(Valarie C. Sanlon. 2007. ANATOMY - Essentials of Anatomy and Physiology. Fifth Editon. Page
374. Philadelphia : USA.
Lauralee Sherwood. 2010 .Human Physiology. Sevent edition. page 592-593 Belmont : USA
FISIOLOGI
mengunyah :
adanya bolus makanan di dalam mulut pada awalnya menimbulkan penghambatan refleks
gerakan mengunyah pada otot, yang menyebabkan rahang bawah turun ke bawah. Penurunan ini
kemudian kontraksi rebound . keadaan ini secara otomatis mengangkat rahang bawah yang
menimbulkan pengatupan gigi, tetapi juga menekan bolus melawan dinding mulut, yang
menghambat otot rahang bawah sekali lagi, menyebabkan rahang bawah turun dan kembali
rebound pada saat yang lain, dan ini berulang-ulang terus.
Menelan :
Fase Volunter
Fase oral : Lidah mendorong makanan daerah orofaring dengan cara menekan ke pallatum durum
Fase Involunter
Fase faringeal :
Dimulai ketika makanan sdh masuk orofaring, dikendalikan oleh medula oblongata dan
bagian bawah pons
Nasofaring tertutup oleh palatum mole (cegah makanan masuk ke nasofaring)
Plika palatofaringeal tertarik ke medial mendorong makanan masuk faring
Glotis menutup (cegah makanan masuk laring)
Peristaltik faring mendorong makanan masuk esofagus, (SOA) terbuka
Pernafasan berhenti (1-2 sec)
Fase Esofageal :
Setelah masuk esofagus makanan didorong masuk ke lambung oleh peristaltik (kekuatan
tergantung ukuran makanan)
Oesofagus dilengkapi sfingter esofagus atas (SEA) dan bawah (SEB)
1/3 atas otot lurik, 2/3 bawah otot polos
Peristaltik esofagus terjadi karena rangsangan makanan pada ddg oesofagus, dikoordinir
oleh N. vagus dan pesarafan intrinsik
penghasil asam
(anaerob)
merusak
demineralisasi lebih
Berlubang karies cepat daripada
remineralisasi
Patogenesis Karies
Komponen mineral enamel, dentin dan sementum adalah
hidroksiapatit (HA) yang tersusun atas Ca10(PO4)6(OH)2. Pertukaran
ion mineral antara permukaan gigi dengan biofilm oral senantiasa
terjadi setiap kali makan dan minum. Dalam keadaan normal, HA
berada dalam kondisi seimbang dengan saliva yang tersaturasi oleh
2+
ion Ca dan PO43-. HA akan reaktif terhadap ion-ion hidrogen pada
atau dibawah pH 5.5, yang merupakan pH kritis bagi HA. Pada
+
kondisi pH kritis tersebut, ion H akan bereaksi dengan ion PO43-
dalam saliva. Proses ini akan merubah PO43- menjadi HPO42-. HPO42-
yang terbentuk kemudian akan mengganggu keseimbangan normal
HA dengan saliva, sehingga kristal HA pada gigi akan larut. Proses
8
ini disebut demineralisasi. (Gambar 2.2)
Gambar 2.2. Siklus demineralisasi dan remineralisasi
Dikutip dari Preservation and Restoration of Tooth Structure 2nd ed.
Bakteri
Mulut merupakan tempat berkembanganya banyak bakteri, namun hanya sedikit bakteri
penyebab karies, yaitu Streptococcus mutans dan Lactobacilli di antaranya. Khusus untuk karies
akar, bakteri yang sering ditemukan adalah Lactobacillus acidophilus, Actinomyces viscosus,
Nocardia spp., dan Streptococcus mutans. Contoh bakteri dapat diambil pada plak.
Karbohidrat yang dapat difermentasikan
Bakteri pada mulut seseorang akan mengubah glukosa, fruktosa, dan sukrosa menjadi asam laktat
melalui sebuah proses glikolisis yang disebut fermentasi. Bila asam ini mengenai gigi dapat
menyebabkan demineralisasi. Proses sebaliknya, remineralisasi dapat terjadi bila pH telah
dinetralkan. Mineral yang diperlukan gigi tersedia pada air liur dan pasta gigi berflorida dan cairan
pencuci mulut. Karies lanjut dapat ditahan pada tingkat ini. Bila demineralisasi terus berlanjut,
maka akan terjadi proses pelubangan.
Plak adalah lapisan lunak dan lengket di gigi yang terdiri dari protein dan bakteri (biofilm). Plak
terdiri dari 70% bakteri yang berasal dari air liur. Plak terbentuk segera setelah Anda selesai
menyikat gigi. Dalam waktu 48 jam setelah pembentukannya, plak mulai mengeras oleh kalsium,
fosfor, dan mineral lainnya dari air liur, menjadi karang gigi.
(Anderson, T. "Dental treatment in Medieval England", British Dental Journal, 2004, 197)
Fisiologi Sheerwood
(David Hull, at all. 2008. Dasar-dasar pediatri. Edisi 3. Hal 86-87. Jakarta : EGC)
Di samping itu bau mulut juga dapat ditimbulkan dari adanya lubang pada gigi, sisa makanan di
dalam mulut, karang gigi / karies, dan lain sebagainya. Tanda-tanda terjadinya bau mulut biasanya
adalah akibat terganggunya keseimbangan asam mulut seperti alir liur kental, mulut kering dan
rasa tidak nyaman bicara . Ketika melakukan ibadah puasa, seseorang akan lebih rentan terkena
bau mulut yang tidak sedap dihidung dikarenakan adanya pengurangan produksi air liur yang
dapat membuat mulut menjadi kering / xerostomia. Akibatnya jumlah oksigen di dalam mulut
akan berkurang. Bakteri anaerob dapat berkembang biak di dalam mulut tanpa oksigen yang
memecah asam amino dan menghasilkan gas sulfur yang membuat mulut tidak sedap baunya.
Penelitian menunjukkan bahwa produk yang mengandung SLS yaitu agen berbusa
paling banyak ditemukan dalam formulasi pasta gigi dan obat kumur, yang dapat
berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya ulser, disebabkan karena efek dari
SLS yang dapat menyebabkan epitel pada jaringan oral menjadi kering dan lebih rentan
terhadap iritasi. Beberapa penelitian telah melaporkan bahwa peserta yang
menggunakan pasta gigi yang bebas SLS mengalami sariawan yang lebih sedikit.
Penurunan ini ditemukan setinggi 81% dalam satu penelitian. Studi yang sama juga
melaporkan bahwa subjek penelitian merasa bahwa sariawan yang mereka alami kurang
menyakitkan daripada pada saat mereka menggunakan pasta gigi yang menggandung SLS.
b. Trauma
Ulser dapat terbentuk pada daerah bekas terjadinya luka penetrasi akibat trauma.
Pendapat ini didukung oleh hasil pemeriksaan klinis, bahwa sekelompok ulser terjadi
setelah adanya trauma ringan pada mukosa mulut. Umumnya ulser terjadi karena
tergigit saat berbicara, kebiasaan buruk, atau saat mengunyah, akibat perawatan gigi,
makanan atau minuman terlalu panas, dan sikat gigi. Trauma bukan merupakan faktor yang
berhubungan dengan berkembangnya SAR pada semua penderita tetapi trauma dapat
dipertimbangkan sebagai faktor pendukung.
c. Genetik
Faktor ini dianggap mempunyai peranan yang sangat besar pada pasien yang menderita SAR.
Faktor genetik SAR diduga berhubungan dengan peningkatan jumlah human leucocyte
antigen (HLA), namun beberapa ahli masih menolak hal tersebut. HLA menyerang sel-sel
melalui mekanisme sitotoksik dengan jalan mengaktifkan sel mononukleus ke epitelium.
Sicrus (1957) berpendapat bahwa bila kedua orangtua menderita SAR maka besar
kemungkinan timbul SAR pada anak-anaknya. Pasien dengan riwayat keluarga SAR akan
menderita SAR sejak usia muda dan lebih berat dibandingkan pasien tanpa riwayat keluarga
SAR.
d. Gangguan Immunologi
Tidak ada teori yang seragam tentang adanya imunopatogenesis dari SAR, adanya
disregulasi imun dapat memegang peranan terjadinya SAR. Salah satu penelitian
mungungkapkan bahwa adanya respon imun yang berlebihan pada pasien SAR sehingga
menyebabkan ulserasi lokal pada mukosa. Respon imun itu berupa aksi sitotoksin dari
limfosit dan monosit pada mukosa mulut dimana pemicunya tidak diketahui. Menurut
Bazrafshani dkk, terdapat pengaruh dari IL-1B dan IL-6 terhadap resiko terjadinya
SAR. Menurut Martinez dkk, pada SAR terdapat adanya hubungan dengan pengeluaran
IgA, total protein, dan aliran saliva. Sedangkanmenurut Albanidou-Farmaki dkk, terdapat
karakteristik sel T tipe 1 dan tipe 2 pada penderita SAR.
e. Stres
Stres merupakan respon tubuh dalam menyesuaikan diri terhadap perubahan lingkungan
yang terjadi terus menerus yang berpengaruh terhadap fisik dan emosi. Stres
dinyatakan merupakan salah satu faktor yang berperan secara tidak langsung
terhadap ulser stomatitis rekuren ini. Faktor stres ini akan dibahas dengan lebih
rinci pada subbab selanjutnya.
f. Defisiensi Nutrisi
Wray (1975) meneliti pada 330 pasien SAR dengan hasil 47 pasien menderitadefisiensi nutrisi
yaitu terdiri dari 57% defisiensi zat besi, 15% defisiensi asam folat, 13% defisiensi vitamin
B12, 21% mengalami defisiensi kombinasi terutama asam folat dan zat besi dan 2%
defisiensi ketiganya. Penderita SAR dengan defisiensi zat besi, vitamin B12 dan asam folat
diberikan terapi subtitusi vitamin tersebut hasilnya 90% dari pasien tersebut mengalami
perbaikan.
Faktor nutrisi lain yang berpengaruh pada timbulnya SAR adalah vitamin B1, B2 dan B6. Dari
60 pasien SAR yang diteliti, ditemukan 28,2% mengalami penurunan kadar vitamin-vitamin
tersebut. Penurunan vitamin B1 terdapat 8,3%, B2 6,7%, B6 10% dan 33%
kombinasi ketiganya. Terapi dengan pemberian vitamin tersebut selama 3 bulan
memberikan hasil yang cukup baik, yaitu ulserasi sembuh dan rekuren berkurang. Dilaporkan
adanya defisiensi Zink pada penderita SAR, pasien tersebut diterapi dengan 50
mg Zink Sulfat peroral tiga kali sehari selama tiga bulan. Lesi SAR yang persisten
sembuh dan tidak pernah kambuh dalam waktu satu tahun. Beberapa peneliti
lain juga mengatakan adanya kemungkinan defisiensi Zink pada pasien SAR karena
pemberian preparat Zink pada pasien SAR menunjukkan adanya perbaikan, walaupun kadar
serum Zink pada pasien SAR pada umumnya normal.
2.1.4.7 Hormonal
Pada wanita, sering terjadinya SAR di masa pra menstruasi bahkan banyak yang
mengalaminya berulang kali. Keadaan ini diduga berhubungan dengan faktor hormonal.
Hormon yang dianggap berperan penting adalah estrogen dan 20,26progesteron.
Dua hari sebelum menstruasi akan terjadi penurunan estrogen dan progesteron secara
mendadak. Penurunan estrogen mengakibatkan terjadinya penurunan aliran darah sehingga
suplai darah utama ke perifer menurun dan terjadinya gangguan keseimbangan sel-
sel termasuk rongga mulut, memperlambat proses keratinisasi sehingga menimbulkan
reaksi yang berlebihan terhadap jaringan mulut dan rentan terhadap iritasi lokal sehingga
mudah terjadi SAR. Progesteron dianggap berperan dalam mengatur pergantian epitel mukosa
mulut.
Graykowski dan kawan-kawan pada tahun 1966 pertama kali menemukan adanya
hubungan antara bakteri Streptokokus bentuk L dengan lesi SAR denganpenelitian lebih
lanjut ditetapkan bahwa Streptokokus sanguis sebagai penyebab SAR. Donatsky dan
Dablesteen mendukung pernyataan tersebut dengan melaporkan adanya kenaikan titer antibodi
terhadap Streptokokus sanguis 2A pada pasien SAR dibandingkan dengan kontrol.
Alergi adalah suatu respon imun spesifik yang tidak diinginkan (hipersensitifitas)
terhadap alergen tertentu. Alergi merupakan suatu reaksi antigen dan antibodi. Antigen ini
dinamakan alergen, merupakan substansi protein yang dapat bereaksi dengan antibodi, tetapi tidak
dapat membentuk antibodinya sendiri.
SAR dapat terjadi karena sensitifitas jaringan mulut terhadap beberapa bahanpokok yang ada
dalam pasta gigi, obat kumur, lipstik atau permen karet dan bahan gigi palsu atau bahan tambalan
serta bahan makanan.29,30 Setelah berkontak dengan beberapa bahan yang sensitif,
mukosa akan meradang dan edematous. Gejala ini disertai rasa panas, kadang-kadang timbul
gatal-gatal, dapat juga berbentuk vesikel kecil, tetapi sifatnya sementara dan akan pecah
membentuk daerah erosi kecil dan ulser yang kemudian berkembang menjadi SAR.
2.1.4.10 Obat-obatan
Penggunaan obat nonsteroidal anti-inflamatori (NSAID), beta blockers, agen kemoterapi dan
nicorandil telah dinyatakan berkemungkinan menempatkan seseorang pada resiko yang lebih besar
untuk terjadinya SAR.3,24 2.1.4.11 Penyakit Sistemik
Beberapa kondisi medis yang berbeda dapat dikaitkan dengan kehadiran SAR. Bagi pasien yang
sering mengalami kesulitan terus-menerus dengan SAR harus dipertimbangkan adanya
penyakit sistemik yang diderita dan perlu dilakukan evaluasi serta pengujian oleh dokter.
Beberapa kondisi medis yang dikaitkan dengan keberadaan ulser di rongga mulut
adalah penyakit Behcet’s, penyakit disfungsi neutrofil, penyakit gastrointestinal, HIV-AIDS, dan
sindroma Sweet’s.
2.1.4.12 Merokok
Stomatitis adalah peradangan pada mukosa (lapisan lendir) mulut yang bisa mengenai mukosa
pipi, bibir dan langit-langit. Stomatitis merupakan infeksi yang dapat terjadi secara tersendiri atau
bisa merupakan bagian dari penyakit sistemik.
Stomatitis adalah peradangan pada rongga mulut yang disebabkan oleh karena adanya trauma,
pola hidup (konsumsi) yang kurang sehat, serta adanya aktifitas dari kuman (Streptokokus α-
hemolitikus)
Predileksi : Biasanya daerah yang paling sering timbul stomatitis aphtosa (sariawan) ini pada
daerah mukosa pipi bagian dalam, bibir bagian dalam, lidah, gusi serta langit-langit dalam rongga
mulut.
Factor resiko
a. Hal pertama yang harus dipikirkan adalah keadaan gigi bagi si pasien, karena higiene gigi yang
buruk sering dapat menjadi penyebab timbulnya sariawan yang berulang.
b. Luka tergigit, bisa terjadi karena bekas dari tergigit itu bisa menimbulkan ulsersehingga dapat
mengakibatkan stomatitis aphtosa.
c. Mengkonsumsi air dingin atau air panas.
d. Alergi, bisa terjadi karena kenaikan kadar IgE dan keterkaitan antara beberapa jenis makanan dan
timbulnya ulser. Gejala timbul biasanya segera setelah penderita mengkonsumsi makanan
tersebut
e. Faktor herediter bisa terjadi, misalnya kesamaan yang tinggi pada anak kembar, dan pada anak-
anak yang kedua orangtuanya menderita stomatitis aphtosa.
f. Kelainan pencernaan Gangguan saluran pencernaan, seperti Chorn disease, kolitis ulserativ, dan
celiac disease sering disertai timbulnya stomatitis apthosa.
g. Faktor psikologis (stress), diduga berhubungan dengan produksi kortison di dalam tubuh.
h. Gangguan hormonal (seperti sebelum atau sesudah menstruasi). Terbentuknya stomatitis
aphtosa ini pada fase luteal dari siklus haid pada beberapa penderita wanita.
i. Pada penderita yang sering merokok juga bisa menjadi penyebab dari sariawan. Pambentukan
stomatitis aphtosa yang dahulunya perokok, bebas simtom ketika kebiasaan merokok dihentikan.
j. Jamur, namun biasanya hal ini dihubungkan dengan penurunan sistem pertahanan tubuh (imuno).
Berasal dari kadar imunoglobin abnormal.
k. Pada penggunaan obat kumur yang mengandung bahan-bahan pengering (misal,alkohol, lemon/
gliserin) harus dihindari.
l. Sedangkan sariawan yang dikarenakan kekurangan vitamin C sangat mungkin terjadi, karena bagi
si pasien yang kekurangan vitamin C dapat mengakibatkan jaringan dimukosa mulut dan jaringan
penghubung antara gusi dan gigi mudah robek yang akhirnya mengakibatkan sariawan.
m. Kekurangan vitamin B dan zat besi juga dapat menimbulkan sariawan.. Namun kondisi seperti itu
dapat diatasi dengan sering memakan buah ataupun makan sayur-sayuran. Penyakit yang
menjangkit ini biasanya dapat menyerang siapa saja dan tidak mengenal umur maupun jenis
kelamin, termasuk pada bayi yang masih berusia 6-24 bulan.
Klasifikasi
Ada dua tipe utama: stomatitis herpetik akut dan stomatitis aphtosa
Stomatitis tipe herpetik akut biasanya sembuh sendiri, tetapi bisa parah dan pada bayi baru lahir
bisa berakibat fatal. Penyebab Stomatitis herpetik akut diakibatkan virus herpes simpleks. Hal
ini biasa terjadi pada anak umur 1-3 tahun.
Stomatitis aphtosa biasanya sembuh dengan sendirinya dalam 10-14 hari tanpa bekas.
penyebab stomatitis aphtosa tidak diketahui, kemungkinan merupakan manifestasi oral dari
beberapa kondisi. Faktor pencetus antara lain trauma, stres emosi, kadar serum zat besi rendah,
kekurangan vitamin B12 atau folat, menstruasi, hipersensitif terhadap makanan, dan alergi atau
reaksi obat.
Stomatitis herpetik akut diawali dengan mulut yang nyeri tiba-tiba, ludah berlebih, bau mulut,
menolak makan, dan demam kadang-kadang tinggi (40-40,6ºC). Puncak terjadinya adalah
demam dan rewel yang ditunjukkan dengan lesi (ujud kelainan) mulut dalam 1-2 hari. Lesi awal
berupa gelembung isi cairan yang jarang terlihat karena cepat pecah. Lesi sisa berdiameter 2-10
mm dan ditutupi dengan lapisan kuning keabuan. Pada saat lapisan terkelupas, yang tersisa
adalah luka. Biasanya terjadi pembesaran kelenjar getah bening sekitar mulut. Fase akut terjadi
4-9 hari dan sembuh sendiri. Nyeri biasanya hilang dalam dua sampai empat hari sebelum luka
sembuh sempurna. Jika bayi yang menderita stomatitis menghisap jempolnya, luka bisa
menjalar ke tangan.
Pada stomatitis aphtosa luka tunggal atau multipel yang nyeri pada mukosa bibir, pipi lidah dan
bawah lidah, langit-langit, dan gusi. Lesi awal ditunjukkan dengan kemerahan, tonjolan (papul)
keras yang cepat erosi menjadi bentuk yang berbatas jelas, luka nekrotik dengan dikelilingi daerah
merah.
Ulser mempunyai ukuran yang bervariasi 1-30 mmm, tertutup selaput kuning keabu-abuan,
berbatas tegas, dan dikelilingi pinggiran yang eritematus dan dapat bertahan untuk beberap ahri
atau bulan. Karateristik ulser yang sakit terutama terjadi pada mukosa mulut yang tidak berkeratin
yaitu mukosa bukal, labial, lateral dan ventral lidah, dasar mulut, palatum lunak dan mukosa
orofaring (Banuarea, 2009).
Sebagian besar pasien (80%) menderita bentuk minor (MiRAS), yang ditandai oleh ulser bulat atau
oval, dangkal dengan diameter kurang dari 5 mm, dan dikelilingi oleh pinggiran yang erimatus
(Gambar 1). Ulserasi pada MiRAS cenderung mengenai daerah-daerah non-keratin, seperti mukosa
labial, mukosa bukal, dan dasr mulut. Ulserasi bias tunggal atau merupakan kelompok yang terdiri
atas empat atau lima dan akan sembuh dalam waktu 10-14 hari tanpa meninggalkan bekas (Lewis
& Lamey , 1998).
Gambar 1. Gambaran klinis minor RAS pada mukosa labial (Scully & Felix, 2005)
Stomatitis aptosa mayor yang rekuren (MaRAS), yang diderita oleh kira-kira 10% dari penderita
RAS, lebih hebat daripada MiRAS. Secara klasik, ulser ini berdiameter kira-kira 1-3 cm,
berlangsung selama 4 minggu atau lebih dan dapat terjadi pada bagian mana saja dari mukosa
mulut, termasuk daerah-daerah berkeratin (Gambar 2 dan 3). Tanda pernah adanya MaRAS
berupa jaringan parut terjadi karena keseriusan dan lamanya lesi (Lewis & Lamey , 1998). Lynch
et al. (1994) mengatakan bahwa pasien dengan ulser mayor mengalami lesi yang dalam dengan
diameter 1-5 cm.
Gambar 2. Gambaran klinis mayor RAS pada mukosa palatal lunak (Scully & Felix,
2005)
Gambar 3. Gambaran klinis mayor RAS (Scully & Felix, 2005)
Menurut Langlai & Miller (2000), ulser seringkali multiple, terjadi pada palatum lunak,
tsucea tonsil, mukosa bibir, mukosa pipi, lidah dan meluas ke gusi cekat. Biasany lesi
asimetri dan unilateral. Gambaran ulsernya yaitu ukuran besar, bagian tengah
nekrotik dan cekung, tepinya merah meradang.
Ulserasi Herpetiformis
Tipe RAS yang terakhir adalah ulserasi herpetiformis (HU). Istilah “herpetiformis”
digunakan karena bentuk klinis dari HU (yang dapat terdiri dari 100 ulser kecil-kecil
pada satu waktu) mirip dengan gingivostomatitis herpetik primer. Tetapi virus-virus
herpes tidak mempunyai peran etiologi pada HU atau dalam setiap bentuk ulserasi
aptosa (Lewis & Lamey , 1998).
Gambaran mencolok dari penyakit ini adalah erosi-erosi kelabu putih yang jumlahnya
banyak, berukuran sekepala jarum yang membesar, bergabung dan menjadi tidak
jelas batasnya (Gambar 4). Ukurannya berkisar 1-2 mm sehingga dapat dibedakan
dengan aptosa namun tidak adanya vesikel dan gingivitis bersama sifat kambuhan
membedakannya dari herpes primer (Gambar 5) dan infeksi virus lainnya (Langlais &
Miller, 2000; Porter & Leao, 2005 ).
Gambar 4. Gambaran klinis RAS herpetiformis pada dasar lidah (Scully & Felix, 2005)
Stomatitis Sekunder, merupakan stomatitis yang secara umum terjadi akibat infeksi oleh virus
atau bakteri ketika host (inang) resisten baik lokal maupun sistemik.
a. TIPE PENYAKIT
Stomatitis aphtosa ini mempunyai 2 jenis tipe penyakit, diantaranya:
1. Sariawan akut : Bisa disebabkan oleh trauma sikat gigi, tergigit, dan sebagainya. Pada sariawan
akut ini bila dibiarkan saja akan sembuh dengan sendirinya dalam beberapa hari.
2. Sariawan kronis : Akan sulit sembuh jika dibiarkan tanpa diberi tindakan apa-apa. Sariawan
jenis ini disebabkan oleh xerostomia (mulut kering). Pada keadaan mulut kering, kuantitas saliva
atau air ludah berkurang. Akibatnya kualitasnya pun juga akan berkurang. Penyebab dari
xerostomia ini bisa disebabkan gangguan psikologis (stress), perubahan hormonal, gangguan
pencernaan, sensitif terhadap makanan tertantu dan terlalu banyak mengonsumsi antihistamin
atau sedatif.
Secara klinis stomatitis aphtosa ini dapat dibagi menjadi 3 subtipe, diantaranya:
1. Stomatitis aphtosa minor (MiRAS)
Sebagian besar pasien menderita stomatitis aphtosa bentuk minor ini. Yang ditandai oleh luka
(ulser) bulat atau oval, dangkal, dengan diameter kurang dari 5mm, dan dikelilingi oleh pinggiran
yang eritematus. Ulserasi pada MiRAS cenderung mengenai daerah-daerah non-keratin, seperti
mukosa labial, mukosa bukal dan dasar mulut. Ulserasi bisa tunggal atau merupakan kelompok
yang terdiri atas empat atau lima dan akan sembuh dalam jangka waktu 10-14 hari tanpa
meninggal bekas.
Patofisiologi
Tubuh sebenarnya memiliki pertahanan tubuh alamiah terhadap serangan bakteri.
Pertahanan ini disebut dengan sistem laktoperoksidase (LP-system). Sistem ini terdapat pada
saliva atau ludah. LP system dapat berfungsi sebagai bakteriostatis terhadap bakteri mulut dan
bakteriosid terhadap bakteri patogen jika tersedia ketiga komponennya. Yaitu enzim
laktoperoksidase, dosianat, dan hydrogen peroksida (H2O2). Bakteri di dalam mulut dapat
berkembang biak tak terkendali karena sistem laktoperoksidase yang merupakan pertahanan
alami dalam saliva umumnya rusak. Hal ini dikarenakan seringnya mengonsumsi makanan yang
mengandung zat-zat kimia, seperti perasa, pewarna, pengawet, bahkan yang memakai zat
pembasmi hama.
Pemakaian deterjen (sodium laurit sulfat) yang berlebihan dalam pasta gigi juga dapat
sebagai peneyebab dari rusaknya ludah. Bila dalam pemakaian yang berlebihan atau melebihi
toleransi dapat dengan mudah merusak ludah dan menghancurkan sistem pertahanan alami.
Tidak hanya itu, pemakaian antiseptik pada obat kumur atau pasta gigi juga dapat merusakkan LP
system, sebab antiseptik ini bersifat bakteriosid sehingga dapat membunuh semua bakteri yang
berada di dalam rongga mulut, yang dapat mengakibatkan lingkungan mukosa mulut menjadi
rusak.
Seperti telah diterangkan bahwa mulut merupakan pintu gerbang masuknya kuman-kuman atau
rangsangan-rangsangan yang bersifat merusak. Dilain pihak mulut tidak dapat melepaskan diri
dari masuknya berbagai jenis kuman ataupun berbagai pengaruh rangsangan antigenik yang
bersifat merusak.
Rangsangan perusak yang masuk sesuai dengan potensinya akan ditanggapi oleh tubuh
baik secara lokal atau sistemik. Tanggapan ini dapat berlangsung wajar, artinya tanggapan-
tanggapan tersebut secara normal dapat dieleminasi melalui aksi fagositosis. Sebenarnya reaksi
tubuh terhadap rangsangan yang merusak itu bertujuan untuk mengurangi atau meniadakan
peradangan tersebut. Tetapi kadang-kadang reaksi jaringan amat berlebih, melebihi porsi
stimulusnya sendiri sehingga reaksi pertahanan yang tadinya dimaksudkan untuk melindungi
struktur dan fungsi jaringan justeru berakhir dengan kerusakan jaringan sendiri.
Dalam keadaan yang tidak wajar, (Trauma, Stres dll ) terjadi ketidak seimbangan immunologik
yang melahirkan fenomena alergi dan defisiensi immunologi dengan efek kerusakan-kerusakan
yang menyangkut komponen vaskuler, seluler dan matriks daripada jaringan. Dalam hal ini sistem
imun yang telah dibangkitkan untuk melawan benda asing oleh porsi reaksi yang tidak seimbang
akhirnya ikut merusak jaringan-jaringan sendiri disekitarnya. Misalnya pelepasan mediator aktif
dari aksi-aksi komplemen, makrofag, sel plasma, sel limposit dan leukosit, histamin, serta
prostaglandin.
Kapita selekta kedokteran,, jilid 1, media Aesculapius FKUI 1999
GEJALA
Gejalanya berupa rasa panas atau terbakar yang terjadi satu atau dua hari yang kemudian bisa
menimbulkan luka (ulser) di rongga mulut. Bercak luka yang ditimbulkan akibat dari sariawan ini
agak kaku dan sangat peka terhadap gerakan lidah atau mulut sehingga rasa sakit atau rasa panas
yang dirasakan ini dapat membuat kita susah makan, susah minum, ataupun susah berbicara.
Penderita penyakit ini biasanya juga banyak mengeluarkan air liur. Biasanya sariawan ini akan
sembuh dengan sendirinya adalam waktu empat sampai 20 hari. Bila penyakit ini belum sembuh
sampai waktu 20 hari maka penderita harus diperiksa lebih lanjut untuk menentukan apakah ada
sel kankernya atau tidak. Pada stomatitis aphtosa yang berat, dapat digunakan suatu alat pelindung
mulut yang bersih dengan pengolesan anestetik lokal dibawah alat tersebut.
CARA MENGATASINYA
Dalam mengatasi sariawan ini, dapat menggunakan beberapa jenis obat, baik dalam bentuk salep
(yang mengandung antibiotika dan penghilang rasa sakit), obat tetes, maupun obat kumur. Jika
sariawan sudah terlalu parah, bisa digunakan antibiotika dan obat penurun panas (bila sudah kronis
disertai dengan demam).
Ada beberapa jenis obat yang dikenal di masyarakat dan bisa membantu meredakan keluhan akibat
sariawan. Ada jenis obat berbentuk salep dengan kandungan kortikosteroid yang dioleskan pada
luka sariawan. Ada juga obat tetes yang digunakan untuk meredakan sariawan ini dengan gentien
violet, perak nitrat, atau obat kumur yang dapat membantu mengurangi rasa sakit pada penderita
sariawan. Dan juga pemberian vitamin C atau zat besi dalam dosis tinggi pada penderita sariawan
yang kekurangan zat-zat tersebut sering dapat menolong. Untuk memenuhi kebutuhan tubuh akan
vitamin, akan lebih baik bila diperoleh dari sayuran dan buah-buahan yang merupakan vitamin
natural. Mengonsumsi vitamin natural lebih efetif dibandingkan dengan mengonsumsi suplemen.
Bila dikonsumsi berlebihan tidak akan merusak tubuh, karena kelebihannya akan dikeluarkan oleh
tubuh. Selain itu juga lebih mudah diserap oleh tubuh. Pada penderita sariawan kambuhan yang
disertai kecemasan obat (faktor psikologis), pemberian obat dapat disertai dengan obat anticemas
untuk mengatasi masalah psikologisnya. Dan jika sariawan sudah terlalu parah, bisa digunakan
antibiotika dan obat penurun panas (bila sudah kronis disertai dengan demam).
PENCEGAHAN
Dengan mengetahui penyebabnya, kita diharapkan dapat menghindari terjadinya stomatitis
aphtosa (sariawan) ini, diantaranya dengan menjaga kebersihan rongga mulut serta mengkonsumsi
nutrisi yang cukup, terutama pada makanan yang mengandung vitamin B12 dan zat besi. Selain itu,
anda juga dianjurkan untuk menghindari stress. Namun bila sariawan selalu hilang timbul, anda
dapat mencoba dengan kumur-kumur air garam hangat dan berkonsultasi dengan dokter gigi
dengan meminta obat yang tepat sariawannya.
Ada beberapa usaha lain yang dilakukan untuk mencegah munculnya sariawan. Misalnya, menjaga
kesehatan umum terutama kesehatan pada mulut, menghindari luka pada mulut saat menggosok
gigi atau saat menggigit makanan, menghindari pasta gigi yang merangsang, menghindari kondisi
stress, menghindari makanan yang terlalu panas atau terlalu dingin, sering mengkonsumsi buah dan
sayuran, terutama vitamin B, vitamin C, dan zat besi; serta menghindari makanan dan obat-obatan
atau zat yang dapat menimbulkan reaksi alergi pada rongga mulut.
--
STOMATITIS APHTOUS RECURRENS
a. Definisi
Definisi:
merupakan ulser oval rekuren pada mukosa mulut tanpa tanda-tanda adanya penyakit
lain dan salah satu kondisi ulseratif mukosa mulut yang paling menyakitkan terutama
sewaktu makan, menelan dan berbicara. Penyakit ini relatif ringan karena tidak bersifat
membahayakan jiwa dan tidak menular.
b. Klasifikasi
Minor ( 80 % )
Ulser bulat atau oval, dangkal, diameter <5mm, dikelilingi pinggiran eritematous, bisa
soliter atau berkelompok dan akan sembuh sendiri dalam 10-14 hari. Mengenai bag non
keratin
Mayor ( 10 % )
Diameter 1-3 cm, berlangsung selama 4 minggu atau lebih dan dapat terjadi pada bag
mana saja dalam mulut termasuk epitel berkeratin. Jaringan parut terjadi akibat
keseriusan dan lamanya lesi.
Herpetiformis
Ulkus berdiameter 1-2 mm, bergerombol, banyak
c. Pathogenesis
Viskositas darah meningkat karena banyak cairan yang keluar menyebabkan stasis darah
Cedera sel
d. Manifestasi klinis
Nyeri
Demam tidak terlalu tinggi
Anoreksia
Mual, muntah
Pembengkakan disertai nyeri di rahang kiri dan kanan
a. bibir
b. mukosa pipi
c. gigi dan gusi
d. kelenjar ludah
e. palatum
f. dasar mulut
g. lidah
pasien duduk dan pemeriksaan duduk atau berdiri langsung di depannya. Wajah
pasien harus mendapat pencahayaan yang cukup. Pemeriksa harus bekerja
secara sistematis dari depan ke belakang sehingga tidak ada daerah yang
terlewati. Pemeriksaan harus memakai sepasang sarung tangan sewaktu
mempalpasi setiap struktur di dalam mulut. Kalau menemukan lesi, konsistensi
dan keadaan nyeri tekan harus diperhatikan. Jika pasien untuk memakai gigi
palsu, harus diminta untuk melepaskannya.
px penunjang
px hematologi, apabila ada kelainan hematologi sebagai factor resikonya, pemeriksaan
kadar vitamin, pemeriksaan lab lainnya berdasar riwayat penyakitnya
f. Penatalaksanaan
kombinasi vitamin B1 ( thiamin 300mg sehari ) dan vitamin B6 ( piridoksin, 50 mg tiap 8
jam )
obat kumur : klorheksidin glukonat, fluocinonide, bethametasone valerate, beklometason
diproprionate, flumetasone pivalate
antimikrobia : tetrasiklin secara topical
imunomodulator : levamisole, cholcicine, gammaglobulin, dapsone
----
Gingivitis
RADANG gusi (gingivitis) adalah keadaan di mana terjadi perubahan struktural pada gusi. Ditandai
dengan adanya perubahan bentuk dan warna pada gusi.
Radang gusi disebabkan karena kurang memperhatikan kebersihan mulut. Jika tidak segera
ditanggulangi akan mengakibatkan enfeksi yang membahayakan anatomi tubuh lainnya. Karena itu,
waspadalah terhadap radang gusi!
Menurut Drg Denny Sidiq Hudaya, SpBM, radang gusi (gingivitis) disebabkan karena hengine atau
rongga mulut yang tidak terawat. Misalnya, karena lalai dari menggosok gigi sehingga
menyebabkan karang gigi dan sisa makanan yang masih menempel. Karena karang gigi dan sisa
makanan yang membusuk, gusi mengalami pembengkakan.
Selain itu, radang gusi juga disebabkan karena terlalu sering merokok, stres, faktor genetika, kurang
mengkonsumsi vitamin C, adanya timbunan plak pada gigi dan karena adanya lubang gigi. Faktor
lain yang juga bisa menyebabkan terjadinya radang
gusi adalah Diabetes Melitus (DM).
"Radang gusi bisa menyebabkan tumor (pembengkakan) dan rubor (terjadinya kemerahan pada
gusi) dan dollor (gusi terasa sakit)," jelasnya saat ditemui genie beberapa waktu lalu di klinik DNN,
Jalan Raya Pasar Minggu No 16 J, Jakarta Selatan.