Rinitis Alergi Refarat
Rinitis Alergi Refarat
RINITIS ALERGI
Disusun oleh :
Pembimbing :
dr. Yuritna Haryono, M.Ked(ORL-HNS), Sp.THT-KL (K)
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, atas berkat dan rahmat-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Rinitis Alergi”. Tujuan
penulisan makalah ini adalah untuk melengkapi persyaratan Program Pendidikan
Profesi Dokter (P3D) di Departemen Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok,
Kepala dan Leher Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang turut
membantu dengan memberikan dukungan ide. Biarlah Allah SWT yang membalas
setiap kebaikan yang telah diberikan kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, baik isi maupun susunan bahasanya. Untuk itu, penulis mengharapkan
saran dan kritik dari pembaca sebagai masukan dalam penulisan makalah penyuluhan
selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat. Akhir kata penulis mengucapkan terima
kasih.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................................. ii
DAFTAR ISI............................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................ 1
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh alergi pada
pasien yang atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama
serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan
alergen spesifik tersebut. Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and It’s
Impact on Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-
bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang
diperantarai oleh IgE.1
Prevalensi rinitis di dunia saat ini mencapai 10-25% atau lebih dari 600 juta
penderita dari seluruh etnis dan usia.2 Di Amerika Serikat, lebih dari 40 juta warganya
menderita rinitis alergi. Rinitis alergi pada anak lebih sering terjadi pada anak laki-laki
dibandingkan anak perempuan, sedangkan pada dewasa prevalensi rinitis alergi laki-
laki sama dengan perempuan. Sekitar 80% kasus rinitis alergi berkembang mulai usia
20 tahun. Insidensi rinitis alergi pada anak-anak 40% dan menurun sejalan dengan
usia.3 Di Indonesia belum ada angka yang pasti, tetapi di Bandung prevalensi rinitis
alergi pada usia 10 tahun ditemukan cukup tinggi (5,8%).2
Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Terapi pada rinitis alergi adalah
menghindari kontak dengan alergen penyebab, medikamentosa, operatif dan
imunoterapi.
1.1. Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Program
Pendidikan Profesi Dokter (P3D) di Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL, Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Berbeda dengan silia respiratorius, silia epitel olfaktorius lebih panjang dan
tidak memiliki lengan dinein. Silia olfaktorius berisi tujuh buah domain reseptor
transmembran yang berinteraksi dengan ligan bau-bauan. Aksi silia ini mendorong
sekret mukus yang berasal dari sel goblet dan kelenjar nasal menuju nasofaring. Sel
goblet mensekresi kelenjar yang juga berperan dalam penghantaran bau. Mukosa
olfaktorius mengandung 10-20 juta sel olfaktorius bipolar. Sel olfaktorius ini
memiliki dendrit dan akson yang terletak antara sel penunjang dan sel basal,
kemudian berkumpul menjadi fila olfaktorius tanpa dilapisi oleh sel Schwan. Fila
olfaktorius ini melalui foramen dari lempeng kribosa tulang etmoid masuk ke bagian
atap lubang hidung. Fila olfaktorius ini membentuk nervus olfaktorius menuju bulbus
olfaktorius yang merupakan pusat olfaktorius primer. Bulbus olfaktorius terletak pada
dasar korteks frontalis fossa anterior. Bulbus olfaktorius terdiri dari 2 lapis yaitu
lapisan pertama yang merupakan lapisan sel glomerulus, sedangkan lapisan dua
terdiri dari dari sel mitral, sel granular. Sel penunjang atau sel sustenkular
memisahkan sel reseptor bipolar satu dengan yang lainnya. Sel ini mengakibatkan
tidak aktifnya bau-bauan dan melindungi epitel dari benda asing, sedangkan sel basal
merupakan sel yang terletak dekat membran basalis.2
Secara fisiologi, proses penghidu diawali dari zat pembau yang terhirup. Di
hidung zat ini bercampur dengan mukus olfaktorius. Mukus olfaktorius
mempresentasikan zat pembau dengan dipengaruhi oleh daya serap, daya larut dan
reaktivitas kimia. Protein pengikat yang bersifat mudah larut mempermudah akses zat
pembau ke reseptor olfaktorius. Pada permukaan silia olfaktorius, informasi kimiawi
berubah menjadi potensial aksi listrik Aksi listrik terjadi pada saat zat pembau
berinteraksi dengan protein reseptor yang disebut protein G. Protein G mengaktifkan
adenylyl cyclase yang merubah ATP menjadi cyclic adenosine monophosphate
(cAMP). cAMP membuka saluran ion yang menyebabkan masuknya ion natrium
(Na2+) dan kalsium (Ca2+) serta mencetuskan potensial aksi sepanjang akson sel
olfaktorius. Akson sel olfaktorius menembus lamina kribosa dan bersinaps dengan
lapisan glomerulus di bulbus olfaktorius.2
Pada bulbus olfaktorius terjadi integrasi sinyal antara akson dengan dendrit sel
mitral. Setelah itu sinyal menuju sistem saraf pusat dengan mengikuti tiga jaras. Jaras
pertama dari bulbus olfaktorius menuju ke tuberkulum olfaktorius, melewati bagian
medial inti dorsalis talamus dan berahir pada korteks orbitofrontal. Jaras ini
memberikan persepsi bau secara sadar. Jaras kedua dari bulbus olfaktorius menuju ke
korteks piriformis dilanjutkan ke amigdala dan korteks entorinal berahir pada
hipotalamus, midbrain dan hipokampus. Jaras ini melewati sistem limbik sehingga
memediasi aspek memori sistem penghidu. Jaras ketiga bersifat bilateral dimana jaras
ini menghubungkan informasi dari dua sisi bulbus olfaktorius.2
2.3. Definisi
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi
pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama
serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan
alergen spesifik tersebut (von Pirquet, 1986). Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis
and its Impact on Asthma) tahun 2001, rinitis alergi adalah kelainan pada hidung
dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung
terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.3,4
2.4. Epidemiologi
Di Amerika Serikat rinitis alergi merupakan penyakit alergi terbanyak dan
menempati posisi ke-6 penyakit yang bersifat menahun (kronis). Rinitis alergi juga
merupakan alasan ke-2 terbanyak kunjungan masyarakat ke ahli kesehatan profesional
setelah pemeliharaan gigi. Angka kejadian rinitis alergi mencapai 20%. Menurut
International Study of Asthma and Allergies in Children (ISAAC, 2006), Indonesia
bersama-sama dengan negara Albania, Rumania, Georgia dan Yunani memiliki
prevalensi rinitis alergi yang rendah yaitu kurang dari 5%.4,5
2.5. Klasifikasi
Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat
berlangsungnya, yaitu:1,2
1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis)
Di Indonesia tidak dikenal rhinitis alergi musiman, hanya ada di negara yang
mempunyai 4 musim. Alergen penyebabnya spesifik, yaitu serbuk (pollen) dan spora
jamur. 1,2
2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial)
Gejala pada penyakit ini timbul intermiten atau terus-menerus, tanpa variasi
musim, jadi dapat ditemukan sepanjang tahun. Penyebab yang paling sering ialah
allergen inhalen, terutama pada orang dewasa, dan alergen ingestan. Alergen inhalan
uatama adalah alergen dalam rumah seperti tungau dan alergen diluar rumah. Alergen
ingestan sering merupakan penyebab pada anak-anak dan biasanya disertai dengan
gejala urtikaria, gangguan pencernaan. Gangguan fisiologik pada golongan perennial
lebih ringan dibandingkan dengan golongan musiman tetapi lebih persisten maka
komplikasinya lebih sering ditemukan.1,2
Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO
initiative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, yaitu
berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi:1,2
1. Intermiten (kadang-kadang)
2.12. Penatalaksanaan
Terapi pada rinitis alergi dilakukan dengan beberapa modalitas yaitu:
1. Penghindaran alergen dan kontrol lingkungan
Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan alergen
penyebabnya. Hal tersebut merupakan aspek terpenting dalam tatalaksana rinitis
alergi. Pada umumnya, pengendalian pajanan cukup untuk mengatasi gejala
(meskipun membutuhkan waktu berbulan-bulan).2 Membuat kondisi lingkungan
senyaman mungkin dengan menghindari stimulus non spesifik seperti asap rokok,
udara dingin dan kering.15
2. Medikamentosa15,16,10
Antihistamin oral : terapi lini pertama untuk gejala ringan. Contoh: cetirizin
(10 mg Peroral 1 kali/hari), fexofenadin (120 mg 1 kali/hari), loratadin (10
mg Peroral 1 kali/hari).
Kortikosteroid intranasal untuk gejala sedang/berat atau persisten (gunakan
selama 1 bulan secara konsisten untuk mendapatkan efek terapeutik). Contoh
kortikosteroid intranasal yang dapat digunakan adalah beclomethasone (168-
336 µg/hari), budesonide (252 µg/hari), fluticasone (100-200 µg/hari), dan
monometasone furoate (100-200 µg/hari).
Dekongestan intranasal (penggunaan dibatasi untuk <5 hari untuk mencegah
rinitis medikamentosa) diberikan jika disertai obstruksi nasal. Contohnya
seperti pseudoefedrin, oksimetazolin dan fenilepinefrin.
3. Imunoterapi
1. Iskandar, N. Soepardi, E & Bashiruddin J., et al (ed) 2012, Rinitis Alergi, Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala Leher, Edisi 7, Jakarta: Balai Penerbit FK
UI, Pp 106-111.
2. Doty R.L. Mishra A. 2001. Olfaction and its relation by nasal obstruction, rhinitis and
rhinosinusitis. The Laryngoscope. 111(3)
3. Irawati, N., Kasakeyan, E., Rusmono, N. Rinitis Alergi. Dalam: Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telonga Hidung Tenggorok Kepala Leher Edisi keenam. Jakarta: Balai
Penerbit FK UI; 2007; 128-134.
4. Sudiro, M., Madiadipoera, T., Purwanto, B. Eosinofil Kerokan Mukosa Hidung Sebagai
Diagnostik Rinitis Alergi. MKB volume 42 No 1; 2010. hslm 6-11.
5. Schatz M. A survey of the burden of allergic rhinitis in the USA. Allergy. 2010;62(Suppl
85):9-16
6.Sheikh, J. Allergic Rhinitis. Available from: http://emedicine.medscape.
com/article/134825 [Accessed 11 Oktober 2014].
7. Adams, G., Boies, L R., Higler, P A. Penyakit Hidung. Dalam : Boies Buku Ajar
Penyakit THT Edisi keenam. Jakarta: EGC; 1997; 210-218.
8. Sheikh J. Allergic Rhinitis [Internet]. 2018 [cited 2019 Jul 24]. p. 1. Available from:
https://emedicine.medscape.com/article/134825-overview?
src=android&devicetype=android&osversion=7.1.1&appversion=6.1.1&src=medscapeap
p-android&ref=share
9. Dixon RJBT, Farooque SRDS, Leech NJS, Roberts SMNRPG. BSACI GUIDELINES
BSACI guideline for the diagnosis and management of allergic and non-allergic rhinitis
( Revised Edition 2017 ; First edition 2007 ). 2017;(February):856–89.
10. A.S Efiaty, I Nurbaiti, B Jenny, D R Ratna. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung
tenggorok kepala & Leher. 6th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
2007.
11. Hilger PA. Penyakit sinus paranasalis. Dalam : Boeis, Buku Ajar Penyakit THT. Edisi
Bahasa Indonesia, alih bahasa: Carolin Wijaya, edisi 6. Jakarta EGC, 1996 : 240 – 59.
12. Andrianto P. Penyakit telinga hidung dan tenggorokan. Jakarta: EGC; 1993
13. Donald C, David W. Nose and sinus mucosal inflammation and infection, including
medical therapy, Current Review of Otolaryngology and Head and Neck Surgery 1994 ; 2
: 27 - 32.
14. Suprihati, Setiadi. Positive Skin Prick Test, Sinus Mucosal Eosinophil and Duration of
Symptoms as Risk Factor of the Severity of Chronic Rhinosinusitis. The 14th Asian
Research Symposium in Rhinology, 26 – 27 March 2010, Hochiminh City, Vietnam.
15. Arifputera A, Irawati N. Rinitis Alergi dalam Kapita Selekta Kedokteran Jilid II. Edisi 3.
2008.
16.Rinitis Alergi dalam Panduan Praktik Klinis di Bidang Telinga Hidung Tenggorok-Kepala
Leher. Volume 2. Perhimpunan Dokter SpesialisTelinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala
Leher Indonesia. 2016.