Tugas Po Difteri
Tugas Po Difteri
PENELITIAN OPERASIONAL
Difteri merupakan penyakit yang sangat menular yang disebabkan oleh infeksi bakteri
Corynebacterium diphteriae. Umumnya menyerang anak usia di bawah 15 tahun namun dapat
juga menyerang usia dewasa. Difteri merupakan salah satu penyakit yang dapat dicegah
dengan imunisasi, namun seiring dengan pelaksanaan imunisasi sebagai upaya
penanggulangannya, penyakit ini masih tetap ada ditemui di masyarakat, bahkan di beberapa
wilayah di Indonesia pernah dan sedang terjadi KLB.
Sebagai rumah sakit rujukan nasional penyakit infeksi dan penyakit menular, RSPI
Prof. Dr. Sulianti Saroso telah merawat penyakit difteri dari berbagai wilayah di dalam dan
luar DKI Jakarta. Keberhasilan penatalaksanaan kasus difteri di RSPI Prof. Dr. Sulianti
Saroso tidak terlepas pemberian ADS sebagai penetralisir dari toksin yang dilepaskan oleh
kuman Difteri. Oleh karena itu ketersediaan ADS menjadi sangat penting dalam keberhasilan
tatalaksana kasus Difteri. Namun penatalaksanaan kasus Difteri sering terkendala dengan
kejadian stock out ADS di RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso. Dari latar belakang tersebut, tujuan
utama dari kajian ini adalah untuk mengetahui permasalahahan terkait ketersediaan ADS di
Instalasi Farmasi RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso.
Metodologi kajian ini adalah observasi, wawancara, pengumpulan data dan diskusi
serta pertemuan koordinasi dengan mengundang narasumber terkait.
Data yang terkumpul akan dianalisis secara deskriptif dan akan dimanfaatkan untuk
kepentingan program kepada pimpinan serta peningkatan pelayanan kasus Difteri di RSPI
Prof. Dr. Sulianti Saroso.
BAB I
PENDAHULUAN
1.4 TUJUAN
1.4.1 TUJUAN UMUM
Mengetahui permasalahan yang menyebabkan ketidaktersediaan ADS di RSPI
Prof. Dr. Sulianti Saroso.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DIFTERI
2.1.1 PENGERTIAN DIFTERI
Difteri adalah suatu penyakit bakteri akut yang disebabkan oleh kuman
Corynebacterium diphteriae, berbentuk gram positif, tidak berspora, bercampak atau
kapsul. Ada 3 (tiga) tipe variant dari Corynebacterium diphteriae yaitu tipe gravis,
intermedius dan mitis.15 Corynebacterium diphteriae dapat diklasifikasikan dengan
cara Bacteriophage lysis menjadi 19 tipe. Tipe 1 sampai 3 termasuk tipe mitis, tipe 4-6
termasuk tipe intermedius, tipe 7 termasuk tipe gravis yang tidak ganas, sedangkan
tipe-tipe lainnya termasuk tipe gravis yang virulen.16 Difteri umumnya menyerang
tonsil, faring, laring, hidung, adakalanya menyerang selaput lendir atau kulit serta
kadang-kadang konjungtiva dan vagina. Timbulnya lesi yang khas disebabkan oleh
cytotoxin specific yang dilepaskan oleh bakteri. Lesi Nampak sebagai suatu membran
asimetrik kebau-abuan yang dikelilingi dengan daerah inflamasi. Tenggorokan sakit,
pada diphtheria faucial atau pada diphtheria faringotonsiler diikuti dengan kelenjar
limfe membesar dan melunak. Pada kasus-kasus sedang dan berat ditandai dengan
edema atau pembengkakan di leher, adanya pembentukan membrane pada trakea
secara ektensif dan dapat terjadi obstruksi jalan nafas.17
2. Pemeriksaan Laboratorium
Spesimen untuk biakkan harus diambil dari hidung dan tenggorokan dan
salah satu tempat lesi mukokutan lain. Sebagian membran harus diambil dan
diserahkan bersama eksudat dibawahnya. Laboratorium harus diberitahu untuk
menggunakan media khusus. C. diphteriae tahan kekeringan. Pada daerah yang
jauh, spesimen pulas dapat ditempatkan pada bungkus silika gel dan dikirim ke
laboratorium rujukan. Evaluasi pulasan langsung dengan menggunakan warna
Gram atau antibodi fluoresens spesifik tidak dapat dipercaya. Organisme
coryneform harus diidentifikasi sampai tingkat spesies dan uji toksigenisitasnya
serta kerentanan anti mikrobanya harus dilakukan untuk isolat C. diphteriae.21
Tabel 2. Dosis Penggunaan ADS Berdasarkan Lokasi Membran dan Lama Sakit.4
Tipe Difteria Dosis ADS (Unit) Cara pemberian
Difteria hidung 20.000 Intramuskular
Difteria Tonsil 40.000 Intramuskular atau intravena
Difteria faring 40.000 Intramuskular atau intravena
Difteria laring 40.000 Intramuskular atau intravena
Kombinasi lokasi di atas 80.000 Intravena
Difteri + komplikasi, 80.000-100.000 Intravena
bullneck
Terlambat berobat (>72 80.000-100.000 intravena
jam), lokasi dimana saja
Terapi antibiotik bukanlah sebagai substitusi terhadap terapi anti toksin. Pemberian
intramuskuler penisilin prokain 50.000-100.000 unit/kgBB/hari selama 10 hari.
Perenc
Penga
anaan
daan
Kebut
uhan
Peneri
Pemili maan
han
Admi
nistra
Penge Penyi
si
ndalia mpana
n n
Pemus Pendistri
nahan busian
2.3.2 PENGANGGARAN
Menurut Seto (2004) fungsi penganggaran adalah menyangkut kegiatan-
kegiatan dan usaha-usaha untuk merumuskan perincian penentuan kebutuhan dalam
satu skala standar yaitu dengan skala mata uang (dollar, rupiah, dan lain-lain).31
Begitu juga menurut Aditama (2007) menambahkan dengan memperhatikan
pengarahan dan pembatasan yang berlaku terhadapnya.32
2.3.3 PENGADAAN
Pengadaan merupakan kegiatan yang dimaksudkan untuk merealisasikan
perencanaan kebutuhan. Pengadaan yang efektif harus menjamin ketersediaan,
jumlah, dan waktu yang tepat dengan harga yang terjangkau dan sesuai standar mutu.
Pengadaan merupakan kegiatan yang berkesinambungan dimulai dari pemilihan,
penentuan jumlah yang dibutuhkan, penyesuaian antara kebutuhan dan dana,
pemilihan metode pengadaan, pemilihan pemasok, penentuan spesifikasi kontrak,
pemantauan proses pengadaan, dan pembayaran.
Untuk memastikan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai sesuai dengan mutu dan spesifikasi yang dipersyaratkan maka jika proses
pengadaan dilaksanakan oleh bagian lain di luar Instalasi Farmasi harus melibatkan
tenaga kefarmasian.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengadaan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai antara lain:
a. Bahan baku Obat harus disertai Sertifikat Analisa
b. Bahan berbahaya harus menyertakan Material Safety Data Sheet (MSDS)
c. Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai harus
mempunyai Nomor Izin Edar
d. Expired date minimal 2 (dua) tahun kecuali untuk Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai tertentu (vaksin, reagensia, dan lain-
lain).
Rumah Sakit harus memiliki mekanisme yang mencegah kekosongan stok
Obat yang secara normal tersedia di Rumah Sakit dan mendapatkan Obat saat
Instalasi Farmasi tutup.
Pengadaan dapat dilakukan melalui:
a. Pembelian
Untuk Rumah Sakit pemerintah pembelian Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai harus sesuai dengan ketentuan pengadaan barang dan
jasa yang berlaku.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pembelian adalah:
1) Kriteria Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai,
yang meliputi kriteria umum dan kriteria mutu Obat
2) Persyaratan pemasok
3) Penentuan waktu pengadaan dan kedatangan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
4) Pemantauan rencana pengadaan sesuai jenis, jumlah dan waktu.
b. Produksi Sediaan Farmasi
Instalasi Farmasi Rumah Sakit dapat memproduksi sediaan tertentu apabila:
1) Sediaan Farmasi tidak ada di pasaran
2) Sediaan Farmasi lebih murah jika diproduksi sendiri
3) Sediaan Farmasi dengan formula khusus
4) Sediaan Farmasi dengan kemasan yang lebih kecil/repacking
5) Sediaan Farmasi untuk penelitian
6) Sediaan Farmasi yang tidak stabil dalam penyimpanan/harus dibuat baru
(recenter paratus).
Sediaan yang dibuat di Rumah Sakit harus memenuhi persyaratan mutu
dan terbatas hanya untuk memenuhi kebutuhan pelayanan di Rumah Sakit
tersebut.
c. Sumbangan/Dropping/Hibah
Instalasi Farmasi harus melakukan pencatatan dan pelaporan terhadap
penerimaan dan penggunaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai sumbangan/dropping/ hibah.
Seluruh kegiatan penerimaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai dengan cara sumbangan/dropping/hibah harus disertai
dokumen administrasi yang lengkap dan jelas. Agar penyediaan Sediaan Farmasi,
Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai dapat membantu pelayanan
kesehatan, maka jenis Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai harus sesuai dengan kebutuhan pasien di Rumah Sakit. Instalasi Farmasi
dapat memberikan rekomendasi kepada pimpinan Rumah Sakit untuk
mengembalikan/menolak sumbangan/dropping/hibah Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang tidak bermanfaat bagi
kepentingan pasien Rumah Sakit.30
2.3.4 PENERIMAAN
Penerimaan merupakan kegiatan untuk menjamin kesesuaian jenis,
spesifikasi, jumlah, mutu, waktu penyerahan dan harga yang tertera dalam kontrak
atau surat pesanan dengan kondisi fisik yang diterima. Semua dokumen terkait
penerimaan barang harus tersimpan dengan baik.30
2.3.5 PENYIMPANAN
Setelah barang diterima di Instalasi Farmasi perlu dilakukan penyimpanan
sebelum dilakukan pendistribusian. Penyimpanan harus dapat menjamin kualitas dan
keamanan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai sesuai
dengan persyaratan kefarmasian. Persyaratan kefarmasian yang dimaksud meliputi
persyaratan stabilitas dan keamanan, sanitasi, cahaya, kelembaban, ventilasi, dan
penggolongan jenis Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai.
Komponen yang harus diperhatikan antara lain:
a. Obat dan bahan kimia yang digunakan untuk mempersiapkan Obat diberi label
yang secara jelas terbaca memuat nama, tanggal pertama kemasan dibuka,
tanggal kadaluwarsa dan peringatan khusus
b. Elektrolit konsentrasi tinggi tidak disimpan di unit perawatan kecuali untuk
kebutuhan klinis yang penting
c. Elektrolit konsentrasi tinggi yang disimpan pada unit perawatan pasien
dilengkapi dengan pengaman, harus diberi label yang jelas dan disimpan pada
area yang dibatasi ketat (restricted) untuk mencegah penatalaksanaan yang
kurang hati-hati
d. Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang dibawa
oleh pasien harus disimpan secara khusus dan dapat diidentifikasi.
Instalasi Farmasi harus dapat memastikan bahwa Obat disimpan secara benar
dan diinspeksi secara periodik. Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai yang harus disimpan terpisah yaitu:
a. Bahan yang mudah terbakar, disimpan dalam ruang tahan api dan diberi tanda
khusus bahan berbahaya
b. Gas medis disimpan dengan posisi berdiri, terikat, dan diberi penandaaan untuk
menghindari kesalahan pengambilan jenis gas medis. Penyimpanan tabung gas
medis kosong terpisah dari tabung gas medis yang ada isinya. Penyimpanan
tabung gas medis di ruangan harus menggunakan tutup demi keselamatan.
Metode penyimpanan dapat dilakukan berdasarkan kelas terapi, bentuk
sediaan, dan jenis Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
dan disusun secara alfabetis dengan menerapkan prinsip First Expired First Out
(FEFO) dan First In First Out (FIFO) disertai sistem informasi manajemen.
Penyimpanan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang
penampilan dan penamaan yang mirip (LASA, Look Alike Sound Alike) tidak
ditempatkan berdekatan dan harus diberi penandaan khusus untuk mencegah
terjadinya kesalahan pengambilan Obat.
Rumah Sakit harus dapat menyediakan lokasi penyimpanan Obat emergensi
untuk kondisi kegawatdaruratan. Tempat penyimpanan harus mudah diakses dan
terhindar dari penyalahgunaan dan pencurian.
Pengelolaan Obat emergensi harus menjamin:
a. Jumlah dan jenis Obat sesuai dengan daftar Obat emergensi yang telah ditetapkan
b. Tidak boleh bercampur dengan persediaan Obat untuk kebutuhan lain
c. Bila dipakai untuk keperluan emergensi harus segera diganti
d. Dicek secara berkala apakah ada yang kadaluwarsa
e. Dilarang untuk dipinjam untuk kebutuhan lain.30
2.3.6 PENDISTRIBUSIAN
Distribusi merupakan suatu rangkaian kegiatan dalam rangka menyalurkan/
menyerahkan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai dari
tempat penyimpanan sampai kepada unit pelayanan/pasien dengan tetap menjamin
mutu, stabilitas, jenis, jumlah, dan ketepatan waktu. Rumah Sakit harus menentukan
sistem distribusi yang dapat menjamin terlaksananya pengawasan dan pengendalian
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai di unit pelayanan.
Sistem distribusi di unit pelayanan dapat dilakukan dengan cara:
a. Sistem Persediaan Lengkap di Ruangan (floor stock)
1) Pendistribusian Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai untuk persediaan di ruang rawat disiapkan dan dikelola oleh Instalasi
Farmasi.
2) Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang
disimpan di ruang rawat harus dalam jenis dan jumlah yang sangat
dibutuhkan.
3) Dalam kondisi sementara dimana tidak ada petugas farmasi yang mengelola
(di atas jam kerja) maka pendistribusiannya didelegasikan kepada
penanggung jawab ruangan.
4) Setiap hari dilakukan serah terima kembali pengelolaan obat floor stock
kepada petugas farmasi dari penanggung jawab ruangan.
5) Apoteker harus menyediakan informasi, peringatan dan kemungkinan
interaksi Obat pada setiap jenis Obat yang disediakan di floor stock.
b. Sistem Resep Perorangan
Pendistribusian Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
berdasarkan Resep perorangan/pasien rawat jalan dan rawat inap melalui Instalasi
Farmasi.
c. Sistem Unit Dosis
Pendistribusian Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
berdasarkan Resep perorangan yang disiapkan dalam unit dosis tunggal atau
ganda, untuk penggunaan satu kali dosis/pasien. Sistem unit dosis ini digunakan
untuk pasien rawat inap.
d. Sistem Kombinasi
Sistem pendistribusian Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai bagi pasien rawat inap dengan menggunakan kombinasi a + b atau b + c
atau a + c.
Sistem distribusi Unit Dose Dispensing (UDD) sangat dianjurkan untuk
pasien rawat inap mengingat dengan sistem ini tingkat kesalahan pemberian Obat
dapat diminimalkan sampai kurang dari 5% dibandingkan dengan sistem floor stock
atau Resep individu yang mencapai 18%.
Sistem distribusi dirancang atas dasar kemudahan untuk dijangkau oleh
pasien dengan mempertimbangkan:
a. Efisiensi dan efektifitas sumber daya yang ada
b. Metode sentralisasi atau desentralisasi.30
2.3.7 PENGENDALIAN
Pengendalian dilakukan terhadap jenis dan jumlah persediaan dan
penggunaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai.
Pengendalian penggunaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai dapat dilakukan oleh Instalasi Farmasi harus bersama dengan Tim Farmasi dan
Terapi (TFT) di Rumah Sakit.
Tujuan pengendalian persediaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai adalah untuk:
a. Penggunaan Obat sesuai dengan Formularium Rumah Sakit
b. Penggunaan Obat sesuai dengan diagnosis dan terapi
c. Memastikan persediaan efektif dan efisien atau tidak terjadi kelebihan dan
kekurangan/kekosongan, kerusakan, kadaluwarsa, dan kehilangan serta
pengembalian pesanan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai.
Cara untuk mengendalikan persediaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai adalah:
a. Melakukan evaluasi persediaan yang jarang digunakan (slow moving)
b. Melakukan evaluasi persediaan yang tidak digunakan dalam waktu tiga bulan
berturut-turut (death stock)
c. Stok opname yang dilakukan secara periodik dan berkala.30
Perencanaan Kebutuhan
Penetapan prioritas
Sisa persediaan
Data pemakaian periode yang lalu
Waktu tunggu pemesanan
Rencana pengembangan
Pencatatan dan pelaporan
Penganggaran
Sumber dana
Alokasi pendanaan
Pencatatan dan pelaporan
Pengadaan
Penentuan jumlah yang dibutuhkan
BABkebutuhan
Penyesuaian antara III dan dana
METODE PENELITIAN
Pemilihan metode pengadaan
Pemilihan pemasok
3.1 KERANGKA TEORI
Penentuan spesifikasi kontrak
Pemantauan proses pengadaan
Pembayaran
Pencatatan dan pelaporan
Penerimaan
Kesesuaian jenis
Spesifikasi
Kesesuaian Jumlah
Mutu
Kesesuaian waktu
Pencatatan dan pelaporan
Penyimpanan
Persyaratan stabilitas dan keamanan
Sanitasi
Cahaya
Kelembaban
Ventilasi
Pencatatan dan pelaporan
Pendistribusian
Sistem persediaan lengkap di ruangan
Sistem resep perorangan
Sistem unit dosis
Sistem kombinasi
Manajemen Pencatatan dan pelaporan Ketersediaan
Pengelolaan ADS
Pengendalian
Evalusi persediaan
Stock opname
Pencatatan dan pelaporan
Sumber: Permenkes RI No. 72 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di Rumah Sakit. 30
3.2 K
ERANGKA KONSEP
Manajemen Pengelolaan
Pengendalian
Populasi
Seluruh data rekam medik pasien difteri tahun 2015 – 2017 berjumlah 102 kasus
Sampel
Sampel adalah semua data rekam medik pasien difteri yang memenuhi kriteris
inklusi dan eksklusi yang diambil dengan teknik total sampel.
Kriteria inklusi:
Kriteria eksklusi:
Variabel Dependen
1. Jumlah Jumlah kebutuhan ADS Observasi
Kebutuhan ADS pada pasien yang dirawat data rekam
di RSPI SS berdasarkan medik dan
periode bulan farmasi
Variabel Independen
A. Ketersediaan Kondisi dimana Kuesioner
ADS tersedianya serum (ADS) dan telaah
di Instalasi Farmasi RSPI dokumen
Prof. Dr. Sulianti Saroso
sesuai dengan kebutuhan
pasien meliputi tepat
jumlah, tepat jenis dan
tepat waktu.
Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Cara Ukur Hasil Skala
Ukur
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara dan kuesioner hasil
telaah data kasus difteri di RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso tahun 2015-2017
Prosedur kerja data primer yaitu dengan wawancara dan data sekunder yaitu dengan
mencatat dari data yang didapatkan di Instalasi Rekam Medik dan Instalasi Farmasi
dengan instrumen kuesioner.
Pengumpulan data ini dilakukan dengan cara wawancara pada subjek penelitian
dan telaah dokumen. Hasilnya direkam dengan handphone dan disalin dalam
bentuk transkip hasil wawancara dan kemudian melakukan telaah data kasus
difteri dengan kuesioner di Instalasi Farmasi RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso tahun
2015-2017
Reduksi data
Penyajian data
Setelah direduksi data, langkah selanjutnya adalah menyajikan data dengan bentuk
uraian singkat yang bersifat naratif. Selain itu juga dapat disajikan dalam bentuk
grafik, matrik, network (jejaring kerja), dan chart. Dengan penyajian data, maka
akan memudahkan untuk memahami apa yang terjadi dan merencanakan kerja
selanjutnya berdasarkan apa yang telah dipahami.
Tahap akhir pengolahan data adalah penarikan kesimpulan. Setelah semua data
tersaji permasalahan yang menjadi objek penelitian dapat dipahami dan kemudian
ditarik kesimpulan yang merupakan hasil dari penelitian ini.
Analisis data menggunakan analisis univariat dan bivariat. Variabel yang akan di
analisis akan disajikan dalam bentuk tabel.
3.11 PERTIMBANGAN ETIK PENGKAJIAN
Diajukan ke Komisi Etik Penelitian Kesehatan RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso untuk
telaah lebih lanjut.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
1. Nandi, R., Purkayasha, P., Bhattacharjee, A.K. Diphteria The Patch Remains.
International Congress Series. 1254. Published by Elsevier B.V. United Kingdom,
2003
2. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Buku Imunisasi di Indonesia. Jakarta : Satgas
Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2011
3. Shah, I. Diphtheria A Case Report. Pediatrics Oncall, 2005 (online).
http://www.pediatricsoncall.com/fordoctor/casereports/diphteria.asp
4. Kementerian Kesehatan RI. Petunjuk Teknis Pelaksanaan Imunisasi dan Surveilans
Dalam Rangka Penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB) Difteri, 2013.
5. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Buku Pedoman Penyelidikan dan
Penanggulangan Kejadian Luar Biasa Penyakit Menular dan Keracunan Pangan
(Pedoman Epidemiologi Penyakit). Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan Tahun 2011. Jakarta, 2011
6. http://www.who.int/immunization/monitoring_surveillance/data/gs_gloprofile.pdf,
diakses April 2017
7. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1501. Jenis Penyakit
Menular Tertentu Yang Dapat Menimbulkan Wabah dan Upaya Penanggulangannya,
2010
8. Kementerian Kesehatan RI. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2012, 2013
9. Kementerian Kesehatan RI. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013, 2014
10. Kementerian Kesehatan RI. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2014, 2015
11. Kementerian Kesehatan RI. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2015, 2016
12. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur. Penyakit Difteri dan Situasi di Jatim.
Surabaya, 2011.
13. Undang – Undang Republik Indonesia nomor 44. Rumah Sakit, 2009
14. Surveilans Bidang Epidemiologi. Direktorat Pengkajian Penyakit Infeksi dan
Penyakit Menular Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof. Dr. Sulianti Saroso, 2013-2016
15. Depkes RI. Sistem Kesehatan Nasional (SKN). Jakarta, 2004
16. Widoyono. Penyakit Tropis: Epidemiologi, Penularan, Pencegahan &
Pemberantasannya. Erlangga Medical Series (EMS). Semarang, 2005
17. Chin, James. Manual Pemberantasan penyakit Menular. Editor Penterjemah: I
Nyoman, 2000. http://www.digilib.litbang.depkes.go.id
18. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Buku Ajar Respirologi anak, edisi pertama.
Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2008
19. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III.
Edisi Keempat. Jakarta : Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 2006
20. Ditjen PPM-2PL Depkes RI. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
1116/MENKES/VIII/2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans
Epidemiologi Kesehatan. In Surveilans Epidemiologi Dan Penanggulangan KLB.
Jakarta, 2003
21. Behrman, Kliegman, Arvin. Ilmu kesehatan anak. Cetakan 1. Ed 15. Jakarta : EGC,
2000.h.955-8, 1477.
22. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Departemen Ilmu Kesehatan Anak.
Current Evidences in Pediatric Emergencies Management. Pendidikan Kedokteran
Berkelanjutan LXVIII, 2014.
23. Nelson. Textbook of Pediatrics (17th ed). Philadelphia : Saunders, 2006
24. Siregar, J.P.C dan Amalia, L. Farmasi Rumah Sakit Teori dan Penerapan. Jakarta:
EGC, 2004
25. Jensen, V & Rappaport, BA. The Reality of Drug shortages. New England Journal of
Medicine, 2010 Sumber : http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMp1005849
26. Milena, dkk. Effects on Patient Care Caused by Drug Shortages: A Survey, 2013
Sumber http://www.amcp.org/JMCP/2013/Nov-Dec/17317/1033.html
27. Renie & Widodo. Faktor Penyebab dan kerugian akibat Stockout dan Stagnant Obat
di Unit Logistik RSU Haji Surabaya. Tesis: Universitas Airlangga, 2013
28. Dumbi. Faktor yang mempengaruhi kekosongan obat di Instalasi Farmasi RSUD
Pohuwato, 2012.
29. Pratiwi, Amiati. Stock out Obat di Gudang Perbekalan Kesehatan Rumah Sakit Islam
Jakarta Cempaka Putih. FKM UI : Depok., 2009
30. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2016. Standar
Pelayanan Kefarmasian Di Rumah Sakit
31. Seto. Manajemen Farmasi. Universitas Airlangga Press. Surabaya, 2004
32. Aditama. T.Y. Manajemen Administrasi Rumah Sakit. Edisi 2. Jakarta: Universitas
Indonesia, 2007.
33. Sugiyono. Memahami Penelitian Kualitatif . Bandung: ALFABETA, 2012