Anda di halaman 1dari 44

Aliran - Aliran dalam Pendidikan i

i
ii Pengantar Pendidikan

PENGANTAR PENDIDIKAN
viii, 186 hlm, Tab, 16 cm

Katalog Dalam Terbitan (KDT)

Hak Cipta @ Husamah, Arina Restian, Rohmad Widodo


Hak Terbit pada UMM Press

Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang


Jl. Raya Tlogomas No. 246 Malang 65144
Telpon (0341) 464318 Psw. 140,
Fax (0341) 460435
E-mail: ummpress@gmail.com
http://ummpress.umm.ac.id

Cetakan Pertama September, 2015

ISBN : 978-979-796-360-6

Setting, Layout & Cover : Andi Firmansah

Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang


memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan
cara apapun, termasuk fotokopi, tanpa izin tertulis dari
penerbit. Pengutipan harap menyebutkan sumbernya.
Aliran Pendidikan 85

BAB V

ALIRAN PENDIDIKAN

A. Aliran Klasik Pendidikan


Secara umum, pendidikan diartikan sebagai usaha manusia untuk
membina ke-pribadiannya sesuai dengan nilai-nilai dan budaya
masyarakat. Bagaimana pun sederhananya peradaban suatu masyarakat,
di dalamnya pasti berlangsung suatu proses pendidikan, sehingga sering
dikatakan bahwa pendidikan telah ada sepanjang peradaban umat
manusia (Samad, 2013). Proses pendidikan berada dan berkembang
bersama perkembangan hidup dan kehidupan manusia, bahkan
keduanya merupakan proses yang satu (Nanuru, 2013).
Sejak manusia menghendaki kemajuan dalam kehidupan, maka
sejak itu timbul gagasan untuk melakukan pengalihan, pelestarian dan
pengembangan kebudayaan melalui pendidikan. Pendidikan di dalam
masyarakat senantiasa menjadi perhatian utama dalam rangka
memajukan kehidupan generasi yang sejalan dengan tuntutan,
perkembangan dan kemajuan masyarakat dari zaman ke zaman
(Nadirah, 2013). Mengingat perkembangan kehidupan dan pelaksanaan
pendidikan bersifat dinamis, maka gagasan-gagasan yang muncul pun
bersifat dinamis (sesuai dengan alam pikir dan dinamika manusianya).
Kondisi akhirnya mendorong lahirnya aliran-aliran dalam pendidikan

85
86 Pengantar Pendidikan

Aliran-aliran dalam pendidikan perlu dikuasai oleh para calon


pendidik karena pendidikan tidak cukup dipahami hanya melalui
pendekatan ilmiah yang bersifat parsial dan deskriptif saja, melainkan
perlu dipandang pula secara holistik (menyeluruh). Menurut
Tirtarahardja & Sulo (2005) aliran-aliran pendidikan telah dimulai sejak
awal hidup manusia, karena setiap kelompok manusia selalu dihadapkan
dengan generasi muda keturunannya yang memerlukan pendidikan
yang lebih baik dari orang tuanya. Di dalam kepustakaan tentang aliran-
aliran pendidikan, pemikiran-pemikiran tentang pendidikan telah dimulai
dari zaman Yunani kuno sampai kini, dikenal dengan istilah rumpun
aliran klasik dan aliran (gerakan) baru.
Bahasan bagian ini hanya dibatasi pada beberapa rumpun aliran
klasik. Aliran-aliran klasik yang dimaksud adalah aliran empirisme,
nativisme, naturalisme, dan konvergensi. Sampai saat ini aliran aliran
tersebut masih sering digunakan walaupun dengan pengembangan-
pengembangan yang disesuaikan dengan perkembangan zaman.

1. Aliran Empirisme
Empirisme berasal dari kata empire, artinya pengalaman. Tokoh
utama aliran ini ialah John Locke (1632-1704). Nama asli aliran ini
adalah “The School of British Empiricism” (aliran empirisme Inggris).
Namun aliran ini lebih berpengaruh terhadap para pemikir Amerika
Serikat, sehingga melahirkan sebuah aliran filsafat bernama
“environmentalisme” (aliran lingkungan) dan psikologi bernama
“environmental psychology” (psikologi lingkungan) yang relatif masih
baru (Syah, 2002). Selain Locke, terdapat juga ahli pendidikan lain yang
mempunyai pandangan hampir sama, yaitu Helvatus, ahli filsafat Yunani
yang berpendapat, bahwa manusia dilahirkan dengan jiwa dan watak
yang hampir sama yaitu suci dan bersih. Pendidikan dan lingkungan
yang akan membuat manusia berbeda-beda (Djumransjah, 2004).
Locke memandang bahwa anak yang dilahirkan itu ibaratnya meja
lilin putih bersih yang masih kosong belum terisi tulisan apa-apa,
karenanya aliran atau teori ini disebut juga Tabularasa, yang berarti
meja lilin putih. Masa perkembangan anak menjadi dewasa itu sangat
dipengaruhi oleh lingkungan atau pengalaman dan pendidikan yang
diterimanya sejak kecil. Pada dasarnya manusia itu bisa didik apa saja
menurut kehendak lingkungan (dalam arti luas), pengalaman dari
lingkungan itulah yang menentukan pribadi seseorang (Ahmadi &
Uhbiyati, 1991; Thoib, 2008).
Aliran Pendidikan 87

Manusia-manusia dapat dididik apa saja (ke arah yang baik dan ke
arah yang buruk) menurut kehendak lingkungan atau pendidikan.
Dalam hal ini, alamlah yang membentuknya. Pendapat kaum empiris
ini terkenal dengan nama optimisme paedagogis, karena upaya pendidikan
hasilnya sangat optimis dapat mempengaruhi perkembangan anak,
sedangkan pembawaan tidak berpengaruh sama sekali (Suryabrata,
2002; Purwanto, 2004).
Aliran ini mengandaikan bahwa pertumbuhan dan perkembangan
hidup manusia ditentukan sepenuhnya oleh faktor-faktor pengalaman
yang berada di luar diri manusia, baik yang sengaja di desain melalui
pendidikan formal maupun pengalaman-pengalaman tidak disengaja
yang diterima melalui pendidikan informal, non formal, dan alam
sekitar. Aliran ini berpendapat bahwa pendidikanlah yang menentukan
masa depan manusia, sedangkan faktor-faktor yang berasal dari dalam,
seperti bakat dan keturunan tidak mempunyai pengaruh sama sekali
dalam menentukan masa depan manusia (Setianingsih, 2008).
Menurut Mudyahardjo et al (1992) empirisme dipandang sebagai
hal yang paling produktif, karena dalam dunia pendidikan lingkunganlah
yang berperan besar untuk membentuk potensi dan pengetahuan peserta
didik. Ada beberapa lingkungan yang berperan dalam proses pendidikan,
diantaranya adalah lingkungan sekolah, keluarga, dan masyarakat. Dalam
proses ini inderawi sepenuhnya sangat berperan dalam berlangsungnya
proses pendidikan dan menjadi hal yang nyata dalam praktek
pendidikan.
Aliran empirisme berkembang luas di dunia Barat terutama Amerika
Serikat. Aliran ini dalam perkembangannya menjelma menjadi aliran/
teori belajar behaviorisme yang dipelopori oleh William James dan
Large. Banyak pula pengaruh aliran ini terhadap pandangan tokoh
pendidikan Barat lainnya, seperti Watson, Skinner, Dewey, dan
sebagainya.

2. Aliran Nativisme
Aliran nativisme berlawanan 180o dengan aliran empirisme.
Nativisme berasal dari kata nativus yang berarti kelahiran atau native
yang artinya asli atau asal. Tokoh utama aliran ini adalah Arthur
Schopenhauer (1788-1860) seorang filosof Jerman (Ilyas, 1997). Dalam
artinya yang terbatas, juga dapat dimasukkan dalam golongan Plato,
Descartes, Lomborso, dan pengikut-pengikutnya yang lain. Nativisme
88 Pengantar Pendidikan

berpendapat bahwa sejak lahir anak telah memiliki/membawa sifat-sifat


dan dasar-dasar tertentu, yang bersifat pembawaan atau keturunan.
Sifat-sifat dan dasar-dasar tertentu yang bersifat keturunan (herediter)
inilah yang menentukan pertumbuhan dan perkembangan anak, serta
hasil pendidikan sepenuhnya (Nadirah, 2013).
Aliran nativisme mengesampingkan peranan lingkungan sosial,
pembinaan dan pendidikan. Aliran nativisme ini nampaknya begitu
yakin terhadap potensi batin yang ada dalam diri manusia dan aliran ini
erat kaitannya dengan aliran intuisme dalam penentuan baik dan buruk
manusia. Aliran ini tampak kurang menghargai atau kurang
memperhitungkan peran pembinaan dan pendidikan (Nata, 2002).
Nativisme menganggap pendidikan dan lingkungan boleh dikatakan
tidak berarti, tidak mempengaruhi perkembangan anak didik, kecuali
hanya sebagai wadah dan memberikan rangsangan saja. Apabila seorang
anak berbakat jahat, maka ia akan menjadi jahat, begitu pula sebaliknya.
Apabila seorang anak mempunyai potensi intelektual rendah maka
akan tetap rendah (Djumransjah, 2004). Pandangan tersebut dikenal
dengan pesimisme paedagogis, karena sangat pesimis terhadap upaya-
upaya dan hasil pendidikan.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, aliran nativisme menolak
dengan tegas adanya pengaruh eksternal. Pendidikan tidak berpengaruh
sama sekali dalam membentuk manusia menjadi baik. Pendidikan tidak
bermanfaat sama sekali. Sebaliknya, kalau kita menginginkan manusia
menjadi baik, maka yang perlu dilakukan adalah memperbaiki kedua
orang tuanya karena merekalah yang mewariskan faktor-faktor bawaan
kepada anak-anaknya. Nativisme jelas merupakan aliran yang mengakui
adanya daya-daya asli yang telah terbentuk sejak lahirnya manusia ke
dunia. Daya-daya tersebut ada yang dapat tumbuh dan berkembang
sampai pada titik maksimal kemampuan manusia dan ada yang dapat
tumbuh berkembang hanya sampai pada titik tertentu sesuai dengan
kemampuan individual manusia (Setianingsih, 2008). Para ahli yang
berpendirian Nativis biasanya mempertahankan kebenaran konsep ini
dengan menunjukkan berbagai kesamaan atau kemiripan antara orang
tua dengan anak-anaknya (Sabri, 1996).
Beberapa tokoh yang berhubungan dengan aliran nativisme adalah
Rochacher, Rosear, dan Basedow. Rochacher mengatakan bahwa manusia
adalah hasil proses alam yang berjalan menurut hukum tertentu. Manusia
tidak dapat mengubah hukum-hukum tersebut. Rosear mengatakan
Aliran Pendidikan 89

bahwa manusia tidak dapat dididik. Pendidik malah akan merusak


perkembangan anak. Pendidikan adalah persoalan yang membiarkan
atau membebaskan pertumbuhan anak secara kodrati. Sementara itu,
Basedow mengatakan bahwa pendidikan adalah pelanggaran atas
kecenderungan berkembang yang wajar dari anak. Aliran ini juga
disebut predestinatif yang menyatakan bahwa perkembangan atas nasib
manusia telah ditentukan sebelumnya, yakni tergantung pada bawaan
dan bakat yang dimilikinya.
Aliran ini masih memungkinkan adanya pendidikan. Namun,
mendidik menurut aliran ini membiarkan anak tumbuh berdasarkan
pembawaannya. Berhasil tidaknya perkembangan anak tergantung
kepada tinggi rendahnya dan jenis pembawaan yang dimiliki anak.
Apa yang patut dihargai dari pendidikan atau manfaat yang diberikan
oleh pendidikan, tidak lebih dari sekadar memoles permukaan peradaban
dan tingkah laku sosial, sedangkan lapis yang mendalam dan kepribadian
anak, tidak perlu ditentukan.

3. Aliran Naturalisme
Natur atau natura artinya alam, atau apa yang dibawa sejak lahir.
Aliran ini ada persamaannya dengan aliran nativisme (beberapa ahli
menyebut dengan istilah “sama”, “hampir sama” dan “senada”. Istilah
natura telah dipakai dalam filsafat dengan bermacam-macam arti, dari
dunia fisika yang dapat dilihat oleh manusia, sampai kepada sistem
total dari fenomena ruang dan waktu.
Aliran Naturalisme dipelopori oleh Jean Jaquest Rousseau. Ia
mengatakan, “Segala sesuatu adalah baik ketika ia baru keluar dari
alam, dan segala sesuatu menjadi jelek manakala ia sudah berada di
tangan manusia ”. Seorang anak dapat tumbuh dan berkembang menjadi
anak yang baik, maka anak tersebut harus diserahkan ke alam. Kekuatan
alam akan mengajarkan kebaikan-kebaikan yang terlahir secara alamiah
sejak kelahiran anak tersebut. Dengan kata lain Rousseaue menginginkan
perkembangan anak dikembalikan ke alam yang mengembangkan anak
secara wajar karena hanya alamlah yang paling tepat menjadi guru.
Menurut Ilyas (1997) naturalisme bependapat bahwa pada
hakekatnya semua anak manusia adalah baik pada waktu dilahirkan
yaitu dari sejak tangan sang pencipta, tetapi akhirnya rusak sewaktu
berada di tangan manusia. Oleh karena itu, Rousseau menciptakan
konsep pendidikan alam, artinya anak hendaklah dibiarkan tumbuh
90 Pengantar Pendidikan

dan berkembang sendiri menurut alamnya, manusia jangan banyak


mencampurinya. Rousseau juga berpendapat bahwa jika anak melakukan
pelanggaran terhadap norma-norma, hendaklah orang tua atau pendidik
tidak perlu untuk memberikan hukuman, biarlah alam yang
menghukumnya. Jika seorang anak bermain pisau, atau bermain api
kemudian terbakar atau tersayat tangannya, atau bermain air kemudian
ia gatal-gatal atau masuk angin. Ini adalah bentuk hukuman alam.
Biarlah anak itu merasakan sendiri akibatnya yang sewajarnya dari
perbuatannya itu yang nantinya menjadi insaf dengan sendirinya.

4. Aliran Konvergensi
Salah satu tokoh pendidikan bernama William Stern (1871-1939)
telah menggabungkan pandangan yang dikenal dengan teori atau aliran
konvergensi. Aliran ini ingin mengompromikan dua macam aliran yang
eksterm, yaitu aliran empirisme dan aliran nativisme, dimana
pembawaan dan lingkungan sama pentingnya, kedua-duanya sama
berpengaruh terhadap hasil perkembangan anak didik. Stern
berpendapat bahwa pembawaan dan lingkungan merupakan dua garis
yang menuju kepada suatu titik pertemuan (garis pengumpul), oleh
karena itu perkembangan pribadi sesungguhnya merupakan hasil proses
kerjasama antara potensi heriditas (internal) dan lingkungan, serta
pendidikan (eksternal) (Djumaranjah, 2004).
Aliran konvergensi menyatakan bahwa pembawaan tanpa
dipengaruhi oleh faktor lingkungan tidak akan bisa berkembang,
demikian juga sebaliknya. Potensi yang ada pada pembawaan dari
seorang anak akan berkembang ketika mendapat pendidikan dan
pengalaman dari lingkungan. Sedangkan secara psikis untuk mengetahui
potensi yang ada pada anak didik yaitu dengan cara melihat potensi
yang dimunculkan pada anak tersebut. Pembawaan yang disertai
disposisi telah ada pada masing-masing individu yang membutuhkan
tempat untuk merealisasikan dan mengembangkannya. Pada dasarnya
pembawaan adalah seluruh kemungkinan-kemungkinan atau
kesanggupan-kesanggupan (potensi) yang terdapat pada suatu individu
dan ayang selama masa perkembangannya benar-benar dapat
direalisasikan.
Aliran konvergensi pada prinsipnya berpendapat bahwa
pembawaan dan lingkungan sama pentingnya. Perkembangan jiwa
seseorang tergantung pada bakat sejak lahir dan lingkungannya,
khususnya pendidikan. Peran pendidikan adalah memberi pengalaman
Aliran Pendidikan 91

belajar agar anak dapat berkembang secara optimal. Menurut aliran


konvergensi perkembangan pribadi merupakan hasil proses kerjasama
antara potensi hereditas (internal) dan lingkungan (eksternal). Jadi
menurut aliran konvergensi: (1) pendidikan dapat diberikan kepada
semua orang, (2) pendidikan diartikan sebagai pertolongan yang
diberikan kepada peserta didik untuk mengembangkan pembawaannya
yang baik dan mencegah pembawaan yang buruk, (3) hasil pendidikan
tergantung dari pembawaan dan lingkungan (Moerdiyanto, 2011).
Banyak bukti yang menunjukkan, bahwa watak dan bakat seseorang
yang tidak sama dengan orang tuanya itu, setelah ditelusuri ternyata
waktu dan bakat orang tersebut sama dengan kakek atau ayah/ibu
kakeknya. Dengan demikian, tidak semua bakat dan watak seseorang
dapat diturunkan langsung kepada anak-anaknya, tetapi mungkin
kepada cucunya atau anak-anaknya cucunya. Alhasil, bakat dan watak
dapat tersembunyi sampai beberapa generasi (Syah, 2002).
Teori konvergensi ini pada umumnya diterima secara luas sebagai
pandangan yang tepat dalam memahami tumbuh-kembang manusia
(Tirtarahardja & Sulo, 2005), meskipun masih ada juga beberapa kritik
terhadapnya. Aliran konvergensi dikritik sebagai aliran yang cocok
untuk hewan dan tumbuhan, kalau bibitnya baik dan lingkungannya
baik maka hasilnya pasti baik. Padahal bagi manusia itu belum tentu,
karena masih ada faktor lain yang mempengaruhi, yaitu pilihan atau
seleksi dari yang bersangkutan.

5. Pengaruh Aliran Klasik Terhadap Dunia Pendidikan Indonensia


Awalnya atau sebelum sistem persekolahan ‘modern’ seperti yang
semula diperkenalkan oleh kolonialis Belanda, terdapat berbagai ‘institusi’
pendidikan dalam lingkup masyarakat-masyarakat tradisional, baik
dalam keterkaitannya dengan berbagai kebudayaan etnik maupun
dengan berbagai sistem pemerintahan tradisional yang dalam banyak
hal juga sedikit-banyak terkait dengan etnisitas (Tim Paradigma
Pendidikan BSNP, 2010). Pendidikan di Nusantara sebenarnya telah ada
sebelum pemerintah colonial Belanda mencetuskan trias politika. Ketika
pengaruh Hindu-Buda masih kental di Nusantara, pendidikan dikenal
dengan istilah padepokan, kemudian pada saat pengaruh Islam masuk,
pendidikan dikenal dengan pesantren. Kedua model pendidikan tersebut
merupakan pendidikan agama. Pendidikan disampaikan secara
tradisional dan belum memiliki kurikulum formal. Sebelum abad ke-20
umat Islam Indonesia hanya mengenal satu jenis lembaga pendidikan
92 Pengantar Pendidikan

yang disebut “lembaga pengajaran asli”, pengajaran ini dalam berbagai


bentuk,1 yaitu pendidikan di langgar dan di pesantren (Poerbakawatja,
1970).
Awalnya pendidikan di Indonesia terutama diselenggarakan oleh
keluarga dan masyarakat, misalnya kelompok belajar/padepokan,
lembaga keagamaan/pesantren, dan lain-lain. Pendidikan oleh keluarga
dan masyarakat dalam konteks ini diasosiasikan dengan pendidikan di
pondok pesantren (sistem asrama). Hal ini karena pada umumnya,
pondok pesantren adalah milik kyai atau sekelompok keluarga. Tak
jarang pondok pesantren didirikan atas prakarsa penguasa, raja-raja,
atau orang kaya lain. Pondok pesantren sebagai lembaga bagi pendidikan
dan penyebaran agama Islam lahir dan berkembang semenjak masa-
masa permulaan kedatangan Islam di Indonesia.
Aliran-aliran pendidikan klasik mulai di kenal di Indonesia melalui
upaya-upaya pendidikan, utamanya persekolahan, dari penguasa
penjajah Belanda dan kemudian disusul oleh adanya orang-orang Indo-
nesia yang belajar di negeri Belanda. Dunia pendidikan Indonesia
dikelola secara modern baru dikenal setelah kedatangan bangsa Barat,
terutama setelah pemerintah Hindia Belanda melaksanakan kebijakan
baru dalam politiknya yang dibuktikan dengan diterapkannya politik
etis di Indonesia pada awal abad ke-20. Tujuan dari kebijakan ini adalah
untuk memperbaiki taraf hidup rakyat Indonesia, salah satu cara untuk
mencapai sasaran tersebut adalah dengan memberikan pendidikan
pada rakyat Indonesia. Selain itu alasan pemerintah Hindia Belanda
adalah untuk mempertahankan posisinya sebagai penguasa dan dapat
memenuhi kebutuhan dalam pemerintahnya. Selanjutnya, menurut
Tirtarahardja & Sulo (2005) pasca kemerdekaan, gagasan-gagasan dari
aliran-aliran pendidikan itu masuk ke Indonesia melalui orang-orang
Indonesia yang belajar di berbagai Negara di Eropa, Amerika, dan lain-
lain. Seperti diketahui, sistem persekolahan diperkenalkan oleh
pemerintah kolonial Belanda di Indonesia.
Penjajah Belanda pada masa itu tidak hanya menghegemoni secara
langsung melalui kebijakannya namun juga melalui buku bacaan, koran,
dan sejenisnya. Seiring waktu berlalu, persebaran media cetak dan
hubungan internasional oleh pemerintahan yang terjadi dengan negara-
negara di Eropa dan Amerika kemudian menjadi acuan dalam penetapan
kebijakan di bidang pendidikan di Indonesia. Salah satu organisasi
massa keagaaman yang cepat merespon dan kemudian mengembangkan
sistem persekolahan itu adalah Muhammadiyah.
Aliran Pendidikan 93

Semua aliran klasik pendidikan pada dasarnya telah mempengaruhi


dunia pendidikan di Indonesia. Keempat aliran klasik tersebut banyak
diadopsi dalam mengatur sistem pendidikan di sekolah-sekolah di
berbagai negara termasuk Indonesia. Aliran-aliran tersebut memiliki
kecenderungan untuk mengemukakan satu faktor dominan saja dalam
mengembangkan manusia. Sebagai hasilnya, penganut aliran klasik,
sebagaimana kebanyakan sekolah formal yang ada di Indonesia, belum
mampu untuk mensinergikan yang dididik dengan lingkungannya serta
memposisikan yang dididik menjadi subyek pendidik juga, sebagaimana
yang dilakukan oleh penganut aliran baru dalam pendidikan.
Aliran empirisme misalnya, menurut Suyitno (2009) pada
perkembangnnya spirit empirisme telah banyak mempengaruhi
pendidikan. Empirisme menganjurkan agar kita kembali ke alam untuk
mendapatkan pengetahuan. Menurut mereka pengetahuan ini tidak ada
secara apriori di benak kita, melainkan harus diperoleh dari pengalaman.
Berkembanglah pola berpikir empiris, yang semula berasal dari sarjana-
sarjana Islam dan kemudian terkenal di dunia Barat lewat tulisan
Francis Bacon (1561-1626) dalam bukunya Novum Organum. Rasionalisme
dikenal oleh ahli-ahli fikir Barat lewat hasil-hasil karya filosof Islam
terhadap filsafat Yunani, yaitu oleh Al-Kindi (809 – 873), Al-Farabi (881-
961), Ibnu Sina (980-1037), dan Ibnu Rusyd (1126-1198). Al-Khawarizmi
sebagai ilmuwan Islam, telah mengembangkan aljabar, Al-Batani
menemukan goniometri dan angka desimal. Dunia Timur lainnya seperti
India telah menemukan matematika dan angka nol, sementara Cina
telah menemukan kompas, mesiu, mesin cetak dan kertas. Semua hal
itu kini telah berkembang pesat dan mewarnai kehidupan bangsa
Indonesia, tak terkecuali dunia pendidikan Indonesia.
Sementara itu, menurut Darajat (2005) dalam perspektif aliran
konvergensi pendidik yang mempunyai tugas untuk mendidik dan
mengarahkan anak didik seharusnya mengetahui dan sadar akan potensi
yang telah dibawa oleh anak sejak lahir (nativisme dan naturalisme),
sehingga dalam mengarahkan akan menjadi lebih mudah (empirisme).
Akan tetapi dalam kenyataan, kebanyakan para pendidik dalam
mengasuh anak didik sering sekali mengabaikan potensi yang ada pada
anak didik, sehingga menghambat perkembangan dan menjadikan
matinya bakat yang telah dibawa sejak lahir. Usaha-usaha tersebut di
atas diharapkan dapat membantu perkembangan potensi (pembawaan)
yang telah ada pada diri anak sejak anak itu dilahirkan demi tercapainya
tujuan dan keberhasilan pendidikan. Dengan demikian implikasi aliran
94 Pengantar Pendidikan

konvergensi dalam pendidikan memberikan kemungkinan bagi pendidik


untuk dapat membantu perkembangan individu sesuai dengan apa
yang diharapkan, namun demikian pelaksanaan harus tetap
memperhatikan faktor-faktor hereditas peserta didik, kematangan, bakat,
kemampuan, keadaan mental dan sebagainya.
Menurut Pramudia (2006) dalam perkembangannya aliran-aliran
tersebut telah mengilhami pelaku pendidikan di Indonesia bahwa
pendidikan berarti suatu proses humanisasi, oleh sebab itu hak-hak
asasi manusia perlu dihormati. Anak didik bukanlah robot tetapi manusia
yang harus dibantu di dalam proses pendewasaannya agar dia dapat
mandiri dan berpikir kristis. Selain itu pendidikan merupakan hak asasi
manusia, oleh karena itu pemerataan pendidikan haruslah dilaksanakan
secara konsekuen.

B. Gerakan Baru Pendidikan


1. Pengajaran Alam Sekitar
Aliran pendidikan yang mendekatkan anak dengan sekitarnya adalah
gerakan pengajaran alam sekitar yang dirintis oleh Fr. A. Finger dengan
heimatkunde (pengajaran alam sekitar) di Jerman, J. Ligthart di Belanda
dengan Het Volle Leven (kehidupan senyatanya). Prinsip yang dianut
dalam heimatkunde yakni (Tirtarahardja & Sulo, 2005):
a. Dalam pengajaran alam sekitar, guru dapat memeragakan secara
langsung.
b. Pengajaran alam sekitar memberikan kesempatan sebanyak-
banyaknya agar anak berpartisipasi aktif.
c. Pengajaran alam sekitar memungkinkan untuk diberlakukan
pengajaran totalitas dengan ciri segala bahan pengajaran berhubung-
hubungan satu sama lain.
d. Pengajaran alam sekitar memberi kepada anak bahan apersepsi
intelektual yang kukuh dan tidak verbalistis.
e. Pengajaran alam sekitar memberikan apersepsi emosional terhadap
anak didik.
Sementara Het Volle Leven memiliki prinsip sebagai berikut
(Tirtarahardja & Sulo, 2005):
a. Pengajaran alam sekitar mengajarkan anak untuk mengetahui
barangnya terlebih dahulu sebelum mendengar namanya.
Aliran Pendidikan 95

b. Pengajaran sesungguhnya harus mendasarkan pada pengajaran


selanjutnya atau mata pengajaran yang lain harus dipusatkan atas
pengajaran itu.
c. Harus diadakan perjalanan memasuki hidup agar murid paham akan
hubungan antara bermacam-macam lapangan dalam hidupnya.
Pada dasarnya, banyak faktor yang mempengaruhi sistem
pendidikan baik faktor yang berasal dari dalam maupun luar. Secara
makro, faktor dari luar merupakan sistem yang berada di luar
pendidikan, antara lain ideologi, ekonomi, politik, sosial budaya,
lingkungan alam, dan lain-lain. Faktor itu saling berinteraksi dan saling
mempengaruhi dengan sistem pendidikan. Dengan demikian,
pendidikan akan dipengaruhi oleh bahkan berinteraksi dengan
lingkungan sosial maupun lingkungan alam dalam ekosistem yang
lebih luas. Konsep ini mengarahkan pada pemahaman dan pembahasan
pendidikan dilihat dalam perspektif ekologi.

2. Pengajaran Pusat Perhatian


Menurut Tirtarahardja & Sulo (2005) pengajaran pusat perhatian
dirintis oleh Ovideminat Declory (1871-1932) dari Belgia dengan
pengajaran melalui pusat-pusat minat (centres d’nternet), di samping
pendapatnya tentang pengajaran global. Pendidikan menurut Declory
berdasar pada semboyan ecole pour ia vie, par la vie (sekolah untuk hidup
dan oleh hidup). Anak harus dididik untuk dapat hidup dalam
masyarakat dan dipersiapkan dalam masyarakat, anak harus diarahkan.
Oleh karena itu, anak harus mempunyai pengetahuan terhadap diri
sendiri (tentang hasrat dan cita-citanya) dan pengetahuan tentang
dunianya (lingkungannya, terdapat hidup di hari depannya).
Pengetahuan anak harus bersifat subjektif dan objektif.
Penelitian secara tekun yang dilakukan Decroly menyumbangkan
dua pendapat yang sangat berguna bagi pendidikan dan pengajaran,
yang merupakan dua hal yang khas, yaitu:
a. Metode global (keseluruhan)
Berdasarkan observasi dan tes, ia berpandangan bahwa anak-anak
mengamati dan mengingat secara global (keseluruhan). Mengingat
keseluruhan lebih dulu daripada bagian-bagian. Jadi ini berdasar atas
prinsip psikologi Gestalt. Dalam mengajarkan membaca dan menulis,
ternyata dengan mengajarkan kalimat lebih mudah diajarkan daripada
mengajarkan huruf-huruf secara tersendiri. Metode ini bersifat video
96 Pengantar Pendidikan

visual sebab arti sesuatu kata yang diajarkan itu selalu diasosiasikan
dengan tanda (tulisan) atau suatu gambar yang dapat dilihat.
b. Centre d’internet (pusat-pusat minat).
Berdasarkan penyelidikan psikologik, ia menetapkan bahwa anak-anak
mempunyai minat yang spontan (sewajarnya). Pengajaran harus
disesuaikan dengan minat-minat spontan tersebut. Sebab apabila tidak,
yaitu misalnya minat yang ditimbulkan oleh guru, maka pengajaran
itu tidak tidak akan banyak hasilnya. Anak mempunyai minat-minat
spontan terhadap diri sendiri dan terhadap masyarakat (biososial).
Minat terhadap diri sendiri itu dapat kita bedakan menjadi:
1) Dorongan mempertahankan diri,
2) Dorongan mencari makan dan minum dan
3) Dorongan memelihara diri.
Sedangkan minat terhadap masyarakat ialah:
1) Dorongan sibuk bermain-main.
2) Dorongan meniru orang lain.
Dorongan-dorongan inilah yang digunakan sebagai pusat-pusat
minat. Sedangkan pendidikan dan pengajaran harus selalu dihubungkan
dengan pusat-pusat minat tersebut.
Asas-asas Pengajaran Pusat Perhatian adalah sebagai berikut:
a. Pengajaran ini didasarkan atas kebutuhan anak dalam hidup dan
perkembangannya.
b. Setiap beban pengajaran harus merupakan keseluruhan, tidak
mementingkan bagian tetapi mementingkan keberartian dari
keseluruhan ikatan bagian itu.
c. Anak didorong dan dirangsang untuk selalu aktif dan di didik untuk
menjadi anggota masyarakat yang dapat berdiri sendiri dan
bertanggung jawab.
d. Harus ada hubungan kerjasama yag erat antara rumah dan keluarga.
Gerakan pengajaran pusat perhatian telah mendorong berbagai upaya
agar dalam kegiatan belajar mengajar diadakan berbagai variasi (cara
mengajar dan lain-lain) agar perhatian siswa tetap terpusat pada bahan
ajaran. Dengan kemajuan teknologi pengajaran, peluang mengadakan
variasi tersebut menjadi terbuka lebar, dan dengan demikian upaya
menarik minat menjadi lebih besar. Pemusatan perhatian dalam pengajaran
biasanya dilakukan bukan hanya pada pembukaan pengajaran, tetapi
juga pada setiap kali akan membahas sub topik yang baru.
Aliran Pendidikan 97

3. Sekolah Kerja
Menurut Tirtarahardja & Sulo (2005) dan Sagala (2010) gerakan
sekolah kerja dapat dipandang sebagai titik kulminasi dari pandangan-
pandangan yang mementingkan pendidikan keterampilan dalam
pendidikan. Tokoh pendidikan sekolah kerja ini adalah G. Kerschensteiner
(1854-1932) dengan konsep “Arbeitschule” (Sekolah Kerja) di Jerman.
Sekolah kerja bertolak dari pandangan bahwa pendidikan tidak hanya
demi kepentingan individu, tetapi juga demi kepentingan masyarakat.
Dengan kata lain sekolah berkewajiban menyiapkan Negara yang baik
yakni: (a) tiap orang adalah pekerja dalam salah satu lapangan jabatan;
(b) tiap orang wajib menyumbangkan tenaganya untuk kepentingan
negara; dan (c) dalam menunaikan kedua tugas tersebut harus diusahakan
kesempurnaannya, agar dengan jalan itu tiap warga negara ikut berbuat
sesuai dengan kesusilaan serta menjaga keselamatan negara.
Tujuan sekolah kerja ini menurut Kerschensteiner sebagai pencetus
sekolah kerja adalah a) menambah pengetahuan anak, yaitu pengetahuan
yang didapat dari buku atau orang lain, dan yang didapat dari
pengalaman sendiri; b. agar anak dapat memiliki kemampuan dan
kemahiran tertentu; dan c. agar anak dapat memiliki pekerjaan sebagai
persiapan jabatan dalam mengabdi Negara. Kerschensteiner berpendapat
bahwa kewajiban utama sekolah adalah mempersiapkan anak-anak
untuk dapat bekerja. Bekerja di sini bukan pekerjaan otak yang
dipentingkan, melainkan pekerjaan tangan (Tirtarahardja & Sulo, 2005;
Sagala, 2010).

4. Pengajaran Proyek
Dasar filosofis dan pedagogis dari pengajaran-pengajaran proyek
diletakkan oleh John Dewey (1859-1952) namun pelaksanaannya
dilakukan oleh pengikut utamanya W. H. Kilpartrick. Pengajaran proyek
memberi kebebasan pada anak untuk menentukan pilihannya,
merancang serta memimpinya. Proyek yang ditentukan oleh anak
mendorongnya mencari jalan pemecahan bila dia menemui kesukaran.
Anak dengan sendirinya giat dan aktif karena sesuai dengan apa yang
diinginkannya. Dalam pengajaran proyek, pekerjaan dikerjakan secara
berkelompok untuk menghidupkan rasa gotong-royong. Pengajaran
proyek digunakan sebagai salah satu metode mengajar di Indonesia,
antara lain dengan nama pengajaran proyek,pengajaran unit,dan
sebagainya. Yang perlu ditekankan bahwa pengajaran proyek akan
menumbuhkan kemampuan untuk memandang dan memecahkan
98 Pengantar Pendidikan

persoalan secara komprehensif dengan kata lain, menumbuhkan


kemampuan pemecahan masalah secara multidisiplin (Tirtarahardja &
Sulo, 2005).
Praktek belajar dan pembelajaran dekade terakhir ini mengenalkan
kita pada istilah PjBL atau Pembelajaran Berbasis Proyek. Para ahli
memberi pengertian tentang PjBL. Menurut University of Nottingham,
metode pengajaran sistematik yang mengikutsertakan pelajar ke dalam
pembelajaran pengetahuan dan keahlian yang kompleks, pertanyaan
authentic dan perancangan produk dan tugas. Menurut Baron,
pendekatan cara pembelajaran secara konstruktif untuk pendalaman
pembelajaran dengan pendekatan berbasis riset terhadap permasalahan
dan pertanyaan yang berbobot, nyata dan relevan bagi kehidupannya.
Menurut Blumenfeld et al, pendekatan komprehensif untuk pengajaran
dan pembelajaran yang dirancang agar pelajar melakukan riset terhadap
permasalahan nyata. Sementara itu, Boud & Felleti mengartikannya
sebagai cara yang konstruktif dalam pembelajaran menggunakan
permasalahan sebagai stimulus dan berfokus kepada aktivitas pelajar
(Husamah, 2013).
Project Based Learning adalah sebuah model atau pendekatan
pembelajaran yang inovatif, yang menekankan belajar kontekstual melalui
kegiatan-kegiatan yang kompleks. Fokus pembelajaran terletak pada
konsep-konsep dan prinsip-prinsip inti dari suatu disiplin studi,
melibatkan pebelajar dalam investigasi pemecahan masalah dan kegiatan
tugas-tugas bermakna yang lain, memberi kesempatan pebelajar bekerja
secara otonom mengkonstruk pengetahuan mereka sendiri, dan mencapai
puncaknya menghasilkan produk nyata.
Project Based Learning pada umumnya memerlukan beberapa tahapan
dan beberapa durasi, tidak sekedar merupakan rangkaian pertemuan
kelas, serta belajar kelompok kolaboratif. Proyek memfokuskan pada
pengembangan produk atau unjuk kerja (performance), yang secara umum
pebelajar melakukan kegiatan: mengorganisasi kegiatan belajar kelompok
mereka, melakukan pengkajian atau penelitian, memecahkan masalah,
dan mensintesis informasi. Proyek seringkali bersifat interdisipliner.
Menurut Husamah (2013) selama berlangsungnya proses belajar
dalam PjBL pelajar akan mendapat bimbingan dari narasumber atau
fasilitator, tergantung dari tahapan kegiatan yang dijalankan. Narasumber
bertugas menyusun trigger problems, sebagai sumber pembelajaran untuk
informasi yang tidak ditemukan dalam sumber pembelajaran bahan
Aliran Pendidikan 99

cetak atau elektronik, melakukan evaluasi hasil pembelajaran. Secara


umum peran fasilitator adalah memantau dan mendorong kelancaran
kerja kelompok, serta melakukan evaluasi terhadap efektifitas proses
belajar kelompok.
Secara lebih rinci peran fasilitator adalah:
a. Mengatur kelompok dan menciptakan suasana yang nyaman.
b. Memastikan bahwa sebelum mulai setiap kelompok telah memiliki
seorang anggota yang bertugas membaca materi, sementara teman-
temannya mendengarkan, dan seorang anggota yang bertugas
mencatat informasi yang penting sepanjang jalannya diskusi.
c. Memberikan materi atau informasi pada saat yang tepat, sesuai
dengan perkembangan kelompok.
d. Memastikan bahwa setiap sesi diskusi kelompok diakhiri dengan self-
evaluation.
e. Menjaga agar kelompok terus memusatkan perhatian pada
pencapaian tujuan.
f. Memonitor jalannya diskusi dan membuat catatan tentang berbagai
masalah yang muncul dalam proses belajar, serta menjaga agar proses
belajar terus berlangsung, agar tidak ada tahapan dalam proses belajar
yang dilewati atau diabaikan dan agar setiap tahapan dilakukan dalam
urutan yang tepat.
g. Menjaga motivasi pelajar dengan mempertahankan unsur tantangan
dalam penyelesaian tugas dan juga memberikan pengarahan untuk
mendorong pelajar keluar dari kesulitannya.
h. Membimbing proses belajar pelajar dengan mengajukan pertanyaan
yang tepat pada saat yang tepat. Pertanyaan ini hendaknya merupakan
pertanyaan terbuka yang mendorong pelajar mencari pemahaman
yang lebih mendalam tentang berbagai konsep, ide, penjelasan, sudut
pandang, dan lain-lain.
i. Mengevaluasi kegiatan belajar pelajar, termasuk partisipasinya dalam
proses kelompok. Pengajar perlu memastikan bahwa setiap pelajar
terlibat dalam proses kelompok dan berbagi pemikiran dan pandangan.
j. Mengevaluasi penerapan pembelajaran yang telah dilakukan.
Project Based Learning menuntut siswa bekerja bersama tugas yang
diberikan pengajar agar aktif. Siswa dapat bekerja secara individu
maupun kelompok. Dalam banyak kasus, Siswa mengerjakan proyek
secara bersamaan di dalam kelompok kecil. Terdapat dua jenis kelompok,
yakni kelompok off-campus dan kelompok on-campus. Kebutuhan dua
100 Pengantar Pendidikan

jenis kelompok ini sedikit berbeda. Siswa dalam kelompok on-campus


dapat bertemu secara fisik, tidak memerlukan alat bantu komunikasi
canggih, tetapi memerlukan koordinasi kerja (perencanaan, penjadwalan,
dan lain-lain). Siswa di dalam suatu kelompok off-campus memerlukan
komunikasi luas untuk mengerjakan tugas secara kolaboratif. Oleh
karena itu, pelajar memerlukan fasilitas synchronous dan asynchronous
sebagai tambahan terhadap koordinasi kerja.
Menurut Husamah (2013) kegiatan siswa dapat dikelompokkan tiga
kategori aktifitas individu, aktivitas dalam kelompok, dan aktivitas
antar-kelompok. Aktivitas di dalam kategori yang ketiga ini dilaksanakan
oleh individu atau kelompok siswa.
a. Secara Individual
Setiap individu pelajar mempunyai kebutuhan yang tidak perlu sama
dalam suatu kelompok. Tiap-tiap pelajar mempunyai kemampuan
yang berbeda, pendekatan belajar, dan penyelesaian tugas. Selama
mengerjakan proyek, tiap pelajar melaksanakan aktifitas seperti:
memvisualisasikan aktifitas proyek dan mencari tugas yang akan
dikerjakan, mengatur jadwal, mengorganisir materi pembelajaran,
menata dokumen (computer-files), mengirimkan pesan kepada
pengajar atau ahli, dan self assessment. Para siswa dapat memberikan
kontribusi terhadap proyek yang berbeda secara simultan.
b. Di dalam Kelompok
Ketika seseorang bekerja di dalam kelompok, para siswa harus bekerja
sama. Kerja sama berlangsung dalam wujud aktifitas dasar seperti:
brainstorming, diskusi, melakukan editing dokumen secara bersama-
sama, sinkronisasi komunikasi lewat audio, video, atau text, menata
dokumen kelompok, task scheduling, dan peer assessment. Sebagian dari
aktivitas ini dapat dilakukan bersama kelompok on-campus tanpa
perangkat spesifik, sedangkan para siswa dalam kelompok off-
campus didukung oleh perangkat yang memadai.
c. Antar Kelompok
Para siswa menyelesaikan aktivitas lain dalam bentuk berbagi informasi
dan pengetahuan dengan kelompok lain. Contoh aktivitas ini adalah:
presentasi, peer reviews, memberikan kontribusi pada forum diskusi.

5. Pengaruh Gerakan Baru dalam Pendidikan Terhadap


Penyelenggaraan Pendidikan di Indonesia
Telah dikemukakan bahwa gerakan baru dalam pendidikan terutama
berkaitan dengan kegiatan belajar mengajar di sekolah, namun dasar –
Aliran Pendidikan 101

dasar pikirannya tentulah menjangkau semua segi dari pendidikan,


baik aspek konseptual maupun operasional. Sebab itu, mungkin saja
gerakan-gerakan itu tidak diadopsi seutuhnya di suatu masyarakat atau
negara tertentu, namun asas pokoknya menjiwai kebijakan – kebijakan
pendidikan dalam masyarakat atau negara itu. Sebagai contoh yang
telah dikemukakan pada setiap paparan tentang gerakan itu, untuk
Indonesia, seperti muatan lokal dalam kurikulum untuk mendekatkan
peserta didik dengan lingkungannya, berkembangnya sekolah kejuruan
(SMK), pemupukan semangat kerja sama multidisiplin dalam
menghadapi masalah, dan sebagainya.
Pembelajaran proyek pun saat ini semakin dikenal, dengan istilah
pembelajaran berbasis proyek atau Project Based Learning (PjBL). PjBL
menjadi salah satu motede/model pembelajaran aktif yang dianjurkan
oleh pemerintah dalam upaya implementasi Kurikulum 2013. Di sisi
lain, PjBL dianggap merupakan representasi pembelajaran yang
mendorong pengembangan kemampuan/keterampilan berpikir
(thinking skills atau habits of mind) siswa dan mahasiswa sebagai “sesuatu”
yang harus dimiliki oleh generasi abad ke-21.
Sementara itu, pengaruh pengajaran alam sekitar misalnya dapat
dilihat bahwa Indonesia sejak tahun 1989 telah dirilis alternatif
pendidikan yang mengarah pada pengajaran alam sekitar oleh Lendo
Novo, mantan staf ahli Menteri Negara BUMN. Lendo Novo
mengaplikasikan aliran pengajaran alam sekitar di Indonesia dengan
menggagas sekolah alam, yaitu sekolah yang memiliki basis prinsip
bahwa sekolah adalah tempat untuk dialektika, kebudayaan, membangun
peradaban, dan sebagainya. Saat ini pun telah banyak bermunculan
sekolah-sekolah alam di hampir seluruh penjuru Indonesia dan menjadi
alternatif yang semakin memperkaya pelaksanaan pendidikan
pembelajaran di Indonesia.
Pokok-pokok pendapat pengajaran alam tersebut telah banyak
dilakukan di sekolah, baik dengan peragaan, penggunaan bahan lokal
dalam pengajaran dan lain-lain. Mengacu pada konsep pendidikan
alam sekitar, misalnya telah ditetapkan adanya materi pelajaran muatan
lokal dalam kurikulum, termasuk penggunaan alam sekitar. Dengan
kurikulum muatan lokal tersebut diharapkan peserta didik semakin
dekat dengan alam sekitar dan masyarakat lingkungannya. Di samping
alam sekitar sebagai isi bahan ajar, alam sekitar juga menjadi kajian
empirik melalui percobaan, studi banding, dan sebagainya. Dengan
memanfaatkan sumber-sumber dari alam sekitar dalam kegiatan
102 Pengantar Pendidikan

pembelajaran, dimungkinkan peserta didik akan lebih menghargai,


mencintai, dan melestarikan lingkungan alam sekitar sebagai sumber
kehidupannya (Usman, 2012).
Perkembangan pendidikan dan pembelajaran berikutnya
memperkenalkan kepada kita istilah-istilah baru yang berkaitan atau
senada dengan pengajaran alam sekita yaitu pembelajaran kelas alam
outdoor study dan outdoor learning. Pembelajaran di luar ruang akan
membawa peserta didik dapat berintegrasi dengan alam. Alam akan
membuka cakrawala pandang siswa lebih luas dibanding dengan
pembelajaran yang dilakukan di dalam kelas. Metode ini juga diharapkan
dapat menjalin keselarasan antara materi pembelajaran dengan
lingkungan sekitar. Tidak semua materi dapat menerapkan metode ini,
namun alangkah baiknya apabila sesekali siswa diajak langsung untuk
terjun ke lapangan melihat dunia nyata/aktual. Para siswa diharapkan
dapat menimba ilmu secara langsung dari pengalaman nyata yang ada,
sehingga materi pembelajaran lebih mudah dipahami dan diingat untuk
jangka panjang. Sebagaimana ada pepatah mengatakan bahwa apa
yang dilihat apa yang diingat.
Secara substansi sekolah berbasis alam atau pembelajaran berbasis
alam merupakan sistem sekolah yang menawarkan bagaimana mengajak
siswa untuk lebih akrab dengan alam, sekaligus menjadikannya spirit
untuk melakukan kegiatan belajar mengajar. Pembelajaran berbasis alam
sebetulnya dapat secara fleksibel dilakukan, tidak harus dengan bentuk
outbond, tetapi dapat dilakukan di lingkungan sekitar sekolah yang
terdekat. Banyak pendekatan yang dapat dilakukan untuk menerapkan
model belajar berbasis alam. Salah satu contoh model belajar berbasis
alam antara lain pendekatan belajar berbasis masalah (Santyasa, 2008).
Berbagai benda yang terdapat di lingkungan atau alam sekitar kita
dapat kita kategorikan ke dalam jenis sumber belajar yang dimanfaatkan
(by design resources) ini. Dibanding dengan dengan jenis sumber belajar
yang dirancang, jenis sumber belajar yang dimanfaatkan ini jumlah dan
macamnya jauh lebih banyak. Oleh karena itu, sangat dianjurkan setiap
guru mampu mendayagunakan sumber belajar yang ada di lingkungan
ini. Pengertian lingkungan dalam hal ini adalah segala sesuatu baik
yang berupa benda hidup maupun benda mati yang terdapat di sekitar
kita (di sekitar tempat tinggal maupun sekolah).
Sebagai guru, kita dapat memilih berbagai benda yang terdapat di
lingkungan untuk kita jadikan media dan sumber belajar bagi siswa di
Aliran Pendidikan 103

sekolah. Bentuk dan jenis lingkungan ini bermacam macam, misalnya:


sawah, hutan, pabrik, lahan pertanian, gunung, danau, peninggalan
sejarah, musium, dan sebagainya. Media di lingkungan juga bisa
berupa benda-benda sederhana yang dapat dibawa ke ruang kelas,
misalnya: batuan, tumbuh-tumbuhan, binatang, peralatan rumah tangga,
hasil kerajinan, dan masih banyak lagi contoh yang lain. Semua benda
itu dapat kita kumpulkan dari sekitar kita dan dapat kita pergunakan
sebagai media pembelajaran di kelas. Benda-benda tersebut dapat kita
perloeh dengan mudah di lingkungan kita sehari-hari. Jika mungkin,
guru dapat menugaskan para siswa untuk mengumpulkan benda-
benda tertentu sebagai sumber belajar untuk topik tertentu. Benda-
benda tersebut juga dapat kita simpan untuk dapat kita pergunakan
sewaktu-waktu diperlukan (Husamah, 2013).
Sehubungan dengan penerapan kurikulum 2013, menurut Husamah
(2013) untuk menjadi kreatif, siswa diberi kesempatan untuk mengamati
fenomena alam, fenomena sosial, dan fenomena seni budaya, kemudian
bertanya dan menalar dari hasil pengamatan tersebut. Hal ini
menunjukkan siswa benar-benar belajar dari lingkungan. Berdasarkan
kreativitas tersebut, timbul inovasi dan kreasi yang menjadikan siswa
memiliki beragam alternatif jawaban dalam setiap masalah yang
dihadapinya. Selain itu, pembelajaran di luar ruangan kelas merupakan
salah satu upaya terciptanya pembelajaran terhindar dari kejenuhan,
kebosanan, dan persepsi belajar hanya di dalam kelas Pola pikir kreatif
dan inovatif seperti itu diharapkan akan lahir dari implementasi
Kurikulum 2013.
Outdoor learning merupakan satu jalan bagaimana kita meningkatkan
kapasitas belajar anak. Anak dapat belajar secara lebih mendalam melalui
objek-objek yang dihadapi dari pada jika belajar di dalam kelas yang
memiliki banyak keterbatasan. Lebih lanjut, belajar di luar kelas dapat
menolong anak untuk mengaplikasikan pengetahuan yang dimiliki. Selain
itu, pembelajaran di luar kelas lebih menantang bagi siswa dan
menjembatani antara teori di dalam buku dan kenyataan yang ada di
lapangan. Kualitas pembelajaran dalam situasi yang nyata akan memberikan
peningkatan kapasitas pencapaian belajar melalui objek yang dipelajari
serta dapat membangun keterampilan sosial dan personal yang lebih baik.
Pembelajaran outdoor dapat dilakukan kapan pun sesuai dengan rancangan
program yang dibuat oleh guru. Pembelajaran outdoor dapat dilakukan
waktu pembelajaran normal, sebelum kegiatan pembelajaran di sekolah
atau sesudahnya, dan saat-saat liburan sekolah.
104 Pengantar Pendidikan

Pembelajaran dalam ruang yang bersifat kaku dan formalitas dapat


menimbulkan kebosanan, termasuk juga kejenuhan terhadap rutinitas
di sekolah. Pendidikan luar kelas dijadikan sebagai alternatif baru
dalam meningkatkan pengetahuan dalam pencapaian kualitas manusia.
Alam sebagai media pendidkan adalah suatu sarana efektif untuk
meningkatkan pengetahuan dan mengembangkan pola pikir serta sikap
mental positif seseorang. Konsep belajar dari alam adalah mengamati
fenomena secara nyata dari lingkungan dan memanfaatkan apa yang
tersedia di alam sebagai sumber belajar.
Dewasa ini ada kecenderungan untuk kembali ke pemikiran bahwa
anak didik akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan alamiah.
Kegiatan belajar mengajar akan menarik dan disukai oleh para siswa
jika guru dapat mengemas materi pembelajaran dengan sebaik-baiknya.
Salah satu cara untuk menjadikan pembelajaran itu menarik adalah
dengan melakukan pembelajaran di luar ruang kelas (outdoor). Namun
demikian, kegiatan ini sebaiknya diprogram dengan baik agar lebih
mengenai sasaran.
Proses pembelajaran bisa terjadi di mana saja, di dalam atau pun di
luar kelas, bahkan di luar sekolah. Proses pembelajaran yang dilakukan di
luar kelas atau di luar sekolah, memiliki arti yang sangat penting untuk
perkembangan siswa, karena proses pembelajaran yang demikian dapat
memberikan pengalaman langsung ke pada siswa, dan pengalaman
langsung memungkinkan materi pelajaran akan semakin kongkrit dan
nyata yang berarti proses pembelajaran akan lebih bermakna.
Contoh pembelajaran tersebut, misalnya guru mengajak siswa keluar
ruangan kelas untuk mengamati tanaman di sekitar sekolah. Kemudian
guru menanyakan kepada siswa-siswanya kenapa daun berwarna hijau.
Siswa diajak menemukan jawaban kenapa daun berwarna hijau.
Kemudian ditanyakan lagi kenapa ada daun yang berwarna hijau namun
ada juga yang berwarna kuning, dan lain-lain. Ini menampik anggapan
bahwa proses pembelajaran ini akan memerlukan laboratorium yang
mahal dan lengkap. Laboratoriumnya adalah alam di sekitar kita. Materi-
materi yang dibahas selain fenomena alam, juga berupa fenomena
sosial serta fenomena seni dan budaya.
Outdoor learning sejalan dengan pendapat Paulo Freire yang
mengatakan bahwa every place is a school, everyone is teacher. Artinya
bahwa setiap orang adalah guru, guru bisa siapa saja, dimana saja, serta
hadir kapan saja, tanpa batas ruang, waktu, kondisi apapun. Dengan
Aliran Pendidikan 105

demikian siapa saja dapat menjadi guru dan pembelajaran tidak harus
berlangsung di dalam kelas, sebab setiap tempat dapat menjadi tempat
untuk belajar. Konsep Paulo Freire sangat tepat bila dihubungkan dengan
metode outdoor learning. Outdoor learning dapat menjadi salah satu
alternatif bagi pengayaan sumber pembelajaran. Kajian lebih mendalam
tentang Outdoor learning serta hubunganya dengan pengajaran/
pembelajaran alam sekitar dapat diperdalam dengan membaca buku
Pembelajaran Luar Kelas; Outdoor Learning yang ditulis secara komprehensif
oleh Husamah (Jakarta: Prestasi Pustaka Raya, 2013).
Sementara itu, dewasa ini, di Indonesia sekolah kerja dikenal dengan
sekolah menengah kejuruan (SMK) yang bertujuan untuk menyiapkan
peserta didik untuk siap bekerja atau menggunakan keterampilan yang
diperoleh setelah tamat dari sekolah tersebut. Peranan sekolah kejuruan
merupakan tulang punggung penyiapan tenaga terampil yang diperlukan
negara-negara berkembang seperti Indonesia. Bagi para generasi muda
Indonesia, pendidikan keterampilan itu sangat diperlukan terlebih bagi
setiap orang yang akan memasuki lapangan kerja atau menciptakan
lapangan kerja (Usman, 2012). SMK merupakan pendidikan yang
mempersiapkan pesertanya memasuki dunia kerja atau lebih mampu
bekerja pada bidang pekerjaan tertentu (earning a living).
Saat ini, melalui jargon SMK BISA, sekolah kejuruan menjadi
primadona karena dinggap memiliki kelebihan yaitu lulusan menjadi
lebih siap kerja tetapi kuliah pun mereka bisa. Melihat keberadaan
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) saat ini pemerintah berharap
posisinya sebagai wahana pengembangan pengetahuan dan keterampilan
dan mampu menjawab tantangan dunia kerja secara nyata. Lulusannya
diharapkan dapat memenuhi tuntutan dunia usaha akan tenaga kerja
tingkat menengah.
Akhirnya, perlu ditekankan lagi bahwa kajian tentang pemikiran-
pemikiran pendidikan pada masa lalu akan sangat bermanfaat untuk
memperluaas pemahaman tentang seluk beluk pendidikan, serta
memupuk wawasan historis dari setiap tenaga kependidikan. Kedua
hal itu sangan penting karena setiap keputusan dan tindakan di bidang
pendidikan,termasuk dibidang pembelajaran, akan membawa dampak
bukan hanya pada masa kini tetapi juga masa depan. Oleh karena
itu,setiap keputusan dan tindakan harus dapat dipertanggungjawabkan
secara profesional. Sebagai contoh, beberapa tahun terakhir ini telah
terjadi polemik tentang peran pokok pendidikan (utamanya jalur sekolah)
106 Pengantar Pendidikan

yakni tentang masalah relevansi tentang duni kerja (siap pakai); apakah
tekanan pada pembudayaan manusia yang menyadari harkat dan
martabatnya, ataukah memberi bekal keterampilan untuk memasuki
dunia kerja. Kedua hal itu tentulah sama pentingnya dalam membangun
sumber daya manusia di Indonesia yang bermutu.

C. “Aliran” Pendidikan Indonesia


Pada jaman penjajahan Belanda telah terdapat upaya-upaya pendirian
dan pelaksanaan lembaga-lembaga pendidikan tertentu. Oleh
pemerintahan kolonial pada waktu itu masalah pendidikan dianggap
penting sehingga dimasukkan dalam Undang-Undang Tahun 1848, dan
dianggarkan 25.000 gulden untuk sektor pendidikan. Pada tahun 1851
didirikan sekolah “dokter Jawa” yang didirikan untuk suatu alasan
praktis, yaitu melatih kaum pribumi untuk menjadi “mantri cacar”
karena ketika itu penyakit cacar sedang mewabah. Tahun 1851 itu juga
dibuka dua kweekschool untuk melatih guru bantu bagi sekolah-sekolah
modern sistem barat. Pembukaan lembaga-lembaga pendidikan itu,
sebagaimana dikatakan oleh seorang tokoh Belanda, adalah untuk
“membentengi Belanda dari “vulcano Islam”. Pada tahun 1867 pemerintah
kolonial membentuk departemen sendiri untuk masalah mendidikan,
yaitu yang disebut Departeman Pendidikan, Agama, dan Industri. Dari
pengaturan itu tumbuhlah sekitar 300 sekolah pribumi di Jawa dan
sekitar 400 di luar Jawa (Tim Paradigma Pendidikan BSNP, 2010).
Selanjutnya pada tahun 1902 di Batavia dibuka sekolah kedokteran
yang dinamakan School tot Opleiding voor Indische Artsen (STOVIA) dan
sekolah sejenis didirikan pula pada tahun 1913 di Surabaya, dinamakan
Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS). Pada tahun 1927 STOVIA
ditingkatkan menjadi pendidikan tinggi, dengan nama Geneeskundige
Hogeschool, bertempat di Jalan Salemba 6, Jakarta. Ini menjadi cikalbakal
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Kemudian didirikan pula
Rechtkundige Hogeschool yang menjadi cikal-bakal Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, kemudian juga Faculteit der Letteren en Wijsbegeerte
yang menjadi cikal-bakal Fakultas Sastra (kemudian Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya) Universitas Indonesia. Technische Hogeschool yang
didirikan pada tahun 1920 di Bandung merupakan cikal-bakal Institut
Teknologi Bandung, sedangkan Landbouwkundige Fakulteit merupakan
cikal-bakal Institut Pertanian Bogor. Adapun Bestuurs Academie yang
didirikan tahun 1930-an tentulah merupakan awal dari Institut
Aliran Pendidikan 107

Pemerintahan Dalam Negeri yang di kemudian hari diselenggarakan


oleh Pemerintah Indonesia.
Pendidikan yang diselenggarakan pemerintah hanyalah untuk
mencetak pegawai-pegawai berpendidikan yang murah, sehingga
pendidikan tersebut tidak memperhatikan pendidikan moral bagi murid-
murid pribumi, yang diutamakan adalah bisa membaca, menulis, dan
berhitung. Pendidikan diukur dan diarahkan kepada pembentukan suatu
elite sosial untuk selanjutnya dipergunakan sebagai alat bagi kepentingan
supremasi politik dan ekonomi Belanda di Nusantara. Kondisi pendidikan
semacam ini menggerakkan seseorang dan beberapa badan swasta (di
luar pemerintrah Hindia Belanda) untuk mendirikan pendidikan yang
juga mengajarkan agama serta ilmu-ilmu pengetahuan lainnya.
Mengingat ciri-ciri pendidikan yang diselenggarakan pemerintah
kolonial Belanda yang tidak memungkinkan bangsa Indonesia untuk
menjadi cerdas, bebas, bersatu, dan merdeka, maka kaum pergerakan
semakin menyadari bahwa pendidikan yang bersifat nasional harus
segera dimasukkan ke dalam program perjuangannya. Oleh karena itu,
sejak Kebangkitan Nasional (1908) sifat perjuangan rakyat Indonesia
dilakukan melalui berbagai partai dan organisasi, baik melalui jalur
politik praktis, jalur ekonomi, sosial-budaya. dan khususnya melalui
jalur pendidikan. Sifat perjuangan bangsa kita saat itu tidak lagi hanya
menitikberatkan pada perjuangan fisik. Usaha-usaha kaum pergerakan
melalui jalur pendidikan demi kemerdekaan dan rintisan ke arah
pendidikan nasional tampak jelas. Hampir setiap organisasi pergerakan
nasional mencantumkan dan melaksanakan pendidikan dalam anggaran
dasar dan/atau dalam program kerjanya (Tatang, 2010).
Djumhur & Danasuparta (1976) mengemukakan bahwa setelah
tahun 1900 usaha-usaha partikelir di bidang pendidikan berlangsung
dengan sangat giatnya. Untuk mengubah keadaan akibat penjajahan,
kaum pergerakan memasukan pendidikan ke dalam program
perjuanganya. Lahirlah sekolah-sekolah partikelir (perguruan nasional)
yang diselenggarakan para perintis kemerdekaan. Sekolah-sekolah itu
mula-mula bercorak dua: 1) Sekolah-sekolah yang sesuai haluan politik,
seperti yang diselenggarakan oleh: Ki Hadjar Dewantara (Taman Siswa),
Dr. Douwes Dekker atau Dr. Setyabudhi (Ksatrian Institut), Mohammad
Sjafe’i (INS Kayutanam) dan sebagainya. 2) Sekolah-sekolah yang sesuai
tuntutan agama (Islam), seperti yang diselenggarakan oleh:
Muhammadiyah (dipelopori oleh KH. Ahmad Dahlan), Nahdlatul Ulama
108 Pengantar Pendidikan

(dipelopori oleh KH. Hasyim Asy’ari), Sumatera Tawalib di


Padangpanjang, dan lain sebagainya. Selain itu, sebelumnya telah
diselenggarakan pula pendidikan oleh tokoh-tokoh wanita seperti R.A.
Kartini (di Jepara), Rd. Dewi Sartika (di Bandung), dan Rohana Kuddus
(di Sumatera).
Umumnya dalam buku-buku Pengantar Pendidikan hanya
menguraikan dua “aliran” pokok yaitu Perguruan Kebangsaan Taman
Siswa dan INS Kayutanam. Mengingat kiprah, pengaruh, dan
perkembangnya saat ini maka kami memasukkan pembahasan tentang
Gerakan Pendidikan Muhammadiyah. Hal ini didasari pandangan
Raharja (2008) bahwa perjuangan pendidikan Perguruan Kebangsaan
Taman Siswa, INS Kayutanam dan Muhammadiyah berkembang
beriringan dan secara signifikan berpengaruh terhadap pola pikir
masyarakat pada saat itu hingga kini. Gerakan ketiganya sangat berguna
bagi masyarakat pada zaman perjuangan melawan penjajah saat itu.
Ketiganya secara bersama-sama berupaya untuk membawa para pemuda
Indonesia menjadi warga yang tidak buta huruf, membela bangsa dan
negaranya, serta mampu mandiri untuk hidup di masyarakat (corak
dan ciri nasionalisme).

1. Perguruan Kebangsaan Taman Siswa


Sementara berlangsung pemerintahan kolonial itu, ada pula dua
tokoh pemuka Indonesia sendiri yang merintis suatu sistem persekolahan
tersendiri, yang secara teknis bersifat modern seperti sekolah-sekolah
yang diperkenalkan oleh Belanda, namun dalam semangat dan isi
pelajaran sangat berjiwa ketimuran dengan membawa cita-cita
kemandirian bangsa. Tokoh pertama adalah R.M. Soewardi Soerjaningrat,
atau lebih dikenal sebagai Ki Hajar Dewantara. Perguruan Kebangsaan
Taman Siswa didirikan pada tahun 1921 atau tahun Caka 1852 yang
memiliki semboyan “Lawan Sastra Ngesti Mulia”. Setahun kemudian
pada 3 Juli 1922 di Yogyakarta muncul organisasi baru benama Persatuan
Taman Siswa yang memiliki semboyan “Suci Tata Ngesti Tunggal”.
Secara lengkap nama perguruan itu adalah “Nationaal Onderwijs Instituut
Taman Siswa”.
Sebagai tokoh pergerakan nasional, Ki Hajar Dewantara tidak ragu
mencantumkan kata “nationaal” pada nama perguruannya, dan dengan
itu yang dimaksudkannya tentulah kenasionalan Indonesia yang bersatu
untuk mengupayakan kemerdekaan bangsa dari belenggu penjajahan.
Aliran Pendidikan 109

Falsafah pendidikan yang dikembangkannya bertolak dari penekanan


kepada pembentukan kemandirian dalam hubungan yang berkomunikasi
hangat antara guru dan murid.
Pada tanggal 6 Januari 1923, dalam National Onderwijs Instituut
Taman Siswa dibentuk majelis yang disebut “Instituutraad”, yang
bertugas memperlancar jalannya pendidikan. Dalam konferensinya
di Yogyakarta tanggal 20-22 Oktober 1923, perguruan ini memperluas
Institut menjadi Hoofdraat (Majelis Luhur). Pada tahun 1930, National
Onderwijs Instituut Tamansiswa diterjemahkan dalam bahasa
Indonesia menjadi Perguruan Nasional Taman Siswa. Dalam
menjalankan proses pendidikannya dengan menggunakan “Sistem
Among” yang mendasarkan pada: Pertama, kemerdekaan sebagai
syarat untuk menghidupkan dan menggerakan kekuatan lahir batin,
sehingga dapat hidup berdiri sendiri. Kedua, kodrat alam sebagai
syarat untuk menghidupkan dan mencapai kemajuan dengan secepat-
cepatnya dan sebaik-baiknya (Sulistya, 2002).
Tercatat bahwa pada tahun 1942 cabang Taman Siswa berjumlah
199 sekolah tersebar di beberapa daerah, terutama di pulau-pulau Jawa,
Bali, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku, dengan pada waktu
itu mempunyai sekitar 650 orang guru (Hassan, 2005; Tim Paradigma
Pendidikan BSNP, 2010). Menurut Tirtarahardja & Sulo (2005) awalnya
Perguruan Kebangsaan Taman Siswa dalam bentuk yayasan, selanjutnya
mulai didirikan Taman Indria (Taman Kanak-Kanak) dan Kursus Guru,
selanjutnya Taman Muda (SD), disusul Taman Dewasa merangkap
Taman Guru (Mulo-Kweekschool). Sekarang ini, telah dikembangkan
sehingga meliputi pula Taman Madya, Prasarjana, dan Sarjana Wiyata.
Dengan demikian, Taman Siswa telah meliputi semua jenjang
persekolahan, dari pendidikan prasekolah, pendidikan dasar, pendidikan
menengah, dan pendidikan tinggi.
Falsafah pendidikan Ki Hajar Dewantara yang terkenal yang
diungkapkan dalam bahasa Jawa berbunyai: “ing ngarsa sung tuladha,
ing madya mangun karsa, tut wuri handayani”, sebagai pedoman perilaku
bagi guru yang artinya: “di depan memberi teladan, di tengah menyemangati,
dan mengiringkan dari belakang sambil memberi kekuatan”. Tokoh ini
mendorong diberikannya juga bahan-bahan ajar yang digali dari
kebudayaan setempat, sehingga dapat dikatakan bahwa kiprahnya dalam
penyelenggaraan pendidikan itu adalah juga merupakan suatu gerakan
budaya.
110 Pengantar Pendidikan

a. Konsep Pendidikan Taman Siswa


Menurut Suprayoko (2006) ada tujuh konsep pendidikan dalam
pandangan Taman siswa, yaitu
1) Pendidikan adalah Badan Perjuangan
Tamansiswa adalah badan perjuangan kebudayaan dan
pembangunan masyarakat yang menggunakan pendidikan dalam
arti luas untuk mencapai cita-citanya. Bagi Tamansiswa,
pendidikan bukanlah tujuan tetapi media untuk mencapai tujuan
perjuangan, yaitu mewujudkan manusia Indonesia yang merdeka
lahir dan batinnya. Merdeka lahiriah artinya tidak dijajah secara
fisik, ekonomi, politik, dan sebagainya; sedangkan merdeka secara
batiniah adalah mampu mengendalikan keadaan.
2) Anti Intelektualisme
Tamansiswa anti intelektualisme; artinya siapa pun tidak boleh
hanya mengagungkan kecerdasan dengan mengabaikan faktor-
faktor lainnya. Tamansiswa mengajarkan azas keseimbangan
(balancing), yaitu antara intelektualitas di satu sisi dan personalitas
di sisi yang lain. Maksudnya agar setiap anak didik itu
berkembang kecerdasan dan kepribadiannya secara seimbang.
3) Asas Pancadarma
Pendidikan Tamansiswa berciri khas Pancadarma, yaitu Kodrat
Alam (memperhatikan sunatullah), Kebudayaan (menerapkan teori
Trikon), Kemerdekaan (memperhatikan potensi dan minat maing-
masing indi-vidu dan kelompok), Kebangsaan (berorientasi pada
keutuhan bangsa dengan berbagai ragam suku), dan Kemanusiaan
(menjunjung harkat dan martabat setiap orang).
4) Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan Tamansiswa adalah membangun anak didik
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, merdeka lahir batin, luhur akal budinya, cerdas dan
berketerampilan, serta sehat jasmani dan rohaninya untuk
menjadi anggota masyarakat yang mandiri dan bertanggung
jawab atas kesejahteraan bangsa, tanah air, serta manusia pada
umumnya. Meskipun dengan susunan kalimat yang berbeda
namun tujuan pendidikan Tamansiswa ini sejalan dengan tujuan
pendidikan nasional.
5) Konsep Tringa
Kalau di Barat ada “Teori Domein” yang diciptakan oleh
Benjamin S. Bloom yang terdiri dari kognitif, afektif dan
Aliran Pendidikan 111

psikomotorik maka di Tamansiswa ada “Konsep Tringa” yang


terdiri dari ngerti (mengetahui), ngrasa (memahami) dan nglakoni
(melakukan). Maknanya ialah, tujuan belajar itu pada dasarnya
ialah meningkatkan pengetahuan anak didik tentang apa yang
dipelajarinya, mengasah rasa untuk meningkat-kan pemahaman
tentang apa yang diketahuinya, serta meningkatkan kemampuan
untuk melaksanakan apa yang dipelajarinya.
6) Sistem Among
Pendidikan Tamansiswa dilaksanakan berdasar Sistem Among,
yaitu suatu sistem pendidikan yang berjiwa kekeluargaan dan
bersendikan kodrat alam dan kemerdekaan. Dalam sistem ini
setiap pendidik harus meluangkan waktu sebanyak 24 jam setiap
harinya untuk memberikan pelayanan kepada anak didik
sebagaimana orang tua yang memberikan pelayanan kepada
anaknya. Sistem Among tersebut berdasarkan cara berlakunya
disebut Sistem Tutwuri Handayani. Dalam sistem ini orientasi
pendidikan adalah pada anak didik, yang dalam terminologi baru
disebut student centered. Di dalam sistem ini pelaksanaan
pendidikan lebih didasarkan pada minat dan potensi apa yang
perlu dikembangkan pada anak didik, bukan pada minat dan
kemampuan apa yang dimiliki oleh pendidik. Apabila minat anak
didik ternyata akan ke luar “rel” atau pengembangan potensi anak
didik di jalan yang salah maka pendidik berhak untuk
meluruskannya.
7) Kerjasama
Untuk mencapai tujuan pendidikannya, Tamansiswa
menyelanggarakan kerja sama yang selaras antartiga pusat
pendidikan yaitu lingkungan keluarga, lingkungan perguruan,
dan lingkungan masyarakat. Pusat pendidikan yang satu dengan
yang lain hendaknya saling berkoordinasi dan saling mengisi
kekurangan yang ada.
b. Asas dan Tujuan Taman Siswa
Menurut Tirtarahardja & Sulo (2005) Perguruan Kebangsaan Taman
Siswa mempunyai tujuh asas perjuangan untuk menghadapi
pemerintah Kolonial Belanda serta sekaligus untuk mempertahankan
kelangsungan hidup bersifat nasional, dan demokrasi. Ketujuh asas
tersebut dikenal dengan “asas 1922”, sebagai berikut:
1) Bahwa setiap orang mempunyai hak mengatur dirinya sendiri
(zelf besschikkingsrecht) dengan mengingat terbitnya persatuan
dalam peri kehidupan umum.
112 Pengantar Pendidikan

2) Bahwa pengajaran harus memberi pengetahuan yang berfaedah


yang dalam arti lahir dan batin dapat memerdekakan diri.
3) Bahwa pengajaran harus berdasar pada kebudayaan dan
kebangsaan sendiri.
4) Bahwa pengajaran harus tersebar luas sampai dapat menjangkau
kepada seluruh rakyat.
5) Bahwa sebagai konsekuensi hidup dengan kekuatan sendiri maka
mutlak harus membelanjai sendiri segala usaha yang dilakukan
(zelfbegrotings-system).
6) Bahwa sebagai konsekuensi hidup dengan kekuatan sendiri maka
mutlak harus membelanjai sendiri segala usaha yang dilakukan
(Zelfbegrotings-system).
7) Bahwa dalam mendidik anak-anak perlu adanya keikhlasan lahir
dan batin untuk mengorbankan segala kepentingan pribadi demi
keselamatan dan kebahagiaan anak-anak (berhamba pada anak
didik).
Didirikannya perguruan Taman siswa disebabkan karena keadaan
pendidikan bagi rakyat Indonesia yang sangat kurangnya pengajaran
yang diberikan oleh Belanda kepada bangsa Indonesia, pendidikannya
sangat tidak sesuai dengan kepentingan hidup bangsa Indonesia sendiri,
dan bahkan meracuni jiwa anak, menanamkan jiwa budak pengabdi
kepentingan kolonial sehingga sangat mengecewakan rakyat Indonesia.
Seperti diketahui, ketika Pemerintah Kolonial melaksanakan politik etis,
jumlah sekolah yang didirikan bertambah banyak. Walaupun jumlah
sekolah dibandingkan dengan jumlah anak usia sekolah masih sangat
jauh dari cukup. Sekolah-sekolah tersebut dimaksudkan untuk memenuhi
kepentingan kolonial, baik kepentingan dalam bidang politik, ekonomi
maupun administrasi yang sama sekali tidak ditujukan untuk
kepentingan rakyat Indonesia (Setiono et al., 2013).
Menurut Tirtaraharda & Sulo (2005) tujuan Taman Siswa adalah
sebagai badan perjuangan kebudayaan dan pembangunan masyarakat
yang tertib dan damai. Tertib yang sebenarnya tidak akan ada jika tidak
ada damai antara manusia. Damai antara manusia hanya akan ada
dalam keadilan sosial sebagai wujud berlakunya kedaulatan adab
kemanusiaan, yang menghilangkan segala rintangan oleh manusia
terhadap sesamanya dalam sarat-sarat hidupnya, serta menjamin
terbaginya sarat-sarat hidup lahir batin, secara sama rata sama rasa.
Sedangkan tujuan pendidikan Taman Siswa ialah membangun anak
didik beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjadi
Aliran Pendidikan 113

manusia yang merdeka lahir dan batin, luhur akal budinya, , cerdas dan
berketerampilan serta sehat jasmaninya untuk menjadi anggota
masyarakat yang berguna dan bertanggung jawab atas keserasian bangsa,
tanah air, serta manusia pada umumnya. Oleh karena itu, menurut
Setiono et al (2013) tujuan didirikannya Taman Siswa tidak lain adalah
untuk mendidik dan menggembleng golongan muda serta menanamkan
rasa cinta tanah air dan semangat anti penjajahan. Taman Siswa berperan
dalam menumbuhkan rasa nasionalisme bangsa Indonesia. Meskipun
menggunakan sistem pendidikan modern Belanda, tetapi taman siswa
tidak mengambil kepribadian Belanda.
Taman Siswa berusaha untuk mencapai tujuannya, di lingkungan
perguruan, dengan berbagai jalan, yaitu (1) menyelenggarakan tugas
pendidikan dalam bentuk perguruan dari tingkat dasar sampai tingkat
tinggi; (2) mengikuti dan mempelajari perkembangan dunia di luar
Taman Siswa; (3) menumbuhkan lingkungan hidup keluraga Taman
Siswa, sehingga dapat tampak wujud masyarakat Taman Siswa yang
dicita-citakan; (4) meluaskan kehidupan ke Taman Siswa-an di luar
lingkungan masyarakat perguruan, (5) menjalankan kerja pendidikan
untuk masyarakat umum dengan dasar-dasar dan hidup Taman Siswa;
(6) menyelenggarakan usaha-usaha kemasyarakatan dalam masyarakat
dalam bentuk-bentuk badan sosial, Usaha-usaha pembentukan kesatuan
hidup kekeluargaan sebagai pola masyarakat baru Indonesia, usaha
pendidikan kader pembangunan, dan (7) mengusahakan terbentuknya
pusat – pusat kegiatan kemasyarakatan dalam berbagai bidang kehidupan
dan penghidupan masyarakat. Berbagai hal seperti pemikiran tentang
pendidikan nasional, lembaga-lembaga pendidikan dari Taman Indria
sampai dengan Sarjana Wiyata, dan sejumlah besar alumni perguruan.
Ketiga pencapaian itu merupakan pencapaian sebagai suatu yayasan
pendidikan (Tirtarahardja & Sulo, 2005).

2. Ruang Pendidik INS Kayutanam


Sumatera Barat telah melahirkan pemikir-pemikir yang memiliki
jiwa-jiwa besar dalam mewujudkan kemerdekaan Indonesia dan memiliki
peran penting di bidang pendidikan, salah satunya adalah Engku
Mohammad Sjafe’i (Zubir, 2001). Mohammad Sjafe’i lahir di Matan,
Kalimantan Barat tahun 1895 (Tirtarahardja & Sulo, 2005). Mohammad
Sjafe’i, seorang anak yatim yang ditinggalkan Ayahnya semasa kecil dan
diasuh ibunya bernama Sjafia, buta huruf yang pekerjaannya membuat
kue untuk dijajakan Sjafe’i. Ibu Sjafe’i tidak dapat menentukan hari dan
114 Pengantar Pendidikan

tanggal lahir anaknya, namun dapat diperkirakan tanggal 31 Oktober


1893 (Baihaqi, 2007). Mohammad Sjafe’i dijadikan anak angkat oleh
Ibrahim Mara Sutan (seorang guru negeri yang berpindah tugas ke
beberapa tempat di Sumatera, kemudian juga ke Pontianak, Kalimantan
Barat) dan Andung Chalidjah (Navis, 1996; Zed, 2012).
Mohammad Sjafe’i mendirikan Ruang Pendidik INS Kayutanam
pada tanggal 31 Oktober 1926 di Kabupaten Padang Pariaman Sumater
Barat. INS Kayutanam adalah satu sekolah modern bercorak nasional
yang peranannya cukup besar pada perkembangan dunia pendidikan
Indonesia, khususnya di Sumatera Barat (Halimah, 2012). Setidaknya
ada 3 alasan mengapa kita memberikan perhatian khusus pada pemikiran
pendidikan Mohammad Sjafe’i, yaitu (1) tak diragukan lagi ia termasuk
salah seorang di antara sedikit tokoh pemikir besar dan praktisi di
bidang pendidikan bangsa yang telah menunjukkan reputasinya di
masa lalu lewat ”ruang pendidikan INS” yang dibinanya sejak tahun
1926; (2) ia telah menanam dan buah pendidikan yang dihasilkannya
tidak hanya melahirkan orang-orang ber-keahlian di bidangnya masing-
masing, melainkan juga menelorkan generasi terpelajar yang telah
tercerahkan dan mencerahkan kesadaran kebangsaan di zaman
penjajahan; (3) buah pendidikan para pendahulu ini, pada gilirannya
telah menjadi bagian dari mata-rantai center of excellence (”pusat
keunggulan”) yang diperlukan bangsa Indonesia dalam membangun
harga diri bangsa, lewat “pendidikan yang memerdekakan” (Zed, 2012).
Pendidikan ini berkembang beriringan dengan perjuangan
pendidikan Muhammadiyah maupun Taman Siswa. Pendidikan INS
Kayu Taman ini berpengaruh secara signifikan terhadap pola pikir
masyarakat pada saat itu. INS Kayutanam pada mulanya dipimpin oleh
ayah angkatnya, kemudian diambil alih oleh Mohammad Sjafe’i
(Rahardja, 2008). Terletak di atas lahan erfpacht seluas 18 ha, komplek
INS mulanya sangat sederhana. Saat pertama kali dibuka, minggu 31
Oktober 1926, yakni satu tahun setelah Sjafe’i pulang dari pendidikan di
Belanda, bangunan sekolah itu masih menggunakan rumah penduduk
yang disewa, terletak di tengah-tengah Nagari Kayutanam, tidak jauh
dari stasiun kereta api. Murid angkatan pertama berjumlah 79 orang.
Mereka datang dari berbagai daerah. Gurunya hanya Sjafe’i seorang,
sehingga murid dibagi dalam 2 kelas, belajar berganti hari. Waktu itu
belum punya bangku dan meja dalam ruangan. Para murid belajar di lantai
beralas tikar, sedangkan papan tulis disandarkan pada kursi (Zed, 2012).
Aliran Pendidikan 115

Lahirnya Ruang Pendidik INS Kayutanam tidak terlepas dari upaya


Mohammad Sjafe’i mewujudkan cita-cita dari kedua orang tua angkatnya.
Ia juga didukung oleh sebuah organisasi perkumpulan buruh kereta api
yang bernama Vereeniging Bumi Poetra Staats-Spoors (VBPSS) berkedudukan
di Padang yang dipimpin oleh Abdul Rachman. Tujuan awal pendidikan
Ruang Pendidik INS Kayutanam adalah mendidik manusia supaya
menjadi manusia, membimbing anak didik kepada diri, dan bakat yang
dimilikinya. Ruang Pendidik INS Kayutanam lebih di kenal sebagai
“Sekolah Ahli Tukang”, maksudnya lulusan Ruang Pendidik INS
Kayutanam ini setiap muridnya memiliki talenta dan kemauan untuk
berkarya. Seperti kata Mohammad Sjafe’i, murid yang datang ke INS
masuk dengan satu pintu dan keluar dengan banyak pintu.
Barnadib (1983) dan Raharja (2008) menjelaskan bahwa sekolah dari
Mohammad Sjafe’i sebagai bentuk reaksi dari sekolah-sekolah Pemerintah
Hindia Belanda. Sekolah ini memang kurang terkenal karena tidak
mempunyai cabang seperti sekolah-sekolah Muhammadiyah maupun
Taman Siswa. Perkembangan sekolah ini mengalami pasang surut, sesuai
dengan keadaan Indonesia saat itu. Pada bulan Desember 1948 sewaktu
Belanda menyerang ke Kayutanam, seluruh gedung INS dihanguskan,
termasuk ruang pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan di Padang
Panjang. INS bangkit lagi pada bulan Mei 1950, dengan 30 murid.
Menurut Fhadilla (2014) pada awal berdiri nama perguruan ini
memakai bahasa Belanda yakni Indonesisch Nederlandsch School dengan
kependekan INS. Maksud nama ini menggunakan bahasa Belanda
dikarenakan sewaktu berdiri negara Indonesia berada di bawah
kekuasaan Belanda agar tidak menimbulkan rasa curiga terhadap sekolah
yang didirikan oleh Mohammad Sjafe’i. Sebelumnya sekolah-sekolah
yang didirikan oleh pemerintah Belanda dalam pemberian nama selalu
mendahulukan kata Hollandsch baru setelah itu kata Indonesisch. Pada
masa pendudukan Jepang, kependekan dari INS berganti arti yakni
Indonesia Nippon School. Penamaan ini bertujuan sebagai pelindung diri
atas kekejaman tentara Jepang. Pada periode kemerdekaan Indonesia,
kependekan dari INS berubah menjadi Indonesia National School, nama
ini sesuai dengan kondisi daerah Kayutanam saat itu. Pada tahun 1972
dalam rapat Munas di Jakarta, atas usulan dari Prof. Dr. Deliar Noer
mengusulkan agar kepanjangan dari INS diganti menjadi Institut
Nasional Sjafe’i dan masyarakat Kayutanam sendiri menyebut sekolah
ini dengan sebutan “INS Kayutanam”. Pada tahun 1975 Ruang Pendidik
SMA INS Kayutanam memakai kurikulum nasional yang diintegrasikan
dengan kurikulum Mohammad Sjafe’i.
116 Pengantar Pendidikan

Mohammad Sjafe’i terkenal dengan falsafahnya “Alam Takambang


Jadi Guru” yang menekan pada keseimbangan otak, hati dan tangan.
Beberapa ungkapan lain yang bermuatan falsafah pendidikan dari tokoh
ini antara lain adalah: “Jangan minta buah mangga kepada pohon
rambutan, tapi jadikanlah setiap pohon menghasilkan buah yang manis”;
“Salah satu alat besar yang bisa mengubah keadaan kita dan menolong
mengejar ketinggalan-ketinggalan adalah Pendidikan yang bersifat aktif
positif dan belajar menurut bakat”; “Barang siapa yang mengeluh, ia
kalah”; “Bangsa Indonesia tak dapat tidak akan mendapat manfaat
yang sangat besar apabila juga berpikir kritis dan logis”; “Pelajaran
pekerjaan tangan tidak hanya mengenai ketrampilan saja, banyak lagi
sangkutannya dengan perkembangan jiwa si pelajar”, “Jadilah engkau,
menjadi engkau”, dan lain-lain. Kiranya kutipan-kutipan itu dapat
menggambarkan pendekatannya dalam melaksanakan upaya
pendidikan. Dapat pula dikatakan bahwa Mohammad Sjafe’i telah lebih
dahulu menerapkan pendekatan pendidikan yang jauh di kemudian
hari dirumuskan orang sebagai “student-centered learning” (Tim Paradigma
Pendidikan BSNP, 2010).
a. Dasar dan Tujuan Pendidikan INS Kayutanam
Pada awal didirikan, Pendidikan INS Kayutanam memiliki asas-asas,
yaitu (1) berfikir dan rasional, (2) keaktifan dan kegiatan, (3)
pendidikan msyarakat, (4) memperhatikan pembawaan anak, dan (5)
menentang intelektualisme (Tirtarahardja & Sulo, 2005). Menurut
Raharja (2008) setelah kemerdekaan, asas-asas tersebut dikembangkan
menjadi dasar-dasar pendidikan yang mencakup sebagai berikut.
1) Ketuhanan yang mahaesa.
2) Kemanusiaan.
3) Kesusilaan.
4) Kerakyatan.
5) Kebangsaan.
6) Gabungan antara pendidikan ilmu umum dan kejuruan.
7) Percaya diri sendiri juga pada Tuhan.
8) Berakhlak (bersusila) setinggi mungkin.
9) Bertanggung jawab atas keselamatan nusa dan bangsa.
10) Berjiwa aktif positif dan aktif negatif.
11) Mempunyai daya cipta.
12) Cerdas, logis, dan rasional.
Aliran Pendidikan 117

13) Berperasaan tajam, halus, dan estetis.


14) Gigih atau ulet yang sehat.
15) Correct atau tepat.
16) Emosional atau terharu.
17) Jasmani sehat dan kuat.
18) Cakap berbahasa Indonesia, Inggris, dan Arab.
19) Sanggup hidup sederhana dan bersusah payah.
20) Sanggup mengerjakan sesuatu pekerjaan dengan alat serba
kurang.
21) Sebanyak mungkin memakai kebudayaan nasional waktu
mendidik.
22) Waktu mengajar, para guru sebanyak mungkin menjadi objek,
dan murid-murid menjadi subjek. Bila hal ini tidak mungkin
barulah para guru menjadi subjek dan murid menjadi objek.
23) Sebanyak mungkin para guru mencontohkan pelajaran-
pelajarannya, tidak hanya pandai menyuruh saja.
24) Diusahakan supaya pelajar mempunyai darah ksatria; berani
karena benar.
25) Mempunyai jiwa konsentrasi.
26) Pemeliharaan (perawatan) sesuatu usaha.
27) Menepati janji. Sebelum pekerjaan dimulai dibiasakan
menimbangnya dulu sebaik-baiknya. Kewajiban harus
dipenuhi.
28) Hemat.
Menurut Raharja (2008) sesuai dengan asas dan dasar pendidikan
tersebut di atas, pendidikan INS Kayutanam memiliki tujuan sebagai
berikut.
1) Mendidik rakyat ke arah kemerdekaan.
2) Memberi pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
3) Mendidik para pemuda agar berguna untuk masyarakat.
4) Menanamkan kepercayaan terhadap diri sendiri dan berani
bertanggung jawab.
5) Mengusahakan mandiri dalam pembiayaan.
Sehubungan dengan itu, menurut Tim Paradigma Pendidikan
BSNP (2010) ada lima garapan utama yang dikembangkan dalam INS
Kayutanam tersebut, yaitu
118 Pengantar Pendidikan

1) kemerdekaan berpikir (dalam bentuk inovasi/kreativitas),


2) pengembangan ilmu pengetahuan, talenta/bakat (sebagai rakhmat
Tuhan), dan potensi diri,
3) kemandirian dan entrepreneurship,
4) etos kerja, serta
5) akhlak mulia (sebagai pengejawantahan dari agama, etika, dan
estetika).
b. Program Pendidikan dan Kurikulum Pendidikan INS Kayutanam
Menurut Tirtarahardja & Sulo (2005) terdapat beberapa program yang
dilakukan oleh Mohammad Sjafe’i dan kawan-kawan dalam
mengembangan pendidikan nasional, antara lain:
1) memantapkan dan menyebarluaskan gagasan-gagasan tentang
pendidikan nasional;
2) pengembangan kelembagaan, sarana prasarana pendidikan;
3) pemberantasan buta huruf; dan
4) penerbitan majalah anak-anak.
Menurut Raharja (2008) dalam bidang kelembagaan, antara lain INS
Kayutanam menyelenggarakan berbagai jenjang pendidikan, seperti:
1) ruang rendah (7 tahun, setara sekolah dasar),
2) ruang dewasa (4 tahun sesudah ruang rendah, setara sekolah
menengah).
3) program khusus untuk menjadi guru, yaitu tambahan 1 tahun
setelah ruang dewasa untuk pembekalan kemampuan mengajar
dan praktik mengajar.
INS Kayutanam telah mempraktikkan “community oriented project”
di sekolahnya, sebelum perumusan itu menjadi seluas sekarang dalam
pembangunan pendidikan di Indonesia. Dengan demikian, tidaklah
berlebihan jika Mohammad Sjafe’i dianggap sebagai salah satu pelopor
aliran modern dalam pendidikan di Indonesia. Pengajaran dan
pendidikan di sekolah harus berdasarkan kebutuhan masyarakat, antara
sekolah dan masyarakat harus ada hubungan yang erat, sekolah adalah
bagian yang hidup dari masyarakat. Program pendidikannya
mengutamakan pendidikan ketarampilan-kerajinan dengan
mengutamakan menggambar, pekerjaan tangan, dan sejenisnya.
Mohammad Sjafe’i melengkapi pendidikan dan pengajaran dengan
mengutamakan “pelajaran ekspresi” yaitu menggambar, menyanyi, dan
pekerjaan tangan. Pelajaran olah raga dan kesenian sangat dipentingkan.
Aliran Pendidikan 119

Rencana pelajaran dan metode pendidikan sekolah Mohammad Sjafe’i


mendekati rancangan John Dewey di Amerika Serikat dan
Kerschensteiner di Jerman (Raharja, 2008).
Lebih lanjut menurut Rahardja (2008) di INS Kayutanam, para
siswanya mendapat banyak latihan mempergunakan tangannya dan
membuat barang-barang yang berguna bagi keperluan hidup sehari-
hari. Mohammad Sjafe’i sependapat dengan Dewey dan menganggap
corak pendidikan seperti itu (belajar dan bekerja) akan membentuk
watak, rasa sosial dan saling menolong anak didik. Anak didik diajarkan
suatu pekerjaan yang sesuai dengan pembawaan dan kemauannya
untuk penghidupannya nanti, dengan harapan dapat membentuk
pemuda-pemuda Indonesia yang tegak sendiri, berusaha sendiri, hidup
bebas dan tidak bergantung buat seumur hidupnya pada pemerintah.
Mohammad Sjafei berpendapat bahwa inisiatif seseorang dan perasaan
tanggung jawab adalah sifat watak yang terpenting yang harus
dikembangkan. Usaha lain INS Kayutanam adalah menerbitkan
“Sendi” (majalah anak-anak), buku bacaan dalam rangka
pemberantasan buta huruf atau aksara dan angka “Kunci 13”, serta
mencetak buku-buku pelajaran. Semua upaya tersebut dilakukan
sebagai usaha mandiri, menolak bantuan-bantuan yang mungkin
membatasi kebebasannya.
INS Kayutanam juga mengupayakan gagasan-gagasan tentang
pendidikan nasional, terutama pendidikan keterampilan atau kerajinan,
beberapa jenjang pendidikan, dan sejumlah alumni. INS Kayutanam
juga berupaya dapat melakukan penyegaran dan dinamisasi, seiring
dengan perkembangan masyarakat dan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Di samping itu, upaya-upaya pengembangan pendidikan INS Kayutanam
ini diarahkan dalam kerangka pengembangan dan kemajuan sistem
pendidikan nasional sebagai bagian dari usaha mewujudkan cita-citanya,
yaitu mencerdaskan seluruh rakyat Indonesia.
Prinsip pertama yang dipegang teguh oleh Mohammad Sjafe’i dalam
pendidikannya adalah “belajar, bekerja, dan berbuat”. Apabila murid
hanya mendengarkan saja ilmu pengetahuan yang diajarkan guru melalui
kata-kata yang kadang-kadang tidak dimengerti, tidak akan berguna
bagi murid karena mereka tidak tahu dan tidak akan pandai
mempergunakan pengetahuan tersebut dalam kehidupannya atau untuk
memperbaiki tingkat kehidupannya kelak di kemudian hari sesudah
tamat belajar.
120 Pengantar Pendidikan

Menurut Mohammad Sjafe’i pada setiap manusia terdapat tiga hal


pokok yang dapat dikembangkan untuk mendidik manusia itu ke arah
yang dikehendaki, yaitu: melihat (45%), mendengar (25%) dan bergerak
(35%). Apabila melihat saja yang dilatih selama masa pendidikan,
murid akan merupakan orang yang tidak berdaya dalam kehidupan
masyarakat di kemudian hari, karena mereka tidak akan dapat berbuat.
Begitu juga dengan mendengar saja, akan membentuk manusia peniru
yang baik tanpa kesadaran. Dengan sistem yang demikian, Mohammad
Sjafe’i berusaha menanamkan watak yang teguh dan pendirian yang
kuat terhadap murid-muridnya serta merupakan pekerja yang ulet dan
pantang menyerah. Hal demikianlah yang menyebabkan tamatan INS
selalu berhasil dalam setiap bidang usahanya dalam masyarakat
(Halimah, 2012).

3. Gerakan Pendidikan Muhammadiyah


Muhammadiyah lahir di Kampung Kauman Yogyakarta, pada 18
November 1912 bertepatan dengan tanggal 18 Dzuhijjah 1330 Hijriah
dengan diprakarsai oleh KH. Ahmad Dahlan (Hambali, 2006;
Fakhruddin, 2005). KH. Ahmad Dahlan (waktu mudanya bernama
Raden Ngabehi Muhammad Darwis), lahir pada tanggal 1 Agustus 1868
di Kampung Kauman Yogyakarta. Ayahnya seorang alim bernama K.H.
Haji Abu Bakar, pejabat Khatib di Masjid Agung Kesultanan Yogyakarta.
Ibunya adalah putri Haji Ibrahim, pejabat penghulu kesultanan (Burhani,
2004). Dalam silsilah ia termasuk keturunan yang kedua belas dari
Maulana Malik Ibrahim, seorang wali besar dan seorang yang terkemuka
diantara Wali Songo, yang merupakan pelopor pertama dari penyebaran
dan pengembangan Islam di Tanah Jawa.
KH. Ahmad Dahlan tidak mengenyam pendidikan formal sebab
orang-orang Islam melarang anaknya masuk sekolah Gubernemen
Belanda. Ia mendapat didikan dari ayahnya sendiri selanjutnya mengaji
Bahasa Arab, Tafsir, Hadis dan Fikih kepada Ulama-ulama di Yogyakarta.
Pada umur 15 tahun, beliau pergi haji dan tinggal di Mekah selama lima
tahun. Pada periode ini, Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan
pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad
Abduh, al-Afghani, Rashid Ridha dan Ibnu Taimiyah. Pada tahun 1903,
beliau bertolak kembali ke Makkah dan menetap selama dua tahun.
Pada masa ini, beliau sempat berguru kepada Syekh Ahmad Khatib Al-
Minanagkabawi yang juga guru dari pendiri NU yakni Hasyim Asy’ari.
Dua kali di Mekah belajar pada Syekh Ahmad Khatib Al-Minanagkabawi,
Aliran Pendidikan 121

belajar Ilmu Tauhid, Fikih, Tasawuf, Falah dan yang menarik hatinya
adalah Tafsir Al-Manar karya Muhammad Abduh. Keprihatinan Ahmad
Dahlan melihat pengalaman Islam di Indonesia membuat ia bertekad
untuk bekerja keras mengembalikan Islam sebagaimana landasan aslinya
yaitu Al-Quran dan Al-Hadis (Salam, 1968; Jurdi, 2010).
Muhammadiyah itu bahasa Arab, berasal dari kata-kata “Muhammad”
kemudian mendapat tambahan kata “iyyah”. “iyyah” itu menurut tata
bahasa Arab (Nahwu) bernama ya’ nisby, artinya untuk menjeniskan.
Jadi Muhammadiyah berarti sejenis dari Muhammad. Tegasnya
golongan-golongan yang berkemauan mengikuti Sunnah Nabi
Muhammad SAW (Fakhruddin, 2005). Secara terminologi,
Muhammadiyah merupakan gerakan Islam, dakwah amar ma’ruf nahi
munkar, berazaskan Islam, bersumber pada Al-Qur’an dan Sunah (Hadis).
Pemberian nama Muhammadiyah dengan maksud berpengharapan
baik (bertafa’ul), mencontoh dan menteladani jejak perjuangan Nabi
Muhammad SAW. Semua ditujukan demi terwujudnya kejayaan Islam,
sebagai idealitas dan kemuliaan hidup umat Islam sebagai realitas
(Pasha & Darban, 2000).
Setting sosial yang mengitari KH. Ahmad Dahlan telah memberikan
inspirasi cemerlang untuk mendirikan Muhammadiyah. Berdirinya
Muhammadiyah di samping merupakan hasil dan telaah terhadap
ajaran Al-Quran juga tidak terlepas dari kondisi sosial masyarakat pada
waktu itu. Pada saat kondisi yang tidak menentu K.H. Ahmad Dahlan
muncul sebagai salah seorang yang peduli terhadap kondisi yang
dihadapi oleh masyarakat pribumi secara umum atau masyarakat
Muslim secara khusus.
Sejak kelahirannya, Muhammadiyah telah menetapkan garis
perjuangan (khittah) untuk bergerak di bidang da‘wah, sosial, dan
pendidikan. Gagasan pendidikan yang dipelopori kyai Ahmad Dahlan,
merupakan pembaruan karena mampu mengintegrasikan aspek “iman”
dan “kemajuan”, sehingga dihasilkan sosok generasi muslim terpelajar
yang mampu hidup di zaman modern tanpa terpecah kepribadiannya
(Kuntowijoyo, 1985). Apresiasi sejarah terhadap Muhammadiyah tidak
bisa dilepaskan oleh faktor besarnya partisipasi organisasi ini dalam
dunia Pendidikan. Partisipasi Muhammadiyah dalam memperkuat
bangsa ini dalam konteks Pendidikan dimulai sejak Muhammadiyah
lahir pada tahun 1912. Hal ini mengingat bahwa salah satu faktor yang
mendorong lahirnya Muhammadiyah adalah adanya realitas obyektif
122 Pengantar Pendidikan

yang menunjukkan bahwa kondisi Pendidikan bangsa ini di awal abad


20-an cukup memprihatinkan alias tertinggal. Setidaknya salah satu
problem yang dihadapi umat Islam pada fase awal abad ke- 20 adalah
adanya kemunduran Islam yang berpusat di pondok pesantren karena
terisolasi dari perkembangan ilmu dan masyarakat modern. Salah satu
yang melatarbelakangi lahirnya Muhammadiyah adalah realitas sosial-
pendidikan di Indonesia (Rokhim, 2014).
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa pada zaman
kolonial Belanda, pendidikan yang diselenggarakan pemerintah hanyalah
untuk mencetak pegawai pegawai berpendidikan yang murah, sehingga
pendidikan tersebut tidak memperhatikan pendidikan moral dan agama
bagi murid-murid pribumi. Sementara nasib pesantren yang mendalami
ilmu agama mengalami kemunduran pada akhir abad ke-19, karena
pemerintah mengawasi dengan ketat perkembangan pesantren.
Pemerintah menganggap, pesantren merupakan sumber perlawanan
terhadap pemerintah, karena pemerintah melihat perlawanan yang
dilakukan tokoh-tokoh ulama seperti: Tuanku Imam Bonjol, Teuku Cik
di Tiro dan Pangeran Diponegoro. Ordonansi pengawasan terhadap
sekolah-sekolah yang mengajarkan agama dikeluarkan pada 1905. Guru-
guru agama yang akan mengajar harus mendapatkan izin mengajar
dari pemerintahan setempat. Sementara itu dari pihak pesantren, selalu
menolak bentuk-bentuk intervensi dari pihak Barat (Belanda) dan sikap
nonkooperatif inilah yang kemudian mengakibatkan isolasi dalam
kehidupan pesantren dan membuat pesantren mengalami kemunduran
yang diakibatkan oleh dikeluarkannya peraturan itu.
Kondisi pendidikan semacam ini menggerakkan seseorang dan
beberapa badan swasta untuk mendirikan pendidikan yang juga
mengajarkan agama serta ilmu-ilmu pengetahuan lainnya. Salah satu
badan swasta tersebut adalah Muhammadiyah. KH. Ahmad Dahlan
mempersiapkan sekolah-sekolah yang dapat menjadi penengah di antara
dua model sekolah tersebut, yaitu yang mengajarkan pengetahuan
agama dan umum secara bersama-sama.
Buku Muhammadiyah 100 Tahun Menyinari Negeri (Febriansyah et al.,
2013) menjelaskan bahwa Perkembangan Muhammadiyah ternyata
sangat cepat. Beberapa tahun setelah berdiri saja, telah berdiri cabang-
cabang Muhammadiyah. Di Srandakan, Wonosari, Imogiri, dan lain
sebagainya. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan terjadi–
saat itu Pemerintah Hindia Belanda tidak merestui perkembangan
Aliran Pendidikan 123

Muhammadiyah, karena awalnya hanya diberikan izin untuk bergerak


di daerah Yogyakarta saja– akhirnya di luar Yogyakarta, cabang
Muhammadiyah berdiri dengan nama lain. Sebut saja Nurul Islam di
Pekalongan, Al-Munir di Makassar, Ahmadiyah di Garut, dan
perkumpulan SATF (Shiddiq, Amanah, Tabligh, Fathonah) di Surakarta.
Mulailah berturut-turut, Muhammadiyah mendirikan sekolah. Di
Karangkajen, Yogyakarta pada 1913, di Lempuyangan tahun 1915, di
Pasar Gede (Kota Gede) tahun 1916, dan seterusnya. Tahun 1918
didirikanlah sekolah bagi calon guru agama yang dinamakan Qismul
Arqa (sempat berganti nama menjadi Kweekschool Muhammadiyah
dan Kweekschool Isteri). Qismul Arqa ini yang kemudian kelak menjadi
Madrasah Mu’allimin dan Mu’allimaat Muhammadiyah Yogyakarta
(berganti nama lagi pada kongres Muhammadiyah ke 23 di Yogyakarta
pada tahun 1935), sekolah kader enam tahun yang dikelola langsung
oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Menyadari bahwa Muhammadiyah harus tumbuh berkembang terus,
tidak hanya di Yogyakarta saja, K.H. Ahmad Dahlan mengajukan
permohonan untuk diizinkan mendirikan cabang-cabang
Muhammadiyah di luar Yogyakarta. Permohonan itu diajukan pada 7
Mei 1921 dan dikabulkan baru pada 2 September 1921. Setelah keluarnya
izin tersebut, baru mulailah terbentuk Cabang-cabang Muhammadiyah
di luar Yogyakarta. Berkembangnya Cabang-cabang Muhammadiyah di
luar Yogyakarta ini erat kaitannya dengan dakwah dan perdagangan.
Meski pada awalnya beberapa cabang berdiri tidak dengan nama
Muhammadiyah karena memang tidak diperbolehkan oleh Pemerintah
Kolonial Belanda, namun perlahan tapi pasti Muhammadiyah mulai
berani menunjukkan eksistensinya di luar Yogyakarta.
Tercatat dalam sejarah bahwa Cabang Muhammadiyah yang pertama
berdiri di luar Yogyakarta adalah di wilayah timur Jawa yakni di
Surabaya dan Blora pada 27 November 1921. Menyusul tidak terlalu
lama kemudian adalah Cabang Muhammadiyah di Kepanjen Malang
pada 21 Desember 1921. Pada tahun 1922 Muhammadiyah mulai
menggeliat di daerah Jakarta, Surakarta, Purwokerto, Pekalongan, dan
Pekajangan. Tercatat pada tahun 1923 Muhammadiyah melebarkan
sayapnya ke daerah Jawa Barat khususnya di Garut. Namun demikian,
pada tahun 1920 pengaruh Muhammadiyah sudah mulai dirasakan di
daerah Minangkabau dimana pada tahun itulah Muhammadiyah mulai
dikenal oleh masyarakat di luar Pulau Jawa. Berturut-turut kemudian,
124 Pengantar Pendidikan

pada tahun 1925 Muhammadiyah berdiri di Sungai Batang dan Agam.


Diawali dari Sumatera inilah mulainya Muhammadiyah berkembang di
daerah Sulawesi dan Kalimantan. Pada tahun 1927 Muhammadiyah
dirasakan juga di daerah Bengkulu dan Banjarmasin. Pada tahun 1930,
Muhammadiyah menancapkan panjinya di ujung timur negeri ini yakni
dengan resmi terbentuknya Muhammadiyah cabang Merauke. Baru
kemudian pada tahun 1938 secara masif Muhammadiyah mengepakkan
sayapnya di seluruh bumi Nusantara.
Muhammadiyah telah melakukan proses-proses pencerahan,
perubahan dan pengembangan masyarakat melalui jalan modernisasi.
Maksudnya, modernisasi dalam masyarakat muslim Indonesia sebagai
sebuah model untuk melihat fenomena-fenomena yang terjadi di
Nusantara. Dengan modernisasi ini, Muhammadiyah telah meningkatkan
harkat dan martabat bangsa Indonesia sebagai bangsa yang modern.
Sebab model-model tradisional yang pernah menjadi bagian kehidupan
bangsa ini, perlahan-lahan berubah. Modernisasi Muhammadiyah
sebenarnya yang paling terang dapat dilihat dari model-model
pendidikan yang dikembangkan Muhammadiyah sejak awalnya. Model
pendidikan Muhammadiyah, sebenarnya merupakan model pendidikan
ala Barat Kristen yang diadopsi untuk kemudian disesuaikan dengan
kondisi masyarakat Indonesia. Modernisasi Muhammadiyah juga terlihat
dalam bentuk pembangunan rumah sakit dan panti asuhan, yang
merupakan karakteristik pelayanan sosial yang dilakukan oleh Barat
Kristen dalam melakukan pelayanan gerejawi. Di saat para Kiai masih
menganggap sekolah yang memakai kursi dan meja untuk belajar itu
merupakan sekolah orang kafir, Ahmad Dahlan melampaui pemikiran
itu dengan mendirikan sekolah yang bahkan tidak hanya mengajarkan
ilmu agama saja, tetapi juga ilmu-ilmu umum.
Menurut Febriansyah et al (2013) sesungguhnya, pendidikan yang
digagas oleh Muhammadiyah sejak awal organisasi ini didirikan adalah
pendidikan yang diletakkan pada dasar/asas Islam dengan berpedoman
Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Pendidikan Muhammadiyah ditujukan
untuk membentuk manusia yang alim dalam ilmu agama, berpandangan
luas dengan memiliki pengetahuan umum, serta siap berjuang mengabdi
dalam rangka menyantuni nilai-nilai keutamaan pada masyarakat. Tujuan
pendidikan Muhammadiyah dapat diperjelas antara lain sebagai berikut:
a. Untuk membentuk pribadi berakhlak mulia;
b. Sebagai persiapan bekal menuju kehidupan dunia dan akhirat;
Aliran Pendidikan 125

c. Persiapan untuk mencari rezeki dan pemeliharaan segi manfaat;


d. Menumbuhkan semangat ilmiah bagi para pelajar;
e. Menyiapkan pelajar dari segi profesi dan teknik agar dapat menguasai
profesi atau ketrampilan tertentu;
f. Menumbuhkan potensi dan bakat asal pada anak didik;
g. Menumbuhkan kesadaran manusia untuk mengabdi, dan takut
kepada Allah;
h. Menguatkan ukhuwah islamiyah dikalangan kaum muslim; dan
i. Untuk mencapai keridhaan Allah, menjauhkan murka dan siksaan-
Nya serta melaksanakan pengabdian yang tulus ikhlas kepada-Nya.
Sementara itu, menurut Qaidah PTM, Perguruan Tinggi
Muhammadiyah merupakan lembaga pendidikan yang menyelenggarakan
pendidikan tinggi di lingkungan Persyarikatan Muhammadiyah, bertugas
menyelenggarakan pembinaan ketakwaan dan keimanan kepada Allah
SWT, melaksanakan pendidikan dan pengajaran, penelitian dan
pengabdian kepada masyarakat menurut tuntunan ajaran Islam.
Pendidikan Muhammadiyah terus berkembang. Tidak hanya di
Jawa saja, bahkan hingga ke seluruh pelosok tanah air. Perlahan tapi
pasti, di masing-masing daerah didirikan Sekolah. Menurut data Laporan
Pimpinan Pusat Muhammadiyah dalam Muktamar 1 Abad
Muhammadiyah, sampai Mei 2010 tercatat jumlah lembaga pendidikan
yang dikelola oleh Muhammadiyah dan Aisyiyah sebagai berikut: Taman
Kanak-Kanak 4.623 buah, PAUD 6.723 buah, SLB 15 buah, SD 1.370
buah, Madrasah Ibtidaiyah 1.079 buah, Madrasah Diniyah 347 buah,
SMP 1.178 buah, Madrasah Tsanawiyah 507 buah, SMA 589 buah,
Madrasah Aliyah 158 buah, SMK 396 buah, Madrasah Muallimin/
Muallimat 7 buah, Pondok Pesantrem 107 buah, dan Sekolah Menengah
Farmasi 3 buah. Dalam data Majelis Pendidikan Tinggi PP
Muhammadiyah, sampai Oktober 2012 tercatat sebanyak 158 Perguruan
Tinggi Muhammadiyah, terdiri dari 40 Universitas, 97 Sekolah Tinggi
(terutama Sekolah Tinggi Ilmu Pendidikan, Ilmu Ekonomi, Agama
Islam, Ilmu Tarbiyah, Ilmu Kesehatan), 17 Akademi (terutama Akademi
Kebidanan dan Keperawatan), dan 4 Politeknik Muhammadiyah
(Magelang, Pekalongan, Tegal dan Yogyakarta).
Muhammadiyah merupakan gerakan modernis Islam yang
mempunyai dampak paling luas di Indonesia bahkan di dunia. Melihat
pada skala amal usaha yang demikian besar, maka dapat dikatakan
Muhammadiyah adalah sebuah gerakan modernis di dunia yang menuai
126 Pengantar Pendidikan

keberhasilan yang signifikan. Gerakan Ikhwanul Muslimin yang dipimpin


Sayyid Qutb di Mesir dan Jama’at Islam pimpinan Abdul A’la Al-
Maududi di Pakistan, yang keduanya juga termasuk gerakan Islam
modernis, jika diukur segi ini, tertinggal jauh dibanding Muhammadiyah.
Patut disadari bahwa pada mulanya organisasi ini mendapat
tantangan dan hambatan, terutama dari kaum adat dan ulama
tradisional. Muncul tuduhan bahwa Muhammadiyah menyimpang dari
garis ahlus-sunnah wal-jama‘ah. Lambat laun masyarakat mengalami
“pencerahan pemikiran” bahwa modernisasi memang suatu keharusan.
Kegiatan Muhammadiyah yang dahulu dicela kini ditiru dan diikuti
diam-diam. Sekolah-sekolah modern yang dahulu menjadi tuduhan
kepada Muhammadiyah meniru Belanda terpaksa didirikan oleh orang
lain atau lembaga-lembaga dan ormas lain juga. Golongan-golongan
yang dahulu menghambat langkah Muhammadiyah akhirnya tidak
mendapat jalan lain kecuali meniru, mengikuti, dan bergabung dalam
jejak Muhammadiyah.

Anda mungkin juga menyukai