pace, 2007; Kopple &
Massry, 2004). Berdasarkan hal tersebut, peneliti beranggapan bahwa
sangatlah penting memberikan konseling tentang pembatasan asupan cairan
bagi pasien yang menjalani hemodialisis sehingga dapat mencegah
peningkatan IDWG yang berlebih. Menurut (Cornelia, et al., 2013, hlm.91)
proses konseling pada pasien yang menjalani hemodialisis dapat dilakukan
minimal selama enam kali kunjungan, bila masih dirasakan perlu, maka dapat
dilakukan kunjungan ulang lagi. Waktu ideal untuk melakukan konseling
adalah selama 30-60 menit (Cornelia, et al., 2013, hlm.29). Proses konseling
yang diberikan mempunyai fungsi antara lain sebagai fungsi pencegahan,
fungsi adaptasi, fungsi perbaikan dan fungsi pengembangan terhadap masalah
kesehatan yang dialami (Mundakir, 2006, hlm.101-102). Dengan diberikan
konseling diet cairan, diharapkan pasien mampu mengetahui, menentukan,
melaksanakan dan menaati diet pembatasan asupan cairan sehari-hari.
Meskipun pada penelitian ini terdapat penurunan IDWG dari nilai tengah
IDWG sebelum konseling 3 kg menjadi 2,33 kg sesudah konseling dengan
selisih penurunan nilai tengah IDWG 0,67 kg, namun penurunan tersebut
belum dapat mencapai IDWG ideal yang mampu ditoleransi oleh tubuh yaitu
1,01,5 kg. Hal tersebut dikarenakan pemberian konseling diet cairan yang
kurang optimal, tingkat pemahaman responden dengan materi yang diberikan
yang berbeda antara masingmasing responden serta juga dapat dipengaruhi
oleh faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan IDWG diantaranya adalah
faktor dari pasien dan keluarga. Selain itu, beberapa faktor psikososial yang
berkontribusi terhadap peningkatan IDWG antara lain faktor demografi
(umur, jenis kelamin dan pendidikan), intake cairan, rasa haus, social support,
self efficacy, dan stress (Sonier, 2000).
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa paling tidak ada 2 kelompok
pengukuran yang mempunyai perbedaan IDWG yang bermakna pada
kelompok intervensi (p= 0,000). Sedangkan pada kelompok kontrol juga
diperoleh nilai p value 0,000 yang berarti bahwa paling tidak ada 2 kelompok
yang mempunyai perbedaan IDWG yang bermakna pada kelompok
kontrol.Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 21 perbandingan IDWG
pada kelompok intervensi yang mempunyai perbedaan IDWG sebanyak 12
kelompok perbandingan dan yang tidak mempunyai perbedaan IDWG
sebanyak 9 kelompok perbandingan. Sedangkan pada kelompok kontrol dari
21 perbandingan IDWG yang mempunyai perbedaan IDWG sebanyak 7
kelompok perbandingan dan yang tidak terdapat perbedaan IDWG sebanyak
14 kelompok perbandingan. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa
pada kelompok intervensi terdapat 12 kelompok perbandingan yang
mempunyai perbedaan IDWG dan 9 kelompok perbandingan yang tidak
mempunyai perbedaan IDWG. Dari hal tersebut, peneliti beranggapan bahwa
pada 9 kelompok perbandingan yang tidak mempunyai perbedaan IDWG dapat
disebabkan oleh proses konseling yang kurang optimal dan kurang efektifnya
komunikasi yang peneliti gunakan serta belum terbentuknya perubahan
perilaku pasien ke arah yang lebih baik dalam membatasi asupan cairan.
Konseling yang efektif adalah komunikasi dua arah antara pasien dan konselor
tentang segala sesuatu yang memungkinkan terjadinya perubahan perilaku
pasien (Cornelia, et al., 2013, hlm.13). Hal tersebut dapat dicapai apabila
konselor dapat menumbuhkan kepercayaan diri pasien sehingga mau dan
mampu melakukan perilaku baru untuk mencapai status kesehatan yang
optimal. Oleh karena itu, seorang konselor harus menguasai dan menerapkan
ketrampilan berkomunikasi yang baik dalam proses konseling. Ketrampilan
tersebut antara lain ketrampian mendengar dan mempelajari, ketrampilan
membangun percaya diri dan memberi dukungan, ketrampilan menyimak,
ketrampilan leading (memberi arahan), ketrampilan memantulkan, ketrampilan
merangkum dan ketrampilan memperhadapkan (Cornelia, et al., 2013, hlm.13-
15; Mundakir, 2006, hlm.104106). Proses konseling diharapkan dapat
memberikan manfaat bagi pasien untuk membantu pasien mengenali
permasalahan kesehatan yang dihadapi, membatu mengatasi masalah pasien,
mendorong pasien untuk mencari cara pemecahan masalah, mengarahkan
pasien untuk memilih cara pemecahan yang paling sesuai baginya serta
membantu proses penyembuhan penyakit melalui perubahan perilaku pasien
(Cornelia, et al., 2013, hlm.17). Hasil akhir dari proses konseling adalah
terjadinya perubahan perilaku pasien ke arah yang lebih baik (Cornelia, et al.,
2013, hlm.20).
Menurut Notoatmodjo (2005, hlm.43) perilaku adalah suatu kegiatan
atau aktivitas organisme atau mahluk hidup yang bersangkutan. Perilaku
seseorang dapat terbentuk dipengaruhi oleh faktor eksternal (lingkungan fisik
dan non-fisik dalam bebtuk sosial, budaya, ekonomi dan politik) dan faktor
internal (perhatian, pengamatan, persepsi, motivasi, fantasi dan sugesti).
Sedangkan perilaku kesehatan adalah semua aktivitas atau kegiatan seseorang,
baik observable (yang dapat diamati) maupun unobservable (yang tidak dapat
diamati), yang berkaitan dengan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan.
Perilaku kesehatan secara garis besar dibagi menjadi dua antara lain healthy
behavior (perilaku orang yang sehat agar tetap sehat dan meningkat) dan health
seeking behavior (perilaku orang yang sakit) (Notoatmodjo, 2005, hlm.46-47).

SIMPULAN

Pada penelitian ini didapatkan data karakteristik responden pasien


hemodialisis di RS Telogorejo Semarang meliputi rata-rata umur responden
yang menjalani hemodialisis pada kelompok intervensi adalah 54,22 tahun,
sedangkan nilai tengah umur responden pada kelompok kontrol adalah 54
tahun. Mayoritas responden mempunyai jenis kelamin laki-laki sebanyak 35
responden (67,3%). Untuk pendidikan yang terbanyak adalah SMA yaitu
sebanyak 25 responden (48,1%). Sedangkan untuk lama menjalani
hemodialisis, mayoritas responden menjalani hemodialisis > 3 tahun sebanyak
21 responden (40,4%). IDWG sebelum diberikan konseling pada kelompok
intervensi mempunyai nilai tengah berat badan sebesar 3 kg, sedangkan
IDWG setelah diberikan konseling pada kelompok intervensi mempunyai nilai
tengah berat badan sebesar 2,33 kg. IDWG pada kelompok kontrol
mempunyai nilai tengah berat badan sebesar 3 kg pada pengukuran pertama
dan pada pengukuran kedua dan berikutnya mempunyai rata-rata nilai tengah
berat badan sesudah sebesar 3,17 kg. Terdapat perbedaan yang signifikan
antara IDWG sebelum dan setelah diberikan konseling pada kelompok
intervensi (p= 0,000), sedangkan pada kelompok kontrol tidak terdapat
perbedaan yang signifikan antara pengukuran sebelum dan sesudah (p=
0,607). Pemberian konseling diet cairan terbukti efektif terhadap pengontrolan
IDWG pasien hemodialisis di RS Telogorejo Semarang (p= 0,000).

SARAN
1. Bagi rumah sakit dan masyarakat Peneliti beranggapan bahwa
sangatlah penting memberikan konseling tentang pembatasan asupan
cairan bagi pasien yang menjalani hemodialisis. Oleh sebab itu rumah
sakit perlu menetapkan kebijakan bahwa setiap pasien yang menjalani
hemodialisis harus mendapatkan konseling diet cairan supaya
mencegah peningkatan IDWG yang berlebih dengan frekuensi
kunjungan konseling minimal enam kali pertemuan dalam waktu
selama 30-60 menit. Sedangkan untuk pasien yang belum bisa menaati
pembatasan asupan cairan, maka diperlukan motivasi yang kuat dari
dalam diri pasien sendiri dan dukungan keluarga serta melakukan usaha
yang lebih keras untuk selalu belajar dan menaati aturan pembatasan
cairan sehari-hari.
2. Bagi pendidikan keperawatan Untuk mendukung supaya konseling
berjalan dengan baik diperlukan media khusus yang dapat digunakan
untuk mempermudah penyampaian informasi seperti brosur, leaflet,
flipchart dan booklet.
3. Bagi perkembangan ilmu keperawatan Untuk mencapai konseling yang
efektif diperlukan perawat/konselor yang dapat nmenumbuhkan
kepercayaan diri pasien sehingga mau dan mampu melakukan perilaku
baru untuk mencapai status kesehatan yang optimal. Oleh karena itu,
seorang perawat/konselor harus menguasai dan menerapkan
ketrampilan berkomunikasi yang baik dalam proses konseling.
Ketrampilan tersebut antara lain ketrampilan mendengar dan
mempelajari, ketrampilan membangun percaya diri dan memberi
dukungan, ketrampilan menyimak, ketrampilan leading (memberi
arahan), ketrampilan memantulkan, ketrampilan merangkum dan
ketrampilan memperhadapkan.
4. Bagi peneliti selanjutnya Peneliti yang akan datang dapat
memperhatikan cara yang paling tepat untuk merubah perilaku pasien
dalam membatasi asupan cairan sehari-hari dengan memberikan tips
haus yang tepat serta melibatkan dukungan keluarga yang maksimal
sehingga dapat tercipta perilaku pasien yang taat dalam pembatasan
asupan cairan yang secara langsung dapat berpengaruh dalam
pengontrolan IDWG pasien. Selain itu, peneliti yang akan datang juga
dapat memberikan edukasi atau konseling mengenai diet makanan yang
dapat meningkatkan kadar Hb pasien yang menjalani hemodialisis
seperti udang segar, hati sapi, daging sapi, kuning telur, ikan segar dan
ayam sehingga kadar Hb pasien dapat terjaga dalam batas normal dan
dapat mencegah intake makanan/cairan yang berlebih.
DAFTAR PUSTAKA

Afdal, Z. (2012). Obat sakit galau. http://www.kesehatan.kompasiana.com/


alternatif/2012/12/24/ murottal-obat sakit galau-513694.html, diperoleh tanggal
5 Desember 2013
Alharbi, K., & Enrione, B.E. (2012). Malnutrion is prevalent among
haemodialysis patients in Jedah. Saudi Arabia, Saudi of Journal Kidney
Deseases and Transplantation. 23(3). 598-608

Anna, L.K. (2013). Pasien cuci darah terus meningkat. http://www.health.


kompas. com /read/2013/06/ 26/ 1640186/ Pasien.Cuci. Darah. Terus.
Meningkat, diperoleh tanggal 24 Februari 2014

Baraz., Parvardeh, S., Mohammadi, E., & Braumand, B. (2009). Dietary and
fluid compliance: an educational for patients having haemodialysis, Journal of
Advanced Nursing. 66(1). 60-68

Cornelia., Sumedi, E., Anwar, I., Ramayulis, R., Iwaningsih, S., Kresnawan, T.,
et al. (2013). Konseling gizi. Jakarta: Penebar Plus

Depkes. (2013). Riset kesehatan dasar tahun 2013.


http://Depkes.go.id/downloads/riskesdas2013/Hasil%20Riskesdas%2020
13.pdf, diperoleh tanggal 4 Maret 2014.

Fransisca, K. (2013). Dialife: berat interdialisis. http://www.burungmanyar.


nlwp-contenuploads-201308edisi-JuliAgustus-2013. pdf, diperoleh tanggal 26
Desember 2013

Hidayati, S. (2012). Efektifitas konseling analisis transaksional tentang diet


cairan terhadap penurunan interdialytic weight gain (IDWG) pasien gagal ginjal
kronis yang menjalani hemodialisa di Rumah Sakit Umum Daerah Kardinah
Tegal. http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/2033 4043-T32526-Sri%20
Hidayati. pdf, diperoleh tanggal 5 Desember 2013

Juanda, H. (2012). Referat gambaran radiologi pada chronic kidney disease.


http://id.scribd.com/doc/ 103317695 /Referat- Gambaran- Radiologis- pada
Chronic- Kidney- Disease, diperoleh tanggal 10 Desember 2013

Kamyar, & Kalantar, Z. (2009). Interdialytic weight gain, mortality linked.


Nephrology Nursing Journal, February, 18, 2009.
http://renalandurologynews.com/interdial ytic-weight-gain- mortallity-linked/
article/127528/, diperoleh tanggal 20 Desember 2013
Kimmel, P.L., Varela, M.P., Peterson, R.A., Weihs, K.L., Simmens, S.J.,
Alleyne,S., et al., (2000). Interdialytic weight gain and survival in hemodialysis
patients: effects of duration of ESRD and diabetes mellitus. Kidney
International. 57(3). 1141-1151; doi:10.1046/j.1523-1755

Kopple, J.D., & Massry, S.G. (2004). Nutritional management of renal disease
(2nd ed). Philadelpia: Lippincott Williams & Wilkins

Kresnawan, Triyani. (2012). Makanan seimbang untuk penyakit ginjal kronik.


http://www.ikcc.or.id/content.php?c=2&i d=198, diperoleh tanggal 5 Desember
2013

Kugler, C., Valminck, H., Haverich, A., & Maes, B. (2005). Nonadherence with
diet and fluid restrictions among adults having hemodialysis, Journal of
Nursing Scholarsip. 37(1). 25-29

Levey, A.S., Coresh, J., Balk, E., Kaustz, A.T., & Levin, A. (2003). National
kidney foundation practice guidelines for chronic kidney disease: evaluasi,
klasifikasi, and stratification. Ann Interm Med. 139. 137-147

Lolyta, R. (2012). Analisis faktor yang mempengaruhi tekanan darah


hemodialisis pada pasien gagal ginjal kronik (studi kasus di RS Telogorejo
Semarang). Semarang: STIKES Telogorejo

Mundakir. (2006). Komunikasi keperawatan: aplikasi dalam pelayanan.


Yogyakarta: Graha Ilmu

Muttagin, A., & Sari, K. (2011). Asuhan keperawatan gangguan sistem


perkemihan. Jakarta: Salemba Medika

Notoatmodjo, S. (2005). Promosi kesehatan teori dan aplikasi. Jakarta: Rineka


Cipta

Pace, R.C. (2007). Fluid management in patient on hemodialysis. Nephrology


Nursing Journal. September-Oktober 2007. 34(5). 557-559
RS Telogorejo. (2014). Laporan tahunan ruang renal unit: jumlah penderita
CKD yang menjalani hemodialisis tahun 2012 2013. Semarang: Bagian Rekam
Medik RS Telogorejo

Santoso, D. (2009). 60 menit menuju ginjal sehat. Surabaya: Jaring Pena

Sodikin. (2010). Stadium penyakit ginjal. http:// obatpropolis.com/ stadium


penyakit-ginjal, diperoleh tanggal 4 Desember 2013

Sonier, B. (2000). Effects of self monitoring and monetary reward on fluid


adherenceamongadulthemodialysispatients.http://digital.library.unt.edu/ark:/67
531/metadc2693/m2/1/high_res_d/Dissertation. pdf, diperoleh tanggal 10
Januari 2014

Suharyanto, T., & Madjid, A. (2009). Asuhan keperawatan pada klien dengan
gangguan sistem perkemihan. Jakarta: TIM Sukandar, E. (2006). Gagal ginjal
dan panduan terapi dialisis. Bandung: Pusat Informasi Ilmiah (PII) Bagian FIK
UNPAD/ RS Hasan Sadikin.

Yogiantoro, M. (2012). N-acetylcystein untuk memperlambat progresivitas


penyakit ginjalkronis. http://jurnalmedika.com/ edisi -tahun-2012/ edisi- no-08-
volxxxvii- 2012/ 463-kegiatan/ 969--nacetylcystein-untuk-
memperlambatprogresivitas- penyakit- ginjal- kronis, diperoleh tanggal 13
Desember 2013.

Jurnal Ke 2
Kepatuhan Pembatasan Cairan dan Diet Rendah Garam
(Natrium)
pada Pasien GGK yang Menjalani Hemodialisa;
Perspektif Health Belief Model
Abstrak
Penyebab kematian terbanyak pada GGK yaitu kelebihan cairan (over
hydration) dan hiperkalemia. Oleh karena itu, kepatuhan pasien GGK dalam
pembatasan cairan dan diet rendah garam menjadi upaya untuk mengurangi
resiko kematian pada pasien GGK. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui gambaran kepatuhan pembatasan cairan dan diet rendah garam
(natrium) pada pasien GGK yang menjalani hemodialisa rutin di RSUP dr.
Hasan Sadikin, Bandung. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif
kuantitatif dengan pendekatan cross-sectional. Populasi dari penelitian ini
adalah pasien hemodialisa rutin dengan menggunakan teknik consecutive
sampling dengan jumlah sampel 93 orang. Instrumen penelitian menggunakan
kuesioner untuk mengukur kepatuhan pembatasan cairan dan diet rendah garam
(natrium). Data yang telah terkumpul kemudian dilakukan analisis univariat
dengan menggunakan nilai Median. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
responden yang patuh terhadap pembatasan cairan sebanyak 35 orang (37,6%),
sedangkan yang tidak patuh 58 orang (62,4 %). Berdasarkan tingkat kepatuhan
diet rendah garam (natrium), responden yang patuh sebanyak 31 orang (33,3%),
sedangkan yang tidak patuh sebanyak 62 orang (66,7 %). Penelitian ini
menunjukkan sebagian besar pasien GGK tidak patuh terhadap pembatasan
cairan dan diet rendah garam (natrium). Upaya yang dapat dilakukan adalah
dengan meningkatkan frekuensi edukasi motivasi serta konseling diet cairan di
setiap jadwal hemodialisa.
Kata Kunci: Diet rendah garam (natrium), Kepatuhan, Pembatasan cairan

Abstract
The mostly caused death on chronic renal failure are overhydration and
hypercalemia. Therefore, the compliance of patients with chronic renal failure
recognized as attempt to decrease mortality rate of it. The aim of this study was
to describe compliance of fluid restriction and a low salt (sodium) diet in
patients with chronic renal failure undergoing regular hemodialysis at
Hospital dr. Hasan Sadikin. This research used descriptive method with cross-
sectional approach. The samples of this research were regular hemodialysis
patients who were selected by using consecutive sampling technique of 93
people. The research instrument used questionnaire to measure compliance of
fluid restriction and low salt (sodium) diet. Analysis used univariate analysis
with median values.The analysis result showed that respondentswho are
compliance to the restriction of fluid were 35 people or 37.6%, while non-
compliance is 58 people or 62.4%. Respondent who were comply of a diet low
in salt (sodium) were 31 people or 33.3%, while non-compliance is 62 people
or 66.7%. This study showed that most of patients with chronic renal failure did
not adhere to restrictions of fluid and low-salt diet (sodium). The increasing of
frequency education motivation and dietary fluid counseling in each
hemodialysis schedule are nessesary.
Keywords: Compliance, Low-salt diets, Restrictions of fluid
Pendahuluan
Berdasarkan data dari USRDS (United States Renal Data System)
tahun 2014 menyatakan bahwa terjadi peningkatan angka insiden ESRDS
daritahun 2011 sebanyak 111.209 orang, pada tahun 2012 meningkat menjadi
112.596 orang. Begitu pula dengan prevalensi penderita GGK (GGK)
diIndonesia yang memiliki jumlah yang cukuptinggi. Hal ini didukung oleh
data dari Riskesdas (2013) yang menyebutkan bahwa prevalensi GGK sebesar
0,2 % dari jumlah sampel 1.027.763 orang. Provinsi Jawa Barat menempati
urutan ke-5 tertinggi dari 33 provinsi dengan prevalensi sebesar 0,3% pada
tahun 2013 dari jumlah sampel 722.329 orang.
Penurunan Glomerular Filtration Rate (GFR) pada GGK akan
menimbulkan gangguan faal ginjal dan endokrin. Hal ini akan menimbulkan
penyakit penyerta sehingga dapat mengancam kehidupan. Hasil penelitian
Sutarka, Suwitra, Loekman, et al. (2010) menunjukkan bahwa 40% penderita
GGK dengan rata-rata LFG 33 ml/menit/ 1,73 m² menunjukkan adanya
kalsifikasi arteri coroner dibandingkan 13 % pada penderita tanpa kelainan
ginjal.
Meninjau dampak yang dapat ditimbulkan dari GGK, maka diperlukan
penatalaksanaan komprehensif bagi kelangsungan hidup penderita.
Penatalaksanaan GGK tahap akhir yaitu memberikan terapi yang dapat
menggantikan fungsi ginjal (Aziz, Witjaksono & Rasjidi, 2008).
Penatalaksanaan lainnya meliputi preskripsi diet dan cairan, kontrol hipertensi
dan pencegahan penyakit penyerta dan komplikasi (Brunner & Suddarth, 2002).
Selain itu, kepatuhan diet rendah garam dan pembatasan cairan pada penderita
GGK juga sangat diperlukan untuk menjaga kelangsungan hidup pasien sebagai
bagian daripreskripsi pengobatannya.
Kepatuhan pada program kesehatanmerupakan perilaku yang dapat
diobservasisehingga dapat langsung diukur melalui hasil atau tujuan yang
dicapai dalam program pengobatan yang telah ditentukan (Bastable, 2002).
Berbagai penelitian menyebutkan bahwa perilaku kepatuhan dalam pengobatan
suatu penyakit berhubungan secara signifikan terhadap status
kesehatan.Penelitian tersebut diantaranya adalah penelitianNugraha &
Nurhayati (2014) menunjukkan adanya perilaku kepatuhan (compliance) yang
menggunakan Health Belief Model (HBM). Hasil penelitian menunjukkan
bahwa dimensi HBM yang meliputi keyakinan individu terhadap kerentanan
dirinya terhadap komplikasi penyakit (perceived susceptibility), keyakinan
individu mengenai keseriusan penyakitnya (perceived severity/ seriousness),
keuntungan yang dipersepsikan individu dalam menampilkan perilaku sehat
(perceived benefit), hambatan yang dipersepsikan individu dalam menjalani
perilaku yang dianjurkan (perceived barrier), keyakinan individu mengenai
adanya sinyal yang menyebabkan seseorang untuk bergerak ke arah pencegahan
(cues to action) dan keyakinan individu mengenai kemampuan yang dimiliki
untuk melakukan sesuatu (self efficacy) berhubungan dengan perilaku
kepatuhan pasien GGK yang menjalani hemodialisa. Begitupun sebaliknya,
perilaku ketidakpatuhan seseorang terhadap pengobatan akan berdampak pada
kondisi/status kesehatannya. Termasuk kepatuhan dalam menjalani diet dan
cairan pada penderita gagal ginjal. Ketidakpatuhan penderita dalam menjalani
prinsip diet dan cairan yang dianjurkan dapat berdampak buruk bagi prognosis
penyakitnya. Penelitian Wizeman, Wabel, Chamney, Zaluska, et al., (2008)
menunjukkan bahwa kelebihan masukan cairan (overhydration) pada pasien
GGK (GGK) dengan hemodialysis akan meningkatkan angka mortalitas.
Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Hasan Sadikin Bandung merupakan
rumah sakit rujukan tipe A di Jawa Barat. Penderita GGK yang menjalani
hemodialisa (HD) pada bulan April-Juli 2015 sebanyak 1.057 orang dengan
rata-rata kunjungan pasien GGK yang menjalani HD per bulan sebanyak 264
orang, sedangkan pasien GGK yang menjalani HD rutin per bulan sebanyak
163 orang. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan terhadap 12 orang
pasien yang menjalani HD rutin, ditemukan sebanyak 7 orang diantaranya
dating dengan keluhan sesak tanpa demam sehingga pasien menggunakan terapi
oksigen selama HD. Data lain yang didapatkan selama studi pendahuluan
diketahui bahwa dari 7 orang tersebut mengalami peningkatan Interdialytic
weight gain(IDWG) lebih dari 5%. Selain itu, didapatkan pula seorang pasien
yang mengalami edema anasarka dengan pitting edema +3 serta peningkatan
IDWG sebesar 30%.

Metode Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif
kuantitatif. Populasi dalam penelitian ini seluruh penderita GGK yang
menjalani hemodialisa rutin dua kali seminggu di RSUP dr. Hasan Sadikin
Bandung yang berjumlah sebanyak 92 orang. Sampel penelitian ini adalah total
populasi. Pengumpulan data menggunakan kuesioner yang berbentuk close
ended questions (kuesioner tertutup) dengan jumlah pertanyaan sebanyak 20
item dengan pilihan multiple choice menggunakan skala Likert. Data penelitian
dilakukan analisis dengan menggunakan analisis univariat.
Hasil dan Pembahasan
Pada hasil penelitian yang ditunjukkan pada tabel 1 dapat diketahui
bahwa sebagian besar pasien GGK memiliki peningkatan IDWG lebih dari 5%
yaitu sebanyak 62 orang atau 66,7%. Menurut Kresnawan (2012) dijelaskan
bahwa peningkatan IDWG idealnya tidak boleh lebih dari 5%. Hal ini
dikarenakan akan menimbulkan gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
pada tubuh. Menurut penelitian Mokodompit, Paramata dan Pakaya (2015)
menunjukkan bahwa terdapat pengaruh kelebihan berat badan terhadap
komplikasi gagal jantung pada pasien GGK yang menjalani HD. Komplikasi ini
dapat menimbulkan kematian pada pasien GGK. Hal ini juga diperkuat dengan
penelitian Ekantari, Suswandari dan Kusumawati (2012) yang menunjukkan
bahwa terdapat hubungan antara lama hemodialisis, penyakit penyerta seperti
diabetes mellitus tipe II, diabetes nefropati dan gagal jantung dengan kematian
pasien GGK.
Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 2, dapat diketahui bahwa
sebagian besar pasien GGK yang menjalani HD rutin tidak patuh terhada
pembatasan cairan dan diet rendah garam (natrium). Penelitian Nugraha &
Nurhayati (2014) menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara
perilaku kepatuhan (compliance) dengan Health Belief Model (HBM). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa dimensi HBM yang meliputi keyakinan
individu terhadap kerentanan dirinya terhadap komplikasi penyakit (perceived
susceptibility), keyakinan individu mengenai keseriusan penyakitnya (perceived
severity/ seriousness), keuntungan yang dipersepsikan individu dalam
menampilkan perilaku sehat (perceived benefit), hambatan yang dipersepsikan
individu dalam menjalani perilaku yang dianjurkan (perceived barrier),
keyakinan individu mengenai adanya sinyal yang menyebabkan seseorang
untuk bergerak ke arah pencegahan (cues to action) dan keyakinan individu
mengenai kemampuan yang dimiliki untuk melakukan sesuatu (self efficacy)
berhubungan dengan perilaku kepatuhan pasien GGK yang menjalani
hemodialisa.
Tabel 1.
Karakteristik Usia, Jenis Kelamin,Lamanya Menjalani HD,
TingkatPendidikan dan Peningkatan IDWGPasien GGK yang Menjalani HD
Rutin
Karakteristik F %
Usia
20-30 Tahun 3 3,2
30-40 Tahun 19 20,4
40-50 Tahun 27 29
50-60 Tahun 15 16,1
>60 Tahun 29 31,2
Jenis kelamin
Laki-laki 51 54,8
Perempuan 42 41,2
Lama Menjalani HD
19 9,7
< 1 tahun 20 21,5
1-3 tahun
36 38,7
3-5tahun
28 30,1
>5 tahun

Tingkat pendidikan
SD 21 22,6
SMP 14 15,1
SMA 35 37,6
DIII 8 8,6
S1 14 15,1
S2 1 1,1
Peningkatan IDWG
<5% 31 33,3
≥ 5% 62 66,7
Tabel 2.
Kepatuhan Pembatasan Cairan dan Diet Rendah Garam
Sub Variabel F %
Pembatasan Cairan
Patuh 35 37,6
Tidak patuh 58 62,4
Diet Rendah Garam (Natrium)
Patuh 31 33,3
Tidak patuh 62 66,7

Keyakinan individu terhadap kerentanan dirinya terhadap komplikasi penyakit


(perceived susceptibility) pada GGK. Komplikasi ini berkaitan dengan kelebihan
cairan dan elektrolit yang dapat mengakibatkan kematian pada GGK. Pada
penelitian Istanti (2013) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang berarti antara
penambahan berat badan IDWG dengan kelebihan asupan cairan pada pasien GGK
yang menjalani HD rutin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi
peningkatan IDWG, maka semakin tinggi pula kelebihan asupan cairan yang
dilakukan pasien GGK yang menjalani HD rutin.
Keyakinan individu mengenai keseriusan penyakitnya (perceived severity/
seriousness) dapat ditunjukkan dengan pengetahuan pasien mengenai penyakitnya.
Pengetahuan ini akan membantu pasien untuk memahami prognosis penyakitnya
termasuk keseriusan di setiap tindakan yang dianjurkan petugas kesehatan, sehingga
diharapkan pasien dapat melakukan anjuran petugas kesehatan untuk mencegah
prognosis penyakit ke arah yang lebih buruk. Berdasarkan hasil penelitian dapat
diketahui bahwa sebagian besar responden memiliki tingkat pendidikan sekolah
menengah atas.
Keuntungan yang dipersepsikan individu dalam menampilkan perilaku sehat
(perceived benefit) akan mempengaruhi tingkat kepatuhan pasien. Hasil wawancara
pada pasien GGK menyatakan bahwa pasien yang patuh terhadap pembatasan
cairan dan diet dikarenakan telah mengalami pengalaman bahwa dengan
ketidakpatuhan, pasien akan mengalami keluhan seperti edema dan sesak. Keluhan
ini akan berkembang menjadi penyakit penyerta apabila tidak ditangani dengan
perubahan perilaku ke arah yang lebih baik. Maka dari itu, pasien cenderung akan
mulai patuh guna menghindari hal tersebut, sehingga akan mempengaruhi kualitas
hidupnya.
Hambatan yang dipersepsikan individu dalammenjalani perilaku yang
dianjurkan (perceived barrier) pada pasien GGK mempengaruhi tingkat kepatuhan
pasien. Hambatan ini dapat berasal dari internal dan eksternal. Hambatan yang
berasal dari internal mengenai persepsi dirinya mengenai kemampuan yang dimiliki
agar dapat menampilkan perilaku yang dianjurkan, sedangkan hambatan eksternal
dapat berasal dari keterlibatan orang terdekat, lingkungan serta keterlibatan petugas
kesehatan.
Dukungan yang terbesar yaitu berasal dari keluarga atau teman terdekat. Hal ini
sesuai dengan penelitian Andriani, Chanif dan Rosidi (2013) menujukkan bahwa
adanya hubungan yang signifikan antara dukungan sosial terhadap kepatuhan
pembatasan cairan pada pasien GGK. Pasien yang menjalani pembatasan cairan
akan lebih termotivasi untuk mengikuti anjuran yang diberikan apabila
mendapatkan dukungan positif dari orang-orang terdekatnya. Maka dari itu,
dukungan dari orang terdekat terurtama keluarga penting untuk dilakukan. Perawat
dapat memberikan dukungan positif melalui dukungan penghargaan terhadap pasien
yang mematuhi pembatasan cairan.
Keyakinan individu mengenai adanya sinyal yang menyebabkan seseorang
untuk bergerak ke arah pencegahan (cues to action) pada pasien GGK berhubungan
dengan pemahaman pasien mengenai awareness terhadap ketidakseimbangan cairan
dan elektrolit. Pasien yang dapat memahami adanya keluhan yang mulai muncul
akibat kelebihan asupan cairan, cenderung akan melakukan perilaku patuh terhadap
pembatasan cairan agar keluhan tidak berlanjut pada hal yang lebih buruk. Pada
pasien GGK, hal ini dapat diketahui dengan memantau status hidrasi. Rendahnya
angka kepatuhan pada indikator ini menunjukkan bahwa pasien belum dapat aware
terhadap keseimbangan cairan pada tubuhnya sehingga akan mempengaruhi
kepatuhannya dalam pembatasan cairan.
Keyakinan individu mengenai kemampuan yang dimiliki untuk melakukan
sesuatu (self efficacy) dapat mempengaruhi tingkat kepatuhan pasien. Berdasarkan
hasil penelitian ini ditemukan bahwa pasien GGK yang menjalani HD rutin
sebagian besar tidak patuh terhadap pembatasan cairan. Hal ini dapat disebabkan
karena adanya self efficacy yang rendah pada pasien GGK, yang sering kali memicu
respon maladaptif secara psikologis yaitu depresi. Menurut penelitian Patel, Sachan,
Nischal, et al.(2012) menyatakan bahwa pasien GGK yang menjalani HD,
cenderung untuk mengalami depresi yang dihubungkan denganrendahnya Body
Mass Index (BMI) dan meningkatnya penyakit komorbid. Hasil penelitiannya
menyatakan bahwa dari 150 responden, 70 orang atau 46,6% mengalami depresi
dan 43 orang atau 28,6% memiliki keinginan untuk bunuh diri. Maka dari, itu aspek
psikologis tersebut kemungkinan dapat mempengaruhi perilaku patuh (compliance)
dalam membatasi asupan cairan. yang akan mempengaruhi IDWG pasien.
Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 3, sub variabel pembatasan cairan
menunjukkan bahwa ketiga indikator berada pada kategori tidak patuh. Indikator
yang dimaksud meliputi menetapkan asupan cairan per 24 jam, memantau haluaran
urine, dan memantau status hidrasi. Rendahnya jumlah pasien yang patuh terdapat
pada indicator menetapkan asupan cairan per 24 dan memantau haluaran urine
kemungkinan dikarenakan kedua indikator tersebut saling pempengaruhi. Menurut
Sukandar (2013) menyatakan bahwa jumlah asupan cairan yang dikonsumsi
berdasarkan jumlah haluaran urine ditambah dengan 700-1000 mL per 24 jam
(sudah termasuk makanan). Pasien GGK yang menjalani HD tidak terlalu
memperhatikan haluaran urine dikarenakan sebagian besar mengalami anuria.
Meskipun demikian, pasien GGK yang menjalani HD rutin idealnya memperhatikan
ada tidaknya haluaran urine sebagai acuan dasar agar dapat menentukan jumlah
asupan cairan per hari.
Tingginya jumlah pasien yang patuh terhadap indikator menghindari hal yang
dapat meningkatkan asupan cairan menunjukkan bahwa pasien cenderung sudah
lebih baik untuk mengontrol asupan cairan lain selain dari minum, seperti buah-
buahan yang mengandung banyak air dan makanan pedas. Namun, pada saat
tertentu pasien akan meningkatkan asupan cairan jika sudah mendekati jadwal untuk
cuci darah yaitu 1-2 hari sebelum jadwal rutin cuci darah. Pengontrolan terhadap
hal-hal yang dapat meningkatkan asupan cairan dapat dipengaruhi oleh keyakinan
pasien terhadap hambatan atau rintangan yang dihadapi (perceived barrier). Pasien
yang patuh menunjukkan perilaku kontrol yang baik terhadap hambatan dari
perilaku yang dianjurkan dalampembatasan asupan cairan.

Tabel 3.
Kepatuhan Sub Variabel Pembatasan Cairan dan Kepatuhan Sub Variabel Diet
Rendah Garam
(Natrium) serta Indikator pada Masing-masing Sub Variabel
Sub Variabel F %
Pembatasan cairan
Menetapkan jumlah cairan per 24 jam
Patuh 30 32,3
Tidak Patuh 63 67,7
Memantau haluaran urine
Patuh 30 32,3
Tidak Patuh 63 67,7
Memantau status hidrasi
Patuh 40 43
Tidak Patuh 53 57
Membatasi hal yang dapat meningkatkan asupan cairan
Patuh 48 51,6
Tidak Patuh 45 48,4
Diet Rendah Garam (Natrium)
Menetapkan jumlah asupan garam (natrium)
Patuh
Tidak Patuh 44 47,3
49 52,7
Menghindari makanan yang tidak dianjurkan
Patuh 37 39,8
Tidak Patuh 56 60,2

Perilaku kontrol yang baik terhadap pembatasan asupan cairan dapat


dipengaruhi oleh pemberian konseling diet dan cairan. Maka dari itu, pemberian
konseling diet dan cairan setiap kali pasien menjalani HD perlu dilakukan. Hal ini
sesuai dengan penelitian Tanujiarso, Ismonah dan Supriyadi (2014) yang
menunjukkan bahwa pemberian konseling diet cairan terbukti efektif terhadap
pengontrolan IDWG pada pasien GGK yang menjalani HD.
Konseling diet dan cairan dapat melibatkan peran serta keluarga karena
semakin tinggi dukungan sosial, maka semakin tinggi pula pasien GGK berperilaku
patuh terhadap pembatasan cairan. Hal ini sejalan dengan penelitian Andriani,
Chanif, dan Rosidi (2013) yang menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan
antara dukungan sosial terhadap kepatuhan pembatasan cairan pada pasien GGK
yang menjalani hemodialisa.
Berdasarkan tabel 2, menunjukkan bahwa pasien GGK yang menjalani HD
rutin sering kali tidak patuh terhadap diet rendah garam (natrium). Pasien GGK
selalu disertai dengan hipertensi, sehingga pembatasan asupan garam (natrium)
diperlukan untuk mengontrol hipertensi. Menurut Novian (2013) terdapat beberapa
faktor yang mempengaruhi kepatuhan diet hipertensi yaitu tingkat pendidikan,
pengetahuan, peran keluarga dan peran petugas kesehatan. Faktor lain yang juga
diperkirakan mempengaruhi kepatuhan pasien terhadap pembatasan cairan dan diet
rendah garam adalah usia.
Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 1. Menunjukkan bahwa sebagian besar
responden berusia lebih dari 60 tahun. Pada tahap tersebut responden memasuki
tahap lansia. Pada lansia cenderung lupa sehingga pasien kemungkinan besar untuk
tidak patuh terhadap anjuran dokter, khususnya pembatasan cairan dan diet rendah
garam (natrium) sehingga dukungan keluarga sangat diperlukan agar dapat
meningkatkan kepatuhan lansia dalam membatasi asupan cairan dan diet rendah
garam (lansia). Dukungan keluarga ini akan mempengaruhi keyakinan individu
terhadap hambatan yang dirasakan (perceived barrier). Semakin tinggi dukungan
keluarga, maka diharapkan semakin rendah perceived barrier yang dirasakan,
sehingga tingkat kepatuhan dapat lebih ditingkatkan.
Hal ini sesuai dengan penelitan Sumigar, Rompas dan Pondaag (2015) yang
menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara dukungan keluarga
dan kepatuhan diet pada pasien GGK. Peran serta keluarga dapat diikutsertakan
terhadap teknik pendampingan pasien di rumah. Hasil penelitian Rosiana (2014)
menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang linear positif antara teknik
pendampingan dengan kepatuhan lansia dalam diet rendah garam. Semakin baik
teknik pendampingan yang diberikan oleh keluarga,maka semakin baik pula
perilaku patuh yang ditunjukkan oleh pasien dalam diet rendah garam.
Rendahnya jumlah responden yang patuh pada indikator menghindari makanan
yang tidak dianjurkan dibandingkan dengan menetapkan asupan garam (natrium)
menunjukkan bahwa pasien cenderung tidak mau dan kesulitan untuk membatasi
serta menghindari makanan tinggi garam dan natrium, terutama pada bahan
penyedap serta bahan pengawet makanan. Hal ini kemungkinan dikarenakan pasien
lebih sering makan di luar rumah sehingga tidak ada pembatasan bahan penyedap
maupun garam. Selain itu, pasien GGK mengatakan adanya keluhan mual, sehingga
apabila memakan makanan yang kurang bahan penyedap serta tawar (rendah
garam), maka asupan makanannya pun akan semakin berkurang. Maka dari itu,
pengolahan bahan makanan diperlukan untuk dapat mengatasi hal tersebut. Bahan
makanan dapat diolah menggunakan bahan alami seperti kunyit, kencur, jahe atau
bawang sehingga rasa tawar dari rendah garam dapat berkurang. Makanan dapat
dimasak tidak hanya digoreng tetapi jika memungkinkan dapat dilakukan dengan
cara ditumis atau pepes agar menambah cita rasa dari perpaduan bumbu alami.
Pembatasan natrium penting untuk diperhatikan karena jika tidak, hal ini dapat
menimbulkan gangguan elektrolit dan cairan. Selain itu, asupan natrium juga akan
berpengaruh terhadap tekanan darah. Menurut penelitian Anggara dan Prayitno
(2013) terdapat hubungan antara asupan natrium terhadap tekanan darah secara
statistik. Hal ini akan menimbulkan hipertensi tidak terkontrol pada pasien GGK
yang menjalani HD, sehingga dapat memperberat kondisi ginjal. Sesuai dengan
penelitian Shaldon (2002) yang menyebutkan bahwa hipertensi yang tidak
terkontrol pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa dihubungkan
dengan peningkatkan angka mortalitas dari penyebab kardiovaskuler.
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian tentang kepatuhan pembatasan cairan dan diet
rendah garam (natrium) pada pasien GGK yang menjalani HD rutin, maka diperoleh
simpulan bahwa pasien GGK yang menjalani HD rutin di RSUP Dr. Hasan Sadikin
lebih banyak yang tidak patuh terhadap pembatasan cairan dan diet rendah garam
(natrium) dibandingkan dengan pasien yang patuh.
Referensi
Andriani, D.A., Chanif, dan Rosidi, A. (2013). Hubungan Dukungan Sosial terhadap
Kepatuhan Pembatasan Asupan Cairan pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik yang
Menjalani Hemodialisa di RSUD Kota Semarang. Jurnal Keperawatan.

Anggara, F.H.D., dan Prayitno, N. (2013). Fakto rfaktoryang berhubungan dengan Tekanan
Darah di Puskesmas Telaga Murni, Cikarang barat Tahun 2012. Jurnal Ilmiah Kesehatan,
5(1); Jan 2013.

Bastable, S. (2002). Perawat Sebagai Pendidik: Prinsip-Prinsip Pengajaran dan Pembelajaran.


Jakarta: EGC.

Brunner dan Suddarth. (2000). Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.

Ekantari, F., Suswardani, D.L., dan Kusumawati, Y. (2012). Hubungan Antara Lama
Hemodialisis dan Faktor Komorbiditas Dengan Kematian Pasien Gagal Ginjal Kronik di
RSUD DR. Moewardi.

Istanti, Y.P. (2013). Hubungan Antara masukan Cairan Dengan Interdialytic weight gain
(IDWG) Pada Pasien Chronic Kidney Disease Di Unit Hemodialisis RS PKU
Muhammadiyah Yogyakarta. Jurnal Kesehatan Profesional. Vol.10 No.01.

Kresnawan, T. (2012). Makanan Seimbang untuk Penyakit Gagal Ginjal Kronik. Diakses dari
http://www.ikcc.or.id/content.php pada tanggal 24 Januari 2016.

Kementrian Kesehatan RI. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2013. Riset
Kesehatan Dasar (RISKESDAS).

Mokodompit, D.Y., Paramata, N.R., dan Pakaya, N. (2015). Pengaruh Kenaikan Berat Badan
Terhadap Kejadian Komplikasi Gagal Jantung Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik Yang
Menjalani Terapi Hemodialisa di Rumah Sakit Se-Provinsi Gorontalo. Jurnal Keperawatan.

Nugraha, S., Nurhayati R. (2014). Hubungan Health Belief dengan Perilaku Compliance pada
Pasien Gagal Ginjal Kronis Di RSUD Al-Ihsan. Prosiding Psikologi. ISSN: 2460- 6448.

Novian, A. (2013). Faktor Yang Berhubungan dengan Kepatuhan Diit Pasien Hipertensi
(Studi Pada pasien Rawat Jalan di Rumah Sakit Islam Sultan Agung Semarang Tahun 2013).
Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri
Semarang, Indonesia.

Patel, M.L., Sachan, R., Noschal, A., and Surendra. (2012). Anxiety and Depression- A
Suicidal Risk in Patients with Chronic Renal Failure on Maintenance Hemodialysa.
International Journal of Scientific and Research Publications.
Rosiana, A. (2014). Pengaruh Pendampingan Perilaku Diet Hipertensi Terhadap Kepatuhan
Diet Pada Penderita Hipertensi di Kampung Sanggrahan.

Shaldon, S. (2002). Dietary salt restriction and drug-free treatment of hypertension in ESRD
patients: a largely abandoned therapy. Oxford Journals-Nephrology Dialysis Transplantation
Volume 17 pp 1163-1165.

Sukandar, E. (2013). Nefrologi Klinik. Jakarta: EGC.

Sumigar, G., Rompas, S.S., dan Pondaag, L. (2015). Hubungan Dukungan Keluarga
Dengan Kepatuhan Diet Pada Pasien GGK di Irina C2 dan C4 RSUP Prof. DR. R. D. Kandou
Manado. Jurnal Keperawatan Vol 3 No. 1. 2015.

Sutarka, N., Suwitra, K., Loekman, J.S., Sudhana, W., Kandarini, Y., et al. (2010). Hubungan
Penyakit Ginjal Kronis Predialisis dan Beberapa Parameter Penyakit Arterosklerosis Arteri
Karotis. Jurnal Penyakit Dalam, Volume 11 Nomor 3 September 2010.

Tanujiarso, B.A., Ismonah,& Supriyadi. (2014). Efektifitas KOnseling Diet Cairan Terhadap
Pengontrolan Interdialytic Weight Gain (IDWG) Pasien Hemodialisis di RS Telogorejo
Semarang. Jurnal Ilmu Keperawatan dan Kebidanan.

United State Renal Data System (USRDS). 2014. Diakses dari https://www.niddk.nih.gov/
about-niddk/strategic-plans.../us-renal-datasystem- report pada tanggal tanggal 25 Januari
2016.

Anda mungkin juga menyukai