Anda di halaman 1dari 48

SEMINAR

“PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIS"


DI RUANG ICU RS MUHAMMADIYAH LAMONGAN

Disusun Oleh :
Kelompok 08
1. Nufriyant 19.02.03.1653
2. Wiwik Syafitri 19.02.03.1660
3. Hilda Lil Inshiroh 19.02.03.1680
4. Tri Arni Mutmaidah 19.02.03.1702
5. Tutk Nurwahyuni 19.02.03.1665
6. Yenny farida Rahmawat 19.02.03.1743
7. Diki Setya 19.02.03.1747

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH LAMONGAN
2019

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Seiring dengan berkembangnya zaman yang semakin modern dan jumlah
penduduk yang terus meningkat, maka pola dan gaya hidup juga semakin beraneka
ragam, di tambah dengan aktivitas manusia yang tidak memperhatikan lingkungan,
sehingga menimbulkan polusi udara dan dapat berdampak negative bagi kesehatan.
berbagai macam penyakit yang tanpa disadari dapat terjadi akibat polusi udara antara
lain Penyakit Paru Obtruksi Kronik (PPOK) (Kozier, 2010).
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK), merupakan suatu istilah yang sering
digunakan untuk sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung lama, yang tandai
oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi
utamanya. (Grece, 2011). Menurut word health organitation (WHO) pada tahun 2012,
jumlah penderita ppok mencapai 274 juta jiwa dan diperkirakan meningkat menjadi
400 juta jiwa di tahu 2020 mendatang, dan setengah dari angka tersebut terjadi di
negara berkembang, termasuk negara Indonesia. Tanpa disadari, angka kematian akibat
ppok semakin meningkat. adapun catatan laporan organisasi kesehatan dunia (WHO)
dalam word health report pada tahun 2012. menyebutkan lima penyakit paru utama
merupakan 17,4% dari seluruh kematian di dunia, masing-masing infeksi paru 7,2%,
ppok 4,8%, tuberculosis 3,0%, kanker paru 2,1% dan asma 0,3%.
PPOK dianggap sebagai penyakit yang berhubungan dengan interaksi genetic
dengan lingkungannya. Adapun penyebabnya adalah: merokok, populasi udara, dan
pemanjaan di tempat kerja (terhadap batu bara, kapas, padi-padian) merupakan faktor
resiko penting yang menunjang pada terjadinya penyakit ini. prosesnya dapat terjadi
dalam rentang lebih dari 20-30tahunan (Smeltzer dan Bare 2008).
Bersihan jalan nafas (obtruksi jalan nafas)biasa terjadi pada irang yang menderita
penyakit paru, sebab pada orang yang menderita penyakit paru salah satunya adalah
PPOK gejala utama yang muncul adalah ketidakefektifan bersihan jalan nafas
berhubungan dengan secret dalam bronkial (Hidayat, 2009). Clapping dan vibrating
merupakan tindakan penepukan dada depan atau punggung dan memberikan getaran
(vibrasi) dengan tangan pada daerah tersebut yang dilakukan pada saat pasien ekspirasi.
Berdasarkan penjelasan di atas penulis melakukan penelitian tentang sputum atau
sekret di bersihkan dengan tindakan fisioterapi dan penghisapan sputum untuk
kebersihan oleh karena itu memungkinkan perlu di intensifkan pelaksanaan fisioterapi
nafas secara komoprehensif meliputi clapping dan vibrating di ruang IPI RS
Muhammadiyah Lamongan.
1.2 Rumusan masalah
1. Bagaimana Penyakit Paru Obtruksi Kronik (PPOK) itu?
2. Bagaimana Bersihan jalan nafas itu ?
3. Bagaimana Teknik clapping dan vebriting itu ?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui apa itu Penyakit Paru Obtruksi Kronik (PPOK) itu.
2. Untuk mengetahui apa itu bersihan jalan nafas itu.
3. Untuk mengetahui bagaimana teknik clapping dan vebriting.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kronis)


2.1.1 Definisi PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kronis)
Penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) merupakan suatu istilah yang sering
digunakan untuk sekelompok penyakit paru yang belangsung lama dan ditandai oleh
peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya.
Bronchitis kronik, emfisema, dan asma bronchial membentuk kesatuan yang disebut
PPOK. Agaknya ada hubungan etiologi dan sekuensial antara bronchitis kronik dan
emfisema, tetapi tampaknya tak ada hubungan antara kedua penyakit itu dengan asma.

2.1.2 Etiologi
Terdapat beberapa faktor lingkungan dan endogen termasuk faktor genetik yang
berperan dalam berkembangnya penyakit paru obstruktif kronis. Defisiensi enzim alfa 1
antitripsin merupakan faktor predisposisi untuk berkembangnya PPOK secara dini.1 Alfa 1
antitripsin merupakan sejenis protein tubuh yang diproduksi oleh hati, berfungsi dalam
melindungi paru-paru dari kerusakan.2Enzim ini berfungsi untuk menetralkan tripsin yang
berasal dari rokok. Jika enzim ini rendah dan asupan rokok tinggi maka akan mengganggu
sistem kerja enzim tersebut yang bisa mengakibatkan infeksi saluran pernafasan. Defisiensi
enzim ini menyebabkan emfisema pada usia muda yaitu pada mereka yang tidak merokok,
onsetnya sekitar usia 53 tahun manakala bagi mereka yang merokok sekitar 40 tahun.
Hiperresponsivitas dari saluran napas ditambah dengan faktor merokok akan
meningkatkan resiko untuk menderita Penyakit paru obstruktif kronis disertai dengan
penurunan fungsi dari paru-paru yang drastis. Selain itu, hiperaktivitas dari bronkus dapat
terjadi akibat dari peradangan pada saluran napas yang dapat diamati pada bronkitis kronis
yang berhubungan dengan merokok. Hal ini dapat menimbulkan terjadinya ‘remodelling’
pada saluran napas yang memperparahkan lagi obstruksi pada saluran napas pada penderita
penyakit paru obstruktif kronis.
Faktor lingkungan seperti merokok merupakan penyebab utama disertai resiko
tambahan akibat polutan udara di tempat kerja atau di dalam kota. Sebagian pasien
mengalami asma kronis yang tidak terdiagnosis dan tidak diobati.1 Faktor resiko lainnya
yang berimplikasi klinis termasuk selain hiperresponsif bronchial, bayi berat lahir rendah,
gangguan pertumbuhan paru pada janin, dan status sosioekonomi rendah.

2.1.3 Faktor resiko


Identifikasi faktor risiko merupakan langkah penting menuju pengembangan
strategi untuk pencegahan dan pengobatan. Adapun faktor resiko dari PPOK ini
adalah :

1) Faktor pejamu

Faktor pejamu (host) meliputi genetik, hiperresponsif nafas dan pertumbuhan


paru. Faktor genetik yang utama adalah kurangnya alfa 1– antitripsin yaitu
suatu serin protease inhibitor. Hiperresponsif jalan nafas juga dapat terjadi
akibat pejanan asap rokok atau polusi.

2) Kebiasaan Merokok

Merokok sebagai faktor risiko dalam PPOK. Namun menurut Global Initiative
for Chronic Obstructive Lung Disease (2006), meskipun merokok adalah faktor
risiko terbaik untuk PPOK, itu bukan satu-satunya bukti yang konsisten dari
studi epidemiologi.

3) Polusi udara.

Meliputi polusi di dalam ruangan (asap rokok, asap kompor), polusi di luar
ruangan (gas buang kendaraan bermotor, debu jalanan), dan polusi tempat kerja
seperti bahan kimia zat iritasi, gas beracun (Suradi,2007).

4) Penyakit penyerta (comorbidities) pada PPOK

Penyakit penyerta yang terjadi pada PPOK seperti penyakit kardiovaskuler dan
kanker paru merupakan penyakit yang banyak menyebabkan kematian (Sin et
al., 2006). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Pincelli et al., (2011), bahwa
comorbid PPOK yang paling banyak terjadi adalah hipertensi dan diabetes
mellitus.

2.1.4 Patofisiologi
Peradangan merupakan elemen kunci terhadap patogenesis PPOK. Inhalasi asap
rokok atau gas berbahaya lainnya mengaktifasi makrofag dan sel epitel untuk
melepaskan faktor kemotaktik yang merekrut lebih banyak makrofag dan neutrofil.
Kemudian, makrofag dan neutrofil ini melepaskan protease yang merusak elemen
struktur pada paru-paru. Protease sebenarnya dapat diatasi dengan antiprotease
endogen namun tidak berimbangnya antiprotease terhadap dominasi aktivitas protease
yang pada akhirnya akan menjadi predisposisi terhadap perkembangan PPOK.
Pembentukan spesies oksigen yang sangat reaktif seperti superoxide, radikal bebas
hydroxyl dan hydrogen peroxide telah diidentifikasi sebagai faktor yang berkontribusi
terhadap patogenesis karena substansi ini dapat meningkatkan penghancuran
antiprotease.
Inflamasi kronis mengakibatkan metaplasia pada dinding epitel bronchial,
hipersekresi mukosa, peningkatan massa otot halus, dan fibrosis. Terdapat pula
disfungsi silier pada epitel, menyebabkan terganggunya klirens produksi mucus yang
berlebihan. Secara klinis, proses inilah yang bermanifestasi sebagai bronchitis kronis,
ditandai oleh batuk produktif kronis. Pada parenkim paru, penghancuran elemen
structural yang dimediasi protease menyebabkan emfisema. Kerusakan sekat alveolar
menyebabkan berkurangnya elastisitas recoil pada paru dan kegagalan dinamika
saluran udara akibat rusaknya sokongan pada saluran udara kecil non-kartilago.
Keseluruhan proses ini mengakibatkan obstruksi paten pada saluran napas dan
timbulnya gejala patofisiologis lainnya yang karakteristik untuk PPOK.
Obstruksi saluran udara menghasilkan alveoli yang tidak terventilasi atau kurang
terventilasi; perfusi berkelanjutan pada alveoli ini akan menyebabkan hypoxemia
(PaO2 rendah) oleh ketidakcocokan antara ventilasi dan aliran darah (V/Q tidak
sesuai). Ventilasi dari alveoli yang tidak berperfusi atau kurang berperfusi
meningkatkan ruang buntu (Vd), menyebabkan pembuangan CO2 yang tidak efisien.
Hiperventilasi biasanya akan terjadi untuk mengkompensasi keadaan ini, yang
kemudian akan meningkatkan kerja yang dibutuhkan untuk mengatasi resistensi saluran
napas yang telah meningkat, pada akhirnya proses ini gagal, dan terjadilah retensi CO2
(hiperkapnia) pada beberapa pasien dengan PPOK berat.

2.1.5 Gambaran klinis


Gejala kardinal dari PPOK adalah batuk dan ekspektorasi, dimana cenderung
meningkat dan maksimal pada pagi hari dan menandakan adanya pengumpulan sekresi
semalam sebelumnya. Batuk produktif, pada awalnya intermitten, dan kemudian terjadi
hampir tiap hari seiring waktu. Sputum berwarna bening dan mukoid, namun dapat
pula menjadi tebal, kuning, bahkan kadang ditemukan darah selama terjadinya infeksi
bakteri respiratorik.
Sesak napas setelah beraktivitas berat terjadi seiring dengan berkembangnya
penyakit. Pada keadaan yang berat, sesak napas bahkan terjadi dengan aktivitas
minimal dan bahkan pada saat istirahat akibat semakin memburuknya abnormalitas
pertukaran udara. Pada penyakit yang moderat hingga berat , pemeriksaan fisik dapat
memperlihatkan penurunan suara napas, ekspirasi yang memanjang, rhonchi, dan
hiperresonansi pada perkusi. Karena penyakit yang berat kadang berkomplikasi
menjadi hipertensi pulmoner dan cor pulmonale, tanda gagal jantung kanan (termasuk
distensi vena sentralis, hepatomegali, dan edema tungkai) dapat pula ditemukan.
Clubbing pada jari bukan ciri khas PPOK dan ketika ditemukan, kecurigaan diarahkan
pada ganguan lainnya, terutama karsinoma bronkogenik
Tanda obstruksi komplet saluran nafas atas yang mendadak sangat jelas. Pasien
tidak dapat bernafas, berbicara atau batuk dan pasien mungkin memengang
kerongkongannya seperti mencekik, agitasi, panic dan napas yang tersengal-sengal dan
diikuti sianosis. Dan apabila ada sumbatan tidak segera ditangani akan menyebabkan
kematian dalam waktu 2-5 hari.

Kondisi klinis yang berhubungan dengan obstruksi saluran napas akut adalah

1. Penyebab obstruksi oleh karena gangguan fungsional depresi sistem saraf pusat

Trauma kepala, kecelakaan serebrovaskular, gagalnya system kardiorespiratori, syok,


hipoksia, overdosis obat, encephalopati oleh karena proses metabolik

2. Abnormalitas neuromuscular dan system saraf tepi

Recurrent laryngeal nerve palsy (pasca operasi, inflamasi atau infiltrasi tumor),
obstrukstive sleep apnoe, spasme laring, miastenia gravis, guillain syndrom,
polyneuritis, spasme pita suara oleh karena hipokalsemia

3. Penyebab obstruksi oleh karena gangguan mekanis aspirasi benda asing

4. Infeksi

Epiglottis,selulitis retropharyngeal atau abses, angina ludwig’s, difteri dan tetanus,


trakeitis bacterial, laringotrakeobronkitis

5. Edem laring

6. Perdarahan dan haematom

Pasca operasi, terapi antikoangulan

7. Trauma

Luka bakar

8. Neoplasma

Karsinoma laring, faring, dan trakheobronkiahal, poliposis pita suara

9. Kogenital

Vascular rings, laryngeal webs, laryngocele


10. Lain-lain

Arthritis kriokoaritenoid,akalasia, stridor histerikal,miksedema

2.1.6 Penatalaksanaan PPOK


Untuk memastikan tingkat obstruksi dan reversibilitas obstruksi, sebelumnya
dilakukan uji dengan spirometri. Derajat PPOK terdiri dari derajat I, II, III, dan IV.
Rekomendasi penatalaksanaan PPOK menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia
(2011) dijelaskan dalam tabel 1.

a. Terapi Farmakologi

1) Bronkodilator

Dianjurkan penggunaan dalam bentuk inhalasi kecuali pada eksaserbasi


digunakan oral atau sistemik (Depkes, 2008). Diberikan secara tunggal atau
kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan disesuaikan dengan klasifikasi
derajat berat penyakit. Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi, nebulizer
tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat
diutamakan pemberian obat lepas lambat ( slow release ) atau sobat berefek
panjang ( long acting ).

Tabel 1. Derajat dan rekomendasi pengobatan PPOK menurut PDPI 2003

Derajat Karakteristik Rekomendasi pengobatan


Semua derajat 1. Edukasi (hindari faktor
pencetus)
2. Bronkodilator kerja
singkat (Xantin) bila
perlu
3. Vaksinasi influensa
Derajat I : PPOK ringan VEP1 < 70% Bronkodilator kerja singkat
VEP1 ≥ 80% prediksi (β-2 agonis kerja singkat,
dengan atau tanpa gejala antikolinergik, xantin) bila
perlu
Derajat II : PPOK sedang VEP < 70 % 1. .Pengobatan regular
50% ≤ VEP1 < 80 % dengan bronkodilator
prediksi dengan atau tanpa a. Agonis β-2 kerja
gejala panjang
b. Antikolinergik
c. Simptomatik
2. Rehabilitasi (edukasi,
nutrisi,rehabilitasi
respirasi )
Derajat III : PPOK berat VEP1 < 70 % 1. Pengobatan regular
30% ≤ VEP1 < 50 % dengan 1 atau lebih
prediksi dengan atau tanpa bronkodilator :
gejala a. Agonis β-2 kerja
panjang
b. Antikolinergik kerja
lama
c. Simpatomatik
d. Kortikosteroid
inhalasi
2. Rehabilitasi
Derajat IV : PPOK sangat VEP1 < 70 % 1. Pengobatan regular
berat VEP1 < 30 % prediksi atau dengan 1 atau lebih
gagal nafas atau gagal bronkodilator :
jantung kanan a. Agonis β-2 kerja
panjang
b. Antikolinergik kerja
lama
c. Pengobatan
komplikasi
d. Kortikosteroid
inhalasi
2. Rehabilitasi
3. Terapi oksigen jangka
panjang bila gagal nafas
4. Ventilasi mekanis
inovasif
5. Pertimbangkan terapi
pembedahan
VEP

Volume ekspirasi paksa (VEP1) adalah jumlah udara yang bisa diekspiras maksimal secara
paksa pada detik pertama manuver ekspirasi VEP1 paling sering dianggap volume tetapi
karena VEP1 adalah pengukuran volume perwaktu dapat dianggap sebagai jenis laju aliran
rata-rata yang terjadi selama detik pertama pernafasan.

Macam - macam bronkodilator :

a) Golongan antikolinergik

Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai bronkodilator juga
mengurangi sekresi lendir ( maksimal 4 kali perhari ).

b) Golongan agonis beta – 2

Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah penggunaan


dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat pemeliharaan sebaiknya
digunakan bentuk tablet yang berefek panjang. Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk
mengatasi eksaserbasi akut, tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang.

c) Kombinasi antikolinergik dan agonis beta – 2

Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena
keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Di samping itu penggunaan obat
kombinasi lebih sederhana dan mempermudah penderita.

d) Golongan xantin

Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang,


terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer untuk mengatasi
sesak (pelega napas), bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi eksaserbasi akut.
Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar aminofilin darah (PDPI,
2003).

2) Antikolinergik

Digunakan sebagai terapi lini pertama untuk pasien PPOK yang stabil.
Mekanisme utama obat golongan antikolinergik adalah blokade pada reseptor
muskarinik M3. Termasuk dalam golongan ini adalah ipratropium dan
oksiropium yang beraksi pendek dan tiotropium bromide yang beraksi panjang.
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai bronkodilator
juga mengurangi sekresi lendir ( maksimal 4 kali perhari ).

3) Metilxantin

Golongan metilxantin (teofilin, aminofilin) cukup lama digunakan pada


pengobatan PPOK sebagai terapi lini pertama, tetapi karena banyaknya potensi
interaksi obat dengan teofilin/aminofilin serta variabilitas respon antar dan inter
pasien, golongan metilksantin ini bergeser terapi lini ketiga.

4) Antiinflamasi Kortikosteroid

Kortikosteroid cukup bermanfaat pada penatalaksanaan PPOK. Obat ini


dapat mempercepat waktu pemulihan, memperbaiki fungsi paru, dan
mengurangi hipoksemia. Contoh golongan obat ini adalah prednisolon,
prednison.

5) Terapi oksigen

Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang


menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan
hal yang sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan
mencegah kerusakan sel baik di otot maupun organ - organ lainnya. Terapi
oksigen jangka panjang yang diberikan di rumah pada keadaan stabil terutama
bila tidur atau sedang aktivitas, lama pemberian 15 jam setiap hari, pemberian
oksigen dengan nasal kanul 1 - 2 L/mnt. Terapi oksigen pada waktu tidur
bertujuan mencegah hipoksemia yang sering terjadi bila penderita tidur. Terapi
oksigen pada waktu aktivitas bertujuan menghilangkan sesak napas dan
meningkatkan kemampuan aktivitas. Sebagai parameter digunakan analisis gas
darah atau pulse oksimetri. Pemberian oksigen harus mencapai saturasi oksigen
di atas 90% (PDPI, 2003).

6) Antibiotik

Menurut Dipiro et al., (2008), antibiotik digunakan selama PPOK


eksaserbasi (terjadi infeksi) jika pasien mengalami kondisi dalam 2 hal
diantaranya terjadi peningkatan sputum, peningkatan dispnea, dan peningkatan
sputum purulense. Terapi antibiotik dimulai 24 jam setelah gejala terlihat untuk
mencegah percepatan penurunan fungsi paru-paru karena iritasi dan sumbatan
mukus karena adanya proses infeksi. Pemilihan antibiotik empiris harus
berdasarkan pada bakteri yang paling umum menginfeksi. Contoh antibiotik
yang dapat digunakan misalnya makrolid, amoksisilin, fluorokuinolon.

2.1.7 Diagnosis
Umunya didasarkan pada anamnesa, pemeriksan fisik, pemeriksaan sinar X,
pemeriksaan faal paru, dan pemeriksaan labratorium patologi klinik. Menurut “American
Thoracic society” ATS

2.1.8 Pencegahan
Sekitar 75% kasus PPOK dikaitkan dengan rokok. Pencegahan PPOK dimulai
dengan mengurangi atau menghilangkan sifat merokok (American Thoracic Society, 2011).
Penanganan penderita berprinsip pada henti merokok, lakukan pencegahan terjadinya
serangan akut (serangan dadakan), stabilisasi kondisi terutama untuk mempertahankan
fungsi paru sebaik atau seoptimal mungkin, mempertahankan dan atau meningkatkan
kualitas hidup sehingga tetap produktif dan tidak membebani orang lain (Suradi, 2007).

2.2 Konsep Bersihan Jalan Nafas

2.2.1 Definisi

Jalan nafas merupakan komponen yang penting dari system pernafasan adalah
hidung dan mulut, faring, epiglottis, trakea, laring, bronkus dan paru. sehingga penilaian
jalan nafa (Airway) pada korban yang pertama kali adalah Look lesten feel (John A, 2015).

Bersihan jalan nafas merupakan kondisi pernafasan yang tidak normal akibat
ketidakmampuan batuk secara efektif, dapat disebabkan oleh sekret yang kental atau
berlebihan akibat penyakit infeksi (Brunner, 2008).

2.2.2 Tanda-tanda sumbatan jalan nafas yaitu:

Menurut John A, (2015) tanda-tanda sumbatan jalan nafas meliputi :

1. Bagian atas
a. Snoring : suara seperti orang ngorok dimana pangkal lidah yang jatuh ke
belakang
b. Gurgling : seperti orang berkumur dimana dikarenakan adany cairan atau
darah
c. Stridor : terjadi karena uap panas atau gas yang mengakibatkan mukosa
bengkak atapun jalan nafas menjadi kasar.
2. Bagian bawah
a. Rales : jenis suara yang discontinuous (terputus0putus), pendek, dan kasar.
b. Wheezing : seperti suara biola dimana mengalami penyempitan di
bronkusnya
c. Stridor : suara wheeze pada saar inspirasi yang terdengar keras pada trachea.

2.2.3 Pengelolaan jalan nafas dengan alat

Menurut John A, (2015) pengelolaan jalan nafas dengan alat ialah :

1. Oropharyngeal tube
Memasang oropharyngeal tube adalah suatu tindakan pemenuhan kebutuhan
oksigen dengan membebaskan jalan nafas melalui pemasangan oropharyngeal
tube melalui rongga mulut ke pharing.
2. Suction
Suctioning/penghisapan merupakan tindakan untuk mempertahankan jalan nafas
sehingga memungkinkan terjadinya proses pertukaran gas yang adekuat dengan
cara mengeluarkan secret pada klien yang tidak mampu mengeluarkan sendiri
3. Intubasi Endotraceal (ETT)
ETT adalah tindakan untuk memasukan pipa endotracheal ke dalam trachea yang
biasa di gunakan sebagai pembebasan jalan nafas, pemberian nafas buatan dengan
bag and mask dan lain sebagainnya.

2.2.4 Tindakan pembebasan jalan nafas dengan tanpa alat

Menurut Brunner, (2008) tindakan pembebasan jalan nafas dengan tanpa alat ialah:

1. Pemeriksaan jalan nafas

L = Look/lihat gerakan nafas atau pengembangan dada, adanya retraksi sela iga,
warna mukosa/kulit dan kesadaran.

L = Listen/Dengar aliran udara pernafasan

F = Feel/Rasakan adanya aliran udara pernafasan dengan menggunakan pipi


penolong
2. Tindakan

Membuka jalan nafas dengan proteksi cervical

a. Chinlift Maneuver (tindakan mengangkat dagu)

b. Jaw Thrust Maneuver (tindakan mengangat sudut rahang bawah)

c. Head Tilt Maneuver (tindakan menekan dahi)

3. Membersihkan jalan nafas

Sapuan jari (finger sweep), dilakukan bila jalan nafas tersumbat karena adanya
benda asing pada rongga mulut belakang atau hipofaring seperti gumpalan darah,
muntahan, benda asing lainnya sehingga hembusan nafas hilang.

4. Mengatasi sumbatan nafas parsial

a. Abdominal thrust, bisa dilakukan pada posisi berdiri atau duduk, pada posisi
tergeletak (tidak sadar), dan pada yang dilakukan sendiri.

b. Chest thrust, dilakukan untuk bayi, anak yang gemuk dan wanita hamil.

c. Back Blow, bisa dilakukan untuk bayi.

2.2.5 Gejala klinis bersihan jalan nafas

a. Batuk tidak efektif atau tidak mampu batuk

b. Ketidak mampuan mengeluarkan sekret dari jalan nafas

c. Sputum berlebih

d. Mengi, wheezing dan ronkhi kering

2.2 Konsep Fisioterapi Dada

3.2.1 Definisi fisioterapi dada

Fisioterapi dada adalah salah satu dari pada fisioterapi yang sangat berguna bagi
penderita penyakit respirasi baik yang bersifat akut maupun kronis. Fisioterapi dada ini
dapat digunakan untuk pengobatan dan pencegahan pada penyakit paru obstruktif
menahun, penyakit pernafasan restriktif termasuk kelainan neuromuskuler dan penyakit
paru restriktif karena kelainan parenkim paru seperti fibrosis dan pasien yang mendapat
ventilasi mekanik. Fisioterapi dada adalah suatu rangkaian tindakan keperawatan yang
terdiri atas perkusi dan vibrasi, postural drainase, latihan pernapasan/napas dalam, dan
batuk yang efektif. (Brunner & Suddarth, 2002). Tujuan: untuk membuang sekresi
bronkial, memperbaiki ventilasi, dan meningkatkan efisiensi otot-otot pernapasan.

4.2.3 Tujuan fisioterapi dada (ftd)

Tujuan pokok fisioterapi pada penyakit paru adalah:


1. Mengembalikan dan memelihara fungsi otot-otot pernafasan
2. Membantu membersihkan sekret dari bronkus
3. Untuk mencegah penumpukan sekret, memperbaiki pergerakan dan aliran sekret
4. Meningkatkan efisiensi pernapasan dan ekspansi paru
5. Klien dapat bernapas dengan bebas dan tubuh mendapatkan oksigen yang cukup
6. Mengeluarkan sekret dari saluran pernapasan. Fisioterapi dada ini dapat
digunakan untuk pengobatan dan pencegahan pada penyakit paru obstruktif
menahun, penyakit pernafasan restriktif termasuk kelainan neuromuskuler dan
penyakit paru restriktif karena kelainan parenkim paru seperti fibrosis dan pasien
yang mendapat ventilasi mekanik.
Fisioterapi dada ini meliputi rangkaian : postural drainage, perkusi, dan vibrasi.
Kontraindikasi fisioterapi dada ada yang bersifat mutlak seperti kegagalan jantung, status
asmatikus, renjatan dan perdarahan masif, Sedangkan kontraindikasi relatif seperti infeksi
paru berat, patah tulang iga atau luka baru bekas operasi, tumor paru dengan kemungkinan
adanya keganasan serta adanya kejang rangsang.

3.2.3 Konsep fisiologis fisioterapi dada

1) Clapping/ Perkusi Dada


Pengertian Perkusi atau disebut clapping adalah tepukkan atau pukulan ringan pada
dinding dada klien menggunakan telapak tangan yang dibentuk seperti mangkuk, tepukan
tangan secara berirama dan sistematis dari arah atas menuju kebawah. Selalu perhatikan
ekspresiwajah klien untuk mengkaji kemungkinan nyeri. Setiap lokasi dilakukan perkusi
selama 1-2 menit.

Gambar
Cupping adalah menepuk-nepuk tangan dalam posisi telungkup. Clupping
menepuk-nepuk tangan dalam posisi terbuka.

Tujuan untuk menolong pasien mendorong / menggerakkan sekresi didalam paru-


paru yang diharapkan dapat keluar secara gaya berat,dilaksanakan dengan menepuk tangan
dalam posisi telungkup. Perkusi dilakukan pada dinding dada dengan tujuan
melepaskanatau melonggarkan secret yang tertahan.

Indikasi Klien Yang Mendapat Perkusi Dada


Perkusi secara rutin dilakukan pada pasien yang mendapat postural drainase, jadi
semua indikasi postural drainase secara umum adalah indikasi perkusi.

Kontraindikasi Pada Clupping


Clapping tidak dapat dilakukan pada pasien emboli paru, hemoragie, eksaserbasi dan nyeri
hebat (seperti pasien kanker).

2) Vibrasi
Pengertian Vibrasi adalah kompresi dan getaran kuat secara serial olehtangan yang
diletakan secara datar pada dinding dada klien selama faseekshalasi pernapasan. Vibrasi
dilakukan setelah perkusi untuk meningkatkan turbulensi udara ekspirasi sehingga dapat
melepaskanmucus kental yang melekat pada bronkus dan bronkiolus. Vibrasi dan perkusi
dilakukan secara bergantian.

Gambar
Vibrasi dilakukan hanya pada waktu pasien mengeluarkan nafas. Pasien disuruh
bernafas dalam dan kompresi dada dan vibrasi dilaksanakan pada puncak inspirasi dan
dilanjutkan sampai akhir ekspirasi. Vibrasi dilakukan dengan cara meletakkan tangan
bertumpang tindih pada dada kemudian dengan dorongan bergetar. Kontraindikasinya
adalah patah tulang dan hemoptisis.
Tujuan Vibrasi digunakan setelah perkusi untuk meningkatkan turbulensi
udaraekspirasi dan melepaskan mukus yang kental. Sering dilakukan bergantian dengan
perkusi.

3.2 Konsep Ventilasi Mekanik


4.2.1 Definisi ventilasi mekanik

Ventilasi mekanik adalah suatu alat bantu mekanik yang berfungsi memberikan
bantuan nafas pasien dengan cara memberikan tekanan udara positif pada paru-paru
melalui jalan nafas buatan adalah suatu alat yang digunakan untuk membantu sebagian atau
seluruh proses ventilasi untuk mempertahankan oksigenasi (Brunner dan Suddarth, 2002).

4.2.2 Indikasi ventilasi mekanik

Jika pasien mengalami penurunan (PaO2), peningkatan kadar (PaCO2), dan asidosis
persistem, maka ventilasi mekanis kemungkinan diperlukan. Ada juga kondisi kondisi yang
diindikasikan menggunakan ventilator mekanis
1. Gagal nafas
Pasien dengan distres pernapasan gagal napas (apnue) maupun hipoksemia yang
tidak teratasi dengan pemberian oksigen merupakan indikasiventilator mekanik
Gagal nafas dibagi menjadi:
a. Gagal nafas tipe I merupakan kegagalan oksigenasi hypoxemia arteri yang
mempengaruhi tekanan parsial O2 arteri.
b. Gagal nafas tipe II merupakan kegagalan ventilasi: Arterial hypercapnia yang
mempengaruhi tekanan parsial CO2 arteri mencerminkan efensial mekanisme
ventilasi yang membuang (washes out) produksi CO2 dari hasil metabolisme
jaringan.
2. Insufisiensi jantung
Pada pasien dengan syok kardiogenik dan CHF, peningkatan kebutuhan aliran
darah pada system pernapasan (system pernapasan sebagai akibat peningkatana
kerja napas dan konsumsi oksigen) dapat mengakibatkan kolaps. Pemberian
ventilator untuk mengurangi beban kerja system pernapasan sehingga beban kerja
jantung juga berkurang
3. Disfungsi neurologis
Pasien dengan GCS 8 atau kurang yang beresiko mengalamiapnu berulang juga
mendapatkan ventilasi mekanik. Selain itu ventilasi mekanik juga berfungsi untuk
menjaga jalan nafas pasien serta memungkinkan pemberian hiperventilasi pada
klien dengan peningkatan tekanan intra cranial.
4. Tindakan operasi
Tindakan operasi yang membutuhkan penggunaan anestesi dansedative sangat
terbantu dengan keberadaan alat ini. Resiko terjadinya gagal napas selama operasi
akibat pengaruh obat sedative sudah bisa tertangani dengan keberadaan ventilator
mekanik.

4.2.5 Mode operasional ventilasi mekanik


1. Controlled Ventilation:
Ventilator mengontrol volume dan frekuensi pernafasan. Indikasi untuk pemakaian
ventilator meliputi pasien dengan apnoue. Ventilator tipeini meningkatkan kerja
pernafasan klien.
2. Assist/Control:
Ventilator jenis ini dapat mengontrol ventilasi, volume tidal dan kecepatan. Bila
klien gagal untuk ventilasi, maka ventilator secara otomatis. Ventilator ini diatur
berdasarkan atas frekuensi pernafasan yang spontan dari klien, biasanya digunakan
pada tahap pertama pemakaian ventilator.
3. Intermitten Mandatory Ventilation:
Model ini digunakan pada pernafasana sinkron dalam penggunaan model kontrol,
klien dengan hiperventilasi. Klien yang bernafas spontan dilengkapi dengan mesin
dan sewaktu-waktu diambil alih oleh ventilator.
4. Synchronized Intermitten Mandatory Ventilation (SIMV):
Dapat digunakan untuk ventilasi dengan tekanan udara rendah, otot tidak begitu
lelah dan efek barotrauma minimal. Pemberian gas melalui nafas spontan biasanya
tergantung pada aktivasi klien. Indikasi pada pernafasan spontan tapi tidal volume
dan/atau frekuensi nafas kurang adekuat.
5. Positive End-Expiratory pressure:
Modus yang digunakan dengan menahan tekanan akhir ekspirasi positif dengan
tujuan untuk mencegah Atelektasis. Dengan terbukanya jalan nafas oleh karena
tekanan yang tinggi, atelektasis akan dapat dihindari.
6. Continious Positive Airway Pressure. (CPAP):
Pada mode ini mesin hanya memberikan tekanan positif dan diberikan pada pasien
yang sudah bisa bernafas dengan adekuat. Tujuan pemberian mode ini adalah untuk
mencegah atelektasisdan melatih otot-otot pernafasan sebelum pasien dilepas dari
ventilator.

4.2.6 Setting ventilator


Untuk menentukan modus operasional ventilator terdapat beberapa parameter yang
diperlukan untuk pengaturan pada penggunaan volume cycle ventilator, yaitu :
1. Frekuensi pernafasan permenit:
Adalah jumlah pernapasan yang dilakukan ventilator dalam satu menit. Setting
normal pada pasien dewasa adalah 10-20x/mnt. Parameter alarm RR diseting diatas
dan dibawah nilai RR yang diset. Misalnya set RR sebesar 10x/menit, maka
setingan alarm sebaliknya diatas 12x/menit dan dibawah 8x/menit. Sehingga cepat
mendeteksi terjadinya hiperventilasi atau hipoventilasi
2. Tidal volume:
Merupakan jumlah gas yang dihantarkan oleh ventilator ke pasien setiap kali
bernapas. Umumnya disetting antara 8-10cc/kgBB, tergantung dari compliance,
resistance, dan jenis kelainan paru.
3. Konsentrasi oksigen (FiO2):
Adalah jumlah kandungan oksigen dalam udara inspirasi yang diberikan oleh
ventilator ke pasien. Konsentrasinya berkisar 21-100%. Settingan FiO2 pada awal
pemasangan ventilator direkomendasikan sebesar 100%.
4. Rasio inspirasi : ekspirasi
Rumus Rasio inspirasi : Ekspirasi waktu inspirasi + waktu ekspirasi
Keterangan :
a. Waktu inspirasi merupakan waktu yang diperlukan untuk memberikan
volume tidal atau mempertahankan tekanan
b. Waktu istirahat merupakan periode diantara waktu inspirasi denganekspirasi
c. Waktu ekspirasi merupakan waktu yang dibutuhkan untuk mengeluarkan
udara pernapasan.
d. Rasio inspirasi : ekspirasi biasanya disetiing 1:2 yang merupakan nilai
normal fisiologis inspirasi dan ekspirasi. Akan tetapi terkadang
diperlukanfase inspirasi yang sama atau lebih lama dibandingkan ekspirasi
untuk menaikan PaO2.
5. Limit pressure / inspiration pressure:
mengatur jumlah pressure/tekanan darivolume cycled ventilator, sebab pressure yg
tinggi dapat menyebabkan barotrauma. Pressure yg direkomendasi adalah plateau
pressure tidak boleh melebihi 35 cmH2O. Jika limit ini dicapai maka secara
otomatis ventilator menghentikan hantarannya, dan alarm berbunyi.
6. Flow rate/peak flow: merupakan kecepatan ventilator dalam memberikan
volumetidal pernapasan yang telah disetting permenitnya, Biasanya setting antara
40-100L/menit.
7. Sensitifity/trigger : berfungsi untuk menentukan seberapa besar usaha
yangdiperlukan pasien dalam memulai inspirasi dari ventilator. Pressure sensitivity
memiliki nilai sensivitas antara 2 sampai -20 cmH2O, sedangkan untuk flow
sensitivity adalah antara 2-20 L/menit. Semakin tinggi nilai pressure sentivity maka
semakin mudah seseorang melakukan pernapasan.
8. Alarm: Sistem alarm perlu untuk mewaspadakan perawat tentang adanya masalah.
Alarm tekanan rendah menandakan adanya pemutusan dari pasien
(ventilatorterlepas dari pasien), sedangkan alarm tekanan tinggi menandakan
adanya peningkatan tekanan, misalnya pasien batuk, cubing tertekuk, terjadi
fighting,dll
9. Positive end respiratory pressure (PEEP):bekerja dengan cara mempertahankan
tekanan positif pada alveoli diakhir ekspirasi. PEEP meningkatkan kapasitas residu
fungsional paru dan sangat penting untuk meningkatkan PaO2 yg refrakter. Nilai
PEEP selalu dimulai dari 5 cmH2O.

BAB 3

ASUHAN KEPERAWATAN

PENGKAJIAN KEPERAWATAN

KASUS NON TRAUMA: _________________

 Data Umum
Nama : Tn.R

Umur : 79 tahun
Alamat : Pucuk Lamongan

No. Registrasi : 75.42.82

Dx. Medis : PPOK, Tb Paru, Asidosis Respiratorik

Tanggal MRS : 30-10-2019 (09.07)

Tanggal Pengkajian : 31-10-2019 (08.30)

 Data Khusus
1. Subyektif

i. Keluhan utama : Sesak

ii. PQRST

- Provokes/ palliates :
- Quality :
- Region/ radiation :
- Severity :
- Timing :

iIi. RPS

Px dibawa dengan keluhan sesak sejak kemarin pagi tanggal 30 oktober 2019 saat
shubuh setelah kencing kemudian jam 06.00 masih sesak, ndrodog, lemas dan nyeri
dada di puskesmas pucuk. Px dirujuk ke IGD RSML tanggal 30 oktober 2019
keadaan pasien masih sama dan di bawa ke ICU. Dan saat pengkajian tanggal 31
oktober 2019 px masih sesak, ada pernafasan cuping hidung, ada bunyi napas
tambahan, terdengar suara ronkhi, terpasang ventilator mode pc sim v fio2 40%

iIi. RPD

Px memiliki riwayat hipertensi, px juga perokok aktif kurang lebih 5 tahun


iIi. RPK

Keluarga px ada yang memiliki hipertensi

2. Obyektif

i. Airway : Snoring ( - ) Stridor ( - )

Gurgling ( - ) Wheezing

ii. Breathing : Gerakan dada simetris/ tdk, RR 29 x/mnt, dengan ventilator

Geragan diafragma N/ distensi abdomen/ ascites

Ronkhi + +

+ +

iii. Circulation : Hb g/dl, akral tangan dan kaki hangat/ dingin,

TD 106 / 51 mmHg, PP: -55 MAP: 77 SaO 2 :97 %, HR : 93


x/menit

iv. Disability : GCS : 4T6

PERL : Pupil isocoor/unisocoor, reaksi terhadap rangsangan


cahaya + /+

v. Exposure & environtment :

vi. Full vital sign, five intervention :

TD : 106/51 mmHg

RR : 31 x/menit

HR : 93 x/menit
0
S : 37 C

SaO2 : 96 %

IVFD : infus di tangan kiri

kateter urine : produksi urine 50 cc / 2jam

warna urine kuning jernih/ keruh dan ada/tidak ada darah

NGT : Diit susu 100cc dengan selang NGT, diit susu 6 x 100 cc

Hasil Pemeriksaan Laboratorium Tanggal 30-10-2019

 Darah Lengkap
- Leukosit : 9.000 /ul ( Normal 3500 – 10.000).
- Hb : 13,6 gr/dl ( Normal 11 – 16.5).
- PCV : % ( Normal 35 – 50).
- Trombosit : 237 /ul ( Normal 150.000 – 390.000).
 Kimia Darah tan
- Gula darah puasa : mg/dl
- 2 jam PP : mg/dl
- Gula darah sesaat : 139 mg/dl (Normal < 120 mg/dl).
- Ureum : 112 mg/dl (Normal 10 – 50).
- Creatinin : 2,8 mg/dl (Normal 0,7 – 1,5).
 Analisa Elektrolit
- Natrium : 133 mmol/l (Normal 136 – 145).
- Kalium : 4.0 mmol/l (Normal 3.5 – 5).
- Clorida : 98 mmol/l (Normal 98-106).
 BGA Test tanggal 30-11-2019
o
- Suhu : 37 C
- pH : 7.13 (Normal 7.35 – 7.45).
- PCO2: 97 mmHg (Normal 35 – 45).
- PO2 : 72.0 mmHg (Normal 80 – 100).
- HCO3 : 32.3 (Normal 21 – 28).
- SaO2 : 88 % (Normal 85 - 95).
- Base excess : (Normal -3 – +3).
 BGA Test tanggal 03-11-2019
o
- Suhu :- C
- pH : 7.44 (Normal 7.35 – 7.45).
- PCO2: 58 mmHg (Normal 35 – 45).
- PO2 : 204 mmHg (Normal 80 – 100).
- HCO3 : 39.9 (Normal 21 – 28).
- SaO2 : 88 % (Normal 85 - 95).
- Base excess : (Normal -3 – +3).

vii. Give comfort : Terpasang infus ditangan kiri. Terpasang ventilator, dilakukan
suction

viii. History : Sebelumnya pasien mempunyai riwayat hipertensi dan


perokok aktif kurang lebih 5 tahun

Head to Toe Assessment.

1. Kepala : bentuk normal/tdk, laserasi/ jejas (-), keadaan rambut & kulit
kepala bersih/ kotor, wajah grimace (-)

2. Mata : palpebra oedem(-/-),sklera icteric(-/-),conjunctiva anemis(-/-)


refleks thd cahaya (- / -), pupil isocoor/ unisocoor

3. Hidung : bentuk normal/tdk, laserasi/ jejas (-), epitaksis (-), rhinorea (-),
nyeri tekan (-), pernafasan cuping hidung (-),

4. Telinga : bentuk normal/tdk, laserasi/ jejas (-), keadaan bersih/ kotor,


otorhea (-)

5. Mulut & Faring : keadaan mulut bersih/ tdk, bibir lembab/ kering, lidah
kotor/tdk, terpasang oropharingeal tube/ tdk, terpasang
endotracheal tube/ tdk, produksi sekret (+), terpasang ETT no
7.0 ventilation mode pc sim v, fo2 40%.
6. Leher

 Trakhea (ada/tidak ada pembesaran, ada/tidak ada pergeseran).


 Ada/tidak ada distensi vena jugularis.
 Terpasang tracheostomi kanul/ tdk

7. Thoraks

 Inspeksi : Bentuk simetris/tdk, laserasi dan jejas (-), bentuk normal/tdk


retraksi intercostae (+), retraksi suprasternal (-)

 Palpasi Dinding thoraks : krepitasi (-)


Nyeri tekan (+)

emfisema subcutis (-)

pergerakan dinding dada kiri dan kanan simetris/tdk

8. Paru

 Perkusi Paru : redup


 Auskultasi Paru : Ronkhi Wheezing Rales

9. Jantung

 Ictus cordis teraba pada ICS


 Suara jantung I dan II tunggal/split, murmur (-), irama teratur/tdk.
 Perkusi : Ada/tidak ada pembesaran jantung (batas normal/bergeser).
 HR : 94 x/menit.
10. Abdomen

 Bentuk abdomen flat/ cekung/ distended, bayangan pembuluh darah vena di


kulit abdomen (-).
 Peristaltik usus (-), frekuensi 12 x/menit.
 Benjolan/massa pada abdomen (-), nyeri tekan (-), turgor kulit baik/menurun.
11. Ekstremitas

 Ekstremitas : Terpasang infus tangan kiri


restrain

 Tulang simetris/tdk, ROM terbatas/tdk.

 Edema (-)

 Kekuatan otot

12. Pelvis dan genetalia

 Urogenital : terpasang kateter urin/tdk, produksi urin 50 cc/ 2jam, warna


kuning jernih/keruh, ada/tidak ada darah.
ix.. Inspeksi back/posterior surface :

Terapi Kandungan Fungsi


Infus RL Natrium laktat, natrium Untuk mengembalikan
clorida keseimbangan cairan dan
elektrolit
Inj. Ceftriaxon Ceftriaxon Sodium Untuk mengatasi infeksi
Inj. Bricasma Terbulatin Untuk meringankan gejala
mengi, batuk, dan sesak
Oral Paracetamol Paracetamol Untuk turun panas dan nyeri
Analisa Data

No Masalah
Data Etiologi
Tgl keperwatan

30-10- Ds : - Efusi pleura Pola nafas


201 9 Do : tidak efektif

10.00  Px terlihat gelisah


Mengganggu perfusi dan difusi
wib  Pola napas takipnea
oksigen
1  Px terlihat menggunakan otot
bantu napas
 Px nampak terpasang ventilator Suplai O2 kurang
mode pc sim v fio2 40%
TTV : TD :
Hambatan upaya napas
 106/51 mmHg
N : 93 x/menit
S : 37oC
SPO2 : 97 %

2 Do: - Akumulasi secret dijalannapas Bersihan


Do: jalan nafas
tidak efektif
 Px nampak terpasang ventilator
Jalannapasterganggu
mode pc sim v fio2 40%
 -Px tidak mampu batuk
 -Sputum Nampak berlebih Hipersekresi jalan nafas
 -Px Nampak gelisah
 -Auskultasi terdengar ronkh
TTV : TD :
 106/51 mmHg
N : 93 x/menit
S : 37oC
SPO2 : 97 %
 Px nampak tidak nyaman
 Sekret yang keluar berwarna
putih purulen
3 Ds :- Asidosis respirtorik Gangguan
ventilasi
Do:
spontan
 Px terlihat menggunakan otot Kelelahan otot pernapasan
bantu napas
 Px menggunakan alat bantu
napas ventilator mode pc sim Gangguan ventilasi spontan
v fio2 40%
 TTV :
 TD : 106/51 mmHg
 N : 93 x/menit
 S : 37oC
 SPO2 : 97 %
 RR : 31 x/menit
 po2 ; 25,8 mmHg
 pco2 : 65,0 mmHg

Diagnosa keperawatan

1. Gangguan ventilasi spontan berhubungan dengan kelelahan otot pernapasan


2. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan hipersekresi jalan napas
3. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya napas
Rencana Asuhan Keperawatan

No.
Tgl. SLKI SIKI
Dx
30 1. Setelah dilakukan tindakan askep selama 8 jam DUKUNGAN VENTILASI I.01002
oktober diharapkan ventilasi spontan meningkat dengan
O: -Identifikasi adanya kelelahan otot bantu napas
2019 KH: L.01007
-Identifikasi efek perubahan posisi terhadap status pernapasan
-dispnea menurun (5)
-Monitor status respirasi dan oksigenasi
-penggunaan otot bantu napas menurun (5)
T: -pertahankan kepatenan jalan napas
-gelisah menurun (5)
-Berikan posisi semi fowler/fowler
-pco2, po2, membaik (5)
-Fasilitasi mengubah posisi senyaman mungkin
-takikardi membaik (5)
E:- ajarkan melakukan teknik relaksasi napas dalam
-Ajarkan mengubah posisi secara mandiri
-Ajarkan teknik batuk efektif
K:- kolaborasi pemberian bronkodilator
2. Setelah dilakukan tindakan askep selama 3 jam MANAJEMEN JALAN NAFAS I.010011
diharapkan bersihan jalan nafas meningkat dengan
O : - Monitor posisi selang ETT
KH :
-monitor bunyi nafas tambahan
-Produksi sputum menurun (5)
-monitor sputum
-mengi menurun (5)
T: -pertahankan kepatenan jalan nafas
-Wheezing menurun (5)
-possisikan semi fowler
-Dispnea menurun (5)
-lakukan fisioterapi dada
-Sulit bicara menurun (5)
- lakukan penghisapan lendir
-Sianosis menurun (5)
E: -anjurkan asupan cairan 2000ml/hari
-gelisah menurun (5)
- Ajarkan teknik batuk efektif
-frekuensi nafas membaik (5)
K: -Kolaborasi pemberian bronkodilator, mukolitik
PENGHISAPAN JALAN NAPAS I.01020
O: identifikasi kebutuhan dilaukan penghisapan
-auskultasi suara napas sebelum dan sesudah dilakukan peghisapan
T: gunakan teknik aseptic
-gunakan procedural steril dan disposibel
Lakukan peghisapan lebih dari 15 detik
3. Setelah dilakukan tindakan askep selama 8 jam PEMANTAUAN RESPIRASI I.01014
diharapkan pola nafas membaik dengan KH:
O : - monitor frekuensi irama
L.01004
-monitor kemampuan batuk efektif
-Dispnea menurun (5)
-monitor adanya produksi sputum
-Penggunaan otot bantu menurun (5)
-monitor adanya sumbatan jalan nafas
-frekuensi napas membaik (5)
-auskultasi bunyi nafas
- pernapasan cuping hidung menurun (5)
T: -dokumentasikan hasil pemantauan
E: -Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
-informasikan hasil pemantauan
IMPLEMENTASI

Jam No Dx Implementasi Paraf

Tanggal
31 1 1. mengIdentifikasi adanya kelelahan otot bantu napas
oktober
- pasien menggunakan ventilator
2019
2. meMonitor status respirasi dan oksigenasi
07.30
TD :114/84 mmHg

N : 84x/m
07.33
S : 37.1oc

RR : 24x/m
07.45 3. mempertahankan kepatenan jalan napas
-pasien menggunakan ETT
4. memBerikan posisi semi fowler/fowler
-pasien dalam posisi semi fowler
08.00 5. memFasilitasi mengubah posisi senyaman
mungkin
6. menginjeksi obat ceftriaxone lewat iv 1 gram
2 1. meMonitor posisi selang ETT
-posisi ETT dalam posisi yang tetap
2. memonitor bunyi nafas tambahan
ronkhi
08.20 3. memonitor sputum
sputum bewarna putih purulen
4. mengAjarkan teknik batuk efektif
-pasien Nampak kesusahan
-pasien tidak Nampak sianosis
5. meng identifikasi kebutuhan dilaukan
08.33 penghisapan
napas pasien terdengar grok grok
6. mengauskultasi suara napas sebelum dan sesudah
dilakukan peghisapan
-setelah dilaukan penghisapan suaa ronkhi
08.36 berkurang
7. menggunakan teknik aseptic
8. menggunakan procedural steril dan disposibel

08.45
1 memonitor frekuensi irama
-pasien terlihat kesusahan saat bernapas
2 memonitor kemampuan batuk efektif
-pasien Nampak kesusahan saat mau batuk
3
3 memonitor adanya produksi sputum
-sputum bewarn putih purulen
4 mengauskultasi bunyi nafas
-bunyi napas terdengar ronkhi
5 mendokumentasikan hasil pemantauan

TD :122/85 mmHg

N : 90x/m

S : 36.5oc
11.30
RR : 24x/m
Spo2 99%
POC2=97
PO2=72

11.45

13.45
1

01oktobe 1. mengIdentifikasi adanya kelelahan otot bantu napas


r 2019
- pasien menggunakan ventilator

2. meMonitor status respirasi dan oksigenasi


07.30
TD :114/84 mmHg

N : 84x/m

S : 37.1oc

RR : 24x/m
7. mempertahankan kepatenan jalan napas
07.33
8. Melakukan oral hygiene
9. Melakukan penghisapan lendir
Pasien terlihat kesusahan saat bernapas
Secret bewarna putih purulen
07.45 10. Melakukna sonde 100 cc susu dan memberikan
ulfatrat 10 cc syrup
11. Melakukan balance urin 150 cc kuning keruh
08.00 12. pasien menggunakan ETT
13. memBerikan posisi semi fowler/fowler
-pasien dalam posisi semi fowler
14. memFasilitasi mengubah posisi senyaman
08.20 mungkin

menginjeksi obat ceftriaxone lewat iv 1 gram

menginjeksi bricasma
08.33 2 1. Mengganti cairan infus RL 500x/24 jam 13 tpm
2. memonitor bunyi nafas tambahan
ronkhi
3. memonitor sputum
sputum bewarna putih purulen
-pasien Terlihat memrah ketika disuction
08.36 - pasien tidak Nampak sianosis
4. meng identifikasi kebutuhan dilaukan
penghisapan
napas pasien terdengar grok grok
5. mengauskultasi suara napas sebelum dan sesudah
dilakukan peghisapan
-setelah dilaukan penghisapan suaa ronkhi
berkurang

TD :128/86 mmHg
08.45
N : 88x/m

S : 36.4oc
08.55
RR : 22x/m
11.30

11.35
3

1. Memonitor pola napas


-Pola napas takipnea
11.45 2. Memonitor tanda-tanda vital

TD :125/86 mmHg

N : 86x/m

13.45 S : 37.5oc

RR : 22x/m
3. Melakukan oral hygiene
4. Melakukan penghisapan lendir
Pasien terlihat kesusahan saat bernapas
Secret bewarna putih purulen
5. Melakukna sonde 100 cc susu dan memberikan
ulfatrat 10 cc syrup
6. Mengganti cairan infus RL 500x/24 jam 13 tpm

Melakukan balance urin 110 cc kuning keruh


02 1 1. mengIdentifikasi adanya kelelahan otot bantu napas
oktober
- pasien menggunakan ventilator
2019
2. meMonitor status respirasi dan oksigenasi

TD :114/84 mmHg
07.30
N : 84x/m

S : 37.1oc

RR : 24x/m
07.33 15. mempertahankan kepatenan jalan napas
-pasien menggunakan ETT
16. memBerikan posisi semi fowler/fowler
-pasien dalam posisi semi fowler
07.45 17. memFasilitasi mengubah posisi senyaman
mungkin

menginjeksi obat ceftriaxone lewat iv 1 gram

menginjeksi bricasma

PCO2= 58

PO2=204
08.00
2 1 Melakukan oral hygiene
2 Melakukan penghisapan lender
-pasien tidak Nampak sianosis
-Pasien terlihat kesusahan saat bernapas
-Secret bewarna putih purulen
3 Melakukna sonde 100 cc susu dan
memberikan ulfatrat 10 cc syrup
4 Melakukan balance urin 150 cc kuning keruh
-pasien menggunakan ETT
08.20 5 memBerikan posisi semi fowler/fowler
-pasien dalam posisi semi fowler
6 memFasilitasi mengubah posisi senyaman
mungkin
-menginjeksi obat ceftriaxone lewat iv 1
08.33 gram
-menginjeksi bricasma
3
1 Memonitor pola napas
- Pola napas takipnea
2 Memonitor tanda-tanda vital
08.36 TD :125/86 mmHg
N : 86x/m
08.45 S : 37.5oc

RR : 22x/m

3 Melakukan oral hygiene


4 Melakukan penghisapan lendir
-Pasien terlihat kesusahan saat bernapas
-Secret bewarna putih purulen
5 Melakukna sonde 150 cc susu dan memberikan
ulfatrat 10 cc syrup
6 Mengganti cairan infus RL 500x/24 jam 13 tpm
7 Melakukan balance urin 200 cc kuning keruh
11.30

11.45

13.45
EVALUASI

Jam No.dx evaluasi TTD


tgl

31 10 1 S:-
201 O: dyspnea dalam rentang sedang (3)
Pasien terpasang ventilator mode pc sim v fio2 40%
Pasien gelisah dalam rentang sedang(3)
Pasien takikardi cukup memburuk (2)
TD :122/85 mmHg
N : 130x/m S : 36.5oc RR : 24x/m Spo2 99%
POC2=97
PO2=72
A: Masalah ventilasi spontan belum teratasi
P:lanjutkan intervensi
2 S:-
O:pasien terpasang ETT
-pasien dalam posisi semifowler
-mukosa bibir kering
Pasien gelisah dalam rentang sedang(3)
Pasien kusahan untuk bicara
Produksi sputum sudah berkurang, bewarna putih purulen
Masih terdengar suara ronkhi
Tidak terdapat sianosis
A:masalah jalan napas teratasi sebagian
P:lanjutkan intervensi
3 S:-
O:pasien masih terlihat menggunakn otot bantu napas
Pasien terpasang ventilator mode pc sim v fio2 40%
Frekuensi napas 24x cukup membaik(4)
Terlihat pernapasan cuping hidung dalam rentang sedang (3)

A:masalah pola napas belum teratasi


P:lanjutkan intervensi
30 1 S:-
O: dyspnea cukup menurun (4)
Pasien terpasang ventilator mode pc sim v fio2 40%
Pasien gelisah menurun(4)
Pasien takikardi cukup membaik (3)
TD :114/84 mmHg N : 84x/m S : 37.1oc RR : 24x/m Spo2 99%
POC2=97
PO2=72

A: Masalah ventilasi spontan teratasi sebagian


P:lanjutkan intervensi

2 S:-
O:pasien terpasang ETT
Pasien tidak bisa batuk
-pasien dalam posisi semifowler
-mukosa bibir kering
Pasien gelisah menurun(4)
Pasien kesusahan untuk bicara
Produksi sputum sudah berkurang
Masih terdengar suara ronkhi
Tidak terdapat sianosis
A:masalah jalan napas teratasi sebagian
P: lanjutkan intrvensi
3 S:-
:-
O:pasien masih terlihat menggunakn otot bantu napas
Pasien terpasang ventilator mode pc sim v fio2 40%
Frekuensi napas 24x cukup membaik(4)
Terlihat pernapasan cuping hidug cukup membaik (4)

A:masalah pola napas teratasi sebagian


P:lanjutkan intervensi
02 1 S:-
O: dyspnea cukup menurun (4)
Pasien terpasang ventilator mode pc sim v fio2 40%
Pasien gelisah menurun(4)
Pasien takikardi cukup membaik (3)
TD :125/86 mmHg N : 86x/m S : 37.5o RR : 22x/m
Spo2 100%
PCO2= 58 meningkat
PO2=204 meningkat
A: Masalah ventilasi spontan teratasi sebagian
P:lanjutkan intervensi

2 S:-
pasien terpasang ETT
pasien keusahan untuk batuk
wajah pasien memerah dan terlihat menahan sakit
-pasien dalam posisi semifowler
-mukosa bibir kering
Pasien gelisah menurun(4)
Pasien kesusahan untuk bicara
Produksi sputum sudah berkurang
Tidak terdengar suara ronkhi
Tidak terdapat sianosis
Pasien masih kesusahan dalam bernapas
A:masalah jalan napas teratasi sebagian
P: lanjutkan intrvensi
3 S:-
O:pasien masih terlihat menggunakn otot bantu napas
Pasien terpasang ventilator mode pc sim v fio2 40%
Frekuensi napas 22x cukup membaik(4)
Terlihat pernapasan cuping hidug cukup membaik (4)

A:masalah pola napas teratasi sebagian

DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth, 2008. Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8, Vol. II, EGC: Jakarta
John, A, Boswick, 2015. Perawatan Gawat Darurat. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta
Penyakit paru obstruksi kronik, last updated 2 desember 2008, available from :
Penyakit paru obstruksi kronik Pedoman diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia. Last
updated 2003. Available from :

Anda mungkin juga menyukai