Anda di halaman 1dari 42

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kesehatan reproduksi remaja harus mendapatkan perhatian yang cukup serius


untuk menyiapkan sumber daya manusia (SDM) yang handal dalm rangka
mewujudkan keluarga berkualitas tahun 2015 (BKKBN, 2008). Pengetahuan
tentang kesehatan reproduksi sangat diperlukan oleh masyarakat, khususnya
remaja. Berdasarkan laporan dari World Health Organization (WHO) 2012,
kelompok usia remaja (10-19 tahun) pada tahun 2010 menempati seperlima
jumlah penduduk dunia, dan 83% diantaranya hidup di negara-negara
berkembang. Usia remaja merupakan usia yang paling rawan mengalami masalah
kesehatan reproduksi seperti kehamilan dan melahirkan usia dini, aborsi yang
tidak aman, infeksi menular seksual (IMS) termasuk Human Immunodeficiency
Virus (HIV), pelecehan seksual dan perkosaan. Selain itu usia remaja merupakan
usia peralihan dari anak menuju dewasa, sehingga perlu bimbingan agar mudah
dalam menjalani perubahan.

Berdasarkan hasil Sensus Penduduk Indonesia pada tahun 2010, jumlah


remaja usia 10-24 tahun sangat besar, yaitu sekitar 64 juta atau 27,6% dari jumlah
penduduk Indonesia yang sebanyak 237,6 juta jiwa. Sekitar 22% adalah kelompok
umur 10-19 tahun yang terdiri dari 50,9 % remaja laki-laki dan 49,1 % remaja
perempuan (BPS, 2013). Selain itu, menurut survei Komnas Perlindungan Anak di
33 Provinsi di Indonesia didapatkan hasil 97% remaja SMP dan SMA pernah
menonton film porno, 93,7% remaja SMP dan SMA pernah ciuman, genetalian
stimulation (meraba alat kelamin) dan oral seks (seks melalui mulut), 62,7%
remaja SMP dan SMA tidak perawan dan 21,2% remaja mengaku pernah aborsi
(BKKBN, 2010).

Menurut United Nation Development Economic and Social Affairs


(UNDESA), Indonesia termasuk Negara ke-37 dengan persetase pernikahan usia

1
muda yang tinggi dan merupakan Negara kedua di ASEAN setelah Kambodja.
Tidak hanya itu, Global Youth Tobacco Suvey (GYTS) menyatakan Indonesia
sebagai negara dengan angka perokok remaja tertinggi di dunia. Dimana sebagian
besar laki-laki pertama kali mencoba merokok pada umur 12-13 tahun, dan
sebagian besar perempuan prtama kali mencoba merokok pada umur 14-15 tahun.
Hasil Riskesdas pada tahun 2007, 2010 dan 2013 pun menunjukkan bahwa usia
merokok pertama kali paling tinggi adalah pada kelompok umur 15-19 tahun.

Kebiasaan tidak sehat yang dilakukan oleh remaja diawali dari kebanyakan
remaja yang tidak memiliki pengetahuan yang akurat mengenai kesehatan
reproduksi dan seksualitas serta tidak memiliki akses terhadap informasi dan
pelayanan kesehatan reproduksi. Beberapa faktor yang mempengaruhi kesehatan
reproduksi remaja antara lain : faktor genetik, faktor lingkungan dan perilaku
(Hastutik, 2012). Hasil Survei Kesehatan Reproduksi Remaja (SKKRI) tahun
2012 menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan remaja tentang kesehatan
reproduksi cukup memprihatinkan, bahwasanya hanya 32% remaja perempuan,
dan 19% remaja laki-laki yang mengetahui dengan benar.

Melihat berbagai dampak akibat kurangnya pemahaman tentang kesehatan


reproduksi, maka perlu berbagai upaya untuk membantu remaja agar memahami
dan menyadari tentang kesehatan reproduksi, serta bertanggungjawab dengan
masalah kesehatan reproduksi. Upaya tersebut dapat berupa melakukan advokasi,
promosi, KIE (Komunikasi Informasi Edukasi) konseling dan pelayanan kepada
remaja yang memiliki masalah khusus serta memberi dukungan pada kegiatan
remaja yang bersifat positif. Orang tua juga harus memberikan informasi yang
jelas dan terbuka agar anak paham apa yang dimaksud dengan organ seksual dan
fungsinya secara sederhana. Selain itu perlu juga memasukkan ajaran agama dan
norma yang berlaku di masyarakat (Hastutik, 2012).

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Apa yang dimaksud dengan kesehatan reproduksi remaja?

1.2.2 Bagaimana situasi kesehatan reproduksi remaja mengenai seks pra nikah,
pernikahan dini, narkoba dan merokok di Indonesia?

2
1.3 Tujuan

1.3.1 Untuk mengetahui definisi dari kesehatan reproduksi remaja serta


permasalahan-permasalahan yang ada di dalamnya.

1.3.2 Untuk mengetahui bagaimana situasi kesehatan remaja terkait seks pra nikah,
pernikahan dini, narkoba/rokok di Indonesia saat ini.

BAB 2

TINJAUAN TEORI
3
2.1 KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA

2.1.1 Pengertian Remaja

Masa remaja merupakan peralihan masa kanak-kanak menjadi dewasa yang


melibatkan perubahan berbagai aspek seperti biologis, psikologis, dan sosial-budaya.
WHO mendefinisikan remaja sebagai perkembangan dari saat timbulnya tanda seks
sekunder hingga tercapainya maturasi seksual dan reproduksi, suatu proses
pencapaian mental dan identitas dewasa, serta peralihan dari ketergantungan sosio
ekonomi menjadi mandiri. Secara biologis, saat seorang anak mengalami pubertas
dianggap sebagai indikator awal masa remaja. Namun karena tidak adanya petanda
biologis yang berarti untuk menandai berakhirnya masa remaja, maka faktor-faktor
sosial, seperti pernikahan, biasanya digunakan sebagai petanda untuk memasuki
masa dewasa.

Remaja adalah penduduk dalam rentang usia 10-19 tahun (WHO, 2014).
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 25 tahun 2014, remaja adalah
penduduk dalam rentang usia 10-18 tahun dan menurut Badan Kependudukan dan
Keluarga Berencana (BKKBN) rentang usia remaja adalah 10-24 tahun dan belum
menikah. Jumlah kelompok usia 10-19 tahun di Indonesia berdasarkan Sensus
Penduduk 2010 sebanyak 43,5 juta atau sekitar 18% dari jumlah penduduk. Anna
Freud kemudian membagi usia remaja menjadi empat tahapan, walaupun tanpa
memberikan batas usia biologis untuk tiap tahapan tersebut :

a. Masa Juvenil

Suatu tahapan usia psikologis yang terletak diantara masa anak-anak dan masa
pra remaja. Dalam masa ini perkembangan intelektual anak sangat cepat dan
mempunyai perhatian terhadap lawan jenisnya.

b. Masa Pra Remaja

4
Ditandai dengan hubungan sosial yang bersifat mendalam. Pada masa ini individu
belajar mengenal manusia di dunia luar tetapi belum sepenuhnya terlepas dari
orang tua.

c. Masa Remaja Awal

Dalam masa ini kebutuhan sosial remaja semakin mendalam. Keinginan untuk
mandiri makin menguat dan pada saat ini remaja sudah dapat mengalami
orgasme.

d. Masa Remaja Akhir

Pada tahap ini remaja telah mencapai kemampuan untuk mengembangkan cita-
citanya sesuai dengan pengalaman dan pendidikannya. Dalam tahap ini seorang
remaja sudah berkembang menjadi “seorang manusia yang utuh” (well rounded
individual) atau dalam artian sudah siap menuju tahap dewasa.

2.1.2 Definisi Kesehatan Reproduksi Remaja

Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) kesehatan reproduksi remaja


adalah suatu kondisi sehat yang menyangkut sistem, fungsi dan proses reproduksi
yang dimiliki oleh remaja. Pengertian sehat disini tidak semata-mata berarti bebas
penyakit atau bebas dari kecacatan namun juga sehat secara mental serta sosial
cultural. Ruang lingkup pelayanan kesehatan reproduksi menurut International
Conference Population and Development (ICPD) tahun 1994 di Kairo terdiri dari
Kesehatan ibu dan anak, keluarga berencana, pencegahan dan penanganan infeksi
menular seksual termasuk HIV/AIDS, kesehatan reproduksi remaja, pencegahan
dan penanganan komplikasi aborsi, pencegahan dan penanganan infertilitas,
kesehatan reproduksi usia lanjut, deteksi dini kanker saluran reproduksi serta
kesehatan reproduksi lainnya seperti kekerasan seksual, sunat perempuan dan
sebagainya.

2.1.3 Organ Reproduksi

a. Wanita
5
Organ reproduksi wanita bagian luar (Geneltalia Eksternal) meliputi mons
pubis/mons veneris, bibir besar (labia mayor), bibir kecil (labia minor), Klitoris,
Vulva, uretra (Saluran kencing). Hymen (selaput dara), sedangkan organ
reproduksi wanita bagian dalam (Genetalia Internal) meliputi vagina, tuba falopi,
uterus ( (rahim), cervik (leher rahim), (Wahyudi, 2000).

b. Pria

Pada pria organ reproduksi meliputi penis, uretra (saluran kencing), kelenjar
prostate, viskula seminalis, vas deferens (saluran sperma), epidemis, testis (pelir)
(Wahyu, 2000).

2.1.4 Perkembangan Fisik Remaja

Masa pubertas ditandai dengan terjadinya perubahan-perubahan fisik (meliputi


penampilan fisik seperti bentuk tubuh dan proporsi tubuh) dan fungsi fisiologis
(kematangan organ-organ seksual). Perubahan fisik yang terjadi pada masa pubertas
ini merupakan peristiwa yang paling penting, berlangsung cepat, drastis, tidak
beraturan dan bermuara dari perubahan pada sistem reproduksi. Hormon-hormon
mulai diproduksi dan mempengaruhi organreproduksi untuk memulai siklus
reproduksi serta mempengaruhi terjadinya perubahan tubuh. Perubahan tubuh ini
disertai dengan perkembangan bertahap dari karakteristik seksual primer dan
karakteristik seksual sekunder.

Karakteristik seksual primer mencakup perkembangan organ-organ reproduksi,


sedangkan karakteristik seksual sekunder mencakup perubahan dalam bentuk tubuh
sesuai dengan jenis kelamin misalnya, pada remaja putri ditandai dengan menarche
(menstruasi pertama), tumbuhnya rambut-rambut pubis, pembesaran buah dada,
pinggul, sedangkan pada remaja putra mengalami pollutio (mimpi basah pertama),
pembesaran suara, tumbuh rambut-rambut pubis, tumbuh rambut pada bagian tertentu
seperti di dada, di kaki, kumis dan sebagainya.

Pertumbuhan berat dan tinggi badan juga mengikuti perkembangan kematangan


seksual remaja. Anak remaja putri mengalami pacu tumbuh (penambahan TB dan BB
dengan cepat) sebelum timbulnya tanda seks sekunder, pada usia rata-rata 8-9 tahun,
sedangkan menarche terjadi rata-rata pada usia 12 tahun. Pada anak remaja putra,
pacu tumbuh mulai terjadi sedikit lebih lambat pada usia sekitar 10-11 tahun,
6
sedangkan perubahan suara terjadi pada usia 13 tahun. Penyebab terjadi makin
awalnya tanda-tanda pertumbuhan ini diperkirakan karena faktor gizi yang semakin
baik, rangsangan dari lingkungan, iklim, dan faktor sosio-ekonomi. Perubahan fisik
yang terjadi pada masa pubertas adalah akibat meningkatnya kadar hormone kelamin
(sex hormones) yang diproduksi gonad dan kelenjar adrenal. Kelenjar ini dirangsang
oleh hormone gonadotropin dari kelenjar hipofisis, yang distimulasi oleh rangsangan
hormone GNRH dari hypothalamus, yang baru dilepaskan setelah tercapai
kematangan tubuh anak.

2.1.5 Perkembangan Psikologis Remaja

Ketika memasuki masa pubertas, setiap anak telah mempunyai sistem


kepribadian yang merupakan pembentukan dari perkembangan selama ini. Di luar
sistem kepribadian anak seperti perkembangan ilmu pengetahuan dan informasi,
pengaruh media massa, keluarga, sekolah, teman sebaya, budaya, agama, nilai dan
norma masyarakat tidak dapat diabaikan dalam proses pembentukan kepribadian
tersebut. Pada masa remaja, seringkali berbagai faktor penunjang ini dapat saling
mendukung dan dapat saling berbenturan nilai.

Masa remaja merupakan masa yang penuh gejolak, (suasana hati) bisa berubah
dengan sangat cepat. Hasil penelitian menemukan bahwa remaja rata-rata
memerlukan hanya 45 menit untuk berubah dari mood “senang luar biasa” ke “sedih
luar biasa”, sementara orang dewasa memerlukan beberapa jam untuk hal yang sama.
Perubahan mood (swing) yang drastis pada para remaja ini seringkali dikarenakan
beban pekerjaan rumah, pekerjaan sekolah, atau kegiatan sehari-hari di rumah. Meski
mood remaja yang mudah berubah-ubah dengan cepat, hal tersebut belum tentu
merupakan gejala atau masalah psikologis.

Dalam hal kesadaran diri, pada masa remaja para remaja mengalami perubahan
yang dramatis dalam kesadaran diri mereka (self-awareness). Mereka sangat rentan
terhadap pendapat orang lain yag membuat remaja sangat memperhatikan diri mereka
dan citra yang direfleksikan (self-image). Pada usia 16 tahun ke atas, keeksentrikan
remaja akan berkurang dengan sendirinya jika ia sering dihadapkan dengan dunia
nyata. Dari beberapa dimensi perubahan yang terjadi pada remaja seperti yang telah
dijelaskan diatas maka terdapat kemungkinan penyimpangan perilaku yang

7
mengundang resiko pada masa remaja misalnya seperti penggunaan alcohol,
tembakau dan zat lainnya, serta aktivitas pergaulan seksual yang membahayakan.
Alasan perilaku yang mengundang resiko adalah bermacam – macam dan
berhubungan dengan rasa takut, dianggap tidak cakap, perlu untuk menegaskan
identitas maskulin dan dinamika kelompok seperti tekanan teman sebaya

2.1.6 Tugas Perkembangan Remaja

Setiap tahap perkembangan akan terdapat tantangan dan kesulitan-kesulitan yang


membutuhkan suatu ketrampilan untuk mengatasinya. Pada masa remaja, mereka
dihadapkan kepada dua tugas utama, yaitu :

1. Mencapai ukuran kebebasan atau kemandirian dari orang tua. Pada masa remaja
sering terjadi adanya kesenjangan dan konflik antara remaja dengan orang tuanya.
Pada saat ini ikatan emosional menjadi berkurang dan remaja sangat
membutuhkan kebebasan emosional dari orang tua, misalnya dalam hal memilih
teman ataupun melakukan aktifitas. Sifat remaja yang ingin memperoleh
kebebasan emosional sementara orangtua yang masih ingin mengawasi dan
melindungi anaknya dapat menimbulkan konflik diantara mereka. Pada usia
pertengahan, ikatan dengan orangtua semakin longgar dan mereka lebih banyak
menghabiskan waktunya bersama teman sebayanya.

Pada akhir masa remaja, mereka akan berusaha mengurangi kegelisahannya


dan meningkatkan integritas pribadinya, identitas diri lebih kuat, mampu menunda
pemuasan, kemampuan untuk menyatakan pendapat menjadi lebih baik, minat
lebih stabil dan mampu membuat keputusan dan mengadakan kompromi. Akhir
masa remaja adalah tahap terakhir perjuangan remaja dalam mencapai identitas
diri. Bila tahap awal dan pertengahan dapat dilalui dengan baik, yaitu adanya
keluarga dan kelompok sebaya yang suportif maka remaja akan mempunyai
kesiapan untuk mampu mengatasi tugas dan tanggung jawab sebagai orang
dewasa.

2. Membentuk identitas untuk tercapainya integrasi diri dan kematangan pribadi.


Proses pembentukan identitas diri merupakan proses yang panjang dan kompleks,
yang membutuhkan kontinuitas dari masa lalu, sekarang dan yang akan datang
dari kehidupan individu, dan hal ini akan membentuk kerangka berfikir
8
untukmengorganisasikan dan mengintegrasikan perilaku ke dalam berbagai bidang
kehidupan.

2.1.7 Kebutuhan Riil Remaja

Kebutuhan riil remaja terkait hak mendapatkan informasi akurat tentang


seksualitas dan kesehatan reproduksi ini kadang juga dibedakan berdasarkan variasi
kelompok. Misalnya, kebutuhan remaja desa berbeda dengan remaja kota. Kerentanan
terhadap Infeksi Menular Seksual (IMS) antara ’remaja jalanan’ (anak jalanan) dan
remaja sekolah juga berbeda. Remaja yang bekerja sebagai buruh pabrik juga
mempunyai karakteristik dan masalah-masalah yang berbeda dengan remaja yang
bekerja di sektor informal, dan sebagainya. Sehingga pemenuhan kebutuhan ini butuh
disesuaikan dengan konteks sosial dan budaya yang dihadapi masing-masing remaja.
Meski demikian, secara umum kebutuhan riil menyangkut hak dasar remaja akan
informasi terkait seksualitas dan kesehatan reproduksi itu, antara lain sebagai berikut :

a. Penyediaan layanan yang ramah dan mudah diakses bagi remaja, tanpa
memandang usia, jenis kelamin, status pernikahan, dan situasi keuangan mereka.

b. Adanya dukungan terpenuhinya hak setiap remaja untuk menikmati seks dan
ekspresi seksualitas mereka dalam cara-cara yang mereka pilih sendiri.

c. Penyediaan informasi dan pemberian hak mendapatkan pendidikan mengenai


reproduksi dan seksualitas. Informasi dan pendidikan yang diberikan ini harus
mendorong terjadinya independensi dan keyakinan diri remaja, dan memberikan
pengetahuan agar mereka bisa membuat keputusan sendiri terkait reproduksi dan
seksual mereka.

d. Adanya jaminan kerahasiaan dalam relasi sosial dan seluruh aspek dari seksualitas
mereka.

e. Penyediaan informasi yang bisa diakses sesuai dengan perkembangan remaja.

f. Setiap remaja yang aktif secara seksual atau tidak; dan yang memiliki keragaman
orientasi seksual bisa mendapatkan informasi agar mereka merasa nyaman dengan
tubuh dan seksualitas mereka sendiri.

9
g. Setiap remaja mendapatkan persiapan untuk memiliki ketrampilan melakukan
negosiasi dalam relasi sosialnya, termasuk dalam masa pacaran dan dalam
melakukan tindakan seks yang lebih aman (bagi yang seksual aktif).

2.1.8 Hak-Hak Remaja Terkait Kesehatan Reproduksi

Selain kebutuhan-kebutuhan tersebut, remaja juga memiliki hak-hak mendasar terkait


kesehatan reproduksinya. Hak-hak itu juga harus terpenuhi sebagai kebutuhan dasar
mereka. Hak-hak itu adalah :

1) Hak hidup. Ini adalah hak dasar setiap individu tidak terkecuali remaja, untuk
terbebas dari resiko kematian karena kehamilan, khususnya bagi remaja
perempuan.

2) Hak atas pelayanan dan perlindungan kesehatan. Termasuk dalam hal ini adalah
perlindungan privasi, martabat, kenyamanan, dan kesinambungan.

3) Hak atas kerahasiaan pribadi. Artinya, pelayanan kesehatan reproduksi bagi


remaja dan setiap individu harus menjaga kerahasiaan atas pilihan-pilihan mereka.

4) Hak atas informasi dan pendidikan. Ini termasuk jaminan kesehatan dan
kesejahteraan perorangan maupun keluarga dengan adanya informasi dan
pendidikan kesehatan reproduksi yang memadai tersebut.

5) Hak atas kebebasan berpikir. Ini termasuk hak kebebasan berpendapat, terbebas
dari penafsiran ajaran yang sempit, kepercayaan, tradisi, mitos-mitos, dan filosofi
yang dapat membatasi kebebasan berpikir tentang pelayanan kesehatan reproduksi
dan seksual.

6) Hak berkumpul dan berpartisipasi dalam politik. Hal ini termasuk mendesak
pemerintah dan parlemen agar menempatkan masalah kesehatan reproduksi
menjadi prioritas kebijakan negara.

7) Hak terbebas dari penganiayaan dan perlakuan buruk. Hal ini terutama bagi anak-
anak dan remaja untuk mendapatkan perlindungan dari eksploitasi, pelecehan,
perkosaan, penyiksaan, dan kekerasan seksual.

8) Hak mendapatkan manfaat dari ilmu pengetahuan terbaru. Yaitu hak mendapatkan
pelayan kesehatan reproduksi yang terbaru, aman, dan dapat diterima.
10
9) Hak memutuskan kapan punya anak, dan punya anak atau tidak.

10) Hak atas kesetaraan dan bebas dari segala bentuk diskriminasi. Ini berarti setiap
individu dan juga remaja berhak bebas dari segala bentuk diskriminasi termasuk
kehidupan keluarga, reproduksi, dan seksual.

11) Hak untuk memilih bentuk keluarga. Artinya, mereka berhak merencanakan,
membangun, dan memilih bentuk keluarga (hak untuk menikah atau tidak
menikah).

12) Hak atas kebebasan dan keamanan. Remaja berhak mengatur kehidupan seksual
dan reproduksinya, sehingga tidak seorang pun dapat memaksanya untuk hamil,
aborsi, ber-KB dan sterilisasi.

2.1.9 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesehatan Reproduksi Remaja

Kesehatan reproduksi remaja dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu: kebersihan alat-alat
genital, akses terhadap pendidikan kesehatan, hubungan seksual pranikah, penyakit
menular seksual (PMS), pengaruh media massa, akses terhadap pelayanan kesehatan
reproduksi yang terjangkau, dan hubungan yang harmonis antara remaja dengan
keluarganya.

a. Kebersihan organ-organ genital

Kesehatan reproduksi remaja ditentukan dengan bagaimana remaja tersebut dalam


merawat dan menjaga kebersihan alat-alat genitalnya. Bila alat reproduksi lembab
dan basah, maka keasaman akan meningkat dan itu memudahkan pertumbuhan
jamur. Remaja perempuan lebih mudah terkena infeksi genital bila tidak menjaga
kebersihan alat-alat genitalnya karena organ vagina yang letaknya dekat dengan
anus.

b. Akses terhadap pendidikan kesehatan

Remaja perlu mendapatkan informasi yang benar tentang kesehatan reproduksi


sehingga remaja mengetahui hal-hal yang seharusnya dilakukan dan hal-hal yang
seharusnya dihindari. Agar remaja mendapatkan informasi yang tepat, kesehatan
reproduksi remaja hendaknya diajarkan di sekolah dan di dalam lingkungan
keluarga. Hal-hal yang diajarkan di dalam kurikulum pendidikan kesehatan

11
reproduksi remaja mencakup tentang tumbuh kembang remaja, organ-organ
reproduksi, perilaku berisiko, Penyakit Menular Seksual (PMS), dan abstinesia
sebagai upaya pencegahan kehamilan

c. Hubungan seksual pranikah

Kehamilan dan persalinan membawa risiko morbiditas dan mortalitas yang


lebih besar pada remaja dibandingkan pada wanita yang berusia lebih dari 20
tahun. Remaja putri yang berusia kurang dari 18 tahun mempunyai 2 sampai 5 kali
risiko kematian dibandingkan dengan wanita yang berusia 18-25 tahun akibat
persalinan yang lama dan macet, perdarahan, dan faktor lain. Kehamilan yang
tidak diinginkan pada remaja seringkali berakhir dengan aborsi. Aborsi juga dapat
menyebabkan gangguan mental pada remaja yaitu adanya rasa bersalah, merasa
kehilangan harga diri, gangguan kepribadian seperti berteriak-teriak histeris,
mimpi buruk berkali-kali, bahkan dapat menyebabkan perilaku pencobaan bunuh
diri.

d. Penyalahgunaan NAPZA

NAPZA adalah singkatan untuk narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif
lainnya. Contoh obat-obat NAPZA tersebut yaitu: opioid, alkohol, ekstasi, ganja,
morfin, heroin, kodein, dan lain-lain. Jika zat tersebut masuk ke dalam tubuh akan
mempengaruhi sistem saraf pusat. Pengaruh dari zat tersebut adalah penurunan
atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa nyeri, ketergantungan, rasa nikmat dan
nyaman yang luar biasa dan pengaruh-pengaruh lain. Penggunaan NAPZA ini
berisiko terhadap kesehatan reproduksi karena penggunaan NAPZA akan
berpengaruh terhadap meningkatnya perilaku seks bebas. Pengguna NAPZA
jarum suntik juga meningkatkan risiko terjadinya HIV/AIDS, sebab virus HIV
dapat menular melalui jarum suntik yang dipakai secara bergantian.

e. Pengaruh media massa

Media massa baik cetak maupun elektronik mempunyai peranan yang cukup
berarti untuk memberikan informasi tentang menjaga kesehatan khususnya
kesehatan reproduksi remaja. Dengan adanya artikel-artikel yang dibuat dalam
media massa, remaja akan mengetahui hal-hal yang harus dilakukan dan dihindari
untuk menjaga kesehatan reproduksinya.
12
f. Akses terhadap pelayanan kesehatan reproduksi

Pelayanan kesehatan juga berperan dalam memberikan tindakan preventif dan


tindakan kuratif. Pelayanan kesehatan dapat dilakukan di puskesmas, rumah sakit,
klinik, posyandu, dan tempat-tempat lain yang memungkinkan. Dengan akses
yang mudah terhadap pelayanan kesehatan, remaja dapat melakukan konsultasi
tentang kesehatannya khususnya kesehatan reproduksinya dan mengetahui
informasi yang benar tentang kesehatan reproduksi. Remaja juga dapat melakukan
tindakan pengobatan apabila remaja sudah terlanjur mendapatkan masalah-
masalah yang berhubungan dengan organ reproduksinya seperti penyakit menular
seksual.

g. Hubungan harmonis dengan keluarga

Kedekatan dengan kedua orangtua merupakan hal yang berpengaruh dengan


perilaku remaja. Remaja dapat berbagi dengan kedua orangtuanya tentang
masalah keremajaan yang dialaminya. Keluarga merupakan tempat pendidikan
yang paling dini bagi seorang anak sebelum ia mendapatkan pendidikan di tempat
lain. Remaja juga dapat memperoleh informasi yang benar dari kedua orangtua
mereka tentang perilaku yang benar dan moral yang baik dalam menjalani
kehidupan. Di dalam keluarga juga, remaja dapat mengetahui hal-hal yang perlu
dilakukan dan yang harus dihindari. Orang tua juga dapat memberikan informasi
awal tentang menjaga kesehatan reproduksi bagi seorang remaja.

h. Penyakit Menular Seksual

Penyakit menular seksual adalah penyakit yang penularannya terutama melalui


hubungan seksual. Cara penularannya tidak hanya terbatas secara genitalgenital
saja, tetapi dapat juga secara oro-genital, atau ano-genital. Sehingga kelainan yang
timbul akibat penyakit kelamin ini tidak hanya terbatas pada daerah genital saja,
tetapi juga pada daerah-daerah ekstra genital. Penyakit menular seksual juga dapat
terjadi dengan cara lain yaitu kontak langsung dengan alat-alat seperti handuk,
pakaian, termometer dan lain-lain. Selain itu penyakit menular seksual dapat juga
ditularkan oleh ibu kepada bayinya ketika di dalam kandungan. Penyakit menular
seksual yang umum terjadi di Indonesia antara lain: gonore, vaginosis bakterial,

13
herpes simpleks, trikomoniasis, sifilis, limfogranuloma venerium, ulkus mole,
granuloma inguinale, dan Acquired immune deficiency syndrom (AIDS).

2.1.1.0 Pengembangan Program Pendidikan Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR)

Berbagai permasalahan yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi remaja


diatas memerlukan suatu upaya pengembangan program pendidikan kesehatan
reproduksi remaja yang dapat mencakup penyediaan pelayanan klinis, pemberian
informasi akurat, mempertimbangkan kemampuan dan sisi kehidupan remaja,
menjamin program yg cocok atau relevan dg remaja serta utamanya mendapat
dukungan masyarakat. Pendidikan KRR berbasis sekolah merupakan salah satu
alternatif strategi yang tepat karena bisa mencakup semua tantangan diatas.
Pendidikan kesehatan reproduksi remaja (KRR) yang dilakukan oleh sekolah
merupakan salah satu upaya untuk membimbing remaja mengatasi konflik
seksualnya. Oleh berbagai pihak, sekolah dan guru dianggap sebagai pihak yang layak
memberikan pendidikan KRR ini.

Pendidikan KRR untuk memberikan bekal pengetahuan kepada remaja mengenai


anatomi dan fisiologi reproduksi, proses perkembangan janin, dan berbagai
permasalahan reproduksi seperti kehamilan, PMS, HIV/AIDS, KTD dan dampaknya,
serta pengembangan perilaku reproduksi sehat untuk menyiapkan diri melaksanakan
fungsi reproduksi yg sehat (fisik, mental, ekonomi, spiritual). Pendidikan KRR dapat
diwujudkan dalam penyuluhan, bimbingan dan konseling, pencegahan, penanganan
masalah yang berkaitan dg KRR termasuk upaya mencegah masalah perinatal yang
dapat dialami oleh ibu dan anak yang dapat berdampak pada anggota keluarga
lainnya.

2.2 SITUASI KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA

2.2.1 Narkoba

2.2.1.1 Definisi

Narkoba adalah zat yang jika dimasukan dalam tubuh manusia, baik secara
oral/diminum, dihirup, maupun disuntikan, dapat mengubah pikiran, suasana hati
atau perasaan, dan perilaku seseorang. Narkoba dapat menimbulkan
ketergantungan (adiksi) fisik dan psikologis. Menurut pengaruh penggunaannya

14
(effect), akibat kelebihan dosis (overdosis) dan gejala bebas pengaruhnya
(Withdrawal Syndrome) dan kalangan medis, obat-obatan yang sering
disalahgunakan. Berdasarkan efek yang ditimbulkan, penyalahgunaan narkoba
dibedakan menjadi 3 (Budianto, 1989), yaitu:

1. Depresan, yaitu menekan sistem sistem syaraf pusat dan mengurangi aktifitas
fungsional tubuh sehingga pemakai merasa tenang, bahkan bisa membuat
pemakai tidur dan tak sadarkan diri. Bila kelebihan dosis bisa mengakibatkan
kematian.

2. Stimulan, merangsang fungsi tubuh dan meningkatkan kegairahan serta


kesadaran.

3. Halusinogen, efek utamanya adalah mengubah daya persepsi atau


mengakibatkan halusinasi.

Sesuai dengan Undang-Undang Narkoba Nomor 35 Tahun 2009 tentang


Narkotika, Narkoba dibagi 18 dalam 3 jenis yaitu Narkotika, Psikotropika dan
Zat adiktif lainnya.

1. Narkotika Menurut Soerdjono Dirjosisworo (1986) bahwa pengertian


narkotika adalah “Zat yang bisa menimbulkan pengaruh tertentu bagi yang
menggunakannya dengan memasukkan kedalam tubuh.” Pengaruh tersebut
bisa berupa pembiusan, hilangnya rasa sakit, rangsangan semangat dan
halusinasi atau timbulnya khayalan-khayalan. Sifat-sifat tersebut yang
diketahui dan ditemukan dalam dunia medis bertujuan dimanfaatkan bagi
pengobatan dan kepentingan manusia di bidang pembedahan, menghilangkan
rasa sakit dan lain-lain.

2. Psikotropika Psikotopika (Soerdjono Dirjosisworo: 1986) adalah zat atau obat


bukan narkotika, baik alamiah maupun sintesis, yang memiliki khasiat
psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang
menyebabkan perubahan khas pada 19 aktivitas normal dan perilaku.

3. Zat adiktif lainnya Zat adiktif lainnya adalah zat-zat selain narkotika dan
psikotropika yang dapat menimbulkan ketergantungan pada pemakainya,
diantaranya adalah:

15
 Rokok

 Kelompok alkohol dan minuman lain yang memabukkan dan


menimbulkan ketagihan.

 Thiner dan zat lainnya, seperti lem kayu, penghapus cair dan aseton,
cat, bensin yang bila dihirup akan dapat memabukkan (Alifia, 2008)

2.2.1.2 Penyalahgunaan Narkoba di Kalangan Remaja

Penyalahgunaan narkoba di Indonesia semakin meningkat dan permasalahan


yang ditimbulkan juga semakin kompleks. Kejahatan narkoba merupakan
kejahatan lintas negara (transnational crime), terorganisir (organized crime), dan
serius (serious crime) yang dapat menimpa berbagai lapisan masyarakat. Masalah
penyalahgunaan narkoba di kalangan remaja dan pelajar dapat dikatakan sulit di
atasi, karena penyelesaiannya melibatkan banyak faktor dan kerjasama dari
semua pihak yang bersangkutan, seperti pemerintah, aparat, masyarakat, media
massa, keluarga, remaja itu sendiri.

Berdasarkan hasil Data Suvei Penyalahgunaan Narkoba yang dilakukan Badan


Narkotika Nasional pada tahun 2017 silam didapatkan hasil penyalahgunaan
narkoba pada kelompok usia 10-59 tahun sebanyak 3.376.115 orang dimana DKI
Jakarta menjadi Provinsi dengan angka prevalensi penyalahgunaan tertinggi.
Proporsi penyalahgunaan narkoba terbesar berdasarkan kelompok terbagi menjadi
kelompok pekerja, pelajar dan populasi umum, dan pelajar menempati posisi ke-2
terbesar dalam penyalahgunaan narkoba setelah kelompok pekerja dimana
sebagian besar adalah laki-laki (72%) dan perempuan (28%).

16
Grafik 2.1 Proporsi Penyalahgunaan Narkoba Terbesar Berdasarkan
Kelompok

Dalam hal ini pelajar merupakan ternasuk golongan kelompok remaja yang masih
berstatus sebagai pelajar yang berkisar usia 10-19 tahun. Beberapa faktor
penyebab seseorang, khususnya remaja, menjadi pecandu atau pengguna zat
terlarang adalah:

a. Ingin Terlihat Gaya

Zat terlarang jenis tertentu dapat membuat pemakainya menjadi lebih berani,
keren, percaya diri, kreatif, santai, dan lain sebagainya. Efek keren yang
terlihat oleh orang lain tersebut dapat menjadi trend pada kalangan tertentu
sehingga orang yang memakai zat terlarang itu akan disebut trendy, gaul,
modis, dan sebagainya.

b. Solidaritas Kelompok/Komunitas/Geng

Sekelompok orang yang mempunyai tingkat kekerabatan yang tinggi antar


anggota biasanya memiliki nilai solidaritas yang tinggi. Jika ketua atau
beberapa anggota kelompok yang berpengaruh pada kelompok itu
menggunakan narkotik, maka biasanya anggota yang lain baik secara terpaksa
atau tidak terpaksa akan ikut menggunakan narkotik itu agar merasa seperti
keluarga senasib sepenanggungan.

c. Menghilangkan Rasa Sakit

Seseorang yang memiliki suatu penyakit atau kelainan yang dapat


menimbulkan rasa sakit yang tidak tertahankan dapat membuat orang jadi
tertarik jalan pintas untuk mengobati sakit yang dideritanya yaitu dengan
menggunakan obat-obatan dan zat terlarang.

d. Coba-Coba atau Ingin Tahu

Dengan merasa tertarik melihat efek yang ditimbulkan oleh suatu zat yang
dilarang, seseorang dapat memiliki rasa ingin tahu yang kuat untuk mencicipi
nikmatnya zat terlarang tersebut. Seseorang dapat mencoba narkoba untuk
sekedar mengobati rasa penasarannya. Tanpa disadari dan diinginkan, orang
17
tersebut akan ketagihan dan akan melakukannya lagi berulang-ulang tanpa bisa
berhenti.

e. Ikut-ikutan
Orang yang sudah menjadi korban narkoba mungkin akan berusaha mengajak
orang lain yang belum terkontaminasi narkoba agar orang lain ikut bersama
merasakan sensasi atau penderitaan yang dirasakannya. Pengedar dan
pemakai mungkin akan membagi-bagi gratis obat terlarang sebagai
perkenalan dan akan meminta bayaran setelah korban ketagihan.

f. Menyelesaikan dan Melupakan Masalah/Beban Stres

Orang yang dirudung banyak masalah dan ingin lari dari masalah dapat
terjerumus dalam pangkuan narkotika, narkoba atau zat adiktif agar dapat tidur
nyenyak, mabuk, atau merasakan kegembiraan yang timbul yang merupakan
efek penggunaan dari zat tertentu

g. Menonjolkan Sisi Pemberontakan atau Merasa Hebat

Seseorang yang nakal atau jahat umumnya ingin dilihat oleh orang lain sebagai
sosok yang ditakuti agar segala keinginannya dapat terpenuhi. Zat terlarang
akan membantu membentuk sikap serta perilaku yang tidak umum dan bersifat
memberontak dari tatanan yang sudah ada. Pemakai yang ingin dianggap hebat
oleh kawan-kawannya pun dapat terjerembab pada zat terlarang

h. Menghilangkan Rasa Penat dan Bosan

Rasa bosan, rasa tidak nyaman dan lain sebagainya bagi sebagaian orang
adalah sesuatu yang tidak menyenangkan dan ingin segera dihilangkan dari
alam pikiran. Zat terlarang dapat membantu seseorang yang sedang banyak
pikiran untuk melupakan kebosanan yang melanda. Seseorang dapat mengejar
kenikmatan dengan menggunakan obat terlarang yang menyebabkan halusinasi
dan khayalan yang menyenangkan.

i. Mencari Tantangan atau Kegiatan Beresiko

18
Bagi orang-orang yang senang dengan kegiatan yang memiliki resiko tinggi
dalam menjalankan aksinya ada yang menggunakan obat terlarang agar bisa
menjadi yang terhebat, penuh tenaga dan penuh percaya diri.

j. Merasa Dewasa

Pemakai zat terlarang yang masih muda terkadang ingin dianggap dewasa oleh
orang lain agar dapat hidup bebas, sehingga melakukan penyalahgunaan zat
terlarang. Dengan menjadi dewasa seolah-olah orang itu dapat bertindak
semaunya sendiri, merasa sudah matang, bebas dari peraturan dan pengawasan
orangtua, guru, dan lain-lain.

2.2.1.3 Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Narkoba

Dalam mengatasi permasalahan narkoba yang semakin menunjukkan


intensitasnya, Pemerintah Indonesia dengan Dewan Perwakilanan Rakyat
sejak tahun 1997 telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997
tentang Psikotropika dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang
Narkotika yang saat ini menjadi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika. Berdasarkan kedua Undang-undang tersebut, Pemerintah
membentuk Badan Koordinasi Narkotika Nasional (BKNN), dengan
Keputusan Presiden Nomor 116 Tahun 1999. BKNN adalah suatu Badan
Koordinasi penanggulangan narkoba yang kemudian berubah nama menjadi
Badan Narkotika Nasional (BNN).

Upaya penanggulangan lain yang dicanangkan pemerintah melalui Badan


Narkotika Nasional (BNN) sejak tahun 2011 adalah Program Pencegahan
Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN) yang
tujuan utamanya adalah pemberdayaan segenap potensi yang ada di seluruh
lapisan masyarakat agar secara sadar melakukan gerakan untuk
menentang/menolak penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba. Program
P4GN tidak hanya bersifat pencegahan bahaya penyalahgunaan narkoba, akan
tetapi meliputi kegiatan penegakkan hukum bagi penyalahguna narkoba dan
kegiatan rehabilitasi bagi korban penyalahgunaan narkoba

Untuk propinsi dan kabupaten dalam menangani permasalahan narkoba,


maka dibentuklah Badan Narkotika Propinsi dan Badan Narkotika Kabupaten.
19
Penyuluhan-penyuluhan dan sosialisasi dari badan narkotika kiat digencarkan
untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat akan bahaya penyalahgunaan
narkoba yang mengancam kehidupan orang banyak. Ada tiga tingkat
intervensi yang dapat dilakukan dalam menanggulangi masalah
penyalahgunaan narkoba, yaitu:

a. Primer, sebelum penyalahgunaan terjadi, atau disebut sebagai fungsi


preventif. Biasanya dalam bentuk pendidikan, penyebaran informasi
mengenai bahaya narkoba, pendekatan melalui keluarga, dll. Instansi
pemerintah, seperti halnya BKKBN, lebih banyak berperan pada tahap
intervensi ini. Dalam menjalankan fungsi ini, upaya yang harus di lakukan
oleh pemerintah meliputi melakukan sosialisasi secara berkala,
pendirian lembaga-lembaga pengawasan, membentuk aturan perundang-
undangan dalam berbagai bentuk, dan bahkan menjalin kerjasama
inernasional baik bilateral, regional, maupun multilateral.

b. Sekunder, pada saat penggunaan sudah terjadi dan diperlukan upaya


penyembuhan (treatment). Fase ini meliputi: 1) fase penerimaan awal
antara 1 - 3 hari dengan melakukan pemeriksaan fisik dan mental; 2) fase
detoksifikasi dan terapi komplikasi medik, antara 1 - 3 minggu untuk
melakukan pengurangan ketergantungan bahan-bahan adiktif secara
bertahap.

c. Tertier, yaitu upaya untuk merehabilitasi mereka yang sudah memakai dan
dalam proses penyembuhan. Tahap ini biasanya terdiri atas: 1) fase
stabilisasi, antara 3-12 bulan, untuk mempersiapkan pengguna kembali ke
masyarakat; 2) fase sosialiasi dalam masyarakat, agar mantan
penyalahguna narkoba mampu mengembangkan kehidupan yang bermakna
di masyarakat. Tahap ini biasanya berupa kegiatan konseling, membuat
kelompok-kelompok dukungan, mengembangkan kegiatan alternatif, dll.

2.2.2 Rokok

2.2.2.1 Definisi

Merokok adala h menghisap asap tembakau yang dibakar ke dalam tubuh


dan menghembuskannya kembali keluar (Armstrong, 1990). Danusantoso
20
(1991) mengatakan bahwa asap rokok selain merugikan diri sendiri juga dapt
berakibat bagi orang-orang lain yang berada disekitarnya. Pendapat lain
menyatakan bahwa perilaku merokok adalah sesuatu tang dilakukan seseorang
beruba membakar dan menghisapnya serta dapat menimbulkan asap yang dapat
terhisap oleh orang-orang disekitarnya (Levy, 1984).

Dalam konsep tobacco dependency (ketergantungan rokok) dijelaskan


bahwa perilaku merokok merupakan perilaku yang dinikmati dan
menyenangkan kemudian akan bergerak bergeser menjadi aktivitas yang
bersifat obsesif. Hal ini dipengaruhi juga oleh sifat nikotin sebagai zat adiktif
yang akan bekerja secara cepat menstimulan untuk terus menggunakan, dan
jika diberhentikan secara mendadak akan menimbulkan stress. Sementara itu
secara manusiawi orang cenderung untuk menghindari ketidakseimbangan dan
akan mempertahankan merokok yang dirasakan sebagai kenikmatan
(Komalasari dan Helmi, 2000). Seperti yang diungkapkan oleh Leventhal dan
Clearly (dalam Komalasari dan Helmi, 2000) bahwa perilaku merokok hingga
menjadi perokok melalui 4 tahap yaitu :

1. Tahap preparatory (persiapan), seseorang merokok diawali dari gambaran


yang menyenangkan tentang rokok akhirnya mendorong minat untuk
mencoba merokok.

2. Tahap initiation (inisiasi) merupakan tahap perintisan untuk merokok, yaitu


tahap mempertimbangkan akan melanjutkan atau menghentikan perilaku
merokoknya

3. Tahap becoming a smoker (menjadi perokok)yaitu jika seseorang telah


mengkonsumsi rokok sebanyak 4 batang tiap hari maka memiliki
kecenderungan menjadi perokok.

4. Tahap maintenance of smoking (perokok tetap), bahwa merokok telah


menjadi salah satu cara pengaturan diri (self regulation). Merokok menjadi
sarana untuk memperoleh efek fisiologis yang menyenangkan.

2.2.2.2 Dampak Merokok

21
Utama (2004) menjelaskan bahwa kerusakan pada seseorang yang
diakibatkan dari merokok akan terakumulasi sedikit demi sedikit dan baru
dapat dirasakan langsung akibatnya dalam beberapa tahun atau beberapa puluh
tahun kemudian. Menurut data National Cancer Institute di Amerika Serikat
tahun 2007, penyakit kanker yang diakibatkan dari rokok akan terlihat atau
dapat dirasakan gejalanya oleh perokok setelah 20 tahun atau lebih
mengkonsumsi rokok. Dampak merokok tidak hanya pada kesehatan fisik
tetapi juga terhadap perkembangan individu. Hasil penelitian Lavental dalam
Mubarak (2014) merokok dapat meningkatkan kecenderungan untuk mencoba
zat adiktif lain dan narkoba. Sebab konsumsi rokok berkorelasi dengan
konsumsi morfin, kokain, mariyuana dan alcohol, merokok merupakan pintu
gerbang pertama menuju narkoba (Aula, 2010, Warsidi,2006).

Pada sebagian siswa SMP yang sudah menikmati merokok ada


kecenderungan malas untuk belajar karena pada siswa ini lebih banyak
menyukai merokok dengan berkumpul bersama teman-temannya. Remaja
perokok yang mengambil keputusan untuk melanjutkan perilaku merokoknya,
umumnya frekuensi merokok mereka cenderung semakin lama semakin
meningkat (Laventhal & Cleary dalam Mc Gee, 2005). Hasil penelitan Prasadja
(2008), Zhao (2004) penumpukan nikotin dan berbagai macam zat itulah akan
berpengaruh terhadap kondisi stamina fisik dan berpengaruh pula secara tidak
langsung terhadap motivasi belajar remaja, nilai pelajaran, prestasi akademik,
performa kelulusan dan masa depan pendidikan perokok.

2.2.2.3 Rokok di Kalangan Remaja

Kementerian Kesehatan menyebutkan Indonesia menghadapi ancaman serius


dimana hampir 60 persen perokok mulai merokok ketika usianya belum
mencapai 19 tahun. umumnya orang mulai merokok sejak muda dan tidak tahu
resiko mengenai bahaya adiktif rokok. Keputusan konsumen untuk membeli
rokok tidak didasarkan pada informasi yang cukup tentang risiko produk yang
dibeli, efek ketagihan dan dampak pembelian yang dibebankan pada orang lain.
Hampir 75 persen rumah tangga di Indonesia memiliki anggaran belanja rokok
yang berarti minimal ada satu perokok di dalam rumah tangga (Cahyo, 2012).

22
Sumber : Riskesdas, 2013

Gambar 2.1 Trend Usia Mulai Merokok

Berdasarkan gambar di atas dijelaskan bahwa trend usia merokok meningkat


pada usia remaja, yaitu pada kelompok umur 10-14 tahun dan 15-19 tahun.
Hasil Riskesdas pada tahun 2007, 2010 dan 2013 menunjukkan bahwa usia
merokok pertama kali paling tinggi adalah pada kelompok umur 15-19 tahun.
Dalam Buku Fakta Tembakau (2014) disebutkan pula bahwa hasil persentase
usia mulai merokok paling besar terjadi pada kelompok usia 15-19 tahun
dengan (56,9%) disusul dengan usia 10-14 tahun dan usia 20-24 tahun dengan
(17,3%) dan (16,3%) pada tahun 2013. Mu’tadin (2002) mengemukakan alasan
mengapa remaja merokok, antara lain :

1. Pengaruh orang tua

Menurut Baer & Corado, remaja perokok adalah anak-anak yang berasal
dari rumah tangga yang tidak bahagia, dimana orang tua tidak begitu
memperhatikan anak-anaknya dibandingkan dengan remaja yang berasal
dari lingkungan rumah tangga yang bahagia.

2. Pengaruh teman

Berbagai fakta menngungkapkan bahwa semakin banyak remaja merokok


maka semakin besar kemungkinan teman-temannya adalah perokok juga
dan demikian sebaliknya. Ada dua kemungkinan yang terjadi dari fakta

23
tersebut, pertama remaja tersebut terpengaruh oleh teman-temannya atau
sebaliknya.

3. Faktor kepribadian

Orang mencoba untuk merokok karena alasan ingin tahu atau ingin
melepaskan diri dari rasa sakit dan kebosanan. Satu sifat kepribadian yang
bersifat pada pengguna obat-obatan (termasuk rokok) ialah konformitas
sosial.

4. Pengaruh iklan

Melihat iklan di media massa dan elektronik yang menampilkan gambaran


bahwa perokok adalah lambang kejantanan atau glamour, membuat remaja
seingkali terpicu untuk mengikuti perilaku seperti yag ada dalam iklan
tersebut.

Indonesia merupakan negara ASEAN dengan jumlah perokok terbesar diantara


negara-negara ASEAN lainnya yakni sebesar (46,16%). Berdasarkan hasil
survei terdapat 5 provinsi dengan proporsi usia mulai merokoknya pada rentang
usia 15-19 tahun dan melebihi rata-rata nasional, yaitu provinsi Lampung, Nusa
Tenggara Barat, Kalimantan Barat, Bengkulu, dan Jambi. Tingginya hasil
proporsi usia mulai merokok pada usia remaja yang didapat setiap provinsi
tersebut maka perlunya membuat kebijakan baru untuk menanggulangi hal
tersebut, misalkan dengan melakukan penyuluhan dan kampanye anti rokok ke
sekolah dan sebagainya.

Sumber : Riskesdas, 2013


24
Gambar 2.2 Proporsi Usia Mulai Merokok 15-19 Tahun Berdasarkan
Provinsi

2.2.2.4 Upaya Penanggulangan

Pada tahun 2015 silam Pemerintah Indonesia telah membuat tujuh program
penanggulangan tentang rokok. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan RI menerangkan tentang
ketujuh program itu sebagai berikut :

a. Peraturan Perundang-undangan

Indonesia memiliki UU 36 tahun 2009 tentang kesehatan dimana terdapat


pasal-pasal yang mengatur kebiasaan merokok, juga ada PP 109 tahun 2012
yang mengatur lebih rinci tentang isi UU 36 tahun 2009 tentang
Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk
Tembakau bagi Kesehatan dimana rokok merupakan salah satu produk
tembakau yang dimaksudkan. Adapula Peraturan Menteri Kesehatan No. 40
Tahun 2013 tentang Peta Jalan Pengendalian Dampak Konsumsi Rokok
Bagi Kesehatan, Peraturan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan
(BPOM) Nomor 41 Tahun 2013 tentang Pengawasan Produk Tembakau
Yang Beredar, Pencantuman Peringatan Kesehatan Dalam Iklan dan
Kemasan Produk Tembakau dan Promosi, serta berbagai Peraturan Daerah
serta Aturan (SK) Gubernur, Bupati dan Walikota.

b. Penyuluhan kesehatan kepada masyarakat

Dilakukannya berbagai macam penyuluhan tentang dampak merokok bagi


kesehatan. Hal ini dilakukan melalui berbagai media yang ada, baik di
tempat sarana pelayanan kesehatan maupun juga tempat-tempat umum

c. Peringatan kesehatan dalam bentuk gambar

Sejak 24 Juni 2014 pemerintah meresmikan peraturan bahwa semua rokok


yang dijual harus mencantumkan satu dari lima pilihan gambar peringatan
kesehatan.
25
d. Pengaturan iklan rokok

Harus diakui bahwa iklan berperan penting dalam pembentukan opini


masyarakat, termasuk mau merokok atau tidak. Dalam aturan yang ada di
Indonesia maka sudah ada semacam aturan tentang hal ini, walau memang
belum dalam bentuk pelarangan total.

e. Terwujudnya Kawasan Tanpa asap Rokok (KTR).

Hal ini untuk menjamin bahwa warga masyarakat setidaknya di tempat-


tempat umum, dapat menghirup udara bersih sehat dan bebas dari asap
rokok. Dari waktu ke waktu kita lihat bahwa di sekitar kita makin banyak
ruangan bebas asap rokok ini, termasuk di bioskop dan mal-mal besar.

f. Terselenggaranya pelayanan kesehatan untuk bantuan orang yang ingin


berhenti merokok.
g. Untuk mereka yang pada akhirnya jatuh sakit karena rokok akan segera
ditangani melalui program Jaminan Kesehatan Nasional.

2.2.3 SEKS PRA NIKAH

2.2.3.1 Definisi

Seks pranikah merupakan salah satu bentuk perilaku menyimpang yang


banyak terjadi di lingkungan remaja saat ini. Menurut Simanjuntak (dalam
Prastawa & Lailatushifah, 2009) menyatakan bahwa perilaku seks pra nikah
adalah segala macam tindakan seperti bergandengan tangan, berciuman sampai
dengan bersenggama yang dilakukan dengan adanya dorongan hasrat seksual
yang dilakukan sebelum ada ikatan pernikahan yang sah. Seks pranikah atau
dalam bahasa populernya disebut extra marital intercourse atau kinky seks
merupakan bentuk pembebasan seks yang dipandang tidak wajar, bukan saja
oleh agama tetapi oleh Negara dan filsafat (Ananti, 2017). Aktivitas seksual yang
dilakukan tanpa mengindahkan nilai-nilai dan norma -norma dalam masyarakat
yang mengaturnya yang dilakukan oleh remaja sebelum pernikahan. Berdasarkan
definisi – definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa seks pra nikah merupakan
salah satu bentuk penyimpangan nilai dan norma di lingkungan remaja yang

26
ditandai dengan tindakan seperti bergandengan tangan, berciuman, sampai
dengan bersenggama yang dilakukan sebelum ada ikatan pernikahan yang sah.

2.2.3.2 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Seks Pra Nikah

a. Faktor Internal

1) Usia

Menurut badan internasional PBB, pelaku seks pra nikah berada pada
usia remaja dan beberapa yang lain sudah menginjak usia dewasa.
Pada usia ini remaja sedang berintegrasi dengan hak-hak yang dimiliki
orang dewasa. Tuntutan terhadap pengakuan hak terbukti dari adanya
beberapa informan yang lebih cenderung melakukan hubungan seks
pranikah karena alasan hak reproduksi yang dimilikinya. Pada usia ini
mereka cenderung mencoba sesuatu hal yang dianggap baru termasuk
melakukan perilaku seks berisiko, sebagai bentuk pemenuhan hak
reproduksinya.

2) Jenis kelamin

Menurut Nursal dalam Mahmudah (2016) mendapatkan bahwa


perilaku seksual berisiko lebih tinggi pada remaja laki-laki dibanding
remaja perempuan. Ada norma yang lebih longgar bagi laki-laki
dibanding perempuan, akibatnya laki-laki berpeluang lebih besar
melakukan berbagai hal dibandingkan perempuan.

3) Pengetahuan

Beberapa kajian menunjukkan bahwa remaja sangat membutuhkan


informasi mengenai persoalan seksual dan reproduksi. Remaja
seringkali memperoleh informasi yang tidak akurat mengenai seks
dari teman-teman mereka, bukan dari petugas kesehatan, guru atau
orang tua (Saifuddin dan Hidayana, 1999).

4) Pemahaman tingkat agama

Remaja yang memiliki penghayatan yang kuat mengenai nilai – nilai


keagamaan, integritas yang baik juga cenderung mampu menampilkan

27
seksual selaras dengan nilai yang diyakininya serta mencari kepuasan
dari prilaku yang produktif.

b. Faktor Eksternal

1. Peran keluarga

Lingkungan keluarga yang disfungsi memiliki korelasi yang negatif


dengan tumbuhnya perilaku seks bebas yang dilakukan oleh remaja
sebagai bentuk perilaku nakal yang dilakukan oleh remaja atau bentuk
kenakalan remaja yang merupakan bagian dari perilaku sosial
menyimpang (Syarifuddin, 2012).

2. Sumber informasi (media)

Perilaku seks bebas remaja juga dipengaruhi oleh terpaan media


televisi yang dijadikan tontonan oleh para pemirsanya. Dalam Teori
Cultivasi disampaikan bahwa televisi mempunyai kekuatan yang
dominan dalam membentuk masyarakat sehingga televisi dapat
mengajarkan kepada khalayaknya tentang realitas sosial. Siaran televisi
merupakan realitas sosial yang dikonstruksi dengan cara tertentu, dan
konstruksi ini berhubungan secara langsung dengan perilaku
khalayaknya (Syarifuddin, 2012).

3. Lingkungan pertemanan

Menurut Reiss dalam Syarifuddin (2012) menjelaskan bahwa remaja


delinquens (nakal) cenderung akan memiliki teman yang delinquens,
dan mereka akan terlibat di dalam perilaku antisosial secara bersama-
sama. Ini berarti bahwa lingkungan pergaulan teman pada remaja
delinkuens secara timbal balik akan saling mempengaruhi terhadap
perubahan perilaku diantara mereka setelah mereka bergabung dengan
lingkungan pergaulan temannya.

2.2.3.3 Seks Pra Nikah di Lingkungan Remaja

Perilaku seksual yang dilakukan oleh para remaja kita saat ini sudah
sampai pada batas yang sangat mengkhawatirkan. Hubungan seks pra nikah

28
pada remaja adalah masalah serius yang perlu dicegah dan dibina karena
perilaku tersebut hingga saat ini masih mendominasi perdebatan dari sisi
moral, psikologis dan psikis. Seks aktif pra nikah pada remaja beresiko
terhadap kehamilan remaja dan penularan penyakit menular seksual.
Kehamilan yang tidak direncanakan pada remaja perempuan dapat berlanjut
pada aborsi dan pernikahan remaja. Keduanya akan berdampak pada masa
depan remaja tersebut, janin yang dikandung dan keluarganya (Riskesdas,
2012).

Secara umum, remaja laki – laki lebih banyak yang menyatakan pernah
melakukan seks pra nikah dibandingkan perempuan. Dibandingkan tahun
2007, persentase pada tahun 2012 cenderung meningkat kecuali pada
perempuan usia 15 – 19 tahun.

Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Rahyani tahun 2012 di Bali
diperoleh alasan utama responden laki-laki usia 14 – 16 tahun mulai
berhubungan seks pranikah, yakni rasa ingin tahu (27,6%) dan merasa khilaf
(10,3%). Sebaliknya, responden perempuan beralasan tidak tahu (6,9%),
selain merasa sayang, takut menolak kemauan pacar, suka sama suka (3,4%).
Hal ini mencerminkan kurangnya pemahaman remaja tentang keterampilan
hidup sehat, risiko hubungan seksual dan kemampuan untuk menolak
hubungan yang tidak mereka inginkan.

Bentuk – bentuk perilaku seksual yang dilakukan oleh remaja menurut data
yang diambil oleh PKBI Jawa Barat tahun 2011 tercantum pada tabel di
bawah ini :

29
Beberapa remaja menafsirkan perilaku kissing dan petting sebagai perilaku
yang wajar atau biasa dilakukan dalam sebuah hubungan dekat. Menurut
informan perilaku ini dilakukan karena tidak mempunyai risiko untuk terjadi
kehamilan tak diinginkan. Namun demikian, sebagian kecil remaja yang lain
menganggap perilaku berciuman berisiko terhadap keberlanjutan perilaku seks yang
lebih dalam lagi. Sebagian kecil dari mereka memandang berciuman bibir (french
kiss) lebih berisiko berlanjut pada terjadinya intercourse dibandingkan dengan
berciuman pipi (dry kiss)(Kismi, 2011).

2.2.3.4 Upaya Pencegahan Seks Pra Nikah

Program kesehatan reproduksi remaja diintegrasikan dalam Program


Kesehatan Remaja di Indonesia. Sejak tahun 2003, Kementerian Kesehatan
telah mengembangkan model pelayanan kesehatan yang disebut dengan
Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR). Ciri khas pelayanan kesehatan
peduli remaja adalah pelayanan konseling dan peningkatan kemampuan
remaja dalam menerapkan Pendidikan dan Keterampilan Hidup Sehat. PKPR
dapat dilaksanakan di puskesmas, rumah sakit, karang taruna, tempat ibadah
dimana remaja berkumpul (SDKI,2012)

Soetjiningsih (2008) menerangkan upaya pencagahan hubungan seks pranikah


remaja. Upaya pencegahan hubungan seks pranikah dilakukan dengan
memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

a. Meningkatkan kualitas hubungan orang tua dan remaja

Sebagai orang tua hendaknya bersikap terbuka terhadap masalah seksual,


sehinggga bisa menjadi tempat curhat bagi anak yang membutuhkan

30
informasi seksual. Sikap dan perilaku orang tua juga berperan sebagai
contoh atau teladan anaknya dalam menyikapi hubungan seks pranikah.

b. Ketrampilan menolak tekanan negatif dari teman.

Teman sebaya atau teman bergaul mempunyai pengaruh yang besar dalam
mempengaruhi sikap dan perilaku remaja. Untuk itu remaja perlu
berinisiatif dalam melakukan penolakan terhadap ajakan teman yang
mengarah ke hal yang negatif atau lebih amannya, perlu memilih teman
yang membawa pengaruh positif dalam bergaul sehingga remaja dapat
bersikap bijaksana terhadap hubungan seks pranikah.

c. Meningkatkan relijiusitas remaja yang baik

Ajaran agama untuk remaja sebaiknya tidak hanya dikhotbahkan akan


tetapi diwujudkan dalam bentuk kegiatan yang nyata yang dikaitkan
dengan dengan masalah-masalah kontekstual dalam kehidupan remaja
(misalnya masalah kesehatan reproduksi dan seksual). Dari kegiatan yang
nyata akan membentuk sikap remaja yang bijaksana khususnya dalam
menyikapi hubungan seks pranikah.

d. Pembatasan atau pengaturan peredaran media pornografi

Diharapkan media member manfaat yang positif yaitu lebih menampilkan


pesan-pesan seksualitas yang mendidik, karena sebenarnya media dapat
dimanfaatkan sebagai media yang ampuh dalam menyampaikan materi
pendidikan seksualitas. Dengan informasi yang positif maka akan
membawa dampak positif pula pada sikap dan perilaku remaja.

e. Promosi tentang kesehatan seksual bagi remaja yang melibatkan peran


sekolah, pemerintah dan lembaga non pemerintah

Siswa perlu memanfaatkan layanan bimbingan konseling yang ada dalam


memberikan pendidikan seks untuk siswa. Lembaga pemerintah ataupun
lembaga non pemerintah perlu mengadakan seminar mengenai kesehatan
seksual remaja dan pendidikan seksual secara keseluruhan.
Penyampaiannya perlu dibuat secara menarik agar siswa secara sadar diri
dapat mengambil sikap terhadap hubungan seks pranikah secara bijaksana
31
dengan sendirinya tanpa paksaan dari siapapun, karena kesadaran diri dari
remaja itu sendiri merupakan cara yang paling penting dalam mencegah
hubungan seks pranikah.

2.2.4 PERNIKAHAN DINI

2.2.4.1 Definisi

Pernikahan dini atau perkawinan usia anak didefinisikan sebagai


“perkawinan yang dilakukan melalui hukum perdata, agama atau adat, dan
dengan atau tanpa pencatatan atau persetujuan resmi dimana salah satu atau
kedua pasangan adalah anak - anak di bawah usia 18 tahun (Plan Asia, 2012).
Dalam UU No. 1/1974 Pasal 7 Tentang Perkawinan menjelaskan bahwa
pernikahan usia muda dilakukan ketika seseorang, baik laki-laki atau
perempuan yang belum mencapai undang usia minimal untuk suatu
perkawinan, yakni 16 tahun untuk wanita dan 19 tahun pada pria.
Pernikahan dini didefinisikan sebagai pernikahan seorang gadis atau anak
laki-laki sebelum usia 18 tahun dan mengacu pada pernikahan formal dan
informal di mana anak-anak di bawah usia 18 tahun tinggal dengan pasangan
seolah-olah sudah menikah (Unicef, 2017). Berdasarkan definisi – definisi
diatas dapat disimpulkan bahwa pernikahan dini adalah pernikahan yang
terjadi pada anak dibawah usia 18 tahun yang dilakukan melalui hukum
perdata, agama atau adat, dan tanpa pencatatan atau persetujuan resmi.

2.2.4.2 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Pernikahan Dini


Banyak penyebab mengapa pernikahan dini terjadi, seperti karena alasan
sosial yang takut dianggap tidak laku, alasan ekonomi yang pas-pasan, atau
karena kehamilan di luar nikah. Pernikahan dini yang sering terjadi karena
orang tua dengan kondisi ekonomi lemah, sehingga terpaksa menikahkan
putrinya yang masih remaja (BKKBN, 2017). Menurut Fatimah (2009)
menjelaskan bahwa ada beberapa faktor yang mendorong terjadinya
pernikahan dini, yang sering kita jumpai di lingkungan masyarakat kita, yaitu:

a. Ekonomi

Beban ekonomi pada keluarga sering kali mendorong orang tua untuk cepat-
cepat menikahkan anaknya dengan harapan beban ekonomi keluarga akan
32
berkurang, karena anak perempuan yang sudah nikah menjadi tanggung jawab
suami (BKKBN, 1993 : 9).

b. Pendidikan

Rendahnya tingkat pendidikan maupun pengetahuan orang tua, anak dan


masyarakat, menyebabkan adanya kecenderungan untuk menikahkan anaknya
yang masih dibawah umur dan tidak dibarengi dengan pemikiran yang panjang
tentang akibat dan dampak permasalahan yang dihadapi.

c. Orang tua

Tingkat pendidikan orang tua yang rendah sehingga pola pikir orang tuapun
bersifat pasrah dan menerima, kepasrahan inilah maka orang tua kurang
memahami adanya UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974.

d. Adat istiadat

Menurut adat-istiadat pernikahan sering terjadi karena sejak kecil anak telah
dijodohkan oleh kedua orang tuanya. Bahwa pernikahan anak-anak untuk
segera merealisir ikatan hubungan kekeluargaan antara kerabat mempelai laki-
laki dan kerabat mempelai perempuan yang memang telah lama mereka
inginkan bersama, semuanya supaya hubungan kekeluargaan mereka tidak
putus. (Wigyodipuro, 1967 : 133). Selain itu adanya kekhawatiran orang tua
terhadap anak perempuannya yang sudah menginjak remaja, sehingga orang
tua segera mensarikan jodoh untuk anaknya. Orang tua yang bertempat tinggal
di pedesaan pada umumnya ingin cepat-cepat menikahkan anak gadisnya
karena takut akan menjadi perawan tua. (BKKBN, 1993 : 9)

2.2.4.3 Dampak Pernikahan Dini


Dalam laporan Analisis Data Perkawinan Anak di Indonesia yang dilakukan
oleh Badan Pusat Statistik bekerjasama dengan UNICEF pada tahun 2016
menjelaskan bahwa perkawinan usia anak akan membawa dampak bagi
perkembangan fisik, status kesehatan, ekonomi, emosional, dan sosial
mereka.
a. Bagi remaja perempuan

33
Perkawinan usia anak menyebabkan kehamilan dan persalinan dini, yang
berhubungan dengan angka kematian yang tinggi dan keadaan tidak
normal bagi ibu karena tubuh anak perempuan belum sepenuhnya matang
untuk melahirkan. Anak perempuan menghadapi risiko tingkat komplikasi
yang terkait dengan persalinan yang jauh lebih tinggi, seperti fistula
obstetri, infeksi, perdarahan hebat, anemia dan eklampsia. Anak
perempuan yang telah menikah cenderung meiliki tingkat pendidikan
rendah karena terdapat sekolah di Indonesia yang menolak anak
perempuan yang telah menikah untuk bersekolah.

b. Bagi anak yang dilahirkan


Bayi yang dilahirkan oleh anak perempuan yang menikah pada usia anak
memiliki risiko kematian lebih tinggi, dan kemungkinannya dua kali lebih
besar untuk meninggal sebelum usia 1 tahun dibandingkan dengan anak-
anak yang dilahirkan oleh seorang ibu yang telah berusia dua puluh
tahunan. Bayi yang dilahirkan oleh pengantin anak juga memiliki
kemungkinan yang lebih tinggi untuk lahir prematur, dengan berat badan
lahir rendah, dan kekurangan gizi

c. Bagi masyarakat
Perkawinan usia anak dapat menyebabkan siklus kemiskinan yang
berkelanjutan, peningkatan buta huruf, kesehatan yang buruk kepada
generasi yang akan datang, dan merampas produktivitas masyarakat yang
lebih luas baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

2.2.4.4 Pernikahan Dini pada Kalangan Remaja


Pernikahan dini pada kalangan remaja merupakan salah satu bentuk
masalah serius yang harus ditanggulangi oleh Pemerintah. Prevalensi
pernikahan dini di Indonesia berdasarkan hasil SDKI 2012, 17 % perempuan
pernah menikah yang berusia 20-24 tahun melaporkan bahwa mereka menikah
sebelum usia 18 tahun.Pernikahan diantara anak perempuan berusia 15 tahun
adalah 3 %. Hal tersebut menunjukkan bahwa risiko perkawinan usia anak
meningkat pada remaja yang lebih tua (BPS, 2016).

34
Menurut United Nations Development Economic and Social Affairs
(UNDESA,2010), Indonesia termasuk Negara ke – 37 dengan persentase
pernikahan usia muda yang tinggi dan merupakan tertinggi kedua di ASEAN
setelah Kamboja. Pada tahun 2010, terdapat 158 negara dengan usia legal
minimal perempuan menikah adalah 18 tahun ke atas, namun di Indonesia
batas usia minimal untuk perempuan adalah 16 tahun dan usia menikah
pertama setiap tahunnya meningkat seperti tampak pada gambar di bawah ini.

Persentase Perempuan Pernah Menikah Usia 20 – 24 Tahun yang Menikah


Sebelum Usia 15 tahun Menuruy Daerah Tempat Tinggal Tahun 2008 - 2012

Persentase Perempuan Pernah Menikah Usia 20 – 24 Tahun yang Menikah


Sebelum Usia 18 tahun Menuruy Daerah Tempat Tinggal Tahun 2008 - 2012

35
Data diatas menunjukkan bahwa angka kejadian pernikahan dini di Indonesia
hampir sebagian besar terjadi d daerah pedesaan. Hal ini bisa disebabkan oleh
berbagai faktor yang diantaranya adalah karena faktor pendidikan, pengetahuan
dan adat istiadat yang berlaku di lingkungan tersebut.

Persentase Perempuan Pernah Menikah Usia 15 - 19 Tahun Menurut Status


Perkawinan dan Capaian Pendidikan Tahun 2012

Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa hampir sebagian besar perempuan yang
mengalami pernikahan dini tidak mendapatkan hak untuk mendapatkan
pendidikan formal. Kebanyakan dari mereka hanya lulus sekolah dasar. Hal ini
bisa disebabkan karena beberapa sekolah di Indonesia tidak menerima siswa
perempuan yang telah menikah bahkan sampai hamil atau memiliki anak.

Presentase Perempuan Pernah Kawin Usia 20 – 24 Tahun yang Menikah Sebelum


Usia 18 Tahun Menurut Kondisi Perumahan Tahun 2012

36
Perkawinan usia anak memiliki keterkaitandengan kemiskinan. Kemiskinan
mendorong orang tua untuk menikahkan anaknya, terlebih lagi ketika biaya
pendidikan tinggi. Dengan menikahkan anak perempuan, diharapkan
perekonomian keluarga menjadi lebih baik atau setidaknya si anak dapat
mempunyai taraf kehidupan yang lebih baik

Frekuensi kesehatan ibu hamil yang melakukan pernikahan dini tahun 2014

Sumber : Jurnal Kesehatan Ibu dan Bayi pada Pernikahan Dini, 2014

Pada kehamilan remaja akan berdampak adanya anemia karena sifat remaja
sendiri cenderung untuk mengalami anemia akibat pola makan yang salah serta
pada proses kehamilan akan terjad hemodelusi, sehingga akan memperparah
kondisi anemia pada kehamilan remaja. Selain itu kombinasi anemia dan keadaan
alat reproduksi yang belum siap akan meningkatkan resiko terjadnya pre
eklampsia atau eklampsia hingga kematian ibu dan bayi.

2.2.4.5 Upaya Pencegahan Pernikahan Dini


Pernikahan dini pada kalangan remaja merupakan masalah serius yang dapat
menghambat tujuan negara Indonesia dalam menciptakan generasi penerus
bangsa yang sehat, cerdas, dan berbudi pekerti yang luhur. Oleh sebab itu
37
pemerintah dibantu organisasi masyarakat harus bekerja sama untuk menurunkan
angka kejadian pernikahan dini di kalangan anak dan remaja. Dukungan dari
organisasi masyarakat tentang program bimbingan pra nikah dan sertifikasi calon
pengantin melalui sosialisasi pentingnya bimbingan pra nikah dan sertifikasi
calon pengantin; identifikasi dan penjangkauan pasangan calon pengantin;
pemberian motivasi, penyuluhan, dan pendampingan agar pasangan calon
pengantin untuk mengikuti bimbingan perkawinan yang diselenggarakan
KUA/lembaga agama, pemeriksakan status kesehatan di Puskesmas/fasilitas
pelayanan kesehatan, dan perencanaan keluarga.
BKKBN juga mencanangkan program “GenRe” yakni program yang
dikembangkan dalam rangka membantu penyiapan kehidupan berkeluarga bagi
remaja, agar mereka mampu menempuh jenjang pendidikan secara terencana;
berkarir dalam pekerjaan secara terencana; serta menikah dengan penuh
perencanaan sesuai siklus kesehatan reproduksi. Adapun yang menjadi sasaran
Program GenRe, adalah Remaja (10-24 tahun) dan belum menikah,
mahasiswa/mahasiswi belum menikah, keluarga, dan masyarakat peduli remaja.
Program GenRe dikembangkan melalui 2 pendekatan yaitu Pusat Informasi dan
Konseling Remaja/Mahasiswa (PIK R/M) dan Kelompok Bina Keluarga Remaja
(BKR). Upaya yang dilakukan adalah melalui peningkatan pemahaman,
pengetahuan, serta sikap dan perilaku positif remaja tentang : bagaimana remaja
dapat menghindari Seks Pranikah, mencegah Pernikahan Dini, menjuhi Narkoba,
memahami dan menerapkan 8 Fungsi Keluarga, serta memiliki Kecakapan Hidup
(fisik, mental, spiritual, kejuruan, kemampuan menghadapi kesulitan) (BKKBN,
2015).

38
BAB 3

KESIMPULAN

Masa remaja merupakan peralihan masa kanak-kanak menjadi dewasa yang


melibatkan perubahan berbagai aspek seperti biologis, psikologis, dan sosial-budaya. Remaja
adalah penduduk dalam rentang usia 10-19 tahun (WHO, 2014). Pada masa remaja mereka
mengalami masa transisi baik dari segi biologis, moral, dan kognitfnya. Hal ini mepengaruhi
timbul dan meningkatnya masalah – masalah remaja seperti penyalahgunaan NAPZA,
merokok, seks pra nikah dan pernikahan dini.

Penyalahgunaan NAPZA akan membawa dampak buruk hingga kematian bagi remaja
baik yang membeli, memakai bahkan menjualnya. Karena tidak hanya sanksi sosial tetapi
juga sanksi hukum akan menjeratnya. Merokok juga akan memberikan efek candu bagi
remaja. Hal ini akan berdampak bagi kesehatan remaja itu sendiri. Merokok akan
menimbulkan penyakit mulai dari penyakit pernapasan, jantung, dan berefek negatif pada
sistem tubuh remaja yang lain. Seks pra nikah pada remaja akan memberi dampak buruk baik
dari segi fisik dan psikologi remaja. Karena banyak dari remaja perempuan akan mengalami
kehamilan di usia remaja sehingg a akan berpengaruh pada kelanjutan pendidikannya dan
organ reproduksinya nanti. Selain itu seks pra nikah salah satunya akan berujung dengan
pernikahan dini. Pernikahan dini juga bisa disebabkan karena faktor lingkungan, adat istiadat,
kemiskinan, dan tingkat pengetahuan baik dari orangtua maupun remaja itu sendiri.

Oleh sebab itu perlu komitmen kuat baik dari pemerintah, organisasi, dan masyarakat.
Komitmen ini bertujuan untuk mewujudkan dan mengimplementasikan program – program
yang dibuat untuk dapat mencegah dan mengurangi angka kejadian masalah – masalah
remaja yang ada di Indonesia sehingga terciptalah bangsa Indonesia yang sehat, cerdas, dan
berbudi pekerti luhur.

39
DAFTAR PUSTAKA

Ananti, Yustina & Evy Ernawati. 2017. Perilaku seks pranikah pada remaja sebagai dampak
konsumsi minuman beralkohol. Yogyakarta.

Anna Freud. 1994. Memahami Ciri dan Perkembangan Masa Remaja. Diakses pada 19
Oktober 2018 dari www.ejournal.uin-suka.ac.id

Badan Narkotika Nasional. 2014. Laporan Akhir Survei Nasional Perkembangan


Panyalahgunaan Narkoba Tahun Anggaran 2014. BNN.

Badan Pusat Statistik. 2015. Analisis Data Perkawinan Anak di Indonesia. Jakarta. BPS.

BKKBN. 2014. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi Edisi 3. Jakarta. PT Bina
Pustaka.

BNN, PPKUI. 2016. Ringkasan Eksekutif Hasil Survei Penyalahgunaa dan Peredaran
Gelap Narkoba Pada Kelompok Pelajar dan Mahasiswa di 18 Provinsi Tahun 2016.
Jakarta. Puslitdatin BNN.

Budianto. 1989. Narkoba dan Pengaruhnya. Bandung : Ganeca Exact.

Buku Fakta Tembakau. 2014. Diakses Pada Tanggal 19 Oktober 2018 dari
https://www.researchgate.net/publication/301197501_Bunga_Rampai_Fakta_Tembakau_dan
_Permasalahannya_di_Indonesia_2014

Darmasih. 2009. Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Seks Pranikah Pada Remaja SMA di
Surakarta. Surakarta.

Desiyanti, Irne. 2015. Faktor-Faktor yang Berhubungan Terhadap Pernikahan Dini Pada
Pasangan Usia Subur di Kecamatan Mapanget Kota Manado. Manado.

Departemen Kesehatan RI INFODATIN. 2014. Situasi Kesehatan Reproduksi Remaja.


Jakarta Selatan. Departemen Kesehatan RI.

40
Ernawati, Hery & Metti Verawati. 2014. Kesehatan Ibu dan Bayi Pada Pernikahan Dini.
Ponorogo
Fadlyana, Eddy. 2009. Pernikahan Usia Dini dan Permasalahannya. Bandung : RS Dr Hasan
Sadikin

GATS. 2011. Global Adults Tobacco Survey Indonesia Report 2011. New Delhi: WHO
Regional Office For South-East Asia.

Kementerian Kesehatan RI. 2012. Survei Demografi Kesehatan Indonesia 2012 Kesehatan
Reproduksi Remaja. Jakarta. Kementerian Kesehatan.

Kemenkes RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar RI 2013. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan.

Komalasari, D.,Helmi, A. F. 2000. Faktor-Faktor Penyebab Perilaku Merokok pada


Remaja. Jurnal Psikologi Universitas Gadjah Mada Vol.3 No.1 Diakses Pada Tanggal 19
Oktober 2019 dari http://avin.staff.ugm.ac.id/data/jurnal/perilakumerokok_avin.pdf.

Kurniati & Widiatuti. 2014. Persepsi Remaja Dengan Perilaku Merokok Pada Siswa Sma Di
Bandar Lampung. Diakses Pada Tanggal 19 Oktober 2019 dari
http://lib.ui.ac.id/naskahringkas/2016-09//S55414-Kurniati%20Septia

Levy, M.R. 1984. Life and Health. New York: Random House.

Mubarak. 2010. Kesehatan Remaja Problem dan Solusinya. Jakarta: Salemba Medika

Mulyani, I. 2015. Dinamika Perilaku Merokok Pada Remaja. Diakses Pada Tanggal 19
Oktober 2018 dari http://eprints.ums.ac.id/33931/1/02.%20NASKAH %20PUBLIKASI.pdf
Mu’tadin, Z. 2002. Remaja dan Rokok. Diakses Pada Tanggal 19 Oktober 2018 dari www.e-
psikologi

Syarifuddin, Didin. 2012. Perilaku Seks Pranikah Sebagai Perilaku Sosial Menyimpang.
Bandung
Tempo.co. 2015. Ada 7 Program Penanggulangan Rokok di Indonesia. Diakses Pada Tanggal
19 Oktober 2018 dari https://gaya.tempo.co/read/670950/ada-7-program-penanggulangan-
rokok-di-indonesia/full&view=ok

Wahyudi, R. 2000. Kesehatan Reproduksi Remaja. Jakarta. PKB

World Health Organization (WHO). 2014. WHO Calls for Stronger Focus on Adolescent
Health. Geneva.

Zhao, Meng. dkk. 2004. Does Smoking Make One Dumber? Evidence from
Teenagers in Rural China, University of Pennsylvania Sholarly Commons Diakses Pada
Tanggal 19 Oktober 2018 dari www.aeaweb.org

41
42

Anda mungkin juga menyukai