Anda di halaman 1dari 13

PERSPEKTIF

Volume XVI No. 4 Tahun 2011 Edisi September

PENEGAKAN HUKUM YANG BERKEADILAN


DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT HERMENEUTIKA HUKUM:
SUATU ALTERNATIF SOLUSI TERHADAP PROBLEMATIKA
PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA
Agus Budi Susilo
Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta
e-mail: bagoez007@gmail.com
ABSTRAK
Esensi dalam penegakan hukum adalah keadilan. Keadilan itu sendiri mempunyai berbagai
macam makna, tergantung dari perspektifnya. Di negara mana pun sering timbul berbagai
masalah, terkait penegakan keadilan di ranah hukum. Konsep keadilan yang sudah mapan
di suatu negara belum tentu baik apabila diterapkan untuk negara lain. Meskipun demikian,
dimungkinkan adanya saling pengaruh mempengaruhi atau bersifat integrasi antara pemikiran satu
dengan yang lainnya mengenai makna keadilan, terutama yang mempunyai sifat universal. Pada
tataran filosofis, tentu masing-masing negara mempunyai akar pemikiran tersendiri, tergantung
dari norma dasar negara dan kehidupan sosial-budaya bangsanya. Untuk mengurai lebih lanjut
mengenai makna keadilan dari sudut pandang filsafat, sarana yang tepat digunakan adalah
hermeneutik. Penelusuran keadilan dalam perspektif hermeneutik dalam rangka penegakan
hukum seyogyanya dibingkai juga dengan perspektif ilmu hukum, agar diperoleh titik temu
dan lebih mudah dalam pengimplementasiannya.
Kata Kunci: keadilan, hermeneutik, ilmu hukum dan penegakan hukum.

ABSTRACT
The essence of the rule of law is justice. Justice has many meanings, depending on the
perspective. Every country often arise various problems, related to the administration of
justice in the realm of law. The concept of justice that have been established in a country is not
necessarily better when applied to other countries. However, it is possible to mutual influenced
or be integrated between each other thinking about the meaning of justice, particularly those
having a universal nature. At the philosophical level, each country has own thoughts of the roots,
depending on the basic norms and socio-cultural life of the nation. Thus, about the meaning
of justice from the view of philosophy, the proper tools are used is hermeneutic. Search justice
in the perspective of hermeneutics in the context of law enforcement should also be framed
by the perspective of jurisprudence, in order to obtain the intersection and its implementation
easier.
Keywords: justice, hermeneutics, legal studies and law enforcement.

PENDAHULUAN secara seksama dalam perspektif global ternyata


Negara Indonesia saat ini sedang dilanda ber- permasalahan itu tidak terjadi di Indonesia saja,
bagai masalah hukum, ekonomi, sosial, politik, dan bahkan di negara maju seperti Amerika Serikat pun
sebagainya. Bukan hanya ilmuwan berbagai perguruan menghadapi masalah multidimensi yang ditandai
tinggi saja yang gelisah menghadapi multiproblem ini, dengan adanya tsunami ekonomi yang meng-
bahkan sebagian aparatur pemerintahan baik yang hancurkan pondasi sistem moneter di negara itu
berada di lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan tahun 2008 hingga saat ini (termasuk juga beberapa
rakyat pun turut gelisah dengan keadaan tersebut. negara di Eropa).
Sering diadakan diskusi, penelitian, dan pe- Fenomena ini, ada kesamaan dengan apa yang
nelaahan mengenai masalah tersebut, dari sudut dinyatakan oleh Fritjof Capra yaitu di awal dua
pandang keilmuan yang berbeda, tetapi tidak dasawarsa terakhir abad kedua puluh, akan ada krisis
menghasilkan solusi apa pun. Setelah diselidiki global yang serius, yaitu suatu krisis kompleks dan

214
Susilo, Penegakan Hukum yang Berkeadilan dalam Perspektif Filsafat ....

multidimensional yang segi-seginya menyentuh setiap Hasil pemikiran mengenai keadilan dan hukum,
aspek kehidupan. Krisis ini merupakan krisis dalam dari masing-masing filusuf dalam penggunaannya bisa
dimensi-dimensi intelektual, moral, dan spiritual; ada yang sesuai diterapkan di negara atau juga tidak
suatu krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya sesuai di lain negara, karena itu tergantung dengan
dalam catatan sejarah umat manusia (Fritjof Capra, strata atau tatanan sosial, budaya, dan kelangsungan
1982:1). hidup suatu masyarakat yang mempunyai nilai
Berbagai krisis multidimensi di berbagai negara, kearifan regional atau lokal yang berbeda satu dengan
dari kacamata ilmu hukum, tentu ada suatu sistem lainnya. Oleh karenanya, ketika akan mengadopsi
yang salah, salah satunya masalah sistem hukum yang hasil pemikiran dunia barat tersebut harus benar-
ada, yaitu tidak terimplementasikannya nilai-nilai benar disaring apakah akan terjadi kontradiksi atau
keadilan yang di dalamnya terdapat unsur moralitas tidak dengan filosofi dasar negara maupun hukum
dan ini berlaku secara universal. Misalnya terjadinya asli bangsa kita.
krisis di Amerika Serikat, salah satunya terkait akibat Intisari dapat diambil dalam sejarah pemikiran
dari tidak diterapkannya pelaksanaan nilai keadilan dunia barat, pada dasarnya berkisar pada tataran
dan moralitas terhadap penyelesaian masalah di individualisme, kolektivisme, liberalisme dan hanya
Timur Tengah dan beberapa negara Afrika (dana sedikit yang mengagungkan humanisme maupun nilai-
pemerintah habis hanya untuk berperang, bahkan nilai religius. Teori-teori yang dimunculkan itu dari
konsep berperangnya pun jauh dari prinsip equity, sudut pandang asas tentu berbeda dengan pemikiran
humanity dan ethics). Begitu pun permasalahan yang berada di dunia timur, seperti Indonesia.
hukum yang terjadi di Indonesia, sudah mencapai Sehingga menjadi suatu hal yang menarik apabila
titik nadir. Hal ini ditandai dengan sudah tidak dikaji lebih lanjut, mengenai filsafat yang tepat untuk
percayanya rakyat terhadap realisasi hukum positif Indonesia dalam memberi makna atau ruh mengenai
di Indonesia, terutama dalam penegakan hukum konsep keadilan dan hukum.
positif itu sendiri. Penerapan pemikiran barat ada dan digunakan
Khusus untuk Indonesia, penegakan hukum positif mayoritas kaum yuris di Indonesia adalah yang
dapat berwibawa dihadapan rakyat dan kalangan tidak pas untuk diterapkan negara Indonesia sehingga
internasional apabila keadilan dapat berfungsi dan menimbulkan chaos di bidang hukum, ini semua
selalu hidup di dalam raga hukum. Tanpa menegakkan akibat ulah beberapa pemikir (ilmuwan hukum) dan
keadilan dalam hukum, akan menimbulkan penyim- pengguna hukum (praktisi hukum) di Indonesia.
pangan dan penyalahgunaan siapa pun yang meme- Chaos disini ditandai dengan ketidakstabilan serta
gang kekuasaan atau kewenangan, yang nantinya keteracakan (randomness) proses hukum dalam
berdampak buruk bagi tatanan sosial di masyarakat, berbagai dimensinya. Chaos yang penulis maksud
sehingga muncul krisis sosial secara regional bahkan disini adalah chaos yang bersifat negatif, karena
dapat berimplikasi secara internasional. Dalam peta chaos ada juga yang bersifat positif. Bahkan
pemikiran mengenai keadilan dan hukum, seyogyanya dimungkinkannya merubah negative chaos menjadi
kita belajar dari para filusuf (mengambil yang baik positive chaos (Sudjito, 2006:168 dan 172).
dan meninggalkan yang buruk), dengan menelusuri Ada beberapa yang beranggapan, ini semua
sejarah perkembangannya yang dimulai dari zaman merupakan produk gagal pendidikan hukum beberapa
peradaban Yunani, dilanjutkan zaman Romawi, pada akademisi terdahulu yang mencetak beberapa pemikir
abad pertengahan aufklarung dan zaman modern yang sebagai generasi penerus (kader-kadernya) dan para
dijuluki era informasi teknologi, hingga pada saat ini penegak hukum (advokat, polisi, jaksa, dan hakim)
yang mulai muncul paham postmodern. yang dari hari ke hari tidak sadar telah berprinsip
Postmodern disini, merupakan kritik filosofis mengkerdilkan hukum, dengan dalih positivistiknya
atas gambaran dunia (world view), epistemologi tentang hukum, sehingga hukum pun menjadi
dan ideologi-ideologi modern (I. Bambang Sugiharto, kehilangan eksistensinya (Satjipto Rahadjo, 2009:
1996:24). Dalam memaknai keadilan dan hukum atau 32-33, dan 37).
hubungan keduanya, satu sama lain ada perbedaan Muncul aliran baru (non-doktrinal) yang selalu
pendekatan dan metodiknya serta karakteristiknya. gelisah terhadap rusaknya hukum di Indonesia,
Berangkat dari pemikiran-pemikiran para filusuf yaitu menawarkan suatu pemahaman hukum secara
tersebut, akan diperoleh kesimpulan yang melandasi holistik dan komprehensif keilmuan. Hukum tidak
arti keadilan dan hukum itu sendiri, terlepas ada sisi bisa kesepian karena menyendiri, hukum harus juga
positif dan negatifnya. bersosialisasi dan bergandeng tangan dengan ilmu-

215
PERSPEKTIF
Volume XVI No. 4 Tahun 2011 Edisi September

ilmu lainnya. Akan tetapi paham ini, selalu mendapat yang terbaik untuk menjawab permasalahan tersebut
tentangan dari paham konservatif yang menyatakan terutama bagi para penegak hukum di Indonesia.
hukum itu harus tetap murni sebagaimana mestinya
supaya tidak kehilangan jati dirinya (doktrinal). METODE PENELITIAN
Benturan antara kedua paham (doktrinal atau Untuk menjawab permasalahan tersebut, penulis
positivisme dengan non-doktrinal atau empirisme) tidak melakukan secara deep research (penelitian
itu tetap terjadi hingga saat ini, dengan konsepnya yang mendalam), sehingga dalam mengeksplorasi
masing-masing terus berjalan tetapi belum ada titik dan mengeksploitasi bahan penulisan hanya berupa
temu. Perlu ada suatu konsep tertentu yang agar menggunakan pendekatan pemikiran-pemikiran para
mudah dipahami dan diterima para kaum legisme, ahli filsafat dan hukum, khususnya ditinjau dari
supaya menerima paham yang jauh lebih baik dan aspek hermeneutik. Pendekatan yang digunakan pun
bisa memberikan solusi terhadap kekacauan hukum menggunakan deskriptif-analitis secara sederhana
saat ini. dengan menelusuri bahan-bahan tertulis yang ada
Konsep yang bisa diterima oleh kedua paham (lite-rature).
tersebut, tentu konsep yang memberikan makna
yang gamblang mengenai keadilan yang cocok untuk PEMBAHASAN
penegakan hukum di Indonesia. Dalam khasanah Pengertian Keadilan dalam Perspektif Filsafat
filsafat, untuk menelusuri mengenai makna keadilan Hermeneutik dan Filsafat Ilmu Hukum
yang kompatibel bagi hukum Indonesia, alur pikir Arti secara terminologi dari filsafat adalah suka
yang digunakan adalah filsafat hermeneutik. pada kebijaksanaan atau teman kebijaksanaan, yang
Filsafat hermeneutik ini, merupakan aliran filsafat asal katanya dari bahasa Arab filsafah yang berasal
kontemporer yang berpola penafsiran. Pentingnya dari bahasa Yunani philosophia. Philos berarti
filsafat ini digunakan dalam membedah makna suka atau cinta, dan sophia berarti kebijaksanaan.
keadilan sebagai sebuah solusi dalam penegakan Sedangkan arti secara praktisnya filsafat berarti alam-
hukum di Indonesia dikarenakan hermeneutik berfikir jadi berfilsafat ialah berfikir secara mendalam
konsekuen terikat pada dua hal kajian, yakni dan dengan sungguh-sungguh (H. Hasbullah Bakry,
memastikan isi dan makna sebuah kata, kalimat, teks, 1981:7).
dan sebagainya, dan menemukan instruksi-instruksi Dalam filsafat, ada cabang filsafat yang membahas
yang terdapat di dalam bentuk-bentuk simbolis (Josef mendalam mengenai makna, yakni hermeneutika.
Bleicher, 2007:5). Pengertian hermeneutika secara etimologis adalah
Uraian singkat di atas, menjadikan penulis menafsirkan, ini merupakan kata yang berasal dari
prihatin dengan benturan dua konsep (doktrinal dan bahasa Yunani yaitu hermeneuein. Jadi, kata bendanya
nondoktrinal) tersebut, bahkan ada pihak yang sengaja adalah hermeneia yang secara harfiah artinya
membentur-benturkan sehingga terjadi kegoncangan penafsiran atau interpretasi. Sedangkan dalam batasan
sangat dahsyat yang implikasinya berdampak negatif umum, hermeneutika adalah suatu proses mengubah
terhadap penegakan hukum di Indonesia (misalnya: sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti
kriminalisasi maupun politisasi terhadap pimpinan (E. Sumaryono, 1999:23-24).
KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) oleh para Hermeneutika mempunyai dasar lingkaran berupa
politisi dan penegak hukum lainnya, sehingga terjadi kesatuan titik-titik acu (roh) yang menyebabkan
benturan pandangan dalam memahami dua paham sesuatu menjadi bermakna. Disini, hermeneutika
tadi). Ironi yang terjadi dan menjadi pihak dalam bertugas (meminjam istilah Ast) yang dirumuskan
benturan tersebut, adalah stakeholder bidang hukum dalam tiga bentuk pemahaman, yaitu pemahaman
di Indonesia (selain politisi di bidang hukum dan materi yang diperbincangkan di dalam keadilan
para penegak hukum, juga melibatkan para ilmuwan hukum, pemahaman bahasa keadilan hukum, dan
hukum). pemahaman roh keadilan hukum, yaitu berupa
pemahaman roh zaman dan pandangan semesta dari
RUMUSAN MASALAH para pembuat dan pelaksana hukum yang saling
Untuk menganalisa secara filosofis-yuridis berinteraksi serta saling menerangi satu sama lain
permasalahan sebagai berikut: Dari perspektif filsafat (W. Poespoprodjo, 2004:21). Dengan demikian
hermeneutik, faktor-faktor apakah yang menyebabkan filsafat hermeneutik, merupakan filsafat yang
keadilan sulit untuk ditegakkan di Negara Indonesia, menelusuri tentang suatu makna dengan menggunakan
dan bagaimana filsafat hermeneutik memberi solusi metode penafsiran apa yang ada di dalam suatu kata

216
Susilo, Penegakan Hukum yang Berkeadilan dalam Perspektif Filsafat ....

atau teks itu, yaitu menyingkap tabir di dalamnya. dalam upaya penafsirannya; d. Begitu juga hal itu
Misalnya penelusuran makna keadilan dalam konteks bisa terjadi pada kausalitas hukum; e. Tidak ada teks
ke Indonesiaan, apabila menggunakan filsafat mengenai pembebanan kewajiban yang menuntut hal-
hermeneutik, tentu akan menyingkap baik dari segi hal yang mustahil dilakukan; f. Hak-hak istimewa
linguistiknya maupun kontekstualitasnya. atau pengutamaan harus ditafsirkan sedemikian rupa
Salah satu pemikiran filsafat hermeneutik yang sehingga tidak merugikan bagi mereka yang tidak
sering menjadi rujukan dalam bidang penegakan memiliki hak istimewa atau yang tidak diutamakan
hukum adalah pemikiran dari Francis Lieber. itu; g. Semakin besar peran serta teks dalam suatu
Lieber menafsirkan hermeneutik secara umum, kesepakatan yang tertata dan resmi, maka semakin
yaitu menganggap cabang ilmu pengetahuan ini cermat pula seharusnya konstruksinya; h. Suatu teks
membahas prinsip-prinsip dan aturan interpretasi yang menekankan pelaksanaan mengekspresikan segi-
dan konstruksi. Menurutnya secara etimologis segi yang bersifat minimum, jika pelaksanaan tersebut
pengertian hermeneutik yang berarti menjalankan membebani si pelaksana, dan maksimum jika hal itu
interpretasi ini berbeda dengan eksegesis yang melibatkan pembebanan atau penderitaan di pihak
berarti penjelasan. Jadi hermeneutika dibandingkan lain; i. Konstruksi harus sesuai dengan substansi
eksegesis ibarat teori dibandingkan dengan praktik, dan semangat umum teks; j. Efek-efek yang berasal
karena penafsiran pada umumnya meliputi segala dari konstruksi tertentu bisa menuntun kita untuk
cabang (ilmu pengetahuan) dimana kita terhubung memutuskan konstruksi mana yang perlu kita
secara cermat dengan makna kata-kata dan mengatur ambil; k. Semakin tua sebuah hukum atau teks yang
tindakan sesuai dengan semangat dan kandungannya memuat peraturan mengenai tindakan kita, meskipun
yang sebenarnya (Gregory Leyh, 2008:127). digariskan pada waktu yang telah silam, akan semakin
Prinsip-prinsip interpretasi dalam hermeneutika, luas pula cakupan konstruksinya dalam kasus-kasus
menurut Lieber sebagai berikut: a. Suatu kalimat, atau tertentu; l. Tidak ada hal yang bisa memberikan
bentuk kata-kata, hanya bisa memiliki satu makna perlindungan substansial bagi kebebasan individu
yang benar; b. Tidak ada interpretasi yang sehat selain kebiasaan menjalankan konstruksi dan
kecuali dengan adanya keyakinan yang baik dan akal interpretasi secara seksama; m. Penting untuk kita
sehat; c. Dengan demikian, kata-kata harus dipahami pastikan apakah kata-kata yang digunakan memiliki
sebagaimana yang mungkin dimaksudkan oleh pe- karakter terbatas, mutlak, dan bermakna khusus, atau
nutur; d. Apa yang bersifat khusus dan lebih rendah memiliki karakter umum, relatif atau ekspansif; n.
tidak bisa mengalahkan apa yang bersifat umum Upayakan agar pihak yang lemah bisa mendapatkan
dan lebih tinggi; e. Perkecualian (terhadap huruf e) manfaat dari ketentuan yang mengandung hal-hal
didasarkan pada apa yang lebih tinggi; f. Apa yang yang meragukan, tanpa mengalahkan tujuan umum
bersifat mungkin, sedang, dan lazim, lebih diutamakan hukum. Upayakan agar belas kasih berlaku jika
daripada apa yang tidak mungkin, tidak sedang, dan memang ada keraguan yang nyata; o. Diperlukan
tidak lazim; g. Kita mengikuti aturan-aturan khusus adanya pertimbangan atas keseluruhan teks atau
yang diberikan oleh otoritas yang tepat; h. Kita wacana agar kita bisa melakukan konstruksi secara
berupaya mendapatkan bantuan dari apa yang lebih tepat dan benar; p. Di atas segalanya, upayakan untuk
dekat, sebelum mengarah pada apa yang kurang dekat; bersikap tepat dalam semua konstruksi. Konstruksi
i. Interpretasi bukan tujuan melainkan merupakan terwujud sebagai upaya membangun unsur-unsur
sarana, dengan demikian kondisi-kondisi yang lebih dasar, dan bukan berupa pemaksaan suatu materi
tinggi dimungkinkan keberadaannya (Gregory Leyh, luar ke dalam teks (Gregory Leyh, 2008:142-143).
2008:142). Dari kedua prinsip-prinsip (interpretasi dan
Selain merinci prinsip-prinsip interpretasi sebagai konstruksi) yang dikemukakan Lieber ini, terlihat
unsur hermeneutik, Lieber pun memerinci prinsip- bahwa menerapkan hermeneutik dalam berhukum
prinsip konstruksi dalam hermeneutik sebagai selain bagaimana kita berupaya menemukan dan
berikut: a. Semua prinsip interpretasi, jika memang menyajikan makna yang sebenarnya dari tanda-
bisa diterapkan pada konstruksi adalah hal yang sah tanda apa pun yang digunakan menyampaikan ide-
pula bagi yang tersebut kedua; b. Petunjuk utama ide termasuk makna keadilan, juga menarik suatu
bagi konstruksi adalah analogi, atau lebih tepatnya kesimpulan mengenai pokok bahasan ada di balik
penalaran melalui paralelisme; c. Tujuan dan maksud ekspresi langsung teks, dari unsur-unsur tersebut yang
suatu instrumen, hukum, dan seterusnya, bersifat diserap adalah semangatnya bukan pada huruf yang
esensial jika memang diketahui secara tersendiri, tertera pada teks, jadi dalam memahami keadilan pun

217
PERSPEKTIF
Volume XVI No. 4 Tahun 2011 Edisi September

yang diambil dan diterapkan dalam berhukum adalah dapat ditinjau dari segala aspek ilmu pengetahuan
semangat dari penegakan keadilan itu sendiri. sesuai dengan keragaman ilmu yang dimiliki oleh
Selanjutnya mengenai filsafat ilmu hukum, manusia itu, seperti ilmu filsafat, ilmu fisika,
terlebih dahulu akan diurai mengenai filsafat ilmu ilmu sosiologi, ilmu politik, dan lain-lain. Hal ini
itu sendiri. Berbeda dengan filsafat, filsafat ilmu merupakan bukti sederhana mengenai betapa luas
sulit untuk diberikan suatu batasan yang positif, dan dalamnya ilmu hukum, bahkan apabila dikaitkan
karena banyak pendapat yang memiliki makna serta dengan eksistensi manusia.
penekanan (emphasis) yang berbeda tentang filsafat Rumusan-rumusan konsep hukum dalam ilmu
ilmu. Tetapi, pada dasarnya filsafat ilmu adalah hukum selalu disandingkan dengan konsep keadilan
ilmu yang berbicara tentang ilmu pengetahuan yaitu dari zaman ke zaman dan dari timur ke barat
(science of science) yang kedudukannya berada di atau sebaliknya, selalu mengalami perubahan. Masa
atas ilmu lainnya (Conny R. Semiawan, dkk, 1988: modern merupakan refleksi dari berbagai lapangan
43 dan 45). Ada yang mengartikan filsafat ilmu penyelidikan ilmiah, seperti Rationalisme, Empirisme,
dengan world views yang konsisten dengan dan masa Aufklarung, Idealisme Jerman, Positivisme,
pada beberapa pengertian didasarkan atas teori-teori Materialisme, Existensialisme dan Pragmatisme
ilmiah yang penting, lalu diartikan suatu eksposisi (Thoga H. Hutagalung, 1993:18).
dari presuppositions dan predispositions dari para Pada hakekatnya keadilan adalah kata sifat
ilmuwan, dan memberi arti suatu disiplin yang di yang mempuyai arti adil atau tidak berat sebelah
dalamnya konsep-konsep dan teori-teori tentang ilmu atau tidak pilih kasih. Sifat ini merupakan salah
di analisis dan di klasifikasikan. satu sifat manusia. Keadilan merupakan suatu
Pengertian ilmu hukum secara teoritis harus konsep yang mengindikasikan adanya rasa keadilan
dibedakan dengan hukum. Ilmu hukum oleh beberapa dalam perlakuan (justice or fair treatment) (Nani
pakar, seperti Roscoe Pound, G.W. Paton, Robert L. Nurrachman, 2004:13).
Hayman, Jan Gijseels, Mark van Hoecke, dan lain-lain Menurut sejarah hubungan keadilan dan hukum,
menyebutnya dengan istilah Jurisprudence, sedangkan dimulai di daratan Eropa, pemikiran hukum pertama-
hukum turunan arti kata dari Law. Meskipun sama- tama menuju suatu aturan yang dicitakan yang telah
sama mempunyai banyak arti dan arti yang mutlak dirancangkan dalam bentuk undang-undang, akan
benar tidak ada, tetapi setidaknya ada beberapa yang tetapi belum terwujud dan tidak pernah akan terwujud
dapat dijadikan sebagai dasar pemahaman untuk seutuhnya. Sesuai dengan adanya dikotomi, sehingga
itu. Beberapa Pendapat para ahli hukum tersebut muncul dua istilah untuk menandakan hukum, yaitu:
bila dirangkum maka akan diperoleh definisi ilmu a. Hukum dalam arti keadilan (iustitia) atau ius/Recht
hukum lebih luas dari hukum. Karena hukum bila (dari regere = memimpin). Maka disini hukum
diartikan hanya bersifat teoritis tentang pedoman menandakan peraturan yang adil tentang kehidupan
(seperangkat) aturan tingkah laku untuk mengatur masyarakat, sebagaimana dicita-citakan; b. Hukum
ketertiban masyarakat, sedangkan ilmu hukum dalam arti undang-undang atau lex atau wet. Kaidah-
di samping sebagai pengetahuan yang sistematis kaidah yang mewajibkan itu dipandang sebagai sarana
dan terorganisir mengenai gejala hukum, struktur untuk mewujudkan aturan yang adil tersebut (Theo
kekuasaan, norma-norma, hak-hak dan kewajiban Huijbers, 1995:49).
Metode studi hukum dalam arti umum, yakni Theo Huijbers menjelaskan perbedaan dari kedua
mempelajar konsep hukum, gagasan, struktur, fungsi istilah yang memang jelas dan nyata, yaitu: istilah
hukum, dan faktor-faktor eksternal non hukum yang hukum mengandung tuntutan keadilan, istilah undang-
mempengaruhi seperti masalah sosial, situasi politik, undang menandakan norma-norma yang de facto
budaya, kondisi ekonomi, dan sistem nilai. Dengan digunakan untuk memenuhi tuntutan tersebut, entah
demikian, ilmu hukum melihat kondisi intrinsik aturan tertulis atau tidak tertulis. Keadilan dalam konsep
hukum, dengan mempelajari gagasan-gagasan hukum inilah sering digunakan dalam khasanah ilmu hukum.
yang bersifat mendasar, universal, umum, dan teoritis Secara falsafati, ilmu hukum memandang keadilan
serta landasan pemikiran yang mendasarinya (Peter sebagai konsepsi falsafati yang menjadi tujuan hukum
Mahmud Marzuki, 2008:11-15). itu sendiri, dan itu tergantung dengan ideologi negara
Ilmu hukum terlalu luas jangkauannya untuk yang bersangkutan. Ada yang menjadikannya sebagai
didefinisikan, dikarenakan meliputi ruang gerak tujuan utama dalam berhukum, dan ada juga yang
manusia, makhluk hidup lainnya, dan alam semesta menomorduakannya, karena dengan alasan demi
(dari mikro kosmos sampai makro kosmos). Hukum kepastian dan ketertiban hukum.

218
Susilo, Penegakan Hukum yang Berkeadilan dalam Perspektif Filsafat ....

Bicara tentang keadilan menurut Plato, keadilan dan mewajibkan setiap orang untuk bertindak sesuai
dalam suatu negara dapat dipelajari dari aturan yang dengan hukum alam dan atau perjanjian. Ini mengenai
baik dan jiwa. Jiwa manusia terdiri dari tiga bagian, milik pribadi dan kepentingan pribadi; c. Keadilan
bagian pikiran (logistikon), bagian perasaan dan yang menyangkut ketertiban umum, yaitu: 1. Keadilan
nafsu, baik psikis maupun jasmani (ephithumetikon), legal: mewajibkan di satu pihak lembaga legislatif
dan bagian rasa baik dan jahat (thumoeides). Jiwa untuk membuat undang-undang guna mencapai
itu teratur secara baik, sepanjang dihasilkan suatu kesejahteraan umum dan mewajibkan di lain pihak
kesatuan harmonis antara ketiga bagian itu. Hal ini para warga supaya patuh kepada undang-undang
terjadi bila perasaan dan nafsu-nafsu dikendalikan negara dan 2. Keadilan sosial mengatur hubungan
dan ditundukkan pada akal budi melalui rasa baik antara majikan dan buruh (A. Gunawan Setiardja,
dan jahat. Maka keadilan (dikaiosune) terletak dalam 1990:21-22).
batas yang seimbang antara ketiga bagian jiwa, sesuai Konsep menurut Aristoteles inilah yang menurut
dengan wujudnya masing-masing (Theo Huijbers, banyak kalangan merupakan awal mula diformu-
1982:23). lasikannya keadilan, sehingga menjadi titik tolak
Sedangkan menurut Aristoteles, hukum yang harus pengembangan konsep keadilan di kemudian hari.
ditaati demi keadilan, dibagi menjadi hukum alam Meskipun Plato membuat konsep keadilan tapi tidak
dan hukum positif. Hukum alam dianggap sebagai segamblang apa yang disampaikan oleh Aristoteles.
suatu hukum yang berlaku selalu dan dimana-mana Bahkan di dunia barat masih menggunakan konsep
karena hubungannya dengan aturan alam. Hukum itu yang dikemukakan oleh Aristoteles, karena masih
tidak pernah berubah, tidak pernah lenyap dan berlaku dianggap relevan dijadikan dasar untuk kehidupan
dengan sendirinya. Lain halnya dengan hukum positif, berbangsa dan bernegara menurut kultur barat, se-
yang sebagian besar berwujud undang-undang negara hingga melahirkan konsep-konsep arti keadilan di
yang berlaku sesudah ditetapkan dan diresmikan kemudian hari, yaitu dari Era Yunani tersebut sampai
isinya oleh instansi yang berwibawa. Tetapi, selain dengan era yang memasuki Era Postmodern.
keadilan dianggap sebagai keutamaan umum (yaitu Dari sudut pandang hermeneutika, konsep-konsep
ketaatan hukum alam dan hukum positif), terdapat keadilan tersebut mengikuti perkembangan zaman.
juga keadilan sebagai keutamaan moral khusus, yaitu Tidak melihat keadilan sebatas dari sudut pandang
yang menentukan hubungan baik antara satu orang subjektivitas pencetus konsep, melainkan juga melihat
dengan yang lainnya, lalu keadilan berada di tengah dari sudut pandang masalah, linguistik, dan metode
dua ekstrem (keseimbangan), dan untuk mengukur untuk memahaminya, sehingga pemaknaannya bisa
keseimbangan maka perlu ukuran kesamaan (dihitung keluar dari konsep yang terdahulu, karena ada unsur
dengan cara aritmetis atau geometris) (Theo Huijbers, dialektika dan spekulatifnya (adanya kemungkinan-
1982:29). kemungkinan pergeseran dari hal yang terbatas dari
Keadilan yang dimaksud oleh Aristoteles beranjak kata yang diorientasikan pada arah makna yang
dari filsafat politik, yang dikemukakan di tengah- dimaksud, menjadi pada hal yang tidak terbatas),
tengah berkecamuknya krisis politik di Yunani saat mengikuti konteks ruang dan waktu.
itu. Untuk itu, Aristoteles membagi keadilan dalam
beberapa hal, yakni: a. Keadilan dalam segi-segi Pengertian Hukum dalam Perspektif Filsafat
tertentu dalam kehidupan manusia, yaitu: 1. Keadilan Hermeneutik dan Ilmu Hukum
menentukan bagaimana seharusnya hubungan baik Disini penulis membatasi pembahasan hukum
di antara manusia; dan 2. Keadilan itu terletak dalam perspektif filsafat hermeneutik dan filsafat ilmu
di antara dua kutub yang ekstrim; orang harus hukum, sebatas konsep yang membahas kaitannya
menemukan keseimbangan dalam memperjuangkan hubungan hukum dengan moral. Penulis tidak
kepentingannya sendiri; orang tidak boleh hanya mengurai aliran dalam filsafat hukum, seperti: aliran
memikirkan kepentingannya sendiri dan melupakan hukum alam, positivisme hukum, utilitarianisme,
kepentingan orang lain; b. Pembagian keadilan mazhab sejarah, sociological jurisprudence, realisme
secara garis besar, yaitu: 1. Keadilan distributif: hukum, karena efektivitasnya sudah terangkum
mengatur hubungan antara masyarakat dan para dalam tiga tipe hukum. Penulis mengurai pendapat
anggota masyarakat, mewajibkan pemerintah untuk dari Philippe Nonet dan Philip Selznick, yang secara
memberi apa yang menjadi hak para anggota; dan garis besar membagi tiga tipe hukum, yaitu: Hukum
2. Keadilan komutatif: mengatur hubungan antara Represif, Hukum Otonom, dan Hukum Responsif
para anggota masyarakat yang satu dan yang lain, (Philippe Nonet dan Philip Selznick, 2003:13).

219
PERSPEKTIF
Volume XVI No. 4 Tahun 2011 Edisi September

Menurut Howard Zein, gagasan hukum represif disesuaikan keadaan bangsa dan negara masing-
menganggap bahwa tatanan hukum tertentu dapat masing, meskipun tidak sedikit ahli hukum yang
berupa ketidakadilan yang tegas. Keberadaan hukum mencemoohnya.
tidak menjamin keadilan, apalagi keadilan substantif. Pengertian Hukum di zaman modern tersebut
Sebaliknya, setiap tatanan hukum memiliki potensi tekanannya (aksentuasi) bersifat empiris-rationalistis,
represif sebab hingga tingkat tertentu ia akan selalu sehingga mempunyai makna yang luas dan dalam,
terikat pada status quo, dan dengan memberikan baju jadi dapat disebut pandangan secara holistik, diartikan
otoritas kepada penguasa, sehingga hukum membuat bahwa hukum itu tekanannya pada kemauan manusia
kekuasaan makin efektif. Paham ini menyatakan atau kehendak terdalam dari manusia yang diwujud-
moralitas bersifat komunal atau disebut juga dengan kan pada suatu organisasi teratur, apakah itu penguasa
moralitas pembatasan (Philippe Nonet dan Philip atau Negara (Thoga H. Hutagalung, 1993:18).
Selznick, 2003:23). Beranjak dari konsep-konsep tersebut, dari sudut
Paham lainnya, yaitu paham positivisme secara pandang filsafat hermeneutik untuk konsep hukum
radikal, tegas menyatakan bahwa antara hukum dan represif dan hukum otonom tentu sesuatu hal yang
moral itu berbeda, tidak dapat disatukan. Pandangan tidak bisa dijadikan sebagai pijakan berhukum untuk
ini beredar luas, bahkan mayoritas ilmuwan hukum era kekinian, terutama di Indonesia. Demikian halnya,
dan praktisi hukum terjebak terhadap dikotomi karena hukum bukan merupakan monopoli dari para
tersebut. Kalangan ini berpendapat, bahwa hukum penguasa, melainkan hukum merupakan suatu tatanan
adalah sebuah muatan sistem walaupun kita tidak di luar dari apa yang dinamakan peraturan tertulis.
membutuhkan atau tidak seharusnya menggunakan Hukum memiliki berbagai dimensi lain, seperti
hukum untuk menjustifikasi hukum. Guru ideologi budaya dan humanisme. Ada unsur transendensi
kalangan ini adalah Hans Kelsen yang sangat mem- disini, yakni hukum tidak boleh dipahami secara
pertahankan otonomi dari hukum (hukum otonom), sempit (sebatas positivistik semata). Positivistik
dan penolakannya pada hukum yang berdasarkan pada memandang hukum sebagai alat yang mengatur
etika. Hans Kelsen pun berargumen hukum alam itu layaknya mesin terhadap makhluk hidup, terutama
tidak ada, disana tidak ada prinsip keadilan dimana manusia. Padahal manusia sebagai makhluk hidup
legislator dan hakim dapat merasa tertarik. tentu punya dimensi budaya dan humanisme. Manusia
Menurutnya, validitas pada aturan khusus dalam tidak hanya dipandang sebagai kenyataan biologis
hukum didasarkan pada aturan yang lebih kuat atau naluriah sebagaimana halnya binatang, melainkan ada
lebih luas dan lebih akhir, dari sebuah grundnorm kenyataan psikologis, rohani, dan jasmani. Sedangkan
atau sebuah norma awal atau yang kuat. Kelsen terhadap hukum represif, filsafat hermeneutik tentu
berpendapat, hukum secara khusus mungkin diper- akan bisa menerima untuk pengembangan makna
lihatkan kevalidannya jika mereka konsisten dengan lebih lanjut menuju hukum yang lebih ideal untuk
norma awal. Pada awalnya berbeda secara moral, tapi era saat ini di Indonesia, karena tetap membuka dan
lama kelamaan akan diterima (Morris Ginsberg, 2003: menerima dimensi atau norma lain selain apa yang ada
203-204). Hukum ini kemudian dijadikan keyakinan di dalam hukum itu sendiri, sehingga unsur budaya
hukum di negara Eropa kontinental, dan imbasnya dan humanisme masih bisa diterima konsep ini.
sampai ke Indonesia. Pengertian lebih lanjut dari ahli filsafat sekaligus
Lebih bijak lagi aliran atau paham hukum res- ahli hukum di Indonesia, seperti apa yang dikemuka-
ponsif, yang pada dasarnya menyatakan keabsahan kan oleh O. Notohamidjojo, yang menyatakan secara
hukum didasarkan pada keadilan substantif dan keilmuan, pada umumnya ilmu hukum dalam teori
aturan-aturan tunduk pada prinsip dan kebijaksanaan. dan praktek merupakan ilmu praktis yang menyangkut
Artinya, bahwa moralitas yang nampak adalah perbuatan manusia. Beliau berargumentasi, bahwa
moralitas kerjasama, sementara aspirasi hukum ilmu hukum menuntut pada pemangku atau pelak-
dan politik berada dalam keadaan terpadu. Disini sananya untuk menilai dalam dua segi. Dua segi yang
ketidaktaatan dinilai dalam ukuran kerugian subs- dimaksud adalah pertama, menilai isi peraturan hukum
tantif dan dipandang sebagai tumbuhnya masalah dan kedua menilai dalam pelaksanaan hukum. Akan
legitimasi. Kesempatan untuk berpartisipasi diperluas tetapi kedua segi pekerjaan yuris tersebut terikat oleh
melalui integrasi bantuan hukum dan bantuan sosial norma-norma moral, keadilan, aequitas, kebenaran,
(Mulyana W. Kusumah, 1986:13). Aliran ini, mulai dan kebaikan. Makin besar ia merasa terikat oleh
membuka lebar mata hati beberapa ahli hukum untuk norma-norma moral itu, makin baik mutunya sebagai
mengembangkan atau memodifikasinya, untuk yuris, sebagai otoritas hukum, dan semakin besar sum-

220
Susilo, Penegakan Hukum yang Berkeadilan dalam Perspektif Filsafat ....

bangannya bagi pembangunan hukum dan masyarakat Akal pikiran memastikan bahwa istilah-istilah ini bisa
dari negara (O. Notohamidjojo, 1975:39). tinggal berdampingan, sejalan antara yang satu dengan
yang lainnya di dalam perbedaan, dalam satu tema; akal
Selain itu, kaitannya hukum dan perlindungan pikiran pun memastikan kesepakatan antara tema-tema
hukum, menurut Sudikno Mertokusumo pada yang berbeda tanpa membuyarkan masa sekarang dimana
hakekatnya hukum tidak lain adalah suatu bentuk tema-tema tersebut berlangsung.
perlindungan kepentingan manusia, yang berbentuk Dari uraian singkat beberapa konsep mengenai
kaidah atau norma. Oleh karena berbagai macam keadilan dan hukum dari sudut pandang falsafati,
ancaman dan bahaya yang sering menerpa manusia, untuk mengimplementasikannya dikembalikan
maka manusia perlu akan perlindungan terhadap kepada masing-masing pihak (ilmuwan hukum dan
kepentingan-kepentingannya agar manusia dapat praktisi hukum) untuk berkontemplasi kira-kira mana
hidup lebih tenteram. Perlindungan kepentingan itu yang lebih pas untuk dijadikan model agar keluar dari
tercapai dengan membentuk suatu peraturan hidup kekacaubalauan sistem hukum yang ada di Indonesia
atau kaidah disertai dengan sanksi yang bersifat saat ini. Dengan catatan, jangan sampai salah memilih
mengikat dan memaksa (Sudikno Mertokusumo, konsep yang nantinya bisa membuat keadaan hukum
1984:1). semakin semrawut dalam realisasinya.
Di era reformasi ini pun di Indonesia terbentuk
suatu aliran hukum baru, yaitu hukum progresif yang Problematika Penegakan Hukum yang Ber-
menawarkan sebuah konsep baru untuk mengatasi keadilan di Indonesia
permasalahan keadilan dan hukum di negeri ini. Sejak awal peradaban manusia, masalah keadilan
Progresif disini berasal dari kata progress yang merupakan masalah yang selalu dituntutkan. Sehingga
berarti kemajuan. Jadi hukum hendaknya mampu seluruh umat manusia umumnya mendambakan
mengikuti perkembangan zaman, mampu menjawab keadilan hadir dalam kehidupannya. Keadilan
perubahan zaman dengan segala dasar didalamnya, mulai muncul bersamaan dengan munculnya konsep
bahkan mampu melayani masyarakat dengan keadilan yang sangat banyak (sebagaimana telah
menyandarkan pada aspek moralitas dari sumber diurai oleh penulis sebelumnya).
daya manusia penegak hukum itu sendiri (Satjipto Karena masing-masing konsep memiliki plus
Rahardjo, 2007:9). minusnya, bahkan ada beberapa konsep yang
Proses pengembangan prinsip-prinsip penegakan banyak minusnya, maka dalam penerapan keadilan
hukum dan keadilan ini mencakup apa yang disebut ini pun ditanggapi banyak pihak dengan nada
sebagai tematisasi dalam apa yang dikatakan, skeptis, terutama dalam hal penegakan hukum, sebab
terutama dalam dunia yang terdiri atas sistem- beranggapan keadilan hanya milik orang tertentu saja
sistem representasional yang mapan. Filsafat (seperti: pemegang kekuasaan politik, sanak famili
postmodern memandang tematisasi sebagai suatu hartawan, keturunan bangsawan, dan lain-lain).
istilah yang mengandung arti singkronisasi antara Meskipun benar apa yang dikatakan Ign. Ridwan
yang baik dengan yang ada dengan cara tertentu Widyadharma, bahwa perilaku terjadi dalam dunia
untuk menolak kekuatan waktu diakronis. Akan peradilan (the behavior of court) di Indonesia
tetapi lebih lazim bisa juga tematisasi dijelaskan mengalami something wrong. Menurut penulis, orang
sebagai kebutuhan untuk menyuarakan tema-tema pesimislah yang tidak mendapatkan suatu keadilan,
umum dalam nomos, sehingga memungkinkan adanya karena tidak ada perjuangan memperoleh keadilan
seruan menuju prinsip-prinsip kontekstual (Gregory itu sendiri. Keadilan tidak semuanya di dapat dengan
Leyh, 2008:227). bersifat pasif dalam kehidupan, akan tetapi keadilan
Dalam pengertian seperti ini, hukum melekat itu ada apabila kita berfikir dan berjuang untuk
dalam ontologi, dalam suatu realitas sosial bersama. ke eksistensiannya, disinilah filsafat hermeneutik
Sebagai nomos, hukum juga menjadi suatu titik kritis difungsikan (Ign. Ridwan Widyadharma, 1999:19).
dalam ontologi. Titik kritis ini memungkinkan para Berbicara sistem peradilan, tidak lepas dengan
penegak hukum terlibat dalam pergulatan dalam teorinya kekuasaan kehakiman menurut John Locke
nomos penegak hukum dalam rangka memenuhi dan Monstesquieu, yang menyatakan harus terpisah
tujuan hukum yaitu berbuat adil. Jadi tematisasi dengan kekuasaan lain. Pemisahan kekuasaan
tidak hanya bersifat deskriptif, justru dimensi normatif dimaksudkan mencegah kesewenang-wenangan dan
kritis dalam hukum menuntut adanya penilaian yang menjamin kekuasaan kehakiman yang independen
rasional terhadap prinsip hukum yang bertentangan: (baik secara politis, administratif, struktural, maupun
(Gregory Leyh, 2008:227-228) personal) sesuai dengan prinsip negara hukum.

221
PERSPEKTIF
Volume XVI No. 4 Tahun 2011 Edisi September

Rasio lainnya adalah dengan adanya pemisahan Irah-irah ini sebenarnya secara normatif ter-
kekuasaan, diharapkan akan terwujud kebebasan cantum dalam ketentuan Pasal 2 Undang-Undang
para penegak hukum untuk menegakkan keadilan, Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehaki-
karena suatu persengketaan atau permasalahan harus man, bahkan dalam undang-undang sebelumnya (dari
diselesaikan dengan nilai-nilai filosofis-humanis- awal kemerdekaan sampai era reformasi pencantu-
religius. Untuk Negara Indonesia, nilai-nilai tersebut mannya selalu ada). Sudah menjadi kewajiban bagi
sudah ada cerminnya yaitu Pancasila (terutama dalam para penegak hukum untuk merefleksikan irah-irah
Sila Pertama dan Sila Kedua). tersebut. Terutama para hakim yang dihadapannya
Dari cermin itulah seharusnya para penegak selalu ada, bahkan dibuat dengan tangannya sendiri
hukum atau aparat di lembaga kekuasaan kehakiman irah-irah tersebut dalam suatu Putusan, karena kalau
bercermin ketika akan menegakkan keadilan, plus tidak dipenuhi maka Putusan itu dianggap batal demi
dengan menerapkan filsafat hermeneutik. Akan hukum. Selain diatur dalam undang-undang, irah-irah
tetapi yang terjadi, para aparatur penegak hukum ini pun sudah sesuai dengan ketentuan dalam Pasal
dalam menjalankan fungsi sistem peradilan justru 29 Undang-Undang Dasar 1945 (Konstitusi Bangsa
tidak mau berkaca pada Pancasila tersebut, bahkan Indonesia).
memalingkan diri dari nilai-nilai yang terkandung di Adanya kesenjangan dalam perlakukan di bidang
dalam Pancasila. penegakan hukum, jelas bertentangan dengan arti
Berdasarkan penelitian Indonesian Corruption dari keadilan itu sendiri, seperti yang dijelaskan
Watch (ICW) pada tahun 2001 dan penelitian Aristoteles, pantas adalah suatu bentuk sama; yaitu
Jonaedi Efendi di tahun 2009 diperoleh temuan melibatkan prinsip bahwa kasus sama seharusnya
mengenai pola-pola korupsi di lembaga peradilan diperlakukan dalam cara yang sama dan kasus yang
(judicial corruption) dari mulai penyelidikan berbeda diperlakukan dengan cara yang berbeda.
(kepolisian), penyidikan (kejaksaan), sampai pada Oleh karenanya menurut Morris Ginsberg, keadilan
putusan (pengadilan). Modus judicial corruption ini berlawanan kata dengan: a. pelanggaran hukum,
dilakukan oleh segelintir orang, kelompok, bahkan penyimpangan, ketidaktetapan, ketidakpastian,
berjamaah ketika melakukan perbuatan tercela yaitu keputusan yang tidak terduga, tidak dibatasi oleh
memanipulasi keadilan (Wasingatu Zakiah, dkk, 2004: peraturan; b. sikap memihak dalam penerapan suatu
9-15 dan Jonaedi Efendi, 2010:25-43). peraturan, dan c. aturan yang memihak atau sewenang-
Fakta empiris terbukti, ketidakadilan dalam wenang, melibatkan diskriminasi yang tidak mendasar
masyarakat dan perbedaan penanganan suatu perkara atau diskriminasi berdasarkan perbedaan yang tidak
yang mencolok antara si kaya dan si miskin atau si relevan (Morris Ginsberg, 2003:41).
penguasa dan si rakyat jelata, sudah menjadi gambaran Dari semua permasalahan yang ada dalam
yang dianggap biasa terjadi. Tentu ditinjau dari segi penegakkan hukum ini menurut penulis, inti yang
asas, hal ini bertentangan dengan prinsip equality menjadi akar terjadinya penyakit kronis hukum
before the law, bahkan bertentangan dengan harkat ini, ada pada konsep hukum yang sejak lama ada,
dan martabat manusia itu sendiri. yaitu adanya paham positivisme. Paham ini hanya
Padahal kodratnya semenjak lahir masing-masing mengagungkan akal pikiran, semua permasalahan
manusia merupakan pribadi yang berpotensi untuk hukum diselesaikan dengan logika silogisme dan
berkembang, sehingga mempunyai hak dan kewajiban mekanis (salah satu cabang dalam filsafat), sehingga
sebagai makhluk sosial dan warga negara. Untuk yang dijadikan rujukan selalu peraturan tertulis (yang
memenuhi hak dan kewajiban itu secara universal menurut Satjipto Rahardjo dalam suatu seminar
mengakui adanya Hak Asasi Manusia (selanjutnya menyatakan undang-undang hanya merupakan teks
disebut dengan HAM), bahkan secara tekstual oleh yang mati atau tidak bisa hidup apabila tidak ada
PBB pada tahun 1948 dituangkan di norma yang ‘ruh’nya, ruh itulah yang dinamakan keadilan di
dinamakan Universal Declaration of Human Right. dalam masyarakat).
HAM inilah yang kurang disensitifkan oleh para Singkatnya, konsep hukum yang diajarkan saat
penegak hukum. Padahal penegak hukum selalu ini sudah mendarah daging ke sendi-sendi kehidupan
mendengungkan dalam penegakkan hukum harus hukum (terutama bagi para pelaku hukum) di
berdasarkan irah-irah Demi Keadilan Berdasarkan Indonesia, adalah konsep yang lebih dari 80%
Ketuhanan Yang Maha Esa. Bahkan dalam memaknai bermakna positivistik, jadi dari akar inilah menjadi
keadilan, ada kewajiban untuk menghormati HAM salah satu penyebab para penegak hukum saat ini
masing-masing individu atau masyarakat. berperilaku seperti mekanik hukum.

222
Susilo, Penegakan Hukum yang Berkeadilan dalam Perspektif Filsafat ....

Disinilah sebenarnya penegak hukum khususnya Konsep tersebut dari sudut pandang hermeneutik
para hakim berperan untuk memaknai hukum dengan menyiratkan bahwa adanya kesadaran penuh, agar
nilai-nilai moralitas dan keadilan. Dikarenakan, makna keadilan sosial harus dilaksanakan dalam masyarakat
teks dalam hukum tertulis tidak sebagaimana adanya, sepenuhnya. Akan tetapi dalam kenyataannya hakekat
melainkan terlepas dari keyakinan para penyusunnya keadilan sosial kurang dipahami arti serta isinya,
dulu atau keyakinan baru para hakim. sehingga cita-cita masyarakat yang adil dan makmur
Menurut Ronald Dworkin, seorang hakim yang itu masih jauh dari harapan semua orang di Indonesia,
mempunyai data atau informasi yang lebih banyak khususnya para pencari keadilan.
dibandingkan para penyusunnya bisa berkesimpulan Dengan demikian, hermeneutika memandang
bahwa ada klausa yang memberikan perlindungan bahwa pemahaman terhadap keadilan sosial selalu
hukum yang setara. diinterpretasikan dengan sebuah isyarat bahwa
Bahkan hakim bisa dibenarkan bila memahami pemahaman itu dikondisikan dengan konteks dimana
hukum mencakup misalnya larangan diskriminasi pemahaman terhadap penerapan keadilan sosial itu
berdasarkan basis gender atau kecenderungan terjadi. Pemahaman tersebut merupakan aplikasi
seksual, yakni kriteria yang tidak pernah dipikirkan dalam pengertian bahwa keadilan sosial tidak hanya
oleh para penyusun teks hukum tersebut (Gregory muncul dari latar belakang kontekstual namun juga
Leyh, 2008:270). memperhatikan ciri-ciri spesifik dari konteks tersebut,
Dengan kata lain, Dworkin mengakui bahwa dengan memfokuskan diri pada beberapa bagian dan
pandangan interpretasi sebagai upaya untuk mencari mengkonfigurasikan kembali konteksnya melalui
tahu apa yang dimaksud oleh para penyusun hukum upaya pencapaian terhadap pemahaman keadilan
sehingga memiliki kecocokan yang sempurna dengan sosial sebagaimana dimaksud dalam Pancasila.
pandangan bahwa para penyusun hukum bisa saja Mohammad Hatta senantiasa mengemukakan
keliru dalam mengaplikasikan hukum mereka secara Pancasila terdiri dari dua lapis fundamen, yaitu: a.
tertulis. Alasan ini pun didapat secara fakta, bahwa fundamen politik; b. fundamen moral (etik agama).
para legislator (pembentuk hukum tertulis) itu bisa Negara dan pemerintahannya akan memperoleh
keliru mengenai apa yang diperbolehkan atau dilarang dasar yang kokoh dan memerintahkan berbuat benar
oleh hukum mereka sendiri, sehingga menandakan apabila meletakkan dasar moral di atas. Dengan politik
ada kesewenangan pemikiran intensionalis dalam pemerintahan yang berpegang kepada moral yang
interpretasi hukum (Gregory Leyh, 2008:271). tinggi diciptakan tercapainya suatu keadilan sosial
Dapatlah disimpulkan kondisi yang demikian, bagi seluruh rakyat Indonesia (Roeslan Saleh, 1991:
dikarenakan kurang adanya pemahaman akan makna 46). Selanjutnya dikatakan bahwa: Dasar Ketuhanan
keadilan dan hukum dari sudut pandang yang falsafati, Yang Maha Esa menjadi dasar yang memimpin cita-
terutama hermeneutika. cita negara kita, yang memberikan jiwa kepada usaha
menyelenggarakan segala yang benar, adil dan baik.
Prospek Filsafat Hermeneutik dan Filsafat Ilmu Sedangkan dasar kemanusiaan yang adil dan beradab
Hukum dalam Membenahi Penegakan Hukum adalah kelanjutan dalam perbuatan dan praktek
yang Berlandaskan Keadilan sesuai Pancasila hidup daripada dasar yang memimpin tadi. Dasar
Konsep keadilan di Indonesia adalah yang kemanusiaan yang adil dan beradab harus menyusul,
berasaskan keadilan sosial sebagaimana tertuang berangkaian dengan dasar yang pertama. Letaknya
dalam Sila Ketiga dari Pancasila. Dipertegas lagi tidak dapat dipisah dari itu, sebab dia harus dipandang
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai kelanjutan ke dalam praktek hidup daripada
yang menyatakan “… terbentuk dalam suatu susunan cita-cita dan amal Ketuhanan Yang Maha Esa.
negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat, Kaitannya Pancasila dengan penegakan hukum
dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha yang berkeadilan, penulis sependapat dengan Sudjito
Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan yang menyatakan bahwa sebenarnya konsep negara
Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat hukum Indonesia merupakan perpaduan 3 (tiga) unsur
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, yaitu Pancasila, hukum nasional dan tujuan negara.
serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi Ketiga unsur tersebut merupakan satu kesatuan utuh.
seluruh rakyat Indonesia”. Selanjutnya, dikatakan Pancasila merupakan dasar pembentukan hukum
bahwa Pemerintah Indonesia “ikut melaksanakan nasional. Hukum nasional disusun sebagai sarana
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, untuk mencapai tujuan negara. Tidak ada artinya
perdamaian abadi dan keadilan sosial”. hukum nasional disusun apabila tidak mampu

223
PERSPEKTIF
Volume XVI No. 4 Tahun 2011 Edisi September

mengantarkan bangsa Indonesia mencapai kehidupan yang namanya keadilan. Jadi tidak ada yang saling
yang sejahtera dan bahagia dalam naungan ridha Illahi mendahului, ibarat kepingan mata uang hukum tidak
(Sudjito, 2009:5). Dengan demikian secara falsafati bisa lepas dari masyarakat, meskipun dua hal yang
hermeneutika dan ilmu hukum, konsep penegakan berbeda, yang menjadi pengikat (di tengah-tengah)
hukum yang berdasarkan “Keadilan” dan “Ketuhanan kepingan tersebut adalah keadilan.
Yang Maha Esa” pun wajib hukumnya mengacu pada Dalam kaitannya hubungan keadilan, hukum dan
nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. masyarakat, penulis sepakat dengan pendapat Satjipto
Pancasila selain sebagai komponen pokok sistem Rahardjo, bahwa ilmu hukum harus mengawal hukum
nilai hukum nasional dan staatsfundamentalnorms, terus-menerus yang mengalami perkembangan dan
termasuk dalam lingkup kefilsafatan bangsa dan perubahan sampai dengan hari ini, Sehingga akan
negara Indonesia. Kedudukan Pancasila sebagai dipahami ternyata hukum itu tidak otonom. Hukum
filsafat dapat ditinjau paling tidak menurut Abubakar itulah merupakan bagian dari pranata untuk hidup
Busro dengan tiga kenyataan, yakni kenyataan secara tertib. Jadi, hukum adalah untuk manusia.
materiil (dari jangkauan dan isinya bersifat nilai- Dengan demikian hukum tunduk pada kehidupan
nilai fundamental, universal, komprehensif, dan sosial manusia yang jauh lebih luas (Satjipto Rahardjo,
metafisis, bahkan pokok-pokok pengajarannya 2009:74). Menurut penulis maka perlu adanya suatu
meliputi nilai-nilai keagamaan dan kemanusiaan), elaborasi mengenai hukum progresif yang digagas
kenyataan fungsional praktis (merupakan jalinan oleh Satjipto Rahardjo untuk menyelesaikan masalah
tata nilai dalam sosio-budaya bangsa Indonesia, koheren hubungan keadilan, hukum, dan masyarakat.
sehingga wujudnya dapat dilihat berupa adanya Dalam hukum progresif selalu disemaikan bagi
prinsip kepercayaan kepada Tuhan, tepa selira, setia pengembangan kekuatan yang tersimpan di dalam
kawan, kekeluargaan, gotong-royong, musyawarah- hukum, sehingga menolak cara berhukum yang
mufakat, dan lain-lain), dan kenyataan formal (para menyebabkan dinamika hukum hilang karena hukum
Pendiri Negara mengangkat dan merumuskan menjadi statis dan stagnan.
Pancasila sebagai ideologi yang wujudnya tampak Terhambatnya kekuatan yang sebenarnya, ada
dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai dasar Negara secara inheren dalam hukum, sebagai akibat dari ulah
Kesatuan Republik Indonesia) (Abubakar Busro, para penegak hukum sendiri yang menyebabkannya,
1989:26-27). yaitu dengan menerapkan cara-cara berhukum yang
Istilah adil dan beradab di dalam sila kedua hanya dengan mengeja teks undang-undang. Padahal
Pancasila, oleh Notonagoro dimaknai dengan rasa hukum tidak berdiri sendiri, adakalanya memasuki
kemanusiaan yang adil terhadap diri sendiri, terhadap wilayah keilmuan yang lain. Misalnya memasuki
sesama manusia, terhadap Tuhan atau causa prima. wilayah psikologi, dengan itu dapat diperoleh suatu
Disini terkandung prinsip perikemanusiaan atau konsep bahwa hukum tidak hanya berurusan dengan
internasionalisme dan terlaksananya penjelmaan dari peraturan melainkan juga perilaku manusia. Ada tiga
pada unsur-unsur hakekat manusia, jiwaraga, akal- solusi yang coba ditawarkan oleh Satjipto Rahardjo
rasa-kehendak serta sifat kodrat perseorangan dan melalui gagasan atau ide hukum progresifnya,
makhluk sosial. Semua ini dikarenakan kedudukan kaitannya dengan keterpurukan hukum di Indonesia,
kodrat pribadi berdiri sendiri dan makhluk Tuhan yaitu: Pertama, penggunaan kecerdasan spiritual
Yang Maha Esa sebagai causa prima dalam kesatuan untuk bangun dari keterpurukan hukum, memberi
majemuk-tunggal (monopluralis), itu adalah dalam pesan penting kepada kita (terutama akademisi dan
bentuk dan penyelenggaraan hidup yang bermartabat praktisi hukum) untuk berani mencari jalan baru (rule
setinggi-tingginya (Notonagoro, 1987:99-100). breaking) dan tidak membiarkan diri terkekang cara
Mengenai hubungan hukum dengan sosial ke- menjalankan hukum yang lama dan tradisional yang
masyarakatan, ada ungkapan yang menyatakan di jelas-jelas lebih banyak melukai rasa keadilan. Kedua,
samping masalah tertinggalnya hukum oleh peruba- pencarian makna lebih dalam hendaknya menjadi
han-perubahan sosial, maka mungkin akan muncul ukuran baru dalam menjalankan hukum dan bernegara
problem lain yaitu tertinggalnya perkembangan mas- hukum. Para stakeholder hukum di Indonesia
yarakat oleh perubahan yang terjadi dalam hukum (akademisi dan praktisi hukum) didorong untuk selalu
atau perubahan yang ingin dicapai melalui hukum bertanya kepada nurani tentang makna hukum lebih
tidak diikuti oleh masyarakat. Menurut penulis, hal ini dalam. Ketiga, hukum hendaknya dijalankan tidak
kurang pas karena hukum harus seiring sejalan dengan menurut prinsip logika saja, tetapi dengan perasaan,
masyarakat, dan senantiasa bergandengan dengan apa kepedulian, dan semangat keterlibatan (compassion)

224
Susilo, Penegakan Hukum yang Berkeadilan dalam Perspektif Filsafat ....

kepada bangsa kita yang sedang menderita. Segala akademisi (ilmuwan) dan praktisi hukum di Indonesia,
daya dan upaya hendaknya dilakukan untuk bangun karena pandangan positivistiknya sudah mendarah
dari keterpurukan dan sekali lagi perlu menggugat diri daging bersemayam dalam pikirannya.
yang selama ini mempunyai cara berpikir yang lebih Sedangkan, solusi terbaik untuk menjawab
banyak mendatangkan kesusahan. Sudah semestinya permasalahan tersebut bagi para penegak hukum
hukum merupakan institusi yang berfungsi untuk di Indonesia adalah mengembalikan permasalahan
menjadikan bangsa kita, merasa sejahtera dan bahagia kepada nilai jati diri bangsa sesungguhnya yakni
(Satjipto Rahardjo, 2007:21-22). Pancasila dan Pembukaan UUD 1945, serta menerima
Dari tiga solusi yang ditawarkan oleh Satjipto konsep hukum baru yaitu hukum progresif (bagian
Rahardjo tersebut, penulis menilai keadilan yang dari hukum nondoktrinal) yang lebih menekankan
dicapai hanya sebagai keadilan dari sudut pandang pada nilai-nilai moral-sosial-relijius dan memandang
spiritual justice, moral justice dan social justice, tetapi suatu permasalahan ditinjau dari berbagai disiplin
belum secara tegas menyentuh pada philosophy and keilmuan yang bisa sinkron terhadap ilmu hukum
legal justice yang sekiranya dapat menjembatani itu sendiri.
penganut paham hukum doktrinal dan nondoktrinal,
sehingga penulis menambahkan satu solusi lagi agar Rekomendasi
terwujud keadilan secara hermeneutik dan legal Perlu adanya reformasi kurikulum pengajaran
filosofis, yaitu penerapan hukum secara filosofis bidang hukum di perguruan tinggi (S1, S2, dan S3).
tetap berpedoman kepada Pancasila dan Pembukaan Ketika sedang mengajar, sebaiknya tiap-tiap mata
Undang-Undang Dasar 1945 yang berisi mengenai kuliah selalu disisipi nilai-nilai moral dan humanisme
visi dan misi bangsa dan negara Indonesia, karena sesuai karakter dan budaya bangsa Indonesia secara
keadilan yang dicita-citakan dalam Pancasila dan komprehensif. Bahkan untuk seluruh mata kuliah lebih
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 di samping diutamakan pada “penyemaian” landasan teori-teori
bersifat relijius-sosialis, juga bersifat luhur, universal, atau filsafat hukumnya melalui metode hermeneutik
dan jauh dari sifat sekuler-individualistis-materialistis. yang pro keadilan dan terbuka dengan ilmu-ilmu
Keduanya ini pun bisa sebagai perekat bangsa dan lainnya. Terlebih penting ada peran pemerintah
negara Indonesia, yang saat ini sedang bercerai-berai pusat untuk mendukung berkembangnya hukum
terutama kalangan atau penganut dua paham tersebut nondoktrinal, karena konfigurasi politik hukum
(doktrinal dan non doktrinal). Karena Pancasila oleh nondoktrinal sangat besar pengaruhnya apabila ada
kalangan ahli hukum doktrinal di Indonesia diakui political will dari pemerintah pusat.
sebagai staatsfundamentalnorms, begitu pun dan
Pembukaan UUD 1945 dianggap sebagai sesuatu yang DAFTAR PUSTAKA
sakral keberadaannya, sehingga harus mereka ikuti. Buku:
Sedangkan dari pemikiran-pemikiran ahli hukum Bakry, H. Hasbullah, 1981, Sistematik Filsafat,
nondoktrinal di Indonesia, Pancasila maupun dan Jakarta: Widjaya Jayakarta.
Pembukaan UUD 1945 sudah sesuai dengan alur Busro, Abubakar, 1989, Nilai dan Berbagai Aspeknya
pikirnya atau konsep yang selama ini dibangun. dalam Hukum, Jakarta: Bhrata.
Capra, Fritjof, 1982, The Turning Point: Science,
PENUTUP Society, and the Rising Culture, London: Flamingo
Kesimpulan an Imprint of Harper Collins Publishers.
Faktor-faktor yang menyebabkan keadilan sulit Efendi, Jonaedi, 2010, Mafia Hukum: Menguak
untuk ditegakkan di negara Indonesia ditinjau Praktik Tersembunyi Jual-Beli Hukum dan
dari filsafat hermeneutik dan filsafat ilmu hukum Alternative Pemberantasannya dalam Perspektif
adalah faktor yang bersifat fundamental, yakni: Hukum Progresif, Jakarta: Prestasi Pustaka
salahnya sistem pendidikan hukum yang melulu Publisher.
mengajarkan pola pikir yuridis-normatif (bahkan Ginsberg, Morris, 2003, Keadilan dalam Masyarakat,
prosentase pengajarannya lebih dari 80% berkisar terjemahan dari “On Justice in Society”, Yogya-
sistem dan filsafat hukum yang positivistik). Faktor karta: Pondok Edukasi.
lainnya adalah kurangnya pendidikan karakter bangsa Huijbers, Theo, 1995, Filsafat Hukum, Yogyakarta:
Indonesia dan masih lemahnya pelaksanaan moral Kanisius.
dalam penegakan hukum. Dan yang terakhir kurang _______ , Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah,
didukungnya konsep hukum nondoktrinal oleh banyak Yogyakarta: Kanisius.

225
PERSPEKTIF
Volume XVI No. 4 Tahun 2011 Edisi September

Hutagalung, Thoga H., 1993, Beberapa Pemikiran ______ , 2009, Pendidikan Hukum sebagai Pen-
tentang Hukum yang Dikemukakan oleh Beberapa didikan Manusia: Kaitannya dengan Profesi
Aliran, Bandung: CV. Armico. Hukum dan Pembangunan Hukum Nasional,
Kusumah, Mulyana W., 1986, Perspektif, Teori, dan Yogyakarta: Genta Publishing.
Kebijaksanaan Hukum, Jakarta: CV. Rajawali. Saleh, Roeslan, 1991, Penjabaran Pancasila dan
Leyh, Gregory, 2008, Hermeneutika Hukum: Sejarah, Undang-Undang Dasar 1945 dalam Perundang-
Teori, dan Praktik (terjemahan oleh M. Khazim), undangan, Jakarta: Sinar Grafika.
Bandung: Nusa Media. Semiawan, Conny R., dkk, 1988, Dimensi Kreatif
Marzuki, Peter Mahmud, 2008, Pengantar Ilmu dalam Filsafat llmu, Bandung: Remadja Karya.
Hukum, Jakarta: Kencana. Setiardja, A. Gunawan, 1990, Dialektika Hukum
Mertokusumo, Sudikno, 1984, Bunga Rampai Ilmu dan Moral: dalam Pembangunan Masyarakat
Hukum, Yogyakarta: Liberty. Indonesia, Yogyakarta: Kanisius.
Nurrachman, Nani, 2004, dari tulisannya yang Sudjito (ahli filsafat ilmu hukum dari UGM Yogya-
berjudul Keadilan dalam Perspektif Psiko-Sosial karta), 2006, Chaos Theory of Law: Penjelasan
dalam buku Keadilan Sosial: Upaya Mencari atas Keteraturan dan Ketidakteraturan, dalam
Makna Kesejahteraan Bersama di Indonesia, Media Hukum Volume 18, Nomor 2.
Jakarta: Kompas. ______, 2009, Negara Hukum dalam Perspektif
Notonagoro, 1987, Pancasila Secara Ilmiah Populer, Pancasila, Yogyakarta, Makalah yang disampaikan
Jakarta: Bina Aksara. dalam Kongres Pancasila, Kerjasama Mahkamah
Notohamidjojo O., 1975, Demi Keadilan dan Konstitusi RI dan Universitas Gadjah Mada.
Kemanusiaan: Beberapa Bab dari Filsafat Hukum, Sugiharto, Bambang I., 1996, Postmodernisme:
Jakarta: BPK Gunung Mulia. Tantangan bagi Filsafat, Yogyakarta: Kanisius.
Nonet, Philippe dan Selznick, Philip, 2003, Hukum Widyadharma, Ign. Ridwan, 1999, Menata Peradilan
Responsif: Pilihan di Masa Transisi (terjemahan Indonesia, Semarang: Badan Penerbit Universitas
dari “Law & Society in Transition: Toward Diponegoro.
Responsive Law” dengan penerjemah: Rafael Zakiah, Wasingatu, dkk, 2004, Panduan Eksaminasi
Edy Bosco, Jakarta: HuMa. Publik dan Hasil Eksaminasi Publik Perkara
Rahardjo, Satjipto, 2007, Membedah Hukum Pro- Akbar Tanjung, Jakarta: Indonesian Corruption
gresif, Jakarta: Kompas. Watch.
______ , 2009, Lapisan-Lapisan dalam Studi Hukum,
Malang: Bayu Media Publishing.

226

Anda mungkin juga menyukai