Anda di halaman 1dari 9

Upacara Adat Rambu Solo’ – Toraja

Upacara pemakaman yang


dilangsungkan saat matahari
tergelincir ke barat. Jenazah
dimakamkan di gua atau
rongga di puncak tebing batu.
Sebagai tanda bahwa jenazah
memasuki ruang hidup berbeda.
Upacara sebagai
wujud bakti anak keturunan
memuliakan leluhur hingga akhir
hayat, berbagi sumber daya hewan
kurban bagimasyarakat sekitar serta
wujud kesatuan keluarga besar.
Dinamika budaya Suku Toraja
sangat dipengaruhi oleh Aluk Todolo.
“Aluk”: jalan, aturan, hukum,
keyakinan, agama; “Todolo”: leluhur. Agama leluhur, agama purba yang meyakini bahwa Puang
Matua (Tuhan Yang Maha Mulia) adalah Sang Pencipta dan menurunkan “agama”, aturan
kehidupan
bagi manusia. Aluk Todolo menjadi tali pengikat dan landasan kesatuan masyarakat Toraja yang
sangat kokoh. Kemanapun orang Toraja pergi harus selalu “kembali” ke kampung halamannya,
ke
rumah Tongkonan (rumah adat; leluhur) nya.
Rangkaian kegiatan upacara pemakaman Rambu Solo’ sangat rumit serta membutuhkan biaya
yang
tidak sedikit. Di Toraja orang yang meninggal baru akan dimakamkan berbulan-bulan setelah
kepergiannya , Pihak keluarga membutuhkan waktu mengumpulkan dana untuk upacara
pemakaman.
Besaran dana ini terkait dengan tingkat upacara dan jumlah hewan yang akan dikurbankan.
Sesuai dengan Aluk Todolo, Suku Toraja memiliki dua upacara adat utama, Rambu Solo’ dan
Rambu
Tuka’. “Rambu”: asap, sinar, cahaya; “Tuka’”: naik; “Solo”: turun; “Rampe”: sebelah, bagian;
“Matallo”: timur; “Matampu”: barat. Kedua bentuk upacara ini merupakan ritual kurban yang
berpasangan dan keduanya harus dilewati oleh seorang manusia. Rambu Tuka’/Aluk Rampe
Matallo
merupakan upacara-upacara dalam rangka syukuran atas keselamatan dan kehidupan manusia
serta
mahluk hidup lainnya. Dilaksanakan pada saat sinar matahari naik di sebelah timur tongkonan.
Rambu Solo’/Aluk Rampe Matampu’ merupakan rangkaian upacara yang menyangkut kematian
dan
pemakaman manusia. Upacara dilaksanakan setelah lewat tengah hari, sinar matahari mulai
terbenam
menunjukkan kedukaan atas kematian/pemakaman manusia. Ritual/kurban persembahan dari
upacara ini dilakukan di sebelah barat tongkonan. Rambu Solo’/Aluk Rampe Matampu’ dianggap
sebagai upacara untuk menyempurnakan kematian seseorang.
Upacara Tradisional Rambu Solo’, Tedong Silaga dan Tongkonan
Jika sudah disepakati waktu pelaksanaan Rambu Solo’ oleh keluarga inti, maka semua anggota
keluarga tanpa terkecuali akan datang ke tongkonan dengan membawa hewan kurban (kerbau dan
babi) sebagai ungkapan turut bela sungkawa. Semakin banyak hewan yang dikurbankan dalam
Rambu Solo’ maka semakin tinggi derajat yang meninggal ketika berada di nirwana. Daging
hewan kurban kemudian dibagi-bagikan secara adat kepada keluarga dan masyarakat yang ikut
berperan serta dalam Rambu Solo’. Hal yang lumrah jika biaya untuk menyelenggarakan Upacara
Rambu Solo’ sangat besar, berkisar antara puluhan juta sampai ratusan juta rupiah.
Tongkonan Rante’ dan Kubur Batu
Musyawarah Menjunjung Adat
Selama masa tunggu pelaksanaan Rambu Solo’, rapat keluarga dilakukan oleh keluarga inti untuk
menentukan tingkat upacara, jumlah hewan yang akan dikurbankan, serta pembagian tugas setiap
keluarga di upacara Rambu Solo’. Setiap musyawarah harus
dilaksanakan di tongkonan tempat jenazah disimpan, dan memotong kerbau setiap kali selesai
musyawarah. Tongkonan merupakan pusat kehidupan sosial dan spiritual Suku Toraja. Oleh
karena itu, semua anggota keluarga diharuskan ikut serta dalam setiap bentuk ritual di
tongkonan sebagai lambang kesatuan hubungan mereka dengankeluarga dan leluhur. Musyawarah
Adat Menyatukan Kerabat, Memuliakan Orang TuaMenurut Aluk Todolo, mati adalah suatu
proses perubahan status semata-mata dari manusia fisik di dunia kepada manusia roh di alam gaib.
Rambu Solo’ ibarat “pintu gerbang” bagi jenazah untuk
memasuki alam yang baru. Semakin banyak hewan yang dikurbankan maka semakin tinggi derajat
jenazah ketika berada di Puya. Rambu Solo’ sekaligus cara bagi anak keturunan untuk tetap
memuliakan orang tua. Anak keturunan akan berlomba-lomba mengurbankan hewan
sebanyakbanyaknya
sehingga jenazah memperoleh tempat yang mulia. Rambu Solo’ bagi masyarakat Toraja
merupakan salah satu bentuk bakti seorang anak kepada orang tua dan pengikat tali silaturahim
dalam keluarga besar. Meski secara medis sudah meninggal, jenazah dianggap “sedang sakit”/ To
Makula’ dan oleh anggota keluarga atau tetangga akan diperlakukan sebagaimana orang yang
sedang
sakit atau dalam kondisi lemah. Perlakuan ini berakhir ketika dilaksanakannya Rambu Solo’ bagi
yang bersangkutan, oleh keluarga atau keturunannya. Ritual Rambu Solo’ pada intinya adalah
Meaya, yakni memindahkan/mengarak jenazah dari tongkonan ke Liang (kuburan) yang berupa
gua di tebing batu.
Dalam kepercayaan Aluk Todolo, semakin tinggi (gua tebing batu) tempat jenazah diletakkan
maka
semakin cepat rohnya untuk sampai menuju nirwana/Puya, dunia arwah/akhirat yang berada di
sebelah selatan wilayah Tana Toraja. “Dunia tempat peristirahatan”, tempat keabadian dimana
arwah
para leluhur berkumpul. Di tempat ini, ruh yang meninggal akan bertransformasi menjadi arwah
gentayangan (Bombo), arwah setingkat dewa (To Mebali Puang), atau arwah pelindung (Deata).
Wujud transformasi tersebut tergantung dari kesempurnaan prosesi Rambu Solo’. Kerbau-kerbau
(tedong) dan babi yang dikurbankan pada upacara pemakaman, harta benda dan perhiasan-
perhiasan
lainnya merupakan bekal dan perlengkapan utama yang akan dipergunakan di alam gaib. Sebelum
mayat dikburkan, terlebih dahulu dilakukan pemberkatan jenazah dan diiringi oleh nyanyian puji-
pujian
Upacara Adat Tradisional Khas Di Bali
Walaupun pada sejumlah tempat di Bali terkadang memiliki tradisi dan pelaksanaan
upacara adat sendiri, secara umum Bali memiliki upacara adat yang digelar dan
dilaksanakan oleh hampir masyarakat Bali terutama yang beragama Hindu. Walaupun
dalam pelaksanaan tetap mengacu pada tempat (desa) upacara tersebut berlangsung,
waktu upacara, kemudian keadaan ataupun situasi upacara tersebut dilangsungkan.
Misalnya jika warga yang ekonomi kurang mampu, upacara adat ini bisa dilakukan dalam
tingkatan kecil yang tidak mengurangi dari makna upacara adat tersebut.

Berikut adalah daftar upacara adat khas di Bali, yang merupakan rangkaian upacara
tradisional yang hampir diikuti dan dilaksanakan oleh warga Hindu Bali;

Ngaben

Upacara adat tradisional di Bali ini dilakukan


untuk orang yang meninggal, setelah meninggal tubuh orang tersebut akan dibakar
kemudian abunya akan dihanyutkan ke laut. Dalam pelaksanaanya, tubuh orang meninggal
bisa dikubur terlebih dahulu, kemudian menunggu waktu baik dan tersedia dana baru
tulang belulangnya digali dan dibakar, terkadang ada hanya mengambil tanah saja di atas
kuburan orang meninggal hanya sebagai simbul jasad tersebut. Tujuan Ngaben tersebut
mengembalikan unsur Panca Mahabhuta ke asalnya dan mengantarkan sang atma untuk
kembali ke alamnya yakni alam Pitara.
Upacara Tiwah, Upacara Adat Khas Suku Dayak
Membahas budaya Indonesia memang tidak akan ada habisnya. Negeri yang terbentang luas
dari Sabang hingga Merauke ini memiliki ribuan suku dengan masing-masing ritual adatnya.
Kelahiran, pernikahan, hingga kematian dirayakan dengan cara yang berbeda. Inilah yang
membuat Indonesia kaya akan budaya.

Salah satunya adalah daerah Kalimantan Tengah yang memiliki upacara Tiwah, yaitu prosesi
mengantarkan roh leluhur yang telah meninggal dunia ke lewu tatau (surga) bersama Ranying
Hatalla (Sang Pencipta). Jenazah yang sudah dikubur akan digali lagi, tulang belulangnya
dibersihkan, kemudian dimasukkan ke dalam balai nyahu.

Tanda Bakti kepada Leluhur

Upacara Tiwah merupakan


ritual para penganut Hindu
Kaharingan, kepercayaan
asli suku Dayak, sebagai
tanda bakti kepada luhur.
Tiwah merupakan upacara
kematian tingkat terakhir.
Bagi suku Dayak, kematian
perlu disempurnakan
dengan ritual lanjutan agar
roh dapat hidup tenteram
bersama Ranying Hatalla.

Tiwah bertujuan untuk


melepas kesialan bagi keluarga yang ditinggalkan. Upacara ini juga bisa melepas ikatan status
janda atau duda dari pasangan yang ditinggalkan, sehingga mereka dapat menentukan apakah
akan mencari pasangan hidup lagi atau tidak akan menikah selamanya.

Upacara Tiwah membutuhkan dana yang besar. Oleh karena itu, prosesi pengantaran ini tidak
dilakukan untuk satu jenazah saja, namun bisa puluhan jenazah dari berbagai desa.

Tata Cara Upacara Tiwah


Banyaknya tahapan dalam upacara Tiwah membuat perayaan ini bisa berlangsung selama 7
hingga 40 hari. Pertama, keluarga harus mendirikan balai nyahu, yaitu tempat untuk menyimpan
tulang belulang yang sudah dibersihkan. Kedua, keluarga harus membuat anjung-anjung atau
bendera kain yang jumlahnya harus sama dengan jenazah yang akan ditiwahkan.

Ketiga, keluarga memasukkan tulang belulang ke balai nyahu. Tahapan ini disebut Tabuh I,
Tabuh II, dan Tabuh III. Ini merupakan tahapan yang riskan karena di sinilah roh mulai diantarkan
ke lewu tatau. Tabuh dilakukan secara tiga hari berturut-turut.
Tahapan berikutnya adalah
keluarga melakukan tarian
Manganjan sambil
mengelilingi sangkai raya
(tempat anjung-anjung dan
persembahan untuk Ranying
Hatalla berada) dan sapundu
(patung berbentuk manusia).
Begitu riang dan suka cita
karena roh keluarga mereka
naik ke surga.

Sapundu berfungsi sebagai


tempat mengikat kerbau,
sapi, ayam, atau babi yang nantinya akan dikurbankan. Hewan-hewan tersebut ditusuk dengan
tombak hingga mati oleh keluarga. Penombak pertama adalah orang tua dalam silsilah keluarga.
Mereka percaya cucuran darah hewan tersebut akan menyucikan roh.

Kepala hewan yang sudah mati akan


dipenggal dan dikumpulkan sebagai
makanan para roh. Sementara itu,
daging mereka akan dimasak untuk
dikonsumsi bersama.

Tiwah Memiliki Banyak


Pantangan
Upacara Tiwah tidak saja menarik
untuk masyarakat Kalimantan Tengah.
Banyak wisatawan domestik dan
wisatawan internasional yang ingin melihatnya. Namun, perlu diperhatikan bahwa ada sejumlah
pantangan saat menyaksikan upacara Tiwah. Ada sayuran, jenis ikan, serta jenis hewan yang
tidak boleh dibawa ke lokasi upacara. Jika aturan ini dilanggar, maka pelanggar akan mendapat
sanksi adat Tiwah.

Jika Sahabat ingin menyaksikan upacara Tiwah, pastikan untuk mengetahui pantangannya.
Apresiasi budayanya dan hormati upacaranya, ya

.
Mengenal Upacara Adat Ritual Kematian serta Ukiran Suku
Asmat di Papua yang Khas!
Kebudayaan dari Suku Asmat di Papua memang sangat menarik, penasaran?
Langsung saja simak beberapa informasinya di bawah ini!

Indonesia merupakan negara besar, terdiri dari beragam suku, sehingga bukan hanya
keindahan alamnya saja loh yang bisa lo kunjungi. Bahkan di dalam satu pulau saja
terdapat beragam suku. Nah, tepat terletak di Pulau Papua terdapat suku yang mampu
menarik banyak perhatian, yaitu Suku Asmat. Yaap, suku ini memang paling terkenal
di pulau paling timur negara ini.
Eksistensi nan tinggi tersebut pun bukan tanpa alasan, karena suku ini pun
menyimpan banyak keunikan yang perlu untuk lo ketahui. Mulai dari cara mereka
bertahan hidup hingga hal-hal lainnya, suku ini juga memiliki populasi penduduk
terbesar di Papua loh. Lo bisa menemukan keberadaan dari suku ini di pedalaman dan
di tepi pantai.
Yaap, kebudayaan dari suku Asmat sangat melambangkan kehidupannya. Bagi
mereka kebudayaan bukan hanya sekedar aset dari leluhur, namun lebih dari itu
sebagai pola dan tujuan besar yang tersimpan di dalamnya. Nah, apa saja sih yang
membuat suku ini begitu unik untuk dibahas? Daripada lo semakin penasaran,
langsung saja simak beberapa informasinya di bawah ini yaa. Semoga bisa berguna
dan bermanfaat!

Upacara Adat Suku Asmat


Suku Asmat sendiri juga memiliki beberapa upacara adat nan unik loh, tak kalah
dengan suku-suku lainnya di negeri ini. Ada banyak pilihannya loh ternyata, mulai
dari ritual kematian hingga ritual-ritual lainnya. Tentu hal ini patut untuk lo ketahui.

 Ritual Kematian
 Adat kematian
sendiri memang sangat
lekat sekali dengan
upacara adat suku Toraja
di Sulawesi Selatan,
namun jangan salah
ternyata suku Asmat jug
amemiliki ritual yang
sekiranya hampir sama.
Suku Asmat juga
memiliki pemikiran yang
unik mengenai kematian.
Karena suku ini
menganggap kalau kematian bukanlah hal yang alamiah. Diartikan sebagai
adanya roh jahat mengganggu orang yang meninggal.

 Bahkan ketika ada kerabat yang sakit maka akan dibuatkan pagar dari dahan
pohon nipah. Pagar tersebut dimaksudkan agar roh jahat tidak bisa mendekati
penderita. Uniknya lagi, sang penderita pun diberikan obat atau makan. Nah,
pada saat penderita meninggal, para Suku Asmat lainnya akan berebutan
memeluk dan keluar menggulingkan badan di lumpur.

Mayatnya pun diletakkan


di atas anyaman bambu
hingga dibiarkan
membusuk, tulang-
tulangnya pun akan
disimpan di atas pokok-
pokok kayu. Lalu
tengkoraknya diambil
untuk dijadikan bantal
sebagai tanda sayang.
Ada juga yang
meletakkan mayat di atas
perahu lesung dengan
dibekali sagu lalu
dialirkan ke laut.
UPACARA ADAT KASADA, SUKU TENGGER

Suku Tengger adalah pemeluk agama Hindu lama dan tidak seperti pemeluk agama Hindu
umumnya yang memiliki candi-candi sebagai tempat peribadatan. Untuk melakukan peribadatan
maka mereka akan melakukannya di punden, danyang dan poten. Poten sendiri merupakan
sebidang lahan di lautan pasir di kaki Gunung Bromo sebagai tempat berlangsungnya upacara
Kasada. Poten terdiri dari beberapa bangunan yang ditata dalam suatu komposisi di pekarangan
yang dibagi menjadi tiga mandala.
Bagi masyarakat Suku Tengger, Upacara adat adalah salah satu wujud rasa syukur masyarakat
Tengger kepada tuhan. Ada banyak upacara adat di masyarakat Tengger yang memiliki tujuan
bermacam-macam diantaranya meminta berkah, menjauhkan malapetaka, wujud syukur atas
karunia yang diberikan tuhan kepada masyarakat Tengger. Salah satunya adalah upacara adat
Kasada.
Upacara ini adalah upacara untuk memperingati pengorbanan seorang Raden Kusuma anak Jaka
Seger dan lara Anteng. Selain itu upacara ini dilaksanakan oleh masyarakat tengger untuk
meminta keselematan dan berkah. Upacara ini dilaksanakan padat tanggal 14 s.d. 16 bulan
Kasada atau saat bulan purnama tampak di langit secara utuh setiap setahun sekali.
Pada saat upacara ini berlangsung masyarakat suku tengger berkumpul dengan membawa hasil
bumi, ternak peliharaan dan ayam sebagai sesaji yang disimpan dalam tempat yang bernama
ongkek. Pada saat sudah mencapai di kawah gunung Bromo, seluruh sesaji tersebut dilemparkan
ke tempat tersebut. Adapun upacara ini merupakan jalan ujian bagi pulun mulenen atau dukun
baru untuk disahkan sebagai dukun, jika dukun baru keliru dalam melaksanakan proses upacara
Kasada maka dukun tersebut gagal menjadi dukun. Upacara Kasada sebagai peringatan
pengorbanan Raden Kusuma merupakan penghormatan kepada Raden Kusuma yang rela
berkorban untuk keselamatan masyarakat tengger. Dalam legenda upacara Kasada di Gunung
Bromo terdapat mahkluk halus yang tidak memiliki nama akan tetapi dipanggil Sang Yang Widi
yang digambarkan sebagai asal-usulnya dari kerajaan Majapahit sebelum keturunan kerajaan
Hindu-Budha di Jawa. Ada perjanjian antara roh Dewa Kusuma dengan masyarakat Tengger
yang harus memberi sesajian setiap tanggal 14 bulan Kasada.
Dalam upacara Kasada masyarakat Tengger terdapat beberapa tahapan upacara yang harus
dilaksanakan agar upacara Kasada berlangsung dengan khidmat yaitu Puja purkawa, Manggala
upacara, Ngulat umat, Tri sandiya, Muspa, Pembagian bija, Diksa widhi, Penyerahan sesaji di
kawah Bromo. Proses berjalannya upacara Kasada dimulai pada Sadya kala puja dan berakhir
sampai Surya puja dimana seluruh masyarakat Tengger menuju Gunung Bromo untuk
menyampaikan korban. Upacara Kasada dimulai dengan pengukuhan sesepuh Tengger dan
pementasan sendratari Rara Anteng Jaka Seger di panggung terbuka Desa Ngadisari. Tepat pada
pukul 24.00 diadakan pelantikan dukun dan pemberkatan masyarakat di lautan pasir Gunung
Bromo. Bagi masyarakat Tengger, dukun merupakan pemimpin dalam bidang keagamaan yang
biasanya memimpin upacara-upacara ritual perkawinan dll. Pada saat ini sebelum dukun
dilantik, para dukun harus lulus ujian dengan cara menghafal dan membacakan mantra-mantra.
Setelah selesai upacara, ongkek yang berisi sesaji dikorbankan di Puden Cemara Lawang dan
kawah Gunung Bromo. Seluruh ongkek tersebut dilemparkan ke dalam kawah sebagai simbol
pengorbanan yang dilakukan nenek moyang mereka. Upacara Kasada Bromo sendiri telah
digelar sejak masa Kerajaan Majapahit dan Gunung Bromo memang dianggap sebagai tempat
suci. Gunung Bromo berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti brahma atau seorang dewa
yang utama. Pada masa Dinasti Brawijaya, permaisurinya dikaruniai anak perempuan bernama
Roro Anteng. Setelah beranjak dewasa putri ini menikah dengan seorang pemuda dari Kasta
Brahmana bernama Joko Seger. Keduanya kemudian memutuskan tinggal dan menjadi penguasa
di Tengger saat Kerajaan Majapahit mengalami kemerosotan dan pengaruh Islam semakin kuat
di Pulau Jawa. Setelah sekian lama hidup bersama, mereka sangat bersedih karena belum juga
dikaruniai anak. Akhirnya mereka pun bersemedi di puncak Gunung Bromo dan mendapatkan
petunjuk bahwa permintaan mereka akan dikabulkan dengan syarat anak bungsu mereka setelah
lahir harus dikorbankan ke kawah Gunung Bromo. Setelah dikaruniai 25 orang anak, tiba
saatnya pasangan ini harus mengorbankan si bungsu, mereka tidak tega melakukannya.
Akhirnya, Dewa marah dan membawa anak bungsu tersebut masuk ke kawah Bromo. Timbul
suara dari si anak bungsu agar orang tua mereka hidup tenang beserta saudara-saudaranya.
Untuk menghormati pengorbanan tersebut maka setiap tahun dilakukan upacara sesaji ke Kawah
Bromo dan terus berlangsung secara turun menurun hingga saat ini.Upacara Kasada Masyarakat
Tengger telah membawa manfaat bagi masyarakat tengger. Selain untuk meminta keselamatan,
upacara ini mampu menyedot banyak perhatian seluruh kalangan masyarakat. Ada nilai politik
dalam upacara Kasada ini dimana upacara Kasada merupakan upacara yang juga bertujuan
untuk menancapkan kekuatan politik di daerah tersebut.

Anda mungkin juga menyukai