Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH ASWAJA 2

“HUBUNGAN DAN PERAN ORGANISASI NADHATUL ULAMA DALAM


MELESTARIKAN ASWAJA”

Dosen Pengampu : Hasyim Asy’ari M.Pd.I

Disusun Oleh

Rizki Ayunnaeni Rahmatika 184130094

Prodi : S1 Perbankan Syari’ah


Semester/Kelas : VII/D
Jurusan : Fakultas Syari’ah dan Ekonomi Islam

INSTITUT AGAMA ISLAM MA’ARIF NU


(IAIM NU) METRO
TAHUN 2018/2019

1
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT, shalawat dan salam juga
disampaikan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW. Serta sahabat dan keluarganya, seayun
langkah dan seiring bahu dalam menegakkan agama Allah. Dengan kebaikan beliau telah membawa
kita dari alam kebodohan ke alam yang berilmu pengetahuan.
Dalam rangka melengkapi tugas dari mata kuliah ASWAJA 2 pada Program Studi Perbankan
Syariah IAIM NU Metro dengan ini penulis mengangkat judul “Hubungan dan Peran Organisasi
Nadhatul Ulama dalam Melestarikan Aswaja”. Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari
bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari cara penulisan, maupun isinya. Oleh
karena itu penulis sangat mengharapkan kritikan dan saran-saran yang dapat membangun demi
kesempurnaan makalah ini.

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Rumusan Masalah 1
C. Tujuan Masalah 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian ASWAJA 2
B. Konsep NU terhadap Aswaja 3
C. Aspek pemahaman dan implementasi Aswaja menurut NU 4
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan 10
B. Saran 11
DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Nahdlatul Ulama adalah Jam’iyah Diniyah (organisasi Keagamaan) wadah bagi para
Ulama dan pengikutnya yang didirikan pada 16 Rajab 1344 H / 31 Januari 1926 M di Surabaya.
NU didirikan atas dasar kesadaran bahwa setiap manusia hanya dapat memenuhi kebutuhannya,
bila hidup bermasyarakat.
NU didirikan dengan tujuan memelihara, melestarikan, mengembangkan dan
mengamalkan ajaran Islamyang berhaluan Ahlusunnah Wal Jama’ah dengan menganut salah
satu dari empat madzhab: Maliki, Hambali, Hanafi, Syafi’i, serta mempersatukan langkah
Ulama dan pengikutnya dan melakukan kegiatan yang bertujuan untuk menciptakan
kemaslahatan umat, kemajuan bangsa, dan ketinggian harkatdan martabat manusia.
Dengan demikian maka NU menjadi gerakan keagamaan yang bertujuan ikut
membangun insan dan masyarakat yang bertaqwa kepada Allah SWT, cerdas, terampil,
berakhlaq mulia, tenteram, adil dan sejahtera. NU mewujudkan cita cita dan tujuannya melalui
serangkaian ikhtiar yang di dasari oleh dasar dasar faham keagamaan yang membentuk
kepribadian khas NU. Inilah yang kemudian disebut sebagai khittah Nahdlatul Ulama.
Menurut Kyai Muchit, Khittah NU 1926 merupakan dasar agama warga NU, akidahnya,
syariatnya, tasawufnya, faham kenegaraannya, dan lain-lain. Dalam hal ini penulis akan
membahas tentang gerakan-gerakan NU.
B. Rumusan Masalah
Pada penyusunan makalah ini mempunyai rumusan masalah sebagai berikut :
A. Apa itu ASWAJA?
B. Bagaimana konsep NU terhadap Aswaja ?
C. Bagaimana aspek pemahaman dan implementasi Aswaja menurut NU ?
C. Tujuan
Penulisan makalah ini dilakukan untuk memenuhi tujuan-tujuan yang diharapkan dapat
bermanfaat bagi kita semua dalam menambah ilmu pengetahuan dan wawasan serta :
D. Untuk mengetahui apa itu ASWAJA.
E. Untuk mengetahui konsep NU terhadap Aswaja.
F. Untuk mengetahui aspek pemahaman dan implementasi Aswaja menurut NU.

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ahlussunah waljama’ah ( NU )


Pengertian Ahlussunah Waljama’ah secara bahasa

1. Ahlun : keluarga, golongan atau pengikut.


2. Ahlussunnah : orang – orang yang mengikuti sunnah (perkataan, pemikiran atau amal
perbuatan Nabi Muhammad SAW.)
3. Wal Jama’ah : Mayoritas ulama dan jama’ah umat Islam pengikut sunnah Rasul.

Dengan demikian secara bahasa /aswaja berarti orang – orang atau mayoritas para
‘Ulama atau umat Islam yang mengikuti sunnah Rasul dan para Sahabat atau para ‘Ulama.1
Pengertian Ahlussunah Waljama’ah secara Istilah
Berarti golongan umat Islam yang dalam bidang Tauhid menganut pemikiran Imam Abu
Hasan Al Asy’ari dan Abu Mansur Al Maturidi, sedangkan dalam bidang ilmu fiqih menganut
Imam Madzhab 4 (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali) serta dalam bidang tasawuf menganut pada
Imam Al Ghazali dan Imam Junaid al Baghdadi.
Nahdlatul Ulama sebagai Jamiyyah Diniyyah Islamiyyah berakidah Islam menurut faham
Ahlussunnah wal Jama’ah mengikuti salah satu madzhab empat : Hanafi, Maliki, Syafi’i dan
Hambali. Perubahan-perubahan anggaran dasar di atas bukanlah soal yang penting untuk menilai
pokok faham keagamaan NU. Bahkan boleh dikatakan apa yang tertuang dalam anggaran dasar
hanyalah aspek formal dari kehidupan keagamaan NU, namun di balik formalitas itu terdapat
warna yang sebenarnya dari sifat dan corak gerakan yang menjadi inti pokok kehidupan
keagamaan NU.
Jika dilihat dari anggaran dasar NU di atas, tampak jelas bahwa faham Ahlussunah wa al-
Jama'ah merupakan sistem nilai yang mendasari semua prilaku dan keputusan yang berlaku di
NU. Oleh karena itu, paham ahlussunah waljama’ah (aswaja) tidak hanya dijadikan landasan
dalam kehidupan keagamaan NU, namun merupakan landasan moral dalam kehidupan sosial
politik. Dalam hal ini, ada empat prinsip yang menjadi landasan dalam kehidupan
kemasyarakatan bagi NU yaitu :
1. Tawasuth

1
KH. Husin Muhammad, Memahami Sejarah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Yang toleran dan Anti Ekstrim, dalam Imam
Baehaqi , Kontroversi ASWAJA, (Yogyakarta: LkiS, 1999), h.6

5
2. Tasamuh
3. Tawazun
4. Amar ma’ruf nahi munkar.
B. Konsep NU Terhadap Aswaja2
NU berpegang pada prinsip-prinsip Aswaja tentang islam iman dan ikhsan, yaitu dalam
hal fiqih mengikuti salah satu dari empat madzhab yaitu madzhab Syafi’i, Hanafi, Maliki dan
Hambali. Dalam hal teologi mengikuti abu hasan Al asy’ari dan abu mansyur al maturidi dan
dalam bidang tasawuf mengikuti Imam Al Ghazali dan Imam Junaid Al Baghdadi.
Dari pemaparan diatas kita dapat melihat bahwa antara Aswaja dengan NU adalah satu-
kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, konsep serta prinsip yang sama antara keduanya setidaknya
dapat dilihat juga dalam beberapa contoh persoalan sebagai berikut :
1. Bidang Aqidah
Dalam bidang aqidah, pilar-pilar yang menjadi penyangga aqidah Ahlussunnah
Waljamaah dan juga NU meliputi tiga hal, Yang pertama adalah aqidah uluhiyyah
(ketuhanan), yang kedua aqidah nubuwwat yaitu dengan meyakini bahwa Allah telah
menurunkan wahyu kepada para Nabi dan Rasul. Yang ketiga adalah Al ma’ad, yaitu sebuah
keyakinan bahwa nantinya manusia akan dibangkitkan dari kubur pada hari iamat dan setiap
manusia akan mendapat imbalan atas amal perbuatannya.
2. Bidang social plitik
Ahlussunnah Wal Jamaah dan NU memandang Negara sebagai kewajiban fakultatif
(fardlu kifayyah). Pandangan tersebut tidak sama dengan golongan yang lain, seperti syiah
yang memiliki sebuah konsep Negara dan mewajibkan berdirinya Negara (imamah).
3. Bidang istnbath Al-Hukun (pengambilan hukum syari’ah)
Ahlussunnah Wal Janaah dan NU menggunakan empat sumber hokum dalam
pengambialn hokum syari’ah, yaitu : Al-Qur’an, hadist, ijma’ dan qiyas.
4. Bidang Tasawuf
Tasawuf adalah menyucikan diri dari apa saja selain Allah. Ketidak terikatan kepada
apapun selain Allah SWT baik dalam proses batin ataupun bertingkah laku inilah yang
kemudian disebut dengan zuhud. Namun engertian zuhud tersebut bukan berarti manusia
hanya sibuk dengan hubungan vertical dengan Tuhannya dan meninggalkan urusan duniawi.
Ahlussunnah Wal Jamaah Nahdliyyin (NU) memandang bahwa justru ditengah-tengah
kenyataan duniawi posisi manusia sebagai hamba dan fungsinya sebagai khalifah harus

2
Haryono Abu Syam, Pendidikan Nahdlatul Ulama, (Surabaya: Cahaya Ilmu,1981), h.27

6
diwujudkan. Urusan duniawi yang mendasar bagi manusia adalah seperti mencari nafkah dan
juga urusan-urusan yang lain seperti politik, hukum, sosial, budaya dan lain sebagainya. Dalam
tasawuf urusan-urusan tersebut tidak harus ditinggalkan untuk mencapai zuhud. Praktek zuhud
adalah didalam batin sementara aktivitas sehari-hari tetap diarahkan untuk mendarmabaktikan
segenap potensi manusia agar terwujudnya masyarakat yang baik.

C. Aspek Pemahaman Dan Implementasi Aswaja Menurut NU3

Bentuk pemahaman keagamaan Ahlussunnah Waljama’ah yang dikembangkan NU


disebutkan secara tegas dalam AD NU Bab II tentang Aqidah/Asas Pasal 3, yakni ”Nahdlatul
Ulama sebagai Jam’iyyah Diniyah Islamiyyah beraqidah/berasas Islam menurut faham
Ahlussunnah Waljama’ah dan menganut salah satu dari mazhab empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i,
dan Hanbali”. Untuk bidang tasawuf yang merupakan dasar pengembangan akhlak atau perilaku
kehidupan individu dan masyarakat, NU menganut paham yang dikembangkan oleh Abul Qasim
Al-Junaidi Al-Baghdadi dan Muhammad ibnu Muhammad Al-Ghazali serta Imam-Imam yang
lain.

Dari penjelasan itu dapat dipahami bahwa NU mengembangkan faham Ahlussunnah


Waljama’ah yang mencakup tiga hal pokok yang secara garis besar juga merupakan aspek-aspek
ajaran Islam, yaitu: (1) akidah, (2) syari’ah atau fikih, dan (3) akhlak.

Akidah merupakan aspek terpenting sekaligus yang melatarbelakangi lahirnya paham


Ahlussunnah Waljama’ah dalam dunia Islam. Di lingkungan NU, pemahaman terhadap aspek
akidah menggunakan metode Asy’ariah dan Maturidiah. Paham Ahlussunnah Waljama’ah
menempatkan nash Al-Quran dan Sunnah Nabi sebagai otoritas utama yang berfungsi sebagai
petunjuk bagi umat manusia dalam memahami ajaran Islam. Dalam kaitan ini, akal yang
mempunyai potensi untuk membuat penalaran logika, filsafat, dan mengembangkan ilmu
pengetahuan merupakan alat bantu untuk memahami nash tersebut.

Syari’ah atau fikih merupakan aspek keagamaan yang berhubungan dengan kegiatan
ibadah (ibâdah) dan mu’amalah (mu’âmalah). Ibadah merupakan tuntutan formal yang
berhubungan dengan tata cara seorang hamba dalam berhadapan dengan Tuhannya, seperti yang
tergabung dalam rukun Islam. Hubungan secara langsung antara hamba dengan Tuhannya ini
dalam bahasa Al-Quran disebut habl min Allâh. Adapun mu’amalah merupakan bentuk kegiatan
ibadah (penghambaan kepada Allah atau pengamalan ajaran agama) yang bersifat sosial,
menyangkut hubungan manusia dengan sesamanya secara horizontal, misalnya jual beli,

3
http://liyanuzulul2508.blogspot.com/2018/01/pemahaman-nu-dalam-mengimplementasikan.html

7
perilaku pidana-perdata, pembuatan kesepakatan-kesepakatan tertentu, perilaku sosial-politik,
dan lain sebagainya. Dalam bahasa Al-Quran aspek ini disebut dengan habl min an-nâs.

Semua dasar dari syari’ah atau fikih ini ada di dalam Al-Quran dan Sunnah Nabi. Akan
tetapi, menurut paham Ahlussunnah Waljama’ah tidak semua orang akan dapat menerjemahkan
dan memahaminya secara langsung. Sebagaimana diketahui, kebanyakan nash Al-Quran
maupun Sunnah berbicara tentang pokok dan prinsip-prinsip masalah. Hal ini membutuhkan
penjabaran dengan metode pengambilan hukum tertentu, sehingga dapat diperjelas apa saja yang
menjadi cabang-cabangnya. Untuk melakukan hal ini diperlukan ijtihad yang tidak semua
mampu melakukannya. Itulah sebabnya mengapa dalam paham Ahlussunnah Waljama’ah,
mengikuti mazhab tertentu dalam memahami ajaran agama menjadi demikian penting.

Implementasi paham Ahlussunnah Waljama’ah di NU, koridor bagi pemahaman


keagamaan di lingkungan NU adalah taqdîm an-nashsh ’alâ al-’aql (mendahulukan nash atas
akal). Itulah sebabnya mengapa dalam mengimplementasikan paham Ahlussunnah Waljama’ah,
NU mengenal hirarki sumber ajaran Islam sebagaimana dilakukan oleh mayoritas umat Islam,
yaitu mulai dari Al-Quran, sunnah, ij’mâ’ (kesepakatan jumhur ulama), dan qiyâs (pengambilan
hukum melalui metode analogi tertentu), diletakkan dalam konteks yang hierarkis, di mana
sumber suatu hukum baru akan digunakan jika dalam sumber di atasnya tidak ditemukan
keketapannya.

Hierarki sumber ini berlaku untuk semua aspek keagamaan, baik akidah, syari’ah atau
fikih, maupun akhlak. Hierarki seperti ini, secara implisit juga tergambar dalam pernyataan
Asy’ari pada saat memproklamirkan pahamnya di depan publik, bahwa sandaran otoritas
pendapat dan keyakinan yang dianutnya adalah berpegang teguh Al-Qur’an dan Sunnah
Rasulullah, atsar sahabat, perkataan tabi’in, pembela hadis, dan apa yang dikatakan oleh Ahmad
ibn Hanbal.

Watak atau ciri NU dalam mengembangkan paham Ahlussunnah Waljama’ah adalah


pengambilan jalan tengah yang berada di antara dua ektrim. Kalau kita melihat ke belakang,
sejarah teologi Islam memang banyak diwarnai oleh berbagai macam ektrem, seperti Khawarij
dengan teori pengkafirannya terhadap pelaku dosa besar, Qadariyah dengan teori kebebasan
kehendak manusianya, Jabariyah dengan teori keterpaksaan kehendak dan berbuat manusianya,
dan Muktazilah dengan pendewaannya terhadap kemampuan akal dalam mencari sumber ajaran
Islam. Di sinilah Asy’ariah dan Maturidiah –dengan mengambil inspirasi berbagai pendapat
yang sebelumnya dikembangkan terutama oleh Ahmad ibn Hanbal merumuskan formulasi
pemahaman kalamnya tersendiri dan banyak mendapatkan banyak pengikut di seluruh dunia.

8
Dalam Risalah Khittah Nahdliyyah, K.H. Achmad Shiddiq (1979: 38-40), menjelaskan
bahwa paham Ahlussunnah Waljama’ah memiliki tiga karakter. Pertama, tawâsuth atau sikap
moderat dalam seluruh aspek kehidupan, kedua, al-i’tidâl atau bersikap tegak lurus dan selalu
condong pada keberanaran keadilan, dan ketiga, at-tawâzun atau sikap keseimbangan dan penuh
pertimbangan.

Tiga karakter tersebut berfungsi untuk menghindari tatharruf atau sikap ekstrim dalam
segala aspek kehidupan. Dengan kata lain, harus ada pertengahan dan keseimbangan dalam
berbagai hal. Dalam akidah, misalnya, harus ada keseimbangan atau (pertengahan) antara
penggunaan dalil naqliy dan ’aqliy, antara ekstrim Jabariyah dan Qadariyah. Dalam bidang
syari’ah dan fikih, ada pertengahan antara ijtihad ”sembrono” dengan taklid buta dengan jalan
bermazhab. Tegas dalam hal-hal qath’iyyât dan toleran pada hal-hal dzanniyyât. Dalam akhlak,
ada keseimbangan dan pertengahan antara sikap berani dan sikap penakut serta ”ngawur”. Sikap
tawâdlu’ (rendah hati) merupakan pertengahan antara takabbur (sombong) dan tadzallul (rendah
diri).

Secara keseluruhan, bisa juga dikatakan bahwa paham keagamaan Ahlussunah


Waljama’ah yang ditampilkan oleh NU merupakan manhaj yang mengambil jalan tengah antara
kaum ekstrem ’aqliy (rasionalis) dengan kaum ekstem naqliy (skripturalis). Akan tetapi, dalil-
dalil berdasarkan nash Al-Quran dan sunnah (naqliy) secara hierarkis berada di atas dalil
berdasarkan akal atau logika (aqliy). Dengan kata lain bahwa di dalam lingkungan NU
diterapkan metode berpikir untuk mendahulukan nash dari pada akal (taqdîm an-nashsh ’alâ al-
aql).

Perpaduan antara tawassuth, i’tidâl, dan tawâzun ini juga mencerminkan tradisi NU yang
dalam secara kultural bersikap mempertahankan tradisi lama yang baik, menerima hal-hal baru
baru yang lebih baik, tidak bersikap apriori dalam menerima salah satu di antara keduanya, dan
lain sebagainya. Inilah maksud dari adagium ”al-muhâfazhah ’alâ al-qadîm ash-shâlih wa al-
akhdz bi al-jadîd al-ashlah”. Dengan demikian, secara konseptual NU memilih jalan moderat
dan terbuka dalam mengamalkan ajaran agama (baca: Islam).

Dalam tataran implementasi, memang selalu ditemukan kendala antara sisi al-
muhâfazhah ’alâ al-qadîm ash-shâlih dan al-akhdz bi al-jadîd al-ashlah,. Yaitu, adanya
kesimpulan bahwa kaum nahdliyyin merupakan masyarakat Islam tradisional, pada satu sisi
barangkali –meskipun bisa dipahami dalam pengertian lain, antusiasme mereka dalam
melestarikan budaya dan tradisi lokal dalam mengamalkan ajaran agama disebabkan oleh

9
kenyataan bahwa dalam mengimplementasikan paham Ahlussunnah Waljama’ah itu mereka
lebih menitikberatkan pada aspek prinsip tadi.

Prof. Dr. K.H. Said Aqil Siraj, seorang tokoh NU yang pada tahun 1990-an sempat
menggemparkan wacana Ahlussunnah Waljama’ah di lingkungan NU, berpendapat bahwa
adagium itu sebaiknya dipertajam lagi dengan istilah ”al-îjâd” atau ”al-ibdâ” bi al-jadîd al-ashlah
yang mengandung pengertian ’aktif’ dan ’kreatif’ daripada al-akhdz yang mengandung
pengertian ’pasif’.

Apa yang dijelaskan oleh Said Aqil Siraj itu pada dasarnya merupakan otokritik atas apa
yang selama ini berkembang di lingkungan nahdliyyin. Terlepas dari perdebatan mengenai hal
ini, yang harus dipahami adalah bahwa prinsip al-muhâfazhah ’alâ al-qadîm ash-shâlih al-akhdz
bî al-jadîd al-ashlah merupakan sebuah kesatuan, dan harus diimplementasikan secara seimbang.

Dengan demikian selalu ada celah di mana paham Ahlussunnah Waljama’ah harus selalu
dikaji dan dikritisi, di samping menjaga keutuhan metode pemikirannya. Pemahaman seperti ini,
bukan dimaksudkan sebagai upaya vis a vis Imam Asy’ari dan Imam Maturidi. Namun, justru
diproyeksikan sebagai upaya untuk meneruskan dasar-dasar yang pernah mereka paparkan
secara kritis, metodologis, dan analisis.

Aktualisasi sebuah ajaran tentu mensyaratkan adanya upaya untuk selalu menjadikan
ajaran itu relevan dengan situasi kongkret dan kekinian, serta mampu memberikan solusi atas
persoalan-persoalan yang terus berkembang. Hal ini mengandaikan adanya proses pencermatan
secara kritis terhadap apa yang telah dihasilkan oleh para pendiri paham Ahlussunah
Waljama’ah. Sikap yang cermat dan kritis inilah yang akan mengantarkan seseorang bersikap
moderat dan terbuka dalam beragama.

Ahlussunnah Waljama’ah sebagaimana dirumuskan oleh Kiai Hasyim Asy’ari dalam


Risâlah Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah merupakan cara pandang, berpikir, dan pada dasarnya
bersifat holistik (menyeluruh) yang mengasumsikan bahwa segala persoalan hidup kemanusiaan
baik lahir maupun batin bisa terjawab dengan paham keagamaan itu. Akan tetapi, memang sulit
dijumpai karya-karya ulama di lingkungan NU yang secara panjang lebar menjelaskan persoalan
filsafat dan politik, meskipun soal politik ini juga dibahas dalam lain kesempatan, misalnya
dalam Resolusi Jihad, dan bisa dimasukkan sebagai bagian dari sistem Ahlussunnah Waljama’ah
yang dianut NU. Selain itu, kalangan NU pada umumnya melihat bahwa filsafat NU adalah
Ghazalian, sedangkan politiknya Mawardian, yang mengacu pada Imam Mawardi. Namun

10
semuanya itu agaknya lebih banyak dipraktekkan ketimbang dirumuskan menjadi pola
pemahaman Ahlussunnah Waljama’ah secara lebih sistematis dan terinci.

Akan tetapi pada dasarnya NU senantiasa memberikan respons terhadap persoalan-


persoalan kehidupan masyarakat. Disepakatinya konsep Mabadi Khayra Ummah (prinsip-prinsip
dasar pembangunan masyarakat) dalam Kongres NU XIII tahun 1935, merupakan upaya para
ulama dalam memberikan jawaban atas persoalan-persoalan yang berkembang di masyarakat.
Konsep itu disempurnakan lagi pada Munas Alim Ulama di Bandar Lampung Pada 21-25
Januari 1992. Wawasan NU tentang plularitas masyarakat juga tergambar dalam upaya-upaya
perumusan dasar negara pada masa kemerdekaan, penerimaannya asas Pancasila bagi organisasi
sosial dan kemasyarakatan yang ada di Indonesia.

Sikap dan jawaban-jawaban NU atas berbagai persoalan kemasyarakatan maupun politik


itu berkembang dari waktu ke waktu. Untuk melakukan hal ini NU mempunyai wadah bahtsul
masa’il. Forum inilah yang menjadikan NU mempunyai dinamika dan kompleksitas masalah
tersendiri dalam hal fatwa, yang sejak kelahirannya hingga saat ini, NU telah memproduksi
ratusan fatwa.

Dalam fatwa NU No. 2/1926 masalah hierarki dibahas sedemikian rupa dalam rangka
memberi batasan-batasan yang hati-hati (ikhtiyâth) dalam mengeluarkan fatwa. Pada awalnya,
metode perumusan fatwa diambil dari konsensus (ijmâ’) Imam Nawawi dan Imam Rafi’i. Jika
masih gagal juga, maka yang dijadikan rujukan adalah para ulama mazhab Syafi’i yang bisa
dirujuk dari Kanz ar-Râghibîn (karya Imam Mahalli), Tuhfah al-Muhtâj (karya Imam Ibnu
Hajar), Mughni al-Muhtâj (karya Imam Syarbini), dan Nihâyah al-Muhtâj (karya Imam Ramli).
Yang perlu dicatat adalah, pada akhirnya semua pandangan para ulama boleh dirujuk. Apa yang
terjadi di tingkat ulama NU ini sering dipandang sebagai bentuk taqlîd, bukan ijtihâd. Regulasi
pengambilan sumber semacam itulah yang kemudian memberikan ulama NU reputasi atas
konservatisme tradisional, yang oleh kebanyakan pemikir ”modern” semata-mata diartikan
sebagai taqlîd. Menurut Hooker pemberian atribut ini pada dasarnya terlalu berlebihan dan patut
dipertanyakan bahkan bisa menjadi kekeliruan serius.

Di lingkungan NU sendiri, agaknya tidak terlalu menjadi persoalan apakah sistem


perujukan sumber-sumber itu disebut ijtihad ataukah taklid. Keharusan bertaklid bagi orang
yang tidak memiliki kemampuan cukup untuk berijtihad yang amat ditekankan oleh Kiai Hasyim
Asy’ari dalam Risâlah Ahl as-Sunnah wal al-Jamâ’ahnya itu agaknya cukup memberikan
pengaruh terhadap realitas yang berkembang dalam metode pengambilan hukum dan keputusan-
keputusan ulama di lingkungan NU. Akan tetapi sesungguhnya yang dimaksud Kyai Hasyim

11
Asy’ari itu adalah agar setiap orang menumbuhkan sikap kehati-hatian dalam menjalankan
ajaran dan hukum-hukum agama. Sehingga, perujukan terhadap keputusan-keputusan yang
dihasilkan oleh as-salaf ash-ashâlih perlu dilakukan dan menjadi dasar pegangan dalam proses-
proses penarikan kesimpulan yang berkaitan dengan hukum agama. Inilah yang melandasi NU
untuk menentukan pilihan mazhab dalam kehidupan agama.

12
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Nahdlatul Ulama sebagai Jamiyyah Diniyyah Islamiyyah berakidah Islam menurut faham
Ahlussunnah wal Jama’ah mengikuti salah satu madzhab empat : Hanafi, Maliki, Syafi’i dan
Hambali. Perubahan-perubahan anggaran dasar di atas bukanlah soal yang penting untuk menilai
pokok faham keagamaan NU. Bahkan boleh dikatakan apa yang tertuang dalam anggaran dasar
hanyalah aspek formal dari kehidupan keagamaan NU, namun di balik formalitas itu terdapat
warna yang sebenarnya dari sifat dan corak gerakan yang menjadi inti pokok kehidupan
keagamaan NU.
Jika dilihat dari anggaran dasar NU di atas, tampak jelas bahwa faham Ahlussunah wa al-
Jama'ah merupakan sistem nilai yang mendasari semua prilaku dan keputusan yang berlaku di
NU. Oleh karena itu, paham ahlussunah waljama’ah (aswaja) tidak hanya dijadikan landasan
dalam kehidupan keagamaan NU, namun merupakan landasan moral dalam kehidupan sosial
politik. Dalam hal ini, ada empat prinsip yang menjadi landasan dalam kehidupan
kemasyarakatan bagi NU yaitu :
1. Tawasuth
2. Tasamuh
3. Tawazun
4. Amar ma’ruf nahi munkar.
Dari pemaparan diatas kita dapat melihat bahwa antara Aswaja dengan NU adalah satu-
kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, konsep serta prinsip yang sama antara keduanya setidaknya
dapat dilihat juga dalam beberapa contoh persoalan sebagai berikut :
1. Bidang Aqidah
Dalam bidang aqidah, pilar-pilar yang menjadi penyangga aqidah Ahlussunnah
Waljamaah dan juga NU meliputi tiga hal, Yang pertama adalah aqidah uluhiyyah
(ketuhanan), yang kedua aqidah nubuwwat yaitu dengan meyakini bahwa Allah telah
menurunkan wahyu kepada para Nabi dan Rasul. Yang ketiga adalah Al ma’ad, yaitu sebuah
keyakinan bahwa nantinya manusia akan dibangkitkan dari kubur pada hari iamat dan setiap
manusia akan mendapat imbalan atas amal perbuatannya.
2. Bidang social plitik
Ahlussunnah Wal Jamaah dan NU memandang Negara sebagai kewajiban fakultatif
(fardlu kifayyah). Pandangan tersebut tidak sama dengan golongan yang lain, seperti syiah
yang memiliki sebuah konsep Negara dan mewajibkan berdirinya Negara (imamah).

13
3. Bidang istnbath Al-Hukun (pengambilan hukum syari’ah)
Ahlussunnah Wal Janaah dan NU menggunakan empat sumber hokum dalam
pengambialn hokum syari’ah, yaitu : Al-Qur’an, hadist, ijma’ dan qiyas.
4. Bidang Tasawuf
Tasawuf adalah menyucikan diri dari apa saja selain Allah. Ketidak terikatan kepada
apapun selain Allah SWT baik dalam proses batin ataupun bertingkah laku inilah yang
kemudian disebut dengan zuhud. Namun engertian zuhud tersebut bukan berarti manusia
hanya sibuk dengan hubungan vertical dengan Tuhannya dan meninggalkan urusan duniawi.

B. Saran

Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan
dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya
pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah
ini.

14

Anda mungkin juga menyukai