Disusun Oleh :
Kelompok 08
1. Nufriyant 19.02.03.1653
2. Wiwik Syafitri 19.02.03.1660
3. Hilda Lil Inshiroh 19.02.03.1680
4. Tri Arni Mutmaidah 19.02.03.1702
5. Tutk Nurwahyuni 19.02.03.1665
6. Yenny farida Rahmawat 19.02.03.1743
7. Diki Setya 19.02.03.1747
BAB 1
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui apa itu Penyakit Paru Obtruksi Kronik (PPOK) itu.
2. Untuk mengetahui apa itu bersihan jalan nafas itu.
3. Untuk mengetahui bagaimana teknik clapping dan vebriting.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.2 Etiologi
Terdapat beberapa faktor lingkungan dan endogen termasuk faktor genetik yang
berperan dalam berkembangnya penyakit paru obstruktif kronis. Defisiensi enzim alfa 1
antitripsin merupakan faktor predisposisi untuk berkembangnya PPOK secara dini.1 Alfa 1
antitripsin merupakan sejenis protein tubuh yang diproduksi oleh hati, berfungsi dalam
melindungi paru-paru dari kerusakan.2Enzim ini berfungsi untuk menetralkan tripsin yang
berasal dari rokok. Jika enzim ini rendah dan asupan rokok tinggi maka akan mengganggu
sistem kerja enzim tersebut yang bisa mengakibatkan infeksi saluran pernafasan. Defisiensi
enzim ini menyebabkan emfisema pada usia muda yaitu pada mereka yang tidak merokok,
onsetnya sekitar usia 53 tahun manakala bagi mereka yang merokok sekitar 40 tahun.
Hiperresponsivitas dari saluran napas ditambah dengan faktor merokok akan
meningkatkan resiko untuk menderita Penyakit paru obstruktif kronis disertai dengan
penurunan fungsi dari paru-paru yang drastis. Selain itu, hiperaktivitas dari bronkus dapat
terjadi akibat dari peradangan pada saluran napas yang dapat diamati pada bronkitis kronis
yang berhubungan dengan merokok. Hal ini dapat menimbulkan terjadinya ‘remodelling’
pada saluran napas yang memperparahkan lagi obstruksi pada saluran napas pada penderita
penyakit paru obstruktif kronis.
Faktor lingkungan seperti merokok merupakan penyebab utama disertai resiko
tambahan akibat polutan udara di tempat kerja atau di dalam kota. Sebagian pasien
mengalami asma kronis yang tidak terdiagnosis dan tidak diobati.1 Faktor resiko lainnya
yang berimplikasi klinis termasuk selain hiperresponsif bronchial, bayi berat lahir rendah,
gangguan pertumbuhan paru pada janin, dan status sosioekonomi rendah.
1) Faktor pejamu
2) Kebiasaan Merokok
Merokok sebagai faktor risiko dalam PPOK. Namun menurut Global Initiative
for Chronic Obstructive Lung Disease (2006), meskipun merokok adalah faktor
risiko terbaik untuk PPOK, itu bukan satu-satunya bukti yang konsisten dari
studi epidemiologi.
3) Polusi udara.
Meliputi polusi di dalam ruangan (asap rokok, asap kompor), polusi di luar
ruangan (gas buang kendaraan bermotor, debu jalanan), dan polusi tempat kerja
seperti bahan kimia zat iritasi, gas beracun (Suradi,2007).
Penyakit penyerta yang terjadi pada PPOK seperti penyakit kardiovaskuler dan
kanker paru merupakan penyakit yang banyak menyebabkan kematian (Sin et
al., 2006). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Pincelli et al., (2011), bahwa
comorbid PPOK yang paling banyak terjadi adalah hipertensi dan diabetes
mellitus.
2.1.4 Patofisiologi
Peradangan merupakan elemen kunci terhadap patogenesis PPOK. Inhalasi asap
rokok atau gas berbahaya lainnya mengaktifasi makrofag dan sel epitel untuk
melepaskan faktor kemotaktik yang merekrut lebih banyak makrofag dan neutrofil.
Kemudian, makrofag dan neutrofil ini melepaskan protease yang merusak elemen
struktur pada paru-paru. Protease sebenarnya dapat diatasi dengan antiprotease
endogen namun tidak berimbangnya antiprotease terhadap dominasi aktivitas protease
yang pada akhirnya akan menjadi predisposisi terhadap perkembangan PPOK.
Pembentukan spesies oksigen yang sangat reaktif seperti superoxide, radikal bebas
hydroxyl dan hydrogen peroxide telah diidentifikasi sebagai faktor yang berkontribusi
terhadap patogenesis karena substansi ini dapat meningkatkan penghancuran
antiprotease.
Inflamasi kronis mengakibatkan metaplasia pada dinding epitel bronchial,
hipersekresi mukosa, peningkatan massa otot halus, dan fibrosis. Terdapat pula
disfungsi silier pada epitel, menyebabkan terganggunya klirens produksi mucus yang
berlebihan. Secara klinis, proses inilah yang bermanifestasi sebagai bronchitis kronis,
ditandai oleh batuk produktif kronis. Pada parenkim paru, penghancuran elemen
structural yang dimediasi protease menyebabkan emfisema. Kerusakan sekat alveolar
menyebabkan berkurangnya elastisitas recoil pada paru dan kegagalan dinamika
saluran udara akibat rusaknya sokongan pada saluran udara kecil non-kartilago.
Keseluruhan proses ini mengakibatkan obstruksi paten pada saluran napas dan
timbulnya gejala patofisiologis lainnya yang karakteristik untuk PPOK.
Obstruksi saluran udara menghasilkan alveoli yang tidak terventilasi atau kurang
terventilasi; perfusi berkelanjutan pada alveoli ini akan menyebabkan hypoxemia
(PaO2 rendah) oleh ketidakcocokan antara ventilasi dan aliran darah (V/Q tidak
sesuai). Ventilasi dari alveoli yang tidak berperfusi atau kurang berperfusi
meningkatkan ruang buntu (Vd), menyebabkan pembuangan CO2 yang tidak efisien.
Hiperventilasi biasanya akan terjadi untuk mengkompensasi keadaan ini, yang
kemudian akan meningkatkan kerja yang dibutuhkan untuk mengatasi resistensi saluran
napas yang telah meningkat, pada akhirnya proses ini gagal, dan terjadilah retensi CO2
(hiperkapnia) pada beberapa pasien dengan PPOK berat.
Kondisi klinis yang berhubungan dengan obstruksi saluran napas akut adalah
1. Penyebab obstruksi oleh karena gangguan fungsional depresi sistem saraf pusat
Recurrent laryngeal nerve palsy (pasca operasi, inflamasi atau infiltrasi tumor),
obstrukstive sleep apnoe, spasme laring, miastenia gravis, guillain syndrom,
polyneuritis, spasme pita suara oleh karena hipokalsemia
4. Infeksi
5. Edem laring
7. Trauma
Luka bakar
8. Neoplasma
9. Kogenital
a. Terapi Farmakologi
1) Bronkodilator
Volume ekspirasi paksa (VEP1) adalah jumlah udara yang bisa diekspiras maksimal secara
paksa pada detik pertama manuver ekspirasi VEP1 paling sering dianggap volume tetapi
karena VEP1 adalah pengukuran volume perwaktu dapat dianggap sebagai jenis laju aliran
rata-rata yang terjadi selama detik pertama pernafasan.
a) Golongan antikolinergik
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai bronkodilator juga
mengurangi sekresi lendir ( maksimal 4 kali perhari ).
Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena
keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Di samping itu penggunaan obat
kombinasi lebih sederhana dan mempermudah penderita.
d) Golongan xantin
2) Antikolinergik
Digunakan sebagai terapi lini pertama untuk pasien PPOK yang stabil.
Mekanisme utama obat golongan antikolinergik adalah blokade pada reseptor
muskarinik M3. Termasuk dalam golongan ini adalah ipratropium dan
oksiropium yang beraksi pendek dan tiotropium bromide yang beraksi panjang.
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai bronkodilator
juga mengurangi sekresi lendir ( maksimal 4 kali perhari ).
3) Metilxantin
4) Antiinflamasi Kortikosteroid
5) Terapi oksigen
6) Antibiotik
2.1.7 Diagnosis
Umunya didasarkan pada anamnesa, pemeriksan fisik, pemeriksaan sinar X,
pemeriksaan faal paru, dan pemeriksaan labratorium patologi klinik. Menurut “American
Thoracic society” ATS
2.1.8 Pencegahan
Sekitar 75% kasus PPOK dikaitkan dengan rokok. Pencegahan PPOK dimulai
dengan mengurangi atau menghilangkan sifat merokok (American Thoracic Society, 2011).
Penanganan penderita berprinsip pada henti merokok, lakukan pencegahan terjadinya
serangan akut (serangan dadakan), stabilisasi kondisi terutama untuk mempertahankan
fungsi paru sebaik atau seoptimal mungkin, mempertahankan dan atau meningkatkan
kualitas hidup sehingga tetap produktif dan tidak membebani orang lain (Suradi, 2007).
2.2.1 Definisi
Jalan nafas merupakan komponen yang penting dari system pernafasan adalah
hidung dan mulut, faring, epiglottis, trakea, laring, bronkus dan paru. sehingga penilaian
jalan nafa (Airway) pada korban yang pertama kali adalah Look lesten feel (John A, 2015).
Bersihan jalan nafas merupakan kondisi pernafasan yang tidak normal akibat
ketidakmampuan batuk secara efektif, dapat disebabkan oleh sekret yang kental atau
berlebihan akibat penyakit infeksi (Brunner, 2008).
1. Bagian atas
a. Snoring : suara seperti orang ngorok dimana pangkal lidah yang jatuh ke
belakang
b. Gurgling : seperti orang berkumur dimana dikarenakan adany cairan atau
darah
c. Stridor : terjadi karena uap panas atau gas yang mengakibatkan mukosa
bengkak atapun jalan nafas menjadi kasar.
2. Bagian bawah
a. Rales : jenis suara yang discontinuous (terputus0putus), pendek, dan kasar.
b. Wheezing : seperti suara biola dimana mengalami penyempitan di
bronkusnya
c. Stridor : suara wheeze pada saar inspirasi yang terdengar keras pada trachea.
1. Oropharyngeal tube
Memasang oropharyngeal tube adalah suatu tindakan pemenuhan kebutuhan
oksigen dengan membebaskan jalan nafas melalui pemasangan oropharyngeal
tube melalui rongga mulut ke pharing.
2. Suction
Suctioning/penghisapan merupakan tindakan untuk mempertahankan jalan nafas
sehingga memungkinkan terjadinya proses pertukaran gas yang adekuat dengan
cara mengeluarkan secret pada klien yang tidak mampu mengeluarkan sendiri
3. Intubasi Endotraceal (ETT)
ETT adalah tindakan untuk memasukan pipa endotracheal ke dalam trachea yang
biasa di gunakan sebagai pembebasan jalan nafas, pemberian nafas buatan dengan
bag and mask dan lain sebagainnya.
Menurut Brunner, (2008) tindakan pembebasan jalan nafas dengan tanpa alat ialah:
L = Look/lihat gerakan nafas atau pengembangan dada, adanya retraksi sela iga,
warna mukosa/kulit dan kesadaran.
Sapuan jari (finger sweep), dilakukan bila jalan nafas tersumbat karena adanya
benda asing pada rongga mulut belakang atau hipofaring seperti gumpalan darah,
muntahan, benda asing lainnya sehingga hembusan nafas hilang.
a. Abdominal thrust, bisa dilakukan pada posisi berdiri atau duduk, pada posisi
tergeletak (tidak sadar), dan pada yang dilakukan sendiri.
b. Chest thrust, dilakukan untuk bayi, anak yang gemuk dan wanita hamil.
c. Sputum berlebih
Fisioterapi dada adalah salah satu dari pada fisioterapi yang sangat berguna bagi
penderita penyakit respirasi baik yang bersifat akut maupun kronis. Fisioterapi dada ini
dapat digunakan untuk pengobatan dan pencegahan pada penyakit paru obstruktif
menahun, penyakit pernafasan restriktif termasuk kelainan neuromuskuler dan penyakit
paru restriktif karena kelainan parenkim paru seperti fibrosis dan pasien yang mendapat
ventilasi mekanik. Fisioterapi dada adalah suatu rangkaian tindakan keperawatan yang
terdiri atas perkusi dan vibrasi, postural drainase, latihan pernapasan/napas dalam, dan
batuk yang efektif. (Brunner & Suddarth, 2002). Tujuan: untuk membuang sekresi
bronkial, memperbaiki ventilasi, dan meningkatkan efisiensi otot-otot pernapasan.
Gambar
Cupping adalah menepuk-nepuk tangan dalam posisi telungkup. Clupping
menepuk-nepuk tangan dalam posisi terbuka.
2) Vibrasi
Pengertian Vibrasi adalah kompresi dan getaran kuat secara serial olehtangan yang
diletakan secara datar pada dinding dada klien selama faseekshalasi pernapasan. Vibrasi
dilakukan setelah perkusi untuk meningkatkan turbulensi udara ekspirasi sehingga dapat
melepaskanmucus kental yang melekat pada bronkus dan bronkiolus. Vibrasi dan perkusi
dilakukan secara bergantian.
Gambar
Vibrasi dilakukan hanya pada waktu pasien mengeluarkan nafas. Pasien disuruh
bernafas dalam dan kompresi dada dan vibrasi dilaksanakan pada puncak inspirasi dan
dilanjutkan sampai akhir ekspirasi. Vibrasi dilakukan dengan cara meletakkan tangan
bertumpang tindih pada dada kemudian dengan dorongan bergetar. Kontraindikasinya
adalah patah tulang dan hemoptisis.
Tujuan Vibrasi digunakan setelah perkusi untuk meningkatkan turbulensi
udaraekspirasi dan melepaskan mukus yang kental. Sering dilakukan bergantian dengan
perkusi.
Ventilasi mekanik adalah suatu alat bantu mekanik yang berfungsi memberikan
bantuan nafas pasien dengan cara memberikan tekanan udara positif pada paru-paru
melalui jalan nafas buatan adalah suatu alat yang digunakan untuk membantu sebagian atau
seluruh proses ventilasi untuk mempertahankan oksigenasi (Brunner dan Suddarth, 2002).
Jika pasien mengalami penurunan (PaO2), peningkatan kadar (PaCO2), dan asidosis
persistem, maka ventilasi mekanis kemungkinan diperlukan. Ada juga kondisi kondisi yang
diindikasikan menggunakan ventilator mekanis
1. Gagal nafas
Pasien dengan distres pernapasan gagal napas (apnue) maupun hipoksemia yang
tidak teratasi dengan pemberian oksigen merupakan indikasiventilator mekanik
Gagal nafas dibagi menjadi:
a. Gagal nafas tipe I merupakan kegagalan oksigenasi hypoxemia arteri yang
mempengaruhi tekanan parsial O2 arteri.
b. Gagal nafas tipe II merupakan kegagalan ventilasi: Arterial hypercapnia yang
mempengaruhi tekanan parsial CO2 arteri mencerminkan efensial mekanisme
ventilasi yang membuang (washes out) produksi CO2 dari hasil metabolisme
jaringan.
2. Insufisiensi jantung
Pada pasien dengan syok kardiogenik dan CHF, peningkatan kebutuhan aliran
darah pada system pernapasan (system pernapasan sebagai akibat peningkatana
kerja napas dan konsumsi oksigen) dapat mengakibatkan kolaps. Pemberian
ventilator untuk mengurangi beban kerja system pernapasan sehingga beban kerja
jantung juga berkurang
3. Disfungsi neurologis
Pasien dengan GCS 8 atau kurang yang beresiko mengalamiapnu berulang juga
mendapatkan ventilasi mekanik. Selain itu ventilasi mekanik juga berfungsi untuk
menjaga jalan nafas pasien serta memungkinkan pemberian hiperventilasi pada
klien dengan peningkatan tekanan intra cranial.
4. Tindakan operasi
Tindakan operasi yang membutuhkan penggunaan anestesi dansedative sangat
terbantu dengan keberadaan alat ini. Resiko terjadinya gagal napas selama operasi
akibat pengaruh obat sedative sudah bisa tertangani dengan keberadaan ventilator
mekanik.
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
PENGKAJIAN KEPERAWATAN
Data Umum
Nama : Tn.R
Umur : 79 tahun
Alamat : Pucuk Lamongan
Data Khusus
1. Subyektif
ii. PQRST
- Provokes/ palliates :
- Quality :
- Region/ radiation :
- Severity :
- Timing :
iIi. RPS
Px dibawa dengan keluhan sesak sejak kemarin pagi tanggal 30 oktober 2019 saat
shubuh setelah kencing kemudian jam 06.00 masih sesak, ndrodog, lemas dan nyeri
dada di puskesmas pucuk. Px dirujuk ke IGD RSML tanggal 30 oktober 2019
keadaan pasien masih sama dan di bawa ke ICU. Dan saat pengkajian tanggal 31
oktober 2019 px masih sesak, ada pernafasan cuping hidung, ada bunyi napas
tambahan, terdengar suara ronkhi, terpasang ventilator mode pc sim v fio2 40%
iIi. RPD
2. Obyektif
Gurgling ( - ) Wheezing
Ronkhi + +
+ +
TD : 106/51 mmHg
RR : 31 x/menit
HR : 93 x/menit
0
S : 37 C
SaO2 : 96 %
NGT : Diit susu 100cc dengan selang NGT, diit susu 6 x 100 cc
Darah Lengkap
- Leukosit : 9.000 /ul ( Normal 3500 – 10.000).
- Hb : 13,6 gr/dl ( Normal 11 – 16.5).
- PCV : % ( Normal 35 – 50).
- Trombosit : 237 /ul ( Normal 150.000 – 390.000).
Kimia Darah tan
- Gula darah puasa : mg/dl
- 2 jam PP : mg/dl
- Gula darah sesaat : 139 mg/dl (Normal < 120 mg/dl).
- Ureum : 112 mg/dl (Normal 10 – 50).
- Creatinin : 2,8 mg/dl (Normal 0,7 – 1,5).
Analisa Elektrolit
- Natrium : 133 mmol/l (Normal 136 – 145).
- Kalium : 4.0 mmol/l (Normal 3.5 – 5).
- Clorida : 98 mmol/l (Normal 98-106).
BGA Test tanggal 30-11-2019
o
- Suhu : 37 C
- pH : 7.13 (Normal 7.35 – 7.45).
- PCO2: 97 mmHg (Normal 35 – 45).
- PO2 : 72.0 mmHg (Normal 80 – 100).
- HCO3 : 32.3 (Normal 21 – 28).
- SaO2 : 88 % (Normal 85 - 95).
- Base excess : (Normal -3 – +3).
BGA Test tanggal 03-11-2019
o
- Suhu :- C
- pH : 7.44 (Normal 7.35 – 7.45).
- PCO2: 58 mmHg (Normal 35 – 45).
- PO2 : 204 mmHg (Normal 80 – 100).
- HCO3 : 39.9 (Normal 21 – 28).
- SaO2 : 88 % (Normal 85 - 95).
- Base excess : (Normal -3 – +3).
vii. Give comfort : Terpasang infus ditangan kiri. Terpasang ventilator, dilakukan
suction
1. Kepala : bentuk normal/tdk, laserasi/ jejas (-), keadaan rambut & kulit
kepala bersih/ kotor, wajah grimace (-)
3. Hidung : bentuk normal/tdk, laserasi/ jejas (-), epitaksis (-), rhinorea (-),
nyeri tekan (-), pernafasan cuping hidung (-),
5. Mulut & Faring : keadaan mulut bersih/ tdk, bibir lembab/ kering, lidah
kotor/tdk, terpasang oropharingeal tube/ tdk, terpasang
endotracheal tube/ tdk, produksi sekret (+), terpasang ETT no
7.0 ventilation mode pc sim v, fo2 40%.
6. Leher
7. Thoraks
8. Paru
9. Jantung
Edema (-)
Kekuatan otot
No Masalah
Data Etiologi
Tgl keperwatan
Diagnosa keperawatan
No.
Tgl. SLKI SIKI
Dx
30 1. Setelah dilakukan tindakan askep selama 8 jam DUKUNGAN VENTILASI I.01002
oktober diharapkan ventilasi spontan meningkat dengan
O: -Identifikasi adanya kelelahan otot bantu napas
2019 KH: L.01007
-Identifikasi efek perubahan posisi terhadap status pernapasan
-dispnea menurun (5)
-Monitor status respirasi dan oksigenasi
-penggunaan otot bantu napas menurun (5)
T: -pertahankan kepatenan jalan napas
-gelisah menurun (5)
-Berikan posisi semi fowler/fowler
-pco2, po2, membaik (5)
-Fasilitasi mengubah posisi senyaman mungkin
-takikardi membaik (5)
E:- ajarkan melakukan teknik relaksasi napas dalam
-Ajarkan mengubah posisi secara mandiri
-Ajarkan teknik batuk efektif
K:- kolaborasi pemberian bronkodilator
2. Setelah dilakukan tindakan askep selama 3 jam MANAJEMEN JALAN NAFAS I.010011
diharapkan bersihan jalan nafas meningkat dengan
O : - Monitor posisi selang ETT
KH :
-monitor bunyi nafas tambahan
-Produksi sputum menurun (5)
-monitor sputum
-mengi menurun (5)
T: -pertahankan kepatenan jalan nafas
-Wheezing menurun (5)
-possisikan semi fowler
-Dispnea menurun (5)
-lakukan fisioterapi dada
-Sulit bicara menurun (5)
- lakukan penghisapan lendir
-Sianosis menurun (5)
E: -anjurkan asupan cairan 2000ml/hari
-gelisah menurun (5)
- Ajarkan teknik batuk efektif
-frekuensi nafas membaik (5)
K: -Kolaborasi pemberian bronkodilator, mukolitik
PENGHISAPAN JALAN NAPAS I.01020
O: identifikasi kebutuhan dilaukan penghisapan
-auskultasi suara napas sebelum dan sesudah dilakukan peghisapan
T: gunakan teknik aseptic
-gunakan procedural steril dan disposibel
Lakukan peghisapan lebih dari 15 detik
3. Setelah dilakukan tindakan askep selama 8 jam PEMANTAUAN RESPIRASI I.01014
diharapkan pola nafas membaik dengan KH:
O : - monitor frekuensi irama
L.01004
-monitor kemampuan batuk efektif
-Dispnea menurun (5)
-monitor adanya produksi sputum
-Penggunaan otot bantu menurun (5)
-monitor adanya sumbatan jalan nafas
-frekuensi napas membaik (5)
-auskultasi bunyi nafas
- pernapasan cuping hidung menurun (5)
T: -dokumentasikan hasil pemantauan
E: -Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
-informasikan hasil pemantauan
IMPLEMENTASI
Tanggal
31 1 1. mengIdentifikasi adanya kelelahan otot bantu napas
oktober
- pasien menggunakan ventilator
2019
2. meMonitor status respirasi dan oksigenasi
07.30
TD :114/84 mmHg
N : 84x/m
07.33
S : 37.1oc
RR : 24x/m
07.45 3. mempertahankan kepatenan jalan napas
-pasien menggunakan ETT
4. memBerikan posisi semi fowler/fowler
-pasien dalam posisi semi fowler
08.00 5. memFasilitasi mengubah posisi senyaman
mungkin
6. menginjeksi obat ceftriaxone lewat iv 1 gram
2 1. meMonitor posisi selang ETT
-posisi ETT dalam posisi yang tetap
2. memonitor bunyi nafas tambahan
ronkhi
08.20 3. memonitor sputum
sputum bewarna putih purulen
4. mengAjarkan teknik batuk efektif
-pasien Nampak kesusahan
-pasien tidak Nampak sianosis
5. meng identifikasi kebutuhan dilaukan
08.33 penghisapan
napas pasien terdengar grok grok
6. mengauskultasi suara napas sebelum dan sesudah
dilakukan peghisapan
-setelah dilaukan penghisapan suaa ronkhi
08.36 berkurang
7. menggunakan teknik aseptic
8. menggunakan procedural steril dan disposibel
08.45
1 memonitor frekuensi irama
-pasien terlihat kesusahan saat bernapas
2 memonitor kemampuan batuk efektif
-pasien Nampak kesusahan saat mau batuk
3
3 memonitor adanya produksi sputum
-sputum bewarn putih purulen
4 mengauskultasi bunyi nafas
-bunyi napas terdengar ronkhi
5 mendokumentasikan hasil pemantauan
TD :122/85 mmHg
N : 90x/m
S : 36.5oc
11.30
RR : 24x/m
Spo2 99%
POC2=97
PO2=72
11.45
13.45
1
N : 84x/m
S : 37.1oc
RR : 24x/m
7. mempertahankan kepatenan jalan napas
07.33
8. Melakukan oral hygiene
9. Melakukan penghisapan lendir
Pasien terlihat kesusahan saat bernapas
Secret bewarna putih purulen
07.45 10. Melakukna sonde 100 cc susu dan memberikan
ulfatrat 10 cc syrup
11. Melakukan balance urin 150 cc kuning keruh
08.00 12. pasien menggunakan ETT
13. memBerikan posisi semi fowler/fowler
-pasien dalam posisi semi fowler
14. memFasilitasi mengubah posisi senyaman
08.20 mungkin
menginjeksi bricasma
08.33 2 1. Mengganti cairan infus RL 500x/24 jam 13 tpm
2. memonitor bunyi nafas tambahan
ronkhi
3. memonitor sputum
sputum bewarna putih purulen
-pasien Terlihat memrah ketika disuction
08.36 - pasien tidak Nampak sianosis
4. meng identifikasi kebutuhan dilaukan
penghisapan
napas pasien terdengar grok grok
5. mengauskultasi suara napas sebelum dan sesudah
dilakukan peghisapan
-setelah dilaukan penghisapan suaa ronkhi
berkurang
TD :128/86 mmHg
08.45
N : 88x/m
S : 36.4oc
08.55
RR : 22x/m
11.30
11.35
3
TD :125/86 mmHg
N : 86x/m
13.45 S : 37.5oc
RR : 22x/m
3. Melakukan oral hygiene
4. Melakukan penghisapan lendir
Pasien terlihat kesusahan saat bernapas
Secret bewarna putih purulen
5. Melakukna sonde 100 cc susu dan memberikan
ulfatrat 10 cc syrup
6. Mengganti cairan infus RL 500x/24 jam 13 tpm
TD :114/84 mmHg
07.30
N : 84x/m
S : 37.1oc
RR : 24x/m
07.33 15. mempertahankan kepatenan jalan napas
-pasien menggunakan ETT
16. memBerikan posisi semi fowler/fowler
-pasien dalam posisi semi fowler
07.45 17. memFasilitasi mengubah posisi senyaman
mungkin
menginjeksi bricasma
PCO2= 58
PO2=204
08.00
2 1 Melakukan oral hygiene
2 Melakukan penghisapan lender
-pasien tidak Nampak sianosis
-Pasien terlihat kesusahan saat bernapas
-Secret bewarna putih purulen
3 Melakukna sonde 100 cc susu dan
memberikan ulfatrat 10 cc syrup
4 Melakukan balance urin 150 cc kuning keruh
-pasien menggunakan ETT
08.20 5 memBerikan posisi semi fowler/fowler
-pasien dalam posisi semi fowler
6 memFasilitasi mengubah posisi senyaman
mungkin
-menginjeksi obat ceftriaxone lewat iv 1
08.33 gram
-menginjeksi bricasma
3
1 Memonitor pola napas
- Pola napas takipnea
2 Memonitor tanda-tanda vital
08.36 TD :125/86 mmHg
N : 86x/m
08.45 S : 37.5oc
RR : 22x/m
11.45
13.45
EVALUASI
31 10 1 S:-
201 O: dyspnea dalam rentang sedang (3)
Pasien terpasang ventilator mode pc sim v fio2 40%
Pasien gelisah dalam rentang sedang(3)
Pasien takikardi cukup memburuk (2)
TD :122/85 mmHg
N : 130x/m S : 36.5oc RR : 24x/m Spo2 99%
POC2=97
PO2=72
A: Masalah ventilasi spontan belum teratasi
P:lanjutkan intervensi
2 S:-
O:pasien terpasang ETT
-pasien dalam posisi semifowler
-mukosa bibir kering
Pasien gelisah dalam rentang sedang(3)
Pasien kusahan untuk bicara
Produksi sputum sudah berkurang, bewarna putih purulen
Masih terdengar suara ronkhi
Tidak terdapat sianosis
A:masalah jalan napas teratasi sebagian
P:lanjutkan intervensi
3 S:-
O:pasien masih terlihat menggunakn otot bantu napas
Pasien terpasang ventilator mode pc sim v fio2 40%
Frekuensi napas 24x cukup membaik(4)
Terlihat pernapasan cuping hidung dalam rentang sedang (3)
2 S:-
O:pasien terpasang ETT
Pasien tidak bisa batuk
-pasien dalam posisi semifowler
-mukosa bibir kering
Pasien gelisah menurun(4)
Pasien kesusahan untuk bicara
Produksi sputum sudah berkurang
Masih terdengar suara ronkhi
Tidak terdapat sianosis
A:masalah jalan napas teratasi sebagian
P: lanjutkan intrvensi
3 S:-
:-
O:pasien masih terlihat menggunakn otot bantu napas
Pasien terpasang ventilator mode pc sim v fio2 40%
Frekuensi napas 24x cukup membaik(4)
Terlihat pernapasan cuping hidug cukup membaik (4)
2 S:-
pasien terpasang ETT
pasien keusahan untuk batuk
wajah pasien memerah dan terlihat menahan sakit
-pasien dalam posisi semifowler
-mukosa bibir kering
Pasien gelisah menurun(4)
Pasien kesusahan untuk bicara
Produksi sputum sudah berkurang
Tidak terdengar suara ronkhi
Tidak terdapat sianosis
Pasien masih kesusahan dalam bernapas
A:masalah jalan napas teratasi sebagian
P: lanjutkan intrvensi
3 S:-
O:pasien masih terlihat menggunakn otot bantu napas
Pasien terpasang ventilator mode pc sim v fio2 40%
Frekuensi napas 22x cukup membaik(4)
Terlihat pernapasan cuping hidug cukup membaik (4)
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth, 2008. Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8, Vol. II, EGC: Jakarta
John, A, Boswick, 2015. Perawatan Gawat Darurat. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta
Penyakit paru obstruksi kronik, last updated 2 desember 2008, available from :
Penyakit paru obstruksi kronik Pedoman diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia. Last
updated 2003. Available from :