Anda di halaman 1dari 5

Implementasi Declaration Human Right 1948 Sebagai Sumber HI

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Kuliah


Hukum Internasional

Penyaji :

Vanda Oki Millaniar (1311800005)


Shinta Andhani Pou (1311800076)
Devina Aurellia Novianto (1311800188)
Riris Lukitasari (1311800258)
Indah Tri Oktaviani (1311800280)

UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945


FAKULTAS HUKUM
SURABAYA
2019
BAB I
PENDAHULUAN

Pembahasan bagian pertama ini mengemukakan pendahuluan dari tesis ini. Bagian
pendahuluan ini terdiri dari latar belakang masalah yang menguraikan mengapa penelitian ini
diangkat, rumusan masalah yang menjadi masalah pokok dalam kajian ini, tujuan dan manfaat
penelitian, telaah pustaka, kerangka teoritik, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.

A. Latar Belakang Masalah

Perang Dunia ke dua yang berlangsung mulai tahun 1939 sampai 1945 benar-benar
membawa dampak kerusakan luarbiasa terhadap umat manusia. Perang yang terluas sepanjang
sejarah ini bahkan melibatkan lebih dari seratus juta orang dari berbagai pasukan militer di
seluruh dunia, yang terbagi menjadi dua aliansi besar dan saling bertentangan.

Perang yang berlangsung selama hampir enam tahun ini memakan korban sebanyak lima
puluh juta sampai tujuh puluh juta jiwa dari berbagai belahan Dunia. Jumlah kematian ini
menjadikan Perang Dunia ke dua sebagai konflik paling mematikan sepanjang sejarah umat
manusia.

Sadar akan dampak dari perang Dunia ke dua yang sangat parah itu, berbagai Negara
kemudian membuat kesepakatan untuk saling menjaga perdamaian dunia dengan membentuk
Perserikatan Bangsa–Bangsa (PBB). Dalam perkembangannya, Negara-Negara yang tergabung
di dalam PBB kemudian melahirkan Universal Declaration of Human Rights (selanjutnya 2
disingkat dengan UDHR) atau Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (selanjutnya disangkat
DUHAM)1 yang menjadi acuan umum atas hak-hak dasar manusia di permukaan bumi ini yang
harus dilindungi.
B. Rumusan Masalah

Penelitian ini akan menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut


:
1. Bagaimana Implementasi Declaration Human Right 1948 Sebagai Sumber HI?
2. Perbandingan HAM di Indonesia dengan HAM di Korea Utara?

Bab II
Pembahasan

A. Declaration Human Right 1948 Sebagai Sumber HI

Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, untuk
selanjutnya disebut sebagai UDHR). UDHR adalah sebuah instrumen hak asasi manusia yang
diadopsi oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 10 Desember 1948 di
Paris, Perancis. Instrumen tersebut terdiri dari 30 pasal yang memuat berbagai prinsip-prinsip
dasar hak asasi manusia seperti hak untuk hidup, hak untuk terbebas dari perbudakan, hak
atas kebebasan beragama, hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat, hingga hak atas
kebebasan berpikir dan menyapaikan pendapat.

UDHR bukanlah suatu instrumen hak asasi manusia internasional yang bersifat mengikat
secara hukum. Namun prinsip-prinsip yang terkandung di dalamnya begitu berpengaruh terhadap
penyusunan instrumen hak asasi manusia berikutnya seperti International Convention on
Economic, Social, And Cultural Rights (ICCPR) serta International Covenant on Civil and
Political Rights (ICESCR) yang lahir pada tahun 1966. Hingga saat ini, UDHR telah
diterjemahkan ke dalam 503 bahasa dan merupakan salah satu dokumen yang paling banyak
diterjemahkan di dunia. Melihat begitu besarnya pengaruh UDHR, beberapa sarjana hukum
bahkan menilai bahwa UDHR dapat dikategorikan sebagai hukum kebiasaan internasional yang
mengikat seluruh negara di dunia.

UDHR setidaknya terdapat tiga jaminan hak asasi manusia yang berkaitan dengan
kegiatan seni. Pertama, hak atas kebebasan berekspresi yang tercantum dalam Pasal 19. Kedua,
hak untuk dapat secara bebas ikut berpartisipasi dalam kehidupan kebudayaan masyarakat dan
menikmati seni yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1). Terakhir, hak seniman untuk
mendapatkan perlindungan atas hak moral dan hak ekonomi yang muncul dari kegiatan
penciptaan yang ia lakukan yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (2).

B. Perbandingan HAM di Indonesia dengan HAM di Korea Utara

Korea Utara sering dikecam sebagai salah satu negara dengan catatan HAM terburuk di
dunia. Hak asasi manusia di Korea Utara sangat dikekang, sebagaimana yang ditemukan oleh
organisasi hak asasi manusia internasional. Meskipun sejumlah hak asasi diabadikan dalam
konstitusi negara, pada kenyataannya warga negara Korea Utara tidak memiliki hak kebebasan
berbicara atau berpendapat, dan satu-satunya stasiun radio, televisi, dan kantor berita resmi
dikelola oleh pemerintah. Diperkirakan terdapat sekitar 150.000 hingga 200.000 tahanan politik
yang dijebloskan ke kamp-kamp konsentrasi di Korea Utara. Di kamp tersebut, mereka
dipekerjakan sebagai pekerja paksa, atau dipukuli, disiksa, dan dihukum mati.

Rincian lengkap pelanggaran hak asasi manusia di Korea Utara masih belum jelas.
Pemerintah Korea Utara menerapkan peraturan yang menyebabkan sangat sulit bagi warga asing
untuk memasuki negara tersebut, dan secara ketat memantau setiap kegiatan yang mereka
lakukan. Pekerja kemanusiaan di Korea Utara diawasi setiap kegiatannya dan dilarang memasuki
wilayah-wilayah yang tidak diizinkan oleh pemerintah. Sejak warga negara dilarang
meninggalkan Korea Utara, masalah-masalah seperti pembelotan dan pengungsi gelap telah
menjadi hal umum. Menurut kantor berita pemerintah Korean Central News Agency, Korea
Utara tidak memiliki masalah pelanggaran hak asasi manusia karena sistem Juche yang
diberlakukan di negara tersebut diputuskan oleh rakyat dan bertugas melayani mereka dengan
setia.

Pelanggaran hak asasi manusia di Korea Utara dikecam oleh berbagai kalangan, terutama
oleh Amnesty International, Human Rights Watch, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sejak tahun
2003, Majelis Umum PBB setiap tahunnya secara rutin menetapkan resolusi yang mengutuk
pelanggaran hak asasi manusia di negara tersebut. Resolusi terakhir ditetapkan tanggal 19
Desember 2011, yang disahkan melalui pemungutan suara dengan hasil 123-16 dan 51 abstain.
Resolusi ini mendesak agar pemerintah Korea Utara mengakhiri "pelanggaran hak asasi manusia
yang meluas dan sistematis", yang meliputi eksekusi di depan umum dan penahanan sewenang-
wenang.

Korea Utara menolak resolusi tersebut, menyatakan bahwa penetapan resolusi tersebut
didalangi oleh motif politik dan didasarkan pada sumber rekayasa yang tidak faktual. Pada bulan
Februari 2014, komisi khusus PBB menerbitkan dokumentasi laporan 400 halaman yang
bersumber dari kesaksian pihak pertama mengenai "kekejaman tak terperikan" yang dilakukan
oleh pemerintah Korea Utara.

Perlu untuk dilakukan memperkuat pendidikan terkait hak asasi manusia bagi para
pembelot Korea Utara. Komnas HAM Korea Selatan juga mengatakan telah mengambil langkah-
langkah untuk membantu pembelot Korea Utara lebih mengenali hak mereka dalam lingkungan
sosial yang berubah, serta, secara aktif mengatasi diskriminasi. Inisiasi menyerukan bahan ajar
baru yang berisi panduan tentang hak asasi manusia mendasar, standar hak asasi manusia
internasional dan cara-cara untuk menanggapi pelanggaran hak asasi dan diskriminasi.

Menurut survei Komnas HAM Korea Selatan, dari 480 pembelot pada 2016, sebanyak
82,1 persen mengatakan mereka tidak pernah menerima pendidikan hak asasi manusia di Korea
Utara. Selain itu, 74,4 persen mengatakan mereka belum pernah mendengar istilah "hak asasi
manusia" selama mereka hidup di negara beribu kota Pyongyang itu.

Di Korea Selatan, 45,4 persen dari para pembelot mengalami diskriminasi karena asal
mereka, menurut data Komnas HAM Korsel. Lembaga itu menambahkan bahwa 25,7 persen
dari para pembelot Korea Utara didiskriminasikan karena latar belakang akademis mereka.

Komnas HAM Korsel juga mencatat, dari total pembelot yang menjalani program
pelatihan dan asimilasi di Hana Center, hanya 43,8 persen dari mereka yang menerima
pendidikan tentang hak asasi manusia.

Anda mungkin juga menyukai