Review Bab Buku: "Diskursus Bernegara Dalam Islam Dari Perspektif Historis, Teologis, Hingga Keindonesiaan"

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 19

Review Bab Buku

“Diskursus Bernegara dalam Islam; dari Perspektif Historis, Teologis, hingga Keindonesiaan”

A. Identitas Buku
Judul Diskursus Bernegara dalam Islam; dari Perspektif Historis,
Teologis, hingga Keindonesiaan
Penulis Thohir Luth, Moh. Anas Kholish, Moh. Zainullah
Perancang Sampul Fuad Ibrahim
Penata Letak Ali Manshur
Pracetak dan Tim UB Press
Produksi
Penerbit UB Press, Malang
Terbit Cetakan Pertama, 2018
Jumlah Halaman i-xii + 254 halaman
ISBN 978-602-432-675-3
Harga Rp100.000 + 20% = Rp85.000

B. Preview
Dunia Barat kini dilanda gelombang populisme yang ditandai oleh penguatan partai
sayap kanan, seperti halnya di Indonesia. Islam-politik yang sebelumnya kurang memiliki
ruang, kini tampak menghiasi ruang-ruang publik dengan slogan fomalisasi Syariah.Tak
ayal, mimpi untuk menghidupkan kembali cita-cita Indonesia sebagai Negara Islam (Islamic
state) kembali menyeruak.
Pemahaman masyarakat mengenai konsepsi Negara Islam masihlah didominasi
pengertian klasik (Khalifah, Daulah, Imamah, Pan-Islamisme, dsb). Padahal hakikatnya,
pemaknaan ide Negara Islam banyak dikembangkan oleh para pemikir kontemporer
berhaluan revisionis yang menegoisasikan antara syariah dan negara berkonsep nation-
state. Para pemikir kontemporer tersebut, seperti Mohammad Husain Hikal, Fadzlur
Rahman, Ali syariati, dan lain-lain, memiliki pemikiran yang lebih moderat dan progresif
dalam menafsirkan negara sebagai abstraksi penjelmaan nilai-nilai Islam. Akan tetapi,
pemikiran tersebut lambat laun tak terdengar lagi gaungnya di tengah munculnya berbagai
gagasan mengenai pembentukan Negara Islam secara formal.
Selain itu, Indonesia hadir dengan moderatisme Islam bergagasan nasionalisme yang
sejak kelahirannya tidak berdasarkan pada ajaran agama, namun tidak pula sebagai Negara
Sekuler. Hasilnya dapat terlihat dari adanya Pancasila yang berasal dari perpaduan
keduanya. Dengan begitu, Indonesia adalah panutan dalam hal penerapan Islam secara
mendasar dalam bentuk institusi modern.

C. Daftar Isi
Bab 1 Pengertian Negara Islam dalam Perspektif Islam

Bab 2 Konsep Bernegara dalam Islam


Bab 3 Bernegara dalam Islam Perspektif Aliran-Aliran Teologi
Bab 4 Bernegara dalam Islam Perspektif Ulama Klasik dan Pertengahan
Bab 5 Konsepsi Bernegara dalam Islam Perspektif Ulama Kontemporer: Sebuah
Genre dari Kondisi Fundamental hingga Konsep Liberal
Bab 6 Melacak Akar Sejarah Hibridasi Islam dan Nation Perspektif Keindonesiaan
Bab 7 Bernegara dalam Islam Perspektif Pemikir Hukum Tata Negara di Indonesia

D. Review Bab 4 Bernegara dalam Islam Perspektif Ulama Klasik dan Pertengahan
4.1 Bernegara dalam Islam Perspektif Imam Al-Mawardi
Abu al-Hasan Ali ibn Habib al-Mawardi atau yang lebih dikenal dengan
al-Mawardi, lahir pada tahun 364 H/974 M di Basrah, Irak. Kemudian, wafat pada tahun
450 H/1058 M. Kondisi sosial politik yang terjadi pada masa kehidupan al-Mawardi
penuh dengan serangkaian perpecahan atau disintegrasi politik di beberapa wilayah
yang ditaklukann oleh Daulah Bani Abbasiyah. Pada saat itu keadaan Baghdad yang
menjadi pusat pemerintahan tidak mampu membendung tekanan dari daerah-daerah
taklukannya yang memberontak ingin menentukannya nasibnya sendiri atau dengan
kata lain ingin memerdekakan daerahnya dari jerat takluk dinasti Abbasiyah. Dinasti-
dinasti kecil yang menginginkan kemerdekaan semakin gencar mengadakan
perlawanan karena tidak ingin semakin tersubordinasi oleh rezim Abbasiyah. Di sisi
lain, faksi-faksi politik yang mengalami pergeseran sehingga menimbulkan perbedaan
pendapat dalam tubuh dinasti Abbasiyah disebabkan oleh adanya persaingan
antargolongan elit atau pejabat-pejabat tinggi dengan para pejabat militer kerajaan. Hal
tersebut menjadi penyebab dari melemahnya cengkraman kekuasaan dinasti Abbasiyah
di beberapa daerah taklukan. Ketika keadaan semakin genting, otoritas Khalifah dalam
menentukan arah kebijakan Negara semakin kabur dan hilang. Secara de jure memang
Khalifah yang menjadi penguasa tertinggi, namun secara de facto para menteri yang
berkebangsaan Turki dan Persia yang menjalankan tampuk kekuasaan tertinggi.
Pada situasi genting yang tidak menentu demikian, al-Mawardi melihat adanya celah
yang dapat dijadikan kesempatan untuk memanfaatkan keadaan. Maka, tidak heran jika
al-Mawardi sebagai pejabat inti pemerintahan dapat berleluasa melenggang di tampuk
kekuasaan tertinggi yang sedang mengalami gejolak atau turbulensi politik. Dalam
perjalanan al-Mawardi sebagai pakar hukum, ia memiliki rekam jejak yang cemerlang.
Dengan menjadi ahli hukum yang berkiblat di Syafi’i, ia tercatat pernah menduduki
jabatan sebagai Hakim di berbagai kota. Bahkan, al-Mawardi pernah menduduki
puncak otoritas tertinggi sebagai seorang hakim dengan menjabat sebagai Ketua
Mahkamah Agung (Qadhi al-Qudhat) di Baghdad pada masa pemerintahan Khalifah
al-Qadir (991-1031 M). Selain itu, al-Mawardi dengan keahliannya dalam berdiplomasi
berhasil menjadi mediator atau perantara antara Pemerintahan Bani Abbasiyah dengan
Buwaihi yang saat itu telah menguasai panggung politik di Jazirah Arab. Al-Mawardi
berhasil memandu jalannya perundingan tersebut dengan menghasilkan suatu
kesepakatan bahwa Bani Abbasiyah tetap di posisi tertinggi sebagai Khalifah,
sementara kekuasaan politik berada di tangan orang-orang Buwaihi. Kesepakatan ini
telah memuaskan kedua belah pihak. Atas jasa al-Mawardi yang berhasil mengantarkan
pihak Buwaihi ke kursi kekuasaan, maka tidaklah heran apabila al-Mawardi menjadi
begitu disegani oleh para emir1 Buwaihi yang di samping itu menganut paham Syiah.
Pada masa itu, tampuk kekuasaan yang sesungguhnya memang dipegang oleh orang-
orang Buwaihi yang Syiah. Selama masa-masa emas Buwaihi (945-1055 M), mereka
menaikkan dan menurunkan khalifah sesuai dengan kemauan atau kehendak mereka
saja. Namun pada kenyataannya, konsep al-A’immah min Quraisy2 yang saat itu masih
begitu kuat di kalangan umat Islam, menjadikan orang-orang Buwaihi tidak berani
serta-merta merebut kekhalifahan. Hal tersebut menjadikan mereka sudah cukup puas
hanya dengan mengendalikan khalifah-khalifah tanpa harus menduduki jabatan itu.
Ketertarikan al-Mawardi terhadap fiqh syiasah3 dimulai ketika ia belajar dari ulama
termahsyur di Bashrah, yaitu Syeh al-Shamiri dan Syeh Abu Hamid. Saat itulah minat
dan ketertarikan al-Mawardi pada disiplin ilmu tersebut mulai berkembang pesat hingga
mengantarkan dirinya menjadi seorang praktisi dan pemikir politik Islam. Al-Mawardi
dengan beberapa karya monumentalnya, seperti Al-Ahkam al-Sulthaniyah, Siyasah al-
Muluk, Qawanim al-Wizarah, Adab al-Dunya wa al-Din, al-Hawi, dan al-Iqna,
menjadi acuan utama para pemikir Islam terkait politik Islam.
Al-Mawardi mengartikan eksistensi Imamah atau kepemimpinan yang
dilembagakan bertujuan untuk menggantikan kenabian atau nubuwah guna melindungi
agama dan instrumen-instrumen negara untuk mengatur kehidupan dunia. Lebih lanjut,
al-Mawardi mengatakan dalam bukunya, Al-Ikhkam al-Sulthaniyah, bahwa
intitusionalisasi Imamah sebagai sistem pemerintahan merupakan fardhu kifayah4 atas
kesepakatan ulama. Pandangan ini nyatanya bertolak belakang dengan kenyataan atau
realitas sejarah umat Islam di masa al-Khulafa’ al-Rasyidin dan para Khalifah

1
Kepala pemerintahan (komandan atau pangeran) Arab; gelar para wali negeri Turki. (kbbi.com)
2
Hak kekhalifahan adalah milik orang Quraisy; “keturunan Quraisy” dalam prasyarat imamah (kepemimpinan)
sebagai sebuah ijma (ulama)” (Ridwan, M., Quraisy dan Hegemoni Kuasa Atas Agama, Diroyah: Jurnal Ilmu
Hadis 3, 2018, hlm. 1)
3
Ilmu tata Negara Islam yang secara spesifik membahas tentang seluk-beluk pengaturan kepentingan umat
manusia pada umumnya dan Negara pada khususnya, berupa penetapan hukum, peraturan, dan kebijakan oleh
pemegang kekuasaan yang bernafaskan atau sejalan dengan ajaran islam. (dadansetiana.wordpress)
4
Kewajiban bersama bagi mukalaf yang apabila sudah dilaksanakan oleh seseorang di antara mereka, yang lain
bebas dari kewajiban itu. (lektur.id)
sesudahnya, baik dari kalangan Bani Umayah, maupun kalangan Bani Abbasiyah
sebagai satu-kesatuan politik umat Islam. Keberadaan institusi tersebut menjadi awal
permulaan dalam mencapai tujuan yang hendak dicapai, sebagaimana yang disebutkan
dalam suatu kaidah ushul fiqh5, yaitu ma la yatimmu al-wajib illa bihi, fahuwa wajib,
artinya suatu kewajiban tidak sempurna, kecuali melalui sarana atau alat, maka berbagai
instrumen tersebut juga menjadi wajib. Dengan kata lain, dalam upaya menciptakan dan
memelihara kemaslahatan atau kepentingan bersama hukumnya wajib, maka negara
yang dalam hal ini sebagai sarana untuk menciptakan kondisi tersebut secara otomatis
pun menjadi wajib (fardhu kifayah). Pernyataan tersebut selaras pula dengan kaidah-
kaidah amr bi syay’ amr bi wasa’ilih 6 di mana negara merupakan sarana penghubung
untuk menciptakan kemaslahatan bagi umat Islam.
Al-Mawardi juga menetapkan persyaratan terkait proses pemilihan kepala negara
yang harus memenuhi dua kriteria, antara lain: Pertama, haruslah ahl al-ikhtiyar bagi
pemilihnya atau orang yang memiliki hak untuk memilih khalifah kepada negara.
Dalam hal ini merujuk pada pemilih pemimpin yang haruslah berkualifikasi adil,
mengetahui betul calon pemimpin yang akan dipilih, berwawasan luas, dan bijaksana
sehingga nantinya dapat memilih pemimpin yang benar-benar mampu mengelola
negara dengan baik. Kedua, harus ahl al-imamah bagi kandidat kepala negara atau
seseorang yang berhak menduduki posisi kepala negara. Dalam hal ini merujuk pada
kandidat kepala negara yang harus berkualifikasi adil, memiliki keilmuan yang cakap
dan tinggi untuk berjihad, sehat secara jasmani7, memiliki kemampuan dalam
menjalankan dan mengelola negara demi keejahteraan rakyat, memiliki keberanian
dalam melindungi teritori Islam, berjihad dalam memerangi musuh, serta berasal dari
kalangan Quraisy.
Terkait ahl al-hall wa al ‘aqd8 yang ada dalam sistem pemerintahan Islam
dikarenakan adanya suatu perintah dalam Al Qur’an untuk bermusyawarah.
Musyawarah tersebut diartikan para ahli sebagai salah satu sistem hukum dalam Islam
dan juga metode hidup dalam pemerintahan. Dalam konsepnya, Al-Mawardi
menyebutkan ahl al-hall wa al ‘aqd dengan Ahl Al-Ikhtiyar karena sesungguhnya
merekalah yang memilih khalifah. Namun, al-Mawardi tidak menjelaskan lebih lanjut
terkait mekanisme penentuan komposisi dari ahl al-hall wa al ‘aqd karena dalam
praktik penentuan keanggotaan dewan tersebut nyatanya ditentukan oleh kepala negara.
Hal ini menjadikan sifat dewan tersebut menjadi tidak independen dan berdampak pada
ahl al-hall wa al ‘aqd tidak dapat melaksanakan tugas-tugas kenegaraan berupa kendali

5
Ilmu hukum dalam Islam yang mempelajari kaidah-kaidah, teori-teori dan sumber-sumber secara terperinci
dalam rangka menghasilkan hukum Islam yang diambil dari sumber-sumber tersebut. (Usul Al Fiqh, Taha Jabir
Al-Alwan)
6
Perintah untuk mengerjakan sesuatu berarti juga perintah untuk mengerjakan penghubung-penghubungnya.
7
Syarat mutlak kepala negara sebagai cerminan kewibawaan negara. Akan berbahaya apabila kepala negara
mengalami cacat fisik sehingga tidak mampu menjalankan roda pemerintahan dengan baik.
8
Dewan atau orang-orang yang berhak memilih dan memberhentikan kepala negara.
terhadap penguasa sebagai refleksi dari prinsip check and balances9 dalam sistem
ketatanegaraan.
Terkait proses pengangkatan kepala negara menurut hasil pemikiran al-Mawardi
hanya berdasar pada keharusan untuk menyelidiki secara cermat terpenuhinya syarat-
syarat kandidat kepala negara. Pada umumnya, kandidat yang berhasil tersaring
kemudian dimintai kesediannya untuk menjadi kepala negara, namun al-Mawardi
memaksa atas kandidat karena jabatan dalam penyelenggaraan negara harusnya
dianggap sebagai kontrak atau perjanjian yang berlandaskan sikap kesukarelaan.
Apabila kandidat kepala negara bersedia untuk dipilih, maka kontrak sosial antara
kepala negara dengan masyarakat yang diwakili oleh ahl al-ikhtiar mulai diberlakukan.
Setelah itu, para kandidat yang terpilih akan melakukan bay’ah atau sumpah yang
kemudian perintahnya akan diikuti oleh masyarakat Islam.
Kontrak sosial yang telah disahkan melahirkan hak dan kewajiban timbal balik
antara kepala negara sebagai penerima amanah dan masyarakat sebagai pemberi
amanah. Dalam hal ini, Al-Mawardi menjabarkan secara terperinci sepuluh kewajiban
yang harus dilaksanakan oleh kepala negara, yaitu: 1) memelihara agama;
2) menegakkan hukum di antara rakyatnya dan menyelesaikan sengketa agar tidak
terjadi penganiayaan; 3) menjaga keamanan dalam negeri agar masyarakat dapat
menjalankan aktivitasnya dan melakukan perjalanan dengan aman dan nyaman; 4)
menegakkan hudud; 5) membentuk tentara yang kuat agar dapat melindungi negara dari
serangan musuh; 6) melaksanakan jihad kepada seseorang yang menolak ajaran Islam
setelah diajak; 7) mengumpulkan harta fa’i dan zakat terhadap orang-orang yang
ditimpakan kewajiban untuk membayarnya; 8) mendistribusikan harta tersebut kepada
masyarakat yang berhak; 9) menyampaikan amanah; 10) memperhatikan seluruh aspek
yang dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap politik pemerintahan agar
masyarakat dapat memelihara agamanya.10
Pandangan al-Mawardi mengenai kontrak sosial merupakan salah satu bentuk
pemikiran maju yang kini diaplikasikan oleh setiap negara modern sebagai legitimasi
antara yang berkuasa dan yang dikuasainya. Kontrak sosial merupakan bentuk
penerapan dari asas check and balances sehingga asas tersebut menjadi landasan rakyat
agar dapat mengontrol kekuasaan. Dalam menguraikan teori kontrak sosialnya secara
implisit, al-Mawardi membuka kemungkinan terhadap mekanisme impeachment11
kepala negara. Hal tersebut merupakan pemikiran asing di kalangan Sunni pada abad-
abad klasik dan pertengahan, namun nyatanya terdapat relevansi atau hubungan dengan
masa modern seperti sekarang ini. Hal ini menggarisbawahi terkait hubungan antara
kepala negara dengan rakyatnya merupakan hubungan yang dilandasi dasar saling
percaya. Oleh karena itu, apabila kepala negara sudah tidak mampu lagi melaksanakan
kepercayaan yang diberikan oleh rakyat, maka kepala negara harus mengembalikan
amanah tersebut kembali kepada rakyat.

9
Sebuah sistem aturan yang menegaskan adanya mekanisme saling kontrol di antara cabang kekuasaan untuk
mencegah terkonsentrasinya kekuasaan dalam satu cabang sehingga mendominasi cabang kekuasaan yang lain.
(Kamus hukum)
10
Ibid, hlm 7.
11
Istilah bahasa Inggris yang berarti pendakwaan, tuduhan, atau panggilan untuk bertanggungjawab.
Dalam keterkaitan antara agama dan kepala negara, al-Mawardi berpendapat bahwa
kepala negara merupakan pelindung agama dalam menjaga kemurniannya, mencegah
muslim dari hal-hal yang menyimpang atau menyesatkan, mencegah muslim dari
kemurtadan, serta melindunginya dari perbuatan mungkar. Atas dasar hubungan timbal
balik antara penguasa dengan agama, al-Mawardi berpendapat bahwa mengangkat
penguasa yang berwibawa dan sekaligus tokoh agama adalah suatu kewajiban karena
dengan begitu agama akan mendapatkan perlindungan dari negara dan pemerintahan
dapat berjalan dengan baik di atas jalur agama.
Beralih ke posisi yang lainnya, yaitu rakyat sebagai pelaksana hukum, wajib
mentaati dan mematuhi hukum dan kepala negara, baik kepala negara yang adil,
maupun jahat sekalipun atau fajir. Al-Mawardi mengutip dari surah An-Nisa’ 4:59 yang
mewajibkan ketaatan kepada Allah Swt., Rasul-Nya, dan ulil amr (para pemimpin).
Selain itu, al-Mawardi juga mengutip hadist Nabi Muhamad saw. yang menyatakan:
“Kelak akan ada pemimpin-pemimpin kamu sesudahku, baik yang adil maupun jahat.
Dengarkan dan taatilah mereka sesuai dengan kebenaran. Jika mereka baik, maka
kebaikannya untuk kamu dan untuk mereka, tetapi apabila mereka jahat, maka akibat
baiknya untuk kamu dan kejahatannya akan kembali pada mereka.”
Namun, di satu sisi, al-Mawardi mengajukan pengecualian terhadap pemimpin yang
tidak boleh ditaati apabila dalam dirinya terdapat salah satu sifat berikut, yaitu:
1) menyimpang dari keadilan (melakukan perbuatan fasik); 2) kehilangan satu fungsi
organ tubuhnya; 3) dikendalikan oleh orang di dekatnya atau ditawan oleh musuh.12
Dalam halnya sikap tidak adil yang dilakukan oleh suatu negara dapat terlihat dari
kecenderungan seorang kepala negara yang melakukan perbuatan syubhat13 sehingga
berdampak pada merosotnya kredibilitas atau kepercayaan terhadap kepala negara yang
berlanjut pada ketidaklayakan kepala negara dalam memegang tampuk kekuasaan lagi.
Berkaitan dengan hilangnya kemampuan fisik kepala negara dapat ditafsirkan
dengan hilangnya fungsi pancaindra yang ada di tubuh, cacat anggota badan, atau
hilangnya kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum. Namun, al-Mawardi tetap
mempertahankan hak kekhalifahannya dengan menghapuskan ketaatan rakyat apabila
disebabkan oleh hilangnya kemampuan pancaindra. Kemudian, al-Mawardi
menempatkan suatu tingkatan di atas itu, bahwa seorang khilafah kehilangan hak
kekhalifahannya sekaligus dengan ketaatan rakyat apabila mengalami kehilangan
fungsi akal dan penglihatan. Maka dari itu, fungsi akal dan penglihatan menjadi hal
yang sangat penting bagi seorang kepala negara dalam melaksanakan tugas kenegaraan.
Sementara itu, dapat dikatakan bahwa apabila khalifah kehilangan pancaindra yang
lain, seperti indra penciuman dan perasa tidak menyebabkan seorang khalifah
kehilangan hak kekhalifahannya dan ketaatan rakyat dikarenakan hal tersebut tidak
relevan atau tidak berkaitan terhadap tugas-tugas kenegaraan dan tidak sekalipun
mengganggu fungsi akal. Namun, untuk khalifah yang kehilangan indra pendengaran
dan bicara, masih mengalami perdebatan di antara kalangan ulama.

12
Luth, Thohir, dkk. Diskursus dalam Bernegara Islam; dari Perspektif Historis, Teologis, hingga
Keindonesiaan. 2018. hlm. 83
13
Istilah di dalam Islam yang menyatakan tentang keadaan yang samar tentang kehalalan atau keharaman dari
sesuatu.
Kemudian maksud al-Mawardi mengenai khalifah yang dikendalikan oleh orang
didekatnya ialah apabila orang-orang di sekitarnya yang menguasai, sementara khalifah
melakukan perbuatan yang sewenang-wenang, maka mereka harus segera
ditindaklanjuti. Begitu juga dengan khalifah yang ditawan musuh dan tidak dapat
melarikan diri, maka umat Islam harus segera mencari pengganti kepala negara demi
keberlangsungan roda pemerintahan dan menghindari kekosongan kekuasaan.
Namun, terdapat kekurangan dari teori ketatanegaraan al-Mawardi karena nyatanya
ia hanya menyebutkan mekanisme pengangkatan khalifah, tanpa menjabarkan
mekanisme pemberhentian khalifah. Hal ini menunjukkan bahwa al-Mawardi memihak
pemerintahan Abbasiyah. Saat itu, al-Mawardi telah melihat realitas politik di mana
khalifah-khalifah Abbasiyah yang hanya dijadikan boneka politik oleh pejabat negara
berkebangsaan Turki dan Persia. 14Keadaan diperburuk dengan munculnya kerajaan-
kerajaan kecil di wilayah timur Baghdad yang secara perlahan melemahkan kekuatan
Abbasiyah yang sudah mendapat perlawanan dari daerah-daerah taklukannya yang
menuntut otonomi dan menentang kekuasaan pusat. Di lain sisi, keadaan semakin
diperparah dengan menguatnya golongan Buwaihi berpaham Syiah yang telah
menguasai sebagian besar ranah perpolitikan kerajaan. Para khalifah pun kewalahan
dalam menghadapi segala permasalahan yang ada sehingga kewibawaan dan kekuatan
khalifah lambat laun meredup.
Gagasan al-Mawardi sesungguhnya ingin menjadikan kepala negara sebagai
penguasa yang sebenar-benarnya dan berwenang menentukan kebijakan negara secara
independen, tanpa dipengaruhi oleh siapapun. Akan tetapi, al-Mawardi menyaksikan
realitas politik di masa akhir Abbasiyah yang menjadikan kepala negara hanya sebagai
simbol kekuasaan, tidak otonom dalam melaksanakan kebijakan, bahkan menjadi
boneka para petinggi lainnya. Oleh karena itu, al-Mawardi memaklumi pengendalian
terhadap khalifah Abbasiyah sebagai sesuatu yang wajar dan dapat diterima, namun
tetap harus dalam pertimbangan bahwa semua itu tidak akan membahayakan
kepentingan umat Islam dan negara. Pada akhirnya, al-Mawardi menerima realitas
politik saat itu, ketika khalifah Abbasiyah tidak lebih sekadar boneka politik para
pejabat negara.
Gagasan al-Mawardi mengenai teori mekanisme pengangkatan kepala negara yang
tidak diikuti dengan adanya mekanisme pemberhatian kepala negara secara ideal
tentunya dapat menjaga posisi khalifah Bani Abbas sementara waktu. Tindakan al-
Mawardi ini dipengaruhi oleh doktrin al-A’immah min Quraisy yang dianutnya dan
ketidakinginan al-Mawardi akan berakhirnya kekhalifahan Abbasiyah yang kelak dapat
saja tergantikan oleh golongan Buwaihi.

14
Sistem pemerintahan Bani Abbas dapat dibagi menjadi empat aspek, yaitu aspek khilafah, wizariah, kitabah,
dan hijabah. Khilafah ialah aspek kepala negara. Dalam hal ini, khalifah Abbas ialah penguasa tertinggi dan
harus berasal dari suku Quraisy. Dalam menjalani tugas-tugas kenegaraan, khalifah dibantu oleh para menteri
atau wazir. Dalam realitasnya, seringkali terjadi persaingan merebut pengaruh antara wazir dan hajib. Ketika
kekuasaan khalifah lengah atau melemah, mereka seringkali menguasai khalifah seakan-akan hanya sebagai
boneka bagi kepentingan-kepentingan mereka. Kekuasaan khalifah pun menjadi terbatas hanya di lingkup istana,
sedangkan urusan-urusan kenegaraan telah diatur oleh wazir atau hajib yang secara de facto mengendalikan
masalah-masalah politik. (Luth, Thohir, dkk. Diskursus dalam Bernegara Islam; dari Perspektif Historis,
Teologis, hingga Keindonesiaan. 2018. hlm. 85)
Secara lebih lanjut, al-Mawardi mengembangkan pula wazir tafwidh dan wazir
tanfidz dalam sistem ketatanegaraan. Wazir tafwidh ialah kementerian yang
wewenangnya lebih luas, seperti menentukan arah kebijakam politik dan berbuat atas
nama negara. Menurut al-Mawardi, seorang wazir tafwidh haruslah berasal dari
kalangan suku Quraisy. Adanya hak istimewa ini merefleksikan bahwa al-Mawardi
masih memiliki kecenderungan dan mencoba untuk mempertahankan kekuasaan
tertinggi atas bangsa Arab atau Quraisy. Sementara itu, wazir tanfidz merupakan
kementerian yang hanya bertugas sebagai pelaksana kebijakan yang diambil oleh
kepala negara dan tidak memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan secara
mandiri. Oleh karen ini, menurut al-Mawardi, posisi wazir tanfidz dapat diisi oleh
kalangan selain suku Quraisy.
Di lain sisi, al-Mawardi juga mengusahakan pengembalian kekuasaan yang
dipegang oleh Abbasiyah agar tidak mengalami kegoyahan maupun perpecahan dengan
memberi penegasan bahwa hanya terdapat satu pemerintahan yang resmi di masa itu.
Usaha al-Mawardi setidaknya memperlambat keruntuhan Abbasiyah dari sikap
perlawanan Fatimiyah yang berpusat di Mesir dan menuntut legitimasi.
Terlepas dari segala pemikiran al-Mawardi yang dalam beberapa sisi memihak
pemerintahan Sunni terlebih supremasi Arab atau Quraisy. Pemikiran al-Mawardi
mampu keluar dari kerangka berpikir Sunni yang menempatkan kepala negara sebagai
sosok yang tidak dapat disentuh oleh hukum. Beberapa gagasan pemikirannya bahkan
menjadi rujukan sistem pemerintahan modern yang kini dikembangkan para pemikir
barat.

4.2 Bernegara dalam Islam Perspektif Ibn Taimiyyah


Tak jauh berbeda dari al-Mawardi, Taqiyuddin Ibn Halim Ibn Taimiyah hidup di
masa-masa krisis ketika masyarakat muslim tengah mengalami disintegrasi atau
perpecahan politik. Taqiyuddin Ibn Halim lahir pada tahun 661 H/ 1236 M, di Harran15,
kota dekat Damaskus. Lima tahun sebelum kelahiran Ibn Taimiyah, tragedi besar
menimpa dinasti Abbasiyah. Ketika dinasti Abbasiyah tengah mengalami konflik
internal yang tak kunjung usai, tentara Mongol yang saat itu dipimpin oleh Hulagu
Khan membumihanguskan dinasti yang berpusat di Baghdad. Masa itu, jatuhnya dinasti
Abbasiyah di tangan tentara Mongol menandakan berakhirnya kejayaan politik Islam
di era Bani Abbasiyah yang telah berkuasa kurang lebih selama lima ratus tahun
lamanya. Di usia enam tahun, Ibn Taimiyyah mengungsi ke Damaskus bersama
ayahnya yang merupakan ulama besar bermadzhab Hanbali untuk menghindari
serangan tentara Mongol .
Setelah berakhirnya dinasti Abbasiyah, setiap penguasa di wilayah-wilayah bekas
taklukan Abbasiyah pun menyuarakan otonomi dari dinasti Abbasiyah yang telah

15
Pada masa lalu, terkenal sebagai salah satu Pusat Hellenisme yang penduduknya menyembah binatang
(sabi’un). Penduduk kota ini pernah mengusir Nabi Ibrahim a.s dalam pelariannya dari Kota Ur (Kaldan). Pada
masa Bani Abbas, kaum Hellenis yang masih menyembah binatang dilindungi oleh para khalifah karena dianggap
sebagai ahl al-kitab. Namun, Ibn Taimiyyah mengganggap mereka orang yang musyrik. Menurut Nurcholish
Madjid, kota kelahiran Ibn Taimiyyah sendiri melambangkan sebuah kontroversi yang kelak mewarnai
penampilan Ibn Taimiyyah yang polemis dan blak-blakan dalam menyampaikan pendapatnya. (Madjid,
Nurcholish. 1993. Kontroversi di Sekitar Ketokohan Ibn Taimiyyah. Jakarta: Paramadina, hlm. 2-3).
hancur. Mereka secara bebas menggunakan gelar-gelar kekhalifahan, kecuali dinasti
Mamalik di Mesir yang masih meneruskan tradisi kekhalifahan dinasti Abbasiyah
sebagai pengesahan kekuasaan atas mereka sendiri.
Beralih ke Damaskus yang merupakan kota metropolitas bermasyarakat heterogen16.
Dalam kondisi masyarakat yang multietnik dan multikultur ini, tak jarang terjadi
berbagai intrik politik yang seringkali memicu ketegangan dan konflik sehingga
stabilitas sosial dan politik masyaraka sulit tercapai. Hal ini juga diperparah dengan
kedatangan tentara Mongol yang mulai berusaha menguasai Damaskus setelah berhasil
menjatuhkan Baghdad.
Layaknya peribahasa buah tak jatuh jauh dari pohonnya, begitu pula ayah Ibn
Taimiyyah yang merupakan figur ulama bermadzhab Hanbali menurunkan sifat
konsisten dan teguh pendiriannya kepada Ibn Taimiyyah. Tak heran ia seringkali
terlibat silang pendapat dengan ulama-ulama lainnya. Tak jarang pula ia terseret intrik-
intrik politik yang diakibatkan oleh pertentangannya terhadap para penguasa. Pada
tahun 1302-1303 M, Ibn Taimiyyah ikut terjun ke medan perang dengan memimpin
pasukan melawan tentara Mongol yang hendak menguasai Damaskus dan berhasil
mengalahkannya.17 Kondisi sosial masyarakat sekitarnya yang pahit dan kelam
memengaruhi pola pikir Ibn Taimiyyah yang cukup kontroversial. Ia tampil sebagai
pemikir yang independen, apa adanya, dan tidak suka diintervensi. Hal inilah yang
kemudian menjadi bias pada setiap pemikiran politik Ibn Taimiyyah.18
Ibn Taimiyyah berpendapat bahwa pengaturan urusan umat adalah hal yang
terpenting dan diwajibkan oleh agama, namun ia berpendapat juga bahwa agama tetap
dapat hidup, meskipun tanpa negara. Oleh sebab itu, Ibn Taimiyyah menolak ijma’
sebagai dasar dari kewajiban tersebut. Berbeda dari al-Mawardi, metodologi yang
digunakan oleh Ibn Taimiyyah ialah pendekatan sosiologis. Ia percaya bahwa
kesejahteraan manusia hanya dapat dicapai dengan tatanan sosial masyarakat yang
saling berkaitan dan dibutuhkan seorang pemimpin yang dapat mengatur kehidupan
sosial tersebut.
Lebih lanjutnya, Ibn Taimiyyah menjabarkan bahwa Imamah hanyalah kebutuhan
bersifat praktik yang opsional dan bukanlah satu-satunya asas dasar dalam menegakkan
negara. Namun, Ibn Taimiyyah kemudian menggarisbawahi peran negara dalam
membantu agama. Ibn Taimiyyah kemudian menolak untuk mengakui kekuasaan Bani

16
Penduduk Damaskus terdiri dari muslim yang berasal dari berbagai madzhab, penganut keyakinan agama selain
Islam, dan kebangsaan yang berbeda-beda pula.
17
Qomaruddin Khan melukiskan kepribadian Ibn Taimiyyah sebagai seorang yang gagah berani dipadukan
dengan kesabaran dan ketabahan. Ia bertempur di medan tempur bila eksistensi umat Islam terancam. Sifat gagah
beraninya ini melebihi panglima perang lainnya karena bersumber dari ketulusan dan pengabdian, bukan dari
pendidikan militer. (Khan, Qomaruddin. 1995. Pemikiran Politik Ibn Taimiyyah. Bandung: Pustaka. hlm. 30).
18
Menurut Khan, ada beberapa alasan yang menyebabkan permusuhan antara ulama dengan Ibn Taimiyyah, yaitu:
pertama, Ibn Taimiyyah berhasil mengalahkan bangsa Mongol di Perang Saqhab 1302-1303 M. Hal ini tentu
semakin menambah kewibawaannya di tengah-tengah umat yang tentu menimbulkan kecemburuan dari musuh-
musuhnya; kedua, Ibn Taimiyyah dihormati pemerintah karena integrasinya yang independen; ketiga, Ibn
Taimiyyah menentang keras segala bid’ah dan mengecam tokoh-tokoh mistik, seperti Ibn’Arabi; keempat, Ibn
Taimiyah sangat konsisten pada pandangan madzhab Hanbali dan sangat bertentangan dengan ulama-ulama
Asy’ariyah dan Maturidiyah; dan kelima, cara-cara Ibn Taimiyyah yang polemis terkadang kasar sehingga
mempertajam konflik dengan para ulama.
Umayyah dan Bani Abbasiyah sebagai dasar dari filsafat Islam. Ia pun menolak untuk
menyatakan bahwa seorah khalifah jika hanya dijadikan boneka oleh para elit politik,
maka tidak pantas disebut khilafah. Hal ini bertolak belakang dengan anggapan al-
Mawardi juga kecenderungannya dalam menggunakan istilah “khilafah”, sedangkan
Ibn Taimiyyah selalu menggunakan istilah “imarah” untuk kenegaraan.
Teori-teori politik kenegaraan Ibn Taimiyyah memiliki beberapa perbedaan dengan
teori-teori politik kenegaraan al-Mawardi. Salah satunya, yaitu Ibn Taimiyyah yang
tidak memberi ruang terlalu banyak dalam proses pemilihan kepala negara. Hal ini
disebabkan karena Ibn Taimiyyah menolak konsep Khilafah ala Sunni yang
memberikan kewenangan pengangkatan kepala negara kepada ahl al-hall wa al’aqd,
seperti anggapan dasar al-Mawardi dalam konsep bay’ah oleh sebagai elit politik. Ibn
Taimiyyah bahkan menolak eksistensi ahl al-hall wa al’aqd. Hipotesisnya ini sejurus
dengan penolakannya terhadap praktik politik praktis di masa Barat Abbasiyah,
keberadaan ahl al-hall wa al’aqd hanya dijadikan alat legitimasi kekuasaan politik
penguasa. Ibn Taimiyyah pun menyatakan bahwa demokrasi perwakilan yang tercermin
dari adanya ahl al-hall wa al’aqd yang nyatanya tidak mencerminkan suara rakyat. Ia
pun mempertanyakan perihal ahl al-hall wa al’aqd yang mengklaim bahwa
keberadaannya mewakili rakyat, namun dipilih oleh kepala negara. Istilah ahl al-hall
wa al’aqd menurut Qamaruddin Khan sesungguhnya tidak dikenal dalam tradisi Islam,
namun populer setelah Abbasiyah berkuasa. Dengan adanya mekanisme tersebut, Ibn
Taimiyyah khawatir bahwa konsep tersebut dapat mengaburkan batas antara wilayah
agama dengan negara dan dapat menimbulkan otoritas kependetaan, seperti ajaran
Syiah dan Kristen yang tentunya akan mengurangi hak rakyat untuk memilih kepala
negara.
Dengan begitu, Ibn Taimiyyah menawarkan solusi alternatif terkait teori politik
kenegaraan, yaitu dengan mengembangkan konsep al-Syawkah. Ia menejelaskan bahwa
al-Syawkah dipilih oleh orang-orang yang berasal dari berbagai macam kalangan, serta
dihormati dan ditaati oleh masyarakat. al-Syawkah ini nantinya akan memilih kepala
negara dan melakukan sumpah setia kepada pemimpin negara yang kemudian diikuti
oleh rakyat. Dalam hal ini, yang menjadi pembeda antara teori keterwakilan Ibn
Taimiyyah dan al-Mawardi terletak di mekanisme pemilihan komposisi dewan
perwakilan. Ibn Taimiyyah menyebutkan dewan perwakilan tersebut harus dipilih oleh
rakyat melalui perwakilan tiap-tiap golongan, berbeda dengan al-Mawardi yang tidak
menjelaskan mekanisme pemilihan dewan sehingga kerapkali ditafsirkan sewenang-
wenang oleh kepala negara. Hal ini tentu dipikirkan Ibn Taimiyyah untuk menghindari
intervensi dan kemandirian dewan al-Syawkah.
Terkait hal tersebut, Ibn Taimiyyah memberikan contoh pada saat pengangkatan
Abu Bakar yang bukan atas dasar bay’ah Umar bin Khattab di Tsaqifah Bani Sa’idah,
begitu juga dengan pengangkatan Umar yang bukan atas wasiat Abu Bakar. Menurut
Ibn Taimiyyah, para khalifah tersebut menduduki kursi kekuasaan berdasarkan sumpah
setia yang diikrarkan oleh orang-orang Islam yang memiliki kekuatan (ahl al-Syawkah)
dan lalu diikuti oleh umat Islam lainnya. Seandainya saja umat Islam pada waktu itu
tidak menyetujui pengangkatan mereka, maka dapat dipastikan bahwa Abu Bakar,
Umar bin Khattab, maupun khalifah sesudahnya tidak berhak menjadi kepala negara.
Berdasarkan pandangan Ibn Taimiyyah ini, ia menghendaki adanya partisipasi luas dari
masyarakat Islam dalam memilih pemimpinnya, bertolak belakang dengan pendapat al-
Mawardi yang menyatakan bahwa kepala negara dapat dipilih, meskipun hanya dengan
perwakilan beberapa orang saja. Praktik tersebut dikhawatirkan hanya akan mengarah
pada pembenaran kepala negara melalui cara-cara pemaksaan yang tidak bersangkutan
atau tidak sesuai dengan konstitusi suatu negara serta tidak berlegitimasi rakyat luas.
Ibn Taimiyyah juga menentang kualifikasi syarat-syarat untuk calon kepala negara
yang dicetuskan oleh al-Mawardi. Untuk calon kepala negara, Ibn Taimiyyah hanya
menetapkan syarat kejujuran atau amanah dalam kewibawaan atau al-Quwwah dan
tidak terbatas hanya untuk suku Quraisy. Ibn Taimiyyah mengidentifikasi sifat jujur
seorang kandidat dengan ketakwaannya terhadap Allah Swt. Argumen tersebut
diperkuat dengan menyertakan kutipan surah an-Nisa ayat 58 yang kurang lebih isinya
memerintahkan untuk menyerahkan amanah kepada yang berhak untuk menerimanya.
Berdasarkan perintah ayat tersebut, maka pemilihan pejabat-pejabat yang
menjalankan roda pemerintahan terutama kepala negara haruslah berdasarkan pada
prinsip objektif dan bukan atas dasar pertimbangan subjektif-kolutif sehingga jelas
terlihat keahlian dan kemampuan mereka dalam bertindak secara profesional. Maka,
Ibn Taimiyyah kemudian meletakkan dasar prinsip pengelolaan pemerintahan yang
profesional dikenal sebagai sistem meritokrasi atau “the right man in the right place”.
Menelaah sikap Ibn Taimiyyah apabila dikaitkan dengan latar belakang sosial politik
di kehidupannya, tergambarkan bahwa semua itu adalah bentuk kekecewaan Taimiyyah
atas dinasti Abbasiyah yang selama masa kekuasaannya banyak melakukan
penyimpangan, seperti adanya perebutan kekuasaan oleh elit-elit tertentu serta khalifah
yang hanya dijadikan sebagai boneka para elit politik. Oleh karena itu, Ibn Taimiyyah
menekankan pentingnya dua syarat utama yang harus dimiliki oleh seorang kepala
negara atau khalifah, yaitu memiliki kejujuran dan kewibawaan. Ia menjabarkan pula
bahwa kewajiban seorang kepala negara adalah menegakkan amr ma’ruf nahi mungkar
sehingga apapun yang dikhendaki oleh Allah Swt. dapat terwujud dalam umat Islam.
Namun, Ibn Taimiyyah membuat suatu pengecualian, apabila terdapat dua orang
kandidat, maka yang lebih diutamakan adalah kandidat yang kuat dan berwibawa. Hal
ini dilandasi oleh pendapat Imam Madzhabnya, Ahmad bin Hanbal, bahwa seseorang
tersebut apabila baik atau saleh, namun lemah, maka kebaikannya hanya untuk dirinya
sendiri. Lain halnya apabila pemimpin tersebut kuat dan berwibawa, meskipun orang
tersebut jahat, maka kekuatannya akan sangat berguna bagi rakyatnya dan kejahatannya
hanya akan berpulang ke dirinya sendiri.
Terkait pendapat Ibn Taimiyyah mengenai ketaatan terhadap pemimpin negara,
dijelaskan bahwa kepala negara haruslah dipatuhi dan ditaati, meskipun berbuat kafir
ataupun zalim. Ibn Taimiyyah juga tidak menghendaki adanya perlawanan ataupun
pemberontakan kepada kepala negara. Selama kepala negara menjalankan keadilan dan
tidak mengarahkan pada perbuatan yang maksiat kepada Allah Swt. Pendapat Ibn
Taimiyyah ini diperkuat dengan kutipan hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan
Muslim, yang kurang lebih intinya mengatakan bahwa barang siapa yang melihat
sesuatu yang tidak disenangi dari pemimpinnya, hendaklah ia bersabar, dan barang
siapa yang ketika keluar dari pemerintahannya atau melakukan suatu pemberontakan,
maka ia akan mati dalam keadaan jahiliyah.
Dalam realitasnya, Ibn Taimiyyah tetap teguh pendirian terhadap pendapat-
pendapatnya, ia terjun lansung ke medan perang melawan tentara Mongol, tidak
menolak sekalipun segala bentuk hukuman yang ditujukan padanya apalagi menjadi
oposisi dan melakukan pemberontakan. Namun, terdapat kontradiksi dan kelemahan
dari setiap pendapat Ibn Taimiyyah terkait teori politik yang ada, yaitu: pertama,
adanya dasar kekuasaan bay’ah yang demokratis melalui ahl al-Syawkah pada awal
pengangkatan khalifah, namun ia pula menyetujui adanya penerapan gaya
pemerintahan yang otoriter. Kedua, adanya kelemahan dalam teori al-Syawkah terkait
mekanisme kontrol terhadap penguasa yang tidak dijelaskan secara spesifik lagi oleh
Ibn Taimiyyah.
Dalam teori-teorinya yang cenderung radikal dan membenarkan praktik
otoritarianisme, Ibn Taimiyyah tetap mengutamakan kesatuan universal yang kuat agar
dapat menghalau serangan dari luar. Ibn Taimiyyah juga membenarkan adanya
dualisme kepala negara dalam suatu masa jabatan yang sama. Dalam hal tersebut, Ibn
Taimiyyah sepertinya lebih cenderung bersikap pragmatis dan relistis dalam
menghadapi masalah disintegrasi politik. Namun, pada realitasnya konsep
pemerintahan universal sebagai prinsip teori khalifah al-Mawardi tidak dapat
diterapkan begitu saja apabila kondisi dunia Islam tengah kacau-balau. Hal ini
dikarenakan adanya teritori dan kemajemukan masyarakat Islam yang tidak dapat
dipungkiri. Bagi Ibn Taimiyyah, masyarakat Islam membutuhkan kepala negara yang
benar-benar kuat dan berkuasa, bukan hanya menjadi simbol belaka.

4.3 Bernegara dalam Islam Perspektif Ibn Khaldun


Wali al-Din ‘Abd al-Rahman ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Abi Bakr
Muhammad al-Hasan Ibn Khaldun atau biasa disebut Ibn Khaldun, lahir pada
1 Ramadhan 723 H atau 7 Mei 1332 M, di Tunisia. Ia berasal dari suku Arabia Selatan.
Ibn Khaldun melihat kekuasaan Islam yang semakin krisis, terjadi konflik dan intrik
politik pada internal umat Islam yang sesungguhnya bertentangan dengan semangat
Ukhuwah Islamiyah. Di wilayah Maghribi yang menjadi pusat peradaban islam,
membunuh dan saling menjatuhkan adalah hal yang sudah dianggap umum oleh
masyarakat sekitar bahkan seringkan disaksikan terutama oleh Ibn Khaldun pada
masanya. Di tengah kondisi yang kacau balau itu, Ibn Khaldun seringkali berganti-ganti
kepemimpinan, bahkan mengkhianati penguasa sebelumnya. Semua itu ia lakukan atas
dasar keselamatan dirinya.
Di usia 20 tahun, Ibn Khaldun mulai memasuki dunia perpolitikan. Pada masa itu,
ia seringkali terlibat dalam pertentangan kepentingan yang mengenai penguasa satu dan
lainnya. Pada tahun 1354 M, ia menjabat sebagai sekretaris Sultan Abu Inan dari Fez
(Maroko). Tiga tahun setelahnya, gerak-gerik Ibn Khaldun dicurigai oleh Sultan Abu
Inan sehingga ia dipecat dan dipenjarakan. Ia baru dapat keluar setelah Sultan Abu Inan
meninggal dunia. Kursi kekuasaan kemudian digantikan oleh Abu Zayyan, namun
Wazir al-Hasan Ibn Umar kemudian melakukan kudeta dan berhasil menaklukan al-
Sa’id Ibn Abi Inan yang merupakan putra mahkota kerajaan.
Wazir al-Hasan kemudian melihat daya cemerlang dan intelektual yang dimiliki Ibn
Khaldun sehingga saat itu juga ia mengembalikan posisi Ibn Khaldun seperti semula.
Namun, tampaknya kekuasaan Wazir al-Hasan tidak berlangsung lama karena ia
dikudeta oleh Manshur Ibn Sulaiman. Saat itu yang dilakukan Ibn Khaldun justru
berbalik arah ikut menjadi pengkhianat Wazir al-Hasan yang secara tidak langsung
telah berjasa terhadapnya. Ia ikut serta dalam proses kudeta dan kemudian mengabdi
kepada Ibn Sulaiman.
Akan tetapi, kesetiaan Ibn Khaldun terhadap Ibn Sulaiman tampaknya tak juga
berlangsung lama. Ia mulai melakukan kerjasama dengan Abu Salim Ibn Abi al-Hasan
untuk merancang strategi penggulingan Ibn Sulaiman. Usaha tersebut nyatanya berhasil
dan hal itu menjadikan Ibn Khaldun sebagai Sekretari Negara seperti sedia kala. Ketika
Abu Salim berkuasa, pemberontakan kembali terjadi dan kali ini dipimpin oleh Wazir
Sultan Tasyifin. Ibn Khaldun pun khawatir akan posisinya dan ia pun menginginkan
posisi yang lebih tinggi di pemerintahan, namun hal itu tidak disetujui oleh Umar Ibn
Abdullah sehingga terjadilah perselisihan yang pada akhirnya membuat Ibn Khaldun
memutuskan untuk keluar dari Fez dan pergi ke Andalusia.
Setibanya di Andalusia, Ibn Khaldun disambut dengan penuh keakraban oleh
penguasa Yusuf dari Bani Ahmar dan Ibn al-Khatib yang merupakan Perdana Menteri
di daerah Granada. Setahun di Granada, Ibn Khaldun kemudian diangkat menjadi
seorang Duta Besar yang diutus untuk Negara Kristen Castille, berpusat di kota Isabella
(Seville). Di Granada, pengaruh Ibn Khaldun semakin besar hingga membuat iri
Perdana Menteri Ibn al-Khatib. Hubungan keduanya pun menjadi terganggu dan hal itu
membuat Ibn Khaldun ingin segera pergi dari Granada. Di waktu yang sama, temannya,
Abu Abdillah, Sultan Buqi (Bijayah), berhasil menguasai kembali Tanta Buqi dan
mengajak Ibn Khaldun untuk bergabung dan menjadikannya sebagai Perdana Menteri.
Salah satu kelebihan Ibn Khaldun terdapat pada rasa berdedikasinya yang tinggi
terhadap ilmu pengetahuan, meskipun ia berada di tengah kesibukan sebagai pejabat
negara. Disamping dirinya yang menjalankan tugas kenegaraan, ia juga aktif
memberikan kuliah di masjid-masjid. Ketenangan Ibn Khaldun tak berlangsung lama
karena tiba-tiba muncul friksi kuat yang menentang antara Abu Abdillah dengan
sepupunya, yaitu Sultan Abu al-Abbas Ahmad yang ingin merebut kekuasaan di Buqi.
Akhirnya, Abu Abdillah pun wafat dan kekuasaan secara otomatis jatuh ke tangan Abu
al-Abbas. Ibn Khaldun kemudian berulah lagi dengan mencoba untuk mengabdikan diri
ke hadapan rezim al-Abbas, namun gagal sehingga ia harus melarikan diri ke Baskarah.
Akhirnya, Ibn Khaldun sampai pada titik jenuhnya terhadap seluruh intrik politik
yang tidak kunjung berakhir. Ia pun berencana untuk kembali ke Fez, namun ia merasa
citranya sudah sangatlah buruk di sana hingga akhirnya ia beralih ke Spanyol.
Setelah dari Spanyol, ia pun menuju Maghribi. Ia mulai meninggalkan ranah politik
dan memutuskan untuk memperdalam dan mengkaji ilmu pengetahuan. Pada masa itu,
ia menghasilkan karya magnum opusnya, yaitu kitab al-‘Ibar sebanyak enam jilid
dengan pengantar berjudul Muqqadimah. Ibn Khaldun menghabiskan delapan tahun
hidupnya di Maghribi dengan waktu empat tahun ia menulis kitabnya di Qal’ah Ibn
Salamah dan mengajar di Tunisia.
Pada tahun 784 H, Ibn Khaldun kemudian berangkat ke Mesir dan menjadi pengajar
di sana, tepatnya di Universitas al-Azhar, Kairo. Dua tahun berada di Mesir, setelah
menjadi praktisi sekaligus akademisi yang terkemuka, ia pun diangkat menjadi Hakim.
Lantas kehidupan Ibn Khaldun tak serta merta membaik, pengaruhnya yang begitu
besar menyebabkan ia difitnah oleh musuhnya hingga berakhir dengan penurunan
jabatannya. Walaupun demikian, ia tetap mengajar di Universitas al-Azhar.
Ibn Khaldun wafat pada tanggal 26 Ramadhan tahun 808 H (16 Maret 1406 H).
Menilik dari perjalanan hidupnya, terdapat beberapa hal, yaitu: Pertama, secara realitas,
Ibn Khaldun hidup pada masa di mana keadaan politiknya sangat keras dan kejam,
penuh dengan persaingan dalam hal politik. Kedua, Ibn Khaldun yang semula
menikmati pergulatan politik pada masa itu, akhirnya memutuskan untuk mundur dan
lebih mengembangkan ide gagasannya dalam hal pengetahuan. Pengalaman tersebut
tentu membawa banyak pengaruh dalam kelahiran berbagai karyanya.
Ibnu Khaldun berpendapat bahwa organisasi masyarakat merupakan suatu
keharusan bagi umat manusia. Manusia pada hakikatnya tidak dapat memenuhi
kebutuhannya seorang diri sehingga manusia membutuhkan manusia lainnya. Pendapat
Ibn Khaldun ini berdasar pada karakteristik mendasar mengenai hubungan manusia
yang terdapat dalam karya Muqqadimah miliknya.
Ibn Khaldun beranggapan bahwa syarat utama terbentuknya peradaban ialah dengan
membentuk suatu pengorganisasian terhadap fungsi-fungsi masyarakat yang
terstruktur. Dalam hal ini, Ibn Khaldun tidak secara eksplisit menyebut istilah
organisasi masyarakat tersebut, namun secara fungsional dapat dikatakan bahwa hal
tersebut adalah suatu negara. Dalam suatu negara haruslah terdapat pemimpin yang
mengoperasikan fungsi-fungsi organisasi masyarakat seperti yang seharusnya.
Pemimpin ini haruslah berwibawa dan menjaga perdamaian serta keamanan di antara
masyarakat. Manusia pada dasarnya cenderung memangsa manusia lainnya (homo
homini lupus), maka untuk mencegah perbuatan semena-mena antara manusia satu
dengan manusia lainnya, dibutuhkan pemimpin yang kuat dan disegani oleh
masyarakat.
Selayaknya pemikir politik Islam, Ibn Khaldun juga berpendapat mengenai dasar
hukum penegakan dalam pemerintahan atau suatu negara. Dalam hal ini, Ibn Khaldun
menjabarkan bahwa pengecaman syariat hanya berada pada akibat buruknya saja,
namun tidak dengan kekuasaannya itu sendiri. Ia juga menolak pendapat yang
mengatakan bahwa Imamah tidak diperlukan atau tidak membantu. Ibn Khaldun
berpegangan pada suatu hukum yang menerapkan Imamah adalah kewajiban bersama
dan penegakannya diserahkan kepada ahl al-hall wa al-‘aqd.
Menurut Ibn Khaldun, kepemimpinan hanya akan didasarkan pada pelaksanaan
kekuasaan yang efektif bila solidaritas kelompoknya kuat. Maka, kuat lemahnya suatu
negara ditentukan oleh solidaritas kelompok dalam masyarakat. Ibn Khaldun juga
berpendapat bahwa rasa solidaritas ashabiyah ini timbul akibat adanya pertalian darah
atau kaum yang berkecintaan terhadap golongannya sehingga terciptalah persatuan dan
jalinan keakraban di antara mereka. Selain itu, menurut Ibn Khaldun, agama merupakan
faktor inti dalam mempersatukan masyarakat yang memiliki perbedaan pandangan.
Agama harus berjalan seirama dengan solidaritas kelompok sehingga dapat memberi
kontribusi dalam kekuasaan politik dan negara.
Dalam pandangan Ibn Khaldun, praktik pemerintahan dibagi menjadi dua, yaitu:
Pertama, pemerintahan yang berlandaskan agama (siyasah diniyah), diterapkan oleh
para Nabi saw. Kedua, pemerintahan berdasarkan pemikiran manusia (siyasah
‘aqliyah) yang merupakan hasil rumusan pemikiran dalam membentuk negara.
Berkaitan dengan praktik pemerintahan, Ibn Khaldun juga menjabarkan fase
perkembangan pada suatu dinasti atau kerajaan mulai dari awal kelahiran hingga akhir
kehancurannya. Fase pertama, penguasa yang memimpin masyarakatnya dengan
modal sosial, relatif berpemikiran terbuka, dan demokratis. Fase kedua, penguasa yang
awalnya mendapat dukungan politik kuat, namun secara berangsur-angsur mulai
otoriter dan sewenang-wenang. Fase ketiga, para penguasa mulai teperdaya masa-masa
kejayaan dan mulai hidup berfoya-foya. Fase keempat, para penguasa telah merasa puas
dan terlena dalam menikmati segaal fasilitas yang telah dibangun oleh penguasa
terdahulu. Fase kelima, fase hidup boros dan berlebihan. Pada periode ini kehancuran
dinasti mulai terlihat. Mengenai fase-fase tersebut, Ibn Khaldun pun berpendapat bahwa
keadaan maju atau terpuruknya suatu dinasti kerajaan ditentukan oleh peranan agama.
Pendapat dari Sarjana Barat Rosenthal berikut ini menguatkan pemikiran Ibn
Khaldun yang dianggap sangatlah relevan tidak hanya pada masanya. Semua
pandangan Ibn Khaldun yang bernilai permanen terkait sosial-politik dan negara
dirangkum menjadi beberapa poin, antara lain:
a. Pembagian dan perbedaan kehidupan pedesaan dan kota serta keharusan
terbentuknya masyarakat urban dalam pembangunan peradaban.
b. Penemuannya terkait konsep ‘ashbiyah sebagai faktor penentu dalam aktivitas
politik.
c. Pemikiran mengenai agama Islam yang universal dan bermanfaat bagi kelangsungan
umat manusia secara luas.
d. Pandangannya terhadap realitas sosial yang memengaruhi kehidupan sosial dalam
berbagai aspek dengan kekuasaan pemerintahan.
e. Gagasannya terkait pengelompokan syiasah diniyah dan syiayah ‘aqliyah.
f. Mengenai perkembangan dinasti Islam yang dibangun atas kombinasi antara struktur
pemerintahan berdasarkan syariat dan rasio akal yang dimiliki manusai.
g. Menempatkan agama sebagai peranan penting dalam kehidupan politik dan negara.
h. Pemikirannya mengenai tingkatan perkembangan hukum yang menjabarkan mulai
pada awal kelahiran suatu peradaban hingga akhir kehancurannya.

4.4 Bernegara dalam Islam Perspektif Al-Farabi


Abu Nashr Muhammad Ibn Muhammad ibn Tarkas ibn Auzulagh atau yang biasa
dikenal sebagai al-Farabi, lahir pada tahun 257 H/870 M di kota Utrar (Farab) dan wafat
pada tahun 339 H/950 M di Damaskus. Al-Farabi lebih dikenal dengan sebutan Alph
Arabius di kalangan pemikir Eropa. Ia pernah mempelajari bahasa Arab di Baghdad,
belajar logika dengan Abu al-Basyar Matta ibn Yunus, dan mendalami filsafat dengan
Yuhanna ibn Khailan.
Setelah ia berumur 50 tahun, Al-Farabi pindah dari Utrar (Farab) ke Baghdad.
Sebelumnya, ia pernah singgah di Harran setelah kemudian kembali ke Baghdad.
Di Baghdad, kecerdasannya mencapai tingkatan tertinggi. Ketika ia berusia 70 tahun,
ia pergi meninggalkan Baghdad hingga hijrah ke Aleppo dan kemudian bertempat
tinggal di istana Saif al-Daulah yang saat itu merupakan tempat berkumpulnya para
pakar ilmu pengetahuan dan filsafat. Di istana tersebut, al-Farabi memperdalam ilmu
pengetahuan dan filsafatnya. Ketertarikannya dalam membaca dan menulis sungguh
luar biasa.
Al-Farabi berprinsip hidup sederhana (zuhud) sehingga ia tidak tertarik dengan
kemewahan dan kekayaan. Selain itu, ia juga berjiwa sosial tinggi. Hal itu dibuktikan
dengan kemurahan hatinya yang menyisihkan sisa tunjangan jabatan miliknya untuk
diberikan kepada fakir miski dan untuk amal sosial di Aleppo dan Damaskus.
Di kalangan publik, al-Farabi dikenal sebagai salah satu pelopor tokoh filsuf Islam
dalam berbagai disiplin ilmu. Maka, tak heran apabila filsuf Islam setelahnya, seperti
Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd banyak mengambil referensi sistem filsafat milik al-Farabi
untuk dikaji lebih dalam. Sepanjang karirnya sebagai filsuf, ia berusaha mengakhiri
pertentangan antara pemikiran Plato dengan Aristoteles. Berhubungan dengan hal itu,
ia pun membuat risalah al-jamu’u Baina ra’yay al-Hakimain, Aflathun wa Aristhu.
Berkat kecerdasannya dalam bidang filsafat, ia kemudian mendapat gelar sebagai al-
mu’allim al-tsani (guru kedua) setelah Aristoteles.
Memasuki abad pertengahan, al-Farabi sangat populer hingga banyak orang
mempelajari dan mendalami karya-karya tulisnya, bahkan sampai ditermahkan ke
banyak bahasa, salah satunya bahasa Ibrani. Sampai saat ini, naskah tulis tangan
tersebut masih tersimpah utuh di berbagai perpustakaan Eropa. Berikut ini beberapa
karya-karya milik al-Farabi, yaitu: 1) Aghrad Kitab Ma Ba’da al-Thabi’ah (intisari
buku metafisika); 2) Tashil al-Sa’adah (Mencari Kebahagiaan); 3) Uyun al-Masa’i
(Pokok-Pokok Persoalan); 4) Ihsa’ al-Ulum (Statistik Ulum); 5) Fushush al-Hikam
(Permata Kebijaksanaan).
Sebagai seorang filsuf Islam, al-Farabi cenderung membicarakan persoalan sosial
kemasyarakatan. Salah satu pendapatnya terkait hal itu, yaitu mengenai manusia yang
merupakan makhluk sosial yang cenderung menjalin kehidupan bermasyarakat
sehingga manusia tak mampu memenuhi kebutuhannya seorang diri tanpa bantuan
orang lain. Namun, tujuan bermasyarakat bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan
suatu individu, tetapi juga untuk menghasilkan berbagai faktor pelengkap hidup.
Pemikiran al-Farabi ini merefleksikan kepribadiannya yang mendapat pengaruh dari
keyakinan agama sebagai seorang filsuf Islam religius, dari hasil sintesis pemikiran
Plato dan Aristoteles yang dikaitkan dengan aktivitas politik, moral, akhlak, atau budi
pekerti. Beberapa karyanya yang membahas persoalan kemasyarakatan, yaitu al-
Siyasah al-Madaniyah (Politik Kekotaan, Politik Kenegaraan) dan Ara’ ahl al-Madinah
al-Fadhilah (Pikiran-Pikiran Penduduk Kota/Negara Utama).
Dalam buku Ara’ ahl al-Madinah al-Fadhilah milik al-Farabi memiliki persamaan
dengan buku Republic karya Plato yang sarat akan muatan pemikiran ala Platonisme
dan Neo-Platonisme. Dengan begitu, dapat dikatakan bahwa pemikiran Plato sangat
memengaruhi pemikiran para filsuf Islam dalam mengkaji permasalahan terkait sosial-
kemasyarakatan. Al-Farabi mengungkapkan dalam bukunya tersebut bahwa ia
membagi negara menjadi dua kelompok, yaitu:
1) Negara Utama (al-Madinah al-Fadhilah)
Ia mengibaratkan negara sebagai anatomi tubuh manusia yang saling berkaitan
dan memengaruhi antara satu sama lain. Apabila satu bagiannya terluka atau
menderita sakit, maka akan berdampak pada bagian tubuh lainnya. Maka,
dibutuhkan kerjasama yang ekstra dalam usaha untuk menguatkan kondisi tubuh
tersebut. Keseluruhan anggota tubuh memiliki titik utama yang penting dalam
menjalankan fungsi kerja setiap organ. Titik utama tersebut ialah hati dan akal,
namun al-Farabi menganggap bahwa hati adalah organ tubuh yang paling baik dan
sempurna.
Berdasarkan penggambaran tersebut, al-Farabi kemudian berpendapat bahwa
kebahagian dalam suatu masyarakat tidak akan tercapai apabila mekanisme
pembagian kerja tidak berjalan sebagaimana mestinya. Pembagian kerja tersebut
disesuaikan dengan keahlian dan kemampuan masing-masing masyarakat yang
diikuti oleh rasa kekeluargaan dan kerja sama yang baik. Untuk menciptakan alur
yang baik, maka dibutuhkan seorang pemimpin atau kepala negara. Dalam hal ini,
al-Farabi mengibaratkan pemimpin sebagai hati yang bertugas mengatur seluruh
organ tubuh. Setiap organ memiliki tingkatan yang berbeda terkait peranannya
dalam tubuh tersebut. Begitulah gambaran mekanisme pembagian kerja pada suatu
negara. Menurut al-Farabi, warga negara sangatlah beragam dalam hal kemampuan
dan keterampilan yang tentu saling melengkapi satu sama lain. Maka, dalam suatu
negara terdapat pihak yang berperan sebagai kepala negara dan warga yang bertugas
membantu pekerjaan kepala negara, warga yang bertugas membantu pekerjaan
warga kelas dua, hingga seterusnya. Lalu, al-Farabi juga menggambarkan sistem
tingkatan sosial, seperti piramida yang bagian puncaknya diisi oleh para filsuf,
di bawahnya kemudian diisi oleh para tentara, dan kelas terakhir diisi oleh para
masyarakat yang mematuhi perintah raja.
Pengelompokan tingkatan kelas masyarakat tersebut serupa dengan pemikiran
milik Plato mengenai bentuk negara yang ideal. Plato beranggapan bahwa dasar
negara ideal haruslah berasal dari keadilan yang terwujud apabila seluruh
masyarakat mengerjakan pekerjaannya sesuai keahlian dan kemampuannya.
Berbekal pembagian kerja inilah, Plato lalu membagi warga negara menjadi tiga
kategori, yaitu: 1) kelas atas, terdiri dari kelas pemerintah dan para filsuf. Mereka
diseleksi oleh warga negara dan berwenang dalam membuat undang-undang,
menjalankan pemerintahan, dan mengawasi pelaksanaan perundang-undangan;
2) kelas menengah, terdiri dari para penjaga atau tambahan pengelola negara.
Mereka melindungi negara dari serangan musuh, mengawasi, dan menegakkan
peraturan perundang-undangan; 3) kelas bawah, terdiri dari masyarakat yang
menyangga perekonomian rakyat serta negara, memiliki hak pribadi dan tinggal
bersama keluarga.
Menurut al-Farabi, seorang kepala negara seharusnya dijabat oleh seorang filsuf,
namun sebagaimana watak yang ada pada diri filsuf haruslah diasah melalui
pendidikan dan latihan secara keseluruhan. Maka, pembentukan watak diri seorang
pemimpin begitu penting dalam keberlangsungan suatu negara. Berikut ini dua belas
syarat kualitas luhur yang harus dimiliki seorang pemimpin dalam bidang apapun,
yaitu: a) beranggota badan lengkap; b) berdaya paham kuat; c) intelek dan berdaya
ingat tinggi; d) cerdik dan pintar; e) berwawasan luas; f) cinta ilmu pengetahuan;
g) tidak rakus dan menghindari kenikmatan duniawi; h) jujur; i) berjiwa besar dan
berbudi luhur tinggi; j) mencintai keadilan dan membenci kezaliman;
k) berprinsip dan berpendirian kuat; l) tidak terikat materi atau uang.
Seperti yang telah kita ketahui, bahwa sifat-sifat tersebut nyatanya sangat jarang
dimiliki oleh seseorang secara sekaligus, mereka hanya dapat memilikinya secara
bertahap yang tentu menghabiskan waktu cukup lama dalam setiap prosesnya.
2) Lawan Negara Utama (Madhaddah al-Madinah al-Fadhilah)
Berikut ini empat macam negara yang dapat merusak dan bertentangan dengan
negara utama, yaitu:
a) Negara Bodoh (al-Madinah al-jahilah), menurut al-Farabi merupakan kondisi
suatu negara yang tidak mengenal arti kebahagiaan secara hakiki. Kebahagiaan
tidak pernah terlintas dalam benak mereka karena kebahagiaan menurut mereka
hanyalah kebahagiaan materialistis. Negara bodoh juga tidak bergantung pada
maju atau tidaknya negara tersebut. Contohnya, negara primitif yang perhatian
masyarakat dan pemerintahannya hanya sebatas kebutuhan hidup secara materi,
kemudian negara yang sudah maju, namun perhatian rakyat dan pemerintahannya
hanya tertuju pada bekerja sama dalam menumpuk harta kekayaan. Adapula
negara yang haus akan penghormatan serta pujian demi eksistensinya di antara
bangsa-bangsa lain.
b) Negara Fasik (al-Madinah al-Fasiqah), yakni negara yang warganya mengenal
Tuhan, kebahagiaan, dan akal, namun tingkah laku mereka sama buruknya seperti
warga di negara bodoh. Maka, apa yang mereka lakukan akan berbeda dengan
apa yang mereka ucapkan.
c) Negara Sesat (al-Madinah al-Dhallah), yakni negara yang warganya salah
memersepsikan tentang keberadaan Tuhan dan akal. Hal ini ditunjukkan dengan
kepala negara yang menipu warga dengan menyatakan dirinya sebagai penerima
wahyu dari Tuhan.
d) Negara yang Berubah (al-Madinah al-Mutabaddilah), yakni negara yang
penduduknya semula memiliki pemikiran yang sama dengan negara utama,
namun lambat-laun negara ini mengalami perubahan sebagai dampak dari arus
perkembangan zaman hingga penduduknya mengalami degradasi moral dan
pikrian.
Negara-negara yang telah disebutkan di atas pada hakikatnya merupakan hasil
imajinasi al-Farabi yang tercerminkan dalam pandangan-pandangan politiknya yang
cenderung bersifat teoritis dibandingkan pragmatis dan realistis, gagasan-gagasannya
mengenai politik Islam lebih dominan berpandangan filosofis dibandingkan empiris.
Hal ini dipengaruhi dari latar belakang al-Farabi yang merupakan seorang filsuf,
pemikir luas, dan bukanlah seorang praktisi politik atau pemerintahan.

E. Kesimpulan
Buku ini secara umum membahas mengenai bernegara dalam Islam sebagai wujud
konsep nation state yang diujarkan oleh banyak tokoh mulai dari pemahaman konservatif
hingga pemahaman kontemporer. Semua pemahaman disajikan dari berbagai perspektif
tokoh yang berbeda-beda. Hal ini menjadikan buku ini kompleks dan terasa lengkap
berkaitan dengan konsepsi Negara Islam yang seringkali menimbulkan miskonsepsi dalam
pemahaman masyarakat Indonesia.
Dalam bab 4 di buku ini, penulis menjabarkan beberapa secara detail mengenai konsepsi
bernegara dalam Islam melalui perspektif para ulama klasik dan pertengahan. Dalam bab
ini, penulis menghadirkan perspektif dari empat tokoh mengenai konsepsi bernegara dalam
Islam, yaitu menurut perspektif Imam Al-Mawardi, Ibn Taimiyyah, Ibn Khaldun, dan dan
Al-Farabi. Masing-masing tokoh menawarkan pendapat yang berbeda mengenai konsepsi
bernegara dalam Islam. Segala pendapat masing-masing tokoh didasari dan dipengaruhi dari
pemikiran yang tampaknya sejalan dengan zaman dan lingkungan di mana mereka berada.
Semua itu tak luput dari hal-hal yang hadir di setiap kehidupan masing-masing tokoh.
Setelah melihat pendapat-pendapat mereka, saya menyimpulkan bahwa segala konsepsi
pemikiran mereka mengenai bernegara dalam Islam terkait pemikiran abad klasik atau
pertengahan memiliki kesamaan maupun perbedaan antara satu dengan yang lain. Bahkan,
setiap konsepsi mereka memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Setiap
tokoh di zaman selanjutnya memiliki perkembangan tersendiri terhadap pemikirannya yang
membedakannya dengan tokoh-tokoh sebelumnya. Maka dari itu, segala pendapat mereka
memiliki kelemahan atau kesalahan tersendiri apabila disesuaikan dengan zaman saat ini.
Hal itu dikarenakan pemikiran konsepsi mereka mengenai negara Islam sesuai dengan
pemikiran pada zamannya. Tak ayal setiap pendapat mereka mengalami perkembangan
seiring berkembangnya zaman yang menjadikan konsepsi atas pemikiran mereka semakin
tersempurnakan dan dijadikan acuan oleh para tokoh-tokoh pemikir di zaman selanjutnya.
Kehadiran keempat tokoh tersebut cukup mewakili dalam hal memberikan gambaran
konkret mengenai konsepsi bernegara dalam Islam pada abad klasik dan pertengahan.

Anda mungkin juga menyukai