Bab 4 Versi 8

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 10

Review Bab Buku

“Diskursus Bernegara dalam Islam”

A. Review Bab 4 Bernegara dalam Islam Perspektif Ulama Klasik dan Pertengahan
Dunia Barat kini dilanda arus kerakyatan yang bercirikan penguatan partai-partai
kelompok kanan, seperti halnya di Indonesia. Islam-politik yang sebelumnya kurang
memiliki ruang, kini tampak menghiasi ruang-ruang publik dengan slogan fomalisasi
Syariah. Secara tidak langsung, harapan mewujudkan ide dan impian Indonesia sebagai
Negara Islam kembali muncul ke permukaan.
Pemahaman masyarakat mengenai konsepsi Negara Islam masihlah didominasi
pengertian-pengertian klasik. Pada hakikatnya, pemberian substansi pada gagasan-gagasan
terkait Negara Islam telah ramai dibicarakan oleh para filsuf modern atau kontemporer
beraliran revisionis yang membicarakan antara suatu negara dan hukum Islam berkonsep
negara kebangsaan. Para filsuf modern tersebut memiliki pemikiran yang lebih moderat dan
progresif dalam menafsirkan suatu negara sebagai abstraksi penjelmaan nilai-nilai Islam.
Akan tetapi, pemikiran tersebut lambat laun tak terdengar lagi gaungnya di tengah
munculnya berbagai gagasan mengenai pembentukan Negara Islam secara formal.
Selain itu, Indonesia hadir dengan moderatisme Islam bergagasan nasionalisme yang
sejak kelahirannya tidak berdasarkan pada ajaran agama, namun tidak pula sebagai Negara
Sekuler. Hasilnya dapat terlihat dari adanya Pancasila yang berasal dari perpaduan
keduanya. Dengan begitu, Indonesia adalah panutan dalam hal implementasi Islam secara
mendasar dalam bentuk pranata masa kini.
Buku ini memuat banyak kajian mengenai negara Islam dan gagasan-gagasan
terkaitnya. Segala konsep dan gagasan tersebut dijelaskan secara detail dari berbagai
pandangan, mulai dari pandangan teologi, pandangan klasik abad pertengahan, pandangan
modern, hingga sudut pandang Indonesia sendiri. Semua dijabarkan secara lengkap dengan
menghadirkan para tokoh beserta pemikiran-pemikirannya terkait konsep negara
kebangsaan dalam Islam. Hadirnya para tokoh tersebut dapat menjadi pembanding antara
satu pemikiran tokoh dengan tokoh lainnya. Dengan berdasarkan sudut pandang dari setiap
tokoh, hal ini tentu memperluas khazanah ilmu Islam terkait topik utama yang dibicarakan
dalam buku ini, yaitu konsep negara kebangsaan. Pembaca akan dengan mudah memahami
topik melalui perbandingan dari berbagai pemikiran para tokoh.
Kali ini saya akan mengulas salah satu bab pada buku ini, tepatnya mengenai
pemikiran-pemikiran para tokoh klasik abad pertengahan terkait konsep negara kebangsaan
dalam Islam. Pada bab ini, penulis menghadirkan empat tokoh yang masing-masing
memiliki pemikiran khusus terkait konsep negara kebangsaan dalam Islam. Keempat tokoh
yang hidup pada abad pertengahan ini dikenal sebagai para ulama klasik, terdiri dari Imam
Al-Mawardi, Ibn Taimiyyah, Ibn Khaldun, dan Al-Farabi.
Pertama, pada bab ini penulis memunculkan al-Mawardi yang semasa hidupnya penuh
dengan sederetan perpecahan atau disintegrasi politik di beberapa wilayah yang ditaklukann
oleh Daulah Bani Abbasiyah. Pada masa itu keadaan kota sentral pemerintahan tidak
mampu menghalau terjangan dari wilayah-wilayah taklukannya yang memberontak ingin
menentukannya nasibnya sendiri atau dengan kata lain ingin memerdekakan daerahnya dari
jerat takluk dinasti Abbasiyah. Dinasti-dinasti kecil yang menginginkan kemerdekaan
semakin gencar mengadakan perlawanan karena tidak ingin semakin tersubordinasi oleh
rezim Abbasiyah. Di sisi lain, faksi-faksi politik mengalami pergeseran sehingga
menimbulkan perbedaan pendapat dalam tubuh internal dinasti Abbasiyah yang disebabkan
oleh adanya persaingan antargolongan elit atau dengan para pejabat militer di kerajaan. Hal
tersebut menjadi penyebab dari melemahnya kekuasaan wangsa Abbasiyah di beberapa
daerah tawanan. Ketika keadaan semakin krisis dan mendesak, otoritas Khalifah dalam
menentukan arah kebijakan Negara semakin kabur dan hilang. Secara de jure memang
Khalifah yang menjadi penguasa utama, namun secara de facto para menteri yang
berkebangsaan Turki dan Persia yang menjalankan tampuk kekuasaan tertinggi.
Pada situasi krisis tersebut, al-Mawardi melihat adanya celah yang dapat dijadikan
kesempatan untuk memanfaatkan keadaan. Maka, tidak heran jika al-Mawardi sebagai
pejabat inti pemerintahan dapat berleluasa melenggang di tampuk kekuasaan tertinggi yang
sedang mengalami gejolak atau turbulensi politik. Dalam perjalanan al-Mawardi sebagai
pakar hukum, ia memiliki rekam jejak yang cemerlang, seperti menjadi hakim di berbagai
kota dengan pangkat dan kepercayaannya yang tentu tinggi jenjangnya. Selain itu, al-
Mawardi dengan keahliannya dalam berdiplomasi menjadikannya begitu disegani oleh para
emir Buwaihi yang di samping itu menganut paham Syiah. Pada masa itu, tampuk
kekuasaan yang sesungguhnya memang dikendalikan oleh para Buwaihi yang suka semena-
mena dalam menentukan khalifah. Namun pada kenyataannya, konsep al-A’immah min
Quraisy yang saat itu masih begitu kuat di kalangan umat Islam, menjadikan orang-orang
Buwaihi tidak berani serta-merta merebut kekhalifahan.
Dalam buku ini, Al-Mawardi mengungkapkan gagasannya terkait keberadaan Imamah
atau kepemimpinan yang dilembagakan. Menurutnya, hal itu ada untuk menggantikan
bentuk nubuwah atau kenabian. Tentu tidak serta merta tanpa tujuan. Keberadaan imamah
nyatanya bertujuan untuk melindungi agama dan instrumen-instrumen negara sehingga
dapat mengatur kehidupan dunia. Lebih lanjut, al-Mawardi mengatakan dalam bukunya, Al-
Ikhkam al-Sulthaniyah, bahwa pembentukan kelembagaan Imamah sebagai sistem
pemerintahan merupakan fardhu kifayah atas kesepakatan ulama.
Selain itu, Al-Mawardi juga menetapkan persyaratan terkait proses pemilihan kepala
negara, antara lain: Pertama, bagi pemilihnya atau orang yang memiliki hak untuk memilih
khalifah kepada negara haruslah ahl al-ikhtiyar. Dalam hal ini merujuk pada pemilih
pemimpin yang haruslah berkualifikasi adil, mengetahui betul calon pemimpin yang akan
dipilih, berwawasan luas, dan bijaksana sehingga nantinya dapat memilih pemimpin yang
benar-benar mampu mengelola negara dengan baik. Kedua, imamah bagi kandidat kepala
negara atau seseorang yang berhak menduduki posisi kepala negara harus ahl al-imamah.
Dalam hal ini merujuk pada kandidat kepala negara yang harus berkualifikasi adil, memiliki
keilmuan yang cakap dan tinggi untuk berjihad, sehat secara jasmani, memiliki kemampuan
dalam menjalankan dan mengelola negara demi keejahteraan rakyat, memiliki keberanian
dalam melindungi teritori Islam, berjihad dalam memerangi musuh, serta berasal dari
kalangan Quraisy.
Al-Mawardi juga menyinggung hal terkait ahl al-hall wa al ‘aqd yang terdapat dalam
sistem pemerintahan Islam berdasarkan pada perintah dalam al-Quran yang mewajibkan
masyarakat untuk bermusyawarah. Dalam konsepnya, Al-Mawardi menyebut dewan
tersebut Ahl Al-Ikhtiyar dengan anggapan bahwa memang sejatinya merekalah yang
memilih dan menentukan seorang khalifah. Namun, terdapat kelemahan pada pemikiran al-
Mawardi ini. Beliau tidak menjelaskan lebih detail terkait prosedur penentuan formasi dari
dewan pemilih khalifah. Hal ini diakibatkan adanya praktik penentuan keanggotaan dewan
yang nyatanya ditentukan oleh kepala negara atau khalifah itu sendiri. Hal ini menjadikan
sifat dewan tersebut menjadi tidak independen dan tidak dapat melaksanakan tugas-tugas
kenegaraan sebagaimana mestinya.
Konsep al-Mawardi terkait proses pengangkatan kepala negara hanya berdasar pada
keharusan untuk menyelidiki secara cermat terpenuhinya syarat-syarat kandidat kepala
negara. Dalam hal ini, al-Mawardi memaksa atas kandidat mengenai jabatan dalam
penyelenggaraan negara karena haruslah dianggap sebagai kontrak atau perjanjian yang
berlandaskan sikap tanpa pamrih. Apabila kandidat kepala negara bersedia untuk dipilih,
maka kontrak sosial antara kepala negara dengan masyarakat yang diwakili oleh suatu
dewan rakyat mulai diberlakukan. Para kandidat yang terpilih pun akan melakukan sumpah
yang menjadikan kepala negara tersebut sebagai orang yang segala perintahnya akan sangat
memengaruhi tindakan masayarakat Islam.
Kontrak atau perjanjian sosial yang telah disahkan akan melahirkan hak dan kewajiban
yang saling memberi pengaruh antara kepala negara dengan masyarakat yang masing-
masing sebagai pemberi dan penerima amanah. Dalam kontrak tersebut, Al-Mawardi
menjabarkan secara terperinci sepuluh kewajiban yang harus dilaksanakan oleh kepala
negara. Pandangan al-Mawardi mengenai kontrak atau perjanjian sosial merupakan salah
satu bentuk pemikiran modern yang kini diimplementasikan dan hasilnya dinikmati oleh
setiap negara maju maupun berkemban sebagai suatu justifikasi atau pembenaran antara
penguasa dan rakyatnya. Al-Mawardi menguraikan teori perjanjian sosialnya secara implisit
dengan mewajarkan adanya prosedur pemakzulan kepala negara. Hal tersebut merupakan
pemikiran asing di kalangan Sunni, namun nyatanya terdapat relevansi atau hubungan
dengan masa kini. Hal ini menunjukkan bahwa pemikiran al-Mawardi sedikitnya
dipengaruhi oleh pemikiran asing Sunni. Namun, tidak serta merta al-Mawardi menelan
bulat-bulat pemikiran Sunni tersebut. Dalam hal ini, al-Mawardi menunjukkan bahwa
hubungan antara kepala negara atau penguasa dengan rakyatnya merupakan hubungan yang
berdasarkan pada komitmen saling percaya.
Dalam keterkaitan antara agama dan kepala negara, al-Mawardi berpendapat bahwa
kepala negara merupakan layaknya tameng yang melindungi agama untuk tetap menjaga
kemurniannya, mencegah muslim dari berbagai hal immoral yang menyimpang atau
menyesatkan, dan sebagainya. Berkaitan dengan adanya hubungan yang saling berpengaruh
antara seorang penguasa dengan agama, maka al-Mawardi berpendapat bahwa mengangkat
penguasa yang berwibawa dan sekaligus tokoh agama adalah suatu kewajiban karena
dengan begitu agama akan mendapatkan perlindungan dari negara dan pemerintahan dapat
tetap berada di jalur agama.
Beralih ke posisi yang lainnya, yaitu rakyat sebagai pengemban hukum. Beliau pula
mewajibkan rakyat untuk mentaati atau mematuhi hukum dan kepala negara, baik kepala
negara yang adil, maupun jahat sekalipun. Untuk menguatkan pendapatnya tersebut, Al-
Mawardi mengutip surah An-Nisa ayat 59 yang isinya mewajibkan ketaatan kepada Allah
Swt., Rasul-Nya, dan ulil amr atau para pemimpin. Selain itu, al-Mawardi juga mengutip
salah satu hadist Nabi Muhamad saw. yang isinya suatu perintah untuk mendengar dan
menaati pemimpin baik adil maupun jahat karena apabila mereka jahat, maka kejahatannya
akan kembali pada mereka, sedangkan akibat baiknya akan berimbas kepada kita sendiri.
Namun di luar hal itu, al-Mawardi mengkhususkan syarat bagi pemimpin atau penguasa
yang tidak boleh dipatuhi atau ditaati apabila ia bersifat menyimpang, melakukan perbuatan
buruk dan tidak baik, kehilangan fungsi organ tubuhnya, dan dikendalikan oleh orang
terdekatnya atau menjadi tawanan lawan.
Berkaitan dengan hilangnya fungsi organ tubuh atau kemampuan fisik kepala negara
dapat ditafsirkan dengan pancaindra yang tidak lagi berfungsi, cacat anggota tubuh, atau
hilangnya kemampuan untuk melakukan tugas kenegaraan. Namun, al-Mawardi
berpendapat bahwa tetap adanya hak kekhalifahan suatu pemimpin, namun dengan
menghapuskan ketaatan rakyat apabila disebabkan oleh hilangnya kemampuan pancaindra.
Kemudian, al-Mawardi menempatkan suatu tingkatan di atas itu, bahwa seorang pemimpin
akan kehilangan hak kekhalifahannya sekaligus dengan ketaatan rakyat apabila mengalami
kehilangan fungsi akal dan penglihatan.
Kemudian, maksud al-Mawardi mengenai pemimpin atau kepala negara yang
dikendalikan oleh orang-orang terdekatnya atau berada di sekitarnya ialah apabila orang-
orang di sekitarnya yang menguasai, sementara penguasa hanya melakukan perbuatan yang
semena-mena, maka mereka harus segera ditindaklanjuti. Begitu juga dengan pemimpin
yang menjadi tawanan lawan dan tidak dapat membebaskan diri, maka umat Islam harus
segera mencari pengganti kepala negara. Hal ini dilakukan demi keberlangsungan jalannya
pemerintahan dan mencegah adanya vacuum of power.
Namun, selayaknya manusia yang tidak sempurna, begitu pula pemikiran al-Mawardi
terkait teori ketatanegaraan. Dalam hal ini, beliau hanya menjabarkan prosedur
pengangkatan seorang pemimpin atau khalifah, tanpa menjabarkan pula proses
pemberhentian khalifah. Hal ini menunjukkan bahwa al-Mawardi mendukung pemerintahan
Abbasiyah. Terkait hal tersebut, al-Mawardi sesungguhnya ingin menjadikan kepala negara
sebagai penguasa yang sebenar-benarnya dan berwenang menentukan kebijakan negara
secara independen, tanpa dikendalikan oleh siapapun. Akan tetapi, al-Mawardi
menyaksikan realitas politik di masa akhir Abbasiyah yang menjadikan kepala negara hanya
sebagai simbol kekuasaan, tidak otonom dalam melaksanakan kebijakan, bahkan menjadi
boneka para petinggi dan elite kekuasaan lainnya. Oleh karena itu, al-Mawardi memaklumi
pengendalian terhadap khalifah Abbasiyah sebagai sesuatu yang wajar dan dapat diterima,
namun tetap harus dalam pertimbangan bahwa semua itu tidak akan membahayakan
kepentingan umat Islam dan negara.
Gagasan al-Mawardi mengenai teori mekanisme pengangkatan kepala negara yang
tidak diikuti dengan adanya mekanisme pemberhatian kepala negara secara ideal tentunya
dapat menjaga posisi pemimpin Bani Abbasiyah untuk sementara waktu. Tindakan ini
dipengaruhi oleh doktrin al-A’immah min Quraisy yang dianutnya dan ketidakinginan al-
Mawardi akan berakhirnya kekhalifahan Abbasiyah yang kelak dapat saja tergantikan oleh
golongan Buwaihi.
Di lain sisi, al-Mawardi juga mengusahakan pengembalian kekuasaan yang dipegang
oleh Abbasiyah agar tidak mengalami kegoyahan maupun perpecahan dengan memberi
penegasan bahwa hanya terdapat satu-satunya pemerintahan yang resmi dan sah pada masa
itu. Usaha al-Mawardi setidaknya memperlambat keruntuhan Abbasiyah dari sikap
perlawanan Fatimiyah yang berpusat di Mesir dan menuntut legitimasi.
Terlepas dari segala pemikiran al-Mawardi yang dalam beberapa sisi mengambil
pengaruh dari pemerintahan Sunni terlebih supremasi Quraisy. Pemikiran al-Mawardi
mampu terlepas dari kerangka pemikiran kaum Sunni yang menempatkan kepala negara
sebagai sosok abadi yang kekal dan tidak dapat tersentuh oleh hukum. Bahkan, gagasan-
gagasan pemikirannya kini menjadi acuan atau rujukan sistem pemerintahan modern yang
kini terus dikembangkan oleh para pemikir barat.
Tokoh kedua yang dibahas dalam bab ini ialah Ibn Taimiyyah yang semasa hidup
banyak merasakan masa-masa krisis ketika masyarakat muslim tengah mengalami
perpecahan politik. Taqiyuddin Ibn Halim lahir pada tahun 661 H/ 1236 M, di Harran, kota
dekat Damaskus. Terhitung lima tahun sebelum Ibn Taimiyyah lahir ke dunia, tragedi besar
menimpa kekuasaan wangsa Abbasiyah.
Pada masa-masa kemunduran Abbasiyah, dinasti tengah mengalami beragam konflik
internal yang tak berkesudahan, bersamaan dengan datangnya pasukan tentara Mongol yang
menghancurkan dan meluluhlantakan dinasti Abbasiyah. Hal tersebut menandakan telah
berakhirnya kejayaan politik Islam di era Abbas. Di usia enam tahun, Ibn Taimiyyah
mengungsi ke Damaskus bersama ayahnya yang merupakan ulama besar bermadzhab
Hanbali untuk menghindari serangan tentara Mongol.
Ibn Taimiyyah dikenal dengan sifat konsisten dan teguh. Tak heran ia seringkali terlibat
silang pendapat dengan ulama-ulama lainnya. Tak jarang pula ia terseret konspirasi-
konspirasi politik yang diakibatkan oleh pertentangannya terhadap para petinggi besar dan
penguasa.. Kondisi sosial masyarakat sekitarnya memengaruhi pola pikir Ibn Taimiyyah
yang cukup kontroversial. Ia tampil sebagai pemikir yang independen, apa adanya, dan tidak
suka diintervensi.
Berbeda dari al-Mawardi, metodologi yang digunakan oleh Ibn Taimiyyah ialah
pendekatan sosiologis. Ia percaya bahwa kesejahteraan manusia hanya akan tercapai dengan
terbentuknya konstelasi sosial masyarakat yang saling berkaitan dan tentu diperlukan
adanya pemimpin yang diharapkan dapat mengatur kehidupan dan tatanan sosial
masyarakat. Lebih lanjutnya, Ibn Taimiyyah menjabarkan bahwa Imamah hanyalah
kebutuhan bersifat praktikal atau praktisi yang opsional dan bukanlah satu-satunya pilar
utama dalam menegakkan suatu negara. Namun, Ibn Taimiyyah kemudian menekankan
pada peran negara dalam membantu agama. Ibn Taimiyyah menolak adanya kekuasaan Bani
Umayyah dan Bani Abbasiyah sebagai dasar dari filsafat Islam. Ia tidak sependapat dengan
al-Mawardi dalam menyatakan seorang khalifah jika hanya dijadikan sebagai simbol
kekuasaan atau bahkan dikendalikan oleh para elit politik, maka tidak pantas disebut
khilafah.
Pada bab ini, penulis menunjukkan bahwa terdapat beberapa teori politik kenegaraan
hasil gagasan Ibn Taimiyyah yang berbeda dengan teori-teori politik kenegaraan milik al-
Mawardi. Salah satunya, yaitu Ibn Taimiyyah yang tidak memberi ruang terlalu banyak
dalam proses pemilihan kepala negara. Hal ini disebabkan karena Ibn Taimiyyah menolak
konsep Khilafah ala Sunni yang memberikan kewenangan pengangkatan kepala negara
kepada ahl al-hall wa al’aqd. Ibn Taimiyyah bahkan menolak eksistensi dewan yang
disinyalir keberadaannya baru muncul di masa berkuasanya dinasti Abbasiyah.
Dengan begitu, Ibn Taimiyyah menawarkan solusi alternatif terkait teori politik
kenegaraan, yaitu dengan mengembangkan konsep al-Syawkah yang dipilih oleh orang-
orang dari berbagai macam kalangan, serta dihormati dan ditaati oleh masyarakat. Dewan
perwakilan ini nantinya akan memilih kepala negara dan melakukan sumpah setia kepada
pemimpin negara yang kemudian diikuti oleh rakyat. Dalam hal ini, yang menjadi pembeda
antara teori keterwakilan Ibn Taimiyyah dan al-Mawardi terletak di prosedur pemilihan
formasi dewan perwakilan. Ibn Taimiyyah menyebutkan dewan perwakilan tersebut harus
dipilih oleh rakyat melalui perwakilan atau delegasi dari setiap golongan, berbeda dengan
al-Mawardi yang tidak menjelaskan proses atau prosedural dari pemilihan dewan
perwakilan sehingga kerapkali dianggap berlaku seenaknya oleh kepala negara. Hal ini tentu
dipikirkan Ibn Taimiyyah untuk menghindari adanya campur tangan dewan serta menjaga
sifat independen dan kemandirian dewan al-Syawkah.
Ibn Taimiyyah juga menentang kualifikasi syarat-syarat untuk calon kepala negara
yang dicetuskan oleh al-Mawardi. Untuk calon kepala negara, Ibn Taimiyyah hanya
menetapkan syarat amanah atau kejujuran dalam kewibawaan atau al-Quwwah dan tidak
terbatas hanya untuk satu suku atau golongan saja. Ibn Taimiyyah mengidentifikasi sifat
jujur seorang kandidat dengan ketakwaannya terhadap Allah Swt. Argumen tersebut
diperkuat dengan menyertakan kutipan surah an-Nisa ayat 58 yang kurang lebih isinya
memerintahkan untuk menyerahkan amanah kepada yang berhak untuk menerimanya. Hal
ini berkaitan dengan adanya pandangan objektif dalam memilih seorang kepala negara atau
pejabat politik sehingga tidak serta merta menggunakan dasar pertimbangan yang subjektif,
namun memperhatikan kemampuan dan keahlian yang sebenarnya.
Menelaah sikap Ibn Taimiyyah apabila dikaitkan dengan latar belakang sosial politik
di kehidupannya, tergambarkan bahwa semua itu adalah bentuk kekecewaan Taimiyyah atas
dinasti Abbasiyah yang selama masa kekuasaannya banyak melakukan penyimpangan,
seperti adanya perebutan kekuasaan oleh elit-elit tertentu serta khalifah yang hanya
dijadikan sebagai boneka para elit politik. Oleh karena itu, Ibn Taimiyyah menekankan
pentingnya dua prasyarat utama yang harus dimiliki oleh seorang kepala negara, yaitu
memiliki kejujuran dan kewibawaan.
Terkait pendapat Ibn Taimiyyah mengenai ketaatan terhadap pemimpin negara,
dijelaskan bahwa kepala negara haruslah dipatuhi dan ditaati, meskipun berbuat kafir
ataupun zalim. Ibn Taimiyyah juga tidak menizinkan adanya perlawanan ataupun
pemberontakan kepada kepala negara. Selama kepala negara menjalankan keadilan dan
tidak mengarahkan pada perbuatan yang maksiat kepada Allah Swt.
Dalam realitasnya, Ibn Taimiyyah tetap teguh pendirian terhadap pendapat-
pendapatnya, ia terjun lansung ke medan perang melawan tentara Mongol, tidak menolak
sekalipun segala bentuk hukuman yang ditujukan padanya apalagi menjadi oposisi dan
melakukan pemberontakan. Namun, terdapat kontradiksi dan kelemahan dari setiap
pendapat Ibn Taimiyyah terkait teori politik yang ada, yaitu: pertama, adanya dasar
kekuasaan bay’ah atau sumpah yang kerakyatan melalui dewan perwakilan atau ahl al-
Syawkah pada awal pengangkatan khalifah, namun ia pula menyetujui adanya penerapan
gaya pemerintahan yang absolut. Kedua, adanya kelemahan dalam teori al-Syawkah terkait
prosedural kontrol terhadap penguasa yang tidak dijelaskan secara spesifik lagi oleh Ibn
Taimiyyah.
Pada akhirnya, melihat teori-teori Ibn Taimiyyah yang cenderung radikal dan
membenarkan praktik diktator, ia tetap mengutamakan persatuan bersama yang kuat agar
dapat menghalau serangan asing. Namun, pada realitasnya konsep pemerintahan bersama
mencakup seluruh masyarakat ini tidak dapat diimplementasikan begitu saja apabila kondisi
dunia Islam tengah kacau-balau. Hal ini dikarenakan adanya wilayah dan heterogenitas
masyarakat Islam yang tidak dapat dipungkiri. Menurut Ibn Taimiyyah, masyarakat Islam
membutuhkan kepala negara yang benar-benar kuat dan berkuasa, bukan hanya menjadi
simbol belaka. Begitupun dalam hal persyaratan seorang kepala negara yang tidak hanya
dikhususkan untuk salah satu golongan atau suku saja sehingga dapat tercipta kerjasama
yang dapat mencapai tujuan-tujuan masyarakat Islam secara keseluruhan.
Tokoh selanjutnya ialah Ibn Khaldun yang semasa hidupnya melihat kekuasaan Islam
yang semakin krisis, terjadi konflik dan intrik politik pada internal umat Islam yang
sesungguhnya bertentangan dengan semangat persaudaraan Islam. Di wilayah Maghribi
sekitar tempat tinggal Ibn Khaldun, membunuh dan saling menjatuhkan adalah hal yang
sudah dianggap umum oleh masyarakat sekitar bahkan seringkan disaksikan terutama oleh
Ibn Khaldun pada masanya. Di tengah kondisi yang kacau balau itu, Ibn Khaldun seringkali
berganti-ganti kepemimpinan, bahkan mengkhianati penguasa sebelumnya. Semua itu ia
lakukan atas dasar keselamatan dirinya.
Di usia 20 tahun, Ibn Khaldun mulai memasuki dunia perpolitikan. Pada masa itu, ia
seringkali terlibat dalam pertentangan kepentingan yang mengenai penguasa satu dan
lainnya. Semua itu menghasilkan rekam jejak yang panjang terkait kisah perpolitikan Ibn
Khaldun selama bertahun-tahun yang penuh intrik-intrik tak berkesudahan. Salah satu
kelebihan Ibn Khaldun terdapat pada rasa berdedikasinya yang tinggi terhadap ilmu
pengetahuan, meskipun ia berada di tengah kesibukan sebagai bagian dari elite negara.
Akhirnya, Ibn Khaldun sampai pada puncak jenuhnya terhadap seluruh permasalahan
politik yang tidak kunjung berakhir. Ia pun berencana untuk kembali ke Fez, namun ia
merasa citranya sudah sangatlah buruk di sana hingga akhirnya ia beralih ke Spanyol.
Setelah dari Spanyol, ia pun menuju Maghribi. Ia mulai meninggalkan ranah politik dan
memutuskan untuk memperdalam dan mengkaji knowledge. Pada masa itu, ia menghasilkan
kitab al-‘Ibar sebanyak enam jilid dengan pengantar berjudul Muqqadimah.
Pada tahun 784 H, Ibn Khaldun kemudian berangkat ke Mesir dan menjadi pengajar di
sana, tepatnya di Universitas al-Azhar, Kairo. Dua tahun berada di Mesir, setelah menjadi
praktisi sekaligus akademisi yang terkemuka, ia pun diangkat menjadi Hakim. Lantas
kehidupan Ibn Khaldun tak serta merta membaik, kontribusinyanya yang begitu besar
menyebabkan ia dituduh yang tidak-tidak oleh musuhnya hingga berakhir dengan
penurunan jabatannya. Walaupun demikian, ia tetap mengajar di Universitas al-Azhar.
Menilik dari perjalanan hidupnya, terdapat beberapa hal, yaitu: Pertama, secara
realitas, Ibn Khaldun hidup pada masa di mana keadaan politiknya sangat keras dan kejam,
penuh dengan persaingan dalam hal politik. Kedua, Ibn Khaldun yang pada awalnya sangat
menyukai dan menikmati pergulatan politik pada masa itu, akhirnya menyerah dan
memutuskan untuk mundur, lebih mengembangkan ide gagasannya dalam hal pengetahuan.
Pengalaman tersebut tentu membawa banyak pengaruh dalam kelahiran berbagai karyanya.
Ibn Khaldun pun beranggapan bahwa syarat utama terbentuknya peradaban ialah
dengan membentuk suatu pengorganisasian terhadap fungsi-fungsi masyarakat yang
terstruktur. Dalam hal ini, Ibn Khaldun tidak secara eksplisit menyebut istilah organisasi
masyarakat tersebut, namun secara fungsional dapat dikatakan bahwa hal tersebut adalah
suatu negara. Dalam suatu negara haruslah terdapat pemimpin yang mengoperasikan segala
fungsi organisasi masyarakat seperti yang selayaknya. Pemimpin ini haruslah berwibawa
dan menjaga perdamaian serta keamanan di antara masyarakat.
Selayaknya pemikir politik Islam, Ibn Khaldun juga berpendapat mengenai dasar
hukum penegakan dalam pemerintahan atau suatu negara. Ia menolak pendapat yang
mengatakan bahwa Imamah tidak dibutuhkan atau tidak menjadi penolong sama sekali. Ibn
Khaldun berpegangan pada suatu hukum yang menerapkan bahwa Imamah adalah suatu
kewajiban secara bersama dan penegakannya dapat diserahkan kepada dewan perwakilan
rakyat pada masa itu.
Pendapat dari Sarjana Barat Rosenthal berikut ini menguatkan pemikiran Ibn Khaldun
yang dianggap sangatlah relevan tidak hanya pada masanya. Semua pandangan Ibn Khaldun
yang bernilai permanen terkait sosial-politik dan negara dirangkum menjadi beberapa poin,
antara lain:
a. Adanya pemisahan dan perbedaan secara siginifikan antara kehidupan pedesaan dan
kota.
b. Gagasannya terkait konsep ‘ashbiyah sebagai salah satu penentu dalam aktivitas politik
dan negara.
c. Pemikiran mengenai agama Islam yang mencakup keseluruhan atau global dan
bermanfaat bagi kelanjutan hidup umat manusia secara luas.
d. Perspektifnya terhadap kenyataan sosial yang memengaruhi kehidupan sosial dalam
berbagai aspek dengan kekuasaan pemerintahan.
e. Gagasannya terkait pengelompokan syiasah diniyah dan syiayah ‘aqliyah.
f. Mengenai perkembangan dinasti Islam yang dibentuk atas percampuran antara struktur
pemerintahan berdasarkan syariat dan rasio akal yang dimiliki manusai.
g. Menempatkan agama sebagai peranan utama bersifat vital dalam kehidupan berpolitik
dan bernegara.
h. Pemikirannya mengenai tingkatan perkembangan hukum yang menjabarkan mulai pada
awal kelahiran suatu peradaban hingga akhir kehancurannya.
Tokoh terakhir ialah tokoh keempat adalah Al-Farabi. Akhir dari bab ini mencertitakan
tentang pemikiran al-Farabi mengenai konsep negara kebangsaan dalam Islam. Al-Farabi lebih
dikenal dengan sebutan Alph Arabius di kalangan pemikir Eropa. Di Baghdad, kecerdasannya
mencapai tingkatan tertinggi. Ketika ia berusia 70 tahun, ia pergi ke Aleppo dan bertempat
tinggal di istana Saif al-Daulah yang saat itu merupakan tempat berkumpulnya para pakar ilmu
pengetahuan dan filsafat. Di istana tersebut, al-Farabi memperdalam ilmu pengetahuan dan
filsafatnya. Ketertarikannya dalam membaca dan menulis sungguh luar biasa.
Al-Farabi tidak tertarik dengan kehidupan yang mewah dan gelimang harta kekayaan. Selain
itu, ia juga berjiwa sosial tinggi. Di kalangan publik, al-Farabi dikenal sebagai salah satu
pelopor tokoh filsuf Islam dalam berbagai disiplin ilmu. Sebagai seorang filsuf Islam, al-Farabi
cenderung membicarakan persoalan sosial kemasyarakatan. Salah satu pendapatnya terkait hal
tersebut, yaitu mengenai manusia yang merupakan makhluk sosial yang cenderung menjalin
kehidupan bermasyarakat sehingga manusia tak mampu memenuhi kebutuhannya seorang diri
tanpa bantuan orang lain. Namun, tujuan bermasyarakat bukan hanya untuk itu, tetapi juga
untuk menghasilkan berbagai faktor pelengkap hidup. Pemikiran al-Farabi ini merefleksikan
kepribadiannya yang mendapat pengaruh dari keyakinan agama sebagai seorang ahli filsafat
Islam yang agamis dan religius.
Dalam buku Ara’ ahl al-Madinah al-Fadhilah milik al-Farabi yang membahas persoalan
kemasyarakatan memiliki persamaan dengan buku Republic karya Plato. Al-Farabi
mengungkapkan dalam bukunya tersebut bahwa ia membagi negara menjadi dua kelompok,
yaitu:
1) Negara Utama (al-Madinah al-Fadhilah)
Ia mengibaratkan negara sebagai anatomi tubuh manusia yang saling berkaitan dan
memengaruhi antara satu sama lain. Apabila satu bagiannya terluka atau menderita sakit,
maka akan berdampak pada bagian tubuh lainnya. Maka, dibutuhkan kerjasama yang ekstra
dalam usaha untuk menguatkan kondisi tubuh tersebut. Berdasarkan penggambaran
tersebut, al-Farabi kemudian berpendapat bahwa kebahagian dalam suatu masyarakat tidak
akan tercapai apabila mekanisme pembagian kerja tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Pembagian kerja tersebut disesuaikan dengan keahlian dan kemampuan masing-masing
masyarakat yang diikuti oleh rasa kekeluargaan dan kerja sama yang baik. Untuk
menciptakan alur yang baik, maka dibutuhkan seorang pemimpin atau kepala negara. Dalam
hal ini, al-Farabi mengibaratkan pemimpin sebagai hati yang bertugas mengatur seluruh
organ tubuh. Setiap organ memiliki tingkatan yang berbeda terkait peranannya dalam tubuh
tersebut.
Menurut al-Farabi, seorang kepala negara seharusnya dijabat oleh seorang pemikir atau
ahli filsafat, namun sebagaimana watak yang ada pada diri filsuf haruslah diasah melalui
pendidikan dan latihan secara keseluruhan. Maka, pembentukan watak diri seorang
pemimpin begitu penting dalam keberlangsungan suatu negara. Al-Farabi memiliki dua
belas persyaratan mengenai watak luhur yang harus dimiliki seorang pemimpin. Seperti
yang telah kita ketahui, sifat-sifat tersebut nyatanya sangat jarang dimiliki oleh seseorang
secara sekaligus, mereka hanya dapat memilikinya secara bertahap yang tentu
menghabiskan waktu cukup lama dalam setiap prosesnya.
2) Lawan Negara Utama (Madhaddah al-Madinah al-Fadhilah)
Berikut ini empat jenis negara yang bertolak belakang dengan negara utama, yaitu:
a) Negara Bodoh (al-Madinah al-jahilah), menurut al-Farabi merupakan kondisi suatu
negara yang tidak mengenal arti kebahagiaan secara hakiki. Kebahagiaan tidak pernah
terlintas dalam benak mereka karena kebahagiaan menurut mereka hanyalah kebahagiaan
materialistis. Negara ini juga tidak bergantung pada maju atau tidaknya negara tersebut.
Contohnya, negara yang haus akan penghormatan serta pujian demi eksistensinya di
antara bangsa-bangsa lain.
b) Negara Fasik (al-Madinah al-Fasiqah), yakni negara yang warganya mengenal Tuhan,
kebahagiaan, dan akal, namun tingkah laku mereka sama buruknya seperti warga di
negara bodoh. Maka, layaknya peribahasa lain di ucapan, lain pula di perbuatan,
perbuatan dan ucapan warganya terkadang tak sinkron.
c) Negara Sesat (al-Madinah al-Dhallah), yakni negara yang warganya salah
memersepsikan tentang keberadaan Tuhan dan akal. Hal ini ditunjukkan dengan kepala
negara yang menipu warga dengan menyatakan dirinya sebagai penerima wahyu dari
Tuhan.
d) Negara yang Berubah (al-Madinah al-Mutabaddilah), yakni negara yang warganya
semula memiliki pemikiran yang serupa dengan negara utama, namun lambat-laun
pemikiran negara tersebut mengalami perubahan sebagai dampak dari arus
perkembangan zaman hingga penduduknya mengalami degradasi moral dan pikrian.
Negara-negara tersebut pada hakikatnya merupakan hasil imajinasi al-Farabi yang
tercerminkan dalam pandangan-pandangan politiknya yang cenderung bersifat teoritis
dibandingkan pragmatis dan realistis, gagasan-gagasannya mengenai politik Islam lebih
dominan berpandangan filosofis dibandingkan empiris. Hal ini dipengaruhi dari latar
belakang al-Farabi yang merupakan seorang filsuf, pemikir luas, dan bukanlah seorang
praktisi politik atau pemerintahan.

B. Kesimpulan
Buku ini secara umum membahas mengenai bernegara dalam Islam sebagai wujud
konsep nation state yang diujarkan oleh banyak tokoh mulai dari pemahaman konservatif
hingga pemahaman kontemporer. Semua pemahaman disajikan dari berbagai perspektif
tokoh yang berbeda-beda. Hal ini menjadikan buku ini kompleks dan terasa lengkap
berkaitan dengan konsepsi Negara Islam yang seringkali menimbulkan miskonsepsi dalam
pemahaman masyarakat Indonesia.
Dalam bab 4 di buku ini, penulis menjabarkan beberapa secara detail mengenai konsepsi
negara kebangsaan dalam Islam melalui pandangan para ulama klasik dan pertengahan.
Dalam bab ini, penulis menghadirkan pandangan dari empat tokoh mengenai konsepsi
negara kebangsaan dalam Islam, yaitu menurut perspektif Imam Al-Mawardi, Ibn
Taimiyyah, Ibn Khaldun, dan dan Al-Farabi. Masing-masing tokoh menawarkan pendapat
yang berbeda mengenai konsepsi negara kebangsaan dalam Islam. Segala pendapat masing-
masing tokoh didasari dan dipengaruhi dari pemikiran yang tampaknya sejalan dengan
zaman dan lingkungan di mana mereka berada. Semua itu tak luput dari hal-hal yang hadir
di setiap kehidupan masing-masing tokoh. Pengaruh disiplin ilmu yang ditekuni ataupun
paham yang dianut, bahkan lingkungan sekitar memberikan dampak yang signifikan
terhadap perbedaan cara pandang masing-masing tokoh. Setelah melihat pendapat-pendapat
mereka, saya menyimpulkan bahwa segala konsepsi pemikiran mereka mengenai bernegara
dalam Islam terkait pemikiran abad klasik atau pertengahan memiliki kesamaan maupun
perbedaan antara satu dengan yang lain. Bahkan, setiap konsepsi mereka memiliki kelebihan
dan kekurangannya masing-masing. Setiap tokoh di zaman selanjutnya memiliki
perkembangan tersendiri terhadap pemikirannya yang membedakannya dengan tokoh-tokoh
sebelumnya. Maka dari itu, segala pendapat mereka memiliki kelemahan atau kesalahan
tersendiri apabila disesuaikan dengan zaman saat ini. Hal itu dikarenakan pemikiran
konsepsi mereka mengenai negara Islam sesuai dengan pemikiran pada zamannya. Tak ayal
setiap pendapat mereka mengalami perkembangan seiring berkembangnya zaman yang
menjadikan konsepsi atas pemikiran mereka semakin tersempurnakan dan dijadikan acuan
oleh para tokoh-tokoh pemikir di zaman selanjutnya. Kehadiran keempat tokoh tersebut
cukup mewakili dalam hal memberikan gambaran konkret mengenai konsepsi bernegara
dalam Islam pada abad klasik dan pertengahan.

Anda mungkin juga menyukai