Anda di halaman 1dari 10

SEPARUH NYAWA

Dan untuk kali kesekian, kupeluk erat tembang ini.


iramanya yang mengalun menyeni,
bait-baitnya menari peni,
membuaiku berpeluk pelangi dalam nurani.

Tembang yang wakili rinduku.


Baris kata-kata yang suarakan dambaku.
Alunan nada yang lukiskan hasratku,
kepadamu duhai pengisi hidupku.

Kala cintaku semakin menyubur saat kuingat senyummu,


dan kepada angin malam aku titipkan setiaku kepadamu.
Sebelah jiwa ini hanya bagimu.
Maka, jangan pernah Kau surutkan kasihmu.

Di taman kata berjumpa kita.


Huruf-huruf yang mendamba dieja sebagai cinta,
memburu tersiratnya arti,
menyatu dan menyatakan diri.

Aku, penyair lusuh, lelambang bunyi,


mewakili hasrat yang tersembunyi,
menjelmakan kata menjadi rindu,
titah tuhan yang mendamba menyatu-padu.

Terlontar dari jiwa, terlempar dari dada.


Segalamu yang indah teruar dan terenda.
Aku bermimpi merengkuh pesonamu,
terikut juga kasih dan dahagaku akanmu.

Tak ada yang lebih membuatku bahagia,


selain kau dan aku tercipta dari huruf-huruf yang tersenyum ceria.
Dan Kau, kekasihku.
Adalah Perempuan surgawiku.

KARENA KAULAH….

Dan tak akan kubiarkan Cinta meredup,


karena kutahu pancarannya memberi hidup.
Dan tak akan kuijinkan Mentari pergi,
karena kutahu betapa indahnya pagi.

Dan tak hendak kulewatkan cakrawala,


Karena kutahu bentangnya adalah segala.
Dan tak ingin kutelusuri setapak,
karena telah ada Kau, panduaku menapak.

Maka tak akan kubiarkan Kau beranjak,


karena ada-Mu adalah tempatku berpijak.
Maka tak akan pernah lelah pelukku,
karena tiada-Mu adalah nestapaku.

Tetaplah ada dan jangan pernah sirna,


karena rinduku tak akan pernah purna.
Tetaplah rengkuh dambaku dalam hatimu,
karena bersamamu semua cita bertemu.

RINDU LAGI

Dan kepada sang pagi,


Aku berbisik lagi.
Dalam bait-bait sajak ini,
Kau adalah sang Rani.

Di antara larik-larik sajak ini,


kau akan tetap menjadi Kasih yang murni.
Di sela-sela huruf sajak ini,
kau tak akan letih-letihnya kuyakini.

Di dalam sajakku, aku menyebutmu,


mengangkasakan berkecap puji bagimu,
menghirup aroma pesonamu.
Rindu dan damba yang bersenyawa menyatakan Cinta kepadamu.

RINDU dan PAGI

Bunyi-bunyi rindu itu, Kekasihku, memanggilku sampai kelu.


Dan aku melawan arus waktu yang menderas tak kunung berlalu.
Bunyi-bunyi rindu itu menggerus mimpi-mimpiku semalam.
Mengalahkan malam yang kelam.

Jemariku rindu bebunyi yang menggema dari sentuhan tak terbagi,


Selirih desah bebunga yang dibelai angin pagi.
Tapi aku menunggu. Menunggu kisah-kisahmu,
sepenggal demi sepenggal, yang membuatku kian rapat ke pelukmu.

Dan ini pagi, kusapa kau dengan Cinta,


Penyair lusuh yang memungut bayangmu dari semesta,
Menempatkannya dalam puisi yang teduh,
sampai nanti saat sosokmu nyata terunduh.

KANGENKU

Kadang Rinduku menampakkan diri sebagai hijau daun.


Gairah yang mengalun di hamparan lembutnya gaun.
Layar perahu para petualang yang tak menemu arah pulang.
Kepak sayap gaib malaikat yang menyebabkan hari berulang.

Kadang Rinduku merupa syaraf yang berdenyut, tubuh yang menggeliat lentuk.
Mata yang bagai mutiara menyimpan kilau lautan yang indah terbentuk,
menimangku seperti gelombang, mengubah rasaku jadi desah,
sampai jatuh ke dalam geloramu yang basah.

Kadang Rinduku adalah kicau merdu tanpa burung.


Bulir embun di lereng gunung,
memantul di langit yang rindu lautan,
berjatuhan sebagai peluh di tenangnya hutan.

Kadang Rinduku lirih memanggilmu,


nafasnya segemerisik gaun peri di ranting anganku.
menggeriapkan bulu-bulu tengkukmu,
seperti ketika kau kudekap dalam pelukku.

Ya, Rinduku kepadamu,


kadang menjelma apapun dalam hari-hariku.
Ya, Rinduku kepadamu,
kadang menjadi Aku.

Sidoarjo, 11-2-2018

AKU, KAU, dan RINDU

Aku tak akan memperindah kata-kata,


Karena aku hanya ingin menyatakan yang nyata.
Cinta dan kebenaran yang bersaksikan semesta.
Cinta dan kebenaran dariku untukmu, tentang kita.
Adakah yang lebih indah dari Cinta dan kebenaran,
maka memerlukan kata-kata indah?
Perlukah puisi yang berpendaran,
untuk lukiskan Cinta dan Kebenaran yang tak butuh purdah?

Cinta dan Kebenaran tak memerlukan keindahan,


Karena Cinta dan Kebenaran adalah indah yang tak berkesudahan.
Seperti Cintaku kepadamu,
Seperti Kebenaranku untukmu.

Dua sosok dua tubuh namun hanya satu jiwa, kau dan aku.
Pada saat kita memasuki taman rindu, kau dan aku.
Kau dan aku, yang tak terpisahkan lagi,
menyatu dalam nikmat tertinggi.

Rinduku masih basah, puisi belum usai merangkai bayangmu.


Melalui bayangmu aku bisa melihat kasihmu.
Mungil dan indah serupa jelitamu,
mengusap rasaku yang mendambamu

Pesonamu, kekasihku, menjalar menembus batas taman yang hening.


Sosokmu mengambang datar, rebah ringan di air bening.
Aroma peluhmu meresapi malam,
seharum kesturi, selembut pualam.

Gemintang berenang di angkasa yang menolak beku


Dedaunan bergoyangan seperti nyala api tungku
Dan lihatlah rembulan di sudut awan itu
Ia gemetar membayangkan kita berpeluk menjadi satu.

Dan untukmu Kekasihku,


dengar aku sebagai alunan huruf-huruf gagu.
Jangan pernah dalam hatimu terbersit ragu,
bahwa aku mendambamu sebagai seluruhku

RINDU

Puisi-puisi ini, Sayangku, santun memintamu.


Mereka ingin mendekapmu, turut serta merasai sedihmu,
menyentuh yang melepuh, mengelus ngilumu,
merekatkan yang retak, merawat yang tersayat dalam hatimu,
Alangkah ingin jalinan kata itu melihat,
tubuhmu yang likat bangkit menggeliat,
bersama pucuk-pucuk daun berseri seusai mandi,
kuncup-kuncup kembang merekah abadi.

Tidakkah kau tahu, dalam buku batinku terguris namamu?


Tidakkah kau merasa, riak rinduku damba samudera indahmu?
Kuharap kita akan bersua di sebuah bukit hening,
di mana hasrat kita merdu berdenting.

Dan saat ini tubuhku melibak.


Dambaku melebur,
ke dalam sajak yang tersibak,
sepiku menghambur.

Aku adalah titik-titik hurufmu,


Kata-kata maknamu.
Aku adalah sinar silau pesonamu,
Dan bayang-bayang hangat mentarimu.

Aku adalah jasad ruhmu


Aku adalah a-k-u
K-a-u
Mu

Tak usai gita lepas kisah


Tak purna kisah luncur kesah
Tak rampung kesah jiwa ini resah
Rindu abadi golakkan gelisah

Dan memang aku merindumu


Rindu milikku yang kujurakan untuk mu.
Karena engkau Kirana
Karena engkau indahnya pesona

Langit mendung memancarkan cahayamu


Rerintik hujan merinai segarnya gerai rambutmu
Udara yang kuhirup beraroma wangi tubuhmu
Bergairah aku memeluk lekat bayangmu

Dibanding dengan cintamu, emas tak ada harganya


Bagiku kau lebih dari cukup, aku tak butuh lainnya
Dan aku bertutur kepada semesta,
Tak ada yang lebih indah dari bersatunya kau dan aku, menjadi kita.

CINTA

ia Bukan jika karena mata


sebab mata gampang terpedaya oleh yang tak nyata

ia Bukan jika masih bisa terutara


sebab kata hanya gema fana tanpa tara

ia Bukan, kecuali terhadapnya kau hanya bisa Ya


sebab bagimu Sang Tercinta adalah Cahaya niscaya

Dan kepadaMU, cintaku bukan karena mata


Dan kepadaMU, cintaku tak terlukiskan kata

KepadaMU, aku akan rela selalu berkata Ya


Sebab Kau adalah Cahaya.

Malam terhampar
Rinduku menggelepar,
saat bayangmu datang berbinar,
membuatku terpanar.

Sosokmu kembali terukir,


membulir bergulir,
mengalir,
merambah pikir

Malam semakin malam,


benar-benar malam ,
lalu angin bergelayut lembut di ujung bulu mataku,
membisikkan betapa Kau adalah segalaku
Mimpiku masih basah, puisi belum usai merajut wajah,
Dan rindu ini semakin merejah.
Jika nanti aku lansir puisi kabut dan bulan merekah,
Itu adalah rindunya jemariku akan pesonamu yang mencekah.

Dan ini sajak menampik suara para pendusta,


Karena disesela hurufnya menggema sejujurnya cinta.
Larik-lariknya dirimai hasrat para pecinta.
Saat kelembutanmu membelai semesta.

Kalimat-kalimatku bersembulan bagai gairah bebunga,


Ketika kuhirup bayangmu seharum kenanga.
Dalam anganku, kau melenggang sendiri,
Bersama cahayamu yang jelita tak terperi.

Kibaskanlah gerai rambutmu.


Biar indahnya memelukku dalam dekapmu.
Biar gairahku berpijar bagai putik bunga api,
Meluap dalam asmara tak bertepi.

Rindu menelan malam,


Rinduku tenggelamkan malam kelam.
Rinduku padamu luapi seisi alam,
Rinduku akan mu lelapkan rembulan di atas tilam.

Raung rinduku penuhi senyap kalbu,


Desahannya berderak menggebu,
Sentuhnya tak henti merumbu,
Dambanya tak lelah mencumbu.

Padamu selaksa rinduku tercurah,


Sesegar rinai yang bangkitkan gairah,
Membongkah serupa mirah,
Hanya padamu menjura pasrah.

Aku tepis rinduku padamu,


Namun jeratnya semakin enggan sirna,
Aku halau rinduku padamu,
Tapi bayangmu semakin merona.

Aku luluh bersama rindu,


Tersipu pada deburan rindu,
Aku yang merindu,
Aku sang perindu.
Tak pernah aku tahu, bagaimana hatiku mulai mendambamu,
Degupnya kian bertalu acap kali ku ingat dirimu.
Tak pernah aku tahu,mengapa tiap butir darahku rindukan sosokmu,
Alirannya bergolak tiap kali kau dekatiku dengan adamu.

Tak pernah aku tahu, mengapa bayangku mengabadikan lekukmu,


Seperti mengerti rapuhnya kenangan tiap kali aku jauh darimu.
Tak pernah aku tahu, apakah jiwa bisa terbelah dua,
Tapi betapa sukmaku terasa retak bila sedepa saja kita tak bersua.

Tak pernah aku tahu, cara rasaku hayati indahmu,


Di depan wujudmu semua karya sastra seolah semu.
Tak pernah aku tahu, apa yang kaitkan aku dengan mu,
Dukamu sumber siksaku, laraku sebab sedihmu.

Tak pernah aku tahu surga,


Tapi tiap kali bersamamu yang ada hanyalah bahagia tanpa hingga.
Tak pernah aku tahu, kapan puisiku jemu memuja jelitamu,
Tiap huruf selalu merasa iri saat aku eja pesonamu.

Tak pernah aku tahu, cukupkah raga dan nyawaku sebagai persembahanku untukmu,
Yang aku tahu, betapa hidupku hanyalah bagimu,
Yang aku tahu, aku akan musnah tanpamu,
Yang aku tahu, demi mati, aku sangat tahu betapa sungguh aku mencintaimu.

Jingga berpendar di ujung angan.


Desir angin sore pecahkan lamunan.
Senja tersenyum di kaki langit.
Lirik rindu yang semakin menggigit.

Tak kulihat temaram dalam pandangku,


Hanya sosokmu yang penuhi netraku.
Tak kurasa dingin pada tengkukku,
Hanya hangat sapamu yang belai asaku.

Dan malam kembali bertandang,


Kisahkan cerita yang hendak menjelang.
Dalam tegunku ada damba senyap,
Semoga kasih itu tak akan pernah lenyap

Dan semoga sang Waktu menyapamu,


Bisikkan mantra pada sukmamu,
Belaikan desirnya pada relung hatimu,
Buktikan sungguhku dalam hidupmu.

Dan semoga Gemintang kerlingkan cahayanya,


Agar kau temukan permatamu dalam binarnya,
Agar kau tetapkan yakinmu dalam simbah sinarnya,
Bahwa pencarian panjang telah sampai pada akhirnya.

Dan semoga rintik Hujan semai gita rindu,


Tautkan dua jiwa untuk berpadu,
Jalani setapak panjang terbentang,
Sekuat cinta yang tak lelah berdentang.

Pagi menggeliat pelan,


Waktu perlahan berjalan,
Jejak-jejaknya tertinggal dalam ingatan,
Teruntai bagai embun di rerumputan.

Mentari masih temaniku,


Setia meresap tanyaku,
Anginkah engkau?
Karena pesona hembusanmu memukau.

Dalam desir kunikmati teduhmu,


Aku termangu terpaku amati gerakmu,
Sehening halimun dalam pekatnya rinduku,
Sesejuk rintik hujan dalam derasnya dambaku.

Dan kini kumengerti,


Tak perlu kuragu dalam hati,
Kau mengalir di dalam nafasku,
Kau hidup di luar ragaku.

Tiada jarak yang terasa jauh,


Teramat lekat terjamah sentuh.
Dan bila benar kaulah angin,
Dambaku adalah menghirupmu dalam ingin.

Dan bersama jantung yang berdegup,


Kaulah gairah baru bagi hidup.
Mengalirlah dalam nadi Kasihku,
Karena kehidupan adalah kau, Kekasihku!
Dan angkasa kembali mendekap bulan,
Bersama malam yang merangkak pelan.
Dan gemintang tanggalkan sinarnya,
Berselimut mega yang suarakan kelamnya.

Sementara rindu terpuruk bersama angan,


Damba meringkuk dalam bekunya keheningan.
Ada rasa yang masih tertunda,
Ada ingin yang sesakkan relung dada.

Ketika jumpa hanyalah impian,


Ketika bersua adalah khayalan tak bertepian.
Menghantam dinding cadas,
Menerjang gelombang yang melindas.

Anda mungkin juga menyukai