Anda di halaman 1dari 22

Makalah

RINITIS ALERGI

Disusun oleh :

Abdul Rahman Pulungan 140100078


M.Mulki Tarigan 140100020
Andini Waltrin 140100124
Turgadevi Subramanian 140100233
Dharseena Seshadri 140100247

Pembimbing :
dr. Yuritna Haryono, M.Ked(ORL-HNS), Sp.THT-KL (K)

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN TELINGA, HIDUNG,
TENGGOROKAN, KEPALA DAN LEHER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RSUP H. ADAM MALIK
2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, atas berkat dan rahmat-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Rinitis Alergi”. Tujuan
penulisan makalah ini adalah untuk melengkapi persyaratan Program Pendidikan
Profesi Dokter (P3D) di Departemen Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok,
Kepala dan Leher Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang turut
membantu dengan memberikan dukungan ide. Biarlah Allah SWT yang membalas
setiap kebaikan yang telah diberikan kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, baik isi maupun susunan bahasanya. Untuk itu, penulis mengharapkan
saran dan kritik dari pembaca sebagai masukan dalam penulisan makalah penyuluhan
selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat. Akhir kata penulis mengucapkan terima
kasih.

Medan, Juli 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................. ii
DAFTAR ISI............................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN............................................................................................ 1

1.1 Latar Belakang............................................................................................................... 1


1.2 Tujuan Pembuatan Makalah.................................................................................2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA..................................................................................3

2.1 Anatomi Hidung.............................................................................................................5

2.1.1 Vaskularisasi Hidung..................................................................................................5

2.1.2 Anatomi Sinus Prenasal.............................................................................................7


2.2 Fisiologi Hidung.............................................................................................................8
2.3 Definisi.........................................................................................................................11
2.4 Epidemiologi................................................................................................................11
2.5 Klasifikasi.....................................................................................................................11
2.6 Etiologi.........................................................................................................................12
2.7 Patofisisologi................................................................................................................13
2.8.Gejala Klinis................................................................................................................15
2.9.Diagnosis...................................................................................................................... 15
2.10.Diagnosis Banding......................................................................................................17
2.11.Komplikasi.................................................................................................................18
2.12.Penatalaksanaan..........................................................................................................18
2.13.Prognosis....................................................................................................................19
BAB III KESIMPULAN...........................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................21
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh alergi pada
pasien yang atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama
serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan
alergen spesifik tersebut. Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and It’s
Impact on Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-
bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang
diperantarai oleh IgE.1
Prevalensi rinitis di dunia saat ini mencapai 10-25% atau lebih dari 600 juta
penderita dari seluruh etnis dan usia.2 Di Amerika Serikat, lebih dari 40 juta warganya
menderita rinitis alergi. Rinitis alergi pada anak lebih sering terjadi pada anak laki-laki
dibandingkan anak perempuan, sedangkan pada dewasa prevalensi rinitis alergi laki-
laki sama dengan perempuan. Sekitar 80% kasus rinitis alergi berkembang mulai usia
20 tahun. Insidensi rinitis alergi pada anak-anak 40% dan menurun sejalan dengan
usia.3 Di Indonesia belum ada angka yang pasti, tetapi di Bandung prevalensi rinitis
alergi pada usia 10 tahun ditemukan cukup tinggi (5,8%).2
Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Terapi pada rinitis alergi adalah
menghindari kontak dengan alergen penyebab, medikamentosa, operatif dan
imunoterapi.

1.1. Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Program
Pendidikan Profesi Dokter (P3D) di Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL, Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Hidung

Gambar 2.1 (a) Anatomi hidung luar


Berdasarkan struktur anatominya, hidung dibagi menjadi hidung luar dan
hidung dalam. Hidung luar dibagi menjadi tiga bagian, yaitu yang pertama adalah
kubah tulang, merupakan bagian yang paling atas yang tidak dapat digerakkan, yang
kedua adalah kubah kartilago, merupakan bagian dibawah kubah tulang yang dapat
digerakkan, yang ketiga adalah lobulus hidung, bagian yang paling bawah dan mudah
digerakkan.1
Gambar 2.1 (b) Anatomi hidung dalam
Sedangkan hidung dalam, terbentang dari os internum di anterior hingga koana
di posterior, yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring.1 Septum nasi membagi
tengah bagian hidung dalam menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Setiap kavum nasi
mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior.2
Bagian lateral dari kavum nasi masing-masing terdapat konka. Konka memiliki
rongga udara yang tak teratur di antaranya, yaitu meatus superior, media, dan inferior.
Duktus nasolakrimalis bermuara pada meatus inferior di bagian inferior. Sinus
frontalis, etmoidalis anterior, dan maksilaris bermuara pada hiatus semilunaris dari
meatus media. Sel – sel sinus etmoidalis posterior bermuara pada meatus superior,
sedangkan sinus sfenoidalis berakhir pada resesus sfenoetmoidalis.1
2.1.1 Vaskularisasi Hidung

Gambar 2.1.1 (a) Vaskularisasi Hidung


Suplai darah ke rongga hidung berasal dari cabang arteri maksilaris interna.
Cabang sfenopalatina dari arteri maksilaris interna menyuplai daerah konka, meatus
dan septum. Cabang etmoidalis anterior dan posterior dari arteri oftalmika menyuplai
sinus frontalis dan etmoidalis serta atap hidung. Sinus maksilaris disuplai oleh cabang
arteri labialis superior dan cabang infraorbitalis. Sedangkan sinus sfenoidalis
mendapatkan suplai dari alveolaris dari arteri maksilaris interna dan cabang faringealis
dari arteri maksilaris interna.1
Vena-vena membentuk suatu pleksus kavernosa yang rapat di bawah membrana
mukosa. Pleksus ini terlihat nyata di atas konka media dan inferior, serta bagian bawah
septum dimana ia membentuk jaringan erektil. Drainase vena terutama melalui vena
oftalmika, fasialis anterior, dan sfenopalatina.1

Gambar 2.1.1 (b) Inervasi Hidung


Salah satu saraf yang berperan dalam rongga hidung adalah N. olfaktorius yang
terdapat pada membrana mukosa. Saraf ini naik ke atas melalui lamina cribrosa dan
mencapai bulbus olfactorius. Saraf – saraf sensasi umum berasal dari divisi ophtalmica
dan maxillaris N. trigeminus. Persarafan bagian anterior rongga hidung berasal dari n.
etmoidalis anterior. Sedangkan bagian posteriornya berasal dari ramus nasalis, ramus
nasopalatinus, dan ramus palatinus ganglion pterygopalatinum.1
2.1.2 Anatomi Sinus Paranasal
Gambar 2.1.2 Sinus Paranasal
Sinus paranasal merupakan rongga-rongga udara yang terdapat di dalam os
maxilla, os frontale, os sphenoidale, dan os ethmoidale. Sinus memiliki fungsi sebagai
resonator suara, juga untuk mengurangi berat tengkorak. Bila muara sinus tersumbat
atau sinus terisi cairan kualitas suara akan berubah. 1
Sinus maksilaris terdapat dalam korpus maksilaris yang berbentuk piramid
dengan basis membentuk dinding lateral hidung dan apeks di dalam prosesus
zigomatikus maksila. Membran mukosa sinus maksilaris dipersarafi oleh n. alveolaris
superior dan n. infraorbitalis.1
Sinus frontalis ada 2 buah yang dipisahkan oleh septum tulang yang sering
menyimpang dari bidang median. Setiap sinus berbentuk segitiga dan meluas ke atas.
Membran mukosanya dipersarafi oleh n. supraorbitalis.
Sinus sfenoidalis, juga terdiri atas 2 buah rongga di dalam corpus ossis
sphenoidalis. Membran mukosanya dipersarafi oleh n. etmoidalis posterior.
Sinus etmoidalis yang terdapat di antara hidung dan mata. Sinus ini dibagi
menjadi kelompok anterior, media, dan posterior. Kelompok anterior bermuara ke
dalam infundibulum, kelompok media bermuara ke dalam meatus media, dan
kelompok posterior bermuara ke dalam meatus superior. Membran mukosanya
dipersarafi oleh n. etmoidalis anterior dan posterior.1
2.2 Fisiologi Hidung
Hidung sebagai organ penting dalam jalur pernafasan manusia memiliki
beberapa fungsi penting yaitu sebagai:1
1) organ penghidu
2) tahanan jalan nafas
3) penyesuai udara
4) purifikasi udara, dan
5) fungsi mukosiliar.
Teori struktural, teori revolusioner, dan teori fungsional menjelaskan fungsi
fisiologis hidung dan sinus paranasal, antara lain:2
1. Fungsi respirasi, mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring udara,
humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik
lokal
2. Fungsi penghidu, karena terdapatnya mukosa olfaktorius (penciuman), dan
reservoir udara untuk menampung stimulus penghidu
3. Fungsi fonetik, berguna untuk resonansi suara, membantu proses berbicara dan
mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang
4. Fungsi statistik dan mekanik, untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap
trauma dan pelindung panas
5. Refleks nasal
2.2.1 Fisiologi Penciuman

Gambar 2.2.1 (a) Struktur sel olfaktori


Bagian anterior lubang hidung yang dikenal dengan vestibulum nasi dilapisi
oleh epitel skuamosa berkeratin. Pada anterior konka inferior epitel berubah menjadi
tidak berkeratin kemudian akhirnya menjadi bersilia. Oleh karena itu, rongga hidung
kita terdiri dari dua mukosa hidung, yaitu respiratorius dan olfaktorius. Mukosa
olfaktorius merupakan area berukuran 100-500mm2 pada bagian superior dari septum
nasi, konka superior dan konka media yang berdekatan dengan lempeng kribosa.
Mukosa ini dilapisi oleh epitel torak berlapis semu bersilia yang tersusun dari sel silia,
sel goblet, sel reseptor, sel penunjang dan sel basal.2

Berbeda dengan silia respiratorius, silia epitel olfaktorius lebih panjang dan
tidak memiliki lengan dinein. Silia olfaktorius berisi tujuh buah domain reseptor
transmembran yang berinteraksi dengan ligan bau-bauan. Aksi silia ini mendorong
sekret mukus yang berasal dari sel goblet dan kelenjar nasal menuju nasofaring. Sel
goblet mensekresi kelenjar yang juga berperan dalam penghantaran bau. Mukosa
olfaktorius mengandung 10-20 juta sel olfaktorius bipolar. Sel olfaktorius ini
memiliki dendrit dan akson yang terletak antara sel penunjang dan sel basal,
kemudian berkumpul menjadi fila olfaktorius tanpa dilapisi oleh sel Schwan. Fila
olfaktorius ini melalui foramen dari lempeng kribosa tulang etmoid masuk ke bagian
atap lubang hidung. Fila olfaktorius ini membentuk nervus olfaktorius menuju bulbus
olfaktorius yang merupakan pusat olfaktorius primer. Bulbus olfaktorius terletak pada
dasar korteks frontalis fossa anterior. Bulbus olfaktorius terdiri dari 2 lapis yaitu
lapisan pertama yang merupakan lapisan sel glomerulus, sedangkan lapisan dua
terdiri dari dari sel mitral, sel granular. Sel penunjang atau sel sustenkular
memisahkan sel reseptor bipolar satu dengan yang lainnya. Sel ini mengakibatkan
tidak aktifnya bau-bauan dan melindungi epitel dari benda asing, sedangkan sel basal
merupakan sel yang terletak dekat membran basalis.2

Secara fisiologi, proses penghidu diawali dari zat pembau yang terhirup. Di
hidung zat ini bercampur dengan mukus olfaktorius. Mukus olfaktorius
mempresentasikan zat pembau dengan dipengaruhi oleh daya serap, daya larut dan
reaktivitas kimia. Protein pengikat yang bersifat mudah larut mempermudah akses zat
pembau ke reseptor olfaktorius. Pada permukaan silia olfaktorius, informasi kimiawi
berubah menjadi potensial aksi listrik Aksi listrik terjadi pada saat zat pembau
berinteraksi dengan protein reseptor yang disebut protein G. Protein G mengaktifkan
adenylyl cyclase yang merubah ATP menjadi cyclic adenosine monophosphate
(cAMP). cAMP membuka saluran ion yang menyebabkan masuknya ion natrium
(Na2+) dan kalsium (Ca2+) serta mencetuskan potensial aksi sepanjang akson sel
olfaktorius. Akson sel olfaktorius menembus lamina kribosa dan bersinaps dengan
lapisan glomerulus di bulbus olfaktorius.2

Pada bulbus olfaktorius terjadi integrasi sinyal antara akson dengan dendrit sel
mitral. Setelah itu sinyal menuju sistem saraf pusat dengan mengikuti tiga jaras. Jaras
pertama dari bulbus olfaktorius menuju ke tuberkulum olfaktorius, melewati bagian
medial inti dorsalis talamus dan berahir pada korteks orbitofrontal. Jaras ini
memberikan persepsi bau secara sadar. Jaras kedua dari bulbus olfaktorius menuju ke
korteks piriformis dilanjutkan ke amigdala dan korteks entorinal berahir pada
hipotalamus, midbrain dan hipokampus. Jaras ini melewati sistem limbik sehingga
memediasi aspek memori sistem penghidu. Jaras ketiga bersifat bilateral dimana jaras
ini menghubungkan informasi dari dua sisi bulbus olfaktorius.2

2.3. Definisi

Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi
pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama
serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan
alergen spesifik tersebut (von Pirquet, 1986). Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis
and its Impact on Asthma) tahun 2001, rinitis alergi adalah kelainan pada hidung
dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung
terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.3,4
2.4. Epidemiologi
Di Amerika Serikat rinitis alergi merupakan penyakit alergi terbanyak dan
menempati posisi ke-6 penyakit yang bersifat menahun (kronis). Rinitis alergi juga
merupakan alasan ke-2 terbanyak kunjungan masyarakat ke ahli kesehatan profesional
setelah pemeliharaan gigi. Angka kejadian rinitis alergi mencapai 20%. Menurut
International Study of Asthma and Allergies in Children (ISAAC, 2006), Indonesia
bersama-sama dengan negara Albania, Rumania, Georgia dan Yunani memiliki
prevalensi rinitis alergi yang rendah yaitu kurang dari 5%.4,5
2.5. Klasifikasi
Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat
berlangsungnya, yaitu:1,2
1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis)

Di Indonesia tidak dikenal rhinitis alergi musiman, hanya ada di negara yang
mempunyai 4 musim. Alergen penyebabnya spesifik, yaitu serbuk (pollen) dan spora
jamur. 1,2
2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial)

Gejala pada penyakit ini timbul intermiten atau terus-menerus, tanpa variasi
musim, jadi dapat ditemukan sepanjang tahun. Penyebab yang paling sering ialah
allergen inhalen, terutama pada orang dewasa, dan alergen ingestan. Alergen inhalan
uatama adalah alergen dalam rumah seperti tungau dan alergen diluar rumah. Alergen
ingestan sering merupakan penyebab pada anak-anak dan biasanya disertai dengan
gejala urtikaria, gangguan pencernaan. Gangguan fisiologik pada golongan perennial
lebih ringan dibandingkan dengan golongan musiman tetapi lebih persisten maka
komplikasinya lebih sering ditemukan.1,2

Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO
initiative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, yaitu
berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi:1,2
1. Intermiten (kadang-kadang)

Bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4 minggu.


2. Persisten/menetap

Bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4 minggu.

Sedangkan untuk derajat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi


menjadi:1,2
1. Ringan

Bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktifitas harian, bersantai,


berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.
2. Sedang-berat

Bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.


2.6. Etiologi
Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi
genetik dalam perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat
berperan pada ekspresi rinitis alergi (Adams, Boies, Higler, 1997). Penyebab rinitis
alergi tersering adalah alergen inhalan pada dewasa dan ingestan pada anak- anak.
Pada anak-anak sering disertai gejala alergi lain, seperti urtikaria dan gangguan
pencernaan. Penyebab rinitis alergi dapat berbeda tergantung dari klasifikasi. Beberapa
pasien sensitif terhadap beberapa alergen. Alergen yang menyebabkan rinitis alergi
musiman biasanya berupa serbuk sari atau jamur. Rinitis alergi perenial (sepanjang
tahun) diantaranya debu tungau, terdapat dua spesies utama tungau yaitu
Dermatophagoides farinae dan Dermatophagoides pteronyssinus, jamur, binatang
peliharaan seperti kecoa dan binatang pengerat. Faktor resiko untuk terpaparnya debu
tungau biasanya karpet serta sprai tempat tidur, suhu yang tinggi, dan faktor
kelembaban udara. Kelembaban yang tinggi merupakan faktor resiko untuk untuk
tumbuhnya jamur. Berbagai pemicu yang bisa berperan dan memperberat adalah
beberapa faktor nonspesifik diantaranya asap rokok, polusi udara, bau aroma yang kuat
atau merangsang dan perubahan cuaca6
Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas:

 Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya


debu rumah, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur.
 Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya
susu, telur, coklat, ikan dan udang.

 Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya


penisilin atau sengatan lebah.
 Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan
mukosa, misalnya bahan kosmetik atau perhiasan 7
2.7. Patofisiologi
Rinitis alergika (RA) melibatkan inflamasi pada membran mukosa hidung,
mata, tuba esutachius, telinga tengah, sinus dan faring. Hidung selalu terlibat
sementara keterlibatan organ lain berebeda setiap individu. Inflamasi membran mukosa
dicirikan dengan adanya kompleks interaksi mediator inflamasi tetapi lebih utama
dipicu oleh respon IgE terhadap protein ekstraselular.8
Kecendrungan berkembangnya alergi akibat faktor genetik. Pada individu yang
rentan terhadap protein asing tertentu memicu terjadinya sensitisasi yang dicirikan
adanya produksi IgE spesifik untuk melawan protein spesifik. IgE spesifik
membungkus permukaan sel mast yang biasanya terdapat di mukosa nasal. Ketika
protein spesifik terhirup dan akhirnya masuk ke dalam hidung, ia terikat pada IgE yang
berada pada sel mast sehingga terjadilah dengan segera atau tertunda pelepasan
sejumlah mediator inflamasi. 8
Gambar 2.3 Mekanisme Imunologi Rinitis Alergika

Mediator yang terlepas segera termasuk diantaranya histamin, triptase, kimase,


kinin dan heparin. Sel mast mensintesiskan dengan cepat mediator lain termasuk
leukotrin dan prostaglandin D2. Mediator-mediator tersebut dengan berbagai interaksi
menyebabkan rinorea (kongesti nasal, bersin, gatal, kemerahan, berair, pembengkakan,
tekanan telinga dan postnasal drip). Kelenjer mukus terstimulasi sehingga terjadi
peningkatan sekresinya. Peningkatan permeabilitas vaskular memicu eksudasi plasma.
Vasodilatasi menyebabkan kongesti dan tekanan. Nervus sensori terstimulasi
menyebabkan bersin dan gatal. Semua gejala mucul hanya dalam hitungan menit,
reaksi inilah yang disebur early or immediate reaction. 8
Setelah 4-8 jam, mediator-mediator tersebut merangsang sel-sel inflamasi
mendekati mukosa seperti neutrofil, eosinofil, limfosit dan makrofag. Inilah yang
meyebabkan inflamasi berlanjut disebut dengan late reaction. Gejala pada fase ini
mirip dengan fase awal tetapi bersin dan gatal berkurang tetapi kongesti dan produksi
mukus meningkat. Fase ini bertahan hingga beberapa jam atau hari. Efek sistemik
seperti lelah, ngantuk dan malaise terjadi akibat respon inflamasi. Gejala inilah yang
menyebabkan gangguan kualitas hidup. 8
2.8. Gejala Klinis
Secara klinis, terdapat 2 fase respon alergi :
1. Acute or early phase. Fase ini terjadi dalam 5-30 menit setelah paparan terhadap
alergen spesifik sehingga terjadilah bersin, hidung tersumbat atau bronkospasme.
2. Late or delayed phase. Fase ini terjadi dalam 2-8 jam setelah paparan tanpa adanya
paparan tambahan sehingga menyebabkan pembengkakan, kongesti dan
peningkatan sekresi.9
RA dapat melibatkan telinga, mata dan orofaring seperti disebutkan sebagi
berikut:
a. Telinga : retraksi dan fleksibilitas yang abnormal dari membarn timpani
b. Mata : injeksi dan edema konjungtiva palpebra dengan peningkatan produksi air
mata; Dennie-Morgan lines (lipatan menonjol dibawah kelopak mata); allergic
shiners (lingkaran hitam mata) yang berhubungan dengan vasodilatasi atau
kongesti hidung.
c. Orofaring : Cobblestoning (garis pada jaringan limfoid faring posterior);
hipertrofi tonsil dan maloklusi serta high-arched palate.
d. Nasal crease : lipatan horizontal melintasi bagian bawah jembatan hidung yang
disebabkan oleh gesekan berulang ujung hidung dengan telapak tangan
e. Laring : edema pita suara dan suara serak. 8,9
2.9.Diagnosis
Diagnosis rinitis alergi umumnya dapat ditegakkan dengan anamnesa ,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang berdasarkan:
a.Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena sering kali serangan tidak terjadi dihadapan
pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Gejala rinitis
alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Gejala lain ialah keluar
hingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang
kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Kadang-kadang
keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang
diutarakan oleh pasien. Perlu ditanyakan pola gejala (hilang timbul, menetap) beserta
onset dan keparahannya, identifikasi faktor predisposisi karena faktor genetik dan
herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis alergi, respon terhadap pengobatan,
kondisi lingkungan dan pekerjaan. Rinitis alergi dapat ditegakkan berdasarkan
anamnesis, bila terdapat 2 atau lebih gejala seperti bersin-bersin lebih 5 kali setiap
serangan, hidung dan mata gatal, ingus encer lebih dari satu jam, hidung tersumbat,
dan mata merah serta berair maka dinyatakan positif.10
b.Pemeriksaan Fisik
Pada muka biasanya didapatkan garis Dennie-Morgan dan allergic shinner,
yaitu bayangan gelap di daerah bawah mata karena stasis vena sekunder akibat
obstruksi hidung (Irawati, 2002). Selain itu, dapat ditemukan juga allergic crease yaitu
berupa garis melintang pada dorsum nasi bagian sepertiga bawah. Garis ini timbul
akibat hidung yang sering digosok-gosok oleh punggung tangan (allergic salute). Pada
pemeriksaan rinoskopi ditemukan mukosa hidung basah, berwarna pucat atau livid
dengan konka edema dan sekret yang encer dan banyak. Perlu juga dilihat adanya
kelainan septum atau polip hidung yang dapat memperberat gejala hidung tersumbat.
Selain itu, dapat pula ditemukan konjungtivis bilateral atau penyakit yang berhubungan
lainnya seperti sinusitis dan otitis media.11
c.Pemeriksaan Penunjang
1. In vitro
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula
pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) sering kali menunjukkan
nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit,
misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Lebih
bermakna adalah dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test .Tes ini untuk
mengetahui alergi terhadap allergen hirup dan makanan. Tes ini memerlukan sampel
serum darah sebanyak 2cc, lalu serum darah diperoses dengan mesin komputerisasi
khusus, hasilnya dapat diketahui setelah 4 jam. Kelebihan tes ini dapat dilakukan pada
usia berapapun , tidak dipengaruhi obat obatan. Kemungkinan alergi inhalan, jika
basofil (5 sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel
PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri.11
2. In vivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes tusuk kulit ( skin
prick test), uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point
Titration/SET). Tes kulit tusuk, tes ini untuk allergen hirup dan makanan. Syarat
dilakukan tes ini pasien harus dalam keadaan sehat dan bebas obat yang mengandung
anti histamine selama 3-7 hari Dilakukan dengan cara meneteskan antigen pada kulit,
kemudian kulit dicungkit dengan sudut 45 derajat dengan jarum ukuran no 26 ditunggu
selama 15 menit. Interpretasi dari tes ini +1 ringan bila bentol > control negative, +2
sedang bila bentol < dari control positif dan lebih besar 2 mm dari control negative, +3
kuat bila bentol dengan control positif dan +4 bila bentol > dari control positif.13
SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam
berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen
penyebab juga derajat alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui
(Sumarman, 2000). Untuk alergi makanan, uji kulit seperti tersebut diatas kurang dapat
diandalkan. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan provokasi. Alergen ingestan secara
tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari. Karena itu pada tes provokasi,
makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5 hari,
selanjutnya diamati reaksinya.13
2.10. Diagnosa Banding
1.Rinitis Simpleks
Penyakit ini merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus. Sering disebur
common cold dan flu. Penyebabnya ialah rhinovirus yang paling sering. Penyakit ini
sangat menular gejalanya dapat timbul sebagai akibat tidak adanya kekebalan, atau
menurunya daya tahan tubuh. Pada stadium prodromal yang berlangsung beberapa
jam, didapatkan rasa panas, kering dan gatal di dalam hidung, kemudian akan timbul
bersin berulang , hidung tersumbat dan ingus encer, yang biasanya disertai dengan
demam dan nyeri kepala, mukosa hidung tampak merah dan bengkak.14
2.Rinitis Vasomotor
Rinitis vasomotor adalah suatu keadaan idiopatik yang didiagnosis tanpa
adanya infeksi dan alergi. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior tampak gambaran khas
berupa edema mukosa hidung, konka berwarna merah gelap atau merah tua, tetapi
dapat pula pucat. Hal ini perlu dibedakan dengan rhinitis alergi. Permukaan
konkadapat licin atau berbenjolan atau hipertrofi. Pada rongga hidung terdapat secret
mucoid, biasanya sedikit. Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menyingkirkan
kemungkinan rhinitis alergi. Biasanya dijumpai tes tusuk kulit negative dan kadar IgE
tidak meningkat.14
2.11. Komplikasi
Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah:1
1. Polip hidung yang memiliki tanda patognomonis: inspisited mucous glands,
akumulasi sel-sel inflamasi yang luar biasa banyaknya (lebih eosinofil dan limfosit
T (CD4+), hiperplasia epitel, hiperplasia goblet, dan metaplasia skuamosa.1
2. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak.1
3. Sinusitis paranasal merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih sinus para nasal.
Terjadi akibat edema ostia sinus oleh proses alergis dalam mukosa yang
menyebabkan sumbatan ostia sehingga terjadi penurunan oksigenasi dan tekanan
udara rongga sinus. Hal tersebut akan menyuburkan pertumbuhan bakteri terutama
bakteri anaerob dan akan menyebabkan rusaknya fungsi barier epitel antara lain
akibat dekstruksi mukosa oleh mediator protein basa yang dilepas sel eosinofil
(MBP) dengan akibat sinusitis akan semakin parah.1

2.12. Penatalaksanaan
Terapi pada rinitis alergi dilakukan dengan beberapa modalitas yaitu:
1. Penghindaran alergen dan kontrol lingkungan
Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan alergen
penyebabnya. Hal tersebut merupakan aspek terpenting dalam tatalaksana rinitis
alergi. Pada umumnya, pengendalian pajanan cukup untuk mengatasi gejala
(meskipun membutuhkan waktu berbulan-bulan).2 Membuat kondisi lingkungan
senyaman mungkin dengan menghindari stimulus non spesifik seperti asap rokok,
udara dingin dan kering.15
2. Medikamentosa15,16,10
 Antihistamin oral : terapi lini pertama untuk gejala ringan. Contoh: cetirizin
(10 mg Peroral 1 kali/hari), fexofenadin (120 mg 1 kali/hari), loratadin (10
mg Peroral 1 kali/hari).
 Kortikosteroid intranasal untuk gejala sedang/berat atau persisten (gunakan
selama 1 bulan secara konsisten untuk mendapatkan efek terapeutik). Contoh
kortikosteroid intranasal yang dapat digunakan adalah beclomethasone (168-
336 µg/hari), budesonide (252 µg/hari), fluticasone (100-200 µg/hari), dan
monometasone furoate (100-200 µg/hari).
 Dekongestan intranasal (penggunaan dibatasi untuk <5 hari untuk mencegah
rinitis medikamentosa) diberikan jika disertai obstruksi nasal. Contohnya
seperti pseudoefedrin, oksimetazolin dan fenilepinefrin.
3. Imunoterapi

Apabila tidak ada perbaikan setelah farmakoterapi optimal dan penghindaran


alergen yang optimal, maka dipertimbangkan untuk pemberian imunoterapi secara
subkutan atau sublingual. Imunoterapi ini diberikan selama 3-5 tahun untuk
mempertahankan efektivitas terapi jangka panjang. Tujuan dari imunoterapi
adalah pembentukan IgG blocking antibody dan penurunan IgE.16
4. Operatif

Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior), konkoplasti


atau multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu dipikirkan bila konka
inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi
memakai AgNO3 25% atau triklor asetat.15
2.13 Prognosis
BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA

1. Iskandar, N. Soepardi, E & Bashiruddin J., et al (ed) 2012, Rinitis Alergi, Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala Leher, Edisi 7, Jakarta: Balai Penerbit FK
UI, Pp 106-111.

2. Doty R.L. Mishra A. 2001. Olfaction and its relation by nasal obstruction, rhinitis and
rhinosinusitis. The Laryngoscope. 111(3)
3. Irawati, N., Kasakeyan, E., Rusmono, N. Rinitis Alergi. Dalam: Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telonga Hidung Tenggorok Kepala Leher Edisi keenam. Jakarta: Balai
Penerbit FK UI; 2007; 128-134.
4. Sudiro, M., Madiadipoera, T., Purwanto, B. Eosinofil Kerokan Mukosa Hidung Sebagai
Diagnostik Rinitis Alergi. MKB volume 42 No 1; 2010. hslm 6-11.
5. Schatz M. A survey of the burden of allergic rhinitis in the USA. Allergy. 2010;62(Suppl
85):9-16
6.Sheikh, J. Allergic Rhinitis. Available from: http://emedicine.medscape.
com/article/134825 [Accessed 11 Oktober 2014].
7. Adams, G., Boies, L R., Higler, P A. Penyakit Hidung. Dalam : Boies Buku Ajar
Penyakit THT Edisi keenam. Jakarta: EGC; 1997; 210-218.
8. Sheikh J. Allergic Rhinitis [Internet]. 2018 [cited 2019 Jul 24]. p. 1. Available from:
https://emedicine.medscape.com/article/134825-overview?
src=android&devicetype=android&osversion=7.1.1&appversion=6.1.1&src=medscapeap
p-android&ref=share
9. Dixon RJBT, Farooque SRDS, Leech NJS, Roberts SMNRPG. BSACI GUIDELINES
BSACI guideline for the diagnosis and management of allergic and non-allergic rhinitis
( Revised Edition 2017 ; First edition 2007 ). 2017;(February):856–89.
10. A.S Efiaty, I Nurbaiti, B Jenny, D R Ratna. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung
tenggorok kepala & Leher. 6th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
2007.
11. Hilger PA. Penyakit sinus paranasalis. Dalam : Boeis, Buku Ajar Penyakit THT. Edisi
Bahasa Indonesia, alih bahasa: Carolin Wijaya, edisi 6. Jakarta EGC, 1996 : 240 – 59.
12. Andrianto P. Penyakit telinga hidung dan tenggorokan. Jakarta: EGC; 1993
13. Donald C, David W. Nose and sinus mucosal inflammation and infection, including
medical therapy, Current Review of Otolaryngology and Head and Neck Surgery 1994 ; 2
: 27 - 32.
14. Suprihati, Setiadi. Positive Skin Prick Test, Sinus Mucosal Eosinophil and Duration of
Symptoms as Risk Factor of the Severity of Chronic Rhinosinusitis. The 14th Asian
Research Symposium in Rhinology, 26 – 27 March 2010, Hochiminh City, Vietnam.

15. Arifputera A, Irawati N. Rinitis Alergi dalam Kapita Selekta Kedokteran Jilid II. Edisi 3.
2008.
16.Rinitis Alergi dalam Panduan Praktik Klinis di Bidang Telinga Hidung Tenggorok-Kepala
Leher. Volume 2. Perhimpunan Dokter SpesialisTelinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala
Leher Indonesia. 2016.

Anda mungkin juga menyukai