Anda di halaman 1dari 19

PRAKTIKUM PENGOLAHAN LIMBAH CAIR

SEMESTER GENAP TAHUN AJARAN 2019

MODUL : Sedimentasi

PEMBIMBING : Ir. Emma Hermawati Muhari, M.T

Praktikum : 15 Februari 2019

Penyerahan Laporan : 15 Februari 2019

Oleh :

Kelompok : II
Nama : 1. Anisa Mutia Ulfa NIM.161424005
2. Bagus Bayu Nugroho NIM.161424007
3. Elvina Dheborah S NIM.161424008
4. Ferronia Carissa NIM.161424009

Kelas : 3A – TKPB

PROGRAM STUDI D-IV TEKNIK KIMIA PRODUKSI BERSIH


JURUSAN TEKNIK KIMIA

POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

2019
I. Tujuan Praktikum
1.1 Menghitung efisiensi penurunan kekeruhan pada operasi batch sehingga didapat waktu
optimum.
1.2 Membandingkan waktu optimum kekeruhan dari dua jenis air baku.
1.3 Menganalisis pengaruh dari jenis koagulan yang digunakan pada proses pengolahan
limbah cair.

II. Dasar Teori

2.1 Sedimentasi

Menurut Huisman (1977) sedimentasi merupakan proses pemisahan suspensi padatan


encer menjadi fluida yang lebih jernih dan suspensi yang lebih pekat berdasarkan gaya
gravitasi. Di Dalam pengolahan air, bangunan sedimentasi digunakan untuk memisahkan
partikel padatan atau kotoran yang terflokulasi atau terkoagulasi. Kecepatan pengendapan
partikel yang terdapat dalam air bergantung pada berat jenis, bentuk dan ukuran partikel,
viskositas air dankecepatan aliran dalam bak pengendapan.

Adapun pendapat lain dari Pettijohn (1975) yang mendefinisikan bahwa sedimentasi
merupakan proses pembentukan sedimen atau batuan sedimen yang diakibatkan oleh
pengendapan dari material pembentuk atau asalnya pada suatu tempat yang disebut
dengan lingkungan pengendapan berupa sungai, muara, danau, delta, estuaria, laut
dangkal sampai laut dalam. Selain itu Triatmodjo, Bambang (1999) menambahkan bahwa
sebetulnya sedimen sendiri merupakan material atau pecahan dari batuan, mineral dan
material organik yang melayang-layang di dalam air, udara, maupun yang dikumpulkan di
dasar sungai atau laut oleh pembawa atau perantara alami lainnya.

2.2 Alat sedimentasi


Salah satu alat yang digunakan dalam proses sedimentasi adalah Plate Settler. Plate
settler merupakan keping pengendap yang dipasang pada settling zone (zona
pengendapan) di bak sedimentasi dengan kemiringan tertentu yang bertujuan untuk
meningkatkan efisiensi dan memperluas bidang pengendapan sehingga proses sedimentasi
dapat berlangsung lebih effektif.
Terdapat tiga macam aliran yang melalui plate settler yaitu menurut Hendrick (2005)
diantaranya sebagai berikut :

1. Upflow (aliran keatas), yaitu dimana sludge yang mengendap turun ke dasar bak
melalui plate ketika aliran air mengalir ke atas menuju outlet zone.
2. Downflow (aliran ke bawah), yaitu dimana sludge yang mengendap turun ke dasar
bak melalui plate bersamaan dengan aliran air yang mengalir ke bawah.
3. Crossflow (aliran silang), yaitu dimana sludge yang mengendap turun ke dasar bak,
sedangkan aliran air menyilang (crossing) di masing-masing plate.

2.3 Bentuk Bak Sedimentasi


1. Segi empat (rectangular)
Bentuk bak ini umumnya digunakan pada instalasi pengolahan air dengan kapasitas
besar. Bak berbentuk segi empat umumnya mempunyai lebar 1,5 hingga 6 meter, panjang
bak sampai 76 meter, dan kedalaman lebih dari 1,8 meter. Pada bak ini, air mengalir
horizontal dari inlet menuju outlet, sementara partikel mengendap ke bawah (Anonim,
2007).

Gambar 1. Bak Sedimentasi Bentuk Segi Empat


Sumber : http://caracararaaa.blogspot.com/2015/09/makalah-pam-sedimentasi.html
Menurut Kamulyan (1997), bentuk kolam memanjang sesuai arah aliran. Bentuk ini
secara hidraulika lebih baik karena tampak alirannya cukup seragam sepanjang kolam
pengendapan. Dengan demikian kecepatan alirannya relatif konstan, sehingga tidak akan
mengganggu proses pengendapan partikel suspensi. Selain itu pengontrolan kecepatan
aliran juga lebih mudah dilaksanakan. Namun demikian, bentuk ini mempunyai
kelemahan yaitu ukurannya kurang lebar, sehingga laju meluapnya air dalam bak menjadi
terlalu besar dan menyebabkan terjadinya gangguan pada bagian akhir yaitu kolam
pengendapan.
2. Lingkaran (circular)
Bentuk bak ini umumnya digunakan pada instalasi pengolahan air dengan kapasitas
yang lebih kecil. Pada kapasitas yang sama, bentuk bak ini tidak bisa dikatakan lebih baik
dari yang berbentuk segi empat. Adapun gambar dapat dilihat di bawah ini :

Gambar 2. Bak Sedimentasi Bentuk Lingkaran


Sumber : http://envirooleaf.blogspot.com/2011/06/sedimentasi.html

Selain itu dalam bak ini aliran air yang tampak tidaklah seragam, sehingga kecepatan
alirannya tidak konstan dan hal itu pula penyebab timbulnya kesulitan dalam
pengontrolan kecepatan aliran. Pada bak ini, air masuk melalui pipa menuju inlet bak di
bagian tengah bak, kemudian air mengalir horizontal dari inlet menuju outlet di sekeliling
bak, sementara partikel mengendap ke bawah.
2.4 Macam-macam Zona pada Bak Sedimentasi

1. Zona Inlet atau influent : Bagian atau tempat pertama air masuk ke dalam bak. Zona
inlet mendistribusikan aliran air secara merata pada bak sedimentasi dan menyebarkan
kecepatan aliran yang baru masuk.

2. Zona Outlet atau effluent : Bagian atau tempat dimana air akan meninggalkan bak.
Seperti zona inlet, zona outlet mempunyai pengaruh besar dalam mempengaruhi pola
aliran dan karakteristik pengendapan flok pada bak sedimentasi.

3. Zona lumpur : Merupakan bagian atau tempat lumpur mengumpul sebelum diambil ke
luar bak. Kadang dilengkapi dengan sludge collector/scrapper. Dalam zona ini
lumpur terakumulasi.

4. Zona pengendapan : Merupakan zona atau tempat dimana flok/partikel mengalami


proses pengendapan. Dalam zona ini, air mengalir pelan secara horizontal ke arah
outlet, lintasan flok/partikel tergantung pada besarnya kecepatan pada proses
pengendapan.

2.5 Koagulan Tawas

Berdasarkan literatur yang ada tawas atau alum, Al2(SO4)3.14H2O (Dalam bentuk
batuan, serbuk, cairan) Massa jenis dari tawas adalah 480 kg/m 3, dengan kadar air 11 – 17
%. Dosis alum dapat dikurangi dengan cara : penurunan kekeruhan air baku atau air
limbah, filtrasi langsung untuk kekeruhan <50 NTU (Nephelometric Turbidity Unit),
penambahan polimer, dan penyesuaian pH optimum (6.0 – 8.0). Selain itu, alum padat
akan langsung larut dalam air tetapi larutannya bersifat korosif terhadap beberapa jenis
logam diantaranya aluminium, besi, dan beton sehingga tangki-tangki dari bahan-bahan
tersebut membutuhkan lapisan pelindung untuk mencegahnya.
Dua faktor yang penting berkaitan dengan sedimentasi yaitu proses koagulasi
dalam hal ini terutama pada saat penambahan koagulan adalah faktor pH dan dosis
koagulan. Dosis optimum koagulan dan pH harus ditentukan dengan test di laboratorium.
Range pH optimal alum atau tawas adalah antara 5.5 – 6.5 dengan proses koagulasi yang
memadai rangenya dapat antara pH 5.0 – 8.0 pada beberapa kondisi (Cornwell, 1998).

2.6 Total Dissolved Solid

Menurut Misnani (2010), dalam mempelajari proses sedimentasi kita mengenal istilah
TDS (Total Dissolved Solid) atau benda padat yang terlarut yaitu semua mineral, garam,
logam, serta kation-anion yang terlarut di air. TDS terukur dalam satuan Parts per Million
(ppm). Penyebab utama terjadinya TDS adalah bahan anorganik berupa ion-ion yang
umum dijumpai di perairan seperti air buangan sering mengandung molekul sabun,
deterjen dan surfaktan yang larut air.

2.7 Proses Sedimentasi


Proses sedimentasi dapat dilakukan dengan tiga macam cara, yaitu :

1) Cara Batch
Sedimentasi dengan cara ini merupakan salah satu cara yang paling
ekonomis untuk memisahkan padatan dari suatu suspensi, bubur atau slurry.
Operasi ini banyak digunakan pada proses-proses untuk mengurangi polusi
dari limbah industri. bisa dilihat pada gambar berikut :

Gambar 1. Mekanisme Sedimentasi Batch


Sumber : http://tentangteknikkimia.wordpress.com

Dengan A = cairan bening; B = zona konsentrasi seragam; C = zona ukuran


butir tidak seragam; dan D = zona partikel padat terendapkan.
Gambar di atas menunjukkan slurry awal yang memiliki konsentrasi
seragam dengan partikel padatan yang seragam di dalam tabung (zona B).
Partikel mulai mengendap dan diasumsikan mencapai kecepatan maksimum
dengan cepat. Zona D yang terbentuk terdiri dari partikel lebih berat sehingga
lebih cepat mengendap. Pada zona transisi, fluida mengalir ke atas karena
tekanan dari zona D. Zona C adalah daerah dengan distribusi ukuran yang
berbeda-beda dan konsentrasi tidak seragam. Zona B adalah daerah
konsentrasi seragam, dengan komsentrasi dan distribusi sama dengan keadaan
awal. Di atas zona B, adalah zona A yang merupakan cairan bening.
Selama sedimentasi berlangsung, tinggi masing-masing zona berubah
(gambar 2 b, c, d). Zona A dan D bertambah, sedang zona B berkurang.
Akhirnya zona B, C dan transisi hilang, semua padatan berada di zona D. Saat
ini disebut critical settling point, yaitu saat terbentuknya batas tunggal antara
cairan bening dan endapan (Foust, 1980).
2) Cara Semi-Batch
Pada sedimentasi semi-batch , hanya ada cairan keluar saja, atau cairan
masuk saja. Jadi, kemungkinan yang ada bisa berupa slurry yang masuk atau
beningan yang keluar. Mekanisme sedimentasi semi-batch bisa dilihat pada
gambar berikut :

Gambar 2. Mekanisme Sedimentasi Semi-Batch


Sumber : http://tentangteknikkimia.wordpress.com

Dengan A = cairan bening; B = zona konsentrasi seragam; C = zona ukuran


butir tidak seragam; D = zona partikel padat terendapkan.

3) Cara Kontinyu
Pada cara ini, ada cairan slurry yang masuk dan beningan yang
dikeluarkan secara kontinyu. Saat steady state, ketinggian tiap zona akan
konstan. Mekanisme sedimentasi kontinyu bisa dilihat pada gambar berikut :

Gambar 3. Mekanisme Sedimentasi Kontinyu


Sumber : http://tentangteknikkimia.wordpress.com

Dengan A = cairan bening; B = zona konsentrasi seragam; C = zona ukuran


butir tidak seragam; dan D = zona partikel padat terendapkan.
Kecepatan sedimentasi didefinisikan sebagai laju pengurangan atau
penurunan ketinggian daerah batas antara slurry (endapan) dan supernatant
(beningan) pada suhu seragam untuk mencegah pergeseran fluida karena
konveksi.

2.8 Persamaan Dalam Proses Sedimentasi

Menurut Ghozali (2016), persamaan yang berlaku dalam proses sedimentasi salah
satunya adalah persamaan Stokes dimana v0 = (g/18μ)[(ρs – ρl).d2]. Dimana; v0 =
kecepatan linier, μ = viskositas cairan, ρs = densitas padatan, ρl = densitas cairan, dan d =
diameter rata-rata partikel padatan yang berbentuk gumpalan.

III.Alat dan Bahan

3.1 Alat-alat yang digunakan

1. Bak sedimentasi berupa Plate Sattler


2. TDS-meter

3. pH-meter

4. Gelas Kimia 100 mL sebanyak 2 buah

5. Neraca Analitik

6. Turbidimeter

7. Tangki Pencampur & Pengaduk

8. Spatula

3.2 Bahan-bahan yang digunakan

1. Koagulan Tawas

2. Air Limbah atau Air Baku 2 jenis

3.3 Cara Kerja


IV. Hasil Pengamatan
4.1 Data Pengamatan
1) Limbah Gegerkalong dengan Koagulan PAC :
Volume Air Baku : 13 Liter
Awal :
 pH awal : 6,74
 TDS awal : 169 mg/l
 Kekeruhan Awal : 9,39 NTU

Setelah ditambah koagulan:

 pH : 6,64
 TDS : 210 mg/l
 Kekeruhan : 14,31 NTU

Setelah ditambah flokulan:

 pH : 6,31
 TDS : 217 mg/l
 Kekeruhan : 6,37 NTU

Waktu pH TDS Kekeruhan (NTU) Efisiensi Efisiensi (%)


(menit)
0 6,31 217 6,37 0,0000 0,0000
3 6,53 210 5,99 0,0597 5,9655
6 6,49 206 6,13 0,0377 3,7677
9 6,45 203 6,22 0,0235 2,3548
12 6,41 199 5,45 0,1444 14,4427
15 6,53 208 5,33 0,1633 16,3265
18 6,50 195 4,23 0,3359 33,5950
21 6,52 160 5,21 0,1821 18,2104
24 6,50 213 5,09 0,2009 20,0942
27 6,52 165 4,38 0,3124 31,2402
30 6,46 208 4,31 0,3234 32,3391

2) Limbah Gegerkalong dengan Koagulan Tawas :


Volume Air Baku : 13 Liter
Awal :
 pH awal : 6,8
 TDS awal : 210 mg/l
 Kekeruhan Awal : 16,09 NTU

Setelah ditambah koagulan:

 pH : 6,5
 TDS : 215 mg/l
 Kekeruhan : 17,58 NTU

Setelah ditambah flokulan:

 pH : 6,35
 TDS : 213 mg/l
 Kekeruhan : 9,18 NTU

Waktu pH TDS Kekeruhan (NTU) Efisiensi Efisiensi (%)


(menit)
0 6,35 213 9,18 0,0000 0,0000
3 6,39 202 7,09 0,2277 22,7669
6 6,39 208 6,37 0,3061 30,6100
9 6,39 201 7,06 0,2309 23,0937
12 6,38 206 6,27 0,3170 31,6993
15 6,44 207 4,71 0,4869 48,6928
18 6,51 202 2,90 0,6841 68,4096
21 6,47 187 3,19 0,6525 65,2505
24 6,49 143 2,52 0,7255 72,5490
27 6,50 175 2,19 0,7614 76,1438
30 6,53 205 2,80 0,6950 69,4989

3) Limbah Balai Kota dengan Koagulan PAC :


Volume Air Baku : 13 Liter
Awal :
 pH awal : 6,43
 TDS awal : 205 mg/l
 Kekeruhan Awal : 12,58 NTU

Setelah ditambah koagulan:

 pH : 6,38
 TDS : 203 mg/l
 Kekeruhan : 11,59 NTU

Setelah ditambah flokulan:

 pH : 6,4
 TDS : 201 mg/l
 Kekeruhan :7

Waktu pH TDS Kekeruhan (NTU) Efisiensi Efisiensi


(menit) (%)
0 6,4 201 7,00 0,0000 0,0000
3 6,34 207 6,48 0,0743 7,4286
6 6,40 203 6,53 0,0671 6,7143
9 6,32 207 6,18 0,1171 11,7143
12 6,38 185 4,09 0,4157 41,5714
15 6,45 207 3,80 0,4571 45,7143
18 6,50 202 4,79 0,3157 31,5714
21 6,50 207 5,86 0,1629 16,2857
24 6,48 196 4,36 0,3771 37,7143
27 6,48 197 3,99 0,4300 43,0000
30 6,53 207 5,20 0,2571 25,7143
4) Limbah Balai Kota dengan Koagulan Tawas :
Volume Air Baku : 13 Liter
Awal :
 pH awal : 6,4
 TDS awal : 213 mg/l
 Kekeruhan Awal : 19,63 NTU

Setelah ditambah koagulan:

 pH : 6,41
 TDS : 215 mg/l
 Kekeruhan : 20,94 NTU

Setelah ditambah flokulan:

 pH : 6,28
 TDS : 215 mg/l
 Kekeruhan : 11,58 NTU

Waktu pH TDS Kekeruhan (NTU) Efisiensi Efisiensi


(menit) (%)
0 6,28 215 11,58 0,0000 0,0000
3 6,16 217 5,57 0,5190 51,8998
6 6,16 220 5,98 0,4836 48,3592
9 6,15 208 5,67 0,5104 51,0363
12 6,14 190 5,00 0,5682 56,8221
15 6,16 192 5,38 0,5354 53,5406
18 6,19 203 5,00 0,5682 56,8221
21 6,19 199 4,64 0,5993 59,9309
24 6,14 202 4,42 0,6183 61,8307
27 6,12 157 4,66 0,5976 59,7582
30 6,14 159 4,32 0,6269 62,6943
4.2 Grafik
4.2.1 Limbah Gegerkalong

Efisiensi Kekeruhan Limbah Geger Kalong dengan Koagulan PAC


20
18
16
14
12
10
Efisiensi (%)

8
6
4
2
0
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20
Waktu (menit)

Efisiensi Kekeruhan Limbah Geger Kalong dengan Koagulan Tawas


80
70
60
50
40
Efisiensi (%)

30
20
10
0
0 5 10 15 20 25 30
Waktu (menit)
4.2.2 Limbah Balai Kota

Efisiensi Kekeruhan Limbah Balai Kota dengan Koagulan PAC


50
45
40
35
30
Efisiensi (%)

25
20
15
10
5
0
0 2 4 6 8 10 12 14 16
Waktu (menit)

Efisiensi Kekeruhan Limbah Balai Kota dengan Koagulan Tawas


70
60
50
40
Efisiensi (%)

30
20
10
0
0 5 10 15 20 25 30 35
waktu (menit)
4.3 Pembahasan
1. Air Baku Sungai Gegerkalong
Pada tabel pengamatan air baku sungai gegerkalong dengan koagulan tawas dan PAC
masih terdapat titik pada tabel yang tidak sesuai dengan teori sehingga kurva menjadi
fluktuatif, adapun hal tersebut bisa disebabkan karena pada saat pengambilan sampel
secara manual di alat sedimentasi masih kurang hati-hati jadi lumpur yang masih
terdapat dalam alat ikut terambil kembali. Selain itu, bisa saja disebabkan karena
pembilasan yang kurang bersih pada pemakaian alat turbidimeter, ph meter, dan TDS
meter dimana pemakaiannya juga bergantian dengan kelompok lain, jadi
mempengaruhi data yang ada.
2. Air Baku Sungai Balai Kota
Masih sama dengan air baku Sungai Gegerkalong, dimana tabel pengamatan juga
menunjukkan adanya data yang tidak sesuai dengan teori sehingga kurva terbentuk
terlihat fluktuatif, alasan dari faktor penyebab adanya penurunan titik yang satu
dengan yang lain (artinya tidak semakin naik) sama dengan air baku sungai
Gegerkalong ditunjukkan dengan data yang ada. Namun, kurva waktu terhadap
efesiensi yang dibuat dari kedua jenis air baku di atas dibuat menyesuaikan teori yang
ada, diikuti dengan penunjukkan waktu terbaik dari tiap kurva yang disajikan.
3. Penggunaan Koagulan Tawas dan PAC
Dilihat dari data hasil praktikum dengan parameter efesiensi menunjukkan bahwa
penggunaan koagulan Tawas lebih baik dibandingkan PAC, dimana hal tersebut bisa
saja disebabkan karena karakter dari dua jenis air baku lebih sesuai digunakan
koagulan tawas, selain itu bisa juga disebabkan karena adanya ketidakakuratan
penimbangan dari Tawas dan PAC, dimana Tawas digunakan lebih banyak dibanding
PAC sehingga hal tersebut mempengaruhi nilai efesiensi proses sedimentasi dari
penggunaan koagulan pada kedua jenis air baku.

4.4 Kesimpulan

Berdasarkan hasil praktikum yang telah dilakukan, dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Efisiensi terbaik proses sedimentasi dengan menggunakan alat berupa plate untuk
campuran air limbah sungai Gegerkalong dengan menggunakan koagulan PAC
sebanyak 1 gram sebesar 33,59% sedangkan apabila menggunakan koagulan tawas
sebanyak 1,1 gram efisiensi yang diperoleh sebesar 22,77%. Pada sedimentasi dengan
alat yang sama campuran air limbah sungai Balaikota dengan koagulan PAC sebanyak
1 gram dan koagulan tawas 1,1 gram nilai efisiensinya secara berturut-turut sebesar
7,43%% dan 51,89%.

2. Waktu optimum proses sedimentasi dengan menggunakan alat berupa plate pada
campuran air limbah sungai Gegerkalong dengan menggunakan koagulan PAC
sebanyak 1 gram dan tawas sebanyak 1,1 gram secara berturut-turut adalah 18 menit
menit dan 3 menit. Sedangkan pada sedimentasi dengan alat yang sama air limbah
sungai Balai Kota dengan menggunakan koagulan PAC sebanyak 1 gram diperoleh
waktu optimum 3 menit dan dengan menggunakan koagulan tawas sebanyak 1,1 gram
waktu optimumnya sebesar 3 menit.

3. Pada campuran air limbah sungai Gegerkalong dan Balai Kota, proses sedimentasi
dengan menggunakan alat plate memiliki efisiensi yang lebih besar apabila
menggunakan koagulan tawas namun waktu optimum yang dicapai lebih lama.

DAFTAR PUSTAKA
Hendricks, David, 2005, ”Water Treatment Unit Processes Physical and Chemical”, Taylor
and Francis Group, New York, hal. 184 – 190.

Hutomo, Sandy .2015. “Keefektifan Dosis Poly Alumunium Chloride (PAC)


dalam Menurunkan Kadar Phosphate pada Air Limbah Laundry di Gatak
Gede, Boyolali”. Naskah Ilmiah. Surakarta

Bhupakalaa.2010. “Satuan Operasi: BAB III Sedimentasi”, Program Studi Teknik


Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Teknologi Bandung.

Gozali, M. 2016. Sedimentasi. Jurnal Praktikum Pengelolaan Limbah Industri. Bandung :


Politeknik Negeri Bandung

Selintung,dkk.tt. “Modul Perencanaan Bangunan Pengolahan Air Minum”. Program Studi


Teknik Lingkungan, Universitas Hasanuddin

Situmorang, M. 2007. Kimia Lingkungan. Medan : FMIPA-UNIMED

Slamet, J. S. 1994. Kesehatan Lingkungan. Bandung : Gadjah Mada UniversityPress

LAMPIRAN

Koagulan Tawas
Koagulan PAC Flokulan

Unit Sedimentasi FlokulanTangki


20mL

Anda mungkin juga menyukai