Anda di halaman 1dari 14

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kornea

2.1.1 Anatomi dan Histologi Kornea

Kornea merupakan jaringan yang transparan dan avaskuler yang membentuk

permukaan anterior bola mata dengan ukuran diameter horizontal 11-12 mm dan

diameter vertikal 10-11 mm. Bagian sentral kornea memiliki ketebalan 0,5 mm,

sedangkan bagian perifer memiliki ketebalan 1 mm. Sifat kornea yang avaskuler

membuat kornea mendapatkan nutrisinya dari jaringan di sekitarnya yaitu humor

akuos melalui proses difusi, lapisan air mata, dan pembuluh darah limbus. Sumber

nutrisi utama kornea adalah glukosa dan oksigen. Kornea juga merupakan

jaringan yang memiliki serabut saraf sensorik terbanyak (300-400 serabut saraf),

yang berasal dari nervus trigeminus (American Academy of Ophthalmology,

2011-2012a,b; Edelhauser, 2003).

Secara histologi, struktur kornea terdiri dari lima lapisan yaitu epitel,

membrana bowman, stroma, membrana descemet dan endotel. Epitel kornea

memiliki ketebalan 50-60 µm atau 5% dari total ketebalan kornea, dan terdiri dari

tiga lapisan yang berbeda yaitu lapisan sel superfisial, lapisan sel sayap, dan

lapisan sel basal. Membran Bowman merupakan lapisan aseluler yang dibentuk

oleh serat kolagen dan merupakan modifikasi dari bagian anterior stroma dengan

ketebalan 8-14 µm. Lapisan ini tidak dapat mengalami regenerasi dan akan

digantikan oleh jaringan parut bila terjadi trauma. Stroma kornea menyusun 90%

dari seluruh ketebalan kornea. Stroma kornea tersusun atas fibril kolagen dengan

7
8

ukuran yang seragam, meluas di seluruh permukaan kornea dan membentuk

kelompok yang disebut lamella; serta tersusun atas sel-sel kornea (keratosit) dan

matriks ekstraseluler yang terdiri dari glikoprotein dan glikosaminoglikan.

Membran Descemet merupakan lamina basalis sel-sel endotel kornea. Membran

ini terutama tersusun dari kolagen tipe IV dan memiliki ketebalan 10-12 µm.

Endotel kornea merupakan lapisan paling dalam dari kornea. Lapisan ini terdiri

atas satu lapis sel berbentuk heksagonal yang sel-selnya tidak dapat membelah.

Endotel kornea mempunyai pengaruh yang besar dalam mempertahankan

transparansi kornea (American Academy of Ophthalmology, 2011-2012a; Kanski,

2007; Berta, 2013).

Gambar 2.1 Lapisan kornea (American Academy of Opthalmology 2011-2012b)

2.1.2 Fisiologi Endotel Kornea

Endotel kornea memiliki dua fungsi utama. Pertama, sebagai jalur untuk

penyerapan nutrisi kornea dan pembuangan sisa metabolisme melalui difusi dan

mekanisme transport aktif. Kedua, mengatur hidrasi kornea dan mempertahankan

transparansi kornea. Fungsi endotel ini dilakukan karena adanya pompa metabolik
9

aktif di endotel kornea. Sedikitnya terdapat tiga sistem transport ion yang telah

teridentifikasi antara lain, pompa sodium-potasium yang menggerakkan ion

sodium keluar dari sel dan bergantung pada enzim Na+,K+-ATPase; pompa

sodium-hidrogen yang menggerakkan ion sodium ke dalam sel; pompa bikarbonat

yang mengangkut ion bikarbonat dari kornea ke humor akuos. Pompa-pompa

transport ion ini bekerja sama untuk mempertahankan transparansi kornea

(Bonanno, 2003; Sheng, 2006).

Transparansi kornea tergantung pada terjaganya kadar air pada stroma

kornea sekitar 78%. Ketika fungsi endotel ini terganggu, maka humor akuos akan

berdifusi masuk ke stroma kornea dan menyebabkan edema kornea (American

Academy of Ophthalmology, 2011-2012b; Sheng 2006).

2.1.3 Densitas Endotel Kornea

Morfologi endotel kornea dapat dideskripsikan dalam tiga aspek yaitu:

densitas sel endotel yang merupakan jumlah sel endotel per millimeter persegi;

koefisien variasi merupakan standar deviasi rata-rata luas sel dibagi dengan rata-

rata luas sel; dan persentase sel heksagonal (American Academy of

Ophthalmology, 2011-2012b).

Densitas sel endotel kornea normalnya mengalami penurunan seiring

bertambahnya usia. Kehilangan normal sel endotel kornea manusia kira-kira

sebesar 0.6% per tahun (Bourne dkk., 1997; Lucena dkk., 2011; Berta, 2013).

Densitas sel endotel kornea bervariasi dari masing-masing individu saat lahir.

Speedwell dkk. (1988) melakukan penelitian terhadap 48 mata bayi usia 6 hari

sampai 12 bulan menemukan bahwa densitas endotel kornea berkisar antara 2987
10

sampai 5624 sel/mm2, dengan rata-rata 4252 sel/mm2. Setelah kelahiran jumlah

sel endotel kornea menurun jumlahnya selama masa bayi, khususnya beberapa

bulan pertama kehidupan dan penurunan berlanjut sampai usia dewasa (Sheng,

2006).

Pada bayi biasanya densitas endotel kornea melebihi 3500 sel/mm2 dan

secara bertahap menurun seiring dengan bertambahnya usia menjadi sekitar 2000

sel/mm2 pada orang tua. Rata-rata pada orang dewasa, densitas endotel kornea

adalah 2400 sel/mm2 (1500-3500), dengan rata-rata ukuran sel 150-350 µm2

(American Academy of Ophthalmology, 2011-2012b).

2.1.4 Pengukuran Sel Endotel Kornea

Morfologi endotel kornea dapat diukur dengan alat-alat yang berbeda

diantaranya mikroskop spekular kontak, mikroskop spekular non kontak, dan

mikroskop konfokal (Sheng, 2006).

Miroskop spekular merupakan alat yang digunakan untuk menilai

perubahan lapisan kornea dengan pembesaran 100 kali lebih besar dibandingkan

slit-lamp biomikroskopi, terutama digunakan untuk memotret endotel kornea.

Gambar kemudian dapat dianalisi sehubungan dengan ukuran sel, bentuk,

densitas, dan distribusinya (Kanski, 2007; American Academy of Ophthalmology,

2011-2012b).

Versi awal dari mikroskop spekular adalah jenis kontak yang melibatkan

penggunaan fotomikroskop yang melekat pada kerucut aplanasi dan coupling fluid

dan bersentuhan langsung dengan kornea untuk mendapatkan pembesaran yang

lebih tinggi dan resolusi yang lebih baik. Oleh karena itu sering menimbulkan
11

masalah toleransi pasien saat pengukuran. Seiring perkembangan teknologi,

muncul spekular mikroskop wide-field non kontak yang lebih nyaman bagi pasien

(American
American Academy of Ophthalmology, 2011-2012b;
2011 Sheng, 2006).

Prinsip kerja mikroskop sp


spekular
ekular ini adalah ketika sinar cahaya mikroskop

spekular melewati kornea, maka akan menyentuh permukaan kornea dengan regio

optik yang berbeda. Beberapa cahaya akan dipantulkan kembali ke fotomikroskop

ketika sudut refleksi sama dengan sudut datang. Cahaya spekular ini ditangkap

oleh fotomikroskop dan membentuk sebuah gambar yang


yang dapat difoto dan

dianalisis (Kanski, 2007).

Alat pengukuran endotel kornea dan cara analisis dari gambar telah

dievaluasi secara luas. Mikroskop spekular merupakan alat yang reliab


reliabel dan

produksibel dengan
gan alat kalibrasi yang sesuai (Sheng, 2006).

Gambar 2.2 Pemeriksaan endotel kornea dengan alat mikroskop spekular

2.1.5 Perubahan Morfologi dan Fungsional Endotel Kornea

Sel endotel kornea tidak dapat mengalami regenerasi. Kehilangan atau

kerusakan sel akan menyebabkan pembesaran dan penyebaran (hyperplasia dan

mobilisasi) dari sel tetangga untuk menutupi area yang rusak (American Academy

of Ophthalmology, 2011
2011-2012b).
12

Perubahan morfologi sel endotel kornea ini merupakan indikator pertama

dari stres kornea. Apabila abnormalitas morfologi sel endotel kornea dapat

teramati seperti penurunan densitas sel endotel, peningkatan koefisien area sel

atau polimegatisme, dan penurunan persentase sel heksagonal atau pleomorfisme,

maka abnormalitas fungsi kornea (edema kornea) juga dapat diamati.

Pada sebagian besar kasus klinis, disfungsi endotel dihubungkan dengan

kehilangan sel endotel kornea. Densitas endotel yang kurang dari 1000 sel/mm2

dapat menyebabkan fungsi endotel terganggu, sedangkan jika densitas endotel

kurang dari 500 sel/mm2 bisa dipastikan bahwa akan terjadi dekompensasi endotel

dan edema kornea permanen (Bonanno, 2003; Soekardi dan Hutauruk, 2004).

Terdapat beberapa faktor yang dapat berkontribusi menyebabkan kehilangan sel

endotel kornea diantaranya usia, penyakit herediter Fuchs’ endothelial dystrophy,

trauma, pembedahan intraokular, uveitis anterior kronis, glaukoma, dan penyakit

diabetes melitus (Bonanno, 2003; American Academy of Ophthalmology, 2011-

2012a).

2.2 Katarak dan Pembedahan Katarak

2.2.1 Katarak

Katarak adalah kekeruhan yang terjadi pada lensa mata yang mengenai

satu atau kedua mata yang disebabkan oleh kelainan kongenital, gangguan

metabolik, traumatik dan proses degenerasi (American-Academy of

Ophthalmology, 2011-2012c).
13

Katarak adalah penyebab terbesar kebutaan dan penurunan penglihatan di

seluruh dunia. Data World Health Organization (WHO) tahun 2002

menunjukkan angka kebutaan diseluruh dunia sekitar 37 juta penduduk, dimana

17 juta penduduk atau sekitar 47,8 % disebabkan oleh katarak, dan diperkirakan

akan meningkat hingga 40 juta penduduk pada tahun 2020 (Resnikoff dkk., 2004;

American-Academy of Ophthalmology, 2011-2012c). Data survei pada empat

negara yaitu Indonesia, Malaysia, Filipina dan Thailand tahun 2002 mendapatkan

sekitar 4,3 juta penduduk mengalami kebutaan dengan 58% disebabkan katarak

(Resnikoff dkk., 2004). Di Indonesia, angka kebutaan mencapai 1,5%, dimana

katarak menempati posisi pertama dengan angka kejadian 0,78% (Depkes RI,

1998).

Etiopatogenesis katarak bersifat multifaktorial dan sampai saat ini belum

sepenuhnya diketahui secara pasti. Beberapa faktor yang diduga berpengaruh

terhadap terjadinya katarak dibagi menjadi faktor intrinsik seperti umur, jenis

kelamin, genetik, serta faktor ekstrinsik seperti DM, kekurangan gizi antara lain

defisiensi vitamin A,C,E, serta faktor lingkungan seperti paparan sinar ultraviolet

dan merokok (Beebe, 2003; Beebe dkk., 2010). Katarak yang terjadi karena

proses penuaan atau sering disebut katarak senilis memiliki jumlah penderita

paling banyak. Penderita katarak senilis diperkirakan mencapai 90% dari seluruh

kasus katarak (American Academy of Ophthalmology, 2011-2012c).

Tingkat kekeruhan lensa pada katarak senilis dapat dibagi menjadi lima

grade berdasarkan klasifikasi Buratto, dimana grade 1 adalah katarak yang paling

lunak sedangkan grade 5 adalah katarak yang sangat keras. Grade 1 ditandai
14

dengan visus yang masih lebih baik dari 6/12, lensa tampak sedikit keruh dengan

warna agak keputihan, dan refleks fundus juga masih dengan mudah diperoleh.

Grade 2 ditandai oleh nukleus yang mulai sedikit berwarna kekuningan, visus

biasanya antara 6/12 sampai 6/30 dan refleks fundus juga masih mudah diperoleh.

Grade 3 ditandai nukleus tampak berwarna kuning disertai dengan kekeruhan

korteks yang berwarna keabu-abuan, visus biasanya antara 3/60 sampai 6/30.

Grade 4 ditandai dengan nukleus yang sudah berwarna kuning kecoklatan, visus

biasanya antara 3/60 sampai 1/60, refleks fundus dan keadaan fundus sudah sulit

dinilai, usia penderita biasanya sudah lebih dari 65 tahun. Grade 5 ditandai dengan

nukleus berwarna coklat hingga kehitaman, visus biasanya kurang dari 1/60

(Soekardi dan Hutauruk, 2004).

2.2.2 Pembedahan Katarak

Katarak diterapi dengan pembedahan. Teknik pembedahan katarak

mengalami perkembangan seiring dengan perkembangan teknologi. Teknik

konvensional yang masih digunakan adalah ekstraksi katarak ekstra kapsular

(EKEK) dan ekstraksi katarak intrakapsular (EKIK). Teknik EKEK mengalami

suatu modifikasi menjadi fakoemulsifikasi seiring dengan berkembangnya

teknologi gelombang ultrasonik (American Academy of Ophthalmology, 2011-

2012c).

Fakoemulsifikasi adalah tindakan operatif penanganan katarak yang

diperkenalkan oleh Charles Kelman tahun 1967 namun mulai diterima tahun

1997. Teknik fakoemulsifikasi melakukan ekspresi nukleus lensa yang berbeda

dengan EKEK dari sisi ukuran insisi dan metode dalam pengeluaran nukleus.
15

Fakoemulsifikasi menggunakan gelombang ultrasonik melalui tip untuk

memecahkan nukleus menjadi fragmen-fragmen kecil. Teknik ini menggunakan

sistem aspirasi automatis untuk mengeluarkan material korteks melalui jarum

kecil yang memerlukan sayatan kecil pada kornea biasanya 2-3 mm. Dalam teknik

fakoemulsifikasi menciptakan sistem operasi tertutup sehingga menjaga

kedalaman bilik mata depan selama operasi dan menjaga kemungkinan terjadinya

tekanan positif vitreous dan perdarahan koroid (Soekardi dan Hutauruk, 2004).

Perkembangan dari agen viskoelastik dapat menurunkan kejadian edema

kornea sebagai komplikasi fakoemulsifikasi. Dengan menginjeksikan viskoelastik

akan menjaga endotel kornea dari tip fako. Perkembangan lensa tanam yang dapat

dilipat penting dalam menjaga agar insisi kornea tetap kecil dimana insisi yang

diperlukan sekitar 2,75 sampai 3,20 mm (American Academy of Ophthalmology,

2011-2012c).

Gambar 2.3 Insisi kornea pembedahan katarak (fakoemulsifikasi) (American Academy of


Ophthalmology, 2011-2012c)
16

2.2.3 Perubahan Endotel Kornea Pada Fakoemulsifikasi

Sejak fakoemulsifikasi pertama dilakukan oleh Kelman pada tahun 1967,

kehilangan sel endotel kornea tetap menjadi perhatian serius yang mempengaruhi

hasil operasi. (Walkow, 2000).

Kerusakan endotel disebabkan oleh prosedur bedah yang dipengaruhi oleh

berbagai faktor pra operatif dan intraoperatif (Walkow, 2000). Faktor pra operatif

yang berpengaruh terhadap kehilangan sel endotel kornea diantaranya umur dan

grade katarak. Umur penderita didapatkan merupakan faktor yang signifikan

berhubungan dengan kehilangan sel endotel kornea yang lebih besar (Hayashi

dkk., 1996). Tingkat kekerasan nukleus pada katarak juga merupakan faktor

resiko yang signifikan terhadap kerusakan endotel kornea. Bourne dkk (2004)

melaporkan pasien dengan katarak grade 5 (Hard cataract) yang dilakukan

pembedahan fakoemulsifikasi memiliki resiko kehilangan sel endotel kornea yang

lebih besar dibandingkan pembedahan EKEK.

Berbagai macam trauma intraoperatif selama fakoemulsifikasi telah

dilaporkan dapat merusak sel endotel kornea. Beberapa penelitian melaporkan

bahwa energi ultrasound dan turbulensi cairan irigasi secara langsung dapat

merusak endotel kornea (Cameron dkk., 2001; Lee dkk., 2005; Lucena dkk.,

2011). Penelitian lain menekankan bahwa kontak endotel dengan fragmen

nukleus, IOL (Intra Ocular Lens) dan instrumen operasi merupakan penyebab

utama kerusakan endotel (Hayashi dkk., 1996; Bourne dkk., 2004). Walkow dkk.

(2000) melaporkan bahwa faktor yang paling signifikan terhadap kehilangan sel
17

endotel kornea adalah waktu atau durasi dilakukannya fakoemulsifikasi (phaco

time).

Beberapa penelitian yang mengevaluasi persentase kehilangan sel endotel

kornea pasca fakoemulsifikasi telah dilaporkan. Hasil penelitian tersebut

melaporkan rata-rata kehilangan sel endotel kornea pasca fakoemulsifikasi

nilainya bervariasi antara 4% hingga 25% ( Walkow dkk., 2000). Penelitian

Bourne dkk., tahun 2004 melaporkan rata-rata kehilangan sel endotel kornea

sebesar 9,8% satu tahun pasca fakoemulsifikasi. Penelitian Gogate dkk. (2010)

melaporkan rata-rata kehilangan sel endotel kornea enam minggu pasca

fakoemulsifikasi adalah sebesar 15,5%. Penelitian Azen dkk. (1983) yang

melibatkan 70 pasien melaporkan kehilangan sel endotel terbesar di seluruh area

kornea terjadi setelah satu bulan pasca operasi, dan setelah follow up dilanjutkan

hingga dua tahun dilaporkan tidak terdapat perbedaan signifikan diantara periode

tersebut.

2.3 Diabetes Melitus

2.3.1 Definisi dan Diagnosis Diabetes Melitus

Diabetes melitus adalah suatu penyakit metabolik kronik yang ditandai

dengan kondisi hiperglikemia akibat gangguan sekresi insulin, aktifitas insulin

atau keduanya (American Diabetes Association, 2010). Hiperglikemia kronis

dihubungkan dengan kerusakan, disfungsi dan kegagalan organ-organ tubuh

khususnya mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah (Perkumpulan

Endokrinologi Indonesia, 2011).


18

Diabetes adalah salah satu penyebab kebutaan pada penduduk berumur 20-

74 tahun (Branwald et al., 2005). Prevalensi DM diseluruh dunia sekitar 2,8%

pada tahun 2000 dan diperkirakan mencapai 4,4% pada tahun 2030 berdasarkan

International Diabetes Federation. Total penduduk dengan DM di seluruh dunia

diperkirakan akan bertambah dari 171 juta tahun 2000 menjadi 366 juta penduduk

pada tahun 2030 (Wild et al., 2004). Pertumbuhan populasi penduduk, perubahan

gaya hidup, penuaan dan meningkatnya prevalensi kegemukan akan

meningkatkan prevalensi DM (Wild et al., 2004; Branwald et al., 2005).

Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penderita DM. Kecurigaan

adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti poliuria,

polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan

sebabnya. Keluhan lain dapat berupa: sering lelah dan lemas, kesemutan, gatal,

mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita

(Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, 2011).

Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara, yaitu jika keluhan

klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu >200 mg/dL sudah

cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Cara kedua yaitu pemeriksaan glukosa

plasma puasa ≥ 126 mg/dL dengan adanya keluhan klasik. Yang ketiga adalah

dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan beban 75

gram glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa

plasma puasa, namun pemeriksaan ini memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO

sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang dilakukan

karena membutuhkan persiapan khusus (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia,


19

2011). American Diabetes Association tahun 2010 menambahkan pemeriksaan

kadar hemoglobin terglikasi (HbA1c) dapat mendiagnosis DM selain sebagai

kontrol glikemik pasien DM. Berdasarkan Perkeni 2011 digunakan kadar HbA1c

yang kurang dari 7% sebagai kontrol glikemik baik.

2.3.2 Struktur Endotel Kornea pada Penderita DM

Kondisi hiperglikemia pada penderita DM menyebabkan peningkatan

kadar glukosa pada humor akuos, dan hal ini secara langsung menghambat fungsi

endotel kornea. Penelitian in vitro menunjukkan bahwa senyawa polihidroksil

seperti glukosa, galaktosa, galaktikol dan sorbitol dapat menghambat aktivitas

enzim Na+,K+-ATPase pada kultur sel endotel kornea sapi. Enzim ini merupakan

komponen utama dari aktivitas pompa cairan endotel. Penurunan aktivitas

Na+,K+-ATPase akan mempengaruhi aksi pompa endotel dan menyebabkan

disfungsi lapisan sel endotel kornea disertai perubahan morfologi selular

(Whikehart dkk., 1993; McNamara dkk., 1998; Lee dkk., 2005).

Abnormalitas morfologi endotel kornea pada penderita DM telah

dilaporkan pada beberapa penelitian, diantaranya seperti polimegatisme dan

pleomorfisme. Densitas sel endotel pada penderita DM dilaporkan signifikan lebih

rendah dibandingkan non DM. (Roszkowska dkk., 1999; Inoue dkk., 2002).

Beberapa penelitian melaporkan tidak ditemukan perbedaan yang signifikan pada

densitas endotel kornea antara penderita DM dan tanpa DM (Keoleian dkk., 1992;

Larsson dkk., 1996). Penelitian lain melaporkan kornea pada penderita DM lebih

tebal dibandingakan pada penderita tanpa DM (Roszkowska dkk., 1999;

Morikubo dkk., 2004).


20

Endotel kornea pada penderita DM berada dibawah keadaan stres

metabolik dan lebih lemah dibandingkan kornea normal dalam melawan tekanan

mekanik atau stres fisik seperti operasi katarak (Morikubo dkk., 2004). Subekti

(2013) melaporkan terdapat perbedaan bermakna secara statistika antara rata-rata

kehilangan sel endotel kornea setelah operasi manual small incision cataract

surgery (SICS) pada pasien katarak senilis penderita DM sebesar 457,36 ± 344,93

sel/mm2 dibanding dengan pasien bukan penderita DM sebesar 135,48 ± 114,38

sel/mm2.

Kehilangan sel endotel kornea dapat mempengaruhi fungsi endotel dalam

mempertahankan transparansi kornea. (Bikbova dkk., 2012). Gangguan pada

fungsi ini akan menyebabkan edema kornea yakni suatu kondisi homeostasis

abnormal yang mengakibatkan kelebihan cairan dalam stroma dan atau epitel

kornea, yang ditandai oleh adanya kekeruhan epitel, penebalan stroma,

Descemet’s membrane fold, dan terbentuknya lapisan kolagen. Hal ini

menyebabkan terhalangnya visual axis sehingga terjadi penurunan tajam

penglihatan. (American Academy of Ophthalmology, 2011-2012b). Hilangnya sel

endotel dan gangguan fungsi pompa endotel yang terjadi pada penderita DM

menyebabkan risiko yang lebih besar terjadinya edema kornea persisten dan

keratopati bulosa setelah tindakan operasi. Perkembangan keratopati bulosa akan

mengakibatkan hilangnya tajam penglihatan yang disertai dengan keluhan nyeri,

sensasi benda asing, berair dan fotofobia (Bikbova dkk., 2012; Domingues dkk.,

2008).

Anda mungkin juga menyukai