Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Secara harafiah korupsi merupakan sesuatu yang busuk, jahat, dan merusak. Jika
membicarakan tentang korupsi memang akan menemukan kenyataan semacam itu karena
korupsi menyangkut segi-segi moral, sifat dan keadaan yang busuk, jabatan dalam instansi
atau aparatur pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena pemberian,
faktor ekonomi dan politik, serta penempatan keluarga atau golongan ke dalam kedinasan
di bawah kekuasaan jabatannya. Seperti yang di kutip dalam kamus hukum, yang
dimaksud corruptie adalah korupsi, perbuatan curang, tindak pidana yang merugikan
keuangan negara.
Korupsi mengakibatkan turunnya disiplin sosial, karena uang suap itu tidak hanya
memperlancar prosedur administrasi, tetapi biasanya juga berakibat adanya kesengajaan
untuk memperlambat proses administrasi agar dengan demikian dapat menerima uang
suap. Disamping itu, pelaksanaan rencana-rencana pembangunan yang sudah diputuskan,
dipersulit atau diperlambat karena alasanalasan yang sama.
Korupsi merupakan kejahatan luar biasa karena telah merusak, tidak hanya keuangan
negara namun juga meruntuhkan pilar-pilar sosio budaya, moral, politik dan tatanan hukum
dan keamanan nasional. Berkaitan dengan hal itu, maka muncul wacana untuk
penghapusan remisi terhadap narapidana korupsi. Penulis membatasi masalah dalam
penulisan skripsi ini tentang tujuan penghapusan remisi bagi narapidana korupsi, apakah
sudah sesuai dengan aturan hukum yang ada atau bertentangan dengan hak asasi
manusia. Dari hasil penelitian ini, penghapusan remisi terhadap narapidana korupsi tidak
sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang No.12 Tahun 1995 tentang
pemasyarakatan, khususnya dalam Pasal 14 ayat (1) huruf i disebutkan bahwa:
“Narapidana berhak mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi).
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah sistem pemidanaan tindak pidana korupsi di Indonesia?
2. Bagaimanakah pelaksanaan hak remisi narapidana tindak pidana korupsi di
Indonesia?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui bagaimanakah sistem pemidanaan tindak pidana korupsi di
Indonesia.
2. Untuk mengetahui bagaimanakah pelaksanaan hak remisi narapidana tindak pidana
korupsi di Indonesia.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Remisi
Remisi atau pengurangan masa pidana merupakan hak setiap narapidana atau
terpidana yang menjalani pidana hari kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas),
yang diatur dalam Kepres No. 69 Tahun 1999 tentang Pengurangan Masa Pidana (Remisi)
jo PP No. 28 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun
1999 tentang Syarat dan Tatacara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan yang
telah diubah melalui PP No. 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas PP No. 32
tahun 1999.
Remisi dalam sistem pemasyarakatan diartikan sebagai potongan hukuman bagi
warga binaan setelah memenuhi persyaratan tertentu yang telah ditetapkan. Pemberian
remisi terhadap para koruptor menuai banyak pendapat dan kritikan. Pemberian remisi
terhadap koruptor dinilai merupakan suatu tindakan yang tidak wajar dan tidak patut untuk
diberikan. Mengingat bahwa apa yang telah dilakukan terhadap negara dan telah
mengambil hak rakyat. Banyak pihak yang setuju dengan penghapusan remisi terhadap
koruptor dan tidak sedikit pula yang menentang hal itu.

B. Jenis-Jenis Remisi
Jenis remisi sebagaimana diatur dalam “Rancangan Peraturan Pemerintah Tentang Syarat
dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan” yang saat ini sudah
dipersiapkan oleh Pemerintah, yaitu:
a. Remisi Umum, yaitu remisi yang diberikan kepada Narapidana dan Anak pada hari
peringatan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus (Pasal 32
ayat (1) huruf a juncto Pasal 33).
b. Remisi Khusus, yaitu Remisi yang diberikan kepada Narapidana dan Anak pada hari
besar keagamaan yang dianut oleh Narapidana dan Anak yang bersangkutan (Pasal
32 ayat (1) huruf b juncto Pasal 39 ayat 1).
c. Remisi Tambahan, yaitu Remisi yang diberikan kepada Narapidana dan Anak yang
selama menjalani pidana telah memenuhi syarat:
1) Berbuat jasa kepada Negara.
2) Melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi negara atau kemanusiaan; atau
3) Melakukan perbuatan yang membantu kegiatan pembinaan (Pasal 32 ayat (2)
juncto Pasal 43).
d. Remisi Kemanusiaan, yaitu Remisi yang diberikan kepada:
1) Narapidana yang berusia di atas 70 tahun pada Hari Lanjut Usia Nasional.
2) Anak pada Hari Anak Nasional; dan
3) Narapidana dan Anak yang menderita sakit berkepanjangan atau permanen pada
Hari Kesehatan Dunia (Pasal 46).
e. Remisi Dasa Warsa, yaitu Remisi yang diberikan setiap 10 tahun sekali hari peringatan
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus. Adapun besaran
Remisi dasawarsa adalah 1/12 dari masa pidana dan paling lama 3 bulan. Remisi
dasawarsa pertama kali diatur dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor
120 Tahun 1955 tentang Pengurangan Hukuman Istimewa pada hari Dwi Dasawarsa
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Pada tahun 2005, Menteri Hukum dan
Hak Asasi Manusia menerbitkan Keputusan Nomor M.01-HN.02.01 Tahun 2005
tentang Penetapan Pengurangan Masa Hukuman Secara Khusus Pada Peringatan 60
Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia. Adapun besaran remisi dasawarsa adalah
1/12 dari masa pidana dan maksimum pengurangan 3 bulan. Misalnya, untuk masa
pidana 2 tahun atau sama dengan 24 bulan, maka remisi dasawarsa yang akan
diberikan adalah 2 bulan. Sehingga, untuk hukuman dengan masa pidana lebih dari
tiga tahun, remisi dasawarsa yang dapat diberikan adalah maksimum 3 bulan.
Pemberian remisi dasawarsa terakhir kali diberikan pada 2005, sehingga remisi
dasawarsa selanjutnya akan diberikan pada 2015.

C. Syarat-Syarat Remisi
Pro Kontra Kebijakan Remisi Bagi Koruptor Remisi bagi para koruptor secara yuridis
diatur khusus berdasarkan ketentuan Pasal 34 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 28
tahun 2006 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan
Pemasyarakatan. Dalam peraturan pemerintah tersebut selanjutnya diatur, bahwa remisi
bagi narapidana kasus korupsi dapat diberikan apabila memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
1. Berkelakuan baik.
2. Telah menjalani 1/3 masa pidana.
Dalam sebuah diskusi yang bertajuk “Moratorium dan Remisi Untuk Koruptor, Legal
atau Melanggar Hukum”, Yusril Ihza Mahendra mengemukakan, bahwa hak remisi ini
diatur bukan hanya dalam undang-undang tetapi juga konstitusi, konvensi PBB melawan
korupsi (UN ConventionAgainstCorruption), Tokyo Rules, dan sebagainya. Yusril
selanjutnya menyatakan, bahwa hak remisi ini dalam seluruh peraturan domestik dan
internasional yang ada melekat pada narapidana. Sudah menjadi aturan di seluruh dunia,
bahwa hukuman penjara dapat dikurangi atau dipercepat jika narapidana memiliki
kelakuan baik. Beberapa argumen yang dikemukakan oleh Yusril untuk mendukung
pernyataannya adalah:

1. Indonesia bukan negara kekuasaan atau machtstaat, tetapi negara hukum atau
rechtstaat, oleh karena itu kebijakan penghilangan remisi merupakan tindakan otoriter.
2. Penghilangan remisi melanggar HAM para terpidana korupsi yang berkelakuan baik
setelah menjalani masa hukuman.
3. Sifat diskriminasi remisi, yang hanya dianggap dilakukan dalam hari raya keyakinan
tertentu dan tidak di hari raya keyakinan yang lainnya.
4) Penghilangan remisi juga melanggar Konvensi PBB tentang Korupsi.

D. Kontra Pemberian Remisi Pada Koruptor


Negara Indonesia adalah negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat 3
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Salah satu ciri negara
hukum adalah perlindungan terhadap hak-hak warga negaranya, tidak memandang pada
ras, suku, agama, etnik, status sosial hingga status hukum, sehingga pemenuhan terhadap
perlindungan hak ini haruslah menjadi suatu prioritas. Salah satu hak yang dimiliki oleh
terpidana adalah hak untuk mendapatkan pengurangan masa tahanan atau biasa disebut
dengan remisi. Hal ini diatur di dalam Pasal 14 ayat 1 Undang-undang Nomor 12 tahun
1995 tentang Pemasyarakatan. Hak mendapat remisi ini merupakan dasar yang diberikan
hukum positif Indonesia.
Permasalahan yang ada tentang pemberian remisi ini adalah penolakan terhadap
diberikannya remisi kepada terpidana korupsi. Hal ini dikarenakan korupsi adalah
merupakan tindak pidana luar biasa yang dilakukan secara sistematik oleh mereka yang
memiliki kekuasaan untuk memperkaya diri mereka sendiri dengan mengambil uang
negara sehingga merugikan masyarakat Indonesia secara luas. Terpidana korupsi adalah
para koruptor yang telah secara sah dan menyakinkan melakukan tindak pidana korupsi.
Korupsi ini merupakan kejahatan luar biasa atau extraordinary crime, yang dalam
menangani kejahatan ini, diperlukan suatu mekanisme yang luar biasa atau extraordinary
measure. Sementara pengertian korupsi dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak pidana Korupsi, yaitu setiap orang yang secara melawan
hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negar
Wacana penghapusan remisi bagi koruptor ini mendapat respon beragam dari
masyarakat. Salah satu pihak yang setuju dengan penghapusan remisi untuk koruptor
tersebut adalah Indonesian Corruptiont Watch (ICW). Peneliti Indonesian Corruptiont
Watch (ICW) Tama S Langkun menilai, penghapusan remisi bagi koruptor sejalan dengan
semangat pemberantasan korupsi yang tercantum dalam Undang-Undang No. 20 Tahun
2001 Tentang Pemberantasan Korupsi Jo Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Akan tetapi sebagian masyarakat yang lain ada
juga yang tidak setuju. Remisi merupakan hak terpidana, sebagaimana pelaksanaannya
diatur dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, khususnya
Pasal 14 ayat (1). Kriteria pemberian remisi perlu diperjelas, sehingga dapat menutup
peluang remisi menjadi komoditas. Meski remisi adalah hak narapidana, tetap perlu ada
kondisi khusus yang ikut menentukan diberi atau tidaknya pengurangan hukuman dan
lamanya pengurangan hukuman bagi narapidana.
Menurut pendapat kami dilihat dari perspektif hukum pidana terkait upaya pemerintah
dalam penghapusan kebijakan remisi dengan melakukan revisi PP No.99 Tahun 2012 atau
wacana melonggarkan pemberian remisi bagi koruptor justru tidak sejalan dengan tujuan
dari pidana pemidanaan karena salah satu tujuan dari pidana pemidanaan adalah
memberikan efek jera bagi pelaku korupsi. Tetapi dengan adanya penghapusan kebijakan
remisi maka dinilai lebih berpihak terhadap koruptor daripada upaya pemberantasan
korupsi. Karena kita ketahui bahwa korupsi merupakan kejahatan luar biasa, dalam upaya
pemberantasannya maka perlu adanya pengetatan aturan sehingga dituntut cara-cara yang
luar biasa. Pengetatan pemberian remisi bagi koruptor seharusnya dimaknai sebagai suatu
cara luar biasa dalam upaya pemberantasan korupsi di negara ini.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Remisi atau pengurangan masa pidana merupakan hak setiap narapidana atau
terpidana yang menjalani pidana hari kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas).
Jenis-jenis remisi yaitu : remisi umum, khusus, tambahan, kemanusiaan, dan darsa warsa.
Syarat-syarat remisi yaitu berkelakuan baik 1/3 masa pidana.

B. Saran
Untuk mahasiswa kesehatan agar dapat memahami dan mengetahui pengertian
remisi, pemberian hak remisi bagi narapidana korupsi dan peraturan-peraturan yang perlu
diperhatikan dalam pemberian hak remisi.

DAFTAR PUSTAKA

Harjowidigdo, 2016. Permasalahan Hukum Dan Hak Asasi Manusia Dalam Pemberian Remisi,
Pohon Cahaya, Jakarta

Nur Hilman, 2015. Penghapusan Remisi Bagi Koruptor Dalam Perspektif UndangUndang
Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Jurnal Mimbar Justitia, Volume 1 no 2

Zaky musa, KEBIJAKAN PENGHAPUSAN REMISI TERHADAP NARAPIDANA KORUPSI


DALAM PERSPEKTIF HUKUN DAN HAM, Publikasi Ilmiah Universitas Muhammadiyah
Surakarta. 2017

Anda mungkin juga menyukai