Review Bab Buku: "Diskursus Bernegara Dalam Islam Dari Perspektif Historis, Teologis, Hingga Keindonesiaan"
Review Bab Buku: "Diskursus Bernegara Dalam Islam Dari Perspektif Historis, Teologis, Hingga Keindonesiaan"
Review Bab Buku: "Diskursus Bernegara Dalam Islam Dari Perspektif Historis, Teologis, Hingga Keindonesiaan"
“Diskursus Bernegara dalam Islam; dari Perspektif Historis, Teologis, hingga Keindonesiaan”
A. Identitas Buku
Judul Diskursus Bernegara dalam Islam; dari Perspektif Historis,
Teologis, hingga Keindonesiaan
Penulis Thohir Luth, Moh. Anas Kholish, Moh. Zainullah
Perancang Sampul Fuad Ibrahim
Penata Letak Ali Manshur
Pracetak dan Tim UB Press
Produksi
Penerbit UB Press, Malang
Terbit Cetakan Pertama, 2018
Jumlah Halaman i-xii + 254 halaman
ISBN 978-602-432-675-3
Harga Rp100.000 + 20% = Rp85.000
B. Preview
Dunia Barat kini dilanda gelombang populisme yang ditandai oleh penguatan partai
sayap kanan, seperti halnya di Indonesia. Islam-politik yang sebelumnya kurang memiliki
ruang, kini tampak menghiasi ruang-ruang publik dengan slogan fomalisasi Syariah.Tak
ayal, mimpi untuk menghidupkan kembali cita-cita Indonesia sebagai Negara Islam (Islamic
state) kembali menyeruak.
Pemahaman masyarakat mengenai konsepsi Negara Islam masihlah didominasi
pengertian klasik (Khalifah, Daulah, Imamah, Pan-Islamisme, dsb). Padahal hakikatnya,
pemaknaan ide Negara Islam banyak dikembangkan oleh para pemikir kontemporer
berhaluan revisionis yang menegoisasikan antara syariah dan negara berkonsep nation-
state. Para pemikir kontemporer tersebut, seperti Mohammad Husain Hikal, Fadzlur
Rahman, Ali syariati, dan lain-lain, memiliki pemikiran yang lebih moderat dan progresif
dalam menafsirkan negara sebagai abstraksi penjelmaan nilai-nilai Islam. Akan tetapi,
pemikiran tersebut lambat laun tak terdengar lagi gaungnya di tengah munculnya berbagai
gagasan mengenai pembentukan Negara Islam secara formal.
Selain itu, Indonesia hadir dengan moderatisme Islam bergagasan nasionalisme yang
sejak kelahirannya tidak berdasarkan pada ajaran agama, namun tidak pula sebagai Negara
Sekuler. Hasilnya dapat terlihat dari adanya Pancasila yang berasal dari perpaduan
keduanya. Dengan begitu, Indonesia adalah panutan dalam hal penerapan Islam secara
mendasar dalam bentuk institusi modern.
C. Daftar Isi
Bab 1 Pengertian Negara Islam dalam Perspektif Islam
D. Review Bab 4 Bernegara dalam Islam Perspektif Ulama Klasik dan Pertengahan
4.1 Bernegara dalam Islam Perspektif Imam Al-Mawardi
Abu al-Hasan Ali ibn Habib al-Mawardi atau yang lebih dikenal dengan
al-Mawardi, lahir pada tahun 364 H/974 M di Basrah, Irak. Kemudian, wafat pada tahun
450 H/1058 M. Kondisi sosial politik yang terjadi pada masa kehidupan al-Mawardi
penuh dengan serangkaian perpecahan atau disintegrasi politik di beberapa wilayah
yang ditaklukann oleh Daulah Bani Abbasiyah. Pada saat itu keadaan Baghdad yang
menjadi pusat pemerintahan tidak mampu membendung tekanan dari daerah-daerah
taklukannya yang memberontak ingin menentukannya nasibnya sendiri atau dengan
kata lain ingin memerdekakan daerahnya dari jerat takluk dinasti Abbasiyah. Dinasti-
dinasti kecil yang menginginkan kemerdekaan semakin gencar mengadakan
perlawanan karena tidak ingin semakin tersubordinasi oleh rezim Abbasiyah. Di sisi
lain, faksi-faksi politik yang mengalami pergeseran sehingga menimbulkan perbedaan
pendapat dalam tubuh dinasti Abbasiyah disebabkan oleh adanya persaingan
antargolongan elit atau pejabat-pejabat tinggi dengan para pejabat militer kerajaan. Hal
tersebut menjadi penyebab dari melemahnya cengkraman kekuasaan dinasti Abbasiyah
di beberapa daerah taklukan. Ketika keadaan semakin genting, otoritas Khalifah dalam
menentukan arah kebijakan Negara semakin kabur dan hilang. Secara de jure memang
Khalifah yang menjadi penguasa tertinggi, namun secara de facto para menteri yang
berkebangsaan Turki dan Persia yang menjalankan tampuk kekuasaan tertinggi.
Pada situasi genting yang tidak menentu demikian, al-Mawardi melihat adanya celah
yang dapat dijadikan kesempatan untuk memanfaatkan keadaan. Maka, tidak heran jika
al-Mawardi sebagai pejabat inti pemerintahan dapat berleluasa melenggang di tampuk
kekuasaan tertinggi yang sedang mengalami gejolak atau turbulensi politik. Dalam
perjalanan al-Mawardi sebagai pakar hukum, ia memiliki rekam jejak yang cemerlang.
Dengan menjadi ahli hukum yang berkiblat di Syafi’i, ia tercatat pernah menduduki
jabatan sebagai Hakim di berbagai kota. Bahkan, al-Mawardi pernah menduduki
puncak otoritas tertinggi sebagai seorang hakim dengan menjabat sebagai Ketua
Mahkamah Agung (Qadhi al-Qudhat) di Baghdad pada masa pemerintahan Khalifah
al-Qadir (991-1031 M). Selain itu, al-Mawardi dengan keahliannya dalam berdiplomasi
berhasil menjadi mediator atau perantara antara Pemerintahan Bani Abbasiyah dengan
Buwaihi yang saat itu telah menguasai panggung politik di Jazirah Arab. Al-Mawardi
berhasil memandu jalannya perundingan tersebut dengan menghasilkan suatu
kesepakatan bahwa Bani Abbasiyah tetap di posisi tertinggi sebagai Khalifah,
sementara kekuasaan politik berada di tangan orang-orang Buwaihi. Kesepakatan ini
telah memuaskan kedua belah pihak. Atas jasa al-Mawardi yang berhasil mengantarkan
pihak Buwaihi ke kursi kekuasaan, maka tidaklah heran apabila al-Mawardi menjadi
begitu disegani oleh para emir1 Buwaihi yang di samping itu menganut paham Syiah.
Pada masa itu, tampuk kekuasaan yang sesungguhnya memang dipegang oleh orang-
orang Buwaihi yang Syiah. Selama masa-masa emas Buwaihi (945-1055 M), mereka
menaikkan dan menurunkan khalifah sesuai dengan kemauan atau kehendak mereka
saja. Namun pada kenyataannya, konsep al-A’immah min Quraisy2 yang saat itu masih
begitu kuat di kalangan umat Islam, menjadikan orang-orang Buwaihi tidak berani
serta-merta merebut kekhalifahan. Hal tersebut menjadikan mereka sudah cukup puas
hanya dengan mengendalikan khalifah-khalifah tanpa harus menduduki jabatan itu.
Ketertarikan al-Mawardi terhadap fiqh syiasah3 dimulai ketika ia belajar dari ulama
termahsyur di Bashrah, yaitu Syeh al-Shamiri dan Syeh Abu Hamid. Saat itulah minat
dan ketertarikan al-Mawardi pada disiplin ilmu tersebut mulai berkembang pesat hingga
mengantarkan dirinya menjadi seorang praktisi dan pemikir politik Islam. Al-Mawardi
dengan beberapa karya monumentalnya, seperti Al-Ahkam al-Sulthaniyah, Siyasah al-
Muluk, Qawanim al-Wizarah, Adab al-Dunya wa al-Din, al-Hawi, dan al-Iqna,
menjadi acuan utama para pemikir Islam terkait politik Islam.
Al-Mawardi mengartikan eksistensi Imamah atau kepemimpinan yang
dilembagakan bertujuan untuk menggantikan kenabian atau nubuwah guna melindungi
agama dan instrumen-instrumen negara untuk mengatur kehidupan dunia. Lebih lanjut,
al-Mawardi mengatakan dalam bukunya, Al-Ikhkam al-Sulthaniyah, bahwa
intitusionalisasi Imamah sebagai sistem pemerintahan merupakan fardhu kifayah4 atas
kesepakatan ulama. Pandangan ini nyatanya bertolak belakang dengan kenyataan atau
realitas sejarah umat Islam di masa al-Khulafa’ al-Rasyidin dan para Khalifah
1
Kepala pemerintahan (komandan atau pangeran) Arab; gelar para wali negeri Turki. (kbbi.com)
2
Hak kekhalifahan adalah milik orang Quraisy; “keturunan Quraisy” dalam prasyarat imamah (kepemimpinan)
sebagai sebuah ijma (ulama)” (Ridwan, M., Quraisy dan Hegemoni Kuasa Atas Agama, Diroyah: Jurnal Ilmu
Hadis 3, 2018, hlm. 1)
3
Ilmu tata Negara Islam yang secara spesifik membahas tentang seluk-beluk pengaturan kepentingan umat
manusia pada umumnya dan Negara pada khususnya, berupa penetapan hukum, peraturan, dan kebijakan oleh
pemegang kekuasaan yang bernafaskan atau sejalan dengan ajaran islam. (dadansetiana.wordpress)
4
Kewajiban bersama bagi mukalaf yang apabila sudah dilaksanakan oleh seseorang di antara mereka, yang lain
bebas dari kewajiban itu. (lektur.id)
sesudahnya, baik dari kalangan Bani Umayah, maupun kalangan Bani Abbasiyah
sebagai satu-kesatuan politik umat Islam. Keberadaan institusi tersebut menjadi awal
permulaan dalam mencapai tujuan yang hendak dicapai, sebagaimana yang disebutkan
dalam suatu kaidah ushul fiqh5, yaitu ma la yatimmu al-wajib illa bihi, fahuwa wajib,
artinya suatu kewajiban tidak sempurna, kecuali melalui sarana atau alat, maka berbagai
instrumen tersebut juga menjadi wajib. Dengan kata lain, dalam upaya menciptakan dan
memelihara kemaslahatan atau kepentingan bersama hukumnya wajib, maka negara
yang dalam hal ini sebagai sarana untuk menciptakan kondisi tersebut secara otomatis
pun menjadi wajib (fardhu kifayah). Pernyataan tersebut selaras pula dengan kaidah-
kaidah amr bi syay’ amr bi wasa’ilih 6 di mana negara merupakan sarana penghubung
untuk menciptakan kemaslahatan bagi umat Islam.
Al-Mawardi juga menetapkan persyaratan terkait proses pemilihan kepala negara
yang harus memenuhi dua kriteria, antara lain: Pertama, haruslah ahl al-ikhtiyar bagi
pemilihnya atau orang yang memiliki hak untuk memilih khalifah kepada negara.
Dalam hal ini merujuk pada pemilih pemimpin yang haruslah berkualifikasi adil,
mengetahui betul calon pemimpin yang akan dipilih, berwawasan luas, dan bijaksana
sehingga nantinya dapat memilih pemimpin yang benar-benar mampu mengelola
negara dengan baik. Kedua, harus ahl al-imamah bagi kandidat kepala negara atau
seseorang yang berhak menduduki posisi kepala negara. Dalam hal ini merujuk pada
kandidat kepala negara yang harus berkualifikasi adil, memiliki keilmuan yang cakap
dan tinggi untuk berjihad, sehat secara jasmani7, memiliki kemampuan dalam
menjalankan dan mengelola negara demi keejahteraan rakyat, memiliki keberanian
dalam melindungi teritori Islam, berjihad dalam memerangi musuh, serta berasal dari
kalangan Quraisy.
Terkait ahl al-hall wa al ‘aqd8 yang ada dalam sistem pemerintahan Islam
dikarenakan adanya suatu perintah dalam Al Qur’an untuk bermusyawarah.
Musyawarah tersebut diartikan para ahli sebagai salah satu sistem hukum dalam Islam
dan juga metode hidup dalam pemerintahan. Dalam konsepnya, Al-Mawardi
menyebutkan ahl al-hall wa al ‘aqd dengan Ahl Al-Ikhtiyar karena sesungguhnya
merekalah yang memilih khalifah. Namun, al-Mawardi tidak menjelaskan lebih lanjut
terkait mekanisme penentuan komposisi dari ahl al-hall wa al ‘aqd karena dalam
praktik penentuan keanggotaan dewan tersebut nyatanya ditentukan oleh kepala negara.
Hal ini menjadikan sifat dewan tersebut menjadi tidak independen dan berdampak pada
ahl al-hall wa al ‘aqd tidak dapat melaksanakan tugas-tugas kenegaraan berupa kendali
5
Ilmu hukum dalam Islam yang mempelajari kaidah-kaidah, teori-teori dan sumber-sumber secara terperinci
dalam rangka menghasilkan hukum Islam yang diambil dari sumber-sumber tersebut. (Usul Al Fiqh, Taha Jabir
Al-Alwan)
6
Perintah untuk mengerjakan sesuatu berarti juga perintah untuk mengerjakan penghubung-penghubungnya.
7
Syarat mutlak kepala negara sebagai cerminan kewibawaan negara. Akan berbahaya apabila kepala negara
mengalami cacat fisik sehingga tidak mampu menjalankan roda pemerintahan dengan baik.
8
Dewan atau orang-orang yang berhak memilih dan memberhentikan kepala negara.
terhadap penguasa sebagai refleksi dari prinsip check and balances9 dalam sistem
ketatanegaraan.
Terkait proses pengangkatan kepala negara menurut hasil pemikiran al-Mawardi
hanya berdasar pada keharusan untuk menyelidiki secara cermat terpenuhinya syarat-
syarat kandidat kepala negara. Pada umumnya, kandidat yang berhasil tersaring
kemudian dimintai kesediannya untuk menjadi kepala negara, namun al-Mawardi
memaksa atas kandidat karena jabatan dalam penyelenggaraan negara harusnya
dianggap sebagai kontrak atau perjanjian yang berlandaskan sikap kesukarelaan.
Apabila kandidat kepala negara bersedia untuk dipilih, maka kontrak sosial antara
kepala negara dengan masyarakat yang diwakili oleh ahl al-ikhtiar mulai diberlakukan.
Setelah itu, para kandidat yang terpilih akan melakukan bay’ah atau sumpah yang
kemudian perintahnya akan diikuti oleh masyarakat Islam.
Kontrak sosial yang telah disahkan melahirkan hak dan kewajiban timbal balik
antara kepala negara sebagai penerima amanah dan masyarakat sebagai pemberi
amanah. Dalam hal ini, Al-Mawardi menjabarkan secara terperinci sepuluh kewajiban
yang harus dilaksanakan oleh kepala negara, yaitu: 1) memelihara agama;
2) menegakkan hukum di antara rakyatnya dan menyelesaikan sengketa agar tidak
terjadi penganiayaan; 3) menjaga keamanan dalam negeri agar masyarakat dapat
menjalankan aktivitasnya dan melakukan perjalanan dengan aman dan nyaman; 4)
menegakkan hudud; 5) membentuk tentara yang kuat agar dapat melindungi negara dari
serangan musuh; 6) melaksanakan jihad kepada seseorang yang menolak ajaran Islam
setelah diajak; 7) mengumpulkan harta fa’i dan zakat terhadap orang-orang yang
ditimpakan kewajiban untuk membayarnya; 8) mendistribusikan harta tersebut kepada
masyarakat yang berhak; 9) menyampaikan amanah; 10) memperhatikan seluruh aspek
yang dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap politik pemerintahan agar
masyarakat dapat memelihara agamanya.10
Pandangan al-Mawardi mengenai kontrak sosial merupakan salah satu bentuk
pemikiran maju yang kini diaplikasikan oleh setiap negara modern sebagai legitimasi
antara yang berkuasa dan yang dikuasainya. Kontrak sosial merupakan bentuk
penerapan dari asas check and balances sehingga asas tersebut menjadi landasan rakyat
agar dapat mengontrol kekuasaan. Dalam menguraikan teori kontrak sosialnya secara
implisit, al-Mawardi membuka kemungkinan terhadap mekanisme impeachment11
kepala negara. Hal tersebut merupakan pemikiran asing di kalangan Sunni pada abad-
abad klasik dan pertengahan, namun nyatanya terdapat relevansi atau hubungan dengan
masa modern seperti sekarang ini. Hal ini menggarisbawahi terkait hubungan antara
kepala negara dengan rakyatnya merupakan hubungan yang dilandasi dasar saling
percaya. Oleh karena itu, apabila kepala negara sudah tidak mampu lagi melaksanakan
kepercayaan yang diberikan oleh rakyat, maka kepala negara harus mengembalikan
amanah tersebut kembali kepada rakyat.
9
Sebuah sistem aturan yang menegaskan adanya mekanisme saling kontrol di antara cabang kekuasaan untuk
mencegah terkonsentrasinya kekuasaan dalam satu cabang sehingga mendominasi cabang kekuasaan yang lain.
(Kamus hukum)
10
Ibid, hlm 7.
11
Istilah bahasa Inggris yang berarti pendakwaan, tuduhan, atau panggilan untuk bertanggungjawab.
Dalam keterkaitan antara agama dan kepala negara, al-Mawardi berpendapat bahwa
kepala negara merupakan pelindung agama dalam menjaga kemurniannya, mencegah
muslim dari hal-hal yang menyimpang atau menyesatkan, mencegah muslim dari
kemurtadan, serta melindunginya dari perbuatan mungkar. Atas dasar hubungan timbal
balik antara penguasa dengan agama, al-Mawardi berpendapat bahwa mengangkat
penguasa yang berwibawa dan sekaligus tokoh agama adalah suatu kewajiban karena
dengan begitu agama akan mendapatkan perlindungan dari negara dan pemerintahan
dapat berjalan dengan baik di atas jalur agama.
Beralih ke posisi yang lainnya, yaitu rakyat sebagai pelaksana hukum, wajib
mentaati dan mematuhi hukum dan kepala negara, baik kepala negara yang adil,
maupun jahat sekalipun atau fajir. Al-Mawardi mengutip dari surah An-Nisa’ 4:59 yang
mewajibkan ketaatan kepada Allah Swt., Rasul-Nya, dan ulil amr (para pemimpin).
Selain itu, al-Mawardi juga mengutip hadist Nabi Muhamad saw. yang menyatakan:
“Kelak akan ada pemimpin-pemimpin kamu sesudahku, baik yang adil maupun jahat.
Dengarkan dan taatilah mereka sesuai dengan kebenaran. Jika mereka baik, maka
kebaikannya untuk kamu dan untuk mereka, tetapi apabila mereka jahat, maka akibat
baiknya untuk kamu dan kejahatannya akan kembali pada mereka.”
Namun, di satu sisi, al-Mawardi mengajukan pengecualian terhadap pemimpin yang
tidak boleh ditaati apabila dalam dirinya terdapat salah satu sifat berikut, yaitu:
1) menyimpang dari keadilan (melakukan perbuatan fasik); 2) kehilangan satu fungsi
organ tubuhnya; 3) dikendalikan oleh orang di dekatnya atau ditawan oleh musuh.12
Dalam halnya sikap tidak adil yang dilakukan oleh suatu negara dapat terlihat dari
kecenderungan seorang kepala negara yang melakukan perbuatan syubhat13 sehingga
berdampak pada merosotnya kredibilitas atau kepercayaan terhadap kepala negara yang
berlanjut pada ketidaklayakan kepala negara dalam memegang tampuk kekuasaan lagi.
Berkaitan dengan hilangnya kemampuan fisik kepala negara dapat ditafsirkan
dengan hilangnya fungsi pancaindra yang ada di tubuh, cacat anggota badan, atau
hilangnya kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum. Namun, al-Mawardi tetap
mempertahankan hak kekhalifahannya dengan menghapuskan ketaatan rakyat apabila
disebabkan oleh hilangnya kemampuan pancaindra. Kemudian, al-Mawardi
menempatkan suatu tingkatan di atas itu, bahwa seorang khilafah kehilangan hak
kekhalifahannya sekaligus dengan ketaatan rakyat apabila mengalami kehilangan
fungsi akal dan penglihatan. Maka dari itu, fungsi akal dan penglihatan menjadi hal
yang sangat penting bagi seorang kepala negara dalam melaksanakan tugas kenegaraan.
Sementara itu, dapat dikatakan bahwa apabila khalifah kehilangan pancaindra yang
lain, seperti indra penciuman dan perasa tidak menyebabkan seorang khalifah
kehilangan hak kekhalifahannya dan ketaatan rakyat dikarenakan hal tersebut tidak
relevan atau tidak berkaitan terhadap tugas-tugas kenegaraan dan tidak sekalipun
mengganggu fungsi akal. Namun, untuk khalifah yang kehilangan indra pendengaran
dan bicara, masih mengalami perdebatan di antara kalangan ulama.
12
Luth, Thohir, dkk. Diskursus dalam Bernegara Islam; dari Perspektif Historis, Teologis, hingga
Keindonesiaan. 2018. hlm. 83
13
Istilah di dalam Islam yang menyatakan tentang keadaan yang samar tentang kehalalan atau keharaman dari
sesuatu.
Kemudian maksud al-Mawardi mengenai khalifah yang dikendalikan oleh orang
didekatnya ialah apabila orang-orang di sekitarnya yang menguasai, sementara khalifah
melakukan perbuatan yang sewenang-wenang, maka mereka harus segera
ditindaklanjuti. Begitu juga dengan khalifah yang ditawan musuh dan tidak dapat
melarikan diri, maka umat Islam harus segera mencari pengganti kepala negara demi
keberlangsungan roda pemerintahan dan menghindari kekosongan kekuasaan.
Namun, terdapat kekurangan dari teori ketatanegaraan al-Mawardi karena nyatanya
ia hanya menyebutkan mekanisme pengangkatan khalifah, tanpa menjabarkan
mekanisme pemberhentian khalifah. Hal ini menunjukkan bahwa al-Mawardi memihak
pemerintahan Abbasiyah. Saat itu, al-Mawardi telah melihat realitas politik di mana
khalifah-khalifah Abbasiyah yang hanya dijadikan boneka politik oleh pejabat negara
berkebangsaan Turki dan Persia. 14Keadaan diperburuk dengan munculnya kerajaan-
kerajaan kecil di wilayah timur Baghdad yang secara perlahan melemahkan kekuatan
Abbasiyah yang sudah mendapat perlawanan dari daerah-daerah taklukannya yang
menuntut otonomi dan menentang kekuasaan pusat. Di lain sisi, keadaan semakin
diperparah dengan menguatnya golongan Buwaihi berpaham Syiah yang telah
menguasai sebagian besar ranah perpolitikan kerajaan. Para khalifah pun kewalahan
dalam menghadapi segala permasalahan yang ada sehingga kewibawaan dan kekuatan
khalifah lambat laun meredup.
Gagasan al-Mawardi sesungguhnya ingin menjadikan kepala negara sebagai
penguasa yang sebenar-benarnya dan berwenang menentukan kebijakan negara secara
independen, tanpa dipengaruhi oleh siapapun. Akan tetapi, al-Mawardi menyaksikan
realitas politik di masa akhir Abbasiyah yang menjadikan kepala negara hanya sebagai
simbol kekuasaan, tidak otonom dalam melaksanakan kebijakan, bahkan menjadi
boneka para petinggi lainnya. Oleh karena itu, al-Mawardi memaklumi pengendalian
terhadap khalifah Abbasiyah sebagai sesuatu yang wajar dan dapat diterima, namun
tetap harus dalam pertimbangan bahwa semua itu tidak akan membahayakan
kepentingan umat Islam dan negara. Pada akhirnya, al-Mawardi menerima realitas
politik saat itu, ketika khalifah Abbasiyah tidak lebih sekadar boneka politik para
pejabat negara.
Gagasan al-Mawardi mengenai teori mekanisme pengangkatan kepala negara yang
tidak diikuti dengan adanya mekanisme pemberhatian kepala negara secara ideal
tentunya dapat menjaga posisi khalifah Bani Abbas sementara waktu. Tindakan al-
Mawardi ini dipengaruhi oleh doktrin al-A’immah min Quraisy yang dianutnya dan
ketidakinginan al-Mawardi akan berakhirnya kekhalifahan Abbasiyah yang kelak dapat
saja tergantikan oleh golongan Buwaihi.
14
Sistem pemerintahan Bani Abbas dapat dibagi menjadi empat aspek, yaitu aspek khilafah, wizariah, kitabah,
dan hijabah. Khilafah ialah aspek kepala negara. Dalam hal ini, khalifah Abbas ialah penguasa tertinggi dan
harus berasal dari suku Quraisy. Dalam menjalani tugas-tugas kenegaraan, khalifah dibantu oleh para menteri
atau wazir. Dalam realitasnya, seringkali terjadi persaingan merebut pengaruh antara wazir dan hajib. Ketika
kekuasaan khalifah lengah atau melemah, mereka seringkali menguasai khalifah seakan-akan hanya sebagai
boneka bagi kepentingan-kepentingan mereka. Kekuasaan khalifah pun menjadi terbatas hanya di lingkup istana,
sedangkan urusan-urusan kenegaraan telah diatur oleh wazir atau hajib yang secara de facto mengendalikan
masalah-masalah politik. (Luth, Thohir, dkk. Diskursus dalam Bernegara Islam; dari Perspektif Historis,
Teologis, hingga Keindonesiaan. 2018. hlm. 85)
Secara lebih lanjut, al-Mawardi mengembangkan pula wazir tafwidh dan wazir
tanfidz dalam sistem ketatanegaraan. Wazir tafwidh ialah kementerian yang
wewenangnya lebih luas, seperti menentukan arah kebijakam politik dan berbuat atas
nama negara. Menurut al-Mawardi, seorang wazir tafwidh haruslah berasal dari
kalangan suku Quraisy. Adanya hak istimewa ini merefleksikan bahwa al-Mawardi
masih memiliki kecenderungan dan mencoba untuk mempertahankan kekuasaan
tertinggi atas bangsa Arab atau Quraisy. Sementara itu, wazir tanfidz merupakan
kementerian yang hanya bertugas sebagai pelaksana kebijakan yang diambil oleh
kepala negara dan tidak memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan secara
mandiri. Oleh karen ini, menurut al-Mawardi, posisi wazir tanfidz dapat diisi oleh
kalangan selain suku Quraisy.
Di lain sisi, al-Mawardi juga mengusahakan pengembalian kekuasaan yang
dipegang oleh Abbasiyah agar tidak mengalami kegoyahan maupun perpecahan dengan
memberi penegasan bahwa hanya terdapat satu pemerintahan yang resmi di masa itu.
Usaha al-Mawardi setidaknya memperlambat keruntuhan Abbasiyah dari sikap
perlawanan Fatimiyah yang berpusat di Mesir dan menuntut legitimasi.
Terlepas dari segala pemikiran al-Mawardi yang dalam beberapa sisi memihak
pemerintahan Sunni terlebih supremasi Arab atau Quraisy. Pemikiran al-Mawardi
mampu keluar dari kerangka berpikir Sunni yang menempatkan kepala negara sebagai
sosok yang tidak dapat disentuh oleh hukum. Beberapa gagasan pemikirannya bahkan
menjadi rujukan sistem pemerintahan modern yang kini dikembangkan para pemikir
barat.
15
Pada masa lalu, terkenal sebagai salah satu Pusat Hellenisme yang penduduknya menyembah binatang
(sabi’un). Penduduk kota ini pernah mengusir Nabi Ibrahim a.s dalam pelariannya dari Kota Ur (Kaldan). Pada
masa Bani Abbas, kaum Hellenis yang masih menyembah binatang dilindungi oleh para khalifah karena dianggap
sebagai ahl al-kitab. Namun, Ibn Taimiyyah mengganggap mereka orang yang musyrik. Menurut Nurcholish
Madjid, kota kelahiran Ibn Taimiyyah sendiri melambangkan sebuah kontroversi yang kelak mewarnai
penampilan Ibn Taimiyyah yang polemis dan blak-blakan dalam menyampaikan pendapatnya. (Madjid,
Nurcholish. 1993. Kontroversi di Sekitar Ketokohan Ibn Taimiyyah. Jakarta: Paramadina, hlm. 2-3).
hancur. Mereka secara bebas menggunakan gelar-gelar kekhalifahan, kecuali dinasti
Mamalik di Mesir yang masih meneruskan tradisi kekhalifahan dinasti Abbasiyah
sebagai pengesahan kekuasaan atas mereka sendiri.
Beralih ke Damaskus yang merupakan kota metropolitas bermasyarakat heterogen16.
Dalam kondisi masyarakat yang multietnik dan multikultur ini, tak jarang terjadi
berbagai intrik politik yang seringkali memicu ketegangan dan konflik sehingga
stabilitas sosial dan politik masyaraka sulit tercapai. Hal ini juga diperparah dengan
kedatangan tentara Mongol yang mulai berusaha menguasai Damaskus setelah berhasil
menjatuhkan Baghdad.
Layaknya peribahasa buah tak jatuh jauh dari pohonnya, begitu pula ayah Ibn
Taimiyyah yang merupakan figur ulama bermadzhab Hanbali menurunkan sifat
konsisten dan teguh pendiriannya kepada Ibn Taimiyyah. Tak heran ia seringkali
terlibat silang pendapat dengan ulama-ulama lainnya. Tak jarang pula ia terseret intrik-
intrik politik yang diakibatkan oleh pertentangannya terhadap para penguasa. Pada
tahun 1302-1303 M, Ibn Taimiyyah ikut terjun ke medan perang dengan memimpin
pasukan melawan tentara Mongol yang hendak menguasai Damaskus dan berhasil
mengalahkannya.17 Kondisi sosial masyarakat sekitarnya yang pahit dan kelam
memengaruhi pola pikir Ibn Taimiyyah yang cukup kontroversial. Ia tampil sebagai
pemikir yang independen, apa adanya, dan tidak suka diintervensi. Hal inilah yang
kemudian menjadi bias pada setiap pemikiran politik Ibn Taimiyyah.18
Ibn Taimiyyah berpendapat bahwa pengaturan urusan umat adalah hal yang
terpenting dan diwajibkan oleh agama, namun ia berpendapat juga bahwa agama tetap
dapat hidup, meskipun tanpa negara. Oleh sebab itu, Ibn Taimiyyah menolak ijma’
sebagai dasar dari kewajiban tersebut. Berbeda dari al-Mawardi, metodologi yang
digunakan oleh Ibn Taimiyyah ialah pendekatan sosiologis. Ia percaya bahwa
kesejahteraan manusia hanya dapat dicapai dengan tatanan sosial masyarakat yang
saling berkaitan dan dibutuhkan seorang pemimpin yang dapat mengatur kehidupan
sosial tersebut.
Lebih lanjutnya, Ibn Taimiyyah menjabarkan bahwa Imamah hanyalah kebutuhan
bersifat praktik yang opsional dan bukanlah satu-satunya asas dasar dalam menegakkan
negara. Namun, Ibn Taimiyyah kemudian menggarisbawahi peran negara dalam
membantu agama. Ibn Taimiyyah kemudian menolak untuk mengakui kekuasaan Bani
16
Penduduk Damaskus terdiri dari muslim yang berasal dari berbagai madzhab, penganut keyakinan agama selain
Islam, dan kebangsaan yang berbeda-beda pula.
17
Qomaruddin Khan melukiskan kepribadian Ibn Taimiyyah sebagai seorang yang gagah berani dipadukan
dengan kesabaran dan ketabahan. Ia bertempur di medan tempur bila eksistensi umat Islam terancam. Sifat gagah
beraninya ini melebihi panglima perang lainnya karena bersumber dari ketulusan dan pengabdian, bukan dari
pendidikan militer. (Khan, Qomaruddin. 1995. Pemikiran Politik Ibn Taimiyyah. Bandung: Pustaka. hlm. 30).
18
Menurut Khan, ada beberapa alasan yang menyebabkan permusuhan antara ulama dengan Ibn Taimiyyah, yaitu:
pertama, Ibn Taimiyyah berhasil mengalahkan bangsa Mongol di Perang Saqhab 1302-1303 M. Hal ini tentu
semakin menambah kewibawaannya di tengah-tengah umat yang tentu menimbulkan kecemburuan dari musuh-
musuhnya; kedua, Ibn Taimiyyah dihormati pemerintah karena integrasinya yang independen; ketiga, Ibn
Taimiyyah menentang keras segala bid’ah dan mengecam tokoh-tokoh mistik, seperti Ibn’Arabi; keempat, Ibn
Taimiyah sangat konsisten pada pandangan madzhab Hanbali dan sangat bertentangan dengan ulama-ulama
Asy’ariyah dan Maturidiyah; dan kelima, cara-cara Ibn Taimiyyah yang polemis terkadang kasar sehingga
mempertajam konflik dengan para ulama.
Umayyah dan Bani Abbasiyah sebagai dasar dari filsafat Islam. Ia pun menolak untuk
menyatakan bahwa seorah khalifah jika hanya dijadikan boneka oleh para elit politik,
maka tidak pantas disebut khilafah. Hal ini bertolak belakang dengan anggapan al-
Mawardi juga kecenderungannya dalam menggunakan istilah “khilafah”, sedangkan
Ibn Taimiyyah selalu menggunakan istilah “imarah” untuk kenegaraan.
Teori-teori politik kenegaraan Ibn Taimiyyah memiliki beberapa perbedaan dengan
teori-teori politik kenegaraan al-Mawardi. Salah satunya, yaitu Ibn Taimiyyah yang
tidak memberi ruang terlalu banyak dalam proses pemilihan kepala negara. Hal ini
disebabkan karena Ibn Taimiyyah menolak konsep Khilafah ala Sunni yang
memberikan kewenangan pengangkatan kepala negara kepada ahl al-hall wa al’aqd,
seperti anggapan dasar al-Mawardi dalam konsep bay’ah oleh sebagai elit politik. Ibn
Taimiyyah bahkan menolak eksistensi ahl al-hall wa al’aqd. Hipotesisnya ini sejurus
dengan penolakannya terhadap praktik politik praktis di masa Barat Abbasiyah,
keberadaan ahl al-hall wa al’aqd hanya dijadikan alat legitimasi kekuasaan politik
penguasa. Ibn Taimiyyah pun menyatakan bahwa demokrasi perwakilan yang tercermin
dari adanya ahl al-hall wa al’aqd yang nyatanya tidak mencerminkan suara rakyat. Ia
pun mempertanyakan perihal ahl al-hall wa al’aqd yang mengklaim bahwa
keberadaannya mewakili rakyat, namun dipilih oleh kepala negara. Istilah ahl al-hall
wa al’aqd menurut Qamaruddin Khan sesungguhnya tidak dikenal dalam tradisi Islam,
namun populer setelah Abbasiyah berkuasa. Dengan adanya mekanisme tersebut, Ibn
Taimiyyah khawatir bahwa konsep tersebut dapat mengaburkan batas antara wilayah
agama dengan negara dan dapat menimbulkan otoritas kependetaan, seperti ajaran
Syiah dan Kristen yang tentunya akan mengurangi hak rakyat untuk memilih kepala
negara.
Dengan begitu, Ibn Taimiyyah menawarkan solusi alternatif terkait teori politik
kenegaraan, yaitu dengan mengembangkan konsep al-Syawkah. Ia menejelaskan bahwa
al-Syawkah dipilih oleh orang-orang yang berasal dari berbagai macam kalangan, serta
dihormati dan ditaati oleh masyarakat. al-Syawkah ini nantinya akan memilih kepala
negara dan melakukan sumpah setia kepada pemimpin negara yang kemudian diikuti
oleh rakyat. Dalam hal ini, yang menjadi pembeda antara teori keterwakilan Ibn
Taimiyyah dan al-Mawardi terletak di mekanisme pemilihan komposisi dewan
perwakilan. Ibn Taimiyyah menyebutkan dewan perwakilan tersebut harus dipilih oleh
rakyat melalui perwakilan tiap-tiap golongan, berbeda dengan al-Mawardi yang tidak
menjelaskan mekanisme pemilihan dewan sehingga kerapkali ditafsirkan sewenang-
wenang oleh kepala negara. Hal ini tentu dipikirkan Ibn Taimiyyah untuk menghindari
intervensi dan kemandirian dewan al-Syawkah.
Terkait hal tersebut, Ibn Taimiyyah memberikan contoh pada saat pengangkatan
Abu Bakar yang bukan atas dasar bay’ah Umar bin Khattab di Tsaqifah Bani Sa’idah,
begitu juga dengan pengangkatan Umar yang bukan atas wasiat Abu Bakar. Menurut
Ibn Taimiyyah, para khalifah tersebut menduduki kursi kekuasaan berdasarkan sumpah
setia yang diikrarkan oleh orang-orang Islam yang memiliki kekuatan (ahl al-Syawkah)
dan lalu diikuti oleh umat Islam lainnya. Seandainya saja umat Islam pada waktu itu
tidak menyetujui pengangkatan mereka, maka dapat dipastikan bahwa Abu Bakar,
Umar bin Khattab, maupun khalifah sesudahnya tidak berhak menjadi kepala negara.
Berdasarkan pandangan Ibn Taimiyyah ini, ia menghendaki adanya partisipasi luas dari
masyarakat Islam dalam memilih pemimpinnya, bertolak belakang dengan pendapat al-
Mawardi yang menyatakan bahwa kepala negara dapat dipilih, meskipun hanya dengan
perwakilan beberapa orang saja. Praktik tersebut dikhawatirkan hanya akan mengarah
pada pembenaran kepala negara melalui cara-cara pemaksaan yang tidak bersangkutan
atau tidak sesuai dengan konstitusi suatu negara serta tidak berlegitimasi rakyat luas.
Ibn Taimiyyah juga menentang kualifikasi syarat-syarat untuk calon kepala negara
yang dicetuskan oleh al-Mawardi. Untuk calon kepala negara, Ibn Taimiyyah hanya
menetapkan syarat kejujuran atau amanah dalam kewibawaan atau al-Quwwah dan
tidak terbatas hanya untuk suku Quraisy. Ibn Taimiyyah mengidentifikasi sifat jujur
seorang kandidat dengan ketakwaannya terhadap Allah Swt. Argumen tersebut
diperkuat dengan menyertakan kutipan surah an-Nisa ayat 58 yang kurang lebih isinya
memerintahkan untuk menyerahkan amanah kepada yang berhak untuk menerimanya.
Berdasarkan perintah ayat tersebut, maka pemilihan pejabat-pejabat yang
menjalankan roda pemerintahan terutama kepala negara haruslah berdasarkan pada
prinsip objektif dan bukan atas dasar pertimbangan subjektif-kolutif sehingga jelas
terlihat keahlian dan kemampuan mereka dalam bertindak secara profesional. Maka,
Ibn Taimiyyah kemudian meletakkan dasar prinsip pengelolaan pemerintahan yang
profesional dikenal sebagai sistem meritokrasi atau “the right man in the right place”.
Menelaah sikap Ibn Taimiyyah apabila dikaitkan dengan latar belakang sosial politik
di kehidupannya, tergambarkan bahwa semua itu adalah bentuk kekecewaan Taimiyyah
atas dinasti Abbasiyah yang selama masa kekuasaannya banyak melakukan
penyimpangan, seperti adanya perebutan kekuasaan oleh elit-elit tertentu serta khalifah
yang hanya dijadikan sebagai boneka para elit politik. Oleh karena itu, Ibn Taimiyyah
menekankan pentingnya dua syarat utama yang harus dimiliki oleh seorang kepala
negara atau khalifah, yaitu memiliki kejujuran dan kewibawaan. Ia menjabarkan pula
bahwa kewajiban seorang kepala negara adalah menegakkan amr ma’ruf nahi mungkar
sehingga apapun yang dikhendaki oleh Allah Swt. dapat terwujud dalam umat Islam.
Namun, Ibn Taimiyyah membuat suatu pengecualian, apabila terdapat dua orang
kandidat, maka yang lebih diutamakan adalah kandidat yang kuat dan berwibawa. Hal
ini dilandasi oleh pendapat Imam Madzhabnya, Ahmad bin Hanbal, bahwa seseorang
tersebut apabila baik atau saleh, namun lemah, maka kebaikannya hanya untuk dirinya
sendiri. Lain halnya apabila pemimpin tersebut kuat dan berwibawa, meskipun orang
tersebut jahat, maka kekuatannya akan sangat berguna bagi rakyatnya dan kejahatannya
hanya akan berpulang ke dirinya sendiri.
Terkait pendapat Ibn Taimiyyah mengenai ketaatan terhadap pemimpin negara,
dijelaskan bahwa kepala negara haruslah dipatuhi dan ditaati, meskipun berbuat kafir
ataupun zalim. Ibn Taimiyyah juga tidak menghendaki adanya perlawanan ataupun
pemberontakan kepada kepala negara. Selama kepala negara menjalankan keadilan dan
tidak mengarahkan pada perbuatan yang maksiat kepada Allah Swt. Pendapat Ibn
Taimiyyah ini diperkuat dengan kutipan hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan
Muslim, yang kurang lebih intinya mengatakan bahwa barang siapa yang melihat
sesuatu yang tidak disenangi dari pemimpinnya, hendaklah ia bersabar, dan barang
siapa yang ketika keluar dari pemerintahannya atau melakukan suatu pemberontakan,
maka ia akan mati dalam keadaan jahiliyah.
Dalam realitasnya, Ibn Taimiyyah tetap teguh pendirian terhadap pendapat-
pendapatnya, ia terjun lansung ke medan perang melawan tentara Mongol, tidak
menolak sekalipun segala bentuk hukuman yang ditujukan padanya apalagi menjadi
oposisi dan melakukan pemberontakan. Namun, terdapat kontradiksi dan kelemahan
dari setiap pendapat Ibn Taimiyyah terkait teori politik yang ada, yaitu: pertama,
adanya dasar kekuasaan bay’ah yang demokratis melalui ahl al-Syawkah pada awal
pengangkatan khalifah, namun ia pula menyetujui adanya penerapan gaya
pemerintahan yang otoriter. Kedua, adanya kelemahan dalam teori al-Syawkah terkait
mekanisme kontrol terhadap penguasa yang tidak dijelaskan secara spesifik lagi oleh
Ibn Taimiyyah.
Dalam teori-teorinya yang cenderung radikal dan membenarkan praktik
otoritarianisme, Ibn Taimiyyah tetap mengutamakan kesatuan universal yang kuat agar
dapat menghalau serangan dari luar. Ibn Taimiyyah juga membenarkan adanya
dualisme kepala negara dalam suatu masa jabatan yang sama. Dalam hal tersebut, Ibn
Taimiyyah sepertinya lebih cenderung bersikap pragmatis dan relistis dalam
menghadapi masalah disintegrasi politik. Namun, pada realitasnya konsep
pemerintahan universal sebagai prinsip teori khalifah al-Mawardi tidak dapat
diterapkan begitu saja apabila kondisi dunia Islam tengah kacau-balau. Hal ini
dikarenakan adanya teritori dan kemajemukan masyarakat Islam yang tidak dapat
dipungkiri. Bagi Ibn Taimiyyah, masyarakat Islam membutuhkan kepala negara yang
benar-benar kuat dan berkuasa, bukan hanya menjadi simbol belaka.
E. Kesimpulan
Buku ini secara umum membahas mengenai bernegara dalam Islam sebagai wujud
konsep nation state yang diujarkan oleh banyak tokoh mulai dari pemahaman konservatif
hingga pemahaman kontemporer. Semua pemahaman disajikan dari berbagai perspektif
tokoh yang berbeda-beda. Hal ini menjadikan buku ini kompleks dan terasa lengkap
berkaitan dengan konsepsi Negara Islam yang seringkali menimbulkan miskonsepsi dalam
pemahaman masyarakat Indonesia.
Dalam bab 4 di buku ini, penulis menjabarkan beberapa secara detail mengenai konsepsi
bernegara dalam Islam melalui perspektif para ulama klasik dan pertengahan. Dalam bab
ini, penulis menghadirkan perspektif dari empat tokoh mengenai konsepsi bernegara dalam
Islam, yaitu menurut perspektif Imam Al-Mawardi, Ibn Taimiyyah, Ibn Khaldun, dan dan
Al-Farabi. Masing-masing tokoh menawarkan pendapat yang berbeda mengenai konsepsi
bernegara dalam Islam. Segala pendapat masing-masing tokoh didasari dan dipengaruhi dari
pemikiran yang tampaknya sejalan dengan zaman dan lingkungan di mana mereka berada.
Semua itu tak luput dari hal-hal yang hadir di setiap kehidupan masing-masing tokoh.
Setelah melihat pendapat-pendapat mereka, saya menyimpulkan bahwa segala konsepsi
pemikiran mereka mengenai bernegara dalam Islam terkait pemikiran abad klasik atau
pertengahan memiliki kesamaan maupun perbedaan antara satu dengan yang lain. Bahkan,
setiap konsepsi mereka memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Setiap
tokoh di zaman selanjutnya memiliki perkembangan tersendiri terhadap pemikirannya yang
membedakannya dengan tokoh-tokoh sebelumnya. Maka dari itu, segala pendapat mereka
memiliki kelemahan atau kesalahan tersendiri apabila disesuaikan dengan zaman saat ini.
Hal itu dikarenakan pemikiran konsepsi mereka mengenai negara Islam sesuai dengan
pemikiran pada zamannya. Tak ayal setiap pendapat mereka mengalami perkembangan
seiring berkembangnya zaman yang menjadikan konsepsi atas pemikiran mereka semakin
tersempurnakan dan dijadikan acuan oleh para tokoh-tokoh pemikir di zaman selanjutnya.
Kehadiran keempat tokoh tersebut cukup mewakili dalam hal memberikan gambaran
konkret mengenai konsepsi bernegara dalam Islam pada abad klasik dan pertengahan.