Beberapa materi dalam Hukum Perdata dan/atau KUHPerdata diperbaharui dengan lahirnya
beberapa UU, Seperti Berikut :
1. UU Perkawinan
Undang undang Perkawinan No.1 tahun 1974 merupakan produk hukum
pemerintah yang dikluarkan dalam rangka untuk memperbaiki tatanan hukum
Indonesia mengenai perkawinan yang sebelumnya banyak terdiri dari sistem hukum
yang berbeda. Ini sekaligus mendasari adanya perkawinan yang merupakan landasan
awal dalam berkeluarga yang mengandung asas-asas hukum dibidang keluargaan dan
perkawinan, yaitu unifikasi hukum dalam rangka hendak mewujudkan cita cita hukum
terbentuknya hukum yang berdasar dan bersumber atas Pancasila dan Undang Undang
Dasar 1945.
Kesimpulan Dalam paparan di atas maka ada beberapa hukum yang berlaku
mengenai perkawinan tersebut, sehingga lahirnya Undang Undang Perkawinan
memberikan angin sejuk bagi pembaharuan hukum nasional dalam mengatur hukum
perkawinan. Undang Undang Perkawinan menjadi landasan yuridis formal dalam
sistem hukum nasional dan bertujuan untuk mewujudkan masyarakat indonesia yang
madani sesuai dengan Undang Undang Perkawinan itu sendiri dalam rangka
pembangunan nasional dimana, metode untuk menggiring masyarakat Indonesia ke
arah peneladanan dari ciri dan karakteristik masyarakat madani ini dilakukan secara
bertahap dan bersifat evolusioner mengingatke-bhinnekaan yang ada sebagai
komponen vital bangsa Indonesia yang gandrung akan nilai nilai ketuhanan, toleransi,
dan gotong royong.
2. UU Agraria
Undang-Undang nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan dasar Pokok-Pokok
Agraria (UUPA). UUPA membawa perubahan besar terhadap Buku II KUHPerdata di
Indonesia. Yakni pada Dictum UUPA yang mencabut Buku II KUHPerdata yang
mengatur mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya,
kecuali ketentuan-ketentuan mengenai Hipotik yang masih berlaku pada saat UUPA
mulai berlaku.
Dicabutnya ketentuan-ketentuan dalam buku II KUHPerdata tersebut
merupaka upaya perwujudan dari upaya unifikasi hokum agrarian di Indonesia.
Karena sebelum berlakunya UUPA, Hukum agrarian di Indonesia bersumber kepada
hokum barat dan hokum adat. Adapun akibat dari berlakunya UUPA terhadap Buku II
KUHPerdata adalah sebagai berikut :
1. Masih ada pasal-pasal yang berlaku penuh
2. Ada pasal-pasal yang menjadi tidak berlaku
3. Ada pasal-pasal yang masih berlaku tetapi tidak penuh
Pasal-pasal yang masih berlaku penuh adalah sebagai berikut :
1. Pasal 505, pasal 209 – pasal 518 yang mengatur mengenai benda bergerak
2. Pasal 612 dan pasal 613 yang mengatur mengenai penyerahan benda bergerak
3. Pasal 826 - pasal 827 yang mengatur mengenai Bewoning
4. Pasal 830 - pasal 1130 yang mengatur mengenai waris
5. Pasal 1131 – pasal 1149 yang mengatur mengenai Piutang yang diistimewakan
(Privilege)
6. Pasal 1150 – pasal 1160 yang mengatur mengenai Gadai
1. Pasal-pasal yang mengatur mengenai benda tidak bergerak yang hanya mengatur
Hak atas tanah
2. Pasal-pasal yang mengatur mengenai cara memperoleh Hak Milik atas tanah
3. Pasal 621 – pasal 623yang mengatur mengenai pemberian penegasan hak atas
tanah yang menjadi wewenang Pengadilan Negeri
4. Pasl-pasal yang mengatur mengenai penyerahan benda tidak bergerak
5. Pasal 673 mengenai kerja rodi
6. Pasal 625 – pasal 672 yang mengatur mengenai hak dan kewajiban pemilik
pekarangan yang bertetangga
7. Pasal 674 – pasal 710 yang mengatur mengenai pengabdian pekarangan
(Erfdienstbaarheid)
8. Pasl 711 – pasal yang mengatur mengenai hak Opstal
9. Pasl 720 – pasal 736 yang mengatur mengenai Hak Erfpacht
10. Pasal 737 – pasal 755 yang mengatur mengenai bunga tanah dan hasil
sepersepuluh.
3. UU Hak Tanggungan
Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang – Undang Nomor 4 Tahun 1996 dengan
tegas dinyatakan definisi hak tanggungan adalah:
” Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang
selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak
atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda
lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu
terhadap kreditor-kreditor lain.”
Terhadap jaminan berupa hak atas tanah dapat memberikan perlindunngan dan
kepastian hukum bagi penerima hak tanggungan/kredidor, karena dapat memberikan
keamanan bagi penerima jaminan/bank baik dari segi hukum maupun dari nilai
ekonomisnya yang pada umumnya mengikat terus. Penerimaan tanah sebagai agunan
yang diterima kreditor/bank tentunya mempunyai tujuan untuk menjamin pelunasan
kredit melalui penjualan agunan baik secara lelang maupun di bawah tangan dalam
hal debitor cidera janji.
“Apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak
untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan
umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut”.
Berdasarkan pada ketentuan tersebut, maka Hak Utama dari pemegang Hak
Tanggungan terhadap para kreditor lain adalah untuk mengambil hasil
pelelangannya. Hal ini dalam ketentuan hypoteek disebut dalam Pasal 1178 ayat (2)
BW yang berbunyi “agar dari hasilnya dilunasi utang pokok, bunga, dan biaya.
Selain, hak tersebut, Hak Tanggungan juga mempunyai cirri-ciri Adapun ciri-ciri hak
tanggungan adalah:
4. asas spesialitas yaitu asas yang mewajibkan dalam muatan akta pemberian hak
tanggungan harus mencantumkan ketentuan-ketentuan seperti ditegaskan dalam
pasal 11 UUHT. Sedangkan asas publisitas yaitu asas yang mewajibkan
didaftarkannya hak tanggungan pada kantor pertanahan setempat (pasal 13
UUHT).
6. Objek hak tanggungan tidak masuk dalam boedel kepailitan pemberi hak
tanggungan sebelum kreditor pemegang hak tanggungan mengambil pelunasan
dari hasil penjualan obyek hak tanggungan (pasal 21 UUHT).
Sedang sifat-sifat hak tanggungan antara lain:
1. Tidak dapat dibagi-bagi (pasal 2 UUHT) meskipun sifat hak tanggungan tidak dapat
dibagi bagi, artinya hak tanggungan membenani obyek secara utuh, namun sifat ini
tidak berlaku mutlak dengan pengecualian dimungkinkan roya parsial , sepanjang
diperjanjikan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT).
2. Bersifat accesoir atau perjanjian buntutan/ikutan, maksudnya perjanjian jaminan
utang atas hak tanggungan tidak berdiri sendiri karena ikut pada perjanjian pokok
yaitu perjanjian utang-piutang, apabila perjanjian pokok hapus atau batal, maka
otomatis perjanjian accesoir menjadi hapus pula.
Berdasarkan pada hal-hal tersebut diatas, sering kali dalam praktek antara pihak debitor dan
kreditor atau masyarakat umum tidak mengetahui kapan lahir dan hapusnya hak istimewa
Hak Tanggungan tersebut, karena sering kali pihak Debitor telah melunasi hutangannya, akan
tetapi pihak kreditor tidak juga menyerahkan barang jaminan atau menghapus kan hak
tanggungan tersebut dan akhirnya menjadi suatu sengketa yang berkepanjangan di
pengadilan.
1. Tahap pemberian Hak Tanggungan, dengan dibuatnya Akta Pemberian Hak Tanggungan
oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah, untuk selanjutnya disebut PPAT, yang didahului
dengan perjanjian utang-piutang yang dijamin;
2. Tahap pendaftarannya oleh Kantor Pertanahan, yang merupakan saat lahirnya Hak
Tanggungan yang dibebankan.
Berdasarkan pada ketentuan UUHT dapat kita lihat dengan jelas bahwa hak tanggungan
adalah ” Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang
selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas
tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan
satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu terhadap kreditor-kreditor
lain”. Dimana yang menjadu Obyek Hak Tanggungan adalah : Hak – hak atas tanah yaitu
Hak Milik (HM), Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Pakai (HP) dan
Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun (HMASRS).
Tujuan dari pemberian Hak Tanggungan ini tidak lain adalah untuk
memberikan jaminan berupa hak atas tanah dapat memberikan perlindunngan dan
kepastian hukum bagi penerima hak tanggungan/kredidor, karena dapat memberikan
keamanan bagi penerima jaminan/bank baik dari segi hukum maupun dari nilai
ekonomisnya yang pada umumnya mengikat terus. Selain tiu pula dengan adanya
jaminan Hak Tanggungan ini, maka pemegang Hak Tanggungan menjadi Kreditor
yang preference/mempmpunyai hak untuk di dahului. Oleh karena begitu istimewanya
hak tangungan tersebut kita patut mengetahui kapan lahir dan berakhirnya hak
istimewa tersebut, guna menjaga kepentingan dari pemberi hak tanggungan.
Selain itu, berdasarkan UUHT berakhirnya Hak Istimewa Kreditor Hak Tanggungan
adalah dalam pasal 18 antara lain :
Beberapa materi dalam Hukum Dagang dan/atau KUHD diperbaharui dengan lahirnya
beberapa UU, Seperti Berikut :
1. UU Asuransi
Pada UU yang lama, bentuk badan hukum usaha perasuransian adalah perusahaan
perseroan (Persero), koperasi, perseroan terbatas (PT) dan usaha bersama
(mutual).Sedangkan di UU yang baru, bentuk badan hukum usaha perasuransian adalah
perseroan terbatas, koperasi dan usaha bersama. Menurut Firdaus, bagi pihak yang ingin
membentuk usaha bersama baru akan didorong untuk menjadi koperasi.
Keempat, berkaitan dengan likuidasi. Dalam UU yang lama, tidak diatur tindak
lanjut dari pencabutan izin usaha perusahaan asuransi dan reasuransi. Sedangkan di UU
yang baru diatur, bahwa paling lama 30 hari sejak tanggal dicabutnya izin usaha,
perusahaan asuransi dan reasuransi yang dicabut izinnya wajib menyelenggarakan RUPS
untuk memutuskan pembubaran badan hukum perusahaan yang bersangkutan dan
membentuk tim likuidasi.
Jumlah bab dan pasal antara UU yang lama dan baru juga mengalami
peningkatan. Semula, pada UU yang lama hanya terdapat 28 pasal dan 13 bab. Lalu,
meningkat dalam UU yang baru menjadi 92 pasal dan 18 bab. Menurutnya, meningkatnya
jumlah bab dan pasal tersebut lantaran terdapat pengaturan baru di sektor asuransi.
2. UU di bidang transportasi
Mengenali UU Nomor 22 Tahun 2009
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
telah ditetapkan dalam Rapat Paripurna DPR RI pada tanggal 26 Mei 2009 yang
kemudian disahkan oleh Presiden RI pada tanggal 22 Juni 2009. Undang-Undang ini
adalah kelanjutan dari Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992, terlihat bahwa
kelanjutannya adalah merupakan pengembangan yang signifikan dilihat dari jumlah
clausul yang diaturnya, yakni yang tadinya 16 bab dan 74 pasal, menjadi 22 bab dan 326
pasal.
1. terwujudnya pelayanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang aman, selamat, tertib,
lancar, dan terpadu dengan moda angkutan lain untuk mendorong perekonomian
nasional, memajukan kesejahteraan umum, memperkukuh persatuan dan kesatuan
bangsa, serta mampu menjunjung tinggi martabat bangsa;
2. terwujudnya etika berlalu lintas dan budaya bangsa; dan
3. terwujudnya penegakan hukum dan kepastian hukum bagi masyarakat.
Mencermati lebih dalam dari semangat yang telah disebutkan di atas, maka kita
harus lebih dalam lagi melihat isi dari Pasal-Pasal yang ada di UU Nomor 22 Tahun 2009.
Dari sini kita akan tahu apakah semangat tersebut seirama dengan isi dari pengaturan-
pengaturannya, atau justru berbeda.