Anda di halaman 1dari 11

 Perkembangan yang terjadi pada Periode Ke-V

Beberapa materi dalam Hukum Perdata dan/atau KUHPerdata diperbaharui dengan lahirnya
beberapa UU, Seperti Berikut :

1. UU Perkawinan
Undang undang Perkawinan No.1 tahun 1974 merupakan produk hukum
pemerintah yang dikluarkan dalam rangka untuk memperbaiki tatanan hukum
Indonesia mengenai perkawinan yang sebelumnya banyak terdiri dari sistem hukum
yang berbeda. Ini sekaligus mendasari adanya perkawinan yang merupakan landasan
awal dalam berkeluarga yang mengandung asas-asas hukum dibidang keluargaan dan
perkawinan, yaitu unifikasi hukum dalam rangka hendak mewujudkan cita cita hukum
terbentuknya hukum yang berdasar dan bersumber atas Pancasila dan Undang Undang
Dasar 1945.

Beberapa Asas dalam Undang-Undang Perkawinan tersebut, antara lain :


1. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.
2. Dalam perkawinan ini di anggap sah apabila dialakukan menurut hukum masing-
masing agama dan kepercayaanya dan harus di catatkan.
3. Undang-Undang ini pada dasarnya menganut asas monogami, namun ada
perkecualian jika hukum agama dan yang bersangkutan mengizinakan.
4. Menganut bahwa si suami dan istri itu harus masak jiwa dan raganya dalam
melakukan perkawinan.
5. Karena tujuan dalam perkawinan adalah demi terciptanya keluarga yang bahagia
dan kekal, maka dalam Undang-Undang ini menpersulit terjadinya perceraian.
6. Hak dan kedudukan suami istri adalah seimbang.

Pembahasan Politik Hukum Undang - Undang No.1 tahun 1974 Tentang


Perkawinan Perkawinan merupakan hasil suatu niat dari seorang pria dan wanita
untuk membina hubungan antar lawan jenis agar diakui oleh negara (legal). Ini adalah
upaya dari sepasang pria dan wanita yang ingin mendapat pengakuan dari negara yang
dilakukan menurut undang-undang. Hal yang demikian dapat kita sebut
sebagai will atau kehendak yang ingin dituju oleh pelaku perkawinan. Telah
disinggung dalam berbagai literatur bahwa tujuan tujuan itu tadi terangkum dalam
pasal 1 dan 2 Undang Undang No.1 Tahun 1974.
UU Perkawinan sebagai Sarana dalam Transformasi Struktur dan Kultur
Masyarakat Dalam hukum keluarga itu sendiri, penerapan UU Perkawinan sebagai
pedoman kaidah yang menjadi dasar dalam transformasi struktur dan kultur
masyarakat, khususnya masyarakat Indonesia dalam rangka mewujudkan masyarakat
yang madani merupakan cara yang dirasa efektif dan efisien. Semenjak
diundangkannya UU perkawinan memang membawa beberapa perubahan ke arah
yang positif dalam pembaharuan hukum nasional.

Kesimpulan Dalam paparan di atas maka ada beberapa hukum yang berlaku
mengenai perkawinan tersebut, sehingga lahirnya Undang Undang Perkawinan
memberikan angin sejuk bagi pembaharuan hukum nasional dalam mengatur hukum
perkawinan. Undang Undang Perkawinan menjadi landasan yuridis formal dalam
sistem hukum nasional dan bertujuan untuk mewujudkan masyarakat indonesia yang
madani sesuai dengan Undang Undang Perkawinan itu sendiri dalam rangka
pembangunan nasional dimana, metode untuk menggiring masyarakat Indonesia ke
arah peneladanan dari ciri dan karakteristik masyarakat madani ini dilakukan secara
bertahap dan bersifat evolusioner mengingatke-bhinnekaan yang ada sebagai
komponen vital bangsa Indonesia yang gandrung akan nilai nilai ketuhanan, toleransi,
dan gotong royong.

2. UU Agraria
Undang-Undang nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan dasar Pokok-Pokok
Agraria (UUPA). UUPA membawa perubahan besar terhadap Buku II KUHPerdata di
Indonesia. Yakni pada Dictum UUPA yang mencabut Buku II KUHPerdata yang
mengatur mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya,
kecuali ketentuan-ketentuan mengenai Hipotik yang masih berlaku pada saat UUPA
mulai berlaku.
Dicabutnya ketentuan-ketentuan dalam buku II KUHPerdata tersebut
merupaka upaya perwujudan dari upaya unifikasi hokum agrarian di Indonesia.
Karena sebelum berlakunya UUPA, Hukum agrarian di Indonesia bersumber kepada
hokum barat dan hokum adat. Adapun akibat dari berlakunya UUPA terhadap Buku II
KUHPerdata adalah sebagai berikut :
1. Masih ada pasal-pasal yang berlaku penuh
2. Ada pasal-pasal yang menjadi tidak berlaku
3. Ada pasal-pasal yang masih berlaku tetapi tidak penuh
Pasal-pasal yang masih berlaku penuh adalah sebagai berikut :

1. Pasal 505, pasal 209 – pasal 518 yang mengatur mengenai benda bergerak
2. Pasal 612 dan pasal 613 yang mengatur mengenai penyerahan benda bergerak
3. Pasal 826 - pasal 827 yang mengatur mengenai Bewoning
4. Pasal 830 - pasal 1130 yang mengatur mengenai waris
5. Pasal 1131 – pasal 1149 yang mengatur mengenai Piutang yang diistimewakan
(Privilege)
6. Pasal 1150 – pasal 1160 yang mengatur mengenai Gadai

Pasal-pasal yang menjadi tidak berlaku adalah :

1. Pasal-pasal yang mengatur mengenai benda tidak bergerak yang hanya mengatur
Hak atas tanah
2. Pasal-pasal yang mengatur mengenai cara memperoleh Hak Milik atas tanah
3. Pasal 621 – pasal 623yang mengatur mengenai pemberian penegasan hak atas
tanah yang menjadi wewenang Pengadilan Negeri
4. Pasl-pasal yang mengatur mengenai penyerahan benda tidak bergerak
5. Pasal 673 mengenai kerja rodi
6. Pasal 625 – pasal 672 yang mengatur mengenai hak dan kewajiban pemilik
pekarangan yang bertetangga
7. Pasal 674 – pasal 710 yang mengatur mengenai pengabdian pekarangan
(Erfdienstbaarheid)
8. Pasl 711 – pasal yang mengatur mengenai hak Opstal
9. Pasl 720 – pasal 736 yang mengatur mengenai Hak Erfpacht
10. Pasal 737 – pasal 755 yang mengatur mengenai bunga tanah dan hasil
sepersepuluh.

Selain itu ketentuan-ketentuan di luar Buku II KUHPerdata yang berhubungan dengan


pasal-pasal tersebut juga tidak berlaku. Sedangkan pasal-pasal yang masih berlaku
tapi tidak penuh adalah :

1. Pasal-pasal mengenai benda pada umumnya


2. Pasal 503 – pasal 505 mengenai cara membedakan benda
3. Pasal 529 – pasal 568 mengenai benda sepanjang tidak mengenai tanah
4. Pasal 570 yang mengatur tentang hak milik sepanjang tidak mengenai tanah
5. Pasl 756 yang mengatur tentang hak memungut hasil (Vruchgebruuk) sepanjang
tidak mengenai tanah
6. Pasal 818 yang mengatur mengenai hak pakai sepanjang tidak mengenai tanah
7. Pasal 1162 – pasal 1232 yang mengatur Hipotik sepanjang tidak mengenai tanah

3. UU Hak Tanggungan

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan (UUHT)


merupakan pranata jaminan kebendaan bagi tanah serbagaimana dulu dijanjikan oleh
Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria (UUPA). Meskipun pada intinya tetap mempertahankan beberapa
aspek hukum pranata hipotik dan merupakan perpaduan dengan dasar pemikiran
UUPA, namun merupakan pengaturan jaminan kebendaan yang lebih maju dan lebih
pasti dibandingkan dengan ketentuaan hiphoteek dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata.

Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang – Undang Nomor 4 Tahun 1996 dengan
tegas dinyatakan definisi hak tanggungan adalah:

” Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang
selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak
atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda
lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu
terhadap kreditor-kreditor lain.”

Obyek Hak Tanggungan adalah :

 Hak – hak atas tanah yaitu Hak Milik (HM),


 Hak Guna Bangunan (HGB),
 Hak Guna Usaha (HGU)
 Hak Pakai (HP) dan
 Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun (HMASRS).

Terhadap jaminan berupa hak atas tanah dapat memberikan perlindunngan dan
kepastian hukum bagi penerima hak tanggungan/kredidor, karena dapat memberikan
keamanan bagi penerima jaminan/bank baik dari segi hukum maupun dari nilai
ekonomisnya yang pada umumnya mengikat terus. Penerimaan tanah sebagai agunan
yang diterima kreditor/bank tentunya mempunyai tujuan untuk menjamin pelunasan
kredit melalui penjualan agunan baik secara lelang maupun di bawah tangan dalam
hal debitor cidera janji.

Dalam Pasal 6 UUHT dinyatakan :

“Apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak
untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan
umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut”.

Berdasarkan pada ketentuan tersebut, maka Hak Utama dari pemegang Hak
Tanggungan terhadap para kreditor lain adalah untuk mengambil hasil
pelelangannya. Hal ini dalam ketentuan hypoteek disebut dalam Pasal 1178 ayat (2)
BW yang berbunyi “agar dari hasilnya dilunasi utang pokok, bunga, dan biaya.

Selain, hak tersebut, Hak Tanggungan juga mempunyai cirri-ciri Adapun ciri-ciri hak
tanggungan adalah:

1. droit de prefenrence (pasal 1 angka 1 dan pasal 20 ayat (1) UUHT).

2. droit de suite (pasal 7 UUHT)

3. memenuhi asas spesialitas dan asas publisitas.

4. asas spesialitas yaitu asas yang mewajibkan dalam muatan akta pemberian hak
tanggungan harus mencantumkan ketentuan-ketentuan seperti ditegaskan dalam
pasal 11 UUHT. Sedangkan asas publisitas yaitu asas yang mewajibkan
didaftarkannya hak tanggungan pada kantor pertanahan setempat (pasal 13
UUHT).

5. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya.

6. Objek hak tanggungan tidak masuk dalam boedel kepailitan pemberi hak
tanggungan sebelum kreditor pemegang hak tanggungan mengambil pelunasan
dari hasil penjualan obyek hak tanggungan (pasal 21 UUHT).
Sedang sifat-sifat hak tanggungan antara lain:

1. Tidak dapat dibagi-bagi (pasal 2 UUHT) meskipun sifat hak tanggungan tidak dapat
dibagi bagi, artinya hak tanggungan membenani obyek secara utuh, namun sifat ini
tidak berlaku mutlak dengan pengecualian dimungkinkan roya parsial , sepanjang
diperjanjikan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT).
2. Bersifat accesoir atau perjanjian buntutan/ikutan, maksudnya perjanjian jaminan
utang atas hak tanggungan tidak berdiri sendiri karena ikut pada perjanjian pokok
yaitu perjanjian utang-piutang, apabila perjanjian pokok hapus atau batal, maka
otomatis perjanjian accesoir menjadi hapus pula.

Berdasarkan pada hal-hal tersebut diatas, sering kali dalam praktek antara pihak debitor dan
kreditor atau masyarakat umum tidak mengetahui kapan lahir dan hapusnya hak istimewa
Hak Tanggungan tersebut, karena sering kali pihak Debitor telah melunasi hutangannya, akan
tetapi pihak kreditor tidak juga menyerahkan barang jaminan atau menghapus kan hak
tanggungan tersebut dan akhirnya menjadi suatu sengketa yang berkepanjangan di
pengadilan.

Berdasarkan penjelasan umum angka 7 Undang – Undang Hak Tanggungan (Undang –


Undang Nomor 4 Tahun 1996) proses pembebanan Hak Tanggungan dilaksanakan melalui
dua tahap kegiatan, yaitu:

1. Tahap pemberian Hak Tanggungan, dengan dibuatnya Akta Pemberian Hak Tanggungan
oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah, untuk selanjutnya disebut PPAT, yang didahului
dengan perjanjian utang-piutang yang dijamin;
2. Tahap pendaftarannya oleh Kantor Pertanahan, yang merupakan saat lahirnya Hak
Tanggungan yang dibebankan.

Berdasarkan pada ketentuan UUHT dapat kita lihat dengan jelas bahwa hak tanggungan
adalah ” Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang
selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas
tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan
satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu terhadap kreditor-kreditor
lain”. Dimana yang menjadu Obyek Hak Tanggungan adalah : Hak – hak atas tanah yaitu
Hak Milik (HM), Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Pakai (HP) dan
Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun (HMASRS).
Tujuan dari pemberian Hak Tanggungan ini tidak lain adalah untuk
memberikan jaminan berupa hak atas tanah dapat memberikan perlindunngan dan
kepastian hukum bagi penerima hak tanggungan/kredidor, karena dapat memberikan
keamanan bagi penerima jaminan/bank baik dari segi hukum maupun dari nilai
ekonomisnya yang pada umumnya mengikat terus. Selain tiu pula dengan adanya
jaminan Hak Tanggungan ini, maka pemegang Hak Tanggungan menjadi Kreditor
yang preference/mempmpunyai hak untuk di dahului. Oleh karena begitu istimewanya
hak tangungan tersebut kita patut mengetahui kapan lahir dan berakhirnya hak
istimewa tersebut, guna menjaga kepentingan dari pemberi hak tanggungan.

Lahirnya Hak Istimewa Kreditor Hak Tanngungan berdasarkan UUHT


adalah “Tanggal buku-tanah Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
adalah tanggal hari ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang
diperlukan bagi pendaftarannya dan jika hari ketujuh itu jatuh pada hari libur, buku-
tanah yang bersangkutat.

Selain itu, berdasarkan UUHT berakhirnya Hak Istimewa Kreditor Hak Tanggungan
adalah dalam pasal 18 antara lain :

1. Hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan;


2. Dilepaskannya Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan;
3. Pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua
Pengadilan Negeri;
4. Hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan”.

Beberapa materi dalam Hukum Dagang dan/atau KUHD diperbaharui dengan lahirnya
beberapa UU, Seperti Berikut :

1. UU Asuransi

Pada Oktober 2014, DPR bersama pemerintah telah mengesahkan UU No.40


Tahun 2014 tentang Perasuransian. Kehadiran UU ini disambut baik Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) selaku regulator dan pengawas di sektor asuransi. Kepala Eksekutif
Pengawas Industri Keuangan Non Bank (IKNB) OJK, Firdaus Djaelani, mengatakan
kehadiran UU ini menggantikan UU No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian yang
dinilai sudah tak sesuai zaman.
terdapat sejumlah perbedaan antara UU Perasuransian dengan UU Usaha
Perasuransian yang lahir 22 tahun silam. Pertama, berkaitan dengan konsultan aktuaria.
Pada UU yang lama, usaha konsultan aktuaria merupakan salah satu bidang usaha
perasuransian yang izin usahanya diberikan oleh menteri.

Sedangkan di UU yang baru, konsultan aktuaria tidak lagi merupakan usaha


perasuransian, tetapi merupakan salah satu profesi penyedia jasa bagi perusahaan
perasuransian. Konsultan aktuaria harus terdaftar di OJK.Perbedaan lainnya berkaitan
dengan bentuk badan hukum.

Pada UU yang lama, bentuk badan hukum usaha perasuransian adalah perusahaan
perseroan (Persero), koperasi, perseroan terbatas (PT) dan usaha bersama
(mutual).Sedangkan di UU yang baru, bentuk badan hukum usaha perasuransian adalah
perseroan terbatas, koperasi dan usaha bersama. Menurut Firdaus, bagi pihak yang ingin
membentuk usaha bersama baru akan didorong untuk menjadi koperasi.

Ketiga, terkait kepemilikan perusahaan perasuransian. Pada UU yang lama, untuk


perusahaan perasuransian yang didirikan oleh warga negara Indonesia (WNI) dan/ atau
badan hukum Indonesia, tidak diatur kepemilikan dari badan hukum Indonesia yang
menjadi pendiri perusahaan perasuransian.

Untuk perusahaan perasuransian patungan, juga tidak diatur kriteria perusahaan


asing yang menjadi induk dari perusahaan perasuransian patungan tersebut. Selain itu
juga tidak diatur kepemilikan warga negara asing yang menjadi pemilik dari perusahaan
asuransi patungan tersebut.

Sedangkan pada UU yang baru, perusahaan perasuransian yang didirikan oleh


WNI dan/atau badan hukum Indonesia, badan hukum Indonesia yang menjadi pendiri
peruaahaan perasuransian tersebut harus dimiliki secara langsung atau tidak langsung
oleh WNI. Untuk perusahaan perasuransian patungan, pihak asing harus merupakan
perusahaan induk yang salah satu anak perusahaannya bergerak di bidang usaha
perasuransian yang sejenis.

Keempat, berkaitan dengan likuidasi. Dalam UU yang lama, tidak diatur tindak
lanjut dari pencabutan izin usaha perusahaan asuransi dan reasuransi. Sedangkan di UU
yang baru diatur, bahwa paling lama 30 hari sejak tanggal dicabutnya izin usaha,
perusahaan asuransi dan reasuransi yang dicabut izinnya wajib menyelenggarakan RUPS
untuk memutuskan pembubaran badan hukum perusahaan yang bersangkutan dan
membentuk tim likuidasi.

Jumlah bab dan pasal antara UU yang lama dan baru juga mengalami
peningkatan. Semula, pada UU yang lama hanya terdapat 28 pasal dan 13 bab. Lalu,
meningkat dalam UU yang baru menjadi 92 pasal dan 18 bab. Menurutnya, meningkatnya
jumlah bab dan pasal tersebut lantaran terdapat pengaturan baru di sektor asuransi.

Misalnya, ketentuan mengenai saham pengendali, program asuransi wajib,


penjaminan polis dan pengelola statuter. Pengelola statuter ini memiliki tugas untuk
menyelamatkan asuransi syariah, perusahaan reasuransi atau perusahaan reasuransi
syariah, menyusun langkah-langkah apabil perusahaan asuransi, asuransi syariah,
reasuransi atau reasuransi syariah tersebut dapat diselamatkan.

2. UU di bidang transportasi
 Mengenali UU Nomor 22 Tahun 2009

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
telah ditetapkan dalam Rapat Paripurna DPR RI pada tanggal 26 Mei 2009 yang
kemudian disahkan oleh Presiden RI pada tanggal 22 Juni 2009. Undang-Undang ini
adalah kelanjutan dari Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992, terlihat bahwa
kelanjutannya adalah merupakan pengembangan yang signifikan dilihat dari jumlah
clausul yang diaturnya, yakni yang tadinya 16 bab dan 74 pasal, menjadi 22 bab dan 326
pasal.

Jika kita melihat UU sebelumnya yakni UU Nomor 14 Tahun 1992 menyebutkan


Untuk mencapai tujuan pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila,
transportasi memiliki posisi yang penting dan strategis dalam pembangunan bangsa yang
berwawasan lingkungan dan hal ini harus tercermin pada kebutuhan mobilitas seluruh
sektor dan wilayah. Transportasi merupakan sarana yang sangat penting dan strategis
dalam memperlancar roda perekonomian, memperkukuh persatuan dan kesatuan serta
mempengaruhi semua aspek kehidupan bangsa dan negara.

Berbeda dengan undang-undang Nomor 22 Tahun 2009, UU ini melihat bahwa


lalu lintas dan angkutan jalan mempunyai peran strategis dalam mendukung
pembangunan dan integrasi nasional sebagai bagian dari upaya memajukan kesejahteraan
umum. Selanjutnya di dalam batang tubuh di jelaskan bahwa tujuan yang hendak dicapai
oleh Undang-Undang ini adalah :

1. terwujudnya pelayanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang aman, selamat, tertib,
lancar, dan terpadu dengan moda angkutan lain untuk mendorong perekonomian
nasional, memajukan kesejahteraan umum, memperkukuh persatuan dan kesatuan
bangsa, serta mampu menjunjung tinggi martabat bangsa;
2. terwujudnya etika berlalu lintas dan budaya bangsa; dan
3. terwujudnya penegakan hukum dan kepastian hukum bagi masyarakat.

Undang-Undang ini berlaku untuk membina dan menyelenggarakan Lalu Lintas


dan Angkutan Jalan yang aman, selamat, tertib, dan lancar melalui:

1. kegiatan gerak pindah Kendaraan, orang, dan/atau barang di Jalan;


2. kegiatan yang menggunakan sarana, prasarana, dan fasilitas pendukung Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan; dan
3. kegiatan yang berkaitan dengan registrasi dan identifikasi Kendaraan Bermotor dan
Pengemudi, pendidikan berlalu lintas, Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas, serta
penegakan hukum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Mencermati lebih dalam dari semangat yang telah disebutkan di atas, maka kita
harus lebih dalam lagi melihat isi dari Pasal-Pasal yang ada di UU Nomor 22 Tahun 2009.
Dari sini kita akan tahu apakah semangat tersebut seirama dengan isi dari pengaturan-
pengaturannya, atau justru berbeda.

 Akan Tertatih-tatih pelaksanaannya


Norma-norma peraturan tanpa adanya sarana pendukung seperti struktur
keorganisasian yang memiliki kewenangan untuk melaksanakan pastinya akan berjalan
tidak efektif dan efisien. Selain itu, budaya dalam melakukan dan melaksanakan norma-
norma peraturan juga harus dinilai, apakah memang sudah tepat masyarakat dapat
melaksanakan. Hal ini berkaitan dengan bagaimana nantinya UU Nomor 22 Tahun 2009
diimplementasikan. Melihat hal ini makan kita dapat menggunakan pendekatan substansi,
sutruktural, dan kultural.

Secara substansi, UU Nomor 22 Tahun 2009 masih dapat diperdebatkan. Mulai


dari banyaknya amanat untuk membuat aturan pelaksana dan teknis; nilai keefektifan dari
penegakan hukum berupa sanksi administrasi, perdata hingga pada pidana; pengaturan
mengenai hak dan kewajiban dari penyelenggara negara dan masyarakat, dan sebagainya.
Pertanyaan-pertanyaan ini adalah untuk lebih mendalami apakah peraturan ini dapat
dilaksanakan, kedayagunaan dan kehasilgunaan. Selain itu, apakah norma peraturan
tersebut memang lahir dari masyarakat, hal ini guna menjawab kebutuhan siapa yang
memang hars dipenuhi. Dengan memperhatikan ini, maka kita dapat melihat apakah suatu
peraturan ini akan efektik dan efisien jika dilaksanakan.

Secara struktur, UU Nomor 22 Tahun 2009 telah menjelaskan mengenai pihak


yang terkait. Jika kita cermati maka kita dapat melihatnya sebagai berikut :

1. Pembinaan menjadi tanggung jawab negara. Pembinaan mencakup perencanaan,


pengaturan, pengendalian, dan pengawasan.
2. Urusan di bidang Jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang
Jalan;
3. Urusan di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, oleh
kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan
4. Urusan di bidang pengembangan industri Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, oleh
kementerian negara yang bertanggung jawab dibidang industri;
5. Urusan di bidang pengembangan teknologi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, oleh
kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang pengembangan teknologi; dan
6. Urusan pemerintahan di bidang Registrasi dan Identifikasi Kendaraan Bermotor dan
Pengemudi, Penegakan Hukum, Operasional Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas,
serta pendidikan berlalu lintas, oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia.
7. Mengkoordinasi penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan dilakukan oleh forum
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Anda mungkin juga menyukai