Anda di halaman 1dari 3

UCAPAN SALAM

Pertanyaan.

Apakah setiap kali bertemu, sebagai kaum muslimin wajib


megucapkan salam? Tolong diperjelas!

Jawaban.

Hukum mengucapkan salam ketika bertemu


adalah mustahab/sunnah. Hal ini ditunjukkan oleh banyak
hadits shahîh, antara lain:

‫ي املنمسعلنم عخميرر عقال ع هتمطنعهم‬ ‫سلاعم أع ي‬


‫صالى ا ه ععلعمينه عو ع‬ ‫سأ عل ع الاننباي ع‬
‫ضعي ا ه ععمنههما أعان عرهجلل ع‬ ‫ععمن ععمبند ا‬
‫ان مبنن ععممررو عر ن‬
‫ت عوعممن علمم عتمعنر م‬
‫ف‬ ‫سعلعم عععلى عممن عععرمف ع‬ ‫الاطععاعم عوعتمقعرأ ه ال ا‬

Dari ‘Abdullah bin ’Amr Radhiyallahu anhuma , bahwa seorang


lelaki bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
“Manakah Islam yang terbaik?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjawab: “Engkau memberi makan dan mengucapkan
salam kepada orang yang engkau kenal dan orang yang tidak
engkau kenal”.[1]

Adapun menjawab salam adalah wajib, karena diperintahkan oleh


Allah Ta’ala dalam firman-Nya:

‫سعن نممنعها أعمو هريدوعها ۗ إنان ا ع‬


‫ا عكاعن عععلىى هكل ي ع‬
‫شميرء عحنسيلبا‬ ‫عوإنعذا هحيييهتمم نبعتنحايرة عفعحييوا نبأ عمح ع‬

Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu (salam)


penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang
lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan
yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungkan segala
sesuatu. [an-Nisâ`/4:86].
Imam Nawawi rahimahullah berkata: “Ketahuilah, bahwasanya
memulai salam adalah Sunnah, mustahab (disukai), tidak wajib.
Yaitu Sunnah kifayah. Jika yang memberi salam itu sekelompok
orang, ucapan salam satu dari mereka sudah mencukupi, jika
mereka semua mengucapkan salam, itu lebih utama”.[2]

Beliau juga berkata: “Adapun menjawab salam, jika yang diberi


salam itu satu orang, maka ia wajib menjawab. Jika mereka
sekelompok orang, maka menjawab salam itu fardhu kifayah.
Jika satu dari mereka sudah menjawab, yang lain tidak berdosa.
Jika mereka semua meninggalkannya (yakni tidak menjawab),
mereka semua berdosa. Jika mereka semua membalas salam,
maka itu puncak kesempurnaan dan keutamaan”.[3]

Hal ini dikecualikan para ahli bid’ah atau pelaku maksiat terang-
terangan yang dihukum dengan hajr (pemboikotan), maka tidak
diucapkan salam kepadanya dan salamnya tidak dijawab. Tetapi
penerapan metode hajr salam ini
menimbang mashlahat dan madharat sebagaimana dijelaskan
oleh para ulama.[4]

Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Jika


seseorang menampakkan kemungkaran-kemungkaran, ia wajib
diingkari dengan terang-terangan, dan tidak
berdosa ghibah terhadapnya. Dan dia wajib dihukum secara
terang-terangan dengan perkara yang menghentikannya dari hal
itu, dengan hajr (pemboikotan) atau selainnya. Maka kepadanya
tidak diucapkan salam dan salam darinya tidak dijawab, jika
pelaku hajr itu mampu melakukannya dengan tanpa menimbulkan
kerusakan yang lebih besar”.[5] Sehingga bukan sebagaimana
yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak memiliki ilmu dan
hikmah, mereka menuduh orang lain sebagai ahli bid’ah –padahal
tidak ada bid’ah padanya- kemudian menghajrnya dengan salam
atau lainnya.

Wallahul-Musta’an.

Anda mungkin juga menyukai