Anda di halaman 1dari 137

LAPORAN AKHIR

KAJIAN KEBIJAKAN HARGA PANGAN

PUSAT KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM NEGERI


BADAN PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN
KEBIJAKAN PERDAGANGAN
KEMENTERIAN PERDAGANGAN
2015
KATA PENGANTAR

Puji syukur dan terimakasih kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang
telah melimpahkan berkat, kasih dan rahmat-Nya sehingga Tim Peneliti
Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri dapat menyelesaikan
Laporan “Kajian Kebijakan Harga Pangan” tepat pada waktunya.
Kajian ini dilatarbelakangi bahwa isu stabilitas harga tidak hanya
menjadi perhatian pemerintah saat ini, tetapi juga di era pemerintahan
sebelumnya, terutama sejak berawalnya krisis pada tahun 2008.
Pelaksanaan kebijakan harga pangan telah lama dilaksanakan di
Indonesia. Sejauh ini pelaksanaannya seolah-olah hanya terlihat dalam
jangka pendek yang selanjutnya harga-harga komoditi di dalam negeri
terus naik. Sehingga muncul pertanyaan bagaimana pelaksanan kebijakan
harga pangan selama ini dan kemungkinan penerapan pelaksanaan
kebijakan harga pangan di Indonesia. Selama ini banyak pendekatan-
pendekatan secara struktural telah dilakukan namun implikasinya belum
mengalami perubahan sehingga perlu pendekatan yang sifatnya
kelembagaan. Oleh karena itu kajian kebijakan harga pangan khususnya
pada komoditi kebutuhan pangan pokok masyarakat penting dilakukan.
Demikian, semoga hasil kajian ini dapat dimanfaatkan sebaiknya
dan dapat menjadi informasi yang berguna bagi pengambil kebijakan.
Hasil kajian ini tentunya belum sempurna, maka dari itu sumbang dan
saran dari pembaca kami harapkan dan untuk semua itu disampaikan
terima kasih.

Jakarta, September 2015


Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan i


ABSTRAK

KAJIAN KEBIJAKAN HARGA PANGAN

Salah satu isu dalam kebijakan pemerintah adalah kebijakan


stabilisasi harga pangan. Karakteristik produk pangan yaitu harga yang
fluktuatif dan produksi yang bersifat musiman. Berbagai peraturan muncul
yang esensinya adalah untuk menjaga agar kenaikan harga dapat
dikendalikan dan stabil serta mempunyai dampak yang minimal terhadap
inflasi. Kebijakan harga pangan dalam pelaksanaannya belum terlihat
efektif sehingga perlu penelaahan dari sisi kebijakan, mekanisme
pelaksanaan dan kelembagaan. Oleh karena itu, kajian ini bertujuan untuk
(a) menganalisis kemungkinan penerapan kebijakan harga pada bahan
kebutuhan pokok di Indonesia dan (b) merumuskan usulan kebijakan
harga bahan kebutuhan pokok. Kajian ini menggunakan pendekatan
statistik dan deskriptif-kualitatif yaitu profitabilitas usaha tani, koefisien
variasi, moving koefisien variasi dan trend. Hasil analisis menunjukkan
bahwa tidak semua komoditi bahan kebutuhan pokok mendapat
penetapan kebijakan harga yang sama dan perlu melihat aspek strategis
dari komoditi tersebut seperti perannya terhadap inflasi, besarnya pangsa
pengeluaran pangan terhadap masyarakat serta fluktuasi harga. Mengacu
pada karakteristik produksi dan struktur pasar komoditas pangan pokok di
dalam negeri, serta kebijakan pada masing-masing komoditas, maka (a)
penetapan kebijakan harga pembelian pemerintah telah diterapkan pada
komoditi gula dan beras; (b) penetapan harga eceran tertinggi dapat
diterapkan pada komoditi beras, gula dan minyak goreng. Dalam
pelaksanaannya, kebijakan HET dilakukan untuk mengantisipasi gejolak
harga yang lebih tinggi di tingkat konsumen sehingga perlu ada intervensi
operasi pasar; (c) kebijakan harga acuan telah diterapkan pada komoditi
cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa
pasca panen serta (d) kebijakan harga khusus. Kebijakan harga khusus
hanya diterapkan pada menjelang, saat dan setelah hari besar
keagamaan sehingga penetapan harganya tidak perlu dilakukan pada
semua komoditi. Implikasinya adalah perlu institusi yang berperan dalam
hal monitoring dan evaluasi, perlu ada mekanisme controling dan
monitoring serta penegakan sanksi hukum dalam bentuk pidana atau
denda/sanksi yang secara eksplisit tertulis dalam suatu peraturan teknis
untuk mengurangi tindakan spekulasi pasar terhadap kenaikan harga.

Kata kunci: kebijakan harga pangan, koefisien keragaman, dan


kelembagaan

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan ii


ABSTRACT

STUDY OF FOOD PRICE POLICY

One of the main issues on government policy is the policy of


stabilization of food prices. The Characteristics of food product are
fluctuated on price and seasonal on production. Many regulation are
produced with its essence is to keep price increases under control, stable
and have minimal impact on inflation. Food pricing policy in practice still
ineffective so that review of the policies, mechanisms and institutional
implementation is necessary. Therefore, the aims of this study are to (a)
analyze the possible application of pricing policies on staple food
commodities in Indonesia and (b) to formulate policy of staple food
commodities. This study uses a statistical approach and qualitative
descriptive on farm profitability, coefficient of variation, the moving
coefficient of variation and trends. The analysis showed that not all staple
food commodities have the same pricing policy. Aspect of strategic role of
the commodities on inflation, the share on food expenditure to the
community, and price fluctuations are needed to look at. Referring to the
characteristics of production and the market structure of essential food
commodities in domestic market, as well as policies on each commodity, it
can be conclude that (a) determining the purchase price of government
policy has been applied to sugar and rice; (b) the determination of the
highest retail price (HET) can be applied to rice, sugar and cooking oil. In
practice, HET policy is to anticipate volatility of prices at the consumer
level that needs to be intervene by market operations; (c) the reference
pricing policy has been applied to chili and onions an also improving
production management and post-harvest period, (d) special price policy.
Special pricing policy only applied before, during and after religious
holidays so pricing is not necessary in all commodities. The implication of
this policy is the need of institution that plays a role in terms of monitoring
and evaluation. The implementations of these policies need a mechanism
on controlling, monitoring and law enforcement in the form of criminal
sanctions or penalties. The sanctions should explicitly write in a technical
regulation to reduce the action of market speculation on prices.

Key words: food price policy, coefficient variation, and institutional

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan iii


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................ i


ABSTRAK ........................................................................................................ii
DAFTAR ISI ...................................................................................................iv
DAFTAR TABEL .............................................................................................vi
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ vii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................. 1
1.1. Latar belakang ................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah ............................................................................. 4
1.3. Tujuan ................................................................................................ 5
1.4. Keluaran............................................................................................. 5
1.5. Manfaat .............................................................................................. 5
1.6. Ruang Lingkup ................................................................................... 5
1.7. Sistematika Laporan .......................................................................... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI.............................. 8
2.1. Stabilitas Harga .................................................................................. 8
2.2. Pendekatan Pengelolaan Instabilitas Harga ...................................... 9
2.3. Teori Penentuan Harga Dasar dan Harga Eceran Tertinggi ............ 11
2.4. Pengendalian Harga di Beberapa Negara ....................................... 16
2.5. Kerangka Pemikiran ......................................................................... 21
BAB III METODE PENGKAJIAN ................................................................. 25
3.1. Metode Analisis ................................................................................ 25
3.2. Jenis, Sumber dan Metode Pengumpulan Data ............................... 32
BAB IV PELAKSANAAN KEBIJAKAN HARGA PANGAN DI
BEBERAPA NEGARA .................................................................... 36
4.1. Malaysia ........................................................................................... 36
4.2. Filipina.............................................................................................. 39
4.3. Brunei Darusalam ............................................................................ 41
4.4. Thailand ........................................................................................... 44
4.5. India ................................................................................................. 46

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan iv


4.6. Tiongkok .......................................................................................... 49
4.7. Indonesia ......................................................................................... 51

BAB V KEBIJAKAN PENGENDALIAN HARGA KOMODITAS


PANGAN........................................................................................ .. 55
5.1. Karakteristik Komoditi Pangan ......................................................... 55
5.2. Kebijakan Harga Komoditi Pangan ................................................. 68
5.3. Penentuan Komoditi Pangan Yang Perlu Diprioritaskan .................. 70
5.4. Pengendalian Harga Pada Komoditi Pangan ................................... 81
5.5. Tinjauan Kristis Dari Aspek Kelembagaan & Regulasi ..................... 92

BAB VI EVALUASI KEBIJAKAN HARGA PANGAN DI INDONESIA ......... 98

BAB VII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN .................... 111


6.1. Kesimpulan .................................................................................... 111
6.2. Rekomendasi Kebijakan ................................................................ 112

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan v


DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Klasifikasi Kebijakan Stabilisasi Harga........................................... 9


Tabel 2.2. Pengaturan Harga di Malaysia .................................................... 18
Tabel 2.3. Kategori Instrumen Pengelolaan Instabilitas Harga ..................... 24
Tabel 3.1. Matriks Indentifikasi Komoditi ....................................................... 28
Tabel 3.2. Jenis dan Sumber Data Sekunder ............................................... 33
Tabel 3.3. Jadwal Kegiatan ........................................................................... 35
Tabel 4.1. Elemen Pengendalian Kebijakan Harga di Malaysia .................... 38
Tabel 4.2. Elemen Pengendalian Kebijakan Harga di Filipina....................... 40
Tabel 4.3. Elemen Pengendalian Kebijakan Harga di Brunei Darusalam ..... 43
Tabel 4.4. Elemen Pengendalian Kebijakan Harga di Thailand .................... 45
Tabel 4.5. Elemen Pengendalian Kebijakan Harga di India .......................... 47
Tabel 4.6. Elemen Pengendalian Kebijakan Harga di Tiongkok ................... 50
Tabel 4.7. Elemen Pengendalian Kebijakan Harga di Indonesia .................. 52
Tabel 5.1. Rata-rata Pangsa Pengeluaran Masyarakat Terhadap Pangan
Berdasarkan Kelompok Pendapatan............................................ 67
Tabel 5.2. Andil Inflasi Komoditi Selama Tahun 2009-2014.......................... 71
Tabel 5.3. Andil Inflasi, Koefisien Variasi Harga Tingkat Konsumen,
Pangsa Pengeluaran Rumah Tangga .......................................... 73
Tabel 6.1. Lembaga/Institusi Yang Terkait Dalam Kebijakan Harga Pangan
di Indonesia ................................................................................ 109

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan vi


DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Partial Equilibrium Dalam Kebijakan Price Ceillings ................ 12


Gambar 2.2. Partial Equilibrium Dalam Kebijakan Price Floors ................... 14
Gambar 2.3. Kerangka Kerja Undang-Undang 723 .................................... 19
Gambar 2.4. Mekanisme Intervensi Pemerintah di Komoditi Beras ............. 20
Gambar 2.5. Kerangka Pemikiran ............................................................... 24
Gambar 3.1. Kerangka Pemikiran Analisis kelembagaan ............................ 30
Gambar 3.2. Tahapan Analisis dalam Penelitian ......................................... 32
Gambar 5.1. Perkembangan Harga Komoditi Pangan ................................. 67
Gambar 5.2. Pergerakan Fluktuasi Harga Komoditi Pangan ....................... 68

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan vii


BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Salah satu isu dalam kebijakan pemerintah adalah kebijakan
stabilisasi harga pangan serta meminimalkan dampaknya terhadap
inflasi. Isu stabilitas harga tidak hanya menjadi perhatian pemerintah
saat ini, tetapi juga di era pemerintahan sebelumnya, terutama sejak
berawalnya krisis pada tahun 2008. Saat ini, sistem perdagangan
pangan dunia yang semakin terbuka atau pasar bebas menyebabkan
produk pangan di dalam negeri sulit terkendalikan sebagai akibat
tranmisi dari situasi dan kondisi harga internasional. Kondisi ini serta
berbagai permasalahan di dalam negeri seperti produksi dan distribusi
menyebabkan harga pangan terutama bahan kebutuhan pangan pokok
seperti beras, kedelai, daging ayam, cabai dan bawang merah menjadi
berfluktuasi. Selain itu, secara tahunan momen hari besar keagamaan
nasional (HBKN) memunculkan adanya spekulasi harga yang
menyebabkan harga bahan kebutuhan pangan pokok setiap tahun
cenderung naik. Secara teori, harga produk pertanian khususnya produk
pangan ditentukan oleh pasokan (lokal atau impor), permintaan, situasi
harga pangan di pasar internasional serta ekspektasi masyarakat
(Tomek dan Robinson, 1990).
Undang-undang Perdagangan No 7 tahun 2014 pasal 26 ayat 3
mengamanatkan bahwa “dalam menjamin pasokan dan stabilisasi
harga barang kebutuhan pokok dan barang penting, Menteri
menetapkan kebijakan harga, pengelolaan stok dan logistik serta
pengelolaan ekspor dan impor”. Dalam UU tersebut tersirat bahwa
pemerintah mempunyai pedoman dalam menetapkan kebijakan harga
dengan tujuan untuk stabilisasi harga. Pemerintah dalam hal ini

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 1


Kementerian Perdagangan mempunyai indikator besaran stabilisasi
harga pangan, yaitu pada kisaran 5-9% (Renstra Kementerian
Perdagangan 2010-2014). Kisaran nilai tersebut mempunyai pengertian
bahwa jika harga komoditi pangan secara nasional mengalami fluktuasi
harga pada kisaran tersebut maka masih dianggap wajar dan jika lebih
dari kisaran yang ditargetkan perlu dilakukan intervensi. Demikian
halnya untuk menjaga stabilitas harga antar wilayah (disparitas harga)
kisaran harga yang menjadi patokan ditetapkan pada kisaran 1,5-2,5%.
Dengan pengertian bahwa perbedaan harga antar wilayah di Indonesia
tidak boleh lebih dari 2,5%.
Stabilitas harga pangan adalah kepentingan bersama antara
produsen pangan dan konsumen. Kepentingan produsen pangan
adalah menginginkan adanya kepastian usaha karena harga yang stabil
dapat meningkatkan perencanaan produksi dan tentu saja adalah output
yang lebih baik. Dari sisi konsumen, instabilitas harga pangan
berpotensi menganggu program ketahanan pangan (ketersediaan,
aksesibilitas, keterjangkauan, dan gizi pangan). Sudah barang tentu
selain masalah instabilitas, persoalan yang sangat penting adalah
tingkat harga. Bagi produsen, tingkat harga yang menguntungkan
adalah sangat penting untuk kesinambungan usaha, sedangkan bagi
konsumen harga yang terjangkau sangat penting untuk memastikan
hak-hak dasarnya terpenuhi.

Isu stabilisasi harga tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga di


beberapa negara dengan respon kebijakan yang berbeda-beda1. Untuk
menjaga stabilitas harga dan tingkat harga yang wajar beberapa negara
melakukan kebijakan harga, baik secara langsung maupun tidak

1
Bagi Indonesia, masalah stabilitas harga masih sangat strategis mengingat pangsa
pengeluaran untuk pangan sebagian besar penduduk Indonesia masih sekitar separoh dari
total pengeluaran. Sebagai contoh, pada periode 2009-2013 rata-rata pangsanya sekitar
49% (Susenas, 2013). Antar daerah (desa vs kota) maupun antar kelompok pendapatan
bervariasi dengan kisaran antara 30-80%

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 2


langsung. Kebijakan harga langsung misalnya melalui pemberlakuan
harga eceran tertinggi dan harga dasar serta kebijakan harga tidak
langsung meliputi penetapan pajak dan pemberian subsidi. Beberapa
negara yang telah menerapkan kebijakan harga eceran tertinggi adalah
Filipina dan Malaysia. Bagi Malaysia, price control digunakan untuk
memperbaiki pasar yang sedang terdistorsi serta merealokasi distribusi
pendapatan yang sebelumnya tidak sempurna (Shariff dan Yusoff,
2013).

Pemberlakuan harga eceran tertinggi oleh banyak negara


sebetulnya mengabaikan konsensus dari para ekonom yang tidak
sependapat mengenai pemberlakuan intervensi harga tersebut dalam
jangka panjang. Intervensi harga melalui penetapan harga eceran
tertinggi dapat memicu adanya kelangkaan pasokan yang terjadi akibat
harga eceran tertinggi ditetapkan lebih rendah dari harga keseimbangan
pasar dan kemudian menjadi disinsentif bagi produsen, sementara
permintaan semakin tinggi. Pada akhirnya, secara keseluruhan
kesejahteraan sosial akibat penetapan harga eceran tertinggi menjadi
menurun (Hammond, Maret 20142). Di samping kelemahan di atas,
penetapan harga eceran tertinggi juga memiliki kelebihan yaitu menjaga
terjadinya tingkat harga yang tidak wajar (melebihi nilai barangnya).
Selain itu, harga eceran tertinggi juga dapat menjaga biaya hidup lebih
terjangkau selama periode inflasi yang sedang tinggi.

Sasaran kebijakan harga dasar adalah melindungi produsen.


Dalam hal ini aspek-aspek penting yang dipertimbangkan adalah: (i)
jenis komoditasnya (strategis/tidak strategis), (ii) jumlah produsen yang
terlibat (hulu/hilir), (iii) kontribusi komoditas/sektor yang bersangkutan
dalam penyerapan tenaga kerja dan nilai tambah, serta (iv) untuk
menghemat devisa. Pemberlakuan harga dasar, umumnya terjadi

2
http://smallbusiness.chron.com/advantages-disadvantages-price-ceiling-25210.html

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 3


ketika adanya peningkatan produksi yang signifikan, melebihi
peningkatan permintaan dan kemudian menyebabkan harga dan
keuntungannya menjadi turun. Hal ini seolah-olah memberi sinyal
kepada produsen untuk mengurangi produksi atau bahkan
meninggalkan produksi (www2.palomar.edu/users/llee/ChapC08.pdf).
Kondisi lain yang mendorong pemberlakuan harga dasar adalah kondisi
struktur pasar yang tidak menguntungkan produsen. Oleh karena itu,
harga dasar digunakan untuk menjaga insentif bagi produsen untuk
tetap berproduksi.

1.2. Rumusan Masalah


Harga pangan yang stabil adalah kepentingan bersama yaitu bagi
produsen, konsumen dan juga pemerintah. Agar produksi pangan dapat
berkelanjutan, dan kebutuhan pangan masyarakat dapat terpenuhi
pemerintah harus melindungi masyarakat dan petani dari gejolak harga
seperti harga jatuh pada saat panen raya dan harga melambung pada
saat diluar panen. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah yaitu
kebijakan stabilisasi harga. Harga yang tidak stabil mempunyai dampak
ke produsen (disinsentif), konsumen serta ekspektasi inflasi.
Kebijakan harga pangan telah lama dilaksanakan di Indonesia.
Sejauh ini pelaksanaannya seolah-olah hanya terlihat dalam jangka
pendek yang selanjutnya harga-harga komoditi di dalam negeri terus
naik. Sehingga muncul pertanyaan bagaimana pelaksanan kebijakan
harga pangan selama ini dan kemungkinan penerapan pelaksanaan
kebijakan harga pangan di Indonesia. Oleh karena itu kajian kebijakan
harga pangan khususnya pada komoditi kebutuhan pangan pokok
masyarakat penting dilakukan. Kebijakan harga dalam konteks
stabilisasi harga pangan. Substansi utama yang akan dikaji adalah
jenis-jenis komoditas pangan yang memerlukan, konsep besarannya,
instrumen dan kelembagaannya, strategi implementasinya serta law

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 4


enforcementnya. Dalam konteks ini pembelajaran dari studi banding
dengan pengalaman beberapa negara sangat diperlukan.

1.3. Tujuan
Tujuan dari kajian ini adalah untuk:
a. Menganalisis kemungkinan penerapan kebijakan harga pada bahan
kebutuhan pokok di Indonesia.
b. Merumuskan usulan kebijakan harga bahan kebutuhan pokok.

1.4. Keluaran
Keluaran yang diharapkan dari kajian ini adalah:
a. Keragaan stabilitas harga komoditas pangan dan kebijakan harga
yang berlaku saat ini.
b. Kemungkinan penerapan kebijakan harga pada komoditi bahan
pangan pokok di Indonesia.
c. Rekomendasi pelaksanaan kebijakan harga bahan pangan pokok.

1.5. Manfaat
a. Kajian ini menjadi rujukan bahan masukan dalam upaya mendukung
kebijakan harga barang kebutuhan pokok yang stabil dan terkendali
bagi unit teknis di Kementerian Perdagangan.
b. Dapat dijadikan bahan referensi bagi akademisi serta Kementerian
terkait lainnya.

1.6. Ruang Lingkup


Analisis dalam kajian ini mencakup 3 aspek/ substansi, yaitu:
a. Cakupan Komoditas mengacu pada SK Menko No. Kep-
28/M.EKON/05/2010 tentang tim koordinasi stabilisasi pangan pokok
serta Renstra Kementerian Perdagangan 2010-2014, komoditi bahan
pangan pokok dalam pelaksanaan kebijakan harga pangan

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 5


mencakup 10 jenis yaitu beras, gula, minyak goreng, tepung terigu,
kedelai, jagung, daging sapi, daging ayam, telur ayam, cabai merah,
dan bawang merah). Namun demikian, dengan mempertimbangkan
tingkat urgensi pengendalian harga maka komoditi yang menjadi
fokus penelitian yaitu beras, gula, daging ayam, cabai merah,
bawang merah serta minyak goreng .
b. Penentuan Kebijakan harga komoditi. Tidak semua komoditi tersebut
di atas relevan memperoleh kebijakan harga yang sama dan
diimplementasikan sekaligus atau sangat mungkin ada komoditas
yang tidak memperoleh perlakukan keduanya.
Aspek Regulasi dan Kelembagaan. Aspek regulasi penting dikaji
untuk memperkaya analisis terutama dalam hal perangkat-perangkat
regulasi yang diperlukan dan agar kebijakan harga pangan dapat
diimplementasikan secara efektif. Selain itu, aspek ini juga
menganalisis perangkat-perangkat regulasi yang menyebabkan
penerapan kebijakan harga pangan tidak efektif. Aspek kelembagaan
yang dimaksud adalah aturan main dan penegakan hukum (law
emforcement).

1.7. Sistematika Laporan


Laporan kajian rencananya akan disusun dalam enam Bab, yaitu:
Bab I. Pendahuluan
Pada Bab ini dibahas mengenai latar belakang penelitian, tujuan
penelitian, keluaran penelitian, manfaat penelitian, ruang lingkup
penelitian dan sistematika penelitian.
Bab II. Tinjauan Pustaka
Pada Bab ini dibahas tinjauan literatur mengenai stabilitas harga,
pengelolaan instabilitas harga, kebijakan harga pangan, penerapan
kebijakan harga pangan di negara lain, urgensi dari kelembagaan dalam

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 6


kebijakan, hasil penelitian terdahulu serta kerangka pemikiran
penelitian.
Bab III.Metode Pengkajian
Pada Bab ini akan dibahas mengenai metode analisis, data dan sumber
data, metode pengumpulan data.
Bab IV. Pelaksanaan Kebijakan Harga Pangan di Beberapa Negara
Pada bab ini akan menyajikan pelaksanaan kebijakan harga pangan
(harga dasar dan harga eceran tertinggi) di beberapa negara yang
meliputi kelebihan, kelemahan, mekanisme implementasi serta evaluasi
dari kebijakan itu sendiri.
Bab V. Kebijakan Pengendalian Harga Komoditas Pangan
Pada bab ini akan dianalisis mengenai karakteristik komoditi bahan
pangan pokok, kebijakan harga komoditi bahan pangan pokok,
penentuan komoditi pangan yang diprioritaskan, pengendalian harga
pada komoditi pangan serta tinjauan kristis dari aspek kelembagaan dan
regulasi. Analisis didasarkan pada dua hal yaitu teori dan empiris dari
pengalaman penerapan kebijakan harga pangan di negara lain.
Bab VI. Evaluasi Kebijakan Harga Pangan di Indonesia
Bab VII.Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan
Bab ini menyajikan kesimpulan mengenai hasil analisis penerapan
kebijakan harga di negera lain serta kemungkinan implementasi
kebijakan harga di Indonesia dan evaluasi kebijakan harga pangan di
Indonesia. Selanjutnya berdasarkan hasil kesimpulan, akan
disampaikan rekomendasi terkait implementasi kebijakan harga pangan
pokok di Indonesia dan aspek pendukungnya.

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 7


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI

2.1. Stabilisasi Harga


Pada penelitian yang dilakukan oleh Galtier (2009), krisis harga
pangan pada tahun 2007-2008 yang menyebabkan pergolakan di
beberapa negara berkembang yang menimbulkan pertanyaan akan
pentingnya stabilitas harga. Konsep stabilitas harga didasarkan pada
situasi dimana harga selalu berfluktuasi sepanjang waktu. Istilah
instabilitas berasal dari variabilitas dan volatilitas yang secara langsung
terkait dengan konsep keseimbangan/equilibrium. Instabilitas harga
merupakan refleksi dari ketidak seimbangan antara permintaan dan
penawaran. Ketidakseimbangan tersebut dapat disebabkan karena
memang terjadi ketidak seimbangan atau disebabkan oleh adanya
harapan ketidak seimbangan yang salah atau benar dari pelaku
ekonomi. Apa pun yang menyebabkannya, instabilitas harga selalu
berarti adanya ketidak seimbangan dalam jangka pendek. Pergerakan
harga dalam jangka panjang yang biasanya terjadi karena disebabkan
perubahan teknologi atau perubahan permintaan tidak dapat diartikan
sebagai instabilitas harga.
Banyak indikator yang digunakan untuk mengukur instabilitas
harga, namun yang paling sering digunakan adalah koefisien
keragaman (coefficient of variation) yang dihitung dari rasio stantard
deviation dan mean (Rata-rata). Indikator ini dianggap tepat karena
dipercaya bahwa tingkat fluktuasi yang rendah di sekitar harga rata-rata
dianggap tidak penting. Hanya tingkat peningkatan atau penurunan
harga yang ekstrim yang diperhitungkan. Instabilitas harga pangan di
negara berkembang pada level yang tinggi menimbulkan konsekuensi
yang serius terhadap ketahanan pangan baik dalam jangka pendek

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 8


(akses konsumen terhadap pangan) dan jangka panjang (insentif bagi
produsen untuk berinvestasi dan meningkatkan produksi).

2.2. Pendekatan Pengelolaan Instabilitas Harga


Galtier, F (2009)3 dalam studinya mengenai pengelolaan instabilitas
harga bahan pangan di negara berkembang, menjelaskan bahwa upaya
stabilisasi harga dapat ditempuh melalui beberapa pendekatan
(instrument). Dalam studinya, dijelaskan bahwa bentuk pendekatan
yang dapat digunakan adalah sebagaimana tertuang dalam matrik
berikut:
Tabel 2.1. Klasifikasi Kebijakan Stabilisasi Harga
Mengurangi Dampak
Tujuan Pemerintah Menstabilkan Harga
Instabilitas Harga

Berbasis Pasar Kategori A Kategori B

Publik/Konsumen Kategori C Kategori D

Sumber: Galtier, F (2009)

Kebijakan yang menggunakan instrumen pada kategori A bertujuan


untuk memfasilitasi arbitrase4 yang bersifat spasial dan temporal yang
dilakukan oleh pelaku pasar (produsen, konsumen dan pedagang).
Kebijakan ini pada dasarnya mengacu pada pasar cereal serta fokus
pada infrastruktur (transportasi, komunikasi, dan gudang/penyimpanan)
dan institusi pasar (seperti keberadaan standar, sistem resi gudang, dan
bursa yang memfasilitasi permintaan dan penawaran). Ide utama
kebijakan ini adalah bahwa secara teori, arbitrase para pelaku pasar
menyebabkan harga menjadi homogen sepanjang waktu dan tempat,
dan hal ini akan mengurangi tingkat instabilitas harga.

3
How to manage food price instability in developing countries?, Working Paper MOISA, 2009
4
Dalam konteks investasi, arbitrase merupakan transaksi yang mencoba mengambil kesempatan (keuntungan) dari
perbedaan harga untuk suatu aset yang diperdagangkan di dua pasar yang berbeda.atau dapat juga didefinisikan
sebagai tindakan spekulasi tanpa resiko (sumber: http://hedisasrawan.blogspot.com/)

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 9


Kebijakan yang digunakan pada instrumen kategori B bertujuan
untuk mencegah instabilitas harga yang menyebabkan instabilitas
pendapatan (yang pada akhirnya akan mempengaruhi konsumsi dan
produksi). Secara praktis, ini berarti memungkinkan pelaku ekonomi
untuk menutupi/melindungi diri terhadap risiko yang terkait dengan
variasi harga (misalnya melalui kontrak berjangka) dan variasi panen
(melalui asuransi tanaman atau asuransi indeks cuaca).

Pada instrumen kategori C, kebijakan bertujuan untuk memastikan


bahwa harga tidak melebihi batas tertentu. Dalam pemilihan kebijakan
yang akan digunakan apakah dalam bentuk floor price, ceiling price atau
price band tergantung dari kasus tiap komoditi. Pada kategori C,
kebijakan berfokus pada pengendalian produksi dan pengelolaan stok.
Kebijakan lainnya yang masuk dalam kategori ini adalah kebijakan
subsidi input, pajak dan subsidi ekspor/impor (tetap atau variabel), kuota
impor, larangan ekspor dan stok penyangga publik. Kebijakan kategori
ini merupakan kebijakan yang banyak diterapkan di Indonesia untuk
mengatasi fluktuasi harga bahan pangan pokok. Dalam kasus komoditi
pangan, kebijakan ini pernah dan masih diterapkan untuk beberapa
komoditi seperti beras, gula, dan kedelai. Pada komoditi beras,
kebijakan yang diterapkan adalah penetapan harga pembelian
pemerintah untuk padi oleh BULOG, sedangkan gula adalah penetapan
harga patokan di tingkat petani. Sementara untuk kedelai, penetapan
harga yang diterapkan adalah harga beli di tingkat petani.

Pada kategori D, instrumen kebijakan yang diterapkan merupakan


alat intervensi pemerintah terhadap publik yang bertujuan untuk
membantu pendapatan rumah tangga (household) ketika terjadi
kenaikan harga. Kebijakan ini termasuk bantuan langsung (transfer)
untuk kategori masyarakat miskin yang menjadi target kebijakan ini.

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 10


Bentuk bantuan langsung ini bervariasi dalam bentuk uang, voucher,
makanan atau input (bahan baku).

2.3. Teori Penentuan Harga Dasar dan Harga Eceran Tertinggi


Kegagalan pasar adalah ketidakmampuan dari suatu
perekonomian pasar untuk berfungsi secara efisien dan menimbulkan
keteguhan dalam kegiatan dan pertumbuhan ekonomi. Kegagalan atau
kepincangan dalam mekanisme pasar memerlukan campur tangan
Pemerintah dalam perekonomian. Tujuan dari campur tangan
pemerintah adalah untuk (Sukirno, 2008):
a. Menjamin agar kesamaan hak untuk setiap individu tetap terwujud
dan menghindari penindasan;
b. Menjaga agar perekonomian dapat tumbuh dan mengalami
perkembangan yang teratur dan stabil;
c. Mengawasi kegiatan-kegiatan perusahaan, terutama perusahaan-
perusahaan besar yang dapat mempengaruhi pasar agar mereka
tidak menjalankan praktek-praktek monopoli yang merugikan;
d. Menyediakan “barang bersama” (public goods) yang penggunaannya
dilakukan secara kolektif oleh masyarakat mempertinggi
kesejahteraan sosial masyarakat;
e. Mengawasi agar eksternalitas kegiatan ekonomi yang merugikan
masyarakat dapat dihindari atau dikurangi.

Pemerintah menyadari adanya beberapa kelemahan dalam pasar


bebas, oleh karena itu Pemerintah di berbagai negara melakukan
intervensi dalam kegiatan perekonomian. Beberapa bentuk kebijakan
Pemerintah pada pasar persaingan sempurna adalah melalui
pengenaan pajak, subsidi kepada produser, harga atap, harga dasar,
kuota produksi, tariff impor, dan kuota impor.

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 11


Harga suatu komoditi merupakan hasil dari keseimbangan
permintaan dan penawaran. Tingkat harga yang dicapai pada
keseimbangan untuk komoditi-komoditi tertentu terutama pangan pokok
terkadang menimbulkan ketidakpuasan. Pada beberapa kasus,
ketidakpuasan menimbulkan tekanan politik dari publik kepada
Pemerintah yang kemudian diharapkan dapat menjaga harga pada
tingkat tertentu agar tidak meningkat terlalu tinggi atau jatuh terlalu
rendah melalui kebijakan harga (price control) berupa penetapan harga
eceran tertinggi dan harga eceran terendah.

Harga eceran tertinggi (price ceilings) dan harga eceran terendah


(price floors) merupakan praktek dari intervensi Pemerintah kepada
pasar terbuka yang merubah keseimbangan pasar. Kebijakan tersebut
akan memberikan dampak kepada masyarakat dan produsen yang
diharapkan akan memberikan insentif serta meminimalkan biaya dan
tradeoff.

Harga Eceran Tertinggi (Ceiling Price)

Ceiling Price adalah harga maksimal yang ditetapkan oleh


Pemerintah pada komoditi dan jasa tertentu yang diyakini telah dijual
pada tingkat harga yang lebih tinggi dari wajar yang merugikan
konsumen. Namun akan ada konsekuensi jika price ceilings ditetapkan
pada tingkat harga di bawah harga keseimbangan pasar.

Gambar 2.1. Partial Equilibrium Dalam Kebijakan Price Ceilings

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 12


Ketika Price Ceilings ditetapkan pada tingkat harga di bawah harga
pasar, maka akan terdapat kelebihan permintaan (excess demand) atau
kekurangan supply. Jumlah produksi akan lebih sedikit ketika harga
rendah, sedangkan permintaan akan semakin banyak karena harga
yang lebih murah. Permintaan akan lebih besar dari pada supply dimana
akan lebih banyak orang yang ingin membeli pada harga yang lebih
murah namun supply terbatas.

Jika kurva permintaan elastis maka total dampak kepada surplus


konsumen akan positif. Di sisi produsen, surplusnya akan mengalami
penurunan dimana akan ada produsen yang keluar dari pasar karena
tidak bisa berproduksi pada tingkat harga yang ditentukan dan produsen
yang tinggal di pasar harus menerima tingkat harga yang rendah.

Price Ceilings ditujukan untuk melindungi konsumen dari gejolak


kenaikan harga tak terhingga. Kebijakan Price Ceilings akan efektif jika
diiringi dengan kebijakan operasional pendukung seperti Operasi Pasar
pada waktu tertentu dimana pemerintah menambah jumlah barang yang
ditawarkan ke pasar.

Penerapan Price Ceilings di bawah harga keseimbangan


(equilibrium price) pasar pada kurva permintaan dan supply yang elastis
akan berdampak sebagai berikut (Besanko dan Braeutigam, 2011):

a. Terjadi kelebihan permintaan (excess demand)


b. Produksi yang di supply di pasar lebih rendah relatif terhadap tingkat
yang efisien yaitu jumlah yang di supply saat tidak ada intervensi
Pemerintah
c. Surplus produsen lebih rendah dibandingkan sebelum penerapan
Price Ceilings
d. Sebagian dari surplus produsen yang hilang ditransfer ke konsumen
e. Karena adanya excess demand, besar surplus konsumen tergantung
pada aksesibilitas konsumen terhadap produk. Oleh karena itu

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 13


surplus konsumen dapat meningkat atau bahkan turun jika barang
tidak tersedia karena penerapan Price Ceilings.
f. Akan terjadi deadweight loss yaitu berkurangnya surplus total
(surplus konsumen dan surplus produsen) yang terjadi karena pasar
tidak beroperasi secara optimal. Dalam hal ini karena output yang
tersedia terbatas.

Harga Dasar (Floor Price)


Floor Price adalah harga minimum yang ditetapkan Pemerintah
untuk komoditi dan jasa tertentu yang diyakini dijual pada tingkat harga
yang lebih rendah dari yang layak diterima oleh produser. Harga dasar
akan menimbulkan dampak jika ditetapkan pada tingkat harga di atas
tingkat harga keseimbangan. Jika harga dasar ditetapkan di bawah
tingkat harga keseimbangan maka kebijakan intervensi ini tidak akan
memberikan dampak kepada pasar.

Ketika Price Floors ditetapkan di atas tingkat harga ekuilibrium


maka akan terjadi surplus supply (excess supply). Hal ini terjadi ketika
produsen akan berproduksi lebih banyak namun permintaan justru akan
menurun karena harga barang yang lebih tinggi.

Gambar 2.2. Partial Equilibrium Dalam Kebijakan Price Floors

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 14


Terdapat deadweight loss yang direfleksikan oleh kerugian di sisi
konsumen dan surplus produsen pada tingkat produksi yang lebih
rendah. Produsen dapat memperoleh keuntungan dari kebijakan ini
hanya jika kurva supply relatif elastis sehingga tidak terjadi net loss.
Konsumen dirugikan dalam kebijakan ini karena harus membayar
dengan harga yang lebih tinggi. Kebijakan harga eceran terendah
ditujukan untuk melindungi produsen dari penurunan harga barang
sampai tak terhingga. Mekanisme kebijakan ini akan efektif jika
pemerintah berperan dalam membeli surplus produksi.

Berbagai strategi dapat dilakukan oleh pemerintah dalam


menetapkan harga dasar dan menghadapi dampaknya. Pilihan
kebijakan lain mendukung kebijakan harga dasar antara lain kebijakan
price support, atau menetapkan kuota produksi. Price support dilakukan
dengan menetapkan harga minimum namun tidak hanya itu. Pemerintah
dalam hal ini membeli berapapun kelebihan supply (excess supply).
Metode ini tidak efisien, mahal dan merugikan tidak hanya bagi
pemerintah tetapi juga secara sosial dari pada jika pemerintah
memberikan subsidi langsung kepada perusahaan atau produsen yang
terkena dampak penetapan harga dasar.

Kuota produksi meningkatkan harga secara artificial melalui


restriksi produksi menggunakan aturan kuota atau memberikan insentif
usaha agar produsen mengurangi produksi. Cara ini dilakukan di
Amerika terutama di sektor pertanian. Pemerintah membayar petani
untuk mengatur jumlah produksinya agar harga terjaga. Sama halnya
dengan price support, kebijakan ini akan efisien dan murah jika
pemerintah memberikan subsidi langsung kepada petani dari pada
melakukan restriksi produksi.

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 15


Saat pemerintah menetapkan Price Floors lebih tinggi dari pada
harga keseimbangan pasar, maka dampak yang terjadi adalah sebagai
berikut:

a. Akan terjadi kelebihan produksi (excess supply) di pasar


b. Konsumen akan membeli lebih sedikit dari pada di pasar sempurna
c. Surplus konsumen lebih rendah dari pada jika tidak ada harga dasar
d. Sebagian surplus konsumen akan ditransfer kepada produsen
e. Karena harga dasar menyebabkan kelebihan supply, besarnya
surplus produsen akan tergantung pada produsen mana yang benar-
benar memasok produk. Surplus produsen dapat meningkat atau
menurun karena penetapan harga dasar.

2.4. Pengendalian Harga di Beberapa Negara


Pengendalian harga (Price control) oleh pemerintah biasanya
diterapkan pada barang dan jasa untuk menjaga ketersediaan pangan
penting dan mencegah gejolak harga saat kekurangan (Thuraisingham,
2010). Negara-negara maju dan berkembang mempunyai Undang-
Undang dan regulasi terkait pengaturan harga. Malaysia mempunyai
Price Control Act 1946 dan the Control of Supplies Act 1961; Filipina
mempunyai The Price Act (Republic Act 7851); Singapura dengan the
Price Control Act, Chap 244; Thailand the Price Fixing dan Anti
Monopoly Act 1979 serta the ‘Price Lists’ of the Ministry of Commerce
and Internal Trade Departments; Bangladesh dengan The Essential
Articles Act 1953.
Venezuela
Pemerintah Venezuela pada tahun 2003 menetapkan price ceiling
untuk beberapa pangan pokok sebagai reaksi terhadap tingkat inflasi.
Pada akhir tahun 2009 terdapat sekitar 400 komoditi pangan yang
dikenakan price ceiling (Besanko dan Braeutigam, 2011). Praktek price

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 16


ceiling untuk komoditi beras di Venezuela diperlihatkan oleh gambar di
bawah ini.

Pada tingkat harga price ceiling, kuantitas yang di supply menjadi


lebih rendah dari permintaan sehingga menciptakan kelangkaan beras.
Venezuela mengalami beberapa kali gangguan karena kurangnya
pasokan pangan sejak penerapan price control pertama kali diterapkan.

Konsumen mengalami kesulitan mendapatkan pangan pada tingkat


harga yang ditetapkan pemerintah sehingga sering terjadi antrian ketika
membeli. Produsen pangan mengajukan keluhan karena tingkat harga
yang ditetapkan pemerintah berada dibawah biaya rata-rata sehingga
produsen terancam bangkrut. Sebagai contoh, harga beras pada tahun
2009 ditetapkan sebesar 2.15 bolivares per kilogram, sementara biaya
yang dikeluarkan produsen per kilogram sebesar 4.41 bolivares.

Untuk menghindari price ceiling, produsen pangan berupaya


mengalihkan bentuk produknya ke jenis yang tidak terkena regulasi.
Produsen mengalihkan produknya dari beras putih menjadi beras
beraroma sehingga dapat meningkatkan harga jual. Pemerintah
kemudian menetapkan kuota produksi kepada banyak produsen pangan
untuk memaksa produsen menghasilkan produk pangan dengan ceiling
price. Produsen beras dikenakan kewajiban 80% dari produksinya dijual
dalam bentuk beras putih. Pada tahun 2009 pemerintah memperluas
kontrol pada produsen pangan lain selain beras untuk memaksa
peningkatan produksi. Pemerintah juga menghadapi banyak
penyelundupan pangan di perbatasan yang membawa produk pangan
dengan harga murah ke Colombia.

Malaysia

Salah satu faktor yang mempengaruhi inflasi di Malaysia adalah


mekanisme administered price. Harga beberapa komoditi penting di

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 17


Malaysia diatur oleh pemerintah karena perubahan harga komoditi-
komoditi tersebut mempunyai dampak yang signifikan terhadap biaya
hidup masyarakat pada kelompok berpendapatan rendah dan
menengah.

Secara umum ada dua jenis pengaturan harga di Malaysia.


Kelompok pertama terdiri dari produk yang disebutkan dalam Control
Act (1946) dimana pemerintah menentukan harga eceran dari komoditi-
komoditi tersebut. Contoh komoditi dalam kelompok ini adalah bahan
bakar dan gula. Kelompok kedua terdiri dari komoditi-komoditi yang
membutuhkan persetujuan pemerintah jika ingin merubah tingkat harga
contohnya tariff listrik dan ongkos transportasi publik. Penetapan
mekanisme administered price menyebabkan dampak dari supply
shocks dan perkembangan harga eksternal berkurang secara dan tidak
segera.

Tabel 2.2. Pengaturan Harga di Malaysia

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 18


Kebijakan Price Control Act 1946 (Act 121) adalah salah satu
peraturan perlindungan konsumen pertama yang dikeluarkan oleh
pemerintahan colonial Malaya untuk mengontrol harga dan inflasi.
Kebijakan tersebut kemudian direvisi pada tahun 1973 dan efektif pada
17 September 1973. Namun dalam pelaksanaanya, harga-harga tetap
mengalami peningkatan di atas harga yang ditetapkan. Selanjutnya
kebijakan tersebut diperbaiki dan diganti dengan Price Control and Anti
Profiteering Act 2011 (Act 723). Kebijakan baru ini mereformasi
kebijakan kontrol harga dan menetapkan ketentuan mengenai
pelarangan profiteering. Tujuan kebijakan ini adalah memberikan
mandate kepada pemerintah untuk menentukan harga suatu komoditi
atau biaya jasa dan pada saat yang sama mencegah tindakan mencari
untung berlebihan.

Gambar 2.3 Kerangka Kerja Undang-Undang 723

Berdasarkan kerangka kerja UU 723, Menteri Domestic Trade &


Consumerism yang akan menentukan harga dan mekanisme untuk
penentuan besarnya tingkat profit yang dianggap tingginya tidak wajar.
Price Advisory Council dapat dibentuk oleh Menteri untuk memberikan
masukan dan pertimbangan mengenai isu terkait profiteering dan
masalah lain terkait harga.

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 19


Filipina

Terdapat tiga faktor utama yang mempengaruhi supply beras di


Filipina (Cororaton, 2006) yaitu produksi local, buffer stok, dan impor. Di
sisi permintaan tiga faktor utama yang mempengaruhi adalah pasar
domestik, buffer stock, dan ekspor. Dua instrumen kebijakan utama
yang digunakan pemerintah untuk komoditi beras adalah tariff dan kuota
untuk impor. Gambar 2.4. berikut menunjukkan bagaimana intervensi
pemerintah mempengaruhi sektor beras.

Gambar 2.4 Mekanisme Intervensi Pemerintah di Komoditi Beras


Sumber: Cororaton (2006)

Kebijakan harga yang dilakukan pemerintah Filipina meliputi harga


dasar dan harga atap. Selain itu juga meminimalisasi variasi harga di
beberapa wilayah. Pemerintah memonopoli ekspor dan impor beras
melalui pengaturan operasi pengadaan dan penjualan untuk
mempengaruhi tingkat harga domestik. Intervensi pemerintah dilakukan

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 20


melalui the National Food Authority (NFA) yang merupakan institusi di
bawah Departemen Pertanian.
Kebijakan pemerintah lebih berhasil mempertahankan harga atap
(harga eceran tertinggi) di tingkat konsumen dari pada kebijakan harga
dasar. Sebagai akibatnya, harga di tingkat petani tetap lebih rendah dari
pada harga dasar yang sudah ditetapkan. Hal ini terjadi karena
terbatasnya anggaran NFA dan keterlambatan pembelian. Margin yang
mengalami penurunan di tingkat produsen menyebabkan menurunnya
investasi pada fasilitas pasca panen dan rendahnya keinginan
menanam karena harga yang tidak menarik. Dalam jangka panjang,
kebijakan harga dengan orientasi konsumen gagal untuk memberikan
keuntungan bagi konsumen karena menyebabkan berkurangnya
ketersediaan atau supply beras.

2.5. Kerangka Pemikiran


Parameter utama kinerja pasar adalah harga, karena perilaku
harga mencerminkan dinamika permintaan dan penawaran. Harga
terbentuk pada keseimbangan permintaan dan penawaran. Harga akan
meningkat jika terjadi kelebihan permintaan dan sebaliknya harga akan
turun jika terjadi kelebihan pasokan. Dengan demikian variasi harga
antar waktu (fluktuasi) maupun antar lokasi (variasi spatial) adalah hal
yang normal. Persoalannya adalah bahwa fluktuasi harga yang terlalu
tajam dapat mengganggu proses pengambilan keputusan konsumen
maupun produsen dan secara makro mengganggu pertumbuhan
ekonomi; sementara itu kecenderungannya yang tajam apabila hal itu
terjadi pada komoditas strategis maka akan mendorong inflasi. Di sisi
lain, variasi spatial yang ekstrim mencerminkan sistem logistik tidak
optimal, integrasi ekonomi antar wilayah yang lemah, dan
mengindikasikan adanya ketimpangan kinerja ekonomi antar wilayah.

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 21


Suatu kebijakan akan efektif jika rancangannya tepat,
instrumennya tepat, dan strategi penerapannya tepat. Untuk itu, langkah
pertama yang perlu diketahui adalah akar penyebab instabilitas harga
komoditas yang bersangkutan.

Secara garis besar akar penyebab instabilitas harga dapat


dibedakan menjadi 3 tipe sebagai berikut:

a. Instabilitas bawaan/alami atau “natural instability”. Dalam kasus ini,


instabilitas harga disebabkan oleh variabilitas pasokan antar musim
atau antar waktu sebagai akibat dari variasi musiman dan atau
gangguan alam (hama penyakit, kekeringan, dan sebagainya.
Contoh paling nyata adalah instabilitas harga beras, cabai, bawang
merah, dan sebagainya.
b. Instabilitas yang diimpor (imported) yakni instabilitas harga
komoditas tertentu di dalam negeri akibat harga di pasar
internasional volatil, sementara itu sebagian besar pasokan di
dalam negeri berasal dari impor (Byerlee et al, 2005).
c. Instabilitas endogen (endogenous instability), yakni instabilitas
yang tercipta dari perilaku pasar itu sendiri (Boussard, 1996;
Boussard et al, 2006). Instabilitas tipe ini terkait dengan ekspektasi
yang berlebihan pada pelaku pasar atas fenomena “Cob Web”
dalam pasar komoditas yang bersangkutan.

Adalah fakta bahwa kelembagaan ekonomi yang berperan


dominan dalam distribusi barang dan jasa adalah pasar sehingga
rancangan kebijakan harga juga harus berbasis pada ekonomi pasar.
Implikasinya, kebijakan pemerintah dalam stabilisasi harga adalah
melakukan intervensi pasar tanpa menihilkan peran pasar. Pada aspek
tertentu, fluktuasi harga adalah “engine” dari mekanisme pasar dan
keseimbangan tidaklah statis. Oleh karena itu kebijakan pemerintah

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 22


dalam menghadapi instabilitas harga lazimnya diorientasikan untuk: (i)
mengurangi instabilitas, dan (ii) mengurangi dampak instabilitas harga.

Dengan orientasi seperti itu, secara teoritis pengelolaan instabilitas


harga dapat diklasifikasikan menjadi 4 kategori sebagaimana yang telah
dijelaskan sebelumnya yaitu kategori A menggunakan instrumen pasar
untuk stabilisasi harga dengan mengacu pada infrastruktur dan
kelembagaan pasar, kategori B menggunakan instrumen pasar dengan
tujuan untuk mengurangi stabilisasi harga. Kategori C adalah alat
intervensi publik yang bertujuan untuk memastikan bahwa harga tidak
melebihi batas-batas tertentu. Tergantung pada kasus ini alat mungkin
termasuk harga dasar, harga eceran tertinggi atau price band.
Instrumen C focus pada control produksi, kontrol perbatasan atau
kontrol stok. Intervensi ini termasuk instrument yang beragam seperti
subsidi input, impor dan pajak ekspor dan subsidi (Fixed atau variable),
kuota, larangan atau stok penyangga publik. Instrumen D adalah alat
intervensi publik yang bertujuan untuk mendukung pendapatan rumah
tangga ketika harga tinggi.
Dalam penelitian ini, fokusnya adalah pada instrumen kategori C.
Argumennya: (i) secara empiris selama ini yang pernah diterapkan di
Indonesia adalah instrumen ini, terutama pada beras dengan
pengelolaan stok oleh pemerintah (BULOG), (ii) lebih sesuai dengan
struktur pertanian Indonesia, (iii) dengan sejumlah modifikasi dan
perbaikan kelembagaan peluang penerapan untuk beberapa komoditas
pangan lainnya cukup terbuka, dan (iv) terkait dengan upaya
pengendalian harga.

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 23


Supply- Spekulasi Kurs Kebijakan
Demand Rupiah Pemerintah
Thdp h
Dollar
Stabilitas Harga
Pangan
Dasar Hukum: Dasar Hukum:
UU No 18/2012 UU No 7/2014 tentang
Perdagangan:
tentang Pangan:
Pasal 26 (3)
Pasal 55 (1)

Kebijakan Produksi Kebijakan Harga

1. Peningkatan Produksi
Komoditi Prioritas
2. Peningkatan
Produktivitas
Kebijakan Harga
Kebijakan Pendukung
(Supporting Policies): Buffer Komoditi Pangan
stock, OP, ekspor/impor

Kelembagaan: SDM,
Regulasi (aturan main),
Sistim Adm
Nyak Ilham, 2006
Besanko & Braeutigam, 2011

Gambar 2.5. Kerangka Pemikiran

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 24


BAB III
METODE PENGKAJIAN

3.1. Metode Analisis


Sejalan dengan tujuan dari penelitian, pendekatan yang digunakan
dalam kajian ini yaitu analisis deskriptif kualitatif dan analisis deskriptif
kuantitatif. Analisis deskriptif merupakan analisis yang paling mendasar
untuk menggambarkan keadaan data secara umum atau sebagai cara
merumuskan dan menapsirkan data yang ada sehingga memberikan
gambaran yang jelas mengenai hal yang diteliti. Sejalan dengan hal
tersebut, Sugiyono (2008) juga menjelaskan bahwa analisis deskriptif
bertujuan untuk menggambarkan secara sistematis fakta-fakta yang ada
serta menjelaskan tentang hubungan variabel yang diteliti dengan cara
mengumpulkan data, mengolah data, menganalisis dan
menginterpretasikan data.
Analisis deskriptif kualitatif dilakukan dengan cara melakukan studi
pustaka dan verifikasi empiris serta mengkombinasikan data kuantitatif
dan data kualitatif yang diperoleh berdasarkan hasil diskusi di lapangan.
Untuk menjawab tujuan pada bab I, analisis deskriptif dengan
melakukan studi pustaka dan verifikasi empiris dilakukan untuk
mengidentifikasi pelaksanaan kebijakan harga pangan di negara lain.
Metode deskriptif dengan mengkombinasikan data kuantitatif dan data
kualitatif yang diperoleh berdasarkan hasil diskusi di lapangan
digunakan untuk melihat kemungkinan penerapan kebijakan harga
pangan dengan pendekatan kelembagaan serta merumuskan usulan
kebijakan harga pangan. Metode analisis deskriptif kuantitatif juga
digunakan untuk mengidentifikasi komoditi-komoditi secara preliminary
memenuhi syarat (eligible) menerapkan kebijakan harga.

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 25


Kedua metode analisis di atas dipilih secara bersamaan karena
penelitian ini erat terkait dengan dinamika yang bersifat sosial seperti
kebijakan dan sekaligus dinamika variabel-variabel yang sifatnya
numerik seperti perkembangan harga, pangsa pengeluaran masyarakat
untuk pangan, andil inflasi pangan, fluktuasi harga dan lain-lain.
Parameter ini juga digunakan untuk melihat keragaan komoditi pangan.
Menurut Musianto (2002), di era ini suasana yang semakin majemuk
menuntut penelitian/analisis bersifat komprehensif, misalnya, kata-kata
“kebijakan” mengandung nilai-nilai kuantitatif dan kualitatif.

3.1.1. Analisis Kemungkinan Penerapan Kebijakan Harga Pangan di


Indonesia
Informasi yang diharapkan dapat dihasilkan pada tahapan analisis
ini, yaitu: (i) kebijakan harga akan diterapkan pada komoditas pangan
apa, (ii) Kemungkinan jenis penerapan kebijakan harga, (iii) konsep
penentuannya (iv) bagaimana strategi implementasinya, dan (v)
bagaimana pelembagaan dan pengorganisasiannya agar penerapannya
efektif.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa analisis deskriftif
kuantitatif digunakan untuk pemilihan komoditi yang memungkinkan
untuk diterapkan kebijakan harga. Metode deskriftif kuantitatif yang
digunakan adalah sisi produsen: profitabilitas usaha tani serta
pertumbuhan produksi. Sisi konsumen: peran komoditi tersebut dalam
pengeluaran masyarakat, andil terhadap inflasi serta variasi harga di
tingkat konsumen. Jawaban atas pertanyaan (i) dilandasi filosifi bahwa
semestinya kebijakan harga (kontrol pemerintah) tidak diberlakukan
untuk semua komoditas pangan karena tidak kondusif untuk
mendukung efiensi ekonomi. Oleh karena itu langkah pertama yang
harus dilakukan adalah melakukan identifikasi komoditas pangan
strategis yang dari sudut pandang kemaslahatan memang memerlukan

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 26


intervensi pemerintah. Indikator yang digunakan untuk mengkaji hal ini
adalah: (a) peranan komoditas tersebut dalam pengeluaran masyarakat,
(b) kontribusi komoditas tersebut dalam penciptaan nilai tambah dan
penciptaan lapangan kerja, (c) kontribusinya terhadap inflasi, dan (d)
menghitung volatilitas harga masing-masing komoditas yang
bersangkutan.

Volatilitas/Fluktuasi adalah variasi temporal. Salah satu ukuran


kuantitatif yang paling sederhana tetapi lazim dipakai adalah standard
deviasi dan koefisien variasi. Formula standard deviasi adalah:

Dimana standard deviasi adalah:

2
n
 n 
n Pt    Pt 
2

STDEV  t 1  t 1  , …………………………………………….. (1)


n  n  1

n = jumlah observasi

STDEV
sedangkan koefisien variasi (CV) adalah: CV  …………. (2)
Mean

Volatilitas harga ( )

…………………………………. (3)

Dimana:
: Rata-rata tingkat volatilitas harga dalam tahun
satuan (%)
: jumlah tahun dari sampai dengan
: koefisien variasi = (standar deviasi/rataan)

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 27


Untuk menjawab pertanyaan (i) dan untuk lebih mempermudah
pemilihan, semua variabel tersebut kemudian dipetakan dalam sebuah
matriks sebagaimana disajikan pada Tabel 3.1. Tabel ini digunakan
untuk memetakan komoditi dan kemudian membuat rangking untuk
menentukan prioritas komoditi yang kemungkinan akan diterapkan
kebijakan harga.

Tabel 3.1. Matriks Identifikasi Komoditi


No. Komoditi Skor Ranking
...... ...... ...... ...... ......
(ranking: ...) (ranking: (ranking: (ranking: (ranking: ...)
1 A ...) ...) ...)
...... ...... ...... ......
...... (ranking: (ranking: (ranking: (ranking: ...)
2 B (ranking: ...) ...) ...) ...)
...... ...... ...... ......
...... (ranking: (ranking: (ranking: (ranking: ...)
... ... (ranking: ...) ...) ...) ...)
...... ...... ...... ...... ......
(ranking: ...) (ranking: (ranking: (ranking: (ranking: ...)
N N ...) ...) ...)

Masing-masing cell di-rangking berdasarkan variabel di kolom

menjawab pertanyaan (ii) dan (iii), analisis akan dibedakan dalam


penentuan kebijakan harga dasar dan harga eceran tertinggi.

a. Penentuan kebijakan harga dasar, yang menjadi pertimbangan


perhitungan:

(1) Rata-rata dan kisaran harga serta kaitannya dengan


keuntungan usaha tani. Variabel yang menjadi indikator adalah
struktur ongkos usaha tani, volatilitas harga produsen,
profitabilitas usaha tani, dan produktivitas usaha tani. Yang
menjadi pertimbangan dalam perhitungan ini adalah besaran
keuntungan normal yang diterima petani.
Profitabilitas usaha tani ( )
……………………………………………. (4)

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 28


Dimana:
: Keuntungan petani dari usaha tani
: Penerimaan = Harga jual*volume produksi
: Total biaya usaha tani

Data ini diperoleh dari beberapa hasil penelitian mengenai


analisa usaha tani, seperti publikasi Kementerian Pertanian dan
BPS.

Pertumbuhan produksi komoditi pangan per tahun dalam


periode tertentu.

…………………………………. (5)

Dimana:
: pertumbuhan produksi per tahun
: volume produksi
: tahun terakhir periode
: tahun awal periode

(2) Produktivitas kerja pada usaha tani komoditi yang bersangkutan


vs produktivitas kerja dengan usaha tani komoditi lainnya.
Variabel yang digunakan adalah perkembangan luas panen,
produksi dan produktivitas.

b. Penentuan Harga Eceran Tertinggi, indikator yang menjadi


pertimbangan dalam penentuan harga eceran tertinggi yaitu
peranan komoditas tersebut dalam pengeluaran masyarakat,
besarnya andil terhadap inflasi, dan volatilitas harga di tingkat
konsumen

Jawaban atas pertanyaan (iv) dan (v) membutuhkan


pengkajian atas data dari diskusi terbatas dengan pakar di bidang
ekonomi pertanian dan kebijakan pangan baik yang berkerimpung

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 29


dalam pemerintahan maupun akademisi, serta stakeholder yang
lazimnya dijadikan sumber informasi utama dalam kajian ini.

c. Analisis Kelembagaan

Kajian atas pertanyaan mengenai kemungkinan penerapan suatu


kebijakan membutuhkan analisis kelembagaan. Untuk itu,
pendekatan yang akan diterapkan mengacu pada kerangka
pemikiran IAD (Institutional Analysis and Development) yang
dikembangkan oleh Ostrom (2005; 2010; 2011) yang secara
ringkas dapat dipresentasikan pada Gambar 3.1. Penerapan IAD
dalam kajian ini didasarkan atas kondisi empiris bahwa pada
dasarnya implementasi kebijakan harga melibatkan berbagai pihak
dan bentuk kelembagaan yang beragam yang saling berinteraksi
sehingga outcomes dari kebijakan tersebut dipengaruhi oleh faktor
eksternal dan internal dari aksi atau berbagai kegiatan dalam
kelembagaan tersebut secara dinamis. Sudah barang tentu dalam
kajian ini yang akan diaplikasikan adalah prinsip-prinsip dasarnya
karena prosedur aplikasi kerangka pemikiran ini sesungguhnya
sangat kompleks dan melibatkan berbagai variabel yang
pengukurannya membutuhkan survey yang mendalam.

Variabel Eksternal

Gambar
Gambar Kerangka Pemikiran
3.1. Kerangka Pemikiran untuk Analisis
untuk Kelembagaan
Analisis Kelembagaan
Sumber : Ostrom (2010)
Sumber : diadaptasi dari Ostrom (2005; 2010; 2011).

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 30


Jawaban atas tujuan no (2) merupakan sintesis atas jawaban
tujuan no (1) dengan memanfaatkan expertise dalam bidang
perumusan kebijakan. Dalam konteks ini prinsip dasar yang perlu
dijadikan pedoman adalah sebagai berikut:

(1) Pemerintah adalah fasilitor, stimulator, dan pembuat regulasi


sehingga kehadirannya di lapangan disarankan tidak eksesif,
(2) Kebijakan harga yang baik adalah yang memperbaiki kinerja
pasar, bukan menihilkan peran pasar,
(3) Efektivitas kebijakan memerlukan rancangan, instrumen,
strategi penerapan, dan penegakan aturan yang konsisten
dan nuansanya adalah merupakan insentif, bukan
punishment,
(4) Pelembagaan dan pengorganisasian dari implementasi
kebijakan harus efisien, dan untuk itu yang perlu diprioritaskan
adalah meningkatkan kinerja kelembagaan yang telah ada
atau jika belum ada maka pembentukannya harus sinergis
dengan kelembagaan yang telah ada.
(5) Koordinasi antar pihak yang terkait adalah kunci utama
keberhasilan implementasi kebijakan; dan untuk itu perlu
menjaga terwujudnya konsistensi dan harmoni antar kebijakan
yang terkait.

Secara keseluruhan tahapan analisis dalam penelitian ini


adalah sebagai berikut:

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 31


Pengumpulan data sekunder: Tahap 1: Identifikasi Komoditi

a. Volatilitas harga dalam kurun waktu


tertentu, misalnya dalam 10 tahun
terakhir.
b. Profitabilitas usaha tani.
c. Pangsa pengeluran komoditi dalam
total pengeluaran rumah
tangga/masyarakat.
d. Andil inflasi komoditi dalam inflasi
umum.
e. Pertumbuhan produksi komoditi
pangan.

Pengumpulan data primer: Tahap 2:


a. Pandangan pakar
b. Inventarisasi Menganalisis keragaan komoditi pangan di Indonesia dan
ketersediaan/kapasitas/kapabilitas Kebijakan Harganya
faktor-faktor utama untuk
implementasi kebijakan harga dasar
dan/atau harga eceran tertinggi. Mengambarkan implementasi penerapan kebijakan harga
c. Bencmarking dari negara lain
pangan di negara lain

Menganalisis kemungkinan penerapan kebijakan harga


pangan di Indonesia

Tahap 3: Perumusan Kebijakan

Gambar 3.2. Tahapan Analisis dalam Penelitian

3.2. Jenis, Sumber dan Metode Pengumpulan Data


3.2.1 Data dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam melakukan penelitian ini adalah:

a. Data sekunder meliputi harga, pangsa pengeluaran komoditi,


profitabilitas usaha tani, andil inflasi komoditi dan produksi. Data-data
tersebut diperoleh dari publikasi instansi tertentu, khususnya
Kementerian Pertanian, Bappenas dan BPS;
b. Data primer terdiri dari pandangan pakar dan dokumen yang terkait
dengan kebijakan harga dasar dan atau harga eceran tertinggi di
negara lain. Data tersebut diperoleh dari diskusi dengan akademisi
serta para pakar/praktisi dan hasil diskusi di negara lain.

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 32


Tabel 3.2. Jenis dan Sumber Data Sekunder
No. Jenis Data Penjelasan Sumber Data
1 Harga eceran ditingkat Data ini digunakan BPS dan Ditjen
konsumen (nasional) untuk menghitung Perdagangan Dalam
dan harga eceran di tingkat volatilitas harga Negeri
tingkat produsen. ( )
Periode 2005 – 2014
(bulanan)
2 Analisa Biaya Usaha Data ini digunakan Kementerian
Tani untuk menghitung Pertanian, BPS dan
tingkat profitabilitas sumber informasi
usaha tani lainnya
3 Produksi nasional Data ini digunakan BPS dan Kementerian
Periode 2005 – 2014 untuk menghitung Pertanian
(tahunan) pertumbuhan produksi
4 Pangsa pengeluran Data ini digunakan SUSENAS, Table I-O
komoditi dalam total untuk salah satu dan Indikator Ekonomi-
pengeluaran rumah persyaratan identifikasi BPS
tangga/masyarakat. komoditi terpilih
5 Andil inflasi komoditi Data ini digunakan BPS
dalam inflasi nasional. untuk salah satu
persyaratan identifikasi
komoditi terpilih
6 Pandangan pakar Pandangan pakar ini Hasil dari forum diskusi
digunakan untuk baik di daerah maupun
memperoleh informasi Jakarta
mengenai pemilihan
komoditi yang
memungkinkan
diterpakan kebijakan
harga, pandangan
tenteng kebijakan harga
pangan serta menggali
informasi usulan
kebijakan harga dasar
dan harga eceran
tertinggi komoditi pangan
di Indonesia.

7 Kebijakan harga Yang akan dianalisis Studi literature,


pangan di negara lain implementasi verifikasi ilmiah serta
penerapan kebijakan melakukan
harga pangan (tujuan, Benchmarking di
mekanisme, anggaran, Thailand
eksekusi serta
evaluasinya)

3.2.2 Metode Pengumpulan Data


Pengumpulan data dilakukan melalui dua cara, yaitu pengumpulan
data sekunder yang diperoleh dari berbagai lembaga dan pengumpulan

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 33


data primer yang diperoleh dari diskusi dengan para pakar (akademisi)
maupun expert/praktisi baik di daerah maupun di pusat serta
benchmarking di negara lain, yaitu Thailand. Diskusi terbatas dilakukan
dalam dua bagian yang terpisah, yaitu di DKI Jakarta dan Daerah.
Diskusi terbatas di daerah dilakukan di Yogyakarta, Jawa Timur dan
Sumatera Barat. Pemilihan ketiga daerah ini didasarkan atas
pertimbangan: (i) bobot komoditi pangan terhadap inflasi di wilayah
tersebut serta (ii) sentra produksi/konsumsi.

Pengumpulan data primer dilakukan dengan metode diskusi


terbatas. Diskusi terbatas I dilaksanakan setelah pembahasan ROP
yang dilaksanakan di Jakarta melalui panduan diksusi. Adapun
informasi yang akan dikumpulkan meliputi:

a. Mengidentifikasi komoditi pangan pokok yang akan menjadi fokus


pelaksanaan kebijakan harga dasar dan harga eceran tertinggi;
b. Mengidentifikasi kelembagaan yang dibutuhkan dalam pelaksanaan
kebijakan harga dasar dan harga eceran tertinggi;
c. Mengidentifikasi perangkat-perangkat regulasi apa yang dapat
mendukung implementasi kebijakan harga dasar dan harga eceran
tertinggi berjalan efektif efektif; dan
d. Mengidentifikasi perangkat-perangkat regulasi apa yang diperlukan
agar kebijakan harga dasar dan harga eceran tertinggi dapat
diimplementasikan secara efektif.

Diskusi terbatas 2 dilaksanakan sebelum diskusi terbatas di


daerah. Diskusi terbatas 2 menggunakan panduan diskusi II. Pada
diskusi ini yang lebih difokuskan pada menyusun rumusan usulan
kebijakan harga dasar dan harga eceran tertinggi komoditi pangan di
Indonesia. Kemudian diskusi ke 3 dilakukan setelah diskusi terbatas di
daerah selesai dilaksanakan dengan menggunakan panduan diskusi 2

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 34


untuk mensingkronkan para pendapat pakar di daerah dalam menyusun
rumusan usulan kebijakan harga pangan di Indonesia.

Pelaksanaan diskusi terbatas ke 4 dilaksanakan setelah


Benchmarking di Thailand. Pada tahapan ini diharapkan semua
informasi sudah diperoleh termasuk pelaksanaan kebijakan harga
pangan di beberapa negara lain melalui studi literatur. Pada diskusi
terbatas ke 4 ini menggunakan panduan diskusi III dengan tujuan untuk
membandingkan kebijakan harga pada komoditi bahan pangan pokok di
negara-negara lain dengan usulan kebijakan yang sudah dirumuskan
serta memantapkan rumusan usulan kebijakan harga pada komoditi
pangan pokok di Indonesia. Kajian akan dilaksanakan dalam waktu 8
bulan, yaitu mulai dari Bulan Februari 2015 hingga September 2015.
Tabel 3.3. Jadwal Kegiatan

2015
No Kegiatan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agus Sep
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 12 3 4 1 2 341 2 3 4 1234
1 Penyusunan Rencana Operasional Penelitian (ROP)
2 Pembahasan ROP
3 Pengumpulan Data Sekunder
4 Diskusi I
5 Penyusunan Panduan Diksusi
6 Finalisasi Panduan Diskusi
7 Diskusi II
8 Diskusi Terbatas di Daerah
9 Tabulasi Data
10 Pengolahan dan analisis data
11 Diskusi III
12 Penyusunan Laporan Sementara
13 Diskusi IV
14 Penyusunan Laporan Akhir
15 Penulisan Memo Kebijakan
16 Pendistribusian Laporan Akhir

2015
No Kegiatan
Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agus
1 Penyusunan Rencana Operasional Penelitan (ROP)
2 Pembahasan ROP
3 Pengumpulan Data Sekunder
4 Diskusi Terbatas I
5 Penyusunan Panduan Diksusi
6 Finalisasi Panduan Diskusi
7 Diskusi Terbatas II
8 Pelaksanaan Diskusi di daerah
9 Pengolahan dan analisis data
10 Diskusi Terbatas III
11 Penyusunan Draft Laporan Pendahuluan
12 Diskusi Terbatas IV
13 Penyusunan Laporan Akhir/Final
14 Penulisan Memo Kebijakan
15 Pendistribusian Laporan Akhir

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan K E G IA TA N


Fe b M ar Apr M ei Ju n Ju l Ags Sep Okt Nop
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
35
P e n g u m p u la n D a t a
P edagang
S t u d i L it e r a t u r
Fin a lisa si r u t e
P e n y u su n a n K u e sio n e r
P r e -t e st
Fin a lisa si K u e sio n e r

P e r sia p a n S u r v e y (list
t a r g e t r e sp o n d e n,
t r a in in g e n u m e r a to r, d ll)
S u r v e y k e P e d a ga n g A sa l
S u r v e y k e Fr e ig h t
Fo r w a r d e r d i k o t a a sa l
BAB IV
PELAKSANAAN KEBIJAKAN HARGA PANGAN DI BEBERAPA NEGARA

Pangan merupakan komoditi penting bagi semua Negara. Oleh karena


itu pemerintahan di hampir semua negara memiliki regulasi untuk melakukan
intervensi pada harga komoditi pangan yang dianggap mempengaruhi
kesejahteraan ekonomi maupun sosial masyarakat di negara tersebut.
Kebijakan tersebut dilakukan dalam rangka stabilisasi harga baik di tingkat
produsen atau di tingkat konsumen. Kebijakan harga di beberapa negara
yang dibahas dalam Bab ini dilihat dari lima hal yaitu (i) jenis kebijakan, (ii)
lembaga pelaksana, (iii) mekanisme pelaksanaan, (iv) komoditi yang diatur,
dan (v) pelanggaran dan sanksi.

4.1. Malaysia
Pengaturan harga di Malaysia diatur dalam kebijakan setara
Undang-Undang yaitu Price Control Act nomor 121 tahun 1946 yang
kemudian diganti oleh Price Control and Anti-Profiteering Act (PCPA)
nomor 723 tahun 2011 yang mulai berlaku 1 April tahun 2011. Beberapa
perbaikan pada regulasi yang baru diantaranya memberikan ewenang
kepada pemerintah untuk menentukan harga barang dan jasa;
pelarangan pencatutan; memastikan masyarakat tidak terbebani oleh
shock peningkatan harga; dan melindungi kepentingan konsumen.
Substansi utama yang diatur dalam PCPA adalah kontrol harga
(price control) dan anti-pencatutan (anti-profiteering). Pengaturan harga
terdiri dari dua skema yaitu skema price control dan skema festive price
control. Gula dan masker kesehatan merupakan dua produk yang diatur
dalam skema price control. Dalam skema ini, harga maksimal di tingkat
pengecer untuk gula dan masker ditetapkan oleh pemerintah dan

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 36


berlaku sepanjang tahun. Pelaksanaan ketentuan ini diawasi oleh
pemerintah dan pelanggarnya akan dikenakan sanksi.

Skema festive price control adala skema kontrol harga yang


dilakukan dalam jangka waktu tertentu pada perayaan hari besar
agama. Tujuannya adalah untuk mengendalikan peningkatan harga
selama periode hari raya untuk barang-barang penting pada hari raya
tersebut dan mengendalikan potensi kenaikan harga karena
peningkatan permintaan. Pemerintah Malaysia menetapkan hari raya
keagamaan dalam skema ini yaitu hari raya Puasa, tahun baru China,
Deepavali, Natal, Kaamatan (Sabah), dan Gawai (Sarawak). Komoditi
yang diawasi antara lain ayam, daging lokal (sapi/ kambing/ babi), telur
ayam, kubis bulat import, tomat, cabai merah, kelapa bijji/ parut, bawang
merah, bawang putih, kentang, kacang, ikan kembung, ikan bawal putih,
udang putih besar.

Mekanisme skema festive price control diawali dengan penentuan


komoditi yang akan diatur dan besaran harga yang akan ditetapkan
berdasarkan masukan dari pemerintah daerah, produsen, pedagang
dan stakeholder lain. Tiap wilayah dapat mengajukan tingkat harga yang
berbeda disesuaikan dengan kondisi setempat. Setelah ditetapkan oleh
Menteri Perdagangan, daftar komoditi yang diawasi akan
disebarluaskan melalui media masa, minimal satu bulan sebelum
pelaksanaan. Skema ini umumnya berlaku selama 9 sampai 12 hari
sebelum dan sesudah hari raya.

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 37


Tabel 4.1. Elemen Pengendalian Kebijakan Harga di Malaysia
No. Elemen Malaysia
Pengendalian
1. Aturan Price Control and Anti-profiteering Act 2011 (Act 723)
2. Institusi  Menteri Perdagangan menunjuk seorang Price Controller,
beberapa Deputy Price Controllers, dan beberapa Assistant
Price Controllers dalam rangka pelaksanaan regulasi ini.
 Price Controller berada dibawah pengawasan dan bertanggung
jawab pada Menteri Perdagangan.
 Deputy Price Controllers, Assistant Price Controllers berada
dibawah pengawasan dan bertanggung jawab pada Price
Controller.
3. Mekanisme  Price Controller menentukan harga maksimum, minimum atau
tingkat harga tertentu produk pada tingkat produsen, grosir, dan
eceran. Penentuan harga dapat berbeda berdasarkan wilayah.
 Setelah mendapatkan persetujuan dari Menteri, daftar harga
yang dikontrol akan diumumkan di media masa.
 Komoditi dalam skema price control ditentukan diawal tahun
dan berlaku sepanjang tahun tersebut. Komoditi dalam skema
festive price control ditentukan satu bulan sebelum
pelaksanaan dan berlaku 9-12 hari sebelum dan sesudah hari
raya.
 Menteri Perdagangan mengatur mekanisme untuk mencegah
pengambilan untung atau profit yang tidak wajar dengan
memperhitungkan pajak, biaya supplier, kondisi supply dan
demand, kondisi dan situasi geografi atau pasar dari produk
tersebut.
4. Komoditi  Skema price control: gula, bensin, diesel, LPG, tepung
gandum, minyak goreng sawit, dan masker
 Skema festive price control (berbeda berdasarkan hari
keagamaan tertentu): ayam, daging lokal (sapi/ kambing/ babi),
telur ayam, kubis bulat import, tomat, cabai merah, kelapa bijji/
parut, bawang merah, bawang putih, kentang, kacang, ikan
kembung, ikan bawal putih, udang putih besar.
5. Pelanggaran dan  Melanggar jika menjual atau menawarkan menjual dengan
Sanksi harga di atas atau di bawah harga yang ditetapkan; membeli
atau menawarkan membeli di atas atau di bawah harga yang
ditetapkan dianggap melanggar.
 Pelanggar institusi atau corporat dikenakan denda maksimal
dari 500 ribu RM, dan jika berulang dikenakan denda maksimal
1 juta RM.
 Pelanggar individu dikenakan denda maksimal 100 ribu RM
atau kurungan maksimal 3 tahun atau berlaku keduanya. Untuk
pelanggaran berulang dikenakan denda maksimal 250 ribu RM
atau kurungan maksimal 5 tahun atau berlaku keduanya.

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 38


4.2. Filipina
Pengaturan harga di Filipina didasarkan pada regulasi setara
Undang-Undang yaitu Price Act Nomor. 7581 tahun 1992. Harga
Kebutuhan Pokok di Filipina diatur dalam bentuk Undang – Undang,
Republic Act No. 7581 atau lebih kenal sebagai The Price Act tahun
1992. Instansi yang bertanggung jawab dalam menerapkan kebijakan
tersebut adalah Departemen Pertanian, Departemen Kesehatan,
Departemen Lingkungan dan Sumberdaya, Kepolisian dan Departemen
Perindustrian dan Perdagangan yang selanjutnya disebut lembaga
pelaksana (Implementing Agencies). Untuk mendukung Implementing
Agencies, kepala negara membentuk Price Coordinating Council yang
terdiri dari Departemen Perdagangan dan Industri serta instansi teknis
terkait.
Pemerintah Filipina menetapkan komoditas pokok yang perlu diatur
meliputi komoditi: beras, jagung, roti, ikan dan produk laut lainnya,
daging babi, sapi, unggas baik segar, kering, atau kaleng, telur, susu
segar dan susu hasil proses, sayuran segar, roots crops, kopi, gula,
minyak goreng, garam, sabun cuci, deterjen, kayu bakar; batubara, lilin,
obat-obatan yang diklasifikasikan penting oleh Departemen Kesehatan.

Pada saat terjadi gejolak harga akibat gangguan bencana,


ancaman yang menimbulkan bahaya, tindakan manipulasi harga, dan
kejadian yang menyebabkan harga kebutuhan pokok naik dalam
batasan yang tidak wajar, pemerintah melakukan penetapan harga atap
(ceiling price). Dalam kondisi khusus, yaitu daerah mengalami bencana,
keadaan darurat, daerah sengketa hukum, daerah wilayah
pemberontak/perlawanan, daerah dalam kondisi perang pemerintah
akan memberlakukan harga secara sepihak (automatic price control).

Pada bagian lain dari Act ini, pemerintah melarang segala tindakan
yang dapat memanipulasi harga seperti penimbunan (jumlah persediaan

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 39


50% lebih tinggi dari biasanya dalam tiga bulan terakhir); pemburu rente
dan kartel. Segala bentuk pelanggaran yang dilakukan baik oleh pelaku
usaha maupun pemerintah dijabarkan dengan jelas dalam Act.

Tabel 4.2. Elemen Pengendalian Kebijakan Harga di Filipina


No. Elemen Filipina
Pengendalian
1. Aturan Republic Act No. 7581 The Price Act Tahun 1992
2. Institusi Kepala negara membentuk Price Coordinating Council terdiri dari
Departemen Perdagangan dan Industri serta instansi tekhnis
terkait
3. Mekanisme  Menetapkan komoditas pokok;
 Melakukan penetapan harga atap (ceiling price) jika terjadi
gejolak harga akibat gangguan bencana, ancaman yang
menimbulkan bahaya, tindakan manipulasi harga, dan kejadian
yang menyebabkan harga kebutuhan pokok naik dalam
batasan yang tidak wajar;
 Melarang segala tindakan yang dapat memanipulasi harga
seperti penimbunan (jumlah persediaan 50% lebih tinggi dari
biasanya dalam tiga bulan terakhir); pemburu rente, penjualan
barang tanpa label harga, kualitas yang tidak sesuai, barang
palsu, dan menjual bahan pokok dengan marjin diatas 10%;
dan kartel;
 Dalam kondisi khusus, yaitu daerah mengalami bencana,
keadaan darurat, daerah sengketa hukum, daerah wilayah
pemberontak/ perlawanan, daerah dalam kondisi perang
pemerintah akan memberlakukan harga secara sepihak
(automatic price control).
4. Komoditi Kebutuhan dasar termasuk: beras, jagung, roti, ikan segar, kering,
atau kaleng dan produk laut, daging babi, daging sapi dan unggas,
telur, susu segar dan susu hasil proses, sayuran segar, umbi-
umbian (roots crops), kopi, gula, minyak goreng, garam, sabun
cuci, deterjen, kayu bakar, batubara, lilin, obat-obatan yang
diklasifikasikan penting oleh Departemen Kesehatan.
5. Pelanggaran dan  Tindakan manipulasi harga, dikenakan hukuman penjara
Sanksi minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun serta denda minimal 5
ribu Peso maksimal 2 juta Peso.
 Pelanggaran harga atap (price ceiling), dikenakan hukuman
penjara minimal 1 tahun maksimal 10 tahun dan denda minimal
5 ribu Peso maksimal 1 juta peso.
 Pelanggaran dilakukan oleh pihak asing izin usaha dicabut dan
dideportasi.
 Pelanggaran dilakukan oleh pegawai pemerintah dikenakan
hukuman sesuai peraturan yang berlaku dan dikenakan
hukuman tambahan berupa pencopotan jabatan secara
permanen.

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 40


4.3. Brunei Darusalam
Brunei memiliki beberapa kebijakan terkait pangan, antara lain
kebijakan tentang hambatan non-tarif seperti Kesehatan pangan
Masyarakat/Public Health (Food) Act dan Halal Food/Halal Meat Act )
untuk melindungi petani lokal dan menjaga kualitas makanan impor
serta Kebijakan harga (Price Control Act) yang berisi (i) pengaturan
terhadap pemasaran dan pergerakan barang dan atau jasa serta (ii)
bahan pangan/price labeling.
Brunei memiliki tarif yang sangat rendah untuk barang, yaitu rata-
rata sekitar 2%. Sedangkan Bahan makanan pokok dan barang industri
manufaktur bebas dari bea masuk. Produk pangan, Brunei masih
tergantung impor kecuali beras dan telur lokal. Oleh karena itu,
mekanisme kontrol/pengendalian harga penting terutama untuk bahan
makanan pokok.

Kebijakan stabilisasi harga di Brunei Darussalam tertuang dalam


Lows of Brunei - Price Control Act (Chapter 142). Price control Act
S50/74, 184 Ed. Chapter.142, yang diubah dengan S48 /99, S6/00
mengalami perubahan pada tahun 2002. Peraturan ini bertujuan untuk
mengontrol harga gula dan produk-produk terkait seperti tebu, gula pasir
(disebut butir halus) dan gula putih, beras, minyak goreng, susu dan
tepung terigu. Selain itu , tujuan dari peraturan ini adalah untuk
memastikan bahwa harga makanan pokok stabil dan terjangkau
konsumen.

The Price Control Act (Chapter 142) diberlakukan sejak tanggal 13


Maret 1974 dan terakhir diubah pada tanggal 26 Desember 2012.
Perubahan pada Price of Control termasuk daftar item pengendalian
harga dan kontrol harga (harga jual murah/promosi). Tujuannya adalah
untuk mengontrol harga barang-barang kebutuhan yang dipilih dalam
membantu konsumen terutama masyarakat yang berpenghasilan

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 41


rendah serta memastikan bahwa setiap kegiatan promosi dan harga jual
yang murah dilakukan dengan cara yang sehat dan setiap kenaikan
harga dilakukan pada tingkat yang wajar.

Kebijakan mekanisme harga juga termasuk pada saat menjelang


puasa dan lebaran dengan cara melakukan pengawasan pasokan. Hal
ini dikarenakan permintaan meningkat lebih dari biasanya untuk
menambah stok makanan. Kebijakan mekanisme kontrol harga ini
menghasilkan inflasi pada tingkat yang rendah di Brunei, yaitu kisaran
1-2% setiap tahun.

Lembaga yang berperan dalam mekanisme kontrol harga ini ada


yang disebut Price Inspector. Price Inspector berada di bawah
Departement of Economic Planning and development (atau Bappenas)
atau di bawah Jabatan Perancangan dan Kemajuan Ekonomi (JPKE).
JPKE menetapkan harga untuk semua produk kecuali barang
bersubsidi; harga untuk gula dan beras diatur oleh The Supply and State
Store Departement (SSSD), sedangkan harga bahan bakar minyak
(bensin) ditetapkan oleh Departemen Energi.

Price Inspector ini ditunjuk oleh Menteri terkait setelah mendapat


persetujuan dari Sultan Brunei Darussalam. Atau bisa menunjuk
langsung Controller Harga atau Controller Deputi harga dan sejenis
asisten Controller Harga yang dianggap memiliki kemampuan dalam
mengontrol harga. Selain itu, Menteri atas persetujuan Sultan Brunei
Darussalam dapat membentuk Advisory Council Nasional untuk
Perlindungan Konsumen. Lembaga ini terdiri dari seorang Ketua dan 8
orang perwakilan dari Pemerintah, sektor publik dan organisasi lainnya
yang dianggap relevan untuk melakukan pengawasan harga.

Bentuk Penalties/hukuman jika terdapat pelanggaran terhadap


Price Control Act. dikenakan denda sebanyak $ 5.000 dan penjara
selama 2 tahun. Kemudian jika melakukan pelanggaran untuk kedua

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 42


kalinya maka dikenakan denda sebesar $ 20.000 dan penjara selama 5
tahun.

Tabel 4.3. Elemen Pengendalian Kebijakan Harga di Brunei


No. Elemen Brunei Darusalam
Pengendalian
1. Aturan Price Control Act (Chapter 142) yang diberlakukan sejak tanggal 13
Maret 1974 dan terakhir diubah pada tanggal 26 Desember 2012
2. Institusi  Price Inspector berada di bawah Departement of Economic
Planning and development (atau Bappenas) atau dibawah
Jabatan Perancangan dan Kemajuan Ekonomi. Price Inspector
ini ditunjuk oleh Menteri terkait setelah mendapat persetujuan
dari sultan Brunei Darussalam. Atau bisa menunjuk langsung
Controller Harga atau Controller Deputi harga dan sejenis
Asisten Controller Harga yang dianggap memiliki kemampuan
dalam mengontrol harga.
 Menteri atas persetujuan Sultan Brunei Darussalam dapat
membentuk Advisory Council Nasional untuk Perlindungan
Konsumen terdiri dari seorang Ketua dan 8 orang perwakilan dari
Pemerintah, sektor publik dan organisasi lainnya yang dianggap
relevan untuk melakukan pengawasan harga
3. Mekanisme  Tujuannya adalah untuk mengontrol harga barang-barang
kebutuhan yang dipilih dalam membantu konsumen terutama
masyarakat yang berpenghasilan rendah serta memastikan
bahwa setiap kegiatan promosi dan harga jual yang murah
dilakukan dengan cara yang sehat dan setiap kenaikan harga
dilakukan pada tingkat yang wajar.
 Kebijakan mekanisme harga juga termasuk pada saat menjelang
puasa dan lebaran dengan cara melakukan pengawasan
pasokan karena permintaan masyarakat meningkat lebih dari
biasanya untuk menambah stok makanan. Kebijakan
mekanisme kontrol harga ini menghasilkan inflasi pada tingkat
yang rendah di Brunei.
4. Komoditi Peraturan ini bertujuan untuk mengontrol harga gula dan produk-
produk terkait seperti tebu, gula pasir (disebut butir halus) dan gula
putih, beras, minyak goreng, susu dan tepung terigu.
5. Pelanggaran Bentuk Penalties/hukuman jika terdapat pelanggaran terhadap
dan Sanksi Price Control Act. dikenakan denda sebanyak $ 5.000 dan penjara
selama 2 tahun. Kemudian jika melakukan pelanggaran untuk
kedua kalinya maka dikenakan denda sebesar $ 20.000 dan
penjara selama 5 tahun.

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 43


4.4. Thailand
Thailand merupakan salah satu negara yang menerapkan
kebijakan dan mekanisme dalam rangka stabilisasi harga domestik.
Kebijakan tersebut didukung oleh Undang-Undang Price of Goods and
Services Act B.E. 2542 tahun 1999. Lembaga pelaksana dalam
mekanisme pemantauan harga adalah Central Commission on Prices of
Goods and Services (CCP) untuk tingkat nasional dan Provincial
Commission on Prices of Goods and Services (PCP) untuk tingkat
propinsi.
CCP diketuai oleh Menteri Perdagangan sedangkan anggota
komisi terdiri dari 4 sampai 8 orang yang ditunjuk dimana setengahnya
merupakan pihak swasta. Komisi inilah yang menentukan barang atau
jasa apa saja yang dikontrol dan diawasi serta menentukan harga
eceran untuk komoditi-komoditi tertentu. Sedangkan PCP diketuai oleh
Gubernur setempat dimana terdapat komisi yang terdiri dari 5 sampai 9
orang pakar yang ditunjuk dimana sepertiganya berasal dari pihak
swasta. Komisi ini mengusulkan barang atau jasa yang dianggap perlu
untuk dikontrol dan diawasi serta menetapkan harga eceran regional
untuk komoditi tertentu. Pada tahun 2015 ditetapkan sebanyak 40
barang dan 3 jasa yang dikontrol.

Selain 40 jenis barang yang dikontrol, terdapat 205 barang lain


yang diawasi. Barang yang masuk dalam daftar yang dikontrol dan
diawasi dibagi ke dalam 3 kelompok yaitu sensitive list adalah barang
yang dipantau setiap hari; priority watch list adalah barang yang
dipantau dua kali dalam satu minggu; dan watch list adalah barang yang
dipantau dua kali setiap bulannya. Dari kesemua jenis barang tersebut
hanya dua komoditi yang ditentukan harga ecerannya yaitu gula dan
daging babi. Sedangkan untuk barang yang lain yang dilakukan adalah
pengawasan harga dan pasokan.

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 44


Tabel 4.4. Elemen Pengendalian Kebijakan Harga di Thailand
No. Elemen Thailand
Pengendalian
1. Aturan Prices of Goods and Services Act, B.E. 2542 Tahun 1999
2. Institusi Central Commission on Prices of Goods and Services (CCP) untuk
tingkat pusat yang diketuai oleh Menteri Perdagangan dan
Provincial Commission on Prices of Goods and Services (PCP)
untuk tingkat daerah.
3. Mekanisme  Dengan persetujuan Council of Ministers, menentukan barang/
jasa yang harganya dikontrol.
 Daftar barang/ jasa yang dikontrol dipublikasikan dalam surat
kabar nasional.
 Menetapkan harga pembelian atau biaya distribusi dari barang/
jasa dalam pengendalian.
 Menetapkan tingkat laba maksimum per unit dari barang/ jasa
yang dikontrol yang diterima distributor.
 Mengatur dan mengawasi produksi, impor, ekspor, pembelian,
distribusi dan penyimpanan barang/ jasa yang dikontrol.
 Menginformasikan kepada Instansi terkait jumlah, tempat
penyimpanan, biaya produksi, rencana produksi, rencana
pembelian, rencana distribusi, rencana variasi harga, potongan
distribusi, proses produksi dan metode distribusi dari barang/
jasa yang dkontrol.
 Mengeluarkan ijin dan pelarangan penyaluran barang/ jasa yang
dikontrol untuk keluar atau masuk wilayah tertentu.
4. Komoditi Kabinet menyetujui 43 komoditi dalam Controlled Goods and
Services List untuk tahun 2015 berdasarkan usulan Central
Council For Price of Goods and Services. Daftar tersebut
mencakup 40 barang penting dan 3 jasa (services) sebagai
berikut:
1. Kategori pangan (food category): terdapat 14 komoditi yaitu (1)
bawang putih (2) padi dan beras (3) jagung (4) singkong dan
produk turunannya (5) telur ayam (6) babi dan daging babi (7)
gula (8) minyak dan lemak nabati dan hewani (9) susu kental
manis (10) susu bubuk, susu segar (11) tepung terigu (12)
paket makanan dalam kemasan kedap (13) paket makanan
siap makan dalam kemasan kedap (14) TBS sawit.
2. Kategori barang konsumsi harian (daily consumables
category): terdapat 5 produk (15) deteren bubuk (16) sanitary
napkin (17) toilet paper and facial tissue (18) shampoo (19)
soap
3. Kategori input pertnian (agricultural inputs category): terddapat
6 produk (20) pupuk (21) obat-obatan dan pestisida (22) pakan
konsentrat (23) pompa air (24) traktor padi (25) alat panen
padi.
4. Kategori bahan bangunan (construction materials category):
terdapat 3 produk (26) semen (27) steel bar, structural steel,
steel plate (28) electric wire (29) pipa PVC.
5. Kategori kertas dan produk kertas (paper and paper products
category): terdapat 3 produk (30) paper for corrugated board

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 45


production and Kraft paper (31) printing dan writing paper (32)
pulp
6. Kategori peralatan transportasi (transport equipment category):
terdapat 3 produk (33) car batteries (34) ban motor dan mobil
(35) motor, mobil penumpang, dan truk.
7. Kategori bahan bakar (petroleum products category): terdapat
3 produk (36) liquefied petroleum gas (37) fuel oil (38) plastic
resin
8. Kategori obat-obatan (drugs category): (39) obat-obatan
9. Lainnya: (40) seragam sekolah
10. Kategori jasa (services category): (41) authorizing
dissemination of copyright songs for commercial use (42) jasa
pergudangan (43) jasa pertanian.
5. Pelanggaran  Penolakan memberikan informasi dan dokumen terkait biaya
dan Sanksi produksi, komposisi dari barang atau jasa dalam pengawasan
dikenai hukuman penjara maksimal 3 bulan atau denda
maksimal 5 ribu Baht.
 Pelanggaran terhadap aturan yang ditetapkan CCP dikenai
hukuman penjara maksimal 1 tahun atau denda maksimal 100
ribu Baht.
 Pelanggaran terhadap ketentuan jumlah, tempat penyimpanan,
biaya produksi, rencana produksi, rencana pembelian, rencana
distribusi, rencana variasi harga, potongan distribusi, proses
produksi dan metode distribusi dari barang atau jasa dalam
pengendalian dikenai hukuman penjara maksimal 1 tahun
dan/atau denda 20 ribu Baht dan denda harian maksimal 2 ribu
Baht per hari selama pelanggaran masih dilakukan.
 Jika tidak mencantumkan harga dikenai denda maksimal 10 ribu
Bhat.
 Jika pelaku usaha menyebabkan fluktuasi harga atau melakukan
penimbunan dikenai hukuman penjara maksimal 7 tahun
dan/atau denda maksimal 140 ribu Baht.

4.5. India
Kebijakan stabilisasi harga di India adalah Essential Commodities
Act 1955. Dalam kebijakan ini yang diatur adalah produksi, supply,
distribusi serta perdagangan komoditas tertentu. Kebijakan
pengendalian harga dilakukan dengan mekanisme penentuan harga
yang didasarkan pada hasil kesepakatan antara pemerintah dengan
pelaku usaha, referensi controlled price, atau didasarkan dengan harga
pasar.
Komoditi khusus seperti padi-padian, minyak nabati dan minyak
makan, diatur berbeda dimana periode harga yang berlaku disesuaikan

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 46


dengan masa panen. Harga yang ditetapkan dapat berbeda antar
wilayah.
Tabel 4.5. Elemen Pengendalian Kebijakan Harga di India
No. Elemen India
Pengendalian
1. Aturan Essential Commodities Act, Tahun Public Distribution System
1955 (Control) Order Tahun 2001
2. Institusi Pemerintah Daerah bertanggung Pemerintah Pusat dan
jawab dalam penerapan kebijakan Pemerintah Daerah
dan Pemerintah Pusat memonitor
kinerja Pemerintah Daerah secara
rutin
3. Mekanisme  Menentukan harga berdasarkan  Pemerintah Daerah
hasil kesepakatan; mengidentifikasi rumah
 Jika tidak tercapai maka harga tangga BPL dan rumah
ditentukan berdasarkan referensi tangga Anthodaya;
dari controlled price;  Pemerintah Daerah
 Jika kedua cara tidak tercapai, menerbitkan ration card
maka harga akan ditetapkan untuk rumah tangga BPL
sesuai dengan harga pasar di dan Anthodaya;
daerah tertentu pada saat  Berdasarkan jumlah ration
transaksi jual beli terjadi; card Pemerintah Pusat
 Jika dianggap perlu untuk menetapkan jumlah pasokan
mengendalikan kenaikan harga dan tingkat harga komoditas
atau mencegah penimbunan, yang diatur dalam Public
Pemerintah Pusat Distribution System (PDS);
mengumumkan harga melalui  Pemerintah Pusat menunjuk
Koran Nasional dan berlaku Food Coorporation of India
maksimal 3 bulan; (FCI) untuk melakukan
 Khusus untuk padi-padian, pendistribusian ke agen
minyak nabati dan minyak pemerintah daerah;
makan, periode pengaturan  Agen pemerintah daerah
harga disesuaikan dengan masa kemudian mendistribusikan
panen; komoditas yang diatur dalam
 Harga gula ditetapkan oleh PDS ke Fair Price Shop;
Pemerintah Pusat berdasarkan  Fair Price Shop bertindak
harga minimum tebu, biaya sebagai retailer yang
produksi gula, pajak, dan tingkat melayani pembelian dengan
laba yang wajar bagi produsen ration cards oleh rumah
gula. tangga BPL dan Anthodaya;
 Pemerintah Daerah
melakukan pengawasan
terhadap pasokan dan
kualitas komoditas yang
diatur dalam PDS.
4. Komoditi Komoditas penting adalah Komoditas yang diatur adalah
komoditas sebagai berikut: produk beras, gandum, gula dan
peternakan, batu bara, komponen minyak tanah
dan aksesoris mobil, produk tekstil

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 47


(katun, rami dan wool), obat-
obatan, gula, makanan (termasuk
minyak nabati), besi dan baja,
kertas, petroleum dan produk
petroleum, kapas mentah, rami
mentah, pupuk, biji-bijian bahan
pokok, buah dan sayuran.
5. Pelanggaran  Penolakan memberikan  Penolakan memberikan
dan Sanksi informasi produksi, pasokan, informasi produksi, pasokan,
atau distribusi essential atau distribusi essential
commodity, 1 tahun penjara commodity, 1 tahun penjara
serta hukuman denda. serta hukuman denda.
 Pelanggaran lain terkait  Pelanggaran lain terkait
pengendalian produksi, pasokan, pengendalian produksi,
dan distribusi essential pasokan, dan distribusi
commodity dikenakan hukuman essential commodity
penjara minimal 3 bulan dan dikenakan hukuman penjara
dapat diperpanjang sampai 7 minimal 3 bulan dan dapat
tahun serta hukuman denda. diperpanjang sampai 7
 Barang bukti pelanggaran disita tahun serta hukuman denda.
oleh Pemerintah.  Barang bukti pelanggaran
 Pelanggaran kedua dikenakan disita oleh Pemerintah.
hukuman penjara minimal 6  Pelanggaran kedua
bulan dan dapat diperpanjang dikenakan hukuman penjara
sampai dengan 7 tahun serta minimal 6 bulan dan dapat
hukuman denda. diperpanjang sampai
 Pemberian pernyataan palsu dengan 7 tahun serta
(laporan, pembukuan, deklarasi, hukuman denda.
dan lain-lain), dikenakan  Pemberian pernyataan palsu
hukuman penjara 5 tahun (laporan, pembukuan,
dan/atau hukuman denda. deklarasi, dan lain-lain),
 Pelanggaran perusahaan, dikenakan hukuman penjara
penanggung jawab perusahaan 5 tahun dan/atau hukuman
dan perusahaan dinyatakan denda.
bersalah dan keduanya diproses  Pelanggaran perusahaan,
dan dihukum. penanggung jawab
 Pengadilan memiliki wewenang perusahaan dan perusahaan
untuk mempublikasikan nama dinyatakan bersalah dan
dan alamat usaha perusahaan keduanya diproses dan
yang terbukti melanggar. dihukum.
 Pengadilan memiliki
wewenang untuk
mempublikasikan nama dan
alamat usaha perusahaan
yang terbukti melanggar
undang-undang.

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 48


4.6. Tiongkok
Pengendalian harga di China diatur dalam President’s Decree of
PRC Nomor 92 tahun 1997. Pengaturan harga barang dan jasa pada
President’s decree dikelompokkan dalam dua kategori, yaitu
Government-Set Prices yaitu pengaturan harga yang ditetapkan oleh
departemen terkait dan Government-Guided Prices yang didasarkan
pada harga yang ditetapkan oleh pelaku usaha sebagai harga acuan
sedangkan kisaran harga ditetapkan oleh instansi teknis terkait.
Dalam pelaksanaannya, mekanisme kebijakan pengendalian harga
dilakukan dengan menetapkan Government-Set Prices atau
Government-Guided Prices untuk barang dan jasa dengan karakteristik
sebagai berikut:

a. Barang yang memiliki peran penting dalam pembangunan dan


kehidupan masyarakat.

b. Barang yang sumber dayanya terbatas.

c. Barang yang mempunyai kegunaan publik.

d. Barang yang memiliki potensi monopoli alamiah.

e. Jasa yang secara alamiah penting bagi kesejahteraan masyarakat.

Harga yang ditetapkan dalam Government-Set atau Government-


Guide Prices untuk suatu barang dapat berbeda antara harga beli dan
jual, antara harga grosir dan eceran, mupun antar daerah atau antar
musim. State Council dan pemerintah daerah dapat menetapkan
disparitas harga atau tingkat keuntungan, menetapkan harga tertinggi
atau bentuk intervensi lainnya jika terjadi kenaikan harga.

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 49


Tabel 4.6. Elemen Pengendalian Kebijakan Harga di Tiongkok
No. Elemen Tiongkok
Pengendalian
1. Aturan Presiden Decree of PRC No. 92 Tahun 1997
2. Institusi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
3. Mekanisme  Pemerintah mengeluarkan Government-Set Prices atau
Government-Guided Prices untuk barang dan jasa yang
memiliki karakteristik sebagai berikut:
a. Barang yang memiliki peran penting dalam pembangunan
dan kehidupan masyarakat.
b. Barang yang sumber dayanya terbatas.
c. Barang yang mempunyai kegunaan publik.
d. Barang yang memiliki potensi monopoli alamiah.
e. Jasa yang secara alamiah penting bagi kesejahteraan
masyarakat.
 Penetapkan Government-Set atau Government-Guide Prices,
dimungkinkan adanya perbedaan harga yang rasional antara
harga beli dan harga jual, antara grosir dan eceran antara
daerah yang satu dengan daerah yang lain, dan antara musim
yang satu dengan musim yang lain.
 Penetapan Government-Set atau Government-Guide Prices,
Price Department melakukan investigasi terhadap biaya dan
harga, mendengar pandangan dari konsumen, pelaku usaha
dan lain-lain.
 Ketika harga jual padi-padian dan produk pertanian lainnya
terlalu rendah, pemerintah melakukan proteksi, ketika harga
barang/ jasa mengalami kenaikan tinggi, State Council dan
pemerintah daerah, dan pemerintah daerah otonomi
menetapkan tingkat keuntungan, harga tertinggi atau bentuk
intervensi lainnya sebagai sistem untuk mencatat kenaikan
harga.
 Ketika fluktuasi harga terjadi State Council menetapkan harga
yang berlaku bagi seluruh daerah atau daerah-daerah tertentu
untuk jangka waktu tertentu.
 Pelaku usaha dilarang melakukan tindakan-tindakan yang
dapat menyebabkan perilaku harga menjadi tidak normal
seperti:
a. Berkolaborasi dengan pihak lain untuk mengontrol harga
pasar.
b. Melakukan dumping.
c. Membuat dan menyebarkan informasi kenaikan harga
untuk mendorong harga pada tingkat yang tinggi.
d. Menyebarkan informasi yang misleading.
e. Melakukan diskriminasi harga terhadap barang dan
kondisi yang sama.
f. Menyembunyikan kenaikan atau penurunan harga pada
kisaran yang tidak rasional melalui peningkatan atau
penurunan kualitas barang atau jasa.
g. Mengambil keuntungan berlebihan dengan melanggar
hukum dan regulasi.
h. Tindakan-tindakan lain yang melanggar hukum.

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 50


4. Komoditi
5. Pelanggaran dan  Pelanggaran kebijakan ini mendapat peringatan, sedangkan
Sanksi pendapatan dari hasil tindakan ilegalnya disita, dan dikenakan
denda maksimal 5 kali nilai pendapatan dari tindakan ilegalnya.
 Jika tidak ada pendapatan dari hasil tindakan ilegal, tetap
dikenakan denda. Untuk kasus yang serius, pelaku usaha
diperintahkan untuk menutup usahanya.
 Mekamisme pelanggran oleh Pelaku usaha:
a. peringatan;
b. penyitaan;
c. denda 5 (lima) kali nilai pendapatan hasil tindakannya
melanggar hukum; dan
d. mencabut dan menutup izin usah
 Penolakan menyediakan informasi yang dibutuhkan untuk
monitoring harga atau dikenakan denda.
 Sanksi untuk pemerintah
a. Pemerintah daerah atau instansi terkait yang menolak
pelaksanaan kebijakan intervensi harga dikenakan
hukuman administratif sesuai dengan hukum yang
berlaku.
b. Pegawai pemerintah yang membocorkan rahasia negara,
rahasia bisnis atau memanfaatkan kekuasaan untuk
mendapatkan keuntungan pribadi atau menerima suap
dan kasusnya sangat serius sehingga dianggap
kejahatan, maka dikenakan sanksi hukum. Jika kasusnya
tidak dianggap serius sebagai kejahatan, maka dikenakan
hukuman administratif.

4.7. Indonesia
Kebijakan terkait upaya stabilisasi harga komoditi di Indonesia
tertuang dalam Undang-Undang No. 18 tahun 2012 tentang Pangan dan
Undang-Undang No. 7 tahun 2014 tentang Perdagangan. UU Nomor 8
menyatakan bahwa Pemerintah berkewajiban mengelola stabilisasi
pasokan dan harga Pangan Pokok, mengelola cadangan Pangan Pokok
Pemerintah, dan distribusi Pangan Pokok untuk mewujudkan kecukupan
Pangan Pokok yang aman dan bergizi bagi masyarakat. Sedangkan UU
Nomor 7 menyatakan Pemerintah berkewajiban menjamin pasokan dan
stabilisasi harga Barang kebutuhan pokok dan Barang penting yang
dilakukan untuk menjaga keterjangkauan harga di tingkat konsumen dan
melindungi pendapatan produsen.
Pelaksana kebijakan harga adalah Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah dimana pada Pasal 51 dalam UU Pangan

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 51


menyatakan bahwa Pemerintah berkewajiban mengatur Perdagangan
Pangan yang bertujuan untuk: a. stabilisasi pasokan dan harga Pangan,
terutama Pangan Pokok; b. manajemen Cadangan Pangan; dan c.
penciptaan iklim usaha Pangan yang sehat. Dalam menjamin pasokan
dan stabilisasi harga Barang kebutuhan pokok dan Barang penting,
Menteri menetapkan kebijakan harga, pengelolaan stok dan logistik,
serta pengelolaan Ekspor dan Impor.

Pengaturan lebih lanjut mengenai kebijakan harga serta jenis


komoditi atau barang yang diatur akan ditetapkan dalam Peraturan
Presiden. Draf terakhir dari Rancangan Peraturan Presiden mengenai
Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting menetapkan jenis barang
kebutuhan pokok yaitu beras, kedelai, cabe, bawang merah, gula,
minyak goreng, tepung terigu, daging sapi, daging ayam ras, telur ayam
ras, dan ikan segar (tongkol/ tuna/ cakalang). Jenis barang penting
terdiri dari: benih (padi, jagung, dan kedelai), pupuk, gas elpiji 3
kilogram, triplek, semen, besi baja konstruksi, dan baja ringan.

Perbedaan dengan kebijakan pengendalian harga di negara lain


terletak pada peran pemerintah yang terwujud pada instansi teknis yang
bertanggung jawab langsung dalam law enforcement dan pemberian
sanksi hukum bagi pelaku usaha dan aparat pemerintah yang
melakukan perbuatan melanggar hukum.

Tabel 4.7. Elemen Pengendalian Kebijakan Harga di Indonesia


No. Elemen Indonesia
Pengendalian
1. Aturan Undang-Undang No. 18 tahun Undang-Undang No. 7 tahun
2012 tentang Pangan 2014 tentang Perdagangan
2. Institusi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah Pemerintah Daerah, BUMN
3. Mekanisme  Dalam hal Perdagangan  Barang kebutuhan pokok dan
Pangan, Pemerintah barang penting ditetapkan
menetapkan mekanisme, tata dengan Peraturan Presiden.
cara, dan jumlah maksimal.  Dalam menjamin pasokan
 Pelaku Usaha Pangan dan stabilisasi harga Barang

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 52


dilarang menimbun atau kebutuhan pokok dan Barang
menyimpan Pangan Pokok penting, Menteri menetapkan
melebihi jumlah maksimal. kebijakan harga, pengelolaan
 penyimpanan Pangan Pokok stok dan logistik, serta
oleh Pelaku Usaha Pangan. pengelolaan Ekspor dan
 Stabilisasi pasokan dan harga Impor.
Pangan Pokok dilakukan  Dalam rangka pengendalian
melalui: ketersediaan, stabilisasi
a. penetapan harga pada harga, dan Distribusi Barang
tingkat produsen sebagai kebutuhan pokok dan Barang
pedoman pembelian penting, Pemerintah dapat
Pemerintah; menunjuk Badan Usaha Milik
b. penetapan harga pada Negara.
tingkat konsumen sebagai
pedoman bagi penjualan
Pemerintah;
c. pengelolaan dan
pemeliharaan Cadangan
Pangan Pemerintah;
d. pengaturan dan
pengelolaan pasokan
Pangan;
e. penetapan kebijakan pajak
dan/atau tarif yang
berpihak pada kepentingan
nasional;
f. pengaturan kelancaran
distribusi antarwilayah;
dan/atau
g. pengaturan Ekspor
Pangan dan Impor
Pangan.
 Pemerintah Daerah dapat
menentukan harga minimum
daerah untuk Pangan Lokal
yang tidak ditetapkan oleh
Pemerintah.
4. Komoditi Bahan kebutuhan pokok dan
barang penting
5. Pelanggaran Pelanggaran terhadap aturan  Pelaku Usaha yang
dan Sanksi penimbunan akan dikenakan menyimpan Barang
sanksi administratif berupa: kebutuhan pokok dan/atau
a. denda; Barang penting dalam jumlah
b. penghentian sementara dari dan waktu tertentu pada saat
kegiatan, produksi, dan/atau terjadi kelangkaan Barang,
peredaran; dan/atau gejolak harga, dan/atau
c. pencabutan izin. hambatan lalu lintas
Perdagangan Barang
dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan/atau pidana denda
paling banyak
Rp50.000.000.000,00 (lima

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 53


puluh miliar rupiah).
 Pelaku Usaha yang
melakukan manipulasi data
dan/atau informasi mengenai
persediaan Barang
kebutuhan pokok dan/atau
Barang penting dipidana
dengan pidana penjara paling
lama 4 (empat) tahun
dan/atau pidana denda paling
banyak Rp10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah)

Pelaksanaan kebijakan harga di Indonesia sudah didukung oleh


peraturan perundangan yang jelas yaitu UU pangan dan UU
Perdagangan serta dukungan institusi/lembaga. Bahkan di tahun 2015
muncul peraturan baru terkait dengan ketersediaan pasokan dan
stabilisasi harga yaitu Peraturan Presiden No 17/2015 tentang
ketahanan pangan dan gizi serta Peraturan Presiden No 71/2015
tentang penentapan dan penyimpanan barang kebutuhan pokok dan
barang penting. Namun, pelaksanaan kebijakan harga di Indonesia
masih memiliki kelemahan baik dalam hal koordinasi maupun
aransemen kelembagaan. Salah satunya pelanggaran/sanksi dalam
pelaksanaan kebijakan harga di Indonesia masih lemah sehingga perlu
adanya law enforcement. Kondisi empiris menunjukkan bahwa selama
ini masih ada kelemahan dalam hal instrumen kebijakan, infrastruktur
serta kelembagaan pendukung. Contohnya infrastruktur pendukung
sistem logistik belum memadai, kelembagaan pendukung produksi
belum terbentuk dengan baik akibat struktur pertanian yang tidak
terkonsolidasi dan biaya penegakan aturan di Indonesia cukup mahal
sangat mahal dari pada manfaat yang diperoleh.

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 54


BAB V
KEBIJAKAN PENGENDALIAN HARGA KOMODITAS PANGAN

5.1. Karakteristik Komoditas Pangan


Karakteristik Petani
Sebagian besar petani pangan Indonesia adalah petani kecil.
Lazimnya definisi petani kecil yang selama ini banyak diacu terkait
dengan "smallness" dari "size" lahan usahatani dan atau jumlah ternak
yang dimiliki atau dikelolanya (von Braun, 2004). Dari sudut pandang
tenaga kerja, petani kecil adalah rumah tangga yang mata pencaharian
utamanya berusahatani dan dalam usahataninya itu mayoritas tenaga
kerjanya adalah tenaga kerja dalam keluarga (Narayana and Gulati,
2002). Dari sudut pandang pendapatan, petani kecil lazimnya
diasosiasikan dengan tingkat pendapatannya yang rendah. Terdapat
konvergensi antara skala usaha – penggunaan tenaga kerja upahan –
penerapan teknologi - akses pasar – pendapatan, namun sampai saat ini
data yang diperlukan untuk itu belum tersedia sehingga dengan segala
keterbatasannya, yang lazim dipergunakan masih mengacu pada skala
usaha.

Pengertian mengenai skala usaha mengacu pada konsep "retuns to


scale". Selama ini konsep tersebut telah banyak diterapkan sebagai
pendekatan teoritis mengenai skala optimal usahatani (Chavas, 2001).
Penerapannya dalam studi empiris menghasilkan beragam kesimpulan.
Di negara maju terdapat kecenderungan "increasing returns to scale".
Sebagai contoh, studi Kumbhakar (1993) tentang profitabilitas usahatani
sapi perah di Utah ataupun analisis Hall and Leveen (1978) mengenai
hubungan antara skala usaha dan efisiensi usahatani di California
diperoleh kesimpulan bahwa secara rata-rata profitabilitas usahatani skala
kecil relatif lebih rendah daripada usahatani skala menengah – besar.

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 55


Menurut Hall and Leveen (1978), sumber keunggulan skala besar
tersebut terletak pada penghematan biaya pengadaan input.

Untuk kasus di negara berkembang kondisinya berbeda. Sebagai


contoh, studi Sen (1962) di India menemukan adanya hubungan terbalik
antara luas garapan dengan produktivitas pada usahatani di India.
Kemudian, pada dekade 70-an, studi Yotopoulos and Lau (1973) dan
Berry and Cline (1979) memperoleh kesimpulan bahwa pada usahatani di
India ternyata skala kecil relatif lebih efisien daripada skala besar; dan
tidak disarankan untuk mengkondisikan konsolidasi usahatani karena
secara umum ternyata berada pada kondisi "constant returns to scale".
Menurut Binswanger and Rozensweig (1986) hal itu disebabkan karena
tenaga kerja keluarga lebih murah dan efisien daripada tenaga kerja luar
keluarga (buruh) karena: (i) tenaga kerja keluarga memperoleh bagian
dari keuntungan sehingga curahan perhatian dan kualitas pekerjaannya
lebih baik, (ii) dengan tenaga kerja keluarga tidak diperlukan adanya biaya
pencarian tenaga kerja, (iii) setiap individu tenaga kerja dalam keluarga
menganggap bahwa apa yang dikerjakan dalam usahataninya
berimplikasi pada risiko yang akan dihadapi dalam usahataninya. Senada
dengan berbagai temuan tersebut, Hayami (1998) juga menyatakan
bahwa dalam banyak kasus ternyata usahatani skala rumah tangga
adalah optimal. Namun "outcomes" yang terjadi tidaklah paralel dengan
berbagai keunggulan tersebut. Meskipun usahatani rumah tangga
mempunyai "labor cost advantage" tidak demikian halnya dengan
masalah pendanaan usahatani dan berbagai implikasinya terhadap akses
pasar dan lobi politik. Usahatani skala besar memiliki "credit cost
advantage" yang jauh lebih besar daripada usahatani rumah tangga.
Demikian pula dengan pemanfaatan peluang-peluang pengembangan
dalam interaksinya dengan sektor non pertanian (Binswanger and
Rozensweig, 1986).

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 56


Kesimpulan umum berbagai hasil analisis tersebut menunjukkan
bahwa berbekal keunggulannya masing-masing, pertanian skala kecil
maupun skala besar akan terus eksis. Baik yang besar maupun yang
kecil akan mengalami pasang surut dan dinamika lingkungan strategis
global akan mempengaruhi eksistensinya masing-masing. Namun
demikian satu hal penting yang harus digaris bawahi adalah bahwa
pasang surut pertanian skala kecil di negara-negara berkembang
berimplikasi lebih serius terhadap perekonomian sebagian besar negara-
negara berkembang karena berkaitan erat dengan masalah kemiskinan,
ketahanan pangan, dan kesempatan kerja sebagian besar penduduknya.

Di Indonesia studi tentang hubungan antara skala usaha dengan


efisiensi juga telah banyak dilakukan (paruh kedua dekade 70-an – paruh
awal dekade 90-an), baik melalui pendekatan ekonometrik maupun
akunting sederhana5. Secara umum, hasil-hasil penelitian tersebut
memperoleh kesimpulan bahwa usahatani tanaman pangan di Indonesia
berada dalam kondisi "constant returns to scale"; dan mungkin terkait
dengan itu pula maka sampai saat ini konsolidasi usahatani secara
mandiri oleh petani belum menjadi "trend".

Struktur Penguasaan Lahan Petani Pangan di Indonesia

Meskipun ada data Sensus Pertanian Tahun 2013 namun yang


digunakan dalam penelitian ini adalah data Pendataan Usahatani Tahun
2009 (PUT09). Alasannya adalah: (i) data ini lebih fokus ke petani
pangan, (ii) definisi tentang petani pada Sensus Pertanian 2013 berbeda
dari 2003 sehingga jika diperbandingkan secara langsung dapat
menghasilkan kesimpulan yang kurang tepat. Kegiatan PUT09 dilakukan
oleh BPS dan mencakup petani penghasil komoditas pangan utama (padi,
jagung, kedele, dan tebu). Rumah tangga pertanian tersebut proporsinya
5
Pembaca dapat melacaknya pada berbagai hasil penelitian yang dipublikasikan dalam Jurnal
Agroekonomi periode 1985 – 1994, proseding hasil penelitian PAE 1985 – 1990, maupun berbagai
disertasi pada periode tersebut.

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 57


mencapai sekitar 70 % dari seluruh populasi rumah tangga pertanian
Indonesia sehingga dapat dianggap cukup memadai untuk
menggambarkan kondisi seluruh rumah tangga petani Indonesia.

Menurut data tersebut, pada tahun 2009 ini jumlah rumah tangga
usahatani penghasil komoditas pertanian utama adalah sekitar 17.8 juta
(jika petani mengusahakan lebih dari satu jenis komoditas maka tetap
dihitung satu, mengacu pada komoditas utamanya). Rincian jumlah unit
usahatani menurut jenis komoditas yang diusahakan adalah sebagai
berikut. Untuk komoditas padi, jagung, kedele masing-masing adalah
sekitar 14.99, 6.71, 1.16 juta unit usahatani; sedangkan tebu adalah
sekitar 195 ribu unit usahatani. Sebarannya menurut (kelompok) pulau
adalah menunjukkan bahwa sebagian besar (58.6%) berada di Pulau
Jawa. Di Luar Pulau Jawa, yang terbanyak adalah di Sumatera (18.6%),
sedangkan yang terkecil adalah di Maluku dan Papua (1.3%).

Sebaran petani menurut luas penguasaan menunjukkan bahwa


bagian terbesar adalah petani dengan luas penguasaan antara 0.1 – 0.49
hektar. Khusus untuk di P. Jawa, dengan batas atas 1 hektar saja sekitar
90% diantaranya sudah termasuk dalam kategori petani kecil, dan
selanjutnya jika batas atas yang digunakan adalah 0.5 hektar maka
persentase petani yang tercakup dalam kelompok tersebut juga masih
lebih dari dua pertiga (69%).

Produktivitas usahatani tanaman pangan, khususnya padi dan


jagung di Indonesia sebenarnya termasuk tinggi. Rata-rata produktivitas
petani padi Indonesia memang masih lebih rendah daripada petani China
ataupun Jepang, setara dengan petani India, namun lebih tinggi daripada
petani Thailand ataupun Vietnam. Bahwa sampai saat ini untuk Indonesia
seringkali masih harus mengimpor beras terutama karena sangat kecilnya
garapan usahatani. Sekedar ilustrasi, rata-rata luas lahan usahatani padi
per kapita (total luas lahan usahatani padi dibagi total jumlah penduduk)

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 58


Indonesia hanya sekitar 646 M2/kapita. Bandingkan dengan Vietnam (986
M2/kapita), China (1120 M2/kapita), ataupun India (1590 M2/kapita);
apalagi Thailand (5 230 M2/kapita) (Pasaribu, 2009).

Dalam rangka melindungi produsen (petani kecil) maupun


konsumen (yang sebagian besar juga miskin), pemerintah meluncurkan
kebijakan harga terutama untuk komoditas pangan strategis. Sebagai
contoh, untuk mengkondisikan agar harga gabah pada saat panen tidak
merosot tajam maka Pemerintah menetapkan kebijakan Harga Pembelian
Pemerintah (HPP) gabah (dahulu Harga Dasar gabah) dan untuk
menstabilkan harga beras agar pada saat paceklik tidak melonjak tajam
maka pemerintah menetapkan Harga Eceran Tertinggi Beras.
Bekerjasama dengan Departemen Pertanian serta Departemen terkait
lainnya, lembaga yang secara khusus ditugaskan untuk mengeksekusinya
adalah Badan Urusan Logistik (BULOG).

Gambaran tentang distribusi pemilikan lahan dapat disimak dari


sebaran rumah tangga menurut kelompok pemilikan. Tampak bahwa
jumlah petani dengan penguasaan lahan kurang 0.5 hektar ke bawah
adalah sekitar 44%. Pada kelompok ini, jumlah terbanyak adalah pada
luasan seperempat hektar ke bawah (27%), sedangkan petani tunakisma
(tidak memiliki lahan sendiri sehingga menggarap milik orang lain adalah
sekitar 9%). Di Pulau Jawa, jumlah petani yang luas pemilikannya 0.5
hektar ke bawah mencapai 57%, sedangkan di Luar Pulau Jawa adalah
sekitar 37%. Demikianpun halnya dengan petani penggarap murni, di
Pulau Jawa mencapai 12% sedangkan di Luar Pulau Jawa sekitar 7%.
Secara umum distribusi pemilikan lahan usahatani di Indonesia berada
pada tingkat ketimpangan sedang (indek gini berkisar 0.42 – 0.64) dan
dalam sepuluh tahun terakhir ini cenderung semakin timpang (Sudaryanto
et al, 2009).

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 59


Secara garis besar penyebab utama makin mengecilnya skala
usahatani terkait dengan pertambahan jumlah rumah tangga pertanian
yang jauh lebih tinggi dari pertambahan luas areal pertanian baru,
konversi lahan pertanian ke non pertanian, dan pewarisan. Itu adalah
gambaran rata-rata, sedangkan yang terjadi di lapangan beragam.
Sejumlah besar petani luas pemilikannya bertambah kecil karena dibagi-
bagikan kepada keturunannya (warisan) atau sebagian dijual, sebagian
lainnya tak lagi memiliki lahan pertanian dan beralih profesi (tidak lagi
menjadi petani), dan sebagian lainnya (sebagian kecil) lahan pertaniannya
bertambah luas karena membeli dari petani lainnya baik di dalam desa
maupun di luar desa.

Peningkatan jumlah petani kecil menyebabkan: (1) posisi tawar


petani petani di pasar input maupun pasar output pertanian menjadi
semakin lemah, (2) kemampuan untuk melakukan investasi dalam
usahatani menurun, (3) adopsi teknologi melambat, (4) kontribusi
usahatani dalam pendapatan rumah tangga semakin kecil, dan (5)
meningkatnya alokasi tenaga kerja rumah tangga petani ke sektor non
pertanian dan migrasi tenaga kerja kerja ke kota. Secara keseluruhan hal
tersebut menyebabkan berimplikasi pada suksesi usahatani maupun
terjadinya involusi pertanian.

Melemahnya posisi tawar petani di pasar input maupun output


pertanian tidaklah mudah diatasi. Meskipun secara teoritis dapat diatasi
melalui pengembangan asosiasi petani namun secara empiris tidak
mudah diwujudkan karena: (1) kepentingan petani sangat heterogen, (2)
secara agregat, net benefit dari pengembangan kelambagaan asosiasi
petani sangat kecil (bahkan di beberapa kasus negatif), sementara itu
campur tangan pemerintah untuk menekan social cost dari
pengembangan kelembagaan seperti itu sangat tidak memadai.

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 60


Semakin melambatnya adopsi teknologi petani antara lain tercermin
dari levelling off pertumbuhan produksi padi di Indonesia. Sejak awal
dasawarsa 90-an berbagai terobosan di bidang teknologi usahatani padi
sebenarnya cukup banyak dihasilkan oleh lembaga-lembaga penelitian
terkait di Indonesia. Cukup banyak varietas-varietas padi yang baru
dengan produktivitas yang lebih tinggi telah berhasil diciptakan, namun
adopsinya di kalangan petani relatif rendah. Saat ini diperkirakan lebih
dari 70% pertanaman padi di Indonesia didominasi oleh varietas IR 64
dan Ciherang; dan hal itu telah berlangsung kurang lebih dalam periode
10 tahun terakhir ini.

Semakin rendahnya kontribusi usahatani dalam struktur pendapatan


rumah tangga dapat dilihat dari fenomena berikut. Di perdesaan Pulau
Jawa kontribusi pendapatan dari pertanian terhadap total pendapatan
rumah tangga turun dari 50% menjadi 25% dalam periode 1995 – 2007
(Sudaryanto and Sumaryanto, 2008). Khusus untuk rumah tangga petani,
kontribusi pendapatan dari usahatani terhadap pendapatan rumah
tangganya adalah sebagai berikut. Di agroekosistem pesawahan di Pulau
Jawa dan Luar Jawa masing-masing adalah 58 dan 46 %. Dengan urutan
yang sama, pada agroekosistem lahan kering berbasis usahatani
tanaman pangan dan hortikultura adalah 52 dan 48%. Sedangkan di
lahan kering barbasis tanaman perkebunan, di Luar P. Jawa adalah 67%
(PSEKP, 2008).

Meningkatnya alokasi tenaga kerja rumah tangga petani ke


pekerjaan non pertanian berimplikasi menguatnya sifat "part time" dalam
aktivitas usahatani. Hasil penelitian (PSEKP, 2008) menunjukkan bahwa
partisipasi rumah tangga petani pada kegiatan berburuh tani, usaha non
pertanian, dan berburuh di sektor non pertanian masing-masing adalah
6%, 36%, dan 22%. Jika unit analisisnya adalah individu maka terdapat
tiga kelompok kegiatan yang partisipasinya sangat menonjol yaitu: (i) di

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 61


usahatani sendiri saja (37%), (ii) di usahatani sendiri + berburuh tani
(20%), dan (iii) di usahatani + usaha rumah tangga sektor non pertanian
(12%).

Implikasi Globalisasi Terhadap Pertanian Skala Kecil

Berpangkal pada asimetri penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi,


modal, kemampuan lobi politik, dan mungkin juga jejak kolonialisme masa
lalu; sistem perdagangan komoditas pertanian di pasar internasional
kurang adil terhadap negara berkembang. Upaya untuk menciptakan
sistem perdagangan bebas yang adil (fair trade) telah banyak dilakukan
melalui serangakaian perundingan namun belum membawa hasil yang
sesuai dengan harapan. Putaran Doha 2001 berlangsung sangat alot dan
belum berhasil mencapai kesepakatan untuk menciptakan sistem
perdagangan yang lebih adil6.

Sampai saat ini pangsa pasar internasional komoditas pangan


didominasi negara maju dan cenderung mengerucut ke sejumlah kecil
yakni Amerika Serikat (jagung, minyak kedele, gandum, daging unggas,
beras, kedele, buah dan sayuran, daging sapi, susu bubuk skim, dan
keju), Uni Eropa (buah dan sayuran, jagung, gula, gandum, daging sapi,
daging unggas, susu bubuk skim, mentega, dan keju), Australia (jagung,
gula, gandum, daging sapi, susu bubuk skim, dan keju), Selandia Baru
(daging sapi, susu bubuk skim, mentega, dan keju), dan Kanada
(mentega, daging sapi, buah dan sayuran, minyak kedele, gandum, dan
jagung) (Sawit, 2007; Sawit, 2008).

6
Deklarasi Doha (WTO, 2001) menyebutkan: (i) substancial reduction in trade-distorting domestic
support, (ii) the reduction of, with a view to phasing out, all forms of export subsidies, (iii) substantial
improvements in market acces, (iv) special and differential treatment for developing members in all
elements of the negotiations. Kerangka kerja persetujuan disepakati anggota WTO pada Bulan Juli
2004 dengan menyisakan agenda menyangkut aspek negosiasi pertanian (WTO, 2004).

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 62


Selain keunggulannya dalam akses pasar, dominasi negara-negara
tersebut sebenarnya juga karena ditopang subsidi yang ternyata jauh
lebih besar daripada subsidi yang diterapkan oleh negara-negara
berkembang. Pendapatan petani produsen beras, petani produsen gula,
dan petani produsen daging sapi yang berasal dari subsidi pemerintah
mencapai masing-masing 78%, 51%, dan 33% (Sawit, 2007).

Belum lagi sistem perdagangan internasional yang "fair" terbentuk,


ekspansi perusahaan agribisnis skala raksasa dari negara-negara maju
semakin dalam menancapkan dominasinya di berbagai negara
berkembang. Melalui integrasi vertikal dari hulu – hilir, dominasinya
sangatlah kokoh sehingga ruang persaingan yang terbuka untuk negara-
negara berkembang menjadi sempit. Di hulu, mereka menguasai pasar
peralatan pertanian, agrokimia, dan benih; di tengah mendominasi
industri pengolahan (agro-processing dan agro-manufacturing); dan di hilir
membanjiri pasar eceran (supermarket) dengan beragam produk
pertanian segar maupun olahannya di seluruh dunia baik di negara maju
maupun negara-negara berkembang. Dua dekade yang lalu, "Top Ten"
MNC penghasil benih mengendalikan sekitar 30% dari nilai perdagangan
benih internasional (US 24.4 milyar) dan "Top Ten" perusahaan agrokimia
mengendalikan sekitar 84% pangsa pasar agrokimia (US$ 30 milyar) di
pasar global. Kini (setelah proses akuisisi dan merger dari sejumlah
perusahaan agribisnis raksasa) lima teratas perusahaan raksasa yang
bergerak di bidang bioteknologi pertanian mendominasi pasar: Pharmacia
(Monsanto), DuPont, Syngenta, Aventis, dan Dow.

Implikasi Terhadap Eksistensi Pertanian Skala Kecil

Interaksi agribisnis skala besar dari negara-negara maju dengan


pertanian skala kecil dari negara-negara berkembang bersifat asimetris.
Terkendala oleh isolasi geografis, terbatasnya penguasaan informasi,

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 63


penguasaan modal yang terbatas, penguasaan teknologi yang kurang
berkembang, dan dukungan infrastruktur yang kurang memadai maka
sebagian besar pertanian skala kecil di negara-negara berkembang tetap
berkutat pada persoalan internalnya yakni rendahnya pendapatan
usahatani. Di sisi lain, berbekal penguasaan informasi dan teknologi
maju, modal yang besar, sistem manajemen usaha yang canggih, dan lobi
politik yang kuat maka perusahaan-perusahaan agribisnis skala raksasa
dari negara maju mengembangkan eksistensinya secara ekspansif.
Bagaikan dua makhluk dari alam yang berbeda, sebagian besar petani
kecil di negara-negara berkembang tidak menyadari bahwa di
hadapannya telah berdiri sosok pesaing yang siap mengancam
eksistensinya.

Secara agregat liberalisasi perdagangan memang berdampak positif


terhadap surplus konsumen maupun surplus produsen. Namun efeknya
terhadap distribusi pendapatan dan pengentasan kemiskinan belum jelas
karena penelitian bidang ini masih sangat langka. Namun satu hal yang
pasti adalah bahwa pada saat ini petani kecil berada pada situasi yang
kritis. Kondisi yang dihadapinya dilematis. Sementara sebagian besar
petani masih tetap berkutat dengan pendapatan usahataninya yang
rendah, tenaga kerja muda semakin tidak tertarik untuk menekuni
pertanian. Stagnasi ekonomi dan terbatasnya kesempatan kerja di
pedesaan mendorong tenaga kerja pedesaan usia muda bermigrasi di
kota meskipun tanpa jaminan bahwa di lokasinya yang baru itu akan
dapat hidup lebih baik (Huvio et al, 2004).

Keragaman adalah warna dasar eksistensi. Implikasi liberalisasi


perdagangan terhadap eksistensi petani kecil tidaklah homogen. Dari
sudut pandang akses petani terhadap pasar (Torero and Gulati, 2004),
eksistensi petani kecil dapat dipilah menjadi tiga tipe: (1) petani kecil
subsisten dengan akses pasar lokal, (2) petani kecil dengan akses pasar

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 64


domestik, dan (3) petani kecil dengan akses pasar internasional.
Fenomena tersebut perlu dipertimbangkan secara seksama dalam
perumusan kebijakan dan program pemberdayaan petani kecil yang
antara lain mencakup trade financing, perbaikan infrastruktur, inovasi
kelembagaan, serta penguatan koperasi dan contract farming (Huvio et al,
2004).

Pengaruh liberalisasi perdagangan terhadap eksistensi pertanian


skala kecil dalam ekonomi domestik tergantung pada kondisi keterkaitan
pasar domestik – pasar internasional sebelum liberalisasi dan kapasitas
aktor utama (pertanian skala kecil) untuk meresponnya. Efeknya muncul
dari: (i) perubahan tingkat harga input dan output, (ii) perubahan volatilitas
harga, (iii) efek tak langsung melalui proteksi relatif di pertanian versus
sektor lain dalam keseluruhan sektor perekonomian, dan (iii) nilai tukar
dan pengaruh makro ekonomi lainnya (von Braun, 2004).

Secara teoritis, pengaruh jangka pendek diakibatkan oleh terjadinya


perubahan harga relatif (produksi dan pola konsumsi tetap). Dalam
konteks ini, karakteristik "household economy" yang melekat pada
sebagian besar petani kecil beserta implikasinya dalam perilaku produksi
dan konsumsi harus dielaborasikan dengan baik dalam pemodelan.
Dalam jangka menengah dan jangka panjang, pola usahatani akan
bergerser ke arah komoditas yang menghasilkan keuntungan yang lebih
besar, atau setidaknya yang tidak menyebabkan pendapatan riilnya turun.
Respon jangka panjang akan mencakup pula investasi dan migrasi.
Sejumlah pertanian skala kecil yang dapat memanfaatkan peluang yang
terbuka dari liberalisasi perdagangan akan melakukan investasi untuk
mengembangkan eksistensinya. Di sisi lain, sejumlah petani tidak mampu
bertahan dan karena itu beralih profesi ke sektor lainnya. Di tengah
(mungkin bagian terbesar) akan berada pada situasi yang dilematis: tetap
berusahatani dengan pendapatan yang rendah dan prospeknya kurang

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 65


jelas atau beralih profesi ke bidang lain tetapi tak pula ada jaminan
kehidupannya akan membaik.

Terkait dengan itu, strategi yang dapat ditempuh adalah sebagai


berikut (von Braun, 2004): (i) mengembangkan usahatani bernilai ekonomi
tinggi (spesialisasi, diversifikasi, dan komersialisasi), (ii) mencari
tambahan pendapatan dari luar usahatani dan menjadi "part-time farmer",
dan (iii) beralih profesi ke sektor non pertanian (termasuk migrasi). Jalur
(i) dapat ditempuh oleh petani yang dapat mengakses pasar modern yang
terintegrasi dengan pasar internasional misalnya melalui pola kemitraan
dengan perusahaan agribisnis, agro-processing, agro-manufacturing,
ataupun supermarket. Kelembagaannya dapat berupa contract farming
ataupun melalui suatu sistem koordinasi vertikal. Jalur (ii) adalah strategi
yang mungkin paling populer karena secara historis – empiris telah
merupakan pola dominan dalam strategi rumah tangga petani
mempertahankan eksistensinya. Namun berbeda dengan pola yang
selama ini ditempuh, upaya-upaya untuk meningkatkan produktivitas kerja
di usahataninya maupun pada kegiatan luar pertanian harus terus
dilakukan karena jika berada dalam status quo maka dalam jangka
menengah peranan usahataninya dalam ekonomi rumah tangga akan
terus menyusut. Jalur (iii) merupakan strategi yang paling layak ditempuh
oleh rumah tangga petani yang skala usahanya sangat kecil dan selama
ini kontribusinya untuk menopang ekonomi rumah tangga sangat minor.

Karakteristik Konsumsi Pangan Terhadap Pengeluaran

Dalam waktu 10 tahun, terdapat perubahan karakteristik konsumsi


pangan terhadap pengeluaran yang tercermin dari angka pangsa
pengeluaran masyarakat terhadap pangan. Ada kenaikan persentase
pengeluaran masyarakat terhadap pangan baik desa maupun kota pada
tahun 2002 dari 66,06% menjadi 68,04% tahun 2012. Masyarakat yang

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 66


memiliki penghasilan dalam kelompok pendapatan 1-4 memiliki pangsa
pengeluaran terhadap pangan yang meningkat dari tahun 2002 ke 2012.
Sementara, pengeluaran masyarakat pada kelompok 5-10 pangsa
pengeluaran terhadap pangan menurun dan cenderung meningkat untuk
non pangan. Hal ini berimplikasi bahwa kenaikan harga pada komoditi
pangan akan memberikan dampak pada makin meningkatkan
pengeluaran masyarakat pada kelompok 1-4.

Tabel 5.1 Rata-rata Pangsa Pengeluaran Masyarakat Terhadap


Pangan Berdasarkan Kelompok Pendapatan
Kelompok 2002 2012
Pendapatan Kota Desa Desa+Kota Kota Desa Desa+Kota
1 61,31 67,40 66,06 62,18 68,73 68,04
2 60,31 67,33 65,48 62,69 69,67 67,75
3 59,41 66,97 64,70 61,08 70,11 66,08
4 58,42 66,47 63,59 59,09 67,06 63,76
5 57,19 65,69 62,40 57,13 64,93 61,80
6 55,68 64,67 60,92 54,58 63,10 60,04
7 53,74 63,27 58,96 52,32 61,53 57,89
8 50,88 61,37 56,52 49,61 59,90 55,40
9 46,78 58,69 52,25 45,22 57,55 50,84
10 30,79 43,94 35,31 30,69 43,29 34,95
Sumber: Susenas, 2002 dan 2012, diolah

Perkembangan Harga dan Stabilitasnya (MA-Average)


Perkembangan Harga komoditi pangan ditingkat eceran
menunjukkan tren positif dengan cenderung naik. Data selama tahun
2009-2014 periode mingguan menunjukkan harga tingkat eceran komoditi
beras, gula dan minyak goreng cenderung naik. Faktor-faktor yang
mempengaruhi kecenderungan harga naik yaitu musim, harga komoditi di
pasar internasional serta kebijakan pemerintah.
Ribu Ribu
13 80

12 70

11 60

10 50

9 40

8 30

7
20

6
10
5
2009 2010 2011 2012 2013 2014 0
2009 2010 2011 2012 2013 2014
HGULA HMINYAKGORENG HBERAS
HCABAIMERAH
HDAGINGAYAM
HBAW ANGMERAH

Gambar 5.1 Perkembangan Harga Komoditi Pangan


Sumber: BPS, diolah

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 67


Stabilitas harga dapat diukur dengan melihat fluktuasinya.
Pergerakan fluktuasi harga komoditi pangan pokok antar waktu selama
tahun 2009-2014 terlihat makin mengecil. Pada periode tertentu
pergerakan fluktuasi harga komoditi (beras, gula pasir dan minyak
goremg) cukup tinggi yaitu selama tahun 2009 dan selama tahun 2013
dan awal 2014. Demikian halnya dengan komoditi daging ayam, cabai
merah dan bawang merah. Pergerakan fluktuasi harga daging ayam
relative rendah namun harga nominal cenderung meningkat tajam.
Fluktuasi harga yang tinggi menimbulkan banyak resiko dari harga
nominal yang terjadi dibandingkan dengan fluktuasi harga yang relative
rendah. Implikasinya, stabilisasi harga dapat meminimalkan tingginya
fluktuasi harga dan menjaga stabilitas harga secara nominal sehingga
dapat memperkecil dampaknya terhadap inflasi.
% %
8 50

7
40
6

5 30

20
3

2
10
1

0 0
2009 2010 2011 2012 2013 2014 2009 2010 2011 2012 2013 2014

GULAPASIR BAWANGMERAH
MINYAKGORENG CABAIMERAH
BERAS DAGINGAYAM

Gambar 5.2 Pergerakan Fluktuasi Harga Komoditi Pangan


Sumber: BPS, diolah

5.2. Kebijakan Harga komoditas Pangan


Undang-Undang No. 18 tahun 2012 tentang Pangan dan Undang-
Undang No. 7 tahun 2014 tentang Perdagangan merupakan kebijakan
terkait upaya stabilisasi harga komoditi di Indonesia tertuang dalam.
Secara ringkas, regulasi harga beberapa pangan pokok seperti beras,
gula, daging ayam, cabai, bawang merah, dan minyak goreng pada
Lampiran 1.

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 68


Secara umum dapat dikatakan bahwa harga komoditi pangan di
Indonesia cenderung fluktuatif dan terus mengalami peningkatan.
Pengaruh musim dan siklus produksi sangat mempengaruhi
perkembangan harga komoditi pangan di tingkat eceran. Kebijakan harga
yang ditetapkan pada komoditi pangan berlaku sepanjang tahun, padahal
karakteristik produksi pangan memiliki pola dalam setiap tahun terutama
untuk beras, gula, cabai merah, dan bawang merah.

Permasalahan dalam penerapan kebijakan harga di Indonesia


diantaranya adalah masih rendahnya komitmen politik dan ekonomi dalam
mendukung kebijakan yang sudah ditetapkan sehingga pelaksanannya
menjadi kurang komprehensif, sistematis dan konsisten. Banyaknya
kebijakan-kebijakan yang dikeluaran oleh Kementerian/ Lembaga terkait
terkadang menjadi masalah sebab ada yang saling tidak sejalan dan tidak
harmonis sehinga menghambat implementasi kebijakan. Misalnya
kebijakan peningkatan produksi dengan kebijakan alih fungsi lahan,
contoh kasus pada padi, jagung, kedelai dan gula. Masalah lain yang juga
menghambat pelaksanaan kebijakan harga adalah masalah infrastruktur
yang dalam hal ini adalah sistem logistik yang belum baik yang
menyebabkan masih terdapat disparitas harga antar wilayah dan belum
adanya kelembagaan pangan sebagai leading agency dalam
implementasi regulasi harga dan pangan di Indonesia sehingga
kelembagaan sistem pangan yang ada terlihat masih kurang solid, tidak
fokus dan cenderung Parsial.

Baru-baru ini Pemerintah mengeluarkan peraturan presiden No 71


tahun 2015 tentang penetapan dan penyimpanan barang kebutuhan
pokok dan barang penting yang diterbitkan pada bulan Juni 2015.
Peraturan ini menitikberatkan pada peran pemerintah dalam melakukan
penetapan harga. Adapun penetapan harga yang dimaksud yaitu harga
acuan, harga pembelian pemerintah pusat, harga khusus (harga

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 69


menjelang, saat dan setelah hari besar keagamaan nasional dan/atau
pada saat terjadi gejolak harga, harga eceran tertinggi (dalam rangka
operasi pasar). Penetapan harga ini tercantum dalam pasar 4 dan pasal
5 ayat (4) butir (a) dan (b) pada peraturan tersebut. Penetapan harga
dilakukan pada barang kebutuhan pokok yang mana cakupan kebutuhan
bahan pokok di dalam peraturan tersebut meliputi beras, kedelai, cabai,
bawang merah, gula, minyak goreng, tepung terigu, daging sapi, daging
ayam ras, telur ayam ras dan ikan segar.

5.3. Penentuan Komoditas Pangan Yang Perlu Diprioritaskan


Kebijakan harga pangan dapat dirumuskan dengan
mempertimbangkan kepentingan konsumen dan kepentingan produsen.
Pertimbangan kepentingan konsumen pada prinsipnya untuk menjaga
menjaga daya beli konsumen, sedangkan pertimbangan kepentingan
produsen terkait dengan menjaga profitabilitas usaha tani/ternak sehingga
tetap bertani/berternak. Dua kepentingan ini menurut banyak pengamat
ekonomi pertanian tidak dapat dicapai bersama-sama (trade-off),
sehingga dalam pembahasan penentuan komoditi yang menjadi fokus
dalam kebijakan harga akan dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap
pertama menentukan komoditi berdasarkan kepentingan konsumen dan
tahap kedua menentukan komoditi berdasarkan kepentingan produsen.
Dalam menentukan komoditi berdasarkan kepentingan konsumen
ada tiga hal yang perlu menjadi pertimbangan, yaitu andil inflasi, koefisien
variasi harga di tingkat konsumen, pangsa pengeluaran rumah tangga.
Andil inflasi dan pangsa pengeluaran rumah tangga sebagai kombinasi
yang sangat eksplisit sebagai faktor untuk menggambarkan tingkat daya
beli masyarakat. Semakin tinggi hasil perkalian nilai kedua variabel
tersebut, maka urgensi komoditi tersebut bagi kepentingan masyarakat
juga semakin besar. Sedangkan koefisien variasi harga di tingkat

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 70


konsumen sebagai indikator untuk menunjukan apakah pemerintah perlu
intervensi dalam menstabilkan harga komoditi tertentu.

Andil inflasi komoditi menunjukkan bahwa seberapa besar komoditi


tersebut memberikan sumbangan terhadap inflasi nasional. Besar atau
kecilnya suatu komoditi memberikan andil inflasi tergantung pada bobot
komoditi tersebut terhadap inflasi dan besarnya perubahan harga.
Semakin tinggi andil inflasi maka kontribusi komoditi tersebut terhadap
inflasi juga semakin besar dan sebaliknya. Komoditi yang mempunyai
kenaikan harga (inflasi) dan bobot terhadap inflasi tinggi, maka komoditi
tersebut akan memberikan andil yang tinggi terhadap inflasi.

Saat ini terjadi dimana komoditi yang mempunyai andil terhadap


inflasi rendah justru menjadi sumber terjadinya inflasi. Hal ini dikarenakan
komoditi tersebut memiliki kenaikan harga yang cukup signifikan seperti
aneka cabe dan aneka bawang, meski bobot komoditi ini terhadap inflasi
relatif kecil yaitu kurang dari 0,5%. Komoditi beras, mempunyai andil
inflasi yang tinggi, karena bobot beras terhadap inflasi cukup tinggi sekitar
3-4%. Implikasinya kenaikan harga yang kecilpun akan memberikan
dampak terhadap andil inflasi yang cukup besar, upaya stabilisasi harga
pada komoditi ini penting mengingat beras menjadi produk pangan utama
masyarakat Indonesia.

Tabel 5.2 Andil Inflasi Komoditi selama Tahun 2009-2014


Andil Inflasi (%)
Rata2'
No Komoditi
2009 2010 2011 2012 2013 2014 09-14
1 Beras 0.27 1.28 2.27 0.33 0.20 0.38 0.79
2 Gula Pasir 0.32 0.06 -0.03 0.14 -0.03 -0.03 0.07
3 Kedelai -0.02 0.02 0.15 0.08 0.07 0.00 0.05
4 Tepung terigu 0.00 0.00 0.02 0.00 0.07 0.00 0.01
5 Daging ayam ras 0.06 0.14 0.21 0.03 0.11 0.07 0.10
6 Daging sapi 0.02 0.03 0.10 0.16 0.11 0.03 0.08
7 Telur ayam ras -0.01 0.07 0.02 0.04 0.03 0.07 0.04
8 Cabe merah -0.03 0.28 0.43 -0.25 0.31 0.43 0.20
9 Bawang merah 0.03 0.24 0.03 0.09 0.38 0.01 0.13
10 Jagung manis 0.00 0.02 0.01 0.00 0.30 0.00 0.06
11 Minyak Goreng -0.04 0.12 0.14 -0.01 0.03 0.07 0.05
Sumber: BPS, diolah

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 71


Selama tahun 2009-2014, komoditi pangan yang memberikan andil
cukup besar terhadap inflasi yaitu beras, cabe merah, bawang merah, dan
daging ayam ras dengan andil lebih dari 0,5%. Komoditi ini merupakan
bagian dari volatile food dalam pengelompokkan inflasi nasional. Dengan
andil yang cukup besar tersebut mempunyai arti bahwa fluktuasi harga
dari komoditi tersebut perlu dijaga supaya tidak terlalu tinggi sehingga
kebijakan pengendalian harga penting dalam upaya memperkecil
dampaknya terhadap inflasi nasional. Salah satu peran kebijakan
stabilisasi harga adalah pengendalian harga komoditi, memperlancar
pasokan dan jalur distribusi.

Pengendalian harga komoditi mempunyai arti bahwa untuk


meminimalkan besarnya fluktuasi harga yang terjadi pada batas toleransi
tertentu yang tidak merugikan konsumen ataupun produsen. Langkah ini
merupakan salah satu upaya di dalam pengendalian inflasi khususnya
inflasi bahan makanan yang merupakan bagian dari volatile food di dalam
pengelompokkan komoditi inflasi nasional. Fluktuasi harga dapat terjaga
bilamana pengaturan pasokan serta distribusi berjalan dengan dengan
baik sehingga pemenuhan kebutuhan masyarakat dapat tercukupi dengan
harga yang terjangkau.

Harga komoditi yang terkendali akan berdampak pada perubahan


harga tertinggi antar waktu menjadi minimal dan memberikan andil inflasi
yang relatif kecil. Fluktuasi harga komoditi dapat diminimalkan melalui
pengaturan produksi dan waktu impor dalam memenuhi permintaan yang
angkanya cenderung meningkat, dalam jangka menengah dan panjang
dapat menurunkan peran komoditi tersebut dalam inflasi.

Koefisien variasi (CV) harga komoditi dihitung berdasarkan data


harga komoditi bulanan dari BPS mulai tahun 2008 sampai dengan 2014,
kecuali komoditi bawang merah yang di hitung menggunakan data mulai

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 72


tahun 2010. Berdasarkan hasil perhitungan, koefisien variasi harga
tertinggi terdapat pada komoditi cabe merah sebesar 31,68%, disusul oleh
bawang merah 20,88%, daging ayam 8,00%, minyak goreng 7,16% dan
telur ayam 5,77%. Adapun koefisien variasi harga terendah terdapat pada
komoditi terigu sebesar 1,24 % disusul oleh kedelai 2,33%, beras 2,96%,
gula 3,73%, jagung 4,03% dan daging sapi 4,14%.

Koefisien keragaman harga komoditi masih berkisar antara 5-9%


yang menunjukkan bahwa fluktuasi harga komoditi tersebut relatif stabil
kecuali untuk komoditi cabe merah dan bawang merah. Secara umum
fluktuasi semua harga komoditi pangan dipengaruhi oleh pola konsumsi
atau permintaan meningkat pada hari raya perayaan keagamaan dan
adat. Pengaruh peningkatan permintaan pada hari raya keagamaan dan
adat lebih dominan pada harga komoditi daging ayam dan telur. Fluktuasi
harga cabe dan bawang merah yang tinggi lebih cenderung disebabkan
oleh tekanan dari sisi suplai yaitu pola tanam tanaman cabe yang bersifat
musiman dan jenis komoditasnya yang bersifat perishabel. Untuk harga
komoditi terigu dan kedelai relatif lebih stabil karena sebagian besar
suplainya berasal dari impor.

Tabel 5.3. Andil Inflasi, Koefisien Variasi Harga Tingkat Konsumen,


Pangsa Pengeluaran Rumah Tangga

No Komoditi Andil Inflasi (%) Rank Koefisien Variasi Tk. Kons (%) Rank Pangsa Pengeluaran RT Rank Total Rank
1 Beras 0.79 *** 4.43 ** 16.88 *** ********1
2 Gula 0.07 * 3.73 * 2.30 ** ****
3 Kedelai 0.05 * 2.33 * 2.62 ** ****
4 Terigu 0.01 * 1.24 * 5.63 *** *****
5 Daging Ayam 0.10 ** 8.00 ** 2.23 ** ******2
6 Daging Sapi 0.08 * 4.14 ** 0.76 * ****
7 Telur Ayam 0.04 * 5.77 ** 2.35 ** *****
8 Cabe Merah 0.20 ** 31.68 *** 0.86 * ******2
9 Bawang Merah 0.13 ** 20.88 *** 1.05 * ******2
10 Jagung 0.06 * 4.03 * * ***
11 Minyak Goreng 0.05 * 7.16 ** 3.19 *** ******2
Sumber: BPS (2014), SUSENAS (2011), diolah

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 73


Tabel 5.2 menunjukkan bahwa untuk komoditi beras, walaupun
tingkat fluktuasi harganya relatif moderat (dilihat dari nilai koefisien variasi
harga tingkat konsumen), pangsa pengeluaran dan andil inflasi untuk
beras paling tinggi dibanding komoditi lainnya yang ada di Tabel 1. Hal ini
menunjukkan bahwa komoditi beras sangat penting bagi masyarakat. Jika
asumsinya alokasi budget pengeluaran rumah tangga untuk beras adalah
konstan, maka pengendalian inflasi beras menjadi penting. Dan
pengendalian beras ini sangat erat terkait dengan stabilisasi harga beras
di tingkat konsumen.

Untuk gula, ketiga faktor yang dipertimbangkan menunjukkan


tingkat yang moderat. Dari faktor koefisien variasi harga, sebagaimana
karakteristik produk industri, dimana pengelolaan distribusinya (baik
proses maupun kelembagaannya) sudah berjalan dengan baik, maka
harganya cukup stabil. Dari faktor pangsa pengeluaran rumah tangga,
jauh lebih rendah daripada pangsa pengeluaran untuk beras. Dengan
kondisi harga yang stabil dan pangsa pengeluran yang kecil maka andil
inflasi dari gula juga rendah. Seperti halnya gula, untuk kedelai dan
jagung ketiga faktor yang dipertimbangkan menunjukkan tingkat yang
moderat, bahkan berada pada tingkat rendah untuk andil inflasi. Konsumsi
kedelai oleh rumah tangga porsinya cukup kecil, sehingga dalam hal ini
pangsa pengeluaran rumah tangga menggunakan pangsa pengeluaran
untuk tempe dan tahu.

Untuk terigu, dari sisi pangsa pengeluaran rumah tangga cukup


tinggi, tetapi dari sisi andil inflasi dan koefisien variasi harga tingkat
konsumen kinerjanya cukup baik. Pangsa pengeluaran rumah tangga
untuk terigu merupakan terbesar setelah beras. Hal ini menunjukkan
bahwa komoditi terigu perannya sangat penting bagi masyarakat.

Untuk sumber protein hewani, komoditi yang penting bagi


konsumen adalah daging ayam. Dari sisi andil inflasi, nilainya paling besar

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 74


setelah beras, bahkan untuk tingkat fluktuasi harganya justru lebih tinggi
dari pada beras. Sedangkan dari sisi pangsa pengeluaran rumah tangga,
tingkatnya relatif moderat. Jika dibandingkan dengan pangsa pengeluaran
untuk telur ayam ras tidak berbeda jauh dan dengan daging sapi lebih
tinggi. Kondisi tersebut menunjukkan komoditi daging ayam memiliki
urgensi untuk mendapatkan perhatian dalam stabilitas harga.

Pada produk hortikultura, yaitu cabai merah dan bawang merah,


walaupun pangsa pengeluarannya rendah, tetapi fluktuasi harganya
sangat tinggi. Hal ini kemudian mendorong andil inflasi dari cabai merah
dan bawang merah menjadi tinggi, tertinggi setelah beras. Kondisi di atas
menunjukkan bahwa cabai merah dan bawang merah memiliki urgensi
untuk mendapat perhatian dalam stabilisasi harga.

Fluktuasi harga yang cukup tinggi juga tidak hanya terjadi untuk
produk hortikultura dan daging ayam, tetapi juga untuk minyak goreng
curah. Koefisien variasi minyak goreng curah mencapai 7,16%. Selain itu,
minyak goreng juga berperan besar dalam pangsa pengeluaran rumah
tangga, paling besar setelah terigu dan beras.

Pertimbangan historis kebijakan, komoditi gula juga merupakan


salah satu komoditas pokok dan strategis di Indonesia. Pemerintah telah
menerapkan berbagai kebijakan yang mempunyai efek langsung dan
tidak langsung terhadap pasang-surutnya industri gula nasional.
Kebijakan pergulaan nasional diterapkan secara intensif, identik dengan
intensitas kebijakan yang berkaitan dengan industri beras. Di samping
intensitasnya tinggi, kebijakan pemerintah tersebut juga mempunyai
dimensi yang cukup luas, mulai dari kebijakan lahan, input, produksi,
distribusi, kelembagaan, hingga kebijakan harga. Secara garis besar
kebijakan tersebut dapat dibagi ke dalam tiga regim yang dilandasi oleh
aspek esensi dan periode waktu. Ketiga regim kebijakan tersebut adalah:
(i) Regim Kebijakan Suportif dan Stabilisasi (1971-1997); (ii) Regim

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 75


Kebijakan Liberalisasi (1997-2002); dan (iii) Regim Kebijakan Proteksi dan
Promosi (2002-sekarang).

Untuk melindungi produsen, pemerintah mengeluarkan Keputusan


Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 282/KPTS-IV/1999 yang kembali
menetapkan harga provenue gula sebesar Rp 2.500 per kg. Kebijakan
harga provenue tersebut ternyata tidak efektif karena tidak didukung oleh
rencana tindak lanjut yang memadai. Untuk mengatasi masalah tersebut,
pemerintah melalui Departemen Perindustrian dan Perdagangan
mengeluarkan Keputusan Menperindag No. 364/MPP/Kep/8/1999.
Instrumen utama dari kebijakan tersebut adalah pembatasan jumlah
importir dengan hanya mengijinkan importir produsen. Dengan kebijakan
ini, pemerintah dapat membatasi dan mengendalikan volume impor di
samping memiliki data yang lebih valid mengenai volume impor dan stok.
Dengan demikian, harga gula dalam negeri dan harga gula di tingkat
petani dapat ditingkatkan.

Dari penjelasan di atas dengan mempertimbangkan andil inflasi,


koefisien variasi harga di tingkat konsumen, pangsa pengeluaran rumah
tangga serta historis kebijakan dapat disimpulkan 5 (lima) komoditi yang
perlu menjadi perhatian pemerintah dalam kebijakan harga adalah beras,
daging ayam, cabai merah, bawang merah dan minyak goreng. Dengan
mempertimbangkan historis kebijakan komoditas gula, maka Gula masuk
di komoditi prioritas.

Selanjutnya menentukan komoditi berdasarkan kepentingan


produsen ada dua hal yang perlu menjadi pertimbangan, yaitu
pertumbuhan produksi dan fluktuasi harga di tingkat produsen. Fluktuasi
produksi merupakan faktor fundamental yang perlu diperhatikan dalam hal
peningkatan produksi, distribusi dan logistik. Produksi padi pada tahun
2007 tercatat sebesar 57,15 juta ton sedangkan tahun 2014 tercatat
sebesar 70,83 juta ton atau mengalami pertumbuhan rata-rata pertahun

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 76


sebesar 3,11%. Selama rentang tahun 2007 hingga 2014, pertumbuhan
produksi tahunan terbesar terjadi pada tahun 2009 yakni tumbuh sebesar
6,75%. Meski produksi tahunan padi hampir selalu mengalami
pertumbuhan yang positif, namun produksi padi sempat mengalami
penurunan pada tahun 2011 dan 2014 yakni masing-masing turun
sebesar 1,07% dan 0,63%.

Pada tahun 2007 produksi gula tercatat sebesar 2,6 ribu ton,
sedangkan pada tahun 2013 produksi gula turun menjadi 2,55 ribu ton
atau tumbuh negatif sebesar 0,44%. Pertumbuhan produksi tahunan gula
tidaklah konsisten dari tahun ke tahun. Hal ini terlihat pada data tahun
2009 yang menunjukkan penurunan produksi gula secara signifikan jika
dibandingkan tahun 2008 yakni turun sebesar 12,54%. Produksi gula
tahun 2011 kembali naik jika dibandingkan produksi gula tahun 2012
yakni tumbuh sebesar 15,53%. Rata-rata produksi gula nasional pada
tahun 2007 hingga 2013 adalah sebesar 2,47 ribu ton.

Untuk komoditi kedelai, produksi di tahun 2007 tercatat sebesar 592


ribu ton sedangkan tahun 2014 tercatat 953 ribu ton, atau mengalami
pertumbuhan rata-rata tahunan adalah sebesar 7,04%. Pertumbuhan
produksi tahunan kedelai cukup tinggi pada tahun 2008 dan 2009 dengan
pertumbuhan masing-masing 30,91% dan 25,63%. Pada tahun berikutnya
yakni tahun 2010 hingga 2013 produksi kedelai mengalami penurunan.
Namun di tahun 2014 produksi kedelai kembali mengalami pertumbuhan
positif yakni sebesar 22,30%.

Produksi jagung mengalami pertumbuhan rata-rata tahunan positif


selama periode 2007-2014 yakni tumbuh sebesar 5,27%. Jika produksi
jagun pada tahun 2007 tercatat sebesar 13,28 juta ton, maka di tahun
2014 produksi jagung tercatat sebesar 19,03 juta ton. Pertumbuhan
produksi tahunan jagung terbesar terjadi pada tahun 2008 dengan
pertumbuhan mencapai 22,80%. Sementara pertumbuhan pada tahun

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 77


2011 dan 2013 menunjukkan pertumbuhan negatif yakni masing-masing
sebesar 3,73% dan 4,51%.

Untuk komoditi daging ayam, pertumbuhan produksi tahunan positif


pada kisaran 1,81% hingga 10,17%. Produksi daging ayam tahun 2007
adalah sebesar 0,94 juta ton sedangkan tahun 2014 tercatat sebesar 1,52
juta ton. Pertumbuhan rata-rata tahunan daging ayam tahun 2007-2014
adalah sebesar 7,11%. Pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2010
dan 2011 yakni masing-masing sebesar 10,22% dan 10,18%, sementara
pertumbuhan terendah terjadi pada tahun 2014 yakni tumbuh hanya
sekitar 1,80%.

Produksi telur ayam mengalami pertumbuhan rata-rata tahunan


sebesar 4,67% selama tahun 2007-2014. Jika dilihat pada data produksi,
pertumbuhan produksi telur ayam cenderung positif dan meningkat dari
tahun ke tahun. Produksi telur ayam tahun 2007 tercatat 0,94 juta ton
sedangkan tahun 2014 tercacat hampir 1,3 juta ton. Meski pertumbuhan
produksi tahunan telur ayam pada tahun 2008 hanya sebesar 1,26%
namun pada tahun 2010 hingga 2014 pertumbuhan produksi tahunan
telur ayam naik pada kisaran 3,97% hingga 10,9%. Produksi telur ayam
juga pernah mengalami penurunan pada tahun 2009 yakni turun sebesar
4,86%.

Produksi daging sapi cenderung tumbuh positif kecuali pada tahun


2013. Produksi daging sapi tahun 2007 adalah sebesar 339 ribu ton
sedangkan produksi tahun 2014 mencapai 539 ribu ton. Pertumbuhan
rata-rata tahunan daging sapi selama tahun 2007-2014 adalah sebesar
6,85%. Pertumbuhan produksi tahunan daging sapi tertinggi pada tahun
2008 yakni sebesar 15,62%, sementara pertumbuhan terendah terjadi
tahun 2013 dengan pertumbuhan negatif sebesar 0,8%.

Produksi tahunan cabe merah mengalami pertumbuhan positif dan


berfluktuatif dengan kisaran 2,5% hingga 13,2%. Jika pada tahun 2007

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 78


produksi cabe merah tercatat 676 ribu ton, di tahun 2014 produksi cabe
merah tercatat hampir 1,1 juta ton. Pertumbuhan rata-rata tahunan cabe
merah besar selama tahun 2007-2014 adalah sebesar 6,64%.
Pertumbuhan produksi tertinggi cabe merah terjadi pada tahun 2009
dengan pertumbuhan sebesar 13,2% sementara pertumbuhan terendah
cabe merah terjadi pada 2010 dengan pertumbuhan sebesar 2,5%.

Bawang merah mengalami pertumbuhan produksi rata-rata tahunan


sebesar 6,26% selama tahun 2007-2014. Produksi bawang merah tahun
2007 adalah sebesar 0,8 juta ton sedangkan tahun 2014 produksi bawang
merah mencapai 1,2 juta ton. Pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun
2014 dengan pertumbuhan mencapai 21,48% Sementara pada tahun
2011 justru terjadi penurunan produksi sebesar 14,85%.

Untuk produksi minyak goreng, karena data produksi sulit diperoleh,


maka digunakan pendekatan produksi minyak sawit. Produksi minyak
sawit terus meningkat dari tahun ke tahun dengan pertumbuhan produksi
tahunan berkisar antara 1,2% hingga 11,18%. Pertumbuhan produksi
rata-rata tahunan minyak sawit tahun 2007-2013 sebesar 7,23%. Jumlah
produksi minyak sawit tahun 2007 sebesar 11,4 ribu ton sedangkan tahun
2013 sebesar 17,4 ribu ton. Pertumbuhan produksi terendah terjadi tahun
2010 dengan pertumbuhan hanya 1,2%. Dengan melihat fluktuasi
produksi dan fluktuasi harga di tingkat produsen, komoditi dari sisi
kepentingan produsen yaitu padi, kedelai dan jagung. Namun, dalam
kajian ini komoditi tersebut tidak menjadi prioritas dalam penetapan
kebijakan harga dikarenakan (i) ketergantungan impor masih cukup tinggi
dan (ii) peruntukkannya. Kedelai dan jagung lebih banyak digunakan
untuk kebutuhan industri dibandingkan untuk kebutuhan konsumsi
langsung masyarakat.

Kebijakan harga untuk stabilisasi harga pangan dapat dilakukan


dengan dua pendekatan, yaitu pendekatan fundamental yang pada

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 79


dasarnya bekerja dalam ruang/kurva supply-demand dan biasanya
dampaknya dapat terlihat dalam jangka panjang. Kedua adalah
pendekatan kebijakan harga itu sendiri yang bekerja untuk meng-adjust
harga dan biasanya dampaknya dapat dilihat dalam jangka pendek.

Seperti sudah disampaikan di atas, bahwa antara kepentingan


konsumen dan produsen tidak dapat dicapai bersamaan oleh karena itu
maka dalam pendekatan stabilisasi harga juga perlu memilih salah satu
pendekatan yang dapat memberikan dampak pada stabilitas harga.
Dalam memilih pendekatan tersebut, salah satu yang dapat dilakukan
adalah melakukan perbandingan antara fluktuasi produksi dan fluktuasi
harga di tingkat konsumen.

Tingkat fluktuasi produksi yang lebih besar dari pada fluktuasi


harganya menunjukkan bahwa profitabilitas di pasar komoditi pangan
tergantung pada resiko produksi artinya pendekatan fundamental dalam
stabilisasi harga perlu dilakukan. Sementara itu, jika fluktuasi harga di
tingkat eceran lebih tinggi daripada fluktuasi produksi, maka pendekatan
kebijakan harga perlu dilakukan. Kebijakan harga yang dimaksud dalam
hal ini adalah harga acuan atau harga dasar atau harga eceran tertinggi.
Untuk hal ini akan dibahas lebih lanjut dalam bagian setelah sub bab ini.

Fluktuasi produksi dan fluktuasi harga untuk produk hortikultura


berada pada tingkat yang tinggi. Sementara untuk produk industri seperti
terigu dan minyak goreng fluktuasi produksi relatif stabil. Namun untuk
gula, walaupun dihasilkan dari industri tetapi karena tergantung pada
bahan baku tebu dalam negeri yang bersifat musiman, maka fluktuasi
produksinya justru lebih tinggi dibanding fluktuasi harganya.

Sama halnya dengan gula, fluktuasi produksi beras juga relatif tinggi
dibanding dengan fluktuasi harga beras di tingkat eceran. Fluktuasi
produksi beras terjadi karena ada tiga musim panen dalam produksi beras
yaitu musim panen raya, musim panen gadu dan musim paceklik. Untuk

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 80


daging ayam, kondisinya mirip dengan pasar produk hortikultura.
Fluktuasi produksi daging ayam dan harga di tingkat eceran berada pada
tingkat yang relatif tinggi. Dengan mempertimbangkan kondisi di atas,
maka walaupun pada dasarnya kepentingan konsumen dan produsen
tidak dapat dicapai bersamaan secara optimal, maka dalam rangka
stabilisasi harga untuk beberapa komoditi perlu mengkombinasikan antara
pendekatan fundamental dan pendekatan kebijakan harga itu sendiri.

Kombinasi pendekatan fundamental dan kebijakan harga perlu


diterapkan pada stabilisasi harga daging ayam, beras, cabai merah dan
bawang merah, gula. Dasar pertimbangannya adalah sebagai berikut: (a)
bagian terbesar dari penawaran berasal dari produk domestik; (b)
konvergensinya dengan kebijakan Kementerian Pertanian; (c) kebijakan
harga saja tidak cukup karena melibatkan jumlah produsen yang sangat
besar dan secara geografis tersebar di lokasi-lokasi yang jumlahnya
sangat banyak. Untuk minyak goreng pendekatan melalui kebijakan
harga sudah cukup efektif karena (a) struktur produksi mudah
terkonsolidasi; (b) jumlah produsen pada umumnya berskala besar dan
jumlah banyak ; (c) bahan baku cukup; (d) secara hostoris kebijakan yang
sudah dilakukan cukup efektif.

5.4 Pengendalian Harga Pada Komoditi Pangan


Beras
Beras merupakan makanan pokok terpenting bagi negeri ini.
Kontribusinya sebagai sumber karbohidrat lebih dari 95%. Demikian
strategisnya peranan komoditas ini dalam perekonomian nasional
sehingga dalam aspek-aspek tertentu telah menjadi komoditas politik.
Secara historis, berbagai peristiwa penting yang berkaitan dengan
instabilitas politik terkait pula dengan kelangkaan komoditas ini di pasar
dalam negeri. Dari kelompok pangan, kontribusi komoditas ini dalam
inflasi adalah yang terbesar. Data dari BPS menunjukkan bahwa

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 81


kontribusi harga beras terhadap inflasi mencapai sekitar 4%. Oleh karena
itu stabilitas harga beras berpengaruh besar terhadap pengendalian
inflasi.
Sebagai komoditas strategis maka kebijakan pemerintah dalam
perberasan sangat intensif. Upaya-upaya untuk memperbaiki kinerja
produksi, ketersediaan, dan harga terus dilakukan dari waktu ke waktu.
Sejumlah keberhasilan telah dicapai akan tetapi sampai saat ini hasilnya
belum memuaskan. Beras dihasilkan dari usahatani padi. Sebagian
besar usahatani padi dilakukan di lahan sawah beririgasi karena sebagian
besar varietas padi akan berproduksi lebih tinggi jika dalam masa
pertumbuhan vegetatif dan sebagian dari fase pertumbuhan generatifnya
memperoleh penggenangan. Oleh karena itu pertumbuhan produksi padi
suatu negara (termasuk Indonesia) sangat dipengaruhi oleh ketersediaan
lahan sawah beririgasi.

Terkait dengan karakteristikanya itu, penanaman padi yang terluas


adalah pada musim hujan; yang untuk sebagian besar wilayah di
Indonesia berlangsung antara Bulan Oktober/November – April/Mei. Pada
MT II, yang suntuk sebagian besar wilayah Indonesia berlangsung
Maret/April – Juni/Juli sekitar 50 – 60 % petani nasional kembali
menanam padi. persentase petani yang pada MT III kembali menanam
padi sangat kecil, terbatas pada wilayah pesawahan yang kondisi
irigasinya sangat prima.

Sebenarnya secara teoritis jika air tersedia sepanjang tahun maka


penanaman padi dapat dilakukan sampai tiga kali per tahun kalender
pertanian. Akan tetapi secara empiris kondisi seperti itu hanya dapat
dilakukan pada daerah irigasi yang sangat baik (sekitar 4,2% dari total
luas lahan baku sawah). Secara agregat, indeks pertanaman padi di
Indonesia adalah sekitar 1,5 – 1,6. Artinya pada MT I hampir 100% petani
yang menguasai garapan lahan sawah menanam padi dan pada MT II

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 82


ada sekitar 50 – 60% dari petani tersebut menanam padi. Dengan luas
baku lahan sawah yang diperkirakan sekitar 8,27 juta hektar maka luas
panen padi per tahun adalah sekitar 13,1 juta hektar.

Dengan kondisi seperti itu maka fluktuasi produksi padi antar musim
adalah sebagai berikut. Perbandingan produksi padi antara MT I: MT II:
MT III adalah sekitar 100:58:2. Fluktuasi produksi tersebut berimplikasi
pada fluktuasi pasokan beras di pasar. Oleh karena itu setiap tahun terjadi
musim paceklik, yaitu musim di mana pasokan beras dari hasil panen
sangat kecil dan sedang menunggu musim panen raya MT I tahun
berikutnya. Itu terjadi antara Bulan Oktober/November – Januari/Februari.
Rata-rata produktivitas usahatani padi pada saat ini adalah sekitar 5,2 ton
Gabah Kering Panen (GKP) per hektar. Dengan angka konversi sekitar
0,57 maka produksi beras per tahun diperkirakan sekitar 38,8 juta ton per
tahun. Angka ini jika dibandingkan dengan konsumsi yang diperkirakan
mencapai sekitar 28,5 juta ton per tahun maka secara teoritis Indonesia
swasembada bahkan mengalami surplus beras. Namun jika dikaitkan
dengan fenomena harga beras yang dalam bebrapa tahun terakhir ini
mengalami peningkatan yang cukup significant maka angka-angka
tersebut sulit dipahami. Secara teoritis, data tentang harga adalah paling
mudah diverifikasi. Demikianpun dengan angka produktivitas karena
mudah di cek di lapangan melalui survey. Akan tetapi sangatlah sulit
untuk memverifikasi data tentang luas baku lahan sawah maupun luas
tanam. Tampaknya, ke depan diperlukan pengecekan kembali angka-
angka luas baku lahan sawah dan indeks pertanamannya.

Untuk mencegah jatuhnya harga gabah yang diproduksi petani pada


saat panen dan mencegah membubungnya harga beras di tingkat
konsumen pada musim paceklik maka Indonesia membentuk Badan
Urusan Logistik. Fungsi utamanya adalah menyerap surplus produksi saat
panen raya untuk kemudian disimpan dan disalurkan ke pasar (operasi

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 83


pasar) pada saat musim paceklik. Terkait dengan perubahan iklim dan
banyaknya lahan sawah produktif yang terkonversi ke penggunaan lain
maka terjadi degradasi kapasitas lahan untuk memproduksi lahan sawah
dan berubahnya pola panen. Berbeda dengan seperampat abad yang lalu
di mana pola panen cenderung teratur dan mudah diprediksi, sejak
dasawarsa terakhir pola panen makin kurang teratur. Sebaran spatial dan
temporal panen padi makin sulit dipetakan secara tepat dan kondisi
tersebut berpengaruh pada risiko yang dihadapi dalam sistem rantai
pasok. Ditambah lagi dengan kondisi infrastruktur transportasi yang
kurang lancar (banyak kemacetan) dan harga BBM yang sampai dengan
dua tahun lalu cenderung makin mahal maka biaya transportasi barang
(termasuk gabah/beras) menjadi makin mahal. Akibatnya kinerja
pemasaran gabah/beras justru makin kurang efisien.

Kesulitan untuk memperbaiki efisiensi pemasaran gabah/beras juga


terkait struktur usahatani padi yang didominasi skala kecil dan tidak
terkonsolidasi sebagaimana dijalaskan di atas. Struktur pasar gabah
cenderung oligopsonistik. Oleh karena produktivitas juga tidak mudah
untuk ditingkatkan secara significant maka secara riil keuntungan yang
diterima petani tidak pernah mengalami peningkatan yang berarti. Hal ini
seringkali menjadi alasan paling mendasar untuk selalu menaikkan Harga
Pembelian Pemerintah (HPP).

Kesimpulan yang diperoleh dari FGD yang dilakukan secara


berantai dalam pelaksanaan penelitian ini menunjukkan bahwa untuk
menjaga stabilitas harga beras maka dibutuhkan kebijakan harga yang
dikombinasikan dengan kebijakan non harga yang kondusif untuk
memperbaiki kinerja produksi. Pada kebijakan harga, yang diperlukan
adalah penetapan HPP multi kualitas (medium dan premium) perlu
dilakukan. Selain itu, penetapan HPP juga perlu dilakukan untuk setiap
awal musim tanam, terutama musim tanam MT I dan MT II (untuk MT III

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 84


tidak perlu). Konsep perhitungannya didasarkan atas kombinasi dari tiga
komponen: (a) biaya pokok gabah, (ii) ekspektasi keuntungan usahatani
padi, dan (iii) implikasinya terhadap harga beras. Dalam konteks ini,
mengingat bahwa dalam beberapa tahun terakhir HPP gabah cenderung
lebih rendah dari harga pasar maka BULOG kesulitan untuk memenuhi
target pengadaan beras dari pasar domestik. Tampaknya perhitungan
ulang mengenai angka-angka dari setiap komponen tersebut perlu
disesuaikan.

Untuk memperbaiki kinerja produksi, perluasan lahan sawah sangat


diperlukan. Selain untuk mengganti lahan sawah yang terkonversi ke
penggunaan lain juga untuk menambah kapasitas produksi karena secara
empiris kontribusi pertumbuhan luas panen dalam pertumbuhan produksi
masih lebih tinggi daripada pertumbuhan produktivitas. Mengacu pada
ketersediaan sumberdaya lahan yang ada maka yang paling layak adalah
melakukan perluasan lahan sawah di Luar Pulau Jawa. Kesimpulan dari
FGD juga menyebutkan bahwa mekanisme operasi pasar perlu
disempurnakan. Operasi pasar perlu lebih antisipatif atas kemungkinan
kenaikan harga beras dan ditindak lanjuti lebih cepat dan lebih dini. Dalam
arti tidak perlu menunggu sampai kenaikan harga telah terjadi secara
significant karena ketika harga telah naik lazimnya sulit untuk turun ke
level semula.

Gula

Gula yang dikonsumsi sebagian besar penduduk Indonesia adalah


Gula Pasir yang dihasilkan dari usahatani tebu (sugar cane). Usahatani
tebu dapat dilakukan di lahan sawah maupun di lahan tegalan. Secara
empiris, produktivitas usahatani tebu maupun rendemennya lebih tinggi
pada usahatani tebut di lahan sawah. Secara geografis, produsen utama
tebu dan gula masih terdapat di Pulau Jawa. Di Luar Pulau Jawa,
kontributor terbesar adalah dari Provinsi Lampung dan Sulawesi Selatan.

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 85


Indonesia belum berswasembada Gula. Oleh karena itu, untuk
pemenuhan kebutuhan konsumsi maka dilakukan impor. Dalam konteks
ini, agar tidak berdampak negatif terhadap insentif petani tebu maka impor
dikhususkan untuk pemenuhan kebutuhan Industri; dalam arti tidak
dikendalikan agar tidak masuk ke pasar umum sehingga bersaing dengan
Gula Pasir produksi domestik.

Jika dibandingkan dengan produsen gula pasir negara lain (Kuba,


India, Brasil), produktivitas gula Indonesia lebih rendah. Hal ini
disebabkan produktivitas usahatani tebu di tingkat usahatani yang relatif,
rata-rata rendemen gula juga rendah, dan efisiensi pabrik gula juga relatif
rendah. Upaya untuk mendorong peningkatan produksi ditempuh melalui
ekstensifikasi usahatani tebu di lahan kering di Luar Pulau Jawa dan
peremajaan beberapa pabrik tebu di Pulau Jawa. Sejumlah perbaikan
dicapai namun masih jauh dari sasarannya.

Masalah di bidang pergulaan lebih banyak terkait dengan sangat


terbatasnya lahan yang tersedia dan efisiensi industri pergulaan yang
berkelinpung dan dengan masalah kelembagaan yang tidak mudah
dipecahkan. Sejumlah upaya untuk memangkas “rent seeking behaviour”
telah ditempuh namun perubahan ke arah perbaikan tidak dapat dicapai
dalam waktu yang pendek.

Di tingkat konsumen, persoalan yang terkait dengan harga gula


pasir tidaklah semenonjol instabilitas harga beras. Yang sering terjadi
adalah harga gula pasir mengalami kenaikan ketika menjelang hari-hari
besar keagamaan, terutama pada Bulan Ramadhan dan akhir tahun.
Hasil dari serangkaian FGD memperoleh kesimpulan bahwa untuk
memelihara/meningkatkan stabilitas harga gula di tingkat konsumen
adalah yang berkenaan dengan penetapan tingkat harga yang digunakan
sebagai acuan untuk membuka keran impor bagi industri gula rafinasi
seperti yang dilakukan selama ini. Kebijakan fundamental yang relevan

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 86


dan dirasakan urgensinya adalah untuk memperbaiki produktivitas dan
kapasitas produksi tebu dan gula hablur domestik.

Cabai Merah dan Bawang Merah


Cabai merah dan bawang merah diproduksi petani dari usahatani di
lahan sawah maupun di lahan tegalan. Berbeda dengan petani yang
mengusahakan komoditas tanaman pangan lainnya risiko yang dihadapi
petani cabai merah dan bawang merah lebih besar. Sumber risiko ada
dua yaitu risiko produksi dan risiko harga. Risiko produksi bersumber dari
faktor iklim dan serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) yaitu
serangga, jamur, ataupun bakteri yang merusak pertumbuhan vegetatif
dan atau pertumbuhan generatif tanaman. Risiko harga terkait dengan
jatuhnya harga jual hasil panen karena produksi yang melimpah atau
tersendatnya transportasi sehingga hasil panen di sentra produksi
menumpuk. Hal ini disebabkan bawang merah (terlebih-lebih cabai
merah) dalam bentuk sangat cepat rusak (membusuk) sehingga daya
simpannya rendah; sedangkan konsumsi terbesar konsumen adalah
dalam bentuk segar.
Teknologi budidaya cabai merah dan bawang merah lebih rumit
daripada teknologi budidaya tanaman pangan dari kelompok serealia dan
biji-bijian atau umbi-umbian. Selain itu, modal dan tenaga kerja yang
dibutuhkan juga jauh lebih banyak, terutama pada usahatani bawang
merah. Terkait dengan itu maka perluasan usahatani cabai merah dan
bawang merah biasanya cenderung terbatas pada wilayah sentra-sentra
produksi yang selama ini secara turun temurun telah berkembang.

Produksi cabai merah dan bawang merah di sentra-sentra produksi


biasanya melimpah pada menjelang akhir musim hujan. Di sawah, petani
menanam cabai merah dan bawang merah biasanya pada MT II yaitu
sesudah tanam padi. Untuk petani cabai merah dan bawang merah di
lahan kering (tegalan) petani mengusahakannya pada musim penghujan.

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 87


Sebaran sentra produksi cabai merah dan bawang merah cenderung
terkonsentrasi di wilayah yang curah hujannya termasuk kategori sedang
karena risikonya sangat tinggi jika diusahakan di wilayah yang curah
hujannya sangat tinggi atau yang beriklim kering.

Selama ini sentra-sentra produksi cabai merah adalah di Jawa


Timur, Jawa Tengah dan sebagian Jawa Barat, Sumatera Utara, dan
Sumatera Barat. Untuk Cabai Merah, sentra produksi utama adalah di
Jawa Tengah khususnya di Brebes, di Jawa Barat di Majalengka, dan di
Jawa Timur di kabupaten-kabupaten yang tercakup di Daerah Aliran
Sungai Brantas seperti Nganjuk, Kediri, Jombang, dan Mojokerto.

Terkait dengan karakteristik produknya yang cepat rusak, fluktuasi


produksi dan pasokan antar musim yang tajam, sentra-sentra produksi
yang kurang tersebar merata di berbagai wilayah, dan konsumsinya yang
didominasi dalam bentuk segar maka secara historis instabilitas harga
cabai merah dan bawang merah termasuk kategori sangat tinggi; dalam
arti lebih tinggi jika dibandingkan dengan komoditas pangan lainnya.

Upaya-upaya untuk menstabilkan harga sesungguhnya telah


ditempuh akan tetapi kendala yang dihadapi dalam pemecahan masalah
tersebut di atas belum efektif. Dari serangkaian hasil FGD diperoleh
kesimpulan bahwa untuk komoditas ini kebijakan yang harus ditempuh
adalah: (1) adanya penetapan tingkat harga yang tepat sebagai acuan
dalam menentukan impor, (2) adanya kebijakan harga yang dapat
mencegah jatuhnya harga pada saat panen raya, (3) adanya kebijakan
yang kondusif untuk mendorong ekspor ketika produksi mengalami
surplus, dan (4) adanya kebijakan insentif untuk mendorong
berkembangnya produksi cabai olahan dan bawang merah olahan yang
dibarengi dengan pengembangan pola konsumsi cabai merah dan
bawang merah olahan.

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 88


Daging Ayam
Daging ayam dihasilkan dari usaha ternak ayam yang untuk di
Indonesia terbagi dalam dua kategori: (i) ayam ras, dan (ii) ayam
kampung/ayam buras (bukan ras). Secara agregat, produksi dan
konsumsi daging ayam dihasilkan dari produksi ayam ras; baik yang
dihasilkan dari peternakan ayam broiler maupun ayam jantan dan ayam
afkir dari industri ternak ayam petelur. Struktur industri ayam ras terbagi
menjadi tiga kategori: (i) peternakan ayam skala besar, (ii) peternakan
ayam kemitraan, dan (iii) peternak skala kecil mandiri. Secara umum yang
terbanyak kontribusinya adalah kategori (ii) yang sistem pengelolaannya
adalah kemitraan antara peternak besar (yang merangkap penyedia
sarana produksi dan pemasaran hasil) dengan peternak plasma
(penyedia kandang, tenaga kerja budidaya ternak ayam).

Persoalan harga daging ayam mengemuka pada setahun terakhir,


dimana harga pada periode menjelang hari besar keagamaan mengalami
peningkatan yang jauh lebih besar daripada tahun-tahun sebelumnya.
Diduga, sesungguhnya kenaikan harga tersebut juga terkait dengan
melambungnya harga daging sapi pada periode yang sama.

Persoalan yang lebih mendasar sesungguhnya justru terletak di sisi


produksi, terutama yang berkenaan dengan insentif yang sangat rendah
yang dialami oleh peternak kecil mandiri. Hal ini terkait dengan harga
pakan yang peningkatannya significant, sementara itu harga jual hasil
produksinya tidak mengalami kenaikan yang berarti karena kenaikan
harga daging ayam di tingkat eceran ternyata tidak tertransmisikan
dengan baik ke harga ayam di tingkat peternak ayam skala kecil (farm
gate price).

Hasil FGD menyimpulkan bahwa cara pemecahan masalah atas


industri perunggasan tersebut membutuhkan penataan kelembagaan
yang intinya adalah bagaimana mendorong agar peternak skala besar

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 89


dapat bermain lebih banyak di pasar ekspor. Untuk peternak skala kecil
mandiri diperlukan adanya kebijakan yang memungkinkan
berkembangnya terobosan-terobosan yang dapat menekan biaya
pengadaan pakan melalui pemanfaatan sumberdaya lokal.

Minyak Goreng
Bagian terbesar dari produksi dan konsumsi domestik minyak
goreng adalah minyak goreng yang dihasilkan dari industri minyak goreng
berbahan baku Crude Palm Oil (CPO). Seiring dengan peningkatan
produksi CPO, ekspor CPO Indonesia ke pasar internasional maupun
pasokan CPO untuk industri minyak gorang domestik semakin tinggi dan
sebaliknya proporsi minyak goreng dari industri minyak goreng berbahan
baku kelapa makin kecil. Secara empiris, masalah yang dihadapi dalam
hal harga eceran minyak goreng tidaklah sebesar masalah yang dihadapi
pada harga komoditas pangan lainnya. Kenaikan harga minyak goreng
hanya terjadi pada periode-periode tertentu yang terkait dengan hari-hari
besar keagamaan dan periode ketika harga CPO di pasar internasional
mengalami kenaikan yang tajam.

Hasil FGD menyimpulkan bahwa kebijakan yang diperlukan untuk


memelihara agar kinerja harga minyak goreng di dalam negeri tetap stabil
adalah kebijakan tataniaga yang intinya adalah mengatur agar pasokan
CPO untuk industri minyak goreng domestik terjamin kecukupannya.
Untuk itu instrumen yang dapat dimainkan adalah pajak ekspor CPO dan
atau kuota.

Penetapan Kebijakan Harga Khusus


Kebijakan harga khusus yaitu kebijakan pengendalian harga yang
dilakukan pada waktu tertentu yaitu menjelang, saat dan setelah hari
besar keagamaan. Penetapan kebijakan harga ini dilakukan tidak
sepanjang tahun sehingga penetapan harga ini harus dapat diumumkan

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 90


secara luas agar masyarakat (konsumen) dapat menerima informasi
harga secara baik.

Hasil FGD menunjukkan bahwa pelaksanaan kebijakan harga


khusus perlu memperhatikan:

a. Masing-masing daerah memiliki karakteristik khusus baik dari sisi


produksi, konsumsi, maupun harga.

b. Biaya distribusi mempengaruhi harga komoditi di suatu daerah


sehingga harga komoditi di setiap daerah relatif berbeda.

c. Beberapa Pemerintah Daerah telah mengeluarkan kebijakan yang


mengatur perdagangan komoditi tertentu, contoh pada komoditi
Sapi di Provinsi Jawa Timur.

d. Penetapan kebijakan harga tidak dapat berjalan tunggal, tetapi


memerlukan kombinasi dengan kebijakan lain, atau setidaknya
perlu didukung dengan instrumen kebijakan non harga.

e. Selama ini konsumen belum sepenuhnya mendapatkan informasi


tingkat harga yang wajar. Informasi harga hanya dimiliki oleh
pedagang, sehingga harga yang terjadi tidak tertransmisikan
kepada konsumen maupun produsen.

Jika kebijakan harga khusus akan diimplementasikan maka


mekanisme implementasinya dapat dilakukan di tingkat pasar ritel
modern. Hal ini dikarenakan (i) harga di ritel modern lebih stabil, (ii)
memiliki ijin usaha yang sudah pasti sehingga memudahkan untuk
pengawasan dan (ii) lebih memudahkan dalam hal monitoring harga.

Jika kebijakan harga khusus ditetapkan di tingkat pasar tradisional,


ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu (i) harga di pasar
tradisional tercipta karena adanya tawar menawar antara pedagang dan
pembeli, (ii) pengawasan di pasar tradisional, khususnya untuk bahan

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 91


kebutuhan pokok akan terkendala karena pedagang di pasar tradisional
umumnya belum berijin sehingga sulit untuk menentukan sanksi jika
terjadi pelanggaran dalam hal menimbun stok atau memanfaatkan margin
serta (iii) harga di pasar tradisional cenderung lebih fluktuasi dibandingkan
harga di tingkat pasar ritel.

5.5. Tinjauan Kritis dari Aspek Kelembagaan dan Regulasi


Dalam menetapkan dan melaksanakan kebijakan harga, peran
institusi/kelembagaan sangat penting dalam rangka tercapai tujuan dari
kebijakan tersebut. Efektivitas suatu kebijakan ditentukan oleh
terpenuhinya persyaratan yang berkenaan dengan sasaran dan tujuan,
rancangan dan instrumen, serta infrastruktur pendukung
implementasinya. Dalam konteks stabilisasi harga pangan maka langkah
awal yang harus ditempuh adalah dengan memahami akar permasalahan
yang menyebabkan terjadinya instabilitas harga pangan.
Instabilitas harga merupakan outcomes dari interaksi pasokan dan
permintaan yang dinamis. Dinamika pasokan ditentukan oleh variasi
produksi dan pengadaan dari luar negeri (impor) serta kinerja sistem
logistik, sedangkan dinamika permintaan dipengaruhi oleh daya beli dan
pola konsumsi.

Variasi produksi mencakup variasi antar waktu maupun antar lokasi.


Variasi antar waktu disebabkan oleh variasi musiman produksi pertanian
(termasuk pangan) karena proses produksi sebagian besar produksi
pertanian (usahatani) sangat dipengaruhi oleh ketersediaan air yang
sifatnya musiman. Variasi antar lokasi merupakan implikasi dari
keragaman potensi sumberaya pertanian (lahan, air, sumberdaya
manusia), aplikasi teknologi, dan sosial budaya.

Pada sisi permintaan, perubahan volume yang diminta ditentukan


oleh respon konsumen atas perubahan harga, baik atas harga komoditas

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 92


itu sendiri (own price elasticity) ataupun harga komoditas substitusi serta
harga komoditas komplemennya. Dalam praktek, dinamika permintaan
juga ditentukan oleh pola konsumsi yang dipengaruhi oleh “selera”, daya
beli, dan nilai-nilai sosial budaya yang dianut. Hal ini tercermin dari
perilaku permintaan masyarakat pada momen-momen khusus di bidang
keagamaan seperti Ramadhan, hari-hari sekitar Natal dan Tahun Baru,
dan sebagainya.

Sasaran dan Tujuan


Sasaran kebijakan harga adalah terwujudnya tingkat harga yang
besarannya, variasinya, dan kecenderungan perubahannya sesuai
dengan harapan stakeholder yakni konsumen, pedagang, produsen, dan
pemerintah.

Oleh karena itu kebijakan stabilisasi harga dimaksudkan setidaknya


untuk tiga tujuan. Pertama, adalah untuk mengkondisikan agar variasi
harga berada dalam kisaran yang masih tetap kondusif bagi kepentingan
konsumen maupun tujuan produsen. Kedua, adalah untuk meminimalkan
dampak negatif instabilitas harga bagi produsen maupun konsumen,
terutama yang terkategorikan sebagai konsumen (rakyat) berpendapatan
rendah maupun produsen skala kecil yang dominan dalam perekonomian
suatu negara. Ketiga, agar tetap kondusif untuk pertumbuhan ekonomi.

Beberapa komoditas pangan adalah komoditas strategis. Meskipun


demikian, levelnya berbeda satu dengan yang lainnya. Syarat agar
kebijakan harga tepat sasaran dan tujuan maka harus disesuaikan
dengan posisi strategis komoditas yang bersangkutan. Posisi strategis
komoditas ditentukan oleh peranan komoditas tersebut dalam
perekonomian, dalam arti dari sudut pandang konsumen, produsen, dan
negara. Semakin tinggi posisi strategis suatu komoditas pangan maka
cakupan sasaran dan tujuan kebijakan harga akan semakin luas sehingga

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 93


lazimnya merupakan salah satu agenda kebijakan dengan skala prioritas
yang tinggi.

Bagi Indonesia urutan dari posisi strategis, beras adalah komoditas


pangan paling strategis, kemudian diikuti dengan jagung, kedele, daging
sapi, daging ayam, cabai merah, bawang merah, gula, minyak goreng,
dan terigu. Secara empiris sebenarnya yang paling strategis adalah beras
karena merupakan makanan makanan pokok sumber utama karbohidrat
untuk lebih dari 95% penduduk negeri ini.

Rancangan dan Instrumen Kebijakan


Secara empiris, kelembagaan ekonomi yang paling dominan dan
efisien dalam pendistribusian barang dan jasa adalah pasar. Dominan
karena pada saat ini hampir semua mekanisme pertukaran dan
pendistribusian hampir semua barang dan jasa yang dibutuhkan
konsumen terjadi melalui mekanisme jual beli. Sebagai lembaga untuk
mewujudkan pertukaran dan pendistribusian, pasar juga lebih efisien
karena biaya sosial yang ditanggung masyarakat pada umumnya lebih
rendah daripada kelembagaan lainnya.

Rancangan dan instrumen kebijakan stabilisasi harga pangan akan


efektif jika berbasis pada pemahaman komprehensif atas karakteristik
pasar untuk setiap jenis komoditas yang bersangkutan. Variasi temporal
dan variasi spatial harga komoditas pangan harus dapat digali penyebab
utamanya. Harus pula diingat pula bahwa makin terintegrasinya pasar
domestik dengan pasar global berimplikasi bahwa sumber instabilitas
tidak hanya berasal dari situasi dan kondisi di dalam negeri tetapi juga
dari pasar internasional. Dalam konteks ini, instabilitas harga minyak bumi
di pasar internasional seringkali menjadi salah satu pemicu instabilitas
harga pangan. Selebihnya, perlu pula disadari bahwa sebagai bagian
integral dari sistem perekonomian maka instabilitas harga pangan
dipengaruhi dan mempengaruhi inflasi.

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 94


Dalam pasar komoditas pangan, variasi temporal volume pasokan
biasanya lebih tajam daripada variasi temporal volume permintaan. Pola
pasokan pangan dipengaruhi pola produksi pangan yang sifatnya
musiman, sedangkan pola permintaan cenderung ajeg, meskipun pada
saat-saat tertentu (biasanya terkait dengan keagamaan/adat) mengalami
peningkatan. Oleh karena itu pada saat-saat tertentu terjadi kelebihan
penawaran yang menyebabkan harga turun atau sebaliknya kelebihan
permintaan sehingga harga naik.

Mengacu pada argumen di atas dapat disimpulkan bahwa secara


teoritis upaya untuk menstabilkan harga dapat ditempuh melalui
pemulusan (smoothing) pasokan agar fluktuasi volume permintaan dapat
diiukuti oleh fluktuasi pasokan. Ini dapat dilakukan dengan
mengembangkan sistem logistik (pengadaan, penyimpanan, pengeluaran
barang) yang tepat. Pengembangan sistem logistik yang tepat adalah
yang sinergis dengan kebijakan sistem pemasaran yang efisien dan adil.
Dalam konteks ini, upaya yang harus ditempuh adalah mengkondisikan
agar structure – conduct – performance pasar kondusif untuk
meningkatkan kesejahteraan konsumen maupun produsen.

Dalam praktek, pengembangan sistem logistik komoditas pangan


lebih rumit daripada komoditas lainnya. Hal ini disebabkan komoditas
pangan bersifat musiman, daya simpannya relatif rendah, dan cenderung
meruah (bulky) sehingga biaya pengangkutan dari produsen ke konsumen
menjadi lebih mahal. Untuk komoditas pangan yang sama, daya simpan
komoditas pangan di wilayah tropis juga cenderung lebih singkat daripada
di wilayah sub tropis karena iklim tropis lebih hangat dan lebih lembab
sehingga serangga maupun mikroba lebih banyak dan lebih cepat
berkembang. Kesemuanya itu menyebabkan biaya logistik per unit produk
pangan di negara yang terletak di wilayah tropika seperti halnya Indonesia
menjadi lebih mahal.

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 95


Infrastruktur Pendukung
Berdasarkan pengalaman selama ini, salah satu kelemahan yang
paling umum di Indonesia dalam sistem kebijakan dan implementasinya
terletak pada kelemahan infrastruktur pendukung. Lemahnya atau
terbatasnya infrastruktur pendukung menyebabkan implementasi
kebijakan cenderung dilaksanakan secara parsial dan kurang
terkoordinasi, penegakan aturan tidak berjalan optimal, dan insentif tidak
efektif untuk mendorong motivasi pelaku (stakeholder) dalam
menjalankan fungsinya.

Infrastruktur pendukung mencakup infrastruktur fisik maupun non


fisik. Infrastruktur fisik mencakup infrastruktur yang mendukung
kelancaran sistem transportasi dan komunikasi, infrastruktur
pergudangan/penyimpanan, infrastruktur fisik yang dibutuhkan untuk
mendukung penciptaan sistem keamanan pangan, dan lain sebagainya.
Infrastruktur fisik mencakup petunjuk teknis pelaksanaan (eksekusi)
kebijakan di lapangan, kelembagaan/ organisasi untuk mendukung sistem
produksi, pemasaran, dan sebagainya.

Mengacu pada kondisi empiris, permasalahan mendasar yang


dihadapi dalam mengembangan infrastruktur pendukung yang baik tidak
terlepas dari beberapa faktor. Pertama, struktur produksi pangan yang
didominasi oleh ratusan ribu bahkan jutaan pelaku produksi dengan skala
yang umumnya sangat kecil, beragam, dan terpencar-pencar. Kedua,
persebaran kantong-kantong konsumen yang tidak merata. Lebih dari
60% penduduk di Indonesia berlokasi di Pulau Jawa, sedangkan sisanya
terpencar-pencar di berbagai pulau di Luar Pulau Jawa. Selain itu, pada
saat ini lebih dari 50% penduduk Indonesia adalah penduduk perkotaan
yang notabene bukan merupakan wilayah pertanian pangan sehingga
infrastruktur pendukung untuk menyalurkan produksi pangan dari
pedesaan ke perkotaan merupakan masalah tersendiri yang makin berat

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 96


karena transportasi kurang lancar. Ketiga, struktur wilayah yang berupa
kepulauan yang mengakibatkan pembangunan sistem transportasi antar
wilayah menjadi lebih mahal.

Jika diringkaskan, masalah yang dihadapi dalam infrastruktur


pendukung implementasi kebijakan terletak pada kinerja konektivitas
antar wilayah yang masih rendah dan perkembangan antar sektor
perekonomian yang kurang terintegrasi. Hal tersebut menyebabkan aliran
barang dan jasa dari produsen ke konsumen menjadi tidak lancar dan
pada akhirnya menyebabkan margin pemasaran menjadi sangat tinggi
terutama untuk produk pangan yang dikonsumsi segar.

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 97


BAB VI
EVALUASI KEBIJAKAN HARGA PANGAN DI INDONESIA

Mengingat bahwa dampak negatif dari instabilitas harga pangan


terhadap perekonomian nasional sangat luas maka kebijakan stabilisasi
harga pangan telah dilakukan sejak Republik ini berdiri, bahkan sejak jaman
kolonial. Meskipun demikian, strategi dan instrumen kebijakannya mengalami
perubahan sesuai dengan sistem politik ekonomi yang diterapkan, sumber
utama instabilitas, dan dinamika lngkungan strategis. Secara umum, stabilitas
harga pangan di Indonesia masih berada dalam kisaran yang tidak merusak
sistem perekonomian makro, kecuali pada segmen-segmen waktu tertentu
yang terkait dengan instabilitas politik. Pembelajaran atas kebijakan harga
pangan pada periode-periode sebelumnya dapat memperkaya pemahaman
atas kebijakan harga pangan yang efektif. Meskipun demikian yang relevan
dengan situasi dan kondisi terkini tentu saja terbatas pada aspek-aspek
fundamental dan simpul-simpul kritis yang menyangkut sistem produksi,
pemasaran, dan pengaruh dinamika lingkungan strategis. Aspek-aspek teknis
dan kelembagaan yang sifatnya ad hoc kurang relevan karena situasi dan
kondisi serta masalah dan tantangan yang dihadapi berbeda. Oleh karena itu
evaluasi kebijakan harga pangan dalam kajian ini hanya akan
difokuskan pada simpul-simpul kritis yang dipandang relevan dengan situasi
dan kondisi saat ini dan jangka menengah ke depan. Kebijakan dan
implementasi kebijakan selalu melibatkan kelembagaan. Bahkan, kebijakan
itu sendiri pada dasarnya adalah bagian dari kelembagaan, karena dari sudut
pandang kelembagaan maka kebijakan itu sendiri adalah suatu “aturan
permainan” yang rancangannya dilakukan oleh lembaga yang mempunyai
legitimiasi untuk melakukannya (pemerintah).

Memperbandingkan kebijakan stabilisasi harga pangan antar periode


menunjukkan bahwa secara empiris kebijakan yang ditempuh pada periode

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 98


sebelum reformasi lebih efektif daripada pasca reformasi. Penyebabnya
terkait dengan aspek produksi, konsumsi per kapita, regim perdagangan dan
nilai tukar mata uang, dan peran lembaga penyangga stok pangan nasional.

Pada sisi produksi, data menunjukkan bahwa stabilitas pertumbuhan


produksi pangan sebelum reformasi relatif lebih stabil. Hal ini terkait dengan:
(a) pertumbuhan luas panen masih selalu positif dan alih fungsi lahan
pertanian ke non pertanian relatif kecil, (b) pertumbuhan produktivitas stabil
karena infrastruktur fisik terutama irigasi sangat baik dan secara empiris
tingkat produktivitas masih berada pada fase awal – tengah, (c) kebijakan
harga pupuk dan harga dasar gabah kondusif, (d) dukungan kelembagaan
produksi seperti kelompok tani, perkumpulan petani pemakai air (P3A), dan
kinerja koperasi (Koperasi Unit Desa – KUD) cukup baik, dan (e) peranan
sektor pertanian dalam struktur kesempatan kerja dan pendapatan
masyarakat pedesaan masih dominan (di atas 40%).

Pada saat itu konsumsi beras per kapita juga masih berada pada
kisaran antara 101 – 120 Kg per tahun. Hal ini terkait dengan: (a) masih
rendahnya rata-rata pendapatan per kapita golongan menengah ke bawah
(yang sampai saat ini elastisitas permintaannya untuk komoditas pangan
pokok terhadap pendapatan masih positif), (b) diversifikasi konsumsi pangan
ke sumber karbohidrat berbahan baku pangan lokal cukup berkembang.
Terkait dengan pendapatan per kapita tersebut, konsumsi komoditas pangan
non beras seperti gula, minyak goreng, daging sapi, daging ayam dan telur
juga masih berada pada level yang tercukupi oleh produksi dalam negeri.
Bahkan konsumsi terigu per kapita juga masih rendah karena berbagai
makanan jadi substitusi beras masih banyak yang berbahan baku komoditas
pangan lokal.

Salah satu faktor yang sangat berpengaruh pada stabilitas harga


pangan adalah bahwa pasca reformasi integrasi pasar domestik dengan
pasar internasional makin kuat. Sebelum reformasi, rezim perdagangan

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 99


Indonesia tidak seliberal sesudah reformasi. Rezim nilai tukar juga menganut
sistem peg, bukan sistem mengambang. Dengan didukung sistem politik
yang sentralistik dan tegas, rezim tersebut dapat dipertahankan sampai
seperempat abad. Kebijakan tersebut cukup ampuh untuk mendukung
stabilitas harga pangan namun tidak dapat dipertahankan karena
fundamental makro ekonomi nasional pada dasawarsa 90-an rapuh akibat
besarnya rasio hutang (debt ratio) dan surplus perdagangan yang makin
menurun seiring meningkatnya impor berbagai komoditas manufaktur
maupun barang modal.

Kemudian terjadilah perubahan yang dramatis. Dipicu oleh krisis


finansial, nilai tukar Rupiah terhadap US$ turun drastis sehingga beban
hutang menjadi makin berat. Bersamaan dengan itu, terjadi instabilitas politik
dan keamanan yang kemudian memicu timbulnya reformasi politik dan
ekonomi nasional. Berbagai perubahan yang cukup mendasar terjadi. Secara
umum, sejak reformasi rezim perdagangan yang dianut Indonesia cenderung
lebih liberal. Kontrol harga, terutama harga pangan pokok (beras, gula pasir,
minyak goreng, terigu) menjadi lebih longgar, terutama pada periode 1999 –
2004. Meskipun pada tahun-tahun berikutnya telah dilakukan koreksi atas
dampak negatif yang timbul akibat perubahan tersebut namun perilaku pasar
tidak sepenuhnya dapat dikendalikan pemerintah. Situasi dan kondisi
tersebut diperparah pula oleh kondisi harga energi di pasar internasional (dan
Indonesia telah menjadi net importir Bahan Bakar Minyak – BBM) yang
kurang stabil dan rezim nilai tukar yang diubah ke sistem mengambang.
Perubahan mendasar dalam regim perdagangan dan nilai tukar mata uang
tersebut secara teoritis lebih kondusif untuk mendukung sistem makro
ekonomi yang lebih sehat, namun secara empiris masih belum dapat
disimpulkan karena kinerja pasar domestik masih belum sepenuhnya dapat
memenuhi persyaratan untuk masuk ke pasar global.

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 100


Sebelum reformasi, peran lembaga penyangga kebijakan pangan yaitu
Badan Urusan Logistik (BULOG) sangat efektif. Pengadaan gabah dan beras
(dari impor maupun dari pengadaan dalam negeri) sesuai dengan target.
Operasi pasar efektif karena adanya dukungan sistem informasi sentralistik
yang efektif. Di sisi lain, perilaku pasar pangan di dalam negeri dapat
dikontrol dengan baik karena kebijakan dan strategi pemerintah dalam
menjaga stabilitas politik dan keamanan efektif.

Bersamaan dengan reformasi, tuntutan untuk mengubah peran BULOG


cukup deras. Ada dua faktor yang mendasarinya. Pertama, faktor politik.
Persepsi umum pada saat itu adalah bahwa BULOG ditengarai sebagai salah
satu Badan Usaha Milik Pemerintah yang dijadikan tempat untuk memupuk
dana politik partai penguasa (bukti atas dugaan tersebut sampai saat ini
kabur). Dengan latar belakang seperti itu timbul tuntutan agar manajemen
BULOG lebih terbuka. Kedua, faktor finansial/ekonomi. Terkait pula dengan
rekomendasi IMF, peran Badan Usaha Milik Negara (termasuk BULOG)
dituntut untuk menjadi Perum sehingga fungsinya sebagai “agent of
development” dikurangi dan fungsinya sebagai “Firm” ditingkatkan. Argumen
untuk mengubah menjadi Perum memperoleh legitimasi yang cukup kuat
karena: (i) secara de facto anggaran pemerintah sangat terbatas, dan (ii)
adanya tuntutan untuk memberikan peran swasta yang lebih besar dalam
ruang bisnis di bidang pangan.

Seiring dengan perubahan mendasar tersebut, peran BULOG sebagai


penyangga stok pangan nasional untuk menjaga stabilitas harga pangan
justru turun. Selain jumlah komoditas yang ditangani makin terbatas,
kemampuannya untuk melakukan pengadaan stok pangan juga relatif
menurun.

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 101


Simpul-simpul Kritis Kebijakan Stabilisasi Harga Pangan: Analisis
Kelembagaan

Berbagai hasil kajian menunjukkan bahwa kendatipun stabilitas harga


pangan pokok pada saat ini relatif stabil namun masih cukup rawan. Fluktuasi
harga yang cukup tajam masih sering terjadi dan kini cenderung makin sulit
dipastikan polanya. Lahirnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012
Tentang Pangan memang merupakan payung hukum untuk mengkondisikan
sistem pangan yang sesuai dengan visi dan misi bangsa ini. Sudah barang
tentu, pewujudannya merupakan perjalanan panjang yang memerlukan
komitmen politik dan ekonomi secara komprehensif, sistematis, dan konsisten
karena beberapa hal berikut.

Pertama, masalah yang dihadapi dalam sistem produksi makin


kompleks. Penyebabnya terkait dengan hal-hal berikut:

(a) Mengacu perkembangan yang terjadi hingga saat ini, selama


reformasi agraria tidak mengalami perubahan mendasar maka
struktur pertanian pangan Indonesia masih akan berada dalam
status quo yakni dominasi skala kecil dengan jumlah pelaku puluhan
juta, pengelolaannya tidak terkonsolidasi, dan lokasinya terpencar-
pencar. Seiring dengan meningkatnya kontribusi sektor non
pertanian dalam struktur kesempatan kerja dan pendapatan
nasional, peran relatif sub sektor pangan yang makin mengecil
berkelindan pula dengan fenomena terjadinya “aging farmer”.
(b) Meningkatnya risiko produksi pada usahatani tanaman pangan
akibat perubahan iklim. Berbagai studi telah menunjukkan bahwa
perubahan iklim nyata-nyata telah terjadi dan dampaknya terhadap
pertanian termasuk tanaman pangan adalah negatif dan sangat
nyata. Perubahan iklim menyebabkan risiko banjir maupun
kekeringan makin sering terjadi, lebih tajam, dan cenderung meluas.
Terkait dengan perubahan iklim, intensitas dan frekuensi El Nino

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 102


akan makin sering terjadi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa El
Nino menyebabkan pertumbuhan produksi padi turun sekitar 2.99%
dari rata-rata trend pertumbuhan normal (Sumaryanto et al, 2011).
(c) Kelembagaan sistem produksi yang lemah. Terkait dengan
penguasaan aset pertanian (lahan, ternak) sebagian besar petani
Indonesia yang skalanya sangat kecil, maka untuk mencukupi
kebutuhan hidupnya lebih dari 80% petani tanaman pangan
Indonesia tidak hanya menggantungkan nafkahnya dari usahatani.
Bahkan, lebih dari 30% rumah tangga petani tanaman pangan
gantungan nafkahnya tidak lagi dari usahataninya, tetapi dari
kegiatan sebagai buruh tani, buruh serabutan, pedagang kecil,
tukang ojek, dan berbagai jasa non pertanian lainnya.
(d) Integrasi cabang usahatani dengan industri pengolahan hasil
pertanian (agroindustri) yang lemah. Sampai saat ini, perkembangan
industri hasil pertanian belum mampu menjawab tantangan yang
dihadapi. Secara empiris, rantai pasok komoditas pangan masih
didominasi produk yang belum terolah, mutunya sangat beragam,
dan aliran pasokannya sangat fluktuatif. Upaya untuk meningkatkan
kinerja industri pengolahan dan sistem distribusinya tidak mudah
dilakukan karena kelembagaan yang kondusif untuk mendukung
integrasi produksi pertanian – industri pengolahan – distribusi
terkendala oleh biaya transaksi yang tinggi.
(e) Kebijakan yang tidak harmonis. Salah satu contoh paling konkrit
adalah kebijakan yang terkait dengan pengendalian alih fungsi lahan
pertanian. Seiring dengan pertumbuhan penduduk, pertumbuhan
sektor non pertanian, dan urbanisasi (proses transformasi desa –
kota) kebutuhan lahan untuk memenuhi kebutuhan pemukiman,
prasarana transportasi, pengembangan kawasan industri, dan
sebagainya meningkat pesat. Dalam kondisi demikian itu karena
implementasi kebijakan tata ruang tidak efektif dan implementasi

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 103


kebijakan ekonomi cenderung parsial maka kebijakan pengendalian
alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan lain menjadi tidak efektif.

Kedua, masalah yang dihadapi dalam sistem logistik. Sistem


logistik di Indonesia pada umumnya lemah karena unit-unit produksi
tidak terkonsolidasi. Pada sub sektor pangan upaya untuk
mengkonsolidasikan sistem pengelolaan terkendala oleh entitas
usahatani yang beragam, skalanya kecil-kecil, jumlah petaninya sangat
banyak, dan latar belakang sosial yang beragam.

Ketiga, masalah yang terkait dengan pengembangan kelembagaan


sistem pangan yang kurang solid, tidak fokus, dan cenderung parsial.
Pada saat ini Indonesia tengah menggodog kelembagaan pangan yang
diharapkan solid, fokus, dan komprehensif dalam rangka mendukung
terwujudnya ketahanan pangan sebagaimana diamanatkan dalam
Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Mengacu pada
Undang-undang tersebut, Pemerintah diberi amanat untuk membentuk
suatu Badan Pangan Nasional. Secara hierarkhis, lembaga tersebut
berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
Namun sampai saat ini lembaga tersebut belum terbentuk.

Secara garis besar terdapat lima fungsi yang dimiliki lembaga


tersebut: (1) fungsi perumusan kebijakan, (2) pelaksanaan dan
supervisi, (3) pemantauan dan evaluasi, (4) pengelolaan data dan
informasi pangan, (5) pembinaan dan pengawasan. Badan ini akan
mengkoordinasikan aktivitas Badan Usaha Milik Negara dari produksi,
pengadaan, penyimpanan, distribusi, dan stabilisasi harga pangan
pokok. Luasnya cakupan aspek permasalahan yang akan ditangani oleh
lembaga ini berimplikasi bahwa untuk membentuknya agar dapat
melaksanakan fungsinya dengan optimal maka perlu dirancang dengan
seksama, komprehensif, dan melibatkan pemangku kepentingan

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 104


(stakeholder) secara intensif. Berikut ini sejumlah analisis kritis yang
terkait dengan fungsi-fungsi tersebut di atas.

Fungsi Perumusan Kebijakan


Perumusan kebijakan pangan harus bersifat holistik karena sistem
pangan terdiri dari unsur-unsur pada sub sistem produksi, distribusi, dan
konsumsi secara terintegrasi dan saling mempengaruhi (interdependent).
Dalam tataran teori, rancang bangun kebijakan yang holistik tersebut tidaklah
sulit; namun dalam tataran empiris sangat rumit. Hal ini merupakan
konsekuensi logis dari fakta bahwa pada tataran empiris kepentingan dari
setiap stakeholder tidaklah selalu dapat dipertemukan dalam arena yang
sinergis. Di sisi lain, jika fakta tersebut diabaikan (diasumsikan dapat
diabaikan) maka efeknya akan muncul pada tataran implementasi. Sebagai
contoh, masalah yang muncul pada implementasi kebijakan subsidi harga
pupuk. Kebijaka pemerinta menyebutkan bahwa pupuk bersubsidi hanya
diarahkan untuk usahatani tanaman pangan (terutama padi), sedangkan
untuk usahatani tanaman perkebunan tidak disubsidi. Untuk itu, sistem
distribusi pupuk bersubsidi harus dilakukan dengan sistem tertutup melalui
Kelompok Tani dengan dukungan dokumen RDKK (Rencana Definitif
Kebutuhan Kelompok). Secara umum kebijakan ini dapat dieksekusi, namun
bukanlah berita baru bahwa sebagian dari pupuk bersubsidi tersebut
mengalir pula ke sektor non sasaran karena dperbedaan harga yang sangat
significant telah menciptakan insentif tersendiri bagi perdagangan gelap.
Contoh lain adalah yang terkait dengan distribusi beras untuk rakyat miskin
(RASKIN). Secara teori, rumah tangga kelompok miskin dapat dibedakan
dengan yang tidak miskin. Metode delineasi juga dapat dirumuskan dengan
memanfaatkan sejumlah indikator yang relevan dan terukur. Namun apa
yang terjadi? Dalam tataran empiris tidaklah mudah untuk membedakan
rumah tangga “miskin” dengan “hampir miskin”. Terdapat cukup banyak kritik
atas keterbatasan indikator yang relevan untuk melakukan delineasi. Selain

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 105


terkait dengan “time lag”, persoalan yang kadang-kadang muncul juga terkait
dengan kesesuaian sejumlah indikator dengan situasi masyarakat yang
kadang-kadang bersifat local specific. Selebihnya, implikasi dari paradigma
pemberian bantuan kepada penduduk miskin seperti yang dirancang awal itu
di banyak tempat justru menggerogoti kohesi sosial dari jaring pengaman
sosial yang semula telah terbentuk dalam masyarakat lokal. Secara tidak
disengaja, di beberapa tempat pemberian bantuan yang terfokus pada
kelompok tertentu (rumah tangga yang terkategorikan sebagai rumah tangga
miskin) menyebabkan terbelahnya rasa setia kawan antara penerima
bantuan dengan rumah tangga non penerima bantuan yang dalam ukuran
setempat mereka persepsikan layak menerima bantuan. Salah satu solusi
yang kemudian dilakukan oleh sebagian desa penerima bantuan adalah
“dibagi rata” ke semua rumah tangga yang menurut ukuran setempat
dipandang tidak benar-benar kaya.

Pembelajaran dari kasus-kasus di atas adalah bahwa dalam perumusan


kebijakan, eksistensi kelembagaan yang berlaku dalam masyarakat yang
seringkali beragam itu hendaknya diperhitungkan dengan seksama dalam
perumusan kebijakan Ostrom (2005). Pengabaian substansi permasalahan
tersebut bukan hanya mengakibatkan kebijakan tidak efektif, tetapi dapat
mendorong terbentuknya sikap masyarakat yang apatis atau bahkan
melecehkan aturan main yang dibentuk jika pengabaian tersebut dilakukan
berulang kali.

Mengingat pangan pokok merupakan komoditas strategis maka


kecermatan dalam perumusan kebijakan merupakan kewajiban yang tak
dapat ditawar-tawar. Perumusan kebijakan pangan harus didasarkan atas
pemahaman pada fenomena empiris secara akurat yang meliputi aspek-
aspek produksi, distribusi, konsumsi yang dimensinya tidak hanya yang dapat
diukur secara kuantitatif dari sudut pandang ekonomi semata, tetapi juga

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 106


berdasarkan kajian mendalam aspek kualitatif pada dimensi sosial
budaya/kelembagaan.

Prinsip berikutnya yang harus dipegang adalah bahwa kebijakan yang


terlampau banyak dan sering berubah menyebabkan biaya sosial
eksekusinya mahal dan tidak efektif. Untuk itu, harus dilakukan pembedaan
yang jelas antara diskresi dan kebijakan. Suatu kebijakan hendaknya
mempunyai time frame yang jelas dan rasional untuk diberlakukan di
lapangan. Model-model kebijakan yang dihasilkan dari pendekatan deduktif
teoritis tanpa dilandasi analisis atas data dan informasi yang dapat
menggambarkan kondisi obyektif di lapangan seyogyanya ditunda
peluncurannya sampai ada konfirmasi empiris berbasis data dan informasi
lapangan yang representatif.

Fungsi Pelaksanaan dan Supervisi


Perlu digaris bawahi bahwa fungsi ini sangat sensitif. Selama ini fungsi
pelaksanaan dan supervisi dalam kebijakan pangan pokok nasional telah
dilakukan oleh sejumlah lembaga di Kementerian Koordinator Perekonomian,
Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Keuangan,
dan Badan Urusan Logistik. Bahkan berbagai kementerian lain juga dilibatkan
(Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian
Kelautan dan Perikanan, dan sebagainya).

Pelaksanaan dan supervisi yang dilakukan oleh lembaga-lembaga


tersebut terkait dengan tugas fungsi kementerian yang bersangkutan yang
cakupannya lebih luas. Sebagai contoh, fungsi pelaksanaan dan supervisi
dalam kebijakan dan program peningkatan produksi pangan; di Kementerian
Pertanian merupakan tugas dari Direktorat Jenderal Tanaman Pangan yang
didukung oleh Direktorat-Direktorat Jenderal terkait lainnya. Untuk
kepentingan itu berbagai lembaga formal di lingkungan Direktorat Jenderal
telah dibentuk dan pengorganisasiannya juga telah disahkan berdasarkan

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 107


Undang-undang dan berkoordinasi dengan Kementerian Aparatur Negara.
Oleh karena itu, fungsi pelaksanaan dan supervisi yang akan dibebankan
kepada Badan Pangan Nasional ini harus dapat didefinisikan secara jelas
dengan semangat menghindari adanya tumpang tindih dengan lembaga-
lembaga formal yang telah ada. Hal ini terutama pada konteks “fungsi
pelaksanaan”. Batas yurisdiksi, aturan representasi, dan aspek-aspek yang
berkenaan dengan “property right” harus dapat didefinisikan secara jelas dan
operasional.

Fungsi Pemantauan dan Evaluasi


Seperti halnya pada fungsi Pelaksanaan dan Supervisi, fungsi
Pemantauan dan Evaluasi juga harus jelas cakupannya dan levelnya.
Penghindaran tumpang tindih perlu dilakukan semaksimal mungkin agar
koordinasi dengan pihak-pihak terkait efektif.

Fungsi Pengelolaan Data dan Informasi Pangan


Diantara lima fungsi pokok Badan Pangan Nasional, fungsi pengelolaan
data dan informasi pangan mungkin merupakan fungsi yang paling mudah
dirumuskan dan dirasakan urgensinya. Hal ini terkait dengan fakta bahwa
sampai saat ini pengelolaan data dan informasi pangan di negeri ini
cenderung dilakukan secara sektoral oleh lembaga-lembaga yang
bersangkutan. Koordinasi lazimnya dilakukan pada saat akan merumuskan
kebijakan, dan “kesepakatan” merupakan istilah yang seringkali harus
dipergunakan dalam memutuskan data yang akan diumumkan ke publik
karena hasil pendataan yang dilakukan oleh lembaga yang berbeda
menghasilkan data yang juga berbeda.

Salah satu fungsi penting dari lembaga ini dalam fungsi pengelolaan
data dan informasi pangan adalah dalam rangka menjembatani kesenjangan
data antara produksi dan konsumsi yang selama ini menjadi topik perdebatan
di kalangan akademisi yang tidak berujung. Sebagian pakar berpendapat

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 108


bahwa data produksi “over estimate” sedangkan pakar lainnya berpendapat
data tersebut “akurat”. Pada akhirnya yang dipergunakan untuk menalar
adalah “make sense” ataukah tidak; karena keduanya tidaklah mempunyai
data yang lengkap untuk membuktikan klaimnya.

Fungsi Pembinaan dan Pengawasan.


Fungsi ini tidak mudah diterjemahkan. Secara umum, fugsi pembinaan
dan pengawasan dalam pelaksanaan program-program pembangunan telah
dilaksanakan oleh Inspektorat Jenderal dan Badan Pemeriksa Keuangan.
Oleh karena itu definisi mengenai fungsi Pembinaan dan Pengawasan ini
harus diperjelas: internal Badan Pangan Nasional ataukah mencakup pula
lembaga-lembaga formal terkait lainnya?

Tabel 6.1. Lembaga/Institusi Yang Terkait Dalam Kebijakan Harga


Pangan di Indonesia

No Substansi/Aspek Lembaga yang terlibat Usulan

1 Fungsi perumusan Kementerian Pertanian, Dalam satu


kebijakan Kementerian Perdagangan, kementerian antar
Kementerian Perindustrian, fungsi pelaksana dan
Kementerian Kelautan & pemantauan harus
Perikanan terpisah supaya hasil
2 Fungsi pelaksanaan Kementerian Pertanian, pemantauan dan
dan supervisi Kementerian Perdagangan, evaluasi lebih
Kementerian Perindustrian, accountable.
Kementerian Kelautan &
Perikanan, Bulog
3 Fungsi pemantauan Kementerian Pertanian,
dan evaluasi Kementerian Perdagangan,
Kementerian Perindustrian,
Kementerian Kelautan &
Perikanan
Kemenko-Perekonomian
4 Fungsi pengelolaan Kementerian Pertanian,
data dan informasi Kementerian Perdagangan,
pangan Kementerian Perindustrian,
Kementerian Kelautan &
Perikanan,Bulog, BPS
5 Fungsi pembinaan KPPU, Inspektorat Jenderal &
dan pengawasan Badan Pemeriksa Keuangan

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 109


Kelembagaan yang dimaksud dalam kajian ini adalah dari aspek aturan
main. Aturan main yang sebaiknya dilakukan dalam pelaksanaan kebijaan
harga pangan. Sebelum melihat pada fokusnya yaitu aturan main maka
sebelumnya dilakukan pemetaan terlebih dahulu terhadap lembaga/institusi
yang saat ini berperan dalam kebijakan harga pangan, sebagaimana
disajikan pada Tabel 6.1

Pembelajaran dari literature review di beberapa Negara dan melakukan


banckmarking di Thailand mempunyai peran di dalam membuat pemetaan
institusi yang ada di Indonesia yang mempunyai peran dalam menjaga
kestabilan pasokan dan harga pangan. Berdasarkan pemetaan Tabel diatas,
maka dapat diusulkan lembag yang mendukung pangan yaitu lembaga yang
mempunyai fungsi yaitu (i) perumusan kebijakan, (ii) pelaksanaan dan
supervisi, (iii) pemantauan dan evaluasi, (iv) pengelolaan data dan informasi
pangan serta (v) pembinaan dan pengawasan.

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 110


BAB VII
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN

6.1. Kesimpulan
a. Dari 10 komoditas bahan kebutuhan pokok, kajian ini difokuskan
pada 6 komoditas yaitu beras, gula, daging ayam, cabai merah,
cabai rawit, dan minyak goreng.
b. Dalam sepuluh tahun terakhir harga eceran keenam komoditas
tersebut menunjukkan trend meningkat dan kurang stabil. Kebijakan
dan implementasi stabilisasi yang dilakukan selama ini belum efektif
mencapai sasarannya. Dari 6 komoditas yang dikaji, permasalahan
stabilitas harga ditingkat ecerannya relatif kecil adalah gula dan
minyak goreng
c. Mengacu pada karakteristik produksi dan struktur pasar komoditas
pangan pokok di dalam negeri, serta kebijakan pada masing-masing
komoditas, disimpulkan sebagai berikut:
1) Penetapan kebijakan harga pembelian pemerintah
Kebijakan harga ini dapat dilakukan pada komoditi yang strategis,
baik dilihat dari andil inflasi, pangsa pengelauran masyarakat
serta fluktuasi harga. Atas dasar tersebut komoditi yang tetap
menerapkan kebijakan pembelian pemerintah yaitu Beras dan
gula.
2) Penetapan kebijakan harga eceran tertinggi
Untuk menjaga stabilitas harga di tingkat konsumen maka perlu
dilakukan penetapan harga eceran tertinggi. Kebijakan ini perlu
disertai dengan operasi pasar. Komoditi yang mungkin dapat
diterapkan kebijakan harga ini yaitu beras, gula, dan minyak
goreng.
3) Harga acuan

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 111


Komoditi yang tetap diterapkan harga acuan yaitu bawang
merah, cabai merah sebagai acuan impor. Untuk komoditi
daging ayam dan telur ayam harga acuan dapat diterapkan
dengan tujuan untuk menjaga harga di tingkat peternak.
4) Kebijakan harga khusus dapat dilakukan pada semua komoditi
bahan kebutuhan pokok, namun penetapan tidak sepanjang
tahun tetapi hanya pada hari besar keagamaan nasional (HKBN).
d. Pembelajaran dari implementasi kebijakan harga yang selama ini
terjadi menunjukkan bahwa kurangefektifnya kebijakan tersebut
disebabkan oleh penegakan aturan (Law enforcement) yang rendah.
Hal ini terkait dengan belum efektifnya monitoring fenomena spekulasi
di bidang perdagangan pangan, kurangnya pendataan badan-badan
usaha yang bergerak di bidang perdagangan serta sistem
pengadministrasian yang belum efektif.

6.2. Rekomendasi Kebijakan


Berdasarkan kesimpulan kebijakan harga pada komoditi yang
menjadi fokus kajian, beberapa hal yang dapat dijadikan rekomendasi
kebijakan harga yaitu:
a. Kemungkinan implementasi kebijakan harga pada komoditi pangan
adalah sebagai berikut:
1) Kebijakan harga pembelian pemerintah
Pelaksanakan kebijakan ini perlu diikuti dengan adanya perbaikan
kinerja produksi, melalui:
(i) peningkatan luas panen & produktivitas
(ii) pengembangan sentra-sentra produksi di luar Jawa
(iii) minimalisasi resiko usaha tani padi
(iv) mengefektifkan kebijakan HPP & subsidi sarana produksi
dengan cara:

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 112


- Penetapan HPP dilakukan setiap awal musim tanam I dan
musim tanam II
- Besaran harga dikaji kemungkinan rayonisasi yang didasarkan
atas perbedaan varietas
- Melakukan penetapan HPP multikualitas (HPP gabah)
- Lembaga yang terlibat dalam penentuan HPP: Kemenko
perekonomian, Keuangan, Kemendag, Kementan dan Bulog
serta (jika sudah dibentuk) Badan Pangan Nasional
- Lembaga yang mengeksekusi yaitu kementerian teknis
(Kementan, Kemendag dan Bulog)
2) Kebijakan Harga Eceran Tertinggi
Kebijakan ini akan berjalan efektif, apabila:
(i) Memperbaiki Supply Chain Management (SCM), contoh pada
komoditi beras, dengan cara mengefektifkan peran gabungan
kelompok tani
(ii) Meningkatkan kemampuan Bulog dalam memupuk stok
pemerintah melalui pengadaan dalam negeri. Dalam kondisi
produksi dalam negeri tidak mencapai target dan efektivitas
HPP rendah maka kemungkinan untuk impor perlu dibuka.
(iii) Meningkatkan efektivitas operasi pasar dengan cara :
- Mekanisme penentuan waktu operasi pasar agar lebih
adaptif dan antisipatif terhadap situasi gejolak harga di pasar.
- Unsur pendukung yang diperlukan perbaikan kinerja sistem
monitoring harga.
- Penyempurnaan tepat jumlah dan tepat tempat
3) Kebijakan Harga Acuan
Pelaksanaan kebijakan harga acuan menjadi efektif bilamana:
(i) Penetapan harga telah mempertimbangkan harga ditingkat
produsen (struktur biaya produksi) dan harga ditingkat
konsumen.

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 113


(ii) Untuk melindungi konsumen, dalam kondisi khusus dimana
terjadi kekurangan pasokan yang ekstrim dimungkinkan
melakukan impor dengan mempertimbangkan tingkat harga
acuan sebagai indikatornya.
(iii) Perbaikan sistem monitoring harga dan pendayagunaannya
untuk pengawasan pelaksanaan kebijakan penetapan harga
tersebut.
4) Kebijakan Harga Khusus
Pelaksanaan kebijakan harga khusus dapat dilakukan melalui:
(i) Penetapan harga dilakukan pada tingkat pasar ritel modern
(ii) Penetapan harga dilakukan per wilayah berdasarkan masukan
dari Pemerintah Daerah sehingga lebih tepat sasaran.
(iii) Komoditi yang diatur maupun kebijakan harga yang diterapkan
perlu diumumkan kepada masyarakat luas. Hal ini dilakukan
agar kebijakan yang ditetapkan lebih transparan dan
mengurangi tindakan spekulasi dari pelaku pasar. Bentuk
sosialisasi tersebut dapat dilakukan melalui media seperti buku,
leaflet, televisi, radio atau internet
(iv) Kebijakan harga perlu didukung oleh mekanisme Controlling
dan Monitoring:

- Mekanisme controlling dapat dilakukan oleh (i) masyarakat


luas sehingga jika terjadi pelanggaran, masyarakat dapat
melakukan aduan melalui lembaga yang sudah ada, seperti
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), (ii) Dinas
pemerintah terkait dengan melakukan kontrol ke pasar secara
berkala serta (iii) mengefektifkan peran Penyidik Pegawai
Negeri Sipil (PPNS) yang mana selama ini perannya belum
pada barang kebutuhan pokok.

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 114


- Mekanisme monitoring dapat dilakukan oleh pemerintah pusat
dan pemerintah daerah. Monitoring tidakhanya dilakukan
pada harga tetapi juga stok. Monitoring dapat dilakukan
terhadap harga dan stok. Pelaksanaan monitoring di daerah
dapat dilakukan melalui dinas pemerintah setempat dan
berkoordinasi dengan tim pengendalian inflasi daerah (TPID).

b. Pembelajaran dari implementasi kebijakan harga yang selama ini


terjadi dimana masih lemahnya dalam hal penegakan aturan, maka
upaya yang dapat ditempuh adalah:
1) Monitoring kondisi spekulasi di bidang perdagangan pangan
2) Memperbaiki pendataan badan-badan usaha yang bergerak di
bidang perdagangan pangan, melalui:
- Merumuskan konsep tentang cakupan badan usaha yang perlu
didata
- Menyempurnakan mekanisme pendataan
- Meningkatkan kapasitas sumberdaya pendataan
3) Meningkatkan pendayagunaan hasil pendataan dan monitoring
tersebut diatas dalam mekanisme pengawasan pelaksanaan
aturan

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 115


DAFTAR PUSTAKA

Besanko, D dan Ronald. RBraeutigam. (2011). Macroeconomics. 4th Edition.


John Wiley & Sons, Inc.
Berry, A. and W. Cline. (1979). Agrarian Structure and Productivity in
Developing Countries. Baltimore and London: John Hopkins University
Press.
Binswanger, H. P. and M. R. Rosenzweig. (1986). Behavioral and Material
Determinants of Production Relations in Agriculture. The Journal of
Development Studies 22(3): 503 - 539.
Boussard. (1996). When risk generates chaos. Journal of Economic Behavior
and Organization 29, 433-446
Boussard J.M., Gerard F., Piketty M.G., Ayouz M. and Voituriez T. (2006).
Endogenous risk and long run effects of liberalization in a global
analysis framework. Economic Modelling, 23(3), 457-475.
Brahmbhatt, Milan & Christiaensen, Luc. (2008). “Rising Food Price in East
Asia: Challenges and Policy Options.
Byerlee, D., Jayne, T. S. and Myers, R. (2005). Managing Food Price Risks
and Instability in an Environment of Market Liberalization. World Bank,
Washington, DC.
Central Bank of Malaysia. (2011). Economic Development in 2010. Annual
Report 2010
Chavas, J. P. (2001). Structural Change in Agricultural Produstion:
Economics, Technology and Policy. In Gardner, B. L. and G. C. Rausser
(Eds), Handbook in Agricultural Economics. Amsterdam: Elsevier.
Cororaton, Caesar B. (2006). Philippine Rice and Rural Poverty: An Impact
Analysis of Market Reform Using CGE. International Food Policy
Research Institute (IFRI)
Galtier, F. (2009). How to Manage Food Price Instability in Developing
Countries. CIRAD, UMR MOISA, Montpellier F-34000. France
Galtier,F and Vindel, B. (2013). Managing Food Price Instability In
Developing Countries. A Critical Analysis of Strategies and Instruments
. Cirad. France.
Fan. S.. C. Chan-Kang. (2003). Is Small Beautiful? Farm Size. Productivity
and Poverty in Asian Agriculture. Paper to be presented at the 2003
International Association of Agricultural Economists. Durban.

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 116


Hall, B. F. and P. Le Veen. (1978). Farm Size and Economic Efficiency: The
Case of California. American Journal of Agricultural Economics 60(4):
589 - 600.
Hayami, Y. (1998). The Peasant in Economic Modernization. In Eicher, C. K.
and J.M. Staatz (Eds). International Agricultural Development.
Baltimore and London: John Hopkins University Press.
Huvio, T., J. Kola, and T. Lundström. (2004). Small-Scale Farmers in
Liberalised Trade Environment. Proceeding of the Seminar on October
2004 in Haiko Finland. Publication No. 38 Agricultural Policy,
Department of Economics and Management, University of Helsinki,
Helsinki.
Ilham, Nyak. (2006). Efektivitas Kebijakan Harga Pangan Terhadap
Ketahanan Pangan dan Dampaknya Pada Stabilitas Ekonomi Makro.
Disertasi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Islam, Nurul & Thomas, Saji. (1996). “Foodgrain Price Stabilization in
Developing Countries, “Food Policy Review 3, International Food Policy
Research Institute (IFRI).
Kumbhakar, S. C. (1993). Short run Returns to Scale, Farm-Size and
Economic Efficiency. The Review of Economics and Statistics 75 (2):
336 - 341.
Narayanan, S. and A. Gulati. (2002). Globalization and the smallholders: a
review of issues, approaches and implications. Markets and Structural
Studies Division 50, International Food Policy Research Institute
(IFPRI). Washinton, D.C: IFPRI.
Ngare, L. , F. Simtowe and J. Massingue. (2014). Analysis o Price Volatility
and Implications for Price Stabilization Policies in Mozambique.
European Journal of Business and Management Vol.6 No 22, 2014.
Page 160-173
Pasaribu, B. (2009). Peran Perlindungan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan Menunjang Tata Ruang dan Kedaulatan Pangan. Bahan
Presentasi yang disampaikan pada Lokakarya Pembaruan Agraria
Pertanian Nasional pada 3 September 2009 di Jakarta.
PSEKP. (2008). Konsorsium Penelitian Karakteristik Sosial Ekonomi Petani
pada Berbagai tipe Agroekosistem. Laporan Penelitian. Pusat Analisis
Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSEKP), Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.
Ostrom, Elinor. (2005). Understanding Institutional Diversity. Princeton, NJ;
Princeton University Press.

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 117


Ostrom, Elinor. (2010). Beyond Markets and States: Polycentric Government
of Complex Economic Systems. American Economic Review 100 (June
2010): 1 – 33.
Ostrom, Elinor. (2011). Background on the Institutional Analysis and
Development Framework. The Policy Studies Journal, Vol. 39, No. 1,
2011: 7 – 27.
Sawit, M. H. (2007). Liberalisasi Pangan: Ambisi dan Reaksi Dalam Putaran
Doha WTO. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Sawit, M. H. (2008). Perubahan Perdagangan Pangan Global dan Putaran
Doha WTO: Implikasi Buat Indonesia. Analisis Kebijakan Pertanian,
Vol. 3, No. 6, September 2008: 199 - 221.
Sen, A. (1962). An Aspect of Indian Agriculture. Economic Weekly February:
243 - 246.
Shariff, N., Ahmad dan Rosnelim Yusoff. (2013). Enhancing Consumer
Protection Via Price Control in Malaysia. 4th International Conference
on Business and Economic Research. Proceeding
Sudaryanto, T., and Sumaryanto. (2008). Changing Household Income in
Rural Indonesia: 1995 - 2007. Paper presented at the 6th Asian
Association of Agricultural Economist International Conference: Asian
Economy Renaissance: What is in It for Agriculture?. Manila,
Philipinnes, 28 - 20 August, 2008.
Sudaryanto, T., S.H. Susilowati, and Sumaryanto. (2009). Increasing Trend
of Small Farms in Indonesia: Causes and Consequences. Paper
presented at the 111th EAAE - IAAE Seminar " Small Farms:
Persistence or Declined?". University of Kent, Canterbury, UK, 25 - 26
June, 2009.
Sugiyono. (2008). Memahami Penelitian Kualitatif. CV ALFABETA.
Bandung: hlm. 30
Sukirno, S. 2008. Mikro Ekonomi Teori Pengantar. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada.
Thuraisingham, Indrani. (2010). Price Control and Monitoring in Developing
Countries. Consumers International Regional Officer for Asia Pacific and
the Middle East.
Tomek and Robinson. (1990). Agricultural Product Prices. Second Edition
Ithaca. Cornell University Press.
Torero, M. and A. Gulati. (2004). Conecting Small Holder to Markets: Role of
Infrastrucure and Institutions. Policy Brief, International Food Policy
Reserach Institute (IFPR). Washington, DC.

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 118


von Braun, J. (2004). Small-Scale Farmers in Liberalised Trade
Environment. In Huvio, T., J. Kola, and T. Lundström (Eds.). Small-
Scale Farmers in Liberalised Trade Environment. Proceeding of the
Seminar on October 2004 in Haiko Finland. Publication No. 38
Agricultural Policy, Department of Economics and Management,
University of Helsinki, Helsinki.
Yotopoulos, P. A. and L. J. Lau. (1973). A test for relatif economic efficisncy:
Some Further Results. The American Economic Review 63(1): 214 -
223

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 119


LAMPIRAN

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 120


Lampiran 1. Kebijakan Harga Komoditi Pangan (Beras, Gula, Minyak
Goreng, Daging Ayam, Cabai Merah dan Bawang Merah)

Komoditi Peraturan Keterangan

Kebijakan harga yaitu penentuan harga pembelian


a. Inpres No 5 Tahun 2015 tentang Kebijakan Pengadaan
Beras
Gabah/Beras dan Penyaluran beras oleh Pemerintah
pemerintah ( HPP)
b. Permendag No 04/M-DAG/PER/1/2012 - untuk pengendalian gejolak harga melalui operasi
tentang penggunaan cadangan beras pemerintah pasar, jika harga masih bergejolak menteri
(CBP) untuk stabilisasi harga menetapkan kebijakan lain
- Kementerian Perdagangan dan Bulog

Komoditi Peraturan Keterangan

Peraturan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No


527/2004 tentang ketentuan impor gula - Penentuan harga gula kristal
putih (GKP) di tingkat petani
didasarkan hasil rapat
koordinasi antar
instansi/lembaga & asosiasi
terkait.
'- impor GKP hanya dapat
dillakukan oleh impor gula yang
terdaftar memiliki IT

Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 18/M- Penetapan HPP berdasarkan


DAG/PER/4/2007 (Perubahan IV) Regulasi Rp 4.900/kg

Gula Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 19/M- Penetapan HPP berdasarkan


DAG/PER/5/2008 (Perubahan V) Regulasi Rp 5.000/kg
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 11/M- Penetapan HPP berdasarkan
DAG/PER/5/2011 Regulasi Rp 7.000/kg
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 28/M- Penetapan HPP berdasarkan
DAG/PER/5/2012 Regulasi Rp 8.100/kg
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 27/M- Penetapan HPP berdasarkan
DAG/PER/6/2013 Regulasi Rp 8.100/kg
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 25/M- Penetapan HPP berdasarkan
DAG/PER/5/2014 Regulasi Rp 8.250/kg
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 45/M- Penetapan HPP berdasarkan
DAG/PER/8/2014 Regulasi Rp 8.500/kg
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 35/M- Penetapan HPP berdasarkan
DAG/PER/5/2015 Regulasi Rp 8.900/kg
- Relatif fluktuatif dan cenderung
Minyak Goreng Belum ada naik, terutama minyak goreng
curah

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 121


Lampiran 1. Lanjutan

Komoditi Peraturan Keterangan


Daging Ayam Belum ada - Harga berfluktuasi terutama menjelang
puasa dan lebaran
- Harga ditingkat peternak relatif kecil
dibandingkan biaya produksinya
Bawang Merah - Permendag No 47/M-DAG/PER/8/2013 jo - Penetapan harga referensi (berlaku sejak
Permendag No 16/M-DAG/PER/4/2013 3 Oktober 2013) sebagai acuan pengelolaan
Cabai Merah - Keputusan Dirjen Perdagangan Dalam Negeri (PDN) impor
Kep Dirjen PDN No 118/PDN/KEP 10/2013 - Harga ditingkat eceran cukup fluktuatif dan
cenderung naik menjelang dan selama hari
besar keagamaan nasional (Terutama
Ramadhan & Idul Fitri)

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 122


Lampiran 2. Matrik Hasil Diskusi Di Daerah

Surabaya

No Indikator BI Akademisi Pemerintah


Daerah
1 Pandangan tentang a. Kebijakan harga Kontrak harga Kontrol harga
Pelaksanaan Dasar dapat dilakukan dapat dilakukan
Kebijakan Harga menyebabkan selama ada jika ada
Pangan harga menjadi intervensi dari pengawasan
lebih tinggi pemerintah serta aturan yang
(contoh jelas
penetapan HPP).
b. Perlu lembaga
pengawas setelah
kebijakan harga di
tetapkan.
2 Syarat Penetapan Dapat dilihat dari: Penetapan Perlu ada
Kebijakan harga a. Komoditi kebijakan harga lembaga
Pangan (dpt/tidak disertai dengan intervensi
disimpan) intervensi semacam Bulog
b. Institusi/lembaga pemerintah yang dapat
pengawas mengontrol dan
mengawasi
dilapangan,
termasuk di
daerah
3 Mekanisme Memperkuat a. Control harga Perlu digalakkan
Pelaksanaan yang koordinasi antar sebaiknya kembali semacam
diusulkan instansi dan wilayah dilaksana secara sistem informasi
yang surplus dengan sentralisasi perdagangan
wilayah defisit b. Butuh dukungan antar pulau untuk
dana yang mengetahui
memadai informasi
komoditi
(pasokan, stock
dan harga) dalam
mendukung
kebijakan harga
pangan
3 Komoditi yang Beras, gula, kedelai Beras, gula, kedelai Beras, gula,
diusulkan dan daging ayam dan jagung kedelai dan
daging ayam,
cabai
4 Kelembagaan a. Koordinasi harus a. Ada institusi dan a. Sanksi hukum

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 123


Pendukung kuat aturan dan aturan
b. Pendataan yang b. Aturan harus yang melekat
akurat melekat pada pada satu
c. Institusi yang satu institusi institusi
berwenang c. Sanksi hukum
5 Perangkat Regulasi Perlu ada aturan a. Institusi Perlu suatu
yang diperlukan yang lebih b. Aturan main aturan seperti
dalam implementatif dari sehingga ada sistem informasi
implementasi UU pangan dan UU sanksi hukum perdagangan
kebijakan harga perdagangan. antar pulau
pangan (HD & HET) Meski sudah ada sehingga dapat
Perpres No 71/2015 informasi
tentang penetapan mengenai
bahan kebutuhan komoditi
pokok dan barang
penting namun
pelaksanaannya
masih belum
implementatif.
Sumber: Hasil Diskusi di Daerah

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 124


Lampiran 2. Lanjutan.

Yogyakarta

No Indikator BI Akademisi Pemerintah


Daerah
1 Pandangan tentang Diperlukan Kebijakan pangan di Perlu diketahui
Pelaksanaan kebijakan Indonesia perlu profil komoditinya
Kebijakan Harga pemerintah berupa fokus pada terlebih dahulu.
Pangan(HD & HET) instrumen. peningkatan Pemerintah pusat
menyusun aturan
Kebijakan tidak produksi dan
atau pedoman
hanya menetapkan menjaga stabilitas yang dijadikan
besaran harga harga. sebagai panduan
namun perlu juga bagi pemerintah
diatur dengan jelas daerah untuk
bagaimana menetukan harga
implementasi serta eceran tertinggi
pengawasannya di dan terendah
daerah
2 Syarat Penetapan a. Perlu ada Dapat terlaksana Perlu penentuan
Kebijakan harga koordinasi jika ada kebijakan yang berbeda
Pangan (HET dan pemerintah pusat pendukung lain tergantung pada
HD) dan daerah. seperti buffer stock wilayah serta perlu
cukup dana untuk
b. Perlu koordinasi dan resi gudang
menjaga stabilitas
antara wilayah harga
sentra produksi
dan konsumsi.

3 Mekanisme Perlu adanya Perlu dukungan


Pelaksanaan yang kontrol sehingga kuat dari asosiasi
diusulkan kebijakan berjalan seperti pada produk
lebih efektif
farmasi dan rokok.

3 Komoditi yang cabe merah, beras, cabe merah, beras, beras, gula,
diusulkan bawang, daging bawang, daging minyak goreng
ayam, dan telur ayam, dan telur
ayam ayam

4 Kelembagaan Membangun
Pendukung kelembagaan
pangan yang dapat
berperan menjaga
stabiitas harga

5 Perangkat Regulasi Road Map Operasi Pasar,

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 125


yang diperlukan Pengendalian dengan Bulog
dalam implementasi harga sebagai buffer
kebijakan harga stock, kebijakan
pangan (HD & HET)
fiskal melalui
penyesuaian tariff
secara selektif,
kebijakan
pengaturan waktu
impor bahan
pangan pokok,
kebijakan efisiensi
biaya distribusi dan
logistic, dan
kebijakan insentif
bagi produsen
bahan pangan
pokok.

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 126


Lampiran 2. Lanjutan.

Sumatera Barat

No Indikator BI Akademisi Pemerintah


Daerah
1 Pandangan tentang Diperlukan Kebijakan pangan Pemerintah
Pelaksanaan instrument di Indonesia perlu daerah sangat
Kebijakan Harga kebijakan yang fokus pada mendukung
Pangan(HD & HET) aplikatif. Kebijakan peningkatan rencana
tidak hanya produksi dan pemerintah pusat
mengenai besaran menjaga stabilitas dalam
harga yang harga. menerapkan
ditetapkan namun kebijakan harga
perlu juga diatur bahan pokok
dengan jelas mengingat tingkat
bagaimana inflasi di provinsi
implementasi serta Sumbar cukup
pengawasannya di tinggi
daerah
2 Syarat Penetapan Informasi dan data Dapat terlaksana Perlu penentuan
Kebijakan harga produksi dan jika ada kebijakan yang berbeda
Pangan (HET dan konsumsi harus pendukung lain tergantung pada
HD) jelas. seperti buffer stock wilayah.
Data ekspor-impor dan resi gudang
antar provinsi juga
penting .

3 Mekanisme Perlu adanya Perlu koordinasi


Pelaksanaan yang kontrol sehingga dan pembagian
diusulkan kebijakan berjalan peran yang jelas
lebih efektif antara pemerintah
pusat dan daerah
dalam penerapan
HET dan HD.
Pemerintah harus
memiliki peran
yang lebih besar
karena
bersinggungan
langsung
3 Komoditi yang Beras, cabe merah, Beras, cabe merah, Beras, cabe,
diusulkan bawang merah, daging ayam, telur daging ayam, telur
daging ayam, telur ayam ayam
ayam, tongkol

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 127


4 Kelembagaan a. Gudang Inflasi a. Perlu adanya
Pendukung memiliki peran pusat informasi
yang serupa yang berfungsi
dengan pasar meng-asimetri-
inpres kan informasi
b. Pusat Informasi antara
Harga Pangan produsen dan
Strategis yang konsumen.
berfungsi b. Perlu dikaji
tentang peran
buffer stock dan
resi gudang
sebagai sarana
pendukung
kebijakan
5 Perangkat Regulasi Road Map Perlu kejelasan
yang diperlukan Pengendalian peran Pemda dan
dalam harga dalam
implementasi pelaksanaannya
kebijakan harga didukung oleh
pangan (HD & HET) Perda.

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 128


Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 129

Anda mungkin juga menyukai