1014128203-3-Bab Ii PDF
1014128203-3-Bab Ii PDF
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kornea
permukaan anterior bola mata dengan ukuran diameter horizontal 11-12 mm dan
diameter vertikal 10-11 mm. Bagian sentral kornea memiliki ketebalan 0,5 mm,
sedangkan bagian perifer memiliki ketebalan 1 mm. Sifat kornea yang avaskuler
akuos melalui proses difusi, lapisan air mata, dan pembuluh darah limbus. Sumber
nutrisi utama kornea adalah glukosa dan oksigen. Kornea juga merupakan
jaringan yang memiliki serabut saraf sensorik terbanyak (300-400 serabut saraf),
Secara histologi, struktur kornea terdiri dari lima lapisan yaitu epitel,
memiliki ketebalan 50-60 µm atau 5% dari total ketebalan kornea, dan terdiri dari
tiga lapisan yang berbeda yaitu lapisan sel superfisial, lapisan sel sayap, dan
lapisan sel basal. Membran Bowman merupakan lapisan aseluler yang dibentuk
oleh serat kolagen dan merupakan modifikasi dari bagian anterior stroma dengan
ketebalan 8-14 µm. Lapisan ini tidak dapat mengalami regenerasi dan akan
digantikan oleh jaringan parut bila terjadi trauma. Stroma kornea menyusun 90%
dari seluruh ketebalan kornea. Stroma kornea tersusun atas fibril kolagen dengan
7
8
kelompok yang disebut lamella; serta tersusun atas sel-sel kornea (keratosit) dan
ini terutama tersusun dari kolagen tipe IV dan memiliki ketebalan 10-12 µm.
Endotel kornea merupakan lapisan paling dalam dari kornea. Lapisan ini terdiri
atas satu lapis sel berbentuk heksagonal yang sel-selnya tidak dapat membelah.
Endotel kornea memiliki dua fungsi utama. Pertama, sebagai jalur untuk
penyerapan nutrisi kornea dan pembuangan sisa metabolisme melalui difusi dan
transparansi kornea. Fungsi endotel ini dilakukan karena adanya pompa metabolik
9
aktif di endotel kornea. Sedikitnya terdapat tiga sistem transport ion yang telah
sodium keluar dari sel dan bergantung pada enzim Na+,K+-ATPase; pompa
kornea sekitar 78%. Ketika fungsi endotel ini terganggu, maka humor akuos akan
densitas sel endotel yang merupakan jumlah sel endotel per millimeter persegi;
koefisien variasi merupakan standar deviasi rata-rata luas sel dibagi dengan rata-
Ophthalmology, 2011-2012b).
sebesar 0.6% per tahun (Bourne dkk., 1997; Lucena dkk., 2011; Berta, 2013).
Densitas sel endotel kornea bervariasi dari masing-masing individu saat lahir.
Speedwell dkk. (1988) melakukan penelitian terhadap 48 mata bayi usia 6 hari
sampai 12 bulan menemukan bahwa densitas endotel kornea berkisar antara 2987
10
sampai 5624 sel/mm2, dengan rata-rata 4252 sel/mm2. Setelah kelahiran jumlah
sel endotel kornea menurun jumlahnya selama masa bayi, khususnya beberapa
bulan pertama kehidupan dan penurunan berlanjut sampai usia dewasa (Sheng,
2006).
Pada bayi biasanya densitas endotel kornea melebihi 3500 sel/mm2 dan
secara bertahap menurun seiring dengan bertambahnya usia menjadi sekitar 2000
sel/mm2 pada orang tua. Rata-rata pada orang dewasa, densitas endotel kornea
adalah 2400 sel/mm2 (1500-3500), dengan rata-rata ukuran sel 150-350 µm2
perubahan lapisan kornea dengan pembesaran 100 kali lebih besar dibandingkan
2011-2012b).
Versi awal dari mikroskop spekular adalah jenis kontak yang melibatkan
penggunaan fotomikroskop yang melekat pada kerucut aplanasi dan coupling fluid
lebih tinggi dan resolusi yang lebih baik. Oleh karena itu sering menimbulkan
11
muncul spekular mikroskop wide-field non kontak yang lebih nyaman bagi pasien
(American
American Academy of Ophthalmology, 2011-2012b;
2011 Sheng, 2006).
spekular melewati kornea, maka akan menyentuh permukaan kornea dengan regio
ketika sudut refleksi sama dengan sudut datang. Cahaya spekular ini ditangkap
Alat pengukuran endotel kornea dan cara analisis dari gambar telah
produksibel dengan
gan alat kalibrasi yang sesuai (Sheng, 2006).
mobilisasi) dari sel tetangga untuk menutupi area yang rusak (American Academy
of Ophthalmology, 2011
2011-2012b).
12
dari stres kornea. Apabila abnormalitas morfologi sel endotel kornea dapat
teramati seperti penurunan densitas sel endotel, peningkatan koefisien area sel
kehilangan sel endotel kornea. Densitas endotel yang kurang dari 1000 sel/mm2
kurang dari 500 sel/mm2 bisa dipastikan bahwa akan terjadi dekompensasi endotel
dan edema kornea permanen (Bonanno, 2003; Soekardi dan Hutauruk, 2004).
2012a).
2.2.1 Katarak
Katarak adalah kekeruhan yang terjadi pada lensa mata yang mengenai
satu atau kedua mata yang disebabkan oleh kelainan kongenital, gangguan
Ophthalmology, 2011-2012c).
13
17 juta penduduk atau sekitar 47,8 % disebabkan oleh katarak, dan diperkirakan
akan meningkat hingga 40 juta penduduk pada tahun 2020 (Resnikoff dkk., 2004;
negara yaitu Indonesia, Malaysia, Filipina dan Thailand tahun 2002 mendapatkan
sekitar 4,3 juta penduduk mengalami kebutaan dengan 58% disebabkan katarak
katarak menempati posisi pertama dengan angka kejadian 0,78% (Depkes RI,
1998).
terhadap terjadinya katarak dibagi menjadi faktor intrinsik seperti umur, jenis
kelamin, genetik, serta faktor ekstrinsik seperti DM, kekurangan gizi antara lain
defisiensi vitamin A,C,E, serta faktor lingkungan seperti paparan sinar ultraviolet
dan merokok (Beebe, 2003; Beebe dkk., 2010). Katarak yang terjadi karena
proses penuaan atau sering disebut katarak senilis memiliki jumlah penderita
paling banyak. Penderita katarak senilis diperkirakan mencapai 90% dari seluruh
Tingkat kekeruhan lensa pada katarak senilis dapat dibagi menjadi lima
grade berdasarkan klasifikasi Buratto, dimana grade 1 adalah katarak yang paling
lunak sedangkan grade 5 adalah katarak yang sangat keras. Grade 1 ditandai
14
dengan visus yang masih lebih baik dari 6/12, lensa tampak sedikit keruh dengan
warna agak keputihan, dan refleks fundus juga masih dengan mudah diperoleh.
Grade 2 ditandai oleh nukleus yang mulai sedikit berwarna kekuningan, visus
biasanya antara 6/12 sampai 6/30 dan refleks fundus juga masih mudah diperoleh.
korteks yang berwarna keabu-abuan, visus biasanya antara 3/60 sampai 6/30.
Grade 4 ditandai dengan nukleus yang sudah berwarna kuning kecoklatan, visus
biasanya antara 3/60 sampai 1/60, refleks fundus dan keadaan fundus sudah sulit
dinilai, usia penderita biasanya sudah lebih dari 65 tahun. Grade 5 ditandai dengan
nukleus berwarna coklat hingga kehitaman, visus biasanya kurang dari 1/60
2012c).
diperkenalkan oleh Charles Kelman tahun 1967 namun mulai diterima tahun
dengan EKEK dari sisi ukuran insisi dan metode dalam pengeluaran nukleus.
15
kecil yang memerlukan sayatan kecil pada kornea biasanya 2-3 mm. Dalam teknik
kedalaman bilik mata depan selama operasi dan menjaga kemungkinan terjadinya
tekanan positif vitreous dan perdarahan koroid (Soekardi dan Hutauruk, 2004).
akan menjaga endotel kornea dari tip fako. Perkembangan lensa tanam yang dapat
dilipat penting dalam menjaga agar insisi kornea tetap kecil dimana insisi yang
2011-2012c).
kehilangan sel endotel kornea tetap menjadi perhatian serius yang mempengaruhi
berbagai faktor pra operatif dan intraoperatif (Walkow, 2000). Faktor pra operatif
yang berpengaruh terhadap kehilangan sel endotel kornea diantaranya umur dan
berhubungan dengan kehilangan sel endotel kornea yang lebih besar (Hayashi
dkk., 1996). Tingkat kekerasan nukleus pada katarak juga merupakan faktor
resiko yang signifikan terhadap kerusakan endotel kornea. Bourne dkk (2004)
bahwa energi ultrasound dan turbulensi cairan irigasi secara langsung dapat
merusak endotel kornea (Cameron dkk., 2001; Lee dkk., 2005; Lucena dkk.,
nukleus, IOL (Intra Ocular Lens) dan instrumen operasi merupakan penyebab
utama kerusakan endotel (Hayashi dkk., 1996; Bourne dkk., 2004). Walkow dkk.
(2000) melaporkan bahwa faktor yang paling signifikan terhadap kehilangan sel
17
time).
Bourne dkk., tahun 2004 melaporkan rata-rata kehilangan sel endotel kornea
sebesar 9,8% satu tahun pasca fakoemulsifikasi. Penelitian Gogate dkk. (2010)
kornea terjadi setelah satu bulan pasca operasi, dan setelah follow up dilanjutkan
hingga dua tahun dilaporkan tidak terdapat perbedaan signifikan diantara periode
tersebut.
Diabetes adalah salah satu penyebab kebutaan pada penduduk berumur 20-
pada tahun 2000 dan diperkirakan mencapai 4,4% pada tahun 2030 berdasarkan
diperkirakan akan bertambah dari 171 juta tahun 2000 menjadi 366 juta penduduk
pada tahun 2030 (Wild et al., 2004). Pertumbuhan populasi penduduk, perubahan
polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan
sebabnya. Keluhan lain dapat berupa: sering lelah dan lemas, kesemutan, gatal,
mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita
klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu >200 mg/dL sudah
cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Cara kedua yaitu pemeriksaan glukosa
plasma puasa ≥ 126 mg/dL dengan adanya keluhan klasik. Yang ketiga adalah
dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan beban 75
gram glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa
sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang dilakukan
kontrol glikemik pasien DM. Berdasarkan Perkeni 2011 digunakan kadar HbA1c
kadar glukosa pada humor akuos, dan hal ini secara langsung menghambat fungsi
enzim Na+,K+-ATPase pada kultur sel endotel kornea sapi. Enzim ini merupakan
rendah dibandingkan non DM. (Roszkowska dkk., 1999; Inoue dkk., 2002).
densitas endotel kornea antara penderita DM dan tanpa DM (Keoleian dkk., 1992;
Larsson dkk., 1996). Penelitian lain melaporkan kornea pada penderita DM lebih
metabolik dan lebih lemah dibandingkan kornea normal dalam melawan tekanan
mekanik atau stres fisik seperti operasi katarak (Morikubo dkk., 2004). Subekti
kehilangan sel endotel kornea setelah operasi manual small incision cataract
surgery (SICS) pada pasien katarak senilis penderita DM sebesar 457,36 ± 344,93
sel/mm2.
fungsi ini akan menyebabkan edema kornea yakni suatu kondisi homeostasis
abnormal yang mengakibatkan kelebihan cairan dalam stroma dan atau epitel
endotel dan gangguan fungsi pompa endotel yang terjadi pada penderita DM
menyebabkan risiko yang lebih besar terjadinya edema kornea persisten dan
sensasi benda asing, berair dan fotofobia (Bikbova dkk., 2012; Domingues dkk.,
2008).