Anda di halaman 1dari 2

Lelaki Pembenci Hujan

Karya Hamdani MW. Dikliping tanggal 14 April 2015 dalam kategori Arsip Cerpen, Kedaulatan Rakyat, Koran Lokal

LELAKI itu berdri di pos ronda kampung dengan kaki gemetaran. Kedua tangannya bersedekap erat,
menahan gigil. Sesekali tampias air hujan menyapu wajahnya. Membuat matanya berkerejap-kerejap.
Lelaki itu merutuk karena lupa membawa payung atau jas hujan walau tahu hari mendung. Tadi ia
memang tak sempat berpikir panjang, karena toh ia hanya berlari beberapa puluh meter saja untuk
sampai ke warung Lik Kirun.
Tablet penurun panas yang baru saja ia beli dari warung masih di saku. Angin kembali bertiup
membawa rasa beku. Suasana bertambah gelap, namun ia tak tahu jam berapa saat itu, karena neon
di emperan tak menyala. Bayangan Sumi, istrinya terlintas di kepalanya.
Terbayang istrinya meringkuk di balik selimut sembari menahan demam. Tadi sebelum pergi, ia
sentuh dahi dan lehernya terasa panas. Saat ia pergi tadi, ia tahu anaknya yang masih dua tahun
tertidur pulas di ayunan.
Dan kini, ia masih berdiri di gardu ronda itu sendirian.
Hari semakin gelap dan hujan semakin deras. Angin datang berputar, membuat pepohonan
terombang-ambing dengan hebatnya. Lelaki itu tak bisa melihat dengan jernih, selain karena tak ada
lampu, jarak pandangnya terhalang tirai hujan yang menebal. Lelaki itu berpikir, apa ia akan
menembus hebatnya hujan? Atau ia harus menunggu sendirian di tempat itu?
“Ke mana orang-orang?” keluhnya dalam hati.
Ia jelas-jelas ingat, gardu ronda tempat ia berdiri berada tak jauh dari rumah-rumah penduduk, yang
tak lain tetangganya sendiri. Ia juga tahu, neon yang terpasang di emperan gardu itu stromnya
diambilkan dari rumah Pakdhe Joyo, tepat di belakang gardu ronda itu.
“Tapi ke mana orang-orang? Kok tak ada satu pun yang kehujanan di jalan dan berteduh di gardu
ronda ini?” teriak lelaki itu, yang tiba-tiba merasa begitu kesepian.
Dalam diamnya, pikiran lelaki itu mengembara. Lalu ia teringat istrinya, ya, terutama dirinya yang
selama ini tersiksa oleh sikap wanita itu. Kalau saja istrinya tidak sakit seperti ini, tentu lelaki itu yang
akan merasa sakit hati oleh sikapnya.
Membayangkan sikap istrinya, membuat lelaki itu lebih suka sendiri dalam hujan seperti ini. Yah,
kesendirian seperti ini, ia merasa seperti terbebas dari tekanan. Semua itu berawal dari PHK dari
pabrik tekstil tempat lelaki itu bekerja dulu.
Pisau PHK membuat lelaki itu limbung kehilangan pegangan. Tanpa keahlian dan modal, lelaki itu
bekerja serabutan. Terkadang menawarkan motor, mobil, tanah, atau apa pun yang dapat dijual.
Komisi yang ia peroleh tak tentu besarnya, tapi lebih sering tak cukup untuk mengepulkan asap dapur.
Saat itulah istrinya turun tangan, bekerja apa saja asal halal. Mulai dari mencuci hingga memasak
untuk tetangga kiri-kanan. Untung banyak yang suka dengan masakan Sumi. Hingga suatu ketika
juragan Karso yang seorang duda meminjaminya modal tanpa bunga untuk membuka warung.
Lelaki di gardu ronda itu tak berdaya meski sebenarnya hatinya dibakar api cemburu. Rupanya,
tangan dingin Sumi dan suntikan modal dari sang duda membuahkan hasil. Warung makannya
berkembang pesat. Dan lelaki itu tetap saja terpuruk sebagai suami pecundang. Kehidupan ekonomi
keluarga lelaki itu memang membaik, tapi tidak untuk kehidupan batinnya. Ia merasa sebagai lelaki
paling menderita di bawah bayang-bayang istrinya.
***
Hujan masih turun dengan lebat, dan lelaki itu terkurung sendirian di dalam gardu ronda. Namun
diam-diam, dalam kesendirian lelaki itu merasakan sebuah kebebasan. Ia tahu saat ini istrinya
berharap dirinya segera pulang membawa obat untuknya. Dada lelaki itu mengembang, merasa puas
membayangkan istrinya berharap-harap padanya.
Karena itu ia berharap hujan turun lebih lama dan semakin deras, karena hanya dengan cara itulah ia
punya alasan untuk tidak pulang. Dalam hitungan menit, lelaki itu merasa demikian mencintai hujan.
Lalu ia merentangkan kedua tangannya, kedua matanya terpejam. Ia menyerahkan diri sepenuhnya
pada hujan. Tubuhnya terasa terayun-ayun berputar dan ia menikmatinya, teringat sewaktu kecil naik
ombak banyu di arena pasar malam.
Lalu seperti mimpi, lamat-lamat didengarnya suara bertalu-talu. Semakin lama semakin jelas. Seperti
suara kentongan ditabuh bertalu-talu. Suara itu lambat-laun membuatnya tersadar dan matanya
terbuka. Kedua mata itu berkerejap-kerejap menahan pedih oleh air hujan. Dan suara kentongan itu
semakin riuh terdengar.
“Tanah longsor! Tanah longsor!”
Saat lelaki itu benar-benar terjaga, tiba-tiba ia teringat istri dan anak-anaknya. Seperti punya kekuatan
berlipat, lelaki itu melesat menembus lebatnya hujan. Hanya satu yang ia tuju, rumah. Kerinduan akan
istri dan anaknya memuncak. Sampai di depan halaman ia tertegun.
Rumahnya dan beebrapa rumah tetangganya telah berubah menjadi timbunan tanah. Orang-orang
berlarian ke sana kemari dalam kebingungan sembari berteriak, memanggil dan meratap. Lelaki itu
terpaku dengan lutut gemetar, lalu jatuh tersimpuh. Air hujan telah bercampur air mata. Perasaan
lelaki itu berubah seketika: ia sangat membenci hujan. [] -k
Solo, 2015

Anda mungkin juga menyukai