Anda di halaman 1dari 35

REFERAT

PERDARAHAN SALURAN CERNA

DISUSUN OLEH:

Zuresh Shafira Sharafina Faisal

1102015250

PEMBIMBING:

Dr. Nugroho Budi Santoso, Sp. PD, FINASIM

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

PERIODE 24 JUNI – 31 AGUSTUS 2019

FAKULTAS KEDOKTERAN YARSI – RSUD PASAR REBO

JAKARTA
PERDARAHAN SALURAN CERNA BAGIAN ATAS (SCBA)

1.1.DEFINISI
Perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) adalah kehilangan darah dari
saluran cerna bagian atas (PSCBA) adalah kehilangan darah dari saluran cerna atas
mulai dari esophagus sampai duodenum (dengan batas anatomik di ligamentum
Treitz), dengan manifestasi klinis berupa hematemesis, melena, hematoskezia atau
kombinasi.

Gambar 1. Ligamentum Treitz

1.2.EPIDEMIOLOGI
Kejadian perdarahan SCBA menunjukkan adanya variasi geografis yang
besar mulai dari 48-160 kasus per 100.000 penduduk, dengan kejadian lebih tinggi
pada pria dan usia lanjut. Hal ini dapat dijelaskan oleh karena berbagai penyebab,
mulai dari perbedaan definisi perdarahan SCBA, karakteristik populasi, prevalensi
obat-obatan penyebab ulkus dan Helicobacter pylori.
Walaupun dengan tatalaksana optimal menggunakan endoskopi terapeutik
dan terapi penekan asam lambung, mortalitas keseluruhan perdarahan SCBA tetap
stabil dalam dekade-dekade terkini, yakni berkisar antara 6-14%. Namun demikian
sebagian besar kematian bukan disebabkan secara langsung oleh kehilangan darah,
namun lebih oleh karena intoleransi terhadap kehilangan darah, syok, aspirasi dan
prosedur terapeutik. Mortalitas oleh karena perdarahan SCBA dikaitkan dengan
usia lanjut dan adanya komorbiditas berat. Risiko mortalitas juga meningkat dengan
perdarahan berulang, yang merupakan parameter luaran mayor.

1.3.ETIOLOGI
Perdarahan ulkus peptikum merupakan penyebab tersering perdarahan
SCBA, berkisar antara 31 – 67 % dari semua kasus, diikuti oleh gastritis erosif,
perdarahan variseal, esofagitis, keganasan dan robekan Mallory-weiss. Pada
subgrup pasien dengan perdarahan ulkus peptikum, perdarahan karena ulkus
duodenum sedikit lebih banyak dibandingkan ulkus gaster.
Berdasarkan studi retrospektif yang dilakukan pada 4.154 pasien yang
menjalani endoskopi selama tahun 2001-2005 di Pusat Endoskopi Rumah Sakit
Cipto Mangunkusumo Jakarta, sebanyak 807 (20,15%) orang mengalami
perdarahan SCBA. Penyebab tersering perdarahan SCBA sebagai berikut.

Gambar 2. Pernyebab tersering perdarahan SCBA di Pusat Endoskopi Rumah Sakit


Cipto Mangunkusumo Jakarta

Sumber: Simadibrata, 2012


Gambar 3. Penyebab Perdarahan saluran cerna bagian atas

Sumber: Wilkins et al, 2012

1.4.PATOFISIOLOGI
Sebagian besar ulkus timbul pada saat mekanisme pertahanan normal
diganggu atau ditekan oleh gangguan mukosa hebat sehingga mengalahkan
mekanisme protektif saluran cerna atas. Gangguan yang paling sering didapatkan
adalah oleh karena infeksi H. pylori dan penggunaan obat antiinflamasi non steroid
(OAINS). Penyebab yang lebih jarang termasuk hipersekresi asam lambung
(sindrom Zollinger-Ellison), hyperplasia sel-G antral dan mastosis. Infeksi virus
seperti herpes simplex dan sitomegalovirus, kelainan inflamasi seperti penyakit
Chron’s atau sarcoidosis, serta trauma radiasi dapat menyebabkan ulserasi saluran
cerna, termasuk lambung dan duodenum. Perdarahan besar ulkus peptikum terjadi
pada saat ulkus menyebabkan salah satu pembuluh darah besar yang memperdarahi
saluran cerna bagian atas rusak.
Gambar 4. Peran NSAID terhadap enzim siklooksigenase dan prostaglandin

Sumber: Abbas, 2015

Patogenesis ulkus akibat NSAID disebabkan iritasi bahan kimia langsung,


atau bisa juga melalui inhibisi cyclooxygenase, yang mencegah sintesis
prostaglandin. Hal ini menghilangkan efek proteksi prostaglandin yang antara lain
meningkatkan sekresi bikarbonat dan meningkatkan perfusi vaskular.
Gambar 5. Mekanisme jejas dan proteksi lambung

Sumber: Abbas, 2015

Perdarahan lambung akibat ulkus dapat disebabkan karena infeksi kronik


bakteri Helicobacter pylori yang dapat menginvasi mukosa lambung dengan empat
fitur virulensinya, yaitu flagella yang memungkinkan bakteri untuk bergerak dalam
mucus kental, urease yang menghasilkan ammonia dari urea endogen sehingga
meninggikan pH lambung lokal sekeliling organisme dan melindungi bakteri dari
pH asam lambung, adhesion yang meningkatkan perlekaan bakteri ke sel-sel
permukaan foveolar, dan toksin (GagA).
Gambar 6. Sistem vena porta

Hipertensi portal yang terjadi pada sirosis disebabkan karena peningkatan


resistensi darah ke portal pada tingkat sinusoid serta kompresi vena sentral oleh
fibrosis perivenula dan terbentuknya nodulus parenkimal yang semakin melebar.
Anastomosis yang terjadi antara sistem arterial dalam sistem vena portal, dimana
terjadi tahanan terhadap tekanan darah arterial dalam sistem vena portal yang
normalnya bertekanan rendah. Peningkatan tekanan vena portal akan berdampak
pada vena di rektum (hemoroid), area sambungan kardioesofageal (varises
esofagogastrik), retriperitoneum dan ligamentum falciform hati (kolateral
periumbilikus dan dinding abdomen/caput medusa).
1.5.MANIFESTASI KLINIS
Tanda dan gejala tersering dari perdarahan saluran cerna bagian atas adalah
hematemesis (muntah darah), muntah berwarna coffee ground dan melena (tinja
warna hitam seperti aspar/tar). Namun, 5% pasien dengan perdarahan ulkus datang
dengan hematoskezia (darah segar di tinja warna merah marun atau terang), yang
menandakan perdarahan berat dimana transit time dalam usus pendek, biasanya
lebih dari 1.000 ml. Pasien yang datang dengan hematoskezia dan disertai dengan
tanda-tanda gangguan hemodinamik, seperti sinkop, hipotensi postural, takikardia
dan syok, harus dicurigai menderita perdarahan saluran cerna bagian atas.
Gejala lain dapat timbul sesuai penyakit yang mendasari, seperti dyspepsia,
nyeri ulu hati, rasa panas di dada, nyeri perut, disfagia, dan Jaundice.
Pasien biasanya memiliki riwayat penyakit tukak, penggunaan NSAID,
aspirin, clopidogrel, warfarin, selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs) dan
kortikosteroid. Riwayat penyakit hepatitis B dan C kronik serta penggunaan alkohol
lebih dari 50 gram/hari meningkatkan perdarahan varises.

1.6.DIAGNOSIS
Anamnesis
Dalam anamnesis yang perlu ditekankan ialah sejak kapan terjadinya
perdarahan, berapa perkiraan darah yang keluar, warna darah yang keluar, riwayat
perdarahan sebelumnya, riwayat perdarahan dalam keluarga, ada tidaknya
perdarahan di bagian tubuh lain, penggunaan obat-obatan terutama antiinflamasi
non stseroid dan antikoagulan, kebiasaan minum alkohol, mencari kemungkinan
adanya penyakit hati kronik, demam berdarah, demam tifoid, gagal ginjal kronik,
diabetes mellitus, hipertensi, alergi obat-obatan serta riwayat transfusi sebelumnya.

Pemeriksaan fisik
Langkah awal pada semua kasus perdarahan saluran makanan adalah
menentukan beratnya perdarahan dengan memfokuskan pada status hemodinamik.
Pemeriksaannya meliputi:
1. Tekanan darah dan nadi posisi baring
2. Perubahan ortostatik tekanan darah dan nadi
3. Ada tidaknya vasokonstriksi perifer (akral dingin)
4. Tingkat kesadaran
5. Produksi urin
Perdarahan akut dalam jumlah besar melebihi 20% volume intravascular
akan mengakibatkan kondisi hemodinamik tidak stabil:
1. Hipotensi (<90/60 mmHg atau MAP <70 mmHg) dengan frekuensi nadi >100
x/menit
2. Tekanan diastolik ortostatik turun >10 mmHg atau sistolik turun >20 mmHg
3. Frekuensi nadi ortostatik meningkat >15 x/menit
4. Akral dingin
5. Kesadaran menurun
6. Anuria atau oligouria (produksi urin <30 ml/jam)
Kecurigaan perdarahan akut dalam jumlah besar selain ditandai kondisi
hemodinamik tidak stabil ialah bila ditemukan:
1. Hematemesis
2. Hematoskezia
3. Darah segar pada aspirasi nasogastrik dan dengan lavase tidak segera jernih
4. Hipotensi persisten
5. Dalam 24 jam menghabiskan transfusi darah melebihi 800-1000 ml

Pemeriksaan Penunjang
Pada perdarahan SCBA, dapat dilakukan pemeriksaan laboratorium berupa
darah lengkap, elektrolit, fungsi hati, masa pembekuan dan perdarahan, pertanda
virus hepatitis, dan ratio BUN/kreatinin yang disesuaikan dengan perkiraan klinisi
atas gejala dan tanda dari pasien. Pada perdarahan SCBA pemecahan darah oleh
kuman usus akan mengakibatkan kenaikan BUN, sedangkan kreatinin serum tetap
normal atau sedikit meningkat.
Tabel 1. Perbedaan Perdarahan SCBA dan SCBB
Perdarahan SCBA Perdarahan SCBB
Manifestasi klinik pada Hematemesis dan/
Hematoskezia
umumnya melena
Aspirasi nasogastric Berdarah Jernih
Rasio (BUN/kreatinin) Meningkat > 35 < 35
Auskultasi usus Hiperaktif Normal
Sumber: Setiati, 2014

Sarana diagnostik yang bisa digunakan pada kasus perdarahan saluran


makanan ialah endoskopi gastrointestinal, radiografi dengan barium, radionuklid,
dan angiografi. Pada semua paien dengan tanda-tanda perdarahan SCBA atau yang
asal perdarahannya masih meragukan, pemeriksaan endoskopi SCBA merupakan
prosedur pilihan. Selain itu dengan endoskopi bisa pula dilakukan upaya terapeutik.
Bila perdarahan masih tetap berlanjut atau asal perdarahan sulit diidentifikasi perlu
dipertimbangkan pemeriksaan dengan radionuklid atau angiografi yang sekaligus
bisa digunakan untuk menghentikan perdarahan.
Walaupun bukan merupakan prosedur rutin pada perdarahan ulkus
peptikum, pemasangan nasogastric tube (NGT) dan menilai aspiratnya biasanya
bermanfaat untuk penilaian klinis awal. Apabila terdapat darah merah segar, maka
pasien membutuhkan evaluasi endoskopik segera dan perawatan di unit intensif.
Penurunan kadar hemoglobin 1g/dL diasosiasikan dengan kehilangan darah 250ml
apabila terdapat warna coffee ground, maka pasien membutuhkan rawat inap dan
evaluasi endoskopik dalam waktu 24 jam. Namun demikian aspirat normal tidak
menyingkirkan perdarahan saluran cerna. Sekitar 15% pasien dengan aspirasi
normal, tetap mempunyai perdarahan saluran cerna aktif atau risiko tinggi
mengalami perdarahan ulang.
Tujuan pemeriksaan endoskopi selain menemukan penyebab serta asal
perdarahan, juga untuk menentukan aktivitas perdarahan. Klasifikasi Forrest
digunakan untuk mengklasifikasi temuan selama evaluasi endoskopik,
digambarkan sebagai berikut:
Tabel 2. Klasifikasi Forrest untuk menilai aktivitas perdarahan
Aktivitas
Kriteria Endoskopi
Perdarahan
Forrest IA Ulkus dengan perdarahan aktif menyemprot
Forrest IB Ulkus dengan perdarahan merembes
Forrest IIA Ulkus dengan pembuluh darah visible tak berdarah
Forrest IIB Ulkus dengan bekuan adheren
Forrest IIC Ulkus dengan bintik pigmentasi datar
Forrest III Ulkus berdasar bersih

Gambar 7. Gambaran endoskopi sesuai aktvitas perdarahan


1.7.TATALAKSANA
Gambar 8. Algoritma penanganan perdarahan saluran cerna bagian atas non-
varises

Sumber: Indonesiana, 2014


Gambar 9. Algoritma penanganan perdarahan saluran cerna bagian atas

Sumber: Djumhana, 2011


Gambar 10. Algoritma penanganan perdarahan saluran cerna

Sumber: Wilkins, 2012

Stabilisasi hemodinamik
1. Jaga patensi jalan napas
2. Suplementasi oksigen
3. Akses intravena 2 line dengan jarum besar; pemberian cairan Normal Saline
atau Ringer Laktat
4. Evaluasi laboratorium: waktu koagulasi, Hb, Ht, serum elektrolit, rasio BUN :
serum kreatinin. Adanya kecurigaan diatesis hemoragik perlu ditindaklanjuti
dengan menggunakan res Rumple-Leede, pemeriksaan waktu perdarahan,
waktu pembekuan, retraksi bekuan darah, PT, dan aPTT
5. Pertimbangkan transfusi Packed Red Cell (PRC) apabila kehilangan darah
sirkulasi > 30% atau Ht < 18% (atau menurun >6%) sampai target Ht 20-25%
pada dewasa muda atau 30% pada dewasa tua
6. Pertimbangkan transfusi Fresh Frozen Plasma (FFP) atau trombosit apabila
INR > 1,5 atau trombositopeni
7. Pertimbangkan Intensive Care Unit (ICU) apabila:
a. Pasien dalam keadaan syok
b. Pasien dengan perdarahan aktif yang berlanjut
c. Pasien dengan penyakit komorbid serius, yang membutuhkan transfuse
darah multipel, atau dengan akut abdomen
Pemberian transfusi darah pada perdarahan saluran cerna dipertimbangkan pada
keadaan berikut ini:
1. Perdarahan dalam kondisi hemodinamik tidak stabil
2. Perdarahan baru atau masih berlangsung dan diperkirakan jumlahnya 1 liter
atau lebih
3. Perdarahan baru atau masih berlangsung dengan hemoglobin <10 g% atau
hematocrit <30%
4. Terdapat tanda-tanda oksigenasi jaringan yang menurun

Farmakologis
1. Transfusi darah PRC. Pada kasus varises, transfusi sampai dengan Hb 10
g%. Pada kasus non varises transfusi sampai dengan Hb 12 g%. Bila
perdarahan berat (25-30%), boleh dipeprtimbangkan transfuse Whole Blood
2. Sementara menunggu darah, dapat diberikan pengganti plasma atau NaCl
0,9% atau RL
3. Untuk penyebab non varises:
a. PPI dalam bentuk bolus maupun drip tergantung kondisi pasien jika
tidak ada dapat diberikan antagonis H2 reseptor
b. Sitoprotektor: sukralfat 3-4 x 1 gram atau teprenon 3 x 1 tablet atau
rebamipide 3 x 100 mg
c. Injeksi vitamin K 3 x 1 ampul, untuk pasien dengan penyakit hati kronis
atau sirosis hati
4. Untuk penyebab varises:
a. Somatostatin bolus 250 ug + drip mcg/jam intravena atau okreotide
(sandostatin) 0,1 mg/2 jam. Pemberian diberikan sampai perdarahan
berhenti atau bila mampu diteruskan 3 hari setelah skleroterapi/ligase
varises esophagus
b. Vasopressin: sediaan vasopressin 50 unit diencerkan dalam 100 ml
dekstrosa 5%, diberikan 0,5-1 mg/menit iv selama 20-60 menit dan
dapat diulang tiapa 3-6 jam; atau setelah pemberian pertama dilanjutkan
per infus 0,1-0,5 U/menit. Pemberian vasopressin disarankan bersamaan
dengan preparat nitrat misalnya nitrogliserin iv dengan dosis awal 40
mcg/menit lalu titrasi dinaikkan sampai maksimal 400 mcg/menit. Hal
ini untuk mencegah insufisiensi aorta mendadak
c. Propranolol, dimulai dosis 2 x 10 mg, dosis dapat ditingkatkan hingga
tekanan diastolic turun 20 mmHg atau denyut nadi turun 20% (setelah
keadaan stabil hematemesis melena (-))
d. Isosorbit dinitrat/mononitrate 2 x 1 tablet/hari hingga keadaan umum
stabil
e. Metoklopramid 3 x 10 mg/hari
- Bila ada gangguan hemostasis obati sesuai kelainan
- Pada pasien dengan pecahnya varises/penyakit hati kronik/ sirosis
hati dapat ditambahkan laktulosa 4 x 1 sendok makan dan antibiotik
ciprofloksasin 2 x 500 mg atau sefalosporin generasi ketiga

Non Farmakologis
1) Diet
 Hindari makanan yang memperberat keluhan, seperti asam, pedas, panas,
banyak lemak.
 Khusus: makanan teratur, sebaiknya lunak, hindari makanan sebelum
tidur (terutama tidur malam)
2) Stop Merokok
3) Hindari alkohol terutama dalam lambung kosong
4) Hindari ASA/NSAID/Steroid
5) Banyak istirahat, hindari stres

Hemostasis endoskopi
1. Untuk perdarahan non varises: penyuntikan mukosa disekitar titik
perdarahan menggunakan adrenalin 1:10000 sebanyak 0,5-1 ml tiap kali
suntuk dengan batas dosis 10 ml. Penyuntikan ini harus dikombinasikan
dengan terapi endosksopik lainnya seperti klipping, termo koagulasi atau
elektro koagulasi
2. Untuk perdarahan varises: dilakukan ligase atau sklerosing

Tatalaksana radiografi
Terapi angiografi perlu dipertimbangkan bila perdarahan tetap berlangsung
dan belum bisa ditentukan asal perdarahannya. Pada varises dapat dipertimbangkan
TIPS (Transjugular Intrahepatic Portosystemic Shunt). Pada keadaan sumber
perdarahan tidak jelas dapat dilakukan tindakan arteriografi. Prosedur bedah
dilakukan sebagai tindakan emergensi atau elektif.

Tatalaksana dini
Stratifikasi pasien kedalam kategori risiko redah atau tinggi untuk kejadian
perdarahan ulang dan mortalitas dapat digunakan dengan skor Blatchford dan
Rockall (sesuai dengan ada tidaknya fasilitas endoskopi). Pasien-pasien dengan
risiko tinggi untuk terjadinya perdarahan ulang dan risiko kematian, sebaiknya
dirawat di unit rawat intensif.
Tabel 3. Skor Blacthford
Variable Poin
Tekanan darah sistolik (mmHg) 100 – 109 1
90 – 99 2
< 90 3
Ureum (mg/dL) 36.5 – 44.5 2
44.6 – 55.5 3
55.6 – 139.9 4
> 140 6
Hemoglobin (pria; g/dL) 12.0 – 12.9 1
10.0 – 11.9 3
< 10.0 6
Hemoglobin (wanita; g/dL) 10.0 – 11.9 1
< 10.0 2
Variable lainnya Nadi > 100 1
Datang dengan melena 1
Datang dengan sinkop 2
Penyakit hati 2
Gagal jantung 2

Skor Blatchford digunakan untuk menilai keparahan perdarahan SCBA dan


memprediksi kebutuhan intervensi klinis seperti endoskopi, pembedahan atau
transfusi darah. Skor 0 berarti pasien memiliki risiko minimal akan membutuhkan
intervensiseperti transfusi, endoskopi atau pembedahan, dan dapat dipulangkan dini
atau rawat jalan. Skor 1 – 5 berarti pasien memiliki risiko yang meningkat dalam
kebutuhan intervensi. Skor > 6 berarti pasien membutuhkan intervensi.
Sistem skor Rockall merupakan yang paling banyak dipakai, memberikan
perkiraan risiko perdarahan dan kematian. Sistem skor ini didasarkan pada tiga
faktor klinis seperti di atas dan dua faktor endoskopi sebagai berikut
Gambar 11. Skor Rockall

Sumber : Wilkins, 2012

Skor Rockall dapat bernilai antara 0 – 11, dengan skor 0 – 2 dikaitkan


dengan prognosis baik dan skor > 8 dikaitkan dengan prognosis buruk. Skor > 3
risiko mortalitas dan perdarahan ulang semakin meningkat.
Pemasangan nasogastric tube (NGT) dilakukan pada perdarahan yang
diduga masih berlangsung disertai dengan gangguan hemodinamik. NGT bertujuan
untuk mencegah aspirasi, dekompresi, dan menilai perdarahan sehingga tidak
diperlukan pada semua pasien dengan perdarahan.
Lavage nagogastrik atau orogastrik dapat dilakukan pada pasien dengan
perdarahan saluran cerna atas dalam keadaan tertentu. Penggunaan air es tidak
direkomendasikan sebagai bilas lambung.
Resusitasi yang dilakukan termasuk pemberian cairan intravena dan
suplementasi oksigen, koreksi koagulopati berat dan transfuse darah pada saat
dibutuhkan. Batasan transfusi bergantung kepada kondisi medis umum dan tanda
vital pasien, namun biasanya ditetapkan pada hemoglobin < 7.0 g/dL kecuali bila
perdarahan masih terus berlangsungatau masif serta adanya penyakit jantung
coroner, gangguan hemodinamik (hipotensi dan takikardi) dan usia lanjut. Kadar
hemoglobin minimal adalah 10 mg/dL dengan catatan pasien juga dalam keadaan
hemodinamik stabil.
Pemberian PPI sebelum endoskopi dapat digunakan untuk pasien dengan
PUP. Suasana lingkungan asam menyebabkan penghambatan agregasi trombosit
dan koagulasi plasma, juga menyebabkan terjadinya lisis pada bekuan yang telah
terbentuk. Pemberian PPI dapat secara cepat menetralisasi asam lambung
intraluminal, yang menghasilkan stabilisasi bekuan darah. Pada jangka panjang,
terapi antisekretorik juga mendukung penyembuhan mukosa.
Suatu studi yang baru-baru ini, menunjukkan bahwa perberian PPI pre-
endoskopik secara signifikan menurunkan angka stigmata risiko tinggi pada
endokopi awal. Namun demikian tidak menunjukkan efek terhadap perdarahan
ulang, mortalitas dan pembedahan.
Bila endoskopi akan ditunda dan tidak dapat dilaksanakan, PPI intravena
direkomendasikan untuk mengurangi perdarahan lanjut.

Waktu endoskopi
Endoskopi telah menjadi alat untuk diagnosis dan tatalaksana PSCBA yang
utama. Tindakan ini memungkinkan untuk dilakukan identifikasi sumber
perdarahan dan terapi pada saat yang sama. Waktu optimal endoskopi masih dalam
perdebatan. Endoskopi darurat memungkinkan untuk dilakukan hemostatis dini,
namun dapat menyebabkan terjadinya aspirasi darah dan desaturasi oksigen pada
pasien yang belum stabil. Sebagai tambahan, jumlah darah dan bekuan yang banyak
dapat megganggu terapi target untuk fokus perdarahan, yang dapat menyebabkan
dibutuhkannya prosedur endoskopik ulangan.
Konsensus internasional dan Asia-Pasifik menganjurkan endoskopi dini
dalam waktu 24 jam setelah pasien dirawat, oleh karena tindakan ini secara
signifikan menurunkan lama rawat inap dan memperbaiki luaran klinis. Endoskopi
sangat dini (<12 jam) sampai saat ini belum menunjukkan keuntungan tambahan
dalam hal menurunkan risiko perdarahan ulangan, pembedahan dan mortalitas bila
dibandingkan dengan waktu 24 jam. Namun demikian, endoskopi darurat harus
dipertimbangkan pada pasien dengan perdarahan berat. Pada pasien dengan
gambaran klinis risiko lebih tinggi (misalnya: takikardi, hipotensi, muntah darah,
atau darah segar pada NGT) endoskopi dalam 12 jam kemungkinan dapat
meningkatkan luaran klinis.
Pada pasien dengan hemodinamik stabil dan tanpa faktor komorbid serius,
dilakukan endoskopi terlebih dahulu sebelum pasien dipulangkan.

Terapi endoskopik untuk PUP


Tujuan terapi endoskopik adalah untuk menghentikan perdarahan aktif dan
mencegah perdarahan ulang. Beberapa teknik, termasuk injeksi, ablasi dan mekanik
telah dikembangkan dalam beberapa dekade terkini. Pemilihan tindakan dapat
disesuaikan dengan penampakan fokus perdarahan dan risiko terkait untuk kejadian
perdarahan persisten dan rekuren. Pada PUP, pasien dengan perdarahan aktif atau
pembuluh darah visible tanpa pendarahan pada area ulkus mempunyai risiko
perdarahan ulang tertinggi, sehingga membutuhkan terapi hemostatik endoskopik
segera. Pasien dengan stigmata risiko rendah (ulkus dasar bersih atau bintik
pigmentasi pada area ulkus) tidak membutuhkan terapi endoskopik.
Pasien dengan ulkus dengan dasar bersih diberi diet lunak dan dipulangkan
setelah endoskopi dengan syarat hemodinamik stabil, hemoglobin cukup dan stabil,
tidak ada masalah kesehatan lain.
Pada pasien dengan perdarahan ulkus yang aktif, terapi hemostasis
sebaiknya dalam bentuk kombinasi (epinefrin ditambah modalitas lain seperti
penempatan klim hemostatic, termokoagulasi, dan elektrokoagulasi). Injeksi
epinefrin tidak dianjurkan diberikan sebagai terapi tunggal. Injeksi penggunaan klip
direkomendasikan karena dapat menurunkan kejadian perdarahan ulang.
Pasien dengan stigmata secara endoskopi risiko tinggi (perdarahan aktif,
pembuluh darah yang terlihat, bekuan-bekuan (klasifikasi Forrest) umumnya
dirawat inap selama 3 hari bila tidak ada perdarahan ulang dan tidak ada indikasi
lain untuk rawat inap. Pasien boleh diberi diet cair segera setelah endoskopi
kemudian diganti secara bertahap.
Pasien dengan perdarahan ulang biasanya dapat ditangani dengan terapi
endoskopik. Namun demikian, pembedahan darurat atau embolisasi angiografik
mungkin dipeerlukan pada saat-saat tertentu, seperti:
1. Perdarahan memancar (spurting) yang tidak dapat dihentikan dengan
endoskopi
2. Titik perdarahan tidak dapat dilihat okeh karena perdarahan aktif yang masif
3. Perdarahan ulang yang muncul setelah endoskopi terapeutik kedua

Tatalaksana pasca endoskopik


Terapi antisekretorik
Farmakoterapi memainkan peran utama kedua untuk tatalaksana PSCBA
akibat ulkus peptikum. Terapi PPI lebih superior dibantingkan antagonis reseptor
histamine-2. PPI dapat diberikan oral atau intravena bergantung kepada stigmata
perdarahan (Kriteria Forrest). Data-data yang ada mendukung rekomendasi
pemberian terapi PPI intravena kontinu dosis tinggi pada pasien PUP dengan
stigmata risiko tinggi. Pasien-pasien dengan PUP juga harus dipulangkan dengan
PPI oral dosis tunggala harian, untuk menurunkan risiko perdarahan ulang. Lama
dan dosis PPI bergantung kepada etiologi dan pemakaian obat lainnya. pada pasien
dengan ulkus idiopatik (non H.pylori, non NSAID), dapat direkomendasikan terapi
anti ulkus jangka panjang (contohnya: PPI harian). Pada pasien dengan perdarahan
ulkus karena aspirin dosis rendah, harus dikaji ulang urgensi pemberian aspirin
tersebut.
Terapi eradikasi H.pylori
Pemeriksaan H.pylori disarankan untuk semua pasien dengan PUP.
Pemeriksaan ini kemudian dilanjutkan dengan terapi eradikasi untuk semua pasien
dengan hasil positif, pemantauan berkala untuk hasil terapi dan terapi ulang pada
gagal eradikasi.
Eradikasi dengan terapi tiga obat (triple therapy) memiliki tingkat
keberhasilan sampai 80% bahkan 90% pada pasien ulkus peptikum tanpa disertai
dengan efek samping yang signifikan dan efek minimal dalam resistensi terhadap
antibiotik. Lebih jauh lagi, berkaitan dengan evaluasi penyembuhan ulkus melalui
endoskopi, ditemukan bahwa tingkat keberhasilannya terapi PPI selama satu
minggu mencapai 80-85%. Setelah H.pylori terbukti tereradikasi, terapi PPI
rumatan tidak diperlukan kecuali pasien menggunakan NSAID atau antitrombotik.
Tes diagnostic H.pylori mempunyai nilai prediktif negative rendah pada
keadaan PSCBA akut. Hal ini dapat disebabkan oleh karena kesulitan teknik dalam
melakukan biopsi representatif atau ketidakakuratan pemeriksaan pada lingkungan
basa yang disebabkan darah. Hasil biopsi negatif yang diperoleh pada keadaan akut
harus diinterpretasi secara hati-hati dan bila perlu dilakukan tes ulang pada
pemantauan kembali.

1.8.KOMPLIKASI
Syok hipovolemik, pneumonia aspirasi, gagal ginjal akut, sindrom
hepatorenal, koma hepatikum, anemia karena perdarahan.

1.9.PROGNOSIS
Pasien dengan risiko tinggi perdarahan ulang tanpa terapi adalah pasien
dengan perdarahan arterial aktif (90%), adanya pembuluh darah visible tak berdarah
(50%) atau bekuan adheren (33%).
Pada umumnya penderita dengan perdarahan SCBA yang disebabkan
pecahnya varises esogfagus mempunyai faal hati yang buruk/terganggu sehingga
setiap perdarahan baik besar maupun kecil mengakibatkan kegagalan hati yang
berat. Banyak faktor yang mempengaruhi prognosis penderita seperti faktor umur,
kadar Hb, tekanan darah selama perawatan, dan lain-lain. Mengingat tingginya
angka kematian dan sukarnya dalam menanggulangi perdarahan SCBA, maka perlu
dipertimbangkan tindakan yang bersifat preventif terutama untuk mencegah
terjadinya pecahnya varises pada pasien.
Beberapa faktor risiko juga terkait dengan prognosis yang buruk setelah
kejadian perdarahan terkait ulkus peptikum, yang apabila terjadi membuat klinisi
harus lebih agresif dalam menentukan tatalaksana yang akan diambil. Faktor
risikonya antara lain usia > 60 tahun, awitan perdarahan di rumah sakit, terdapat
penyakit medis komorbid, syok atau hipotensi ortostatik, darah segar di selang
nasogastrik, koagulopati, dibutuhkan transfusi berulang, ulkus di kurvatura minor
bagian atas (dekat dengan ateri gastrika sinistra), ulkus bulbus duodeni posterior
(dekat dengan arteri gastroduodenal), dan temuan endoskopik berupa perdarahan
arterial atau pembuluh darah visibel.
PERDARAHAN SALURAN CERNA BAGIAN BAWAH (SCBB)

2.1.DEFINISI
Perdarahan saluran cerna bagian bawah (SCBB) adalah perdarahan yang
berasal dari usus disebelah bawah ligamentum Treitz. Hematokezia merupakan
suatu gejala perdarahan gastroinstestinal, yaitu keluarnya darah segar aau merah
marun dari rektum. Sebagian besar perdarahan SCBB ditandai dengan adanya
hematokezia, namun 10% kasus dapat juga berasal dari perdarahan SCBA yang
masif. Apabila hematokezia merupakan gejala klinis dari perdarahan SCBA, maka
akan terjadi instabilitas hemodinamik dan terjadi penurunan hemoglobin.

2.2.ETIOLOGI

Hemoroid adalah penyebab tersering terjadinya perdarahan SCBB.


Penyebab perdarahan SCBB lainnya pada dewasa bisa karena diverticula, ektasis
vascular (terutama di proximal colom pada pasien usia > 70 tahun), neoplasma
(terutama adenokarsinoma), colitis (iskemik, infeksi, idiophatic inflammatory
bowel disease), and post perdarahan polipektomi. Pada anak-anak dan remaja,
penyebab tersering karena inflammatory bowel disease dan polip juvenile.

Gambar 12. Etiologi perdarahan saluran cerna bagian bawah

Sumber: Cagir, 2019


Penyebab perarahan SCBB yaitu perdarahan divertikular (30%-65%),
colitis iskemik (5%-20%), hemorrhoids (5%-20%), polip/neoplasma kolorektal
(2%-15%), angioektasia (5%-10%), perdarahan post-polipectomi (2%-7%),
inflammatory bowel disease (3%-5%), kolitis infeksi (2%-5%), ulkus rektal (0-5%),
varises kolorektal (0-3%), proktitis radiasi (0-2%), dan drug-induced colitis (0-2%).
On the other hand, in the tropical countries, colorectal polyps/neoplasms (29%-
53%) and colitis (23%-38%) are the common causes, and diverticular bleeding is
less common (4%-19%).

2.3.KLASIFIKASI

Gambar 13. Klasifikasi perdarahan saluran cerna bagian bawah

Sumber: Cagir, 2019

2.4.PATOFISIOLOGI

Angiodisplasia
Ditandai oleh malformasi pembuluh darah arteriovenosa mukosa dan
submucosa pada sekum dan kolon asenden. Kelainan ini penyebab perdarahan berat
saluran cerna bagian bawah sering pada usia tua, biasanya sesudah dekade keenam
dari kehidupan.

Hemoroid
Pathogenesis kelainan ini serupa dengan varises esophagus. Faktor
predisposisi hemoroid adalah konstipasi dan berkaitan dengan mengedan, yang
meningkatkan tekanan intraabdominal dan vena, stasis vena pada kehamilan dan
hipertensi portal. Tonjolan pada hemoroid di bawah anus atau mukosa rektum,
apabila terkena trauma dan cenderung meradang, terbentuk thrombus dan sesudah
beberapa waktu bisa terjadi rekanalisasi. Dapat juga terjadi ulkus.

Divertikulitis
Penyakit ini diartikan sebagai kantong yang menonjol keluar berupa
pseudodivertikel yang didapat dari mukosa dan submukosa kolon. Perdarahan
divertikular berasal dari vasa rectae yang terletak di submukosa, yang dapat pecah
di kubah atau leher diverticulum akibat trauma kronik.

Kolitis
Pola kerusakan mukosa padakolitis infeksi dan noninfeksi sama-sama
rapuh, eritema, edema, dan ulserasi. Proses inflamasi dapat melebar sampai ke
lapisan serosa, menyebabkan perforasi.

Karsinoma kolon
Karsinoma kolorektal menyebabkan perdarahan samar akibat ulserasi atau
erosi mukosa.

2.5.MANIFESTASI KLINIS

Hematokezia diartikan darah segar yang keluar melalui anus dan merupakan
manifestasi tersering dari perdarahan SCBB yang lazimnya menunjukkan
perdarahan kolon sebelah kiri, namun demikian dapat berasal dari saluran cerna
bagian atas, usus halus, transit darah yang cepat.
Melena diartikan sebagai tinja berwarna hitam dengan bau yang khas.
Melena timbul bilamana hemoglobin dikonversi menjadi hematin atau hemokrom
lainnya oleh bakteri setelah 24 jam. Umumnya melena menunjukkan perdarahan di
saluran cerna bagian atas atau usus halus, namun demikian melena juga dapat
berasal dari perdarahan kolon sebelah kanan dengan perlambatan mobilitas. Tidak
semua kotoran hitam ini melena, karena terdapat obat-obatan yang menganndung
besi yang dapat menyebabkan feses hitam, seperti bismuth, sarcol, dan licorice.
Oleh karena itu dibutuhkan test guaic untuk menentukan adanya hemoglobin.
Darah samar timbul bilamana ada perdarahan ringan namun tidak sampai
merubah warna tinja/feses. Perdarahan ini dapat diketahui dengan tes guaiac.
Gejala yang ditimbulkan tergantung penyebab perdarahannya. Pasien
dengan kolitis (iskemik, infeksi, atau inflammatory bowel disease) sering terjadi
diare dan nyeri perut, sedangkan penyakit karena vascular seperti perdarahan
diverticular, hemoroid, angioektasia, dan ulkus rektal, selalu tidak timbul gejala
yang menunjukkan gejala gastrointestinal bawah. Penurunan berat badan dan
perubahan kebiasaan buang air besar kemungkinan keganasan.
Pasien muda dengan colitis infeksi dan noninfeksi menunjukkan gejala
seperti demam, dehidrasi, nyeri perut, dan hematoskezia. Pasien lanjut usia dengan
perdarahan diverticular atau angiodisplasia memiliki sedikit gejala dan perdarahan
yang tidak sakit. Perdarahan SCBB bersifat ringan pada angiodisplasia dan
karsinoma kolon, bersifat sedang atau berat pada perdarahan yang berhubungan
dengan diverticula.
Perlu menanyakan kepada pasien riwayat medis seperti ulkus peptikum,
penyakit hepar, sirosis, koagulopati, dan inflammatory bowel disease. Riwayat
penggunaan obat-obatan seperti NSAID dan atau warfarin. Pada pasien dengan
kanker, riwayat radiasi dana tau kemoterapi harus dipikirkan.
2.6.DIAGNOSIS
Anamnesis dan Pemeriksaan fisik
Anamnesis dan pemeriksaan fisik biasanya tidak dapat mendiagnosis
sumber perdarahan. Endoskopi merupakan pilihan pemeriksaan pada pasien dengan
perdarahan SCBA dan sebaiknya dilakukan secepatnya pada pasien dengan
instabilitas hemodinamik (hipotensi, takikardi, atau perubahan postural nadi dan
tekanan darah).

Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium : darah lengkap, elektrolit, koagulasi, golongan darah
2. Kolonoskopi:
a. Merupakan pemeriksaan penunjang diagnostik utama terpilih pada
penderita perdarahan SCBB. Selama prosedur berlangsung, operator
dapat mengevaluasi perubahan mukosa kolon, patologi infeksius,
kolitis, dan perubahan iskemik untuk menyingkirkan diagnosis banding
b. Pemeriksaan diagnostic yang terpenting untuk mengidentifikasi
aktivitas perdarahan
c. Sebaiknya dilakukan dalam 12-48 jam saat gejala pertama kali muncul,
dan setelah dilakukan persiapan bilas kolon (1 L polyethylene glycol
solution tiap 30-45 menit selama sedikitnya 2 jam atau sampai cairan
jernih)
3. Pencitraan radionuklir (Blood pool scan):
a. Dilakukan apabila kolonoskopi gagal mengidentifikasi lokasi sumber
perdarahan
4. Angiografi:
a. Injeksi zat kontras ke dalam arteri mesenterika superior dan inferior dan
cabang-cabangnya untuk menentukan lokasi perdarahan
b. Dilakukan pada kasus dengan perdarahan yang berat yang tidak
memungkinkan pemeriksaan dengan kolonoskopi dengan perdarahan
lebih dari ½ ml per menit
2.7.DIAGNOSIS BANDING

Tabel 4. Diagnosis banding perdarahan saluran cerna again bawah


Etiologi Karakteristik Klinis Frekuensi
(%)
Perdarahan Akut, berat, perdarahan tanpa nyeri pada suspek 17-40
diverticular atau diketahui menderita penyakit diverticular,
banyak ditemukan di kolon sigmoid sebelah kanan,
umumnya perdarahan berhenti spontan
Angiodisplasia Rekuren, episode perdarahan tanpa nyeri; dapat 2-30
menjadi kronik dan timbul anemia defisiensi besi,
biasanya terlokalisir di caecum dan kolon sebelah
kanan
Kolitis 9-21
 Kolitis Self-limited, diare berdarah diikuti dengan nyeri
iskemik perut akut bagian bawah pada pasien dengan faktor
risiko jantung
 Kolitis Diare berdarah disertai demam, dan risisko diet
infeksius tinggi atau penggunaan antibiotik sebelumnya
 Penyakit Diare berdarah disertai berat badan turun dan nyeri
Crohn perut rekuren
Karsinoma Lambat, perdarahan kronis dan berulang dengan 11-14
Kolon perubahan pola BAB atau anemia defisiensi besi,
biasanya pada usia lanjut
Pasca Perdarahan self-limited yang terjadi dalam 30 hari 11-14
polipektomi setelah polipektomi atau biopsy sebelumnya
atau
perdarahan
pasca biopsy
endoskopik
Hemoroid Perdarahan dengan warna merah segar tidak 4-10
bercampur feses yang terkait dengan pergerakan
BAB dan pruritus ani; umumnya tidak nyeri, tapi
dapat nyeri pada thrombosis hemoroid
Perdarahan Meningkatnya BUN terhadap ratio kreatinin atau 0-11
SCBA terdapat aspirasi darah (+) pada NGT
Sumber: Alwi, 2015

2.8.TATALAKSANA
Penatalaksanaan perdarahan SCBB memiliki 3 komponen yaitu:
A. Resusitasi dan penilaian awal
Stabilisasi hemodinamik
1. Jaga patensi jalan napas
2. Suplementasi oksigen
3. Akses intravena 2 line dengan jarum besar; pemberian cairan Normal
Saline atau Ringer Laktat
4. Evaluasi laboratorium: waktu koagulasi, Hb, Ht, serum elektrolit, rasio
BUN : serum kreatinin. Adanya kecurigaan diatesis hemoragik perlu
ditindaklanjuti dengan menggunakan res Rumple-Leede, pemeriksaan
waktu perdarahan, waktu pembekuan, retraksi bekuan darah, PT, dan aPTT
5. Pertimbangkan transfusi Packed Red Cell (PRC) apabila kehilangan darah
sirkulasi > 30% atau Ht < 18% (atau menurun >6%) sampai target Ht 20-
25% pada dewasa muda atau 30% pada dewasa tua
6. Pertimbangkan transfusi Fresh Frozen Plasma (FFP) atau trombosit
apabila INR > 1,5 atau trombositopeni
7. Pertimbangkan Intensive Care Unit (ICU) apabila:
a. Pasien dalam keadaan syok
b. Pasien dengan perdarahan aktif yang berlanjut
c. Pasien dengan penyakit komorbid serius, yang membutuhkan transfuse
darah multipel, atau dengan akut abdomen
Pemberian transfusi darah pada perdarahan saluran cerna dipertimbangkan
pada keadaan berikut ini:
1. Perdarahan dalam kondisi hemodinamik tidak stabil
2. Perdarahan baru atau asih berlangsung dan diperkirakan jumlahnya 1 liter
atau lebih
3. Perdarahan baru atau masih berlangsung dengan hemoglobin <10 g% atau
hematocrit <30%
4. Terdapat tanda-tanda oksigenasi jaringan yang menurun

Gambar 14. Algoritma penanganan perdarahan saluran cerna bagian bawah

Sumber: Cagir, 2019


Protocol penialaian awal
a. Pertimbangan rawat jalan dengan follow-up apabila:
- Usia < 60 tahun
- Tidak ada tanda gangguan hemodinamik (sistolik > 100 mg, nadi < 100
x/menit)
- Tidak ada tanda perdarahan rektal yang terlihat jelas
b. Pertimbangan rawat inap dan endoskopi dini apabila:
- Usia > 60 tahun (semua pasien > 70 tahun harus dirawat)
- Ada tanda gangguan hemodinamik (sistolik < 100 mmHg, nadi > 100
x/menit)
- Adanya tanda perdarahan per rektal yang terlihat jelas (gross rectal
bleeding)
- Riwayat konsumsi aspirin atau NSAID
- Memiliki penyakit komorbid
B. Identifikasi sumber perdarahan -> dengan pemeriksaan penunjang tersebut
diatas
C. Intervensi terapeutik untuk menghentikan perdarahan
a. Kolonoskopi: injeksi epinefrin, elektrokauter pada kasus polip kolon,
pemasangan endoklip, lem fibrin
b. Angiografi: infus vasopressor intra-arterial atau embolisasi arteri dengan
polyvinyl alcohol atau mikrokoil. Embolisasi angiografi merupakan
pilihan terakhir karena dapat menimbulkan infark kolon sebesar 13-18%.
Angiografi dilakukan pada pasien dengan perdarahan cepat dan aktif yang
tidak berespon adekuat terhadap resusitasi hemodinamik
c. Bedah: apabila diperlukan transfusi dalam jumlah besar (contoh: > 4 unit
PRC dalam 24 jam), instabilitas hemodinamik yang tidak merespon terapi
medis, perdarahan berulang yang tidak merespon terapi, perdarahan
diverticular > 2 episode
Manajemen medikasi
Pengelolaan penggunaan obat dalam keadaan perdarahan SCBB perlu
mempertimbangkan risiko perdarahan yang sedang berlangsung atau berulang,
terutama pada pasien yang menggunakan obat NSAID, antiplatelet dan
antikoagulan.

Gambar 15. Manajemen medikasi pada perdarahan SCBB berdasarkan World


Journal of Gastroenterology

Sumber: Aoki, 2019

2.9.KOMPLIKASI
Syok hipovolemik, gagal ginjal akut, anemia karena perdarahan

2.10. PROGNOSIS
Meskipun sebagian besar perdarahan diverticular bersifat self-limited dan
sembuh spontan, hilangnya darah bersifat masif dan cepat pada 9-19% pasien. Pada
pasien dengan penyakit komorbid, malnutrisi, atau penyakit hati, memiliki
prognosis buruk. Penggunaan aspirin dan NSAID berkaitan erat dengan
meningkatnya perdarahan divertikular.
DAFTAR PUSTAKA

Abbas, AK et al. 2015. Buku Ajar Patologi Robbins. Edisi 9. Singapura: Elsevier
Saunders
Alwi, I et al. 2015. Penatalaksanaan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam Panduan
Praktis Klinis Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia.
Jakarta: InternaPublishing
Aoki T et al. 2019. Management for acute lower gastrointestinal bleeding. Japan:
World Journal of Gastroenterology
Cagir, B. 2019. Lower Gastrointestinal Bleeding. American: Medscape
https://emedicine.medscape.com/article/188478-overview
Cerulli MA. 2016. Upper Gastrointestinal Bleeding. American: Medscape
https://emedicine.medscape.com/article/187857-overview
Indonesiana, AM. 2014. National Consensus on Management of Non Variceal
Upper Gastrointestinal Tract Bleeding in Indonesia. Jakarta: The Indonesian
Journal of Internal Medicine
Setiati S et al. 2014. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid II. VI. Jakarta:
InternaPublishing
Simadibrata M et al. 2012. Konsensus Nasional Penatalaksanaan Perdarahan
Saluran Cerna Atas Non Varises di Indonesia. Jakarta: Perkumpulan
Gastroenterologi Indonesia
Tjokroprawira A et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga Rumah Sakit Pendidikan Dr. Soetomo Surabaya.
Surabaya: Airlangga University Press. p 212-213
Wilkins T et al. 2016. Diagnosis and Management of Upper Gastrointestinal
Bleeding. American Family Physician 2016:85(5): 469-476

Anda mungkin juga menyukai