Anda di halaman 1dari 15

MATA KULIAH PROMOSI KESEHATAN

ANALISIS EPIDEMIOLOGI DAN ANALISIS PERILAKU


PENYAKIT MENULAR CAMPAK

Dosen :
Prof. Dr. Soekidjo Notoatmodjo, S.K.M., M.Com.H
Dr. Atik Kridawati, ST, M.Kes

DISUSUN OLEH:
KELAS B
1 Anita Puspitasari Dyah N 166070008
2 Mariana Mirazona L 166070050
3 Martaliza 166070051
4 Dimas Budi Wicaksono 166070022

PROGRAM PASCASARJANA
PRODI KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS RESPATI INDONESIA
TAHUN 2016
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Campak merupakan penyakit menular yang dapat menimbulkan wabah namun dapat dicegah dengan
imunisasi, umumnya menyerang pada balita dan anak usia sekolah namun tidak menutup kemungkinan dapat
menyerang orang dewasa. Mengingat campak dapat mengakibatkan komplikasi dan menyebabkan kematian pada
balita terutama pada balita yang tidak mendapatkan vaksinasi, maka pemerintah terus berusaha mempertahankan
cakupan imunisasi campak sebagai upaya komitmen global. Meskipun salah satu upaya yang efektif untuk menekan
angka kesakitan/kematian bayi dan balita adalah dengan imunisasi, tetapi upaya imunisasi ini akan efektif bila
cakupan dan kualitasnya sudah optimal (Depkes, 1992)
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan pada tahun 2011 Eropa dilanda kejadian luar biasa (KLB)
Campak atau Measles obreaks spread across europe. Sepanjang tahun 2011 sudah mencapai 6500 kasus dan lebih
dari 30 negara telah melaporkan adanya peningkatan nyata kasus campak (www.who.int).
Untuk mencapai tujuan Millenium Development Goals (MDGs) dalam rangka mengurangi 2/3 kematian bayi
dalam periode 1990-2015, angka cakupan imunisasi harus ditingkatkan untuk mencegah infeksi penyakit menular,
termasuk didalamnya TBC, batuk rejan, polio dan campak.
Sesuai kesepakatan global dan Multi Years Plan (MYP) 2006-2011, Program Imunisasi Nasional bertujuan
untuk : (1) Eradikasi Polio, (2) Eliminasi Tetanus Neonatorum, (3) Reduksi Campak, (4) Reduksi Hepatitis B, (5)
Safety Injection, (6) Waste Management. Hal ini dilaksanakan sehingga penyakit yang dapat dicegah dengan
imunisasi (PD3I) yang menyebabkan kematian anak di negara-negara berkembang termasuk Indonesia dapat
dieliminir bahkan dibasmi (eradikasi), Depkes RI, 2006).
Walaupun telah banyak upaya pemerintah untuk menanggulangi kejadian campak di seluruh wilayah
Indonesia, tetapi kasus campak tetap terjadi bahkan masih potensial menimbulkan wabah atau KLB Campak. Hal
tersebut disebabkan banyak faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian campak.

1.2 GAMBARAN EPIDEMIOLOGI


Penyakit campak dikenal juga sebagai morbili (latin), measles (Inggris) adalah penyakit yang sangat
menular, merupakan salah satu penyebab kematian pada anak di seluruh dunia. Menurut WHO (2015), pada tahun
2013 sekitar 145.700 orang meninggal akibat campak, sekitar 400 kematian setiap hari atau 16 kematian setiap jam
dan sebagian besar terjadi pada anak-anak di bawah usia 5 tahun. Usaha yang efektif dalam pencegahan penyakit
ini adalah dengan imunisasi, dan selama tahun 2000 sampai 2013, imunisasi campak berhasil menurunkan 15,6 juta
(75%) kematian akibat campak di seluruh dunia.
Lebih dari 60% dari 21,5 juta anak-anak yang tidak mendapatkan imunisasi campak pada usia 9 bulan
berasal dari 6 negara berkembang berikut ini: India (6,4 juta), Nigeria (2,7 juta),Pakistan (1,7 juta), Ethiopia (1,1 juta),
Indonesia (0,7 juta) dan Republik Kongo (0,7 juta). Sebagian besar kematian akibat campak terjadi di 6 negara ini
dengan proportional mortality rate tahun 2013 sebesar 70% (WHO, 2014).
Indonesia adalah Negara dengan jumlah penduduk terbesar ke 4 (empat) di dunia dengan angka kesakitan
akibat campak sekitar 1 juta pertahun. Diperkirakan sekitar 30.000 anak Indonesia meninggal setiap tahunnya
disebabkan komplikasi campak, hal ini berarti setiap 20 menit, ada 1 anak meninggal, mengingat setiap tahunnya
lebih dari satu juta anak di Indonesia belum terimunisasi campak (Rosita, 2010).
Berdasarkan statistik Profil Kesehatan Indonesia 2012, disebutkan bahwa lebih dari 70% kematian balita di
Negara ASEAN disebabkan diare, pneumonia, campak, malaria dan malnutrisi. Berdasarkam nilai normatif Angka
Kematian Balita (AKABA) yang ditetapkan oleh Millenium Development Goals (MDGs), yaitu sangat tinggi dengan
nilai >140 per 1.000 kelahiran hidup, tinggi dengan nilai 71-140 per 1.000 kelahiran hidup, sedang dengan nilai 20-70
per 1.000 kelahiran hidup dan rendah dengan nilai <20 per 1.000 kelahiran hidup, maka Indonesia berada dalam
kategori sedang sebesar 31,8 kematian per 1.000 kelahiran. Untuk campak sendiri, Indonesia merupakan Negara
ASEAN yang memiliki kasus penyakit campak terbanyak dengan jumlah 15.489 kasus, sedangkan urutan kedua
terbanyak adalah Thailand dengan 5.197 kasus, dan 8 negara ASEAN lainnya memiliki jumlah lebih sedikit dan tidak
lebih dari 3.000 kasus. Dalam klasifikasi WHO, Indonesia termasuk dalam kawasan South East Asia Region (SEAR)
merupakan penyumbang kedua kasus campak setelah India.
Di Indonesia, pada tahun 2012 dilaporkan terdapat 15.987 kasus campak, sedangkan pada tahun 2013
terdapat 10.712 kasus campak, dan pada tahun 2014 terjadi 12.943 kasus serta pada tahun 2015 kasus campak
menurun menjadi 8.185 kasus (Ditjen Pencegahan & Pengendalian Penyakit, Kemenkes RI; Riskesdas, Badan
Litbangkes, Kemenkes RI; Data Rutin Ditjen P2P Tahun 2015 update sampai dengan 13 Mei 2016).
Indonesia pada saat ini berada dalam tahap reduksi dengan pengendalian dan pencegahan kejadian luar
biasa (KLB). Jumlah kasus campak menurun pada semua golongan umur di Indonesia, namun kejadian pada
kelompok umur < 1 tahun dan 1-4 tahun selalu tinggi daripada kelompok umur lainnya. Pada umumnya kejadian luar
biasa (KLB) yang terjadi di beberapa provinsi menunjukkan kasus tertinggi selalu pada golongan umur 1-4 tahun
(Depkes, 2006).
Kecenderungan secara umum, kasus campak klinis berdasarkan golongan umur pada tahun 2005-2007
didominasi oleh golongan umur 1-4 tahun, sedangkan tahun 2008-2009 terjadi pergeseran ke golongan umur 5-9
tahun (Kemenkes RI, 2009)

BAB II
ANALISIS EPIDEMIOLOGI

2.1 HOST
2.1.1 FAKTOR FISIK
A. UMUR
Kasus campak di negara industri terjadi pada anak usia 4-6 tahun ataupun usia sekolah dasar dan pada
anak dengan usia yang lebih muda di negara berkembang. Cakupan imunisasi yang intensif menghasilkan
perubahan dalam distribusi umur dimana kasus lebih banyak pada anak dengan usia yang lebih tua, remaja, dan
dewasa muda.
Di Indonesia, kebijakan reduksi campak ditekankan pada menghapuskan kelompok rawan ( susceptible)
campak, terutama pada usia balita dan anak usia sekolah. Kegiatan crash program campak ditujukan untuk
menghilangkan kelompok rawan pada usia balita, dilaksanakan pada daerah resiko tinggi kemudian dilanjutkan
dengan imunisasi tambahan, sweeping dan melaksanakan blocklog fighting, sedangkan untuk menurunkan angka
kematian di kelompok rawan pada usia anak sekolah dilakukan catch-up campaign dengan sasaran kelas 1-6 SD
dan dilanjutkan dengan pelaksanaan Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS) dengan sasaran kelas 1 SD.

B. STATUS IMUNISASI
Status imunisasi campak dari setiap individu akan berpengaruh terhadap perlindungan kelompok
dari serangan infeksi di wilayah tersebut (Fine & Paul, 1993). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang
dilakukan pasa sekelompok anak usia 12-24 bulan di Jakarta Selatan yang tidak diimunisasi, mempunyai resiko 2,53
kali menderita penyakit campak (Purnomo, 1996). Demikian pula di Kabupaten Serang, anak yang tidak diimunisasi
campak mempunyai resiko 1,21 kali terkena campak dibandingakan dengan anak yang diimunisasi (Padri, 2000).
Tingginya status imunisasi campak di suatu kelompok akan terjadi jika pelaksanaan imunisasi campak
dilakukan dengan didukung seluruh lapisan masyarakat dan partisipasi dari unsur sektoral, lingkungan sosial
masyarakat serta masyarakat yang menerima vaksin (Depkes, 1995).
Pelaksanaan program imunisasi dasar di Indonesia untuk penyakit campak adalah 9-12 bulan. Antibodi
terhadap campak terbentuk sekitar 90% pada anak umur 9 bulan namun 10% anak yang telah menerima imunisasi
campak gagal membentuk antibody, hal itu disebabkan adanya antibody bawaan (pasif) dari ibunya (maternal
antibody), vaksin rusak dan sebab lain. Anak yang gagal dengan vaksin pertama, akan berhasil dengan vaksin
kedua. Hasil penelitian serologi, 99% mereka yang menerima vaksin kedua kebal terhadap campak (Depkes, 2003).
Indonesia juga mempertahankan cakupan imunisasi rutin (anak usia 9-12 bulan) tinggi dan merata di
seluruh desa, melaksanakan follow up campaign bila kasus campak banyak dan cakupan rendah, meningkatkan
sensitivitas surveilans campak (case based) dengan pemeriksaan serologis bertahap meningkatkan manajemen
kasus termasuk pemberian Vit.A dan antibiotik untuk kasus dengan komplikasi, melakukan fully investigation pada
KLB campak melalui penyelidikan lapangan untuk mengetahui besar masalah, pemeriksaan serologis berdasarkan
diagnosis/ IgM dan melakukan pemeriksaan virologist (pemetaan tipe virus)
Kasus campak hampir tidak ditemui pada bayi usia kurang dari 4 bulan,karena masih mendapatkan proteksi
dari antibodi yang diperoleh sejak dalam kandungan (Atkinson, 2000). Pelaksanaan imunisasi campak memberikan
dampak positif paling tidak menurunkan angka kesakitan dan kematian campak dari 10% pada tahun 1980 menjadi
2,81 % pada tahun 1991. Upaya imunisasi tambahan telah menurunkan kematian campak sampai dengan 48%
(Supari, 2007)
C. STATUS VITAMIN A
Vitamin A adalah salah satu zat gizi penting yang larut dalam lemak, disimpan dalam hati dan tidak dapat
diproduksi oleh tubuh sehingga harus dipenuhi dari luar tubuh. Manfaat vitamin A diantaranya (1) meningkatkan daya
tahan tubuh terhadap penyakit dan infeksi seperti campak dan diare, (2) membantu proses penglihatan dalam
adaptasi terang ke tempat yang gelap, (3) mencegah kelainan pada sel-sel epitel termasuk selaput lendir mata, (4)
mencegah terjadinya proses metaplasi sel-sel epitel kelenjar tidak memproduksi cairan yang dapat menyebabkan
kekeringan mata, (5) mencegah terjadinya kerusakan mata hingga kebutaan, (6) mempertahankan epitel usus dan
(6) vitamin A esensial untuk membantu proses pertumbuhan.
Anak yang menderita kekurangan vitamin A mudah sekali terserang infeksi seperti campak dan
pada saat anak menderita campak, tubuh mengguankan vitamin A secara berlebihan, sehingga intake dan
absorbsinya menurun. Oleh karena itu anak yang menderita campak diberikan vitamin A untuk mempertahankan
lapisan epitel usus dan memperkuat imunitas seluler (Kandun, 1990).
Hasil penelitian Sadikun dkk (1996), vitamin A dapat mempercepat pembentukan antibodi (dari IgM menjadi
IgG). Menurut Hussey & Gemenes (1996) menyatakan bahwa vitamin A merupakan strategi untuk penanggulangan
komplikasi campak. Di Indonesia pemberian vitamin A diberikan 2x setahun pada bulan Pebruari dan Agustus pada
usia 6-59 bulan. Ada dua jenis vitamin A yang diberikan yaitu yang berwarna biru (100.000 IU) untuk bayi usia 6-11
bulan dan yang berwarna merah (200.000 IU) untuk anak usia 12-59 bulan.

D. STATUS GIZI
Indonesia sebagai salah satu Negara berkembang memiliki beberapa masalah kesehatan, salah satunya
adalah masalah gizi. Anak dengan kondisi kurang gizi, umumnya lebih mudah terserang penyakit campak
(James, 1990). Penelitian Scrimshaw (1975) yang dikutip oleh Sihadi (1998) dan Alibbirwin (2001) menyebutkan
bahwa penyakit-penyakit infeksi yang selalu menyertai Kekurangan Energi Protein (KEP) pada balita adalah diare,
campak, batukrejan dan gangguan saluran pernapasan. Komplikasi penyakit campak sering dikaitkan dengan status
gizi penderita. Kematian pada anak penderita campak dengan malnutrisi, 4 kali lebih besar dibandingkan
dengan anak-anak dengan status gizi yang cukup.
Anak dengan status gizi buruk juga mengeluarkan sekresi virus campak untuk waktu yang lebih lama, jika
dibandingkan dengan anak dengan gizi baik, hal ini memperlihatkan risiko sembuh lebih lama dengan bertambahnya
waktu infeksi dan tingginya intensitas penularan terhadap orang lain. Pada anak yang mengalami malnutrisi terdapat
perubahan fungsi pada T-cell sehingga dapak menambah risiko campak (Strebel, 2004).
Anak dengan gizi buruk tidak akan dapat membentuk zat kebal terhadap campak walaupun sudah
diimunisasi (Havez, et al 1977 dalam Wuryadi 1987). Sedangkan menurut Wesley (1979), menyatakan bahwa zat
kebal pada vaksinasi anak gizi buruk bukan tidak terbentuk, tetapi pembentukan antibody agak terlambat.
2.1.2 NON FISIK
A. PENDIDIKAN
Tingkat pendidikan sangat mempengaruhi bagaimana seseorang untuk bertindak dan mencari penyebab
dan solusi dalam hidupnya. Orang yang berpendidikan lebih tinggi, biasanya akan bertindak lebih rasional .
Oleh karena itu yang berpendidikan akan lebih mudah menerima gagasan baru. Pendidikan juga mempengaruhi pola
berpikir pragmatis dan rasional terhadap kebiasaan, dengan pendidikan lebih tinggi orang dapat lebih mudah untuk
menerima ide atau masalah baru.
Pendidikan sangat berpengaruh pada pengetahuan seseorang semakin tinggi pendidikan seseorang maka
semakin tinggi pula pengetahuannya. Menurut Suhardi (2009), faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan
seseorang salah satunya adalah pendidikan. Semakin tinggi pendidikan seseorang, maka makin mudah orang
tersebut menerima informasi sehingga semakin banyak pula pengetahuan yang didapatnya.
Menurut Notoatmodjo (2003) yang menyatakan bahwa seseorang yang berpendidikan tinggi mempunyai
pengetahuan yang lebih baik dibandingkan dengan orang yang berpendidikan menengah dan rendah. Pendidikan
mempunyai peranan penting dalam menentukan kualitas manusia, dengan pendidikan manusia dianggap akan
memperoleh pengetahuan dan informasi, dan semakin tinggi pendidikan seseorang semakin berkualitas hidupnya.

B. Sumber informasi
Menurut Suryanto (2007), informasi adalah salah satu organ pembentuk pengetahuan dan memegang
peranan besar dalam membangun pengetahuan. Semakin banyak seseorang memperoleh informasi, maka semakin
baik pula pengetahuannya, sebaliknya semakin kurang informasi yang diperoleh, maka semakin kurang
pengetahuannya.
Menurut Mc. Quail (2000), mengatakan bahwa media massa merupakan wahana bagi banyak isu dalam
masyarakat dan hadir dalam berbagai bentuk dan memiliki peran penting dalam menyebarkan beragam informasi
dan pendapat sehingga menjadi elemen dan menempati posisi penting dalam masyarakat dan memiliki potensi untuk
dikembangkan untuk kepentingan tertentu.
Sondang (2005) mengatakan bahwa orang yang berpendidikan lebih tinggi punya kesempatan yang luas
untuk terpapar berbagai informasi dan akan menjadi lebih berpengetahuan baik dibandingkan dengan mereka yang
tidak berpendidikan tinggi. Dan Notoatmodjo (2003) berpendapat bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan
seseorang maka semakin tinggi pula intelektualnya.
Pengetahuan yang dimiliki seseorang dapat dipengaruhi seberapa banyak informasi yang diperolehnya baik
secara langsung maupun tidak langsung. Pengetahuan juga dapat dipengaruhi oleh kecepatan seseorang dalam
menerima informasi yang diperoleh, sehingga semakin banyak seseorang memperoleh informasi, maka semakin
baiklah pengetahuannya, sebaliknya semakin kurang informasi yang diperoleh, maka semakin kurang
pengetahuannya. Informasi tersebut dapat diperoleh melalui media massa dan elektronik serta tenaga kesehatan
dan penyuluhan-penyuluhan kesehatan (Notoatmodjo, 2003).
Pendapat ini diperkuat oleh Modlor (1998), “Hubungan informasi dengan pengetahuan” yang dikutip
Notoatmodjo (2003), mengatakan bahwa pengetahuan juga terbentuk dari pengalaman informasi-informasi yang
didapat di pendidikan non formal seperti membaca buku, koran, majalah, serta televisi. Jadi pengetahuan dapat
dipengaruhi oleh pengakuan dan informasi.
Luhan (2009), mengatakan bahwa media massa adalah suatu jenis komunikasi yang ditujukan kepada
sejumlah masyarakat melalui media cetak dan media elektronik sehingga peran informasi yang sama dapat diterima
secara serentak. Pendapat ini didukung oleh Achmad (2004), mengatakan untuk dapat memperoleh pengetahuan,
kita dapat memperoleh informasi tersebut dari berbagai sumber, terutama dari media massa, misalnya TV, radio,
surat kabar, majalah, komputer bahkan dari internet.

C. PELAYANAN KESEHATAN
Sebenarnya bayi sudah mendapatkan kekebalan alamiah campak dari ibunya. Namun seiring
bertambahnya usia khususnya setelah usia 9 bulan, antibodi dari ibunya semakin menurun sehingga butuh
antibodi tambahan lewat pemberian vaksin campak. Apalagi penyakit campak mudah menular, dan mereka yang
daya tahan tubuhnya lemah gampang sekali terserang penyakit yang disebabkan virus Morbili ini. Untungnya
campak hanya diderita sekali seumur hidup. Bila seseorang anak terkena campak, setelah itu biasanya tak akan
terkena lagi. Penyakit Campak (measles) adalah suatu infeksi virus yang sangat menular, yang ditandai dengan
demam, batuk, konjungtivitis (peradangan selaput ikat mata/konjungtiva) dan ruam kulit. Penyakit ini disebabkan
karena infeksi virus campak golongan Paramixovirus.
Penularan infeksi terjadi karena menghirup percikan ludah penderita campak. Penderita bisa menularkan
infeksi ini dalam waktu 2-4 hari sebelum rimbulnya ruam kulit dan 4 hari setelah ruam kulit ada. Sebelum vaksinasi
campak digunakan secara meluas, wabah campak terjadi setiap 2-3 tahun, terutama pada anak-anak usia pra-
sekolah dan anak-anak SD. Jika seseorang pernah menderita campak, maka seumur hidupnya biasanya dia akan
kebal terhadap penyakit ini.
Vaksin campak adalah vaksin virus hidup yang dilemahkan , merupakan vaksin beku kering berwarna
kekuningan pada vial gelas, yang harus dilarutkan hanya dengan pelarut vaksin campak kering produksi PT Bio
Farma yang telah disediakan secara terpisah. Vaksin campak ini berupa serbuk injeksi. Pemberian: Usia dan
Jumlah Pemberian Sebanyak 2 kali; 1 kali di usia 9 bulan, 1 kali di usia 6 tahun . Dianjurkan, pemberian
campak ke-1 sesuai jadwal. Selain karena antibodi dari ibu sudah menurun di usia 9 bulan, penyakit campak
umumnya menyerang anak usia balita. Jika sampai 12 bulan belum mendapatkan imunisasi campak, maka pada
usia 12 bulan harus diimunisasi MMR (Measles Mump Rubella).
Masalah imunisasi campak dapat dilihat dari 3 (tiga) aspek (Harjati, 1990) yang meliputi, antara lain:
1. Vaksin Campak
Vaksin campak resmi yang digunakan oleh Kementerian Kesehatan RI berasal dari produk Bio Farma. Pada
penelitian yang dilakukan oleh Sundoro (2015) tentang kualitas vaksin campak Bio Farma terkait protektivitas, reaksi
sistemik dan lokal vaksin pada sejumlah anak sekolah dasar di Kabupaten Agam dan Kabupaten Limapuluh Kota
ditemukan bahwa vaksin dengan kualitas baik akan menghasilkan profil yang aman dilihat dari reaksi lokal dan
sistemik yang rendah dari angka literatur dan respon imun yang baik pada anak dilihat dari seroproteksi berdasarkan
standar WHO yaitu 97%-98%. Agar vaksinasi dapat mencapai hasil yang maksimal, maka pengelolaan vaksin
meliputi cara pengiriman, penyimpanan dan penanganan di lapangan harus diperhatikan (Gunawan, 1985).
2. Penerima vaksin
Berdasarkan rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Tahun 2014, penerima vaksin campak yaitu
pada anak berusia 9 bulan, 24 bulan dan 6 tahun. Pemberian vaksin campak melalui imunisasi dasar wajib diberikan
pada bayi berusia 9 bulan, kemudian dilanjutkan dengan imunisasi yang dianjurkan pada usia 24 bulan dan
imunisasi pada anak sekolah dasar melalui program BIAS yaitu usia 6 tahun.
3. Pemberi vaksin
Pemberi 2 (dua) kelompok yang sering berperan dalam pelaksanaan program imunisasi, yaitu petugas
kesehatan sebagai pelaksana program dan tokoh masyarakat sebagai penunjang pelaksana program

2.2 AGENT
Penyakit campak (Measles atau Morbili) adalah penyakit menular dan akut yang disebabkan oleh virus
golongan paramyxovirus (RNA) genus Morbilivirus . Penyakit ini mudah ditularkan melalui pernapasan yang
keluar saat penderita batuk, bersin atau kontak dengan sekresi dari pernapasan (CDC, 2000).
Virus campak mempunyai 6 (enam) struktur protein, 3 (tiga) diantaranya menyatu dengan RNA dan ketiga
lainnya berhubungan dengan selaput pembungkus virus. Dua dari protein selaput pembungkus virus tersebut sangat
berperan dalam melakukan phatogenesis.
Pada sebagian besar individu, setelah infeksi campak akan terbentuk imunitas dan imunitas terjadi seumur
hidup. Antibody yang lebih baik terjadi pada infeksi alami dibandingkan dengan antibody yang terbentuk karena
imunisasi campak. Titer antibody yang ditimbulkan karena infeksi campak lebih stabil dan dapat ditunjukkan selama
hidup.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa adanya penurunan antibody maternal dari kelompok umur 0-6 bulan,
titik terendah berada pada kelompok umur 7-9 bulan, sehingga pada kelompok umur inilah waktu yang tepat dalam
pemberian imunisasi campak (Wuryadi, 1983). Efikasi vaksin campak yang dilakukan pada bayi usia 9 bulan adalah
sebesar 85%, usia 12 bulan sebesar 95% dan pada usia 15 bulan sebanyak 95%. Adapun pemberian imunisasi
campak menurut rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Tahun 2014 yaitu 9 bulan, 24 bulan dan 6 tahun.
Respon imun yang terbentuk setelah imunisasi campak, dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain: faktor
umur saat diimunisasi yang erat kaitannya dengan antibody maternal,status gizi, penyakit yang diderita anak, faktor
vaksin yang diberikan, faktor penyimpanan vaksin dan cara pemberian imunisasi (Handayani, 2005) Suseptibilitas
penyakit campak dapat terjadi pada semua orang, diperkirakan 90% dari anak-anak yang belum pernah diimunisasi
telah menderita penyakit campak. Proses penularan penyakit campak tergantung pada tingkat kekebalan seseorang
atau di masyarakat, kepadatan penduduk dan mobilitasnya. Hampir semua ibu di negara berkembang seperti
Indonesia pernah mengalami penyakit campak pada masa kecilnya, sehingga bayi yang dilahirkan memiliki antibody
bawaan dari ibunya (antibody maternal). Kadar antibody tersebut berangsur-angsur akan turun seiring meningkatnya
usia sang anak, sehingga perlindungan yang optimal hanya 6-9 bulan sejak kelahirannya (Benenson, 1985)

2.3 ENVIRONMENT
Menurut Dibley (1987), (Soemirat, 1994) dan (Gutierez, et al, 1996) menyatakan bahwa beberapa faktor
lingkungan yang berkontribusi pada kejadian campak pada anak antara lain: rumah/ tempat tinggal yang
padat penghuni, kondisi rumah dengan ventilasi yang buruk, rumah yang didiami oleh beberapa keluarga .
Menurut Depkes (1992), batas minimal kepadatan hunian, adalah 4,5/m2 per orang, sedangkan ventilasi
mempunyai luas minimal 10% dari total luas lantai rumah. Pada wabah campak yang terjadi di Guinnea-Bissau
menunjukkan bahwa jumlah anak yang banyak, menambah risiko terjadinya infeksi campak dan menambah
keparahan penyakit (Aaby, 1984). Attack rate lebih tinggi pada anak-anak yang tinggal dirumah padat penghuni,
dibandingkan dengan anak-anak yang tinggal di rumah yang tidak padat penghuni. Disamping rumah tempat tinggal,
tempat-tempat umum seperti sekolah, asrama, dan tempat-tempat berkumpulnya anak juga merupakan bagian yang
mempengaruhi intensitas penyakit.
Pada KLB campak yang terjadi Kabupaten Pemalang tahun 2001, diketahui bahwa kondisi lingkungan
seperti rumah non permanen, jenis lantai dari tanah, ventilasi, pencahayaan yang kurang memenuhi syarat dan
penggunaan air bersih merupakan faktor risiko terhadap kejadian penyakit menular yang sewaktu-waktu dapat
terjadi.
Bangunan yang sempit dan tidak sesuai dengan banyaknya penghuni akan memberi dampak penurunan
kualitas udara di dalam rumah seperti kurangnya oksigen dalam ruangan sehingga daya tahan tubuh penghuninya
menurun, ruangan yang sempit memudahkan penularan penyakit antar anggota keluarga. Kepadatan hunian
meningkatkan suhu ruangan dan selanjutnya meningkatkan kelembaban akibat uap air dari pernapasan tersebut.
Dengan demikian semakin cepat udara ruangan mengalami pencemaran gas atau bakteri.
Hal lain yang mendukung terjadinya penyakit dalam lingkungan adalah perilaku, dimana perilaku yang tidak
menjaga kebersihan termasuk respon yang kurang dalam menghadapi suatu kondisi penyakit dalam lingkungan
keluarga akan memperburuk kejadian penyakit tersebut. Perilaku yang mempengaruhi terjadinya penyakit juga
didukung oleh karakteristik manusia, dalam hal ini orang tua selaku pengambil keputusan atas kesehatan anak.
Peranan orangtua terutama ibu dalam mengambil keputusan untuk menentukan kebutuhan kesehatan anaknya
sebesar 55,5 % (Pudjiwati, 1983). Orangtua yang berpendidikan rendah memiliki resiko anak terkena campak
sebesar 2,1 kali dibandingkan dengan orangtua berpendidikan tinggi. Namun pada era ini pendidikan tinggi mulai
tidak menjamin orangtua melindungi kesehatan anaknya melalui imunisasi, hal ini terlihat dari masih adanya
orangtua yang berpendidikan tinggi namun tidak member anaknya untuk imunisasi dikarenakan alasan keyakinan
tertentu.Kondisi sosial ekonomi juga berperan terhadap status kesehatan anak. Menurut Mohammad (1988), faktor
ekonomi keluarga memegang peranan besar dalam memilih prioritas, sehingga mempengaruhi tingkat kesehatan.
Salma P (2000) menyatakan bahwa pendapatan keluarga kurang mempunyai resiko 1,54 kali untuk terjadinya
campak pada anaknya dibanding dengan keluarga yang memiliki pendapatan cukup.

Faktor yang berkontribusi terhadap perilaku kesehatan


BAB III
ANALISIS PERILAKU

3.1 TEORI LAWRENCE GREEEN


Berdasarkan pendapat (L. Green, 1980) kesehatan seseorang sangat dipegaruhi oleh factor perilaku
(behavior causes) dan factor diluar perilaku (non behavior causes). Perilaku adalah sesuatu yang kompleks yang
merupakan resultan dari berbagai macam aspek internal maupun eksternal, psikologis maupun fisik. Perilaku tidak
berdiri sendiri dan selalu berkaitan dengan factor-faktor lain. Pengaruhnya terhadap status kesehatan dapat
langsung maupun tidak langsung.

Faktor Predisposisi :
- Pengetahuan
- Kepercayaan
Faktor Pemungkin:
- Nilai
- Layanan kesehatan
- Sikap
- Akses terhadap
(Variabel demografi)
layanan kesehatan
- Komitmen
masyarakat &
pemerintah
terhadap kesehatan
- Kemampuan yang
berhubungan
dengan kesehatan
Masalah Kesehatan

Faktor Penguat :
- Keluarga
- Kelompok
- Guru
- Teman Kerja
- Penyedia layanan
kesehatan

Gambar 1. Skema Teori Lawrence Green

BAB IV
IDENTIFIKASI PERILAKU TERBUKA YANG BERESIKO NEGATIF TERHADAP PENYAKIT MORBILI

Di beberapa daerah, ada yang menganggap bahwa penyakit campak ini sebagai penyakit biasa yang terjadi
pada anak-anak, dan akan sembuh sendiri jika telah keluar rashnya. Bahkan diantaranya berpendapat penyakit ini
tidak perlu diobati. Pada daerah industri, dengan penduduk yang padat, infeksi pada anak-anak sering disertai
dengan komplikasi, walaupun kematian akibat campak tanpa komplikasi sangat jarang terjadi dan adanya angka
kesakitan akibat campak tergantung dari beberapa factor, antara lain : status gizi, ada tidaknya fasilitas kesehatan,
kepercayaan atau adat istiadat serta kebiasaan penduduk (Gunawan, 1987).

4.1 Identifikasi perilaku terbuka (overt behavior) atau praktek/tindakan dan sosio budaya yang
beresiko (negatif) terjadinya masalah terhadap penyakit Campak (morbili) adalah :
1. Orang tua yang enggan membawa anaknya ke faskes untuk mendapatkan imunisasi campak (MMR)
2. Orang tua yang tidak memberikan makanan yang bergizi untuk anak
3. Orang tua yang tidak memberikan vtiamin A yang cukup untuk anaknya
4. Kurangnya kesadaran masyarakat untuk menjaga kebersihan rumah dan lingkungan (tidak mau melakukan
kegiatan bersih-bersih rumah dan lingkungan)
5. Kurangnya pemahaman tentang konsep rumah sehat sehingga saat membangun rumah kurang
memperhatikan pencahayaan di dalam rumah, kecukupan ventilasi, sirkulasi udara yang baik
BAB V .
IDENTIFIKASI PERILAKU TERBUKA TERHADAP PENCEGAHAN TERJADINYA MORBILI

5.1 Identifikasi perilaku terbuka (overt behavior) dan sosio budaya yang dapat mencegah
terjadinya masalah terhadap penyakit Campak (morbili) adalah :
1. Membawa anak ke faskes untuk melakukan imunisasi campak (MMR) pada usia 9 bulan dan dan 6 tahun
2. Memberikan makanan yang bergizi untuk anak
3. Membangun rumah dengan pencahayaan dan ventiisasi yang cukup, serta memperhitungkan sirkulasi
udara yang baik di dalam rumah
4. Memperhatikan kecukupan vitamin A untuk anak, apabila konsumsi lewat makanan dirasa kurang perlu
memberikan vitamin tambahan (menghadiri pemberian vitamin A oleh pemerintah pada bulan februari dan
Agustus)
5. Berpartisipasi melakukan tindakan bersih-bersih rumah dan lingkungan sekitar

BAB VI
ANALISIS
Penyakit campak merupakan penyakit yang disebabkan oleh Paramyxo virus, paling banyak menyerang
anak-anak usia pra sekolah dan Sekolah Dasar (SD), namun tidak menutup kemungkinan menyerang usia dewasa.
Campak merupakan salah satu penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi, Imunisasi memiliki dimensi tanggung
jawab ganda, yaitu selain memberi perlindungan kepada anaknya agar tidak terkena penyakit menular, seorang ibu
juga telah memberikan kontribusi sosial yang tinggi, yaitu anak yang telah mendapat kekebalan setelah imunisasi
akan menghambat perkembangan penyakit dikalangan masyarakat (Achmadi, 2006).

5.1 Salah satu bentuk tindakan atau praktek (overt behavior) untuk mencegah terjadinya
masalah/penyakit
morbili adalah : ” Membawa anak imunisasi MMR pada bulan ke 9 dan saat usia 6 tahun”

Berikut ini kajian perilaku mambawa anak imunisasi ditinjau dari teori Lawrence Green:
1. Faktor – factor pemudah( predisposisi )
 Orang tua memiliki pengetahuan tentang manfaat imunisasi campak
 Orang tua memiliki Keyakinan imunisasi campak dapat mencegah penyakit campak
 Orang tua menyakini Imunisasi campak dapat meningkatkan status kesehatan
 Tidak adanya mitos dan stigma tentang imunisasi di masyarakat
2. Faktor - faktor pemungkin (Enabling)
 Tersedianya vaksin MMR (dilengkapi dengan sarana penyimpanan yang baik dan listrik) di faskes
sekitar rumah
 Terdapatnya system pendistribusian vaksin yang baik
 Adanya tenaga pemberi vaksin
 Dekat dengan faskes penyedia (rumah sakit, puskesmas, dokter, bidan)
 Mampu membayar imunisasi
 Pemerintah menyelenggarakan pekan Imunisasi Campak untuk anak sekolah
3. Faktor – factor penguat (Reinforcing )
 Adanya anjuran atau perintah untuk melakukan imunisasi campak dari tokoh yang
berpengaruh/stakeholder (kepala daerah, Toma, Toga, kader dll)
 Tokoh yang berpengaruh/Stakeholder memberikan contoh untuk membawa anak mereka ke faskes
untuk diberikan imunisasi MMR
 Tersedianya media yang menyampaikan pengetahuan tentang pentingnya imunisasi dan sekaligus
mengajak orang tua membawa anaknya melakukan imunisasi
DAFTAR KEPUSTAKAAN

Benenson, A.S, Control Communicable Diseases in man. American Public Health and Humen Service, Atlanta : 233-
237

Budi, Dwi Setia Agus, 2012. Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Campak Pada Peristiwa Kejadian
Luar Biasa Campak Anak (0—59 Bulan) di Kota Banjarmasin Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2011, FKM
Universitas Indonesia, Depok

Sundoro, J, 2015, Protectiveness, Local Reaction, and Systemic Reaction after Measles Immunzation using Different
Batches of Bio Farma Vaccine in Elementary School Students in West Sumatera

CDC, Epidemiology and Preventing of Vaccine-Preventable Diseases, Department of Health Human Services, USA :
118 -137

Departemen Kesehatan RI, 2005. Persyaratan Kesehatan Rumah Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 829/
Menkes/ VII/ 1999, Jakarta

_____________________________, 1995 Petunjuk Teknis Reduksi Campak di Indonesia, Depkes RI, Jakarta

_____________________________, 2006 Modul Pelatihan Tenaga Pelaksana Imunisasi Puskesmas, Jakarta

_____________________________, 2006. Petunjuk Teknis Kampanye Imunisasi Campak Tahun 2016, Ditjen PP &
PL Depkes RI, Jakarta

Fisher. Andrew A, et al, 1991. Handbook for Family Planning Operations Research Design, Population Council One
Dag Hammarskjold Plaza, New York

Fine & Pual, E.M 1993. Herd immunity, History Theori, Practic Epidemioloy Review, USA

Gunawan, S, 1987. Masalah Campak di Indonesia Tahun 1985. Dalam : Laporan Semiloka Campak dan kaitannya
dengan kelangsungan hidup anak di Indonesia, Jakarta
Harjati. J, 1989. Campak dan Permasalahannya, Atmajaya, Jakarta

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013 Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2012, Jakarta

____________________________________, 2014 Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013, Jakarta

____________________________________, 2015 Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2014, Jakarta


Siregar. (2007). Pengaruh Pendidikan Terhadap Pengetahuan. Diperoleh tanggal 18 November 2016 dari
http://kmasyarakat.blogspot.co.id/2012/03/zfsdgsfdgdsf.html
Sondang, O. (2005). Pengembangan Sumber Data Insani. Diperoleh tanggal 18 November 2016 dari
http://kmasyarakat.blogspot.co.id/2012/03/zfsdgsfdgdsf.html
Notoatmodjo, S. (2003). Ilmu Kesehatan Masyarakat. Cetakan Kedua Jakarta: Rineka Cipta
Suryanto. (2007). Informasi dan Pengetahuan. Diperoleh tanggal 18 November 2016 dari
http://kmasyarakat.blogspot.co.id/2012/03/zfsdgsfdgdsf.html
Achmad, A. (2004). Pemanfaatan Media Massa Sebagai Sumber Pembelajaran. Diperoleh tanggal 18
November 2016 dari http://www.google.com
Mc. Luhan. (2009). Informasi sebagai Sumber Informasi. Diperoleh tanggal 18 November 2016 dari
http://www.kompas.com.
Mc. Quail (2000 ). Informasi. Diperoleh tanggal 18 November 2016 dari dari http:// www. kompas.com.
Media Imunisasi. Imunisasi campak, Efek Samping dan Cara Pemberiannya Diperoleh tanggal 18 November
2016 dari https://mediaimunisasi.com/2015/03/18/imunisasi-campak-efek-samping-dan-cara-
pemberiannya/
Lily Turangan. 5 Mitos Keliru Seputar Vaksin. Diperoleh tanggal 18 November 2016 dari
http://nationalgeographic.co.id/berita/2016/02/5-mitos-keliru-seputar-vaksin

Anda mungkin juga menyukai