Anda di halaman 1dari 28

PROPOSAL

PENELITIAN OPERASIONAL

GAMBARAN KETERSEDIAAN ANTI DIFTERI SERUM


DI INSTALASI FARMASI
RUMAH SAKIT PENYAKIT INFEKSI PROR. DR. SULIANTI SAROSO

1. ANGGI GILANG SATRIA NPM. 166070006


2. ANITA PUSPITASARI DN NPM. 166070008
3. EKA SULISTIANY NPM. 166070026
4. HENDRA BADARUDDIN NPM. 166070037

PROGRAM PENDIDIKAN PASCA SARJANA


FAKULTAS ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
TAHUN 2017
RINGKASAN PENELITIAN

Difteri merupakan penyakit yang sangat menular yang disebabkan oleh infeksi bakteri
Corynebacterium diphteriae. Umumnya menyerang anak usia di bawah 15 tahun namun dapat
juga menyerang usia dewasa. Difteri merupakan salah satu penyakit yang dapat dicegah
dengan imunisasi, namun seiring dengan pelaksanaan imunisasi sebagai upaya
penanggulangannya, penyakit ini masih tetap ada ditemui di masyarakat, bahkan di beberapa
wilayah di Indonesia pernah dan sedang terjadi KLB.
Sebagai rumah sakit rujukan nasional penyakit infeksi dan penyakit menular, RSPI
Prof. Dr. Sulianti Saroso telah merawat penyakit difteri dari berbagai wilayah di dalam dan
luar DKI Jakarta. Keberhasilan penatalaksanaan kasus difteri di RSPI Prof. Dr. Sulianti
Saroso tidak terlepas pemberian ADS sebagai penetralisir dari toksin yang dilepaskan oleh
kuman Difteri. Oleh karena itu ketersediaan ADS menjadi sangat penting dalam keberhasilan
tatalaksana kasus Difteri. Namun penatalaksanaan kasus Difteri sering terkendala dengan
kejadian stock out ADS di RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso. Dari latar belakang tersebut, tujuan
utama dari kajian ini adalah untuk mengetahui permasalahahan terkait ketersediaan ADS di
Instalasi Farmasi RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso.
Metodologi kajian ini adalah observasi, wawancara, pengumpulan data dan diskusi
serta pertemuan koordinasi dengan mengundang narasumber terkait.
Data yang terkumpul akan dianalisis secara deskriptif dan akan dimanfaatkan untuk
kepentingan program kepada pimpinan serta peningkatan pelayanan kasus Difteri di RSPI
Prof. Dr. Sulianti Saroso.

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Difteri merupakan penyakit infeksi akut yang disebabkan bakteri Corynebacterium
diphteriae. Difteri mudah menular dan telah menjadi masalah kesehatan sejak ribuan yang
lalu, yang menyerang kesehatan manusia dan dapat mengakibatkan komplikasi dan kematian.
Difteri ditemukan pada era Hipoccrates saat wabah pertama kali yaitu pada abad ke V
Sebelum Masehi.1
Bakteri penyebab difteri pertama kali diidentifikasi oleh Klebs dan pada tahun 1890
antitoksi difteri dikembangkan. Vaksin pertama kali dikeluarkan pada tahun 1920. Dengan
adanya pengembangan vaksin, kejadian difteri menurun secara signifikan,2 namun pada
beberapa Negara di dunia, difteri masih endemik antara lain di Asia, Afrika dan Amerika
Selatan.3
Difteri mempunyai gejala klinis demam ± 380C, pseudomembrane putih keabu-abuan
yang tidak mudah lepas dan mudah berdarah di faring, laring atau tonsil, sakit waktu menelan,
leher membengkak seperti leher sapi (bullneck) dan sesak nafas disertai stridor.4 Secara
epidemiologi, defenisi kasus difteri ditentukan dalam kasus probable dan kasus konfirmasi.
Kasus probable adalah kasus yang menunjukkan gejala-gejala demam, sakit menelan, selaput
putih pada tenggorokan (pseudomembrane), sering leher membengkak dan sesak nafas
disertai bunyi (stridor). Kasus konfirmasi adalah kasus probable yang disertai hasil konfirmasi
laboratorium positif C, difteri atau ada hubungan epidemiologi dengan kasus konfirmasi yang
lain.4
Di Amerika Serikat dari tahun 1980 hingga 1998, kejadian difteri dilaporkan rata-rata
4 kasus setiap tahunnya, dua pertiga dari yang terinfeksi berusia 20 tahun atau lebih. KLB
yang luas terjadi di Federasi Rusia pada tahun 1990 dan kemudian menyebar ke Negara-
negara lain ayng dahulu bergabung dalam Uni Soviet dan Mongolia. Di Ekuador telah terjadi
KLB pada tahun 1993/1994 dengan 200 kasus, setengah dari kasus tersebut berusia 15 tahun
ke atas.5
Berdasarkan data World Health Organization (WHO), pada tahun 2012 sampai 2014,
terjadi peningkatan jumlah kasus difteri di dunia. Pada tahun 2012, jumlah kasus difteri di
dunia sebesar 4490 kasus, di tahun 2013, kasus difteri di dunia meningkat menjadi 4680 kasus
dan pada tahun 2014 terjadi peningkatan jumlah kasus yang cukup besar menjadi 7321 kasus.
Adapun jumlah keseluruhan kasus difteri yang terjadi di dunia, sumbangan terbesar kasus
berasal dari wilayah Asia Tenggara (South-East Asia). Dilaporkan jumlah kasus difteri di
wilayah Asia Tenggara pada tahun 2012 sebesar 3953 kasus, tahun 2013 sebesar 4080 kasus
dan tahun 2014 meningkat tajam menjadi 7217 kasus dan menurun menjadi 2504 kasus di
tahun 2015.6 Di Indonesia, melalui Permenkes No. 1501/ Menkes/Pe/X/2010 tentang Jenis
Penyakit Menular Tertentu Yang Dapat Menimbulkan Wabah dan Upaya Penanggulangannya,
difteri termasuk dalam daftar jenis penyakit menular tertentu yang dapat menimbulkan
KLB/wabah.7
Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia 2012-2015, pada tahun 2012 jumlah kasus
difteri di Indonesia sebesar 1.192 kasus dengan jumlah kasus meninggal sebanyak 76 kasus
sehingga CFR difteri sebesar 6,38%, kasus difteri tertinggi berasal dari Jawa Timur. Pada
tahun 2013, jumlah kasus difteri menurun menjadi sebesar 778 kasus, meninggal sebanyak 39
kasus sehingga CFR difteri sebesar 5,01%, kasus tertinggi pada tahun ini masih berasal dari
Jawa Timur. Tahun 2014, kasus difteri kembali menurun menjadi 396 kasus, meninggal
sebanyak 16 kasus sehingga CFR menjasi 4,04%, kasus tertinggi terjadi di Jawa Timur dan
pada tahun 2015 kasus difteri sebesar 252 kasus, dengan jumlah kasus meninggal sebanyak 5
kasus dan CFR difteri sebesar 1,98% dan kasus tertinggi terjadi di Sumatera Barat dan Jawa
Timur.8,9,10,11,12
Sesuai dengan amanat Undang-Undang No 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit,
RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan
pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap,
rawat jalan dan gawat darurat dan mampu meningkatkan mutu dan mempertahankan standar
pelayanan rumah sakit melalui pemenuhan persyaratan lokasi, bangunan, prasarana, sumber
daya manusia, kefarmasian dan peralatan.13
Sebagai Rujukan Nasional Penyakit Infeksi, RSPI Sulianti Saroso diharapkan mampu
mengidentifikasi penyakit infeksi berpotensi Wabah dan juga diharapkan mampu memberikan
pelayanan dan pengobatan secara paripurna, menjadi role model bagi rumah sakit lain dalam
penanganan kasus infeksi/ menular serta mampu dan siap dalam menangani kemungkinan
terjadinya Kejadian Luar Biasa (KLB). Permenkes RI No.1501/Menkes/Per/X/2010 pada Bab
2 jenis penyakit menular tertentu yang dapat menimbulkan wabah, bagian kedua umum pasal
4 dijelaskan bahwa dari tujuh belas (17) penyakit lainnya difteri termasuk salah satu jenis
penyakit yang dapat menimbulkan wabah di Indonesia.7
Berdasarkan data surveilans Bidang Epidemiologi Direktorat Pengkajian Penyakit
Infeksi dan Penyakit Menular Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof. Dr. Sulianti Saroso (RSPI
Prof. Dr. Sulianti Saroso), melaporkan pada tahun 2013 terdapat 6 kasus rawat inap difteri dan
meninggal sebanyak 2 kasus. Pada tahun 2014 jumlah kasus rawat inap difteri menurun
menjadi 3 kasus, namun pada tahun 2015 terjadi peningkatan kasus difteri yang cukup tinggi
yaitu 16 kasus, dan terus meningkat tajam pada tahun 2016 menjadi 37 kasus dengan kasus
difteri yang meninggal sebesar 2 kasus. Pada umumnya kasus difteri yang dirawat di RSPI
Prof. Dr. Sulianti Saroso adalah balita dan anak-anak usia sekolah, berasal dari wilayah
Jabodetabek, namun pada tahun 2015-2016, RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso telah merawat
kasus difteri yang berasal dari luar Jabodetabek.14
RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso telah melaksanakan upaya kesiapsiagaan dalam
penanggulangan difteri, penatalaksanaan kasus telah dilaksanakan dengan maksimal, namun
usaha ini menghadapi beberapa kendala, antara lain terkendala dengan ketersediaan Anti
Difteri Serum (ADS) yang merupakan bagian penting dalam penatalaksanaan kasus difteri di
RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso. Berdasarkan data yang diperoleh dari Instalasi Farmasi
disebutkan bahwa pada awal bulan Januari Tahun 2016 ADS tidak tersedia, hal tersebut
terulang kembali pada bulan Juni dan Juli tahun 2016 dimana stok ADS kembali kosong.
Kekosongan (stock out) ADS yang terjadi di Instalasi Farmasi mengakibatkan. keluhan dari
klinisi bahwa stock out ADS tersebut dapat mempengaruhi keberhasilan penatalaksanaan
kasus difteri dan kesembuhan pasien yang dirawat di rumah sakit.
Pemetaan terhadap penyebab terjadinya stock out ADS pada Instalasi Farmasi RSPI
Prof. Dr. Sulianti Saroso sangat diperlukan dan merupakan bagian dari upaya untuk
meningkatkan ketersediaan ADS sesuai kebutuhan.
Kendala lainnya terkait ketersediaan ADS adalah adanya perbedaan persepsi antara
Dinas Kesehatan DKI Jakarta dan klinisi yang merawat difteri di RSPI SS terhadap pemberian
ADS kepada pasien. Persepsi yang dimaksud adalah bahwa Dinas Kesehatan DKI Jakarta
mengacu pada Juknis Pelaksanaan Imunisasi dan Surveilans Dalam Rangka Penanggulangan
Kejadian Luar Biasa (KLB) Difteri, Ditjen PP&PL Kemenkes RI 2013, beranggapan bahwa
RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso menggunakan ADS melebihi dari standar peruntukannya,
sedangkan klinisi mengacu pada Pedoman Praktek Klinik (PPK) yang diterapkan dalam
penatalaksanaan kasus difteri di RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso, menyatakan bahwa
penggunaan ADS telah disesuaikan berdasarkan kondisi pasien yaitu tingkat keparahan, lokasi
membran dan lama sakit. Perbedaan persepsi ini akhirnya mempengaruhi pengadaan ADS
oleh farmasi, oleh karena ADS merupakan obat dropping dari Dinas Kesehatan DKI Jakarta.
Berdasarkan gambaran di atas, untuk tahun 2017 terkait kasus difteri tersebut, maka
dilakukan pemelitian operasioanl yang fokus terhadap ketersediaan ADS dengan judul,”
Gambaran Ketersediaan Anti Difteri Serum (ADS) di Instalasi Farmasi RSPI Prof. Dr.
Sulianti Saroso”.

1.2 PERUMUSAN MASALAH


Adanya permasalahan yang mengakibatkan ketidaktersediaan ADS di Instalasi
Farmasi RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso.

1.3 PERTANYAAN KAJIAN


1. Bagaimana alur proses ketersediaan ADS di RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso?
2. Apa saja permasalahan-permasalahan terkait ketidak tersediaan vaksin?
3. Apa dampak ketidak tersediaan ADS terhadap tatalaksana kasus Difteri di
RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso
4. Apa alternatif solusi terkait ketidak tersediaan ADS di RSPI Prof. Dr. Sulianti
Saroso?

1.4 TUJUAN
1.4.1 TUJUAN UMUM
Mengetahui permasalahan yang menyebabkan ketidaktersediaan ADS di RSPI
Prof. Dr. Sulianti Saroso.

1.4.2 TUJUAN KHUSUS


1. Mengetahui alur proses ketersediaan ADS di RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso
2. Mengetahui permasalahan-permasalahan terkait ketidak tersediaan ADS
3. Mengetahui dampak ketidak tersediaan ADS terhadap tatalaksana kasus Difteri
di RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso
4. Mengetahui alternatif solusi terkait ketidak tersediaan ADS di RSPI Prof. Dr.
Sulianti Saroso

1.5 MANFAAT KAJIAN


Adapun manfaat kajian ini adalah:
1. Memberikan informasi dalam rangka antisipasi terhadap kebutuhan program kepada
pimpinan
2. Meningkatkan pelayanan dalam tata laksana penyakit Difteri
3. Meningkatkan pengendalian penyakit Difteri

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DIFTERI
2.1.1 PENGERTIAN DIFTERI
Difteri adalah suatu penyakit bakteri akut yang disebabkan oleh kuman
Corynebacterium diphteriae, berbentuk gram positif, tidak berspora, bercampak atau
kapsul. Ada 3 (tiga) tipe variant dari Corynebacterium diphteriae yaitu tipe gravis,
intermedius dan mitis.15 Corynebacterium diphteriae dapat diklasifikasikan dengan
cara Bacteriophage lysis menjadi 19 tipe. Tipe 1 sampai 3 termasuk tipe mitis, tipe 4-6
termasuk tipe intermedius, tipe 7 termasuk tipe gravis yang tidak ganas, sedangkan
tipe-tipe lainnya termasuk tipe gravis yang virulen.16 Difteri umumnya menyerang
tonsil, faring, laring, hidung, adakalanya menyerang selaput lendir atau kulit serta
kadang-kadang konjungtiva dan vagina. Timbulnya lesi yang khas disebabkan oleh
cytotoxin specific yang dilepaskan oleh bakteri. Lesi Nampak sebagai suatu membran
asimetrik kebau-abuan yang dikelilingi dengan daerah inflamasi. Tenggorokan sakit,
pada diphtheria faucial atau pada diphtheria faringotonsiler diikuti dengan kelenjar
limfe membesar dan melunak. Pada kasus-kasus sedang dan berat ditandai dengan
edema atau pembengkakan di leher, adanya pembentukan membrane pada trakea
secara ektensif dan dapat terjadi obstruksi jalan nafas.17

2.1.2 PATOGENESIS DIFTERI


Kuman Corynebacterium diphteriae masuk melalui mukosa/ kulit, melekat
serta berkembang biak pada permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai
memproduksi toksin yang merembes ke sekeliling, selanjutnya menyebar ke seluruh
tubuh melalui pembuluh limfe dan darah. Efek toksin pada jaringan tubuh manusia
adalah hambatan pembentukan protein dalam sel. Toksin difteri mula-mula menempel
pada membran sel dengan bantuan fragmen B dan selanjutnya fragmen A,
mengakibatkan inaktivasi enzim tranlokasi sehingga proses translokasi tersebut tidak
berjalan sehingga tidak terbentuk rangkaian polipeptida yang diperlukan, akibatnya sel
akan mati. Sebagai respon, terjadi inflamasi lokal bersamaan dengan jaringan nekrotik
membentuk bercak eksudat yang pada awalnya mudah dilepas. Semakin banyak
produksi toksin maka semakin lebar daerah infeksi sehingga terbentuk eksudat fibrin,
kemudian membentuk suatu membrane yang melekat erat berwarna kelabu kehitaman
tergantung dari jumlah darah yang terkandung.18
2.1.3 SUMBER PENULARAN
Difteri merupakan penyakit menular akut yang disebabkan oleh
Corynebacterium diphtheriae yang dapat ditularkan oleh penderita difteri ataupun
karier. Karier adalah orang yang mengandung agen penyebab infeksi difteri tetapi
tidak menunjukkan gejala klinis yang dapat dilihat namun dapat menularkan penyakit
kepada orang lain. Karier merupakan sumber penularan yang berbahaya karena tidak
dikenal dan bersifat silent.19

2.1.4 PENGAMATAN KLINIS


1. Gejala Klinis
Gejala klinis penyakit difteri ini adalah panas lebih dari 38 °C, ada
pseudomembrane bisa di faring, laring atau tonsil, sakit waktu menelan, leher
membengkak seperti leher sapi (bullneck), disebabkan karena pembengkakan
kelenjar leher. Tidak semua gejala-gejala klinik ini tampak jelas, maka setiap anak
panas yang sakit waktu menelan harus diperiksa faring dan tonsilnya apakah ada
psedomembrane. Jika pada tonsil tampak membran putih keabu-abuan
disekitarnya, walaupun tidak khas rupanya, sebaiknya diambil sediaan (spesimen)
berupa apusan tenggorokan (throat swab) untuk pemeriksaan laboratorium.
Gejala diawali dengan nyeri tenggorokan ringan dan nyeri menelan. Pada
anak tak jarang diikuti demam, mual, muntah, menggigil dan sakit kepala.
Pembengkakan kelenjar getah bening di leher sering terjadi. Masa tunas 3-7 hari
khas adanya pseudo membrane, selanjutnya gejala klinis dapat dibagi dalam gejala
umum dan gejala akibat eksotoksin pada jaringan yang terkena. Gejala umum yang
timbul berupa demam tidak terlalu tinggi lesu, pucat nyeri kepala dan anoreksia
sehingga tampak penderita sangatlemah sekali. Gejala ini biasanya disertai dengan
gejala khas untuk setiap bagian yang terkena seperti pilek atau nyeri menelan atau
sesak nafas dengan sesak dan strides, sedangkan gejala akibat eksotoksin
bergantung kepada jaringan yang terkena seperti iniokorditis paralysis jaringan
saraf atau nefritis.20

2. Pemeriksaan Laboratorium
Spesimen untuk biakkan harus diambil dari hidung dan tenggorokan dan
salah satu tempat lesi mukokutan lain. Sebagian membran harus diambil dan
diserahkan bersama eksudat dibawahnya. Laboratorium harus diberitahu untuk
menggunakan media khusus. C. diphteriae tahan kekeringan. Pada daerah yang
jauh, spesimen pulas dapat ditempatkan pada bungkus silika gel dan dikirim ke
laboratorium rujukan. Evaluasi pulasan langsung dengan menggunakan warna
Gram atau antibodi fluoresens spesifik tidak dapat dipercaya. Organisme
coryneform harus diidentifikasi sampai tingkat spesies dan uji toksigenisitasnya
serta kerentanan anti mikrobanya harus dilakukan untuk isolat C. diphteriae.21

2.1.5 PENGAMATAN EPIDEMIOLOGI


1. Kasus Probable
Kasus suspek difteri adalah orang dengan gejala laringitis, nasofaringitis
atau tonsilitis ditambah pseudomembran putih keabuan yang tak mudah lepas dan
mudah berdarah di faring, laring, tonsil. Kasus probable difteri adalah suspek
difteri ditambah salah satu dari : a)Pernah kontak dengan kasus (<2 minggu),
b)Ada didaerah endemis difteri, c)Stridor, bullneck, Perdarahan submukosa atau
petekie pada kulit, d)Gagal jantung, gagal ginjal akut, miokarditis dan atau
kelumpuhan motorik 1 s/d 6 minggu setelah awitan, e)Mati.22
2. Kasus Konfirmasi
Konfirmasi Difteri adalah kasus probable yang hasil isolasi ternyata positif
C. difteriae yang toksigenik (dari usap hidung, tenggorok, ulkus kulit, jaringan,
conjungtiva, telinga, vagina) atau serum antitoksin meningkat 4 kali lipat atau
lebih (hanya bila kedua sampel serum diperoleh sebelum pemberian toksoid difteri
atau antitoksin).22
3. Surveilans Difteri
Secara khusus bertujuan untuk mnurunkan insiden dan kematian akibat
difteri, memutus rantai penularan dan melindungi populasi berisiko. Kegiatan ini
terintegrasi dengan upaya tatalaksana kasus, imunisasi, surveilans, promosi
kesehatan, mobilisasi sosial dll.
Satu kasus difteri (probable atau konfirmasi) adalah KLB dan semua KLB
difteri harus secepatnya dilakukan penanggulangan untuk menurunkan angka
kesakitan, kematian, dan penularan.
Langkah-langkah penanggulangan :
- Penemuan kasus tambahan
- Penatalaksanaan kasus difteri secara dini
- Penetapan KLB
- Semua kasus dan sebagian kontak erat dilakukan pengambilan dan
pemeriksaan spesimen
- Pemberian profilaksis terhadap semua kontak erat kasus
- Pemberian imunisasi tambahan (ORI) pada populasi berisiko
- Melibatkan lintas program dan lintas sektor.4

2.1.6 ANTI DIFTERI SERUM (ADS)


Dosis diberikan berdasar atas luasnya membran dan beratnya penyakit.
- 40.000 IU untuk difteri sedang, yakni luas membran menutupi sebagian/seluruh
tonsil secara unilateral/bilateral.
- 80.000 IU untuk difteri berat, yakni luas membran menutupi hingga melewati
tonsil, meluas ke uvula, palatum molle dan dinding faring.
- 120.000 IU untuk difteri sangat berat, yakni ada bull neck, kombinasi difteri laring
dan faring, komplikasi berupa miokarditis, kolaps sirkulasi dan kasus lanjut.
SAD diberikan dalam dosis tunggal melalui drips IV dengan cara melarutkannya
dalam 200 cc NaCl 0,9 %. Pemberian selesai dalam waktu 2 jam (sekitar 34
tetes/menit).

Tabel 2. Dosis Penggunaan ADS Berdasarkan Lokasi Membran dan Lama Sakit.4
Tipe Difteria Dosis ADS (Unit) Cara pemberian
Difteria hidung 20.000 Intramuskular
Difteria Tonsil 40.000 Intramuskular atau intravena
Difteria faring 40.000 Intramuskular atau intravena
Difteria laring 40.000 Intramuskular atau intravena
Kombinasi lokasi di atas 80.000 Intravena
Difteri + komplikasi, 80.000-100.000 Intravena
bullneck
Terlambat berobat (>72 80.000-100.000 intravena
jam), lokasi dimana saja
Terapi antibiotik bukanlah sebagai substitusi terhadap terapi anti toksin. Pemberian
intramuskuler penisilin prokain 50.000-100.000 unit/kgBB/hari selama 10 hari.

Tabel 2. Pemberian Antitoksin untuk Pengobatan Difteri.23


Dasar Dosis Dosis Antitoksin (U)
Hanya lesi kulit 20.000-40.000
Penyakit faring/laring, lamanya ≤ 48 jam 20.000-40.000
Lesi nesofaring 40.000-60.000
Penyakit meluas lama ≥ 72 jam 80.000-100.000
Pembengkakan leher difus 80.000-100.000

2.2 INSTALASI FARMASI


2.2.1 DEFENISI INSTALASI FARMASI RUMAH SAKIT
Instalasi Farmasi merupakan unit pengelola obat-obatan, vaksin dan serum di
rumah sakit. Berdasarkan Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit,
persyaratan kefarmasian harus menjamin ketersediaan farmasi dan alat kesehatan
yang bermutu, bermanfaat, aman dan terjangkau.13
Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) dapat didefinisikan sebagai suatu
departemen atau unit atau bagian disuatu rumah sakit dibawah pimpinan seorang
apoteker dan dibantu oleh beberapa orang apoteker yang memenuhi persyaratan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan kompeten secara profesional,
tempat atau fasilitas penyelenggaraan yang bertanggung jawab atas seluruh pekerjaan
serta pelayanan kefarmasian.24

2.2.2 TUGAS DAN FUNGSI INSTALASI FARMASI RUMAH SAKIT


Tugas IFRS antara lain:24
a. Melangsungkan pelayanan farmasi yang optimal.
b. Menyelenggarakan kegiatan pelayanan farmasi yang profesional berdasarkan
prosedur kefarmasian dan etik profesi.
c. Melaksanakan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE).
d. Memberi pelayanan bermutu melalui analisa dan evaluasi untuk meningkatkan
mutu pelayanan farmasi.
e. Melakukan pengawasan berdasarkan aturan-aturan yang berlaku.
f. Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan di bidang farmasi.
g. Mengadakan penelitian dan pengembangan di bidang farmasi.
h. Memfasilitasi dan mendorong tersusunnya standar pengobatan dan formularium
rumah sakit.
Fungsi Instalasi Farmasi Rumah Sakit antara lain:
a. Pengelolaan perbekalan farmasi
i. Memilih perbekalan farmasi sesuai kebutuhan pelayanan rumah sakit.
ii. Merencanakan kebutuhan perbekalan farmasi secara optimal.
iii. Mengadakan perbekalan farmasi berpedoman pada perencanaan yang
telah dibuat sesuai kebutuhan yang berlaku.
iv. Memproduksi perbekalan farmasi untuk memenuhi kebutuhan pelayanan
kesehatan di rumah sakit.
v. Menerima perbekalan farmasi sesuai dengan spesifikasi dan persyaratan
kefarmasian.
vi. Menyimpan perbekalan farmasi ke unit-unit pelayanan di rumah sakit
yang selalu menjamin ketersediaan perbekalan farmasi sesuai kebutuhan.
vii. Mendistribusikan perbekalan farmasi ke unit pelayanan di rumah sakit
untuk pasien rawat inap, pasien rawat jalan dan untuk pendistribusian
perbekalan farmasi diluar jam kerja.

b. Pelayanan kefarmasian dalam penggunaan obat dan alat kesehatan


i. Mengkaji instruksi pengobatan/resep pasien.
ii. Mengidentifikasi masalah yang berkaitan dengan penggunaan obat dan
alat kesehatan.
iii. Mencegah dan mengatasi masalah yang berkaitan dengan obat dan alat
kesehatan.
iv. Memantau efektifitas dan keamanan penggunaan obat dan alat kesehatan.
v. Memberikan informasi kepada petugas kesehatan, pasien/keluarga.
vi. Memberi konseling kepada pasien/keluarga.
vii. Melakukan pencampuran obat suntik.
viii. Melakukan penyiapan nutrisi parenteral.
ix. Melakukan penanganan obat kanker.
x. Melakukan penentuan kadar obat dalam darah.
xi. Melakukan pencatatan setiap kegiatan.
xii. Melaporkan seluruh kegiatan.

2.2.3 TUJUAN INSTALASI FARMASI RUMAH SAKIT


a. Melangsungkan pelayanan farmasi yang optimal baik dalam keadaan biasa
maupun dalam keadaan gawat darurat, sesuai dengan keadaan pasien maupun
fasilitas yang tersedia.
b. Menyelenggarakan kegiatan pelayanan profesional berdasarkan prosedur
kefarmasian dan etik profesi.
c. Melaksanakan KIE (Komunikasi Informasi dan Edukasi) mengenai obat
d. Menjalankan pengawasan obat berdasarkan aturan-aturan yang berlaku
e. Melakukan dan memberi pelayanan bermutu melalui analisa, telaah dan evaluasi
pelayanan.
Sebagai unit pengelola kefarmasian, sangatlah penting untuk menjamin
ketersediaan obat-obatan termasuk vaksin dan serum di rumah sakit. Sebagaimana
diketahui bahwa pemberian ADS merupakan bagian yang sangat penting dalam
tatalaksana kasus difteri, dimana ADS harus diberikan secepatnya untuk menghambat
toksin difteri, dan penundaan pemberian ADS merupakan salah satu faktor yang
dapat membahayakan jiwa pasien.
Beberapa studi terkait kekosongan stok obat di rumah sakit yang dapat
mempengaruhi mutu pelayanan yang diberikan antara lain menurut penelitian
Academy of Managed Care Pharmacy (AMCP) tentang The Reality of Drug shortages
(2010) yang mayoritas respondennya sebagian besar adalah kepala farmasi/apoteker,
diperoleh hasil bahwa kekosongan obat dapat mengakibatkan 55,5% kelalaian, 54,8%
kesalahan dosis, 34,8% kesalahan obat, 70,8% perawatan tertunda dan 38%
mengakibatkan keluhan pasien. Hasil penelitian ini menunjukkan persentase terbesar
terhadap kekosongan obat yaitu dapat menghambat dan mengakibatkan perawatan
terhadap pasien tertunda. Dari penelitian tersebut juga diketahui rumah sakit yang
mengalami kekurangan obat melaporkan bahwa kenaikan biaya yang dikeluarkan
rumah sakit dapat terjadi akibat adanya kekurangan obat.25
Kekosongan obat juga dapat mempengaruhi perawatan pada pasien.
Berdasarkan penelitian oleh Milena, dkk (2013) di Inggris diperoleh hasil bahwa
kekurangan obat dapat memiliki efek dalam perawatan pasien karena mereka
membatasi pilihan pengobatan yang tersedia untuk resep pasien. Menanggapi
kekurangan obat, sistem kesehatan harus bertindak cepat untuk mengidentifikasi dan
mendapatkan obat/produk alternatif. Hal ini dilakukan untuk menghindari gangguan
dalam perawatan pasien dan memberikan terapi obat yang aman. Dalam penelitian ini
juga dijelaskan bahwa kekurangan obat juga dapat mempengaruhi prosedur dan
pengambilan keputusan mengenai pengadaan obat.26
Akibat lain dari adanya stok yang kosong yaitu rumah sakit akan mengalami
nilai kerugian. Hasil penelitian Renie & Widodo (2013) tentang Faktor Penyebab dan
kerugian akibat Stockout dan Stagnant Obat di Unit Logistik RSU Haji Surabaya
bahwa pada bulan Januari-April 2012 terdapat 166 jenis obat yang mengalami stock
out. Dari stock out obat ini mengakibatkan RSU Haji Surabaya memiliki total
kerugian yang diperhitungkan dengan hilangnya biaya kesempatan (peluang untuk
mendapatkan keuntungan yang hilang) mencapai Rp 10.836.405. Hasil pada penelitian
tersebut juga menjelaskan bahwa faktor penyebab dari adanya stockout obat di RSU
Haji Surabaya yaitu adanya floor stock, kurangnya tenaga kerja untuk kegiatan
inventory dan perencanaan pengadaan yang tidak akurat. Untuk itu diperlukannya
manajemen pengelolaan yang baik terhadap logistik obat dan perbekalan farmasi
dirumah sakit agar tidak terjadi stockout yang dapat merugikan rumah sakit.27
Dari penelitian Dumbi (2012) bahwa faktor yang mempengaruhi kekosongan
obat di Instalasi Farmasi RSUD Pohuwato yaitu dana yang tersedia tidak mencukupi
untuk melakukan perencanaan pengadaan obat dan keterlambatan dalam pembayaran
tagihan dimana pemesanan barang sudah melebihi dana yang tersedia dirumah sakit. 28
Sedangkan berdasarkan hasil penelitian Amiati Pratiwi (2009), Stock out Obat di
Gudang Perbekalan Kesehatan Rumah Sakit Islam Jakarta Cempaka Putih pada
Triwulan I Tahun 2009 terdapat sebesar 5,70% jumlah permintaan obat yang tidak
terlayani dari gudang logistik ke depo farmasi dirumah sakit. Dimana permintaan yang
tidak terlayani ini disebabkan karena tidak tersedianya obat di gudang atau terjadi
kekosongan obat di gudang logistik. Barang yang diminta tersedia namun secara
kuantitas tidak dapat memenuhi permintaan atau barang tidak tersedia sama sekali.29

2.3 MANAJEMEN PENGELOLAAN FARMASI RUMAH SAKIT


Kegiatan pengelolaan Sediaan Farmasi menurut Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian
Di Rumah Sakit, meliputi:30

Perenc
Penga
anaan
daan
Kebut
uhan
Peneri
Pemili maan
han
Admi
nistra
Penge Penyi
si
ndalia mpana
n n

Pemus Pendistri
nahan busian

2.3.1 PERENCANAAN KEBUTUHAN


Perencanaan kebutuhan merupakan kegiatan untuk menentukan jumlah dan
periode pengadaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
sesuai dengan hasil kegiatan pemilihan untuk menjamin terpenuhinya kriteria tepat
jenis, tepat jumlah, tepat waktu dan efisien.30
Perencanaan dilakukan untuk menghindari kekosongan Obat dengan
menggunakan metode yang dapat dipertanggungjawabkan dan dasar-dasar
perencanaan yang telah ditentukan antara lain konsumsi, epidemiologi, kombinasi
metode konsumsi dan epidemiologi dan disesuaikan dengan anggaran yang tersedia.
Pedoman perencanaan harus mempertimbangkan:30
a. Penetapan prioritas
b. Sisa persediaan
c. Data pemakaian periode yang lalu
d. Waktu tunggu pemesanan
e. Rencana pengembangan

2.3.2 PENGANGGARAN
Menurut Seto (2004) fungsi penganggaran adalah menyangkut kegiatan-
kegiatan dan usaha-usaha untuk merumuskan perincian penentuan kebutuhan dalam
satu skala standar yaitu dengan skala mata uang (dollar, rupiah, dan lain-lain).31
Begitu juga menurut Aditama (2007) menambahkan dengan memperhatikan
pengarahan dan pembatasan yang berlaku terhadapnya.32

2.3.3 PENGADAAN
Pengadaan merupakan kegiatan yang dimaksudkan untuk merealisasikan
perencanaan kebutuhan. Pengadaan yang efektif harus menjamin ketersediaan,
jumlah, dan waktu yang tepat dengan harga yang terjangkau dan sesuai standar mutu.
Pengadaan merupakan kegiatan yang berkesinambungan dimulai dari pemilihan,
penentuan jumlah yang dibutuhkan, penyesuaian antara kebutuhan dan dana,
pemilihan metode pengadaan, pemilihan pemasok, penentuan spesifikasi kontrak,
pemantauan proses pengadaan, dan pembayaran.
Untuk memastikan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai sesuai dengan mutu dan spesifikasi yang dipersyaratkan maka jika proses
pengadaan dilaksanakan oleh bagian lain di luar Instalasi Farmasi harus melibatkan
tenaga kefarmasian.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengadaan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai antara lain:
a. Bahan baku Obat harus disertai Sertifikat Analisa
b. Bahan berbahaya harus menyertakan Material Safety Data Sheet (MSDS)
c. Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai harus
mempunyai Nomor Izin Edar
d. Expired date minimal 2 (dua) tahun kecuali untuk Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai tertentu (vaksin, reagensia, dan lain-
lain).
Rumah Sakit harus memiliki mekanisme yang mencegah kekosongan stok
Obat yang secara normal tersedia di Rumah Sakit dan mendapatkan Obat saat
Instalasi Farmasi tutup.
Pengadaan dapat dilakukan melalui:
a. Pembelian
Untuk Rumah Sakit pemerintah pembelian Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai harus sesuai dengan ketentuan pengadaan barang dan
jasa yang berlaku.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pembelian adalah:
1) Kriteria Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai,
yang meliputi kriteria umum dan kriteria mutu Obat
2) Persyaratan pemasok
3) Penentuan waktu pengadaan dan kedatangan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
4) Pemantauan rencana pengadaan sesuai jenis, jumlah dan waktu.
b. Produksi Sediaan Farmasi
Instalasi Farmasi Rumah Sakit dapat memproduksi sediaan tertentu apabila:
1) Sediaan Farmasi tidak ada di pasaran
2) Sediaan Farmasi lebih murah jika diproduksi sendiri
3) Sediaan Farmasi dengan formula khusus
4) Sediaan Farmasi dengan kemasan yang lebih kecil/repacking
5) Sediaan Farmasi untuk penelitian
6) Sediaan Farmasi yang tidak stabil dalam penyimpanan/harus dibuat baru
(recenter paratus).
Sediaan yang dibuat di Rumah Sakit harus memenuhi persyaratan mutu
dan terbatas hanya untuk memenuhi kebutuhan pelayanan di Rumah Sakit
tersebut.
c. Sumbangan/Dropping/Hibah
Instalasi Farmasi harus melakukan pencatatan dan pelaporan terhadap
penerimaan dan penggunaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai sumbangan/dropping/ hibah.
Seluruh kegiatan penerimaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai dengan cara sumbangan/dropping/hibah harus disertai
dokumen administrasi yang lengkap dan jelas. Agar penyediaan Sediaan Farmasi,
Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai dapat membantu pelayanan
kesehatan, maka jenis Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai harus sesuai dengan kebutuhan pasien di Rumah Sakit. Instalasi Farmasi
dapat memberikan rekomendasi kepada pimpinan Rumah Sakit untuk
mengembalikan/menolak sumbangan/dropping/hibah Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang tidak bermanfaat bagi
kepentingan pasien Rumah Sakit.30

2.3.4 PENERIMAAN
Penerimaan merupakan kegiatan untuk menjamin kesesuaian jenis,
spesifikasi, jumlah, mutu, waktu penyerahan dan harga yang tertera dalam kontrak
atau surat pesanan dengan kondisi fisik yang diterima. Semua dokumen terkait
penerimaan barang harus tersimpan dengan baik.30

2.3.5 PENYIMPANAN
Setelah barang diterima di Instalasi Farmasi perlu dilakukan penyimpanan
sebelum dilakukan pendistribusian. Penyimpanan harus dapat menjamin kualitas dan
keamanan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai sesuai
dengan persyaratan kefarmasian. Persyaratan kefarmasian yang dimaksud meliputi
persyaratan stabilitas dan keamanan, sanitasi, cahaya, kelembaban, ventilasi, dan
penggolongan jenis Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai.
Komponen yang harus diperhatikan antara lain:
a. Obat dan bahan kimia yang digunakan untuk mempersiapkan Obat diberi label
yang secara jelas terbaca memuat nama, tanggal pertama kemasan dibuka,
tanggal kadaluwarsa dan peringatan khusus
b. Elektrolit konsentrasi tinggi tidak disimpan di unit perawatan kecuali untuk
kebutuhan klinis yang penting
c. Elektrolit konsentrasi tinggi yang disimpan pada unit perawatan pasien
dilengkapi dengan pengaman, harus diberi label yang jelas dan disimpan pada
area yang dibatasi ketat (restricted) untuk mencegah penatalaksanaan yang
kurang hati-hati
d. Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang dibawa
oleh pasien harus disimpan secara khusus dan dapat diidentifikasi.
Instalasi Farmasi harus dapat memastikan bahwa Obat disimpan secara benar
dan diinspeksi secara periodik. Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai yang harus disimpan terpisah yaitu:
a. Bahan yang mudah terbakar, disimpan dalam ruang tahan api dan diberi tanda
khusus bahan berbahaya
b. Gas medis disimpan dengan posisi berdiri, terikat, dan diberi penandaaan untuk
menghindari kesalahan pengambilan jenis gas medis. Penyimpanan tabung gas
medis kosong terpisah dari tabung gas medis yang ada isinya. Penyimpanan
tabung gas medis di ruangan harus menggunakan tutup demi keselamatan.
Metode penyimpanan dapat dilakukan berdasarkan kelas terapi, bentuk
sediaan, dan jenis Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
dan disusun secara alfabetis dengan menerapkan prinsip First Expired First Out
(FEFO) dan First In First Out (FIFO) disertai sistem informasi manajemen.
Penyimpanan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang
penampilan dan penamaan yang mirip (LASA, Look Alike Sound Alike) tidak
ditempatkan berdekatan dan harus diberi penandaan khusus untuk mencegah
terjadinya kesalahan pengambilan Obat.
Rumah Sakit harus dapat menyediakan lokasi penyimpanan Obat emergensi
untuk kondisi kegawatdaruratan. Tempat penyimpanan harus mudah diakses dan
terhindar dari penyalahgunaan dan pencurian.
Pengelolaan Obat emergensi harus menjamin:
a. Jumlah dan jenis Obat sesuai dengan daftar Obat emergensi yang telah ditetapkan
b. Tidak boleh bercampur dengan persediaan Obat untuk kebutuhan lain
c. Bila dipakai untuk keperluan emergensi harus segera diganti
d. Dicek secara berkala apakah ada yang kadaluwarsa
e. Dilarang untuk dipinjam untuk kebutuhan lain.30
2.3.6 PENDISTRIBUSIAN
Distribusi merupakan suatu rangkaian kegiatan dalam rangka menyalurkan/
menyerahkan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai dari
tempat penyimpanan sampai kepada unit pelayanan/pasien dengan tetap menjamin
mutu, stabilitas, jenis, jumlah, dan ketepatan waktu. Rumah Sakit harus menentukan
sistem distribusi yang dapat menjamin terlaksananya pengawasan dan pengendalian
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai di unit pelayanan.
Sistem distribusi di unit pelayanan dapat dilakukan dengan cara:
a. Sistem Persediaan Lengkap di Ruangan (floor stock)
1) Pendistribusian Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai untuk persediaan di ruang rawat disiapkan dan dikelola oleh Instalasi
Farmasi.
2) Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang
disimpan di ruang rawat harus dalam jenis dan jumlah yang sangat
dibutuhkan.
3) Dalam kondisi sementara dimana tidak ada petugas farmasi yang mengelola
(di atas jam kerja) maka pendistribusiannya didelegasikan kepada
penanggung jawab ruangan.
4) Setiap hari dilakukan serah terima kembali pengelolaan obat floor stock
kepada petugas farmasi dari penanggung jawab ruangan.
5) Apoteker harus menyediakan informasi, peringatan dan kemungkinan
interaksi Obat pada setiap jenis Obat yang disediakan di floor stock.
b. Sistem Resep Perorangan
Pendistribusian Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
berdasarkan Resep perorangan/pasien rawat jalan dan rawat inap melalui Instalasi
Farmasi.
c. Sistem Unit Dosis
Pendistribusian Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
berdasarkan Resep perorangan yang disiapkan dalam unit dosis tunggal atau
ganda, untuk penggunaan satu kali dosis/pasien. Sistem unit dosis ini digunakan
untuk pasien rawat inap.
d. Sistem Kombinasi
Sistem pendistribusian Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai bagi pasien rawat inap dengan menggunakan kombinasi a + b atau b + c
atau a + c.
Sistem distribusi Unit Dose Dispensing (UDD) sangat dianjurkan untuk
pasien rawat inap mengingat dengan sistem ini tingkat kesalahan pemberian Obat
dapat diminimalkan sampai kurang dari 5% dibandingkan dengan sistem floor stock
atau Resep individu yang mencapai 18%.
Sistem distribusi dirancang atas dasar kemudahan untuk dijangkau oleh
pasien dengan mempertimbangkan:
a. Efisiensi dan efektifitas sumber daya yang ada
b. Metode sentralisasi atau desentralisasi.30

2.3.7 PENGENDALIAN
Pengendalian dilakukan terhadap jenis dan jumlah persediaan dan
penggunaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai.
Pengendalian penggunaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai dapat dilakukan oleh Instalasi Farmasi harus bersama dengan Tim Farmasi dan
Terapi (TFT) di Rumah Sakit.
Tujuan pengendalian persediaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai adalah untuk:
a. Penggunaan Obat sesuai dengan Formularium Rumah Sakit
b. Penggunaan Obat sesuai dengan diagnosis dan terapi
c. Memastikan persediaan efektif dan efisien atau tidak terjadi kelebihan dan
kekurangan/kekosongan, kerusakan, kadaluwarsa, dan kehilangan serta
pengembalian pesanan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai.
Cara untuk mengendalikan persediaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai adalah:
a. Melakukan evaluasi persediaan yang jarang digunakan (slow moving)
b. Melakukan evaluasi persediaan yang tidak digunakan dalam waktu tiga bulan
berturut-turut (death stock)
c. Stok opname yang dilakukan secara periodik dan berkala.30
Perencanaan Kebutuhan
Penetapan prioritas
Sisa persediaan
Data pemakaian periode yang lalu
Waktu tunggu pemesanan
Rencana pengembangan
Pencatatan dan pelaporan

Penganggaran
Sumber dana
Alokasi pendanaan
Pencatatan dan pelaporan
Pengadaan
Penentuan jumlah yang dibutuhkan
BABkebutuhan
Penyesuaian antara III dan dana
METODE PENELITIAN
Pemilihan metode pengadaan
Pemilihan pemasok
3.1 KERANGKA TEORI
Penentuan spesifikasi kontrak
Pemantauan proses pengadaan
Pembayaran
Pencatatan dan pelaporan

Penerimaan
Kesesuaian jenis
Spesifikasi
Kesesuaian Jumlah
Mutu
Kesesuaian waktu
Pencatatan dan pelaporan

Penyimpanan
Persyaratan stabilitas dan keamanan
Sanitasi
Cahaya
Kelembaban
Ventilasi
Pencatatan dan pelaporan

Pendistribusian
Sistem persediaan lengkap di ruangan
Sistem resep perorangan
Sistem unit dosis
Sistem kombinasi
Manajemen Pencatatan dan pelaporan Ketersediaan
Pengelolaan ADS
Pengendalian
Evalusi persediaan
Stock opname
Pencatatan dan pelaporan
Sumber: Permenkes RI No. 72 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di Rumah Sakit. 30

3.2 K
ERANGKA KONSEP

Jumlah Ketersediaan ADS


Kebutuhan ADS

Manajemen Pengelolaan
Pengendalian

3.3 DESAIN PENELITIAN

Desain survey eksplanatory. Data dikumpulkan menggunakan instrumen terstruktur


dengan pertanyaan bersifat kualitatif.

3.4 TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN


Penelitian ini dilaksanakan di RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso. Waktu pelaksanaan
pelaksanaan dimulai sejak Januari 2018 – Juni 2018

3.5 POPULASI DAN SAMPEL

3.5.1 DATA PRIMER

Responden dalam kajian ini diambil secara purposive sampling. Teknik


penentuan sampel secara purposive sampling didasarkan pada suatu pertimbangan
tertentu yang dibuat sendiri oleh peneliti, berdasarkan ciri atau sifat-sifat populasi
yang sudah diketahui sebelumnya.33
Ketidak tersediaan serum (ADS) terkait dengan beberapa bagian yakni unit
pengadaan, gudang obat dan instalasi farmasi. Jika terjadi keterlambatan atau masalah
yang dapat menghambat salah satu unit, maka akan berdampak pada semua bagian.
Responden dalam penelitian Penyebab Stock Out di Instalasi Farmasi RSPI Prof. Dr.
Sulianti Saroso, diantaranya terdiri dari :

1. Kepala Instalasi Farmasi


2. Koordinator Pelayanan Instalasi Farmasi
3. Koordinator Perencanaan Instalasi Farmasi
4. Kepala Gudang Farmasi
5. Ka. ULP/Pengadaan
6. Staf ULP Farmasi

Responden diatas dipilih berdasarkan kemampuan dan pengetahuan yang


dimiliki terkait seluruh kegiatan pengelolaan logistik vaksin di gudang farmasi.
Informan yang dipilih juga telah bekerja selama ±3 tahun di rumah sakit.

3.5.2 DATA SEKUNDER

1. Data pasien difteri

Populasi
Seluruh data rekam medik pasien difteri tahun 2015 – 2017 berjumlah 102 kasus
Sampel
Sampel adalah semua data rekam medik pasien difteri yang memenuhi kriteris
inklusi dan eksklusi yang diambil dengan teknik total sampel.
Kriteria inklusi:

a. Data rekam medik pasien difteri tahun 2015-2017


b. Data rekam medik lengkap

Kriteria eksklusi:

a. Data pasien difteri hamil


b. Data pasien yang telah mendapatkan ADS dari rumah sakit asal rujukan

2. Data ketersediaan ADS didapatkan dari data Instalasi farmasi.


3. Dokumen Instalasi Farmasi
4. Alur distribusi ADS dari Dinas Kehatan Pemrov DKI Jakarta/ Ditjen Pencegahan
dan Pengendalian Penyakit (P2P)

3.6 DEFINISI OPERASIONAL

Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Cara Ukur Hasil Skala


Ukur

Variabel Dependen
1. Jumlah Jumlah kebutuhan ADS Observasi
Kebutuhan ADS pada pasien yang dirawat data rekam
di RSPI SS berdasarkan medik dan
periode bulan farmasi
Variabel Independen
A. Ketersediaan Kondisi dimana Kuesioner
ADS tersedianya serum (ADS) dan telaah
di Instalasi Farmasi RSPI dokumen
Prof. Dr. Sulianti Saroso
sesuai dengan kebutuhan
pasien meliputi tepat
jumlah, tepat jenis dan
tepat waktu.
Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Cara Ukur Hasil Skala
Ukur

B. Manajemen Kegiatan dalam menjaga Pedoman Kuesioner


Pengelolaan ketersediaan ADS di Wawancara dan telaah
- Pengendalian gudang Farmasi dan dokumen
memastikan proses logistik
dapat berjalan sesuai
tujuan.

3.7 PENGUMPULAN DATA

Data yang dikumpukan meliputi:

a. Data primer (wawancara)


b. Data sekunder didapatkan dari data Instalasi farmasi dan data status Rekam Medis
pasien difteri

3.8 INSTRUMEN PENGUMPULAN DATA

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara dan kuesioner hasil
telaah data kasus difteri di RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso tahun 2015-2017

3.9 PROSEDUR KERJA PENGUMPULAN DATA

Prosedur kerja data primer yaitu dengan wawancara dan data sekunder yaitu dengan
mencatat dari data yang didapatkan di Instalasi Rekam Medik dan Instalasi Farmasi
dengan instrumen kuesioner.

3.10 MANAJEMEN DAN ANALISIS DATA

3.10.1 MANAJEMEN DATA


 Pengumpulan data

Pengumpulan data ini dilakukan dengan cara wawancara pada subjek penelitian
dan telaah dokumen. Hasilnya direkam dengan handphone dan disalin dalam
bentuk transkip hasil wawancara dan kemudian melakukan telaah data kasus
difteri dengan kuesioner di Instalasi Farmasi RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso tahun
2015-2017

 Reduksi data

Reduksi data adalah proses merangkum, memilih hal-hal yang pokok,


memfokuskan pada hal-hal yang penting dan transformasi data kasar yang muncul
dari catatan-catatan di lapangan dengan langkah mengurangi atau menghilangkan
hal-hal yang tidak perlu. Dengan demikian, maka akan memberikan gambaran data
yang lebih jelas dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengambilan data
selanjutnya serta mencarinya bila diperlukan.

 Penyajian data

Setelah direduksi data, langkah selanjutnya adalah menyajikan data dengan bentuk
uraian singkat yang bersifat naratif. Selain itu juga dapat disajikan dalam bentuk
grafik, matrik, network (jejaring kerja), dan chart. Dengan penyajian data, maka
akan memudahkan untuk memahami apa yang terjadi dan merencanakan kerja
selanjutnya berdasarkan apa yang telah dipahami.

 Penarikan kesimpulan dan verifikasi

Tahap akhir pengolahan data adalah penarikan kesimpulan. Setelah semua data
tersaji permasalahan yang menjadi objek penelitian dapat dipahami dan kemudian
ditarik kesimpulan yang merupakan hasil dari penelitian ini.

3.10.2 ANALISIS DATA

Analisis data menggunakan analisis univariat dan bivariat. Variabel yang akan di
analisis akan disajikan dalam bentuk tabel.
3.11 PERTIMBANGAN ETIK PENGKAJIAN

Diajukan ke Komisi Etik Penelitian Kesehatan RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso untuk
telaah lebih lanjut.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

1. Nandi, R., Purkayasha, P., Bhattacharjee, A.K. Diphteria The Patch Remains.
International Congress Series. 1254. Published by Elsevier B.V. United Kingdom,
2003
2. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Buku Imunisasi di Indonesia. Jakarta : Satgas
Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2011
3. Shah, I. Diphtheria A Case Report. Pediatrics Oncall, 2005 (online).
http://www.pediatricsoncall.com/fordoctor/casereports/diphteria.asp
4. Kementerian Kesehatan RI. Petunjuk Teknis Pelaksanaan Imunisasi dan Surveilans
Dalam Rangka Penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB) Difteri, 2013.
5. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Buku Pedoman Penyelidikan dan
Penanggulangan Kejadian Luar Biasa Penyakit Menular dan Keracunan Pangan
(Pedoman Epidemiologi Penyakit). Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan Tahun 2011. Jakarta, 2011
6. http://www.who.int/immunization/monitoring_surveillance/data/gs_gloprofile.pdf,
diakses April 2017
7. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1501. Jenis Penyakit
Menular Tertentu Yang Dapat Menimbulkan Wabah dan Upaya Penanggulangannya,
2010
8. Kementerian Kesehatan RI. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2012, 2013
9. Kementerian Kesehatan RI. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013, 2014
10. Kementerian Kesehatan RI. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2014, 2015
11. Kementerian Kesehatan RI. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2015, 2016
12. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur. Penyakit Difteri dan Situasi di Jatim.
Surabaya, 2011.
13. Undang – Undang Republik Indonesia nomor 44. Rumah Sakit, 2009
14. Surveilans Bidang Epidemiologi. Direktorat Pengkajian Penyakit Infeksi dan
Penyakit Menular Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof. Dr. Sulianti Saroso, 2013-2016
15. Depkes RI. Sistem Kesehatan Nasional (SKN). Jakarta, 2004
16. Widoyono. Penyakit Tropis: Epidemiologi, Penularan, Pencegahan &
Pemberantasannya. Erlangga Medical Series (EMS). Semarang, 2005
17. Chin, James. Manual Pemberantasan penyakit Menular. Editor Penterjemah: I
Nyoman, 2000. http://www.digilib.litbang.depkes.go.id
18. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Buku Ajar Respirologi anak, edisi pertama.
Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2008
19. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III.
Edisi Keempat. Jakarta : Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 2006
20. Ditjen PPM-2PL Depkes RI. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
1116/MENKES/VIII/2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans
Epidemiologi Kesehatan. In Surveilans Epidemiologi Dan Penanggulangan KLB.
Jakarta, 2003
21. Behrman, Kliegman, Arvin. Ilmu kesehatan anak. Cetakan 1. Ed 15. Jakarta : EGC,
2000.h.955-8, 1477.
22. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Departemen Ilmu Kesehatan Anak.
Current Evidences in Pediatric Emergencies Management. Pendidikan Kedokteran
Berkelanjutan LXVIII, 2014.
23. Nelson. Textbook of Pediatrics (17th ed). Philadelphia : Saunders, 2006
24. Siregar, J.P.C dan Amalia, L. Farmasi Rumah Sakit Teori dan Penerapan. Jakarta:
EGC, 2004
25. Jensen, V & Rappaport, BA. The Reality of Drug shortages. New England Journal of
Medicine, 2010 Sumber : http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMp1005849
26. Milena, dkk. Effects on Patient Care Caused by Drug Shortages: A Survey, 2013
Sumber http://www.amcp.org/JMCP/2013/Nov-Dec/17317/1033.html
27. Renie & Widodo. Faktor Penyebab dan kerugian akibat Stockout dan Stagnant Obat
di Unit Logistik RSU Haji Surabaya. Tesis: Universitas Airlangga, 2013
28. Dumbi. Faktor yang mempengaruhi kekosongan obat di Instalasi Farmasi RSUD
Pohuwato, 2012.
29. Pratiwi, Amiati. Stock out Obat di Gudang Perbekalan Kesehatan Rumah Sakit Islam
Jakarta Cempaka Putih. FKM UI : Depok., 2009
30. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2016. Standar
Pelayanan Kefarmasian Di Rumah Sakit
31. Seto. Manajemen Farmasi. Universitas Airlangga Press. Surabaya, 2004
32. Aditama. T.Y. Manajemen Administrasi Rumah Sakit. Edisi 2. Jakarta: Universitas
Indonesia, 2007.
33. Sugiyono. Memahami Penelitian Kualitatif . Bandung: ALFABETA, 2012

Anda mungkin juga menyukai