DISUSUN OLEH:
1102015250
PEMBIMBING:
JAKARTA
PERDARAHAN SALURAN CERNA BAGIAN ATAS (SCBA)
1.1.DEFINISI
Perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) adalah kehilangan darah dari
saluran cerna bagian atas (PSCBA) adalah kehilangan darah dari saluran cerna atas
mulai dari esophagus sampai duodenum (dengan batas anatomik di ligamentum
Treitz), dengan manifestasi klinis berupa hematemesis, melena, hematoskezia atau
kombinasi.
1.2.EPIDEMIOLOGI
Kejadian perdarahan SCBA menunjukkan adanya variasi geografis yang
besar mulai dari 48-160 kasus per 100.000 penduduk, dengan kejadian lebih tinggi
pada pria dan usia lanjut. Hal ini dapat dijelaskan oleh karena berbagai penyebab,
mulai dari perbedaan definisi perdarahan SCBA, karakteristik populasi, prevalensi
obat-obatan penyebab ulkus dan Helicobacter pylori.
Walaupun dengan tatalaksana optimal menggunakan endoskopi terapeutik
dan terapi penekan asam lambung, mortalitas keseluruhan perdarahan SCBA tetap
stabil dalam dekade-dekade terkini, yakni berkisar antara 6-14%. Namun demikian
sebagian besar kematian bukan disebabkan secara langsung oleh kehilangan darah,
namun lebih oleh karena intoleransi terhadap kehilangan darah, syok, aspirasi dan
prosedur terapeutik. Mortalitas oleh karena perdarahan SCBA dikaitkan dengan
usia lanjut dan adanya komorbiditas berat. Risiko mortalitas juga meningkat dengan
perdarahan berulang, yang merupakan parameter luaran mayor.
1.3.ETIOLOGI
Perdarahan ulkus peptikum merupakan penyebab tersering perdarahan
SCBA, berkisar antara 31 – 67 % dari semua kasus, diikuti oleh gastritis erosif,
perdarahan variseal, esofagitis, keganasan dan robekan Mallory-weiss. Pada
subgrup pasien dengan perdarahan ulkus peptikum, perdarahan karena ulkus
duodenum sedikit lebih banyak dibandingkan ulkus gaster.
Berdasarkan studi retrospektif yang dilakukan pada 4.154 pasien yang
menjalani endoskopi selama tahun 2001-2005 di Pusat Endoskopi Rumah Sakit
Cipto Mangunkusumo Jakarta, sebanyak 807 (20,15%) orang mengalami
perdarahan SCBA. Penyebab tersering perdarahan SCBA sebagai berikut.
1.4.PATOFISIOLOGI
Sebagian besar ulkus timbul pada saat mekanisme pertahanan normal
diganggu atau ditekan oleh gangguan mukosa hebat sehingga mengalahkan
mekanisme protektif saluran cerna atas. Gangguan yang paling sering didapatkan
adalah oleh karena infeksi H. pylori dan penggunaan obat antiinflamasi non steroid
(OAINS). Penyebab yang lebih jarang termasuk hipersekresi asam lambung
(sindrom Zollinger-Ellison), hyperplasia sel-G antral dan mastosis. Infeksi virus
seperti herpes simplex dan sitomegalovirus, kelainan inflamasi seperti penyakit
Chron’s atau sarcoidosis, serta trauma radiasi dapat menyebabkan ulserasi saluran
cerna, termasuk lambung dan duodenum. Perdarahan besar ulkus peptikum terjadi
pada saat ulkus menyebabkan salah satu pembuluh darah besar yang memperdarahi
saluran cerna bagian atas rusak.
Gambar 4. Peran NSAID terhadap enzim siklooksigenase dan prostaglandin
1.6.DIAGNOSIS
Anamnesis
Dalam anamnesis yang perlu ditekankan ialah sejak kapan terjadinya
perdarahan, berapa perkiraan darah yang keluar, warna darah yang keluar, riwayat
perdarahan sebelumnya, riwayat perdarahan dalam keluarga, ada tidaknya
perdarahan di bagian tubuh lain, penggunaan obat-obatan terutama antiinflamasi
non stseroid dan antikoagulan, kebiasaan minum alkohol, mencari kemungkinan
adanya penyakit hati kronik, demam berdarah, demam tifoid, gagal ginjal kronik,
diabetes mellitus, hipertensi, alergi obat-obatan serta riwayat transfusi sebelumnya.
Pemeriksaan fisik
Langkah awal pada semua kasus perdarahan saluran makanan adalah
menentukan beratnya perdarahan dengan memfokuskan pada status hemodinamik.
Pemeriksaannya meliputi:
1. Tekanan darah dan nadi posisi baring
2. Perubahan ortostatik tekanan darah dan nadi
3. Ada tidaknya vasokonstriksi perifer (akral dingin)
4. Tingkat kesadaran
5. Produksi urin
Perdarahan akut dalam jumlah besar melebihi 20% volume intravascular
akan mengakibatkan kondisi hemodinamik tidak stabil:
1. Hipotensi (<90/60 mmHg atau MAP <70 mmHg) dengan frekuensi nadi >100
x/menit
2. Tekanan diastolik ortostatik turun >10 mmHg atau sistolik turun >20 mmHg
3. Frekuensi nadi ortostatik meningkat >15 x/menit
4. Akral dingin
5. Kesadaran menurun
6. Anuria atau oligouria (produksi urin <30 ml/jam)
Kecurigaan perdarahan akut dalam jumlah besar selain ditandai kondisi
hemodinamik tidak stabil ialah bila ditemukan:
1. Hematemesis
2. Hematoskezia
3. Darah segar pada aspirasi nasogastrik dan dengan lavase tidak segera jernih
4. Hipotensi persisten
5. Dalam 24 jam menghabiskan transfusi darah melebihi 800-1000 ml
Pemeriksaan Penunjang
Pada perdarahan SCBA, dapat dilakukan pemeriksaan laboratorium berupa
darah lengkap, elektrolit, fungsi hati, masa pembekuan dan perdarahan, pertanda
virus hepatitis, dan ratio BUN/kreatinin yang disesuaikan dengan perkiraan klinisi
atas gejala dan tanda dari pasien. Pada perdarahan SCBA pemecahan darah oleh
kuman usus akan mengakibatkan kenaikan BUN, sedangkan kreatinin serum tetap
normal atau sedikit meningkat.
Tabel 1. Perbedaan Perdarahan SCBA dan SCBB
Perdarahan SCBA Perdarahan SCBB
Manifestasi klinik pada Hematemesis dan/
Hematoskezia
umumnya melena
Aspirasi nasogastric Berdarah Jernih
Rasio (BUN/kreatinin) Meningkat > 35 < 35
Auskultasi usus Hiperaktif Normal
Sumber: Setiati, 2014
Stabilisasi hemodinamik
1. Jaga patensi jalan napas
2. Suplementasi oksigen
3. Akses intravena 2 line dengan jarum besar; pemberian cairan Normal Saline
atau Ringer Laktat
4. Evaluasi laboratorium: waktu koagulasi, Hb, Ht, serum elektrolit, rasio BUN :
serum kreatinin. Adanya kecurigaan diatesis hemoragik perlu ditindaklanjuti
dengan menggunakan res Rumple-Leede, pemeriksaan waktu perdarahan,
waktu pembekuan, retraksi bekuan darah, PT, dan aPTT
5. Pertimbangkan transfusi Packed Red Cell (PRC) apabila kehilangan darah
sirkulasi > 30% atau Ht < 18% (atau menurun >6%) sampai target Ht 20-25%
pada dewasa muda atau 30% pada dewasa tua
6. Pertimbangkan transfusi Fresh Frozen Plasma (FFP) atau trombosit apabila
INR > 1,5 atau trombositopeni
7. Pertimbangkan Intensive Care Unit (ICU) apabila:
a. Pasien dalam keadaan syok
b. Pasien dengan perdarahan aktif yang berlanjut
c. Pasien dengan penyakit komorbid serius, yang membutuhkan transfuse
darah multipel, atau dengan akut abdomen
Pemberian transfusi darah pada perdarahan saluran cerna dipertimbangkan pada
keadaan berikut ini:
1. Perdarahan dalam kondisi hemodinamik tidak stabil
2. Perdarahan baru atau masih berlangsung dan diperkirakan jumlahnya 1 liter
atau lebih
3. Perdarahan baru atau masih berlangsung dengan hemoglobin <10 g% atau
hematocrit <30%
4. Terdapat tanda-tanda oksigenasi jaringan yang menurun
Farmakologis
1. Transfusi darah PRC. Pada kasus varises, transfusi sampai dengan Hb 10
g%. Pada kasus non varises transfusi sampai dengan Hb 12 g%. Bila
perdarahan berat (25-30%), boleh dipeprtimbangkan transfuse Whole Blood
2. Sementara menunggu darah, dapat diberikan pengganti plasma atau NaCl
0,9% atau RL
3. Untuk penyebab non varises:
a. PPI dalam bentuk bolus maupun drip tergantung kondisi pasien jika
tidak ada dapat diberikan antagonis H2 reseptor
b. Sitoprotektor: sukralfat 3-4 x 1 gram atau teprenon 3 x 1 tablet atau
rebamipide 3 x 100 mg
c. Injeksi vitamin K 3 x 1 ampul, untuk pasien dengan penyakit hati kronis
atau sirosis hati
4. Untuk penyebab varises:
a. Somatostatin bolus 250 ug + drip mcg/jam intravena atau okreotide
(sandostatin) 0,1 mg/2 jam. Pemberian diberikan sampai perdarahan
berhenti atau bila mampu diteruskan 3 hari setelah skleroterapi/ligase
varises esophagus
b. Vasopressin: sediaan vasopressin 50 unit diencerkan dalam 100 ml
dekstrosa 5%, diberikan 0,5-1 mg/menit iv selama 20-60 menit dan
dapat diulang tiapa 3-6 jam; atau setelah pemberian pertama dilanjutkan
per infus 0,1-0,5 U/menit. Pemberian vasopressin disarankan bersamaan
dengan preparat nitrat misalnya nitrogliserin iv dengan dosis awal 40
mcg/menit lalu titrasi dinaikkan sampai maksimal 400 mcg/menit. Hal
ini untuk mencegah insufisiensi aorta mendadak
c. Propranolol, dimulai dosis 2 x 10 mg, dosis dapat ditingkatkan hingga
tekanan diastolic turun 20 mmHg atau denyut nadi turun 20% (setelah
keadaan stabil hematemesis melena (-))
d. Isosorbit dinitrat/mononitrate 2 x 1 tablet/hari hingga keadaan umum
stabil
e. Metoklopramid 3 x 10 mg/hari
- Bila ada gangguan hemostasis obati sesuai kelainan
- Pada pasien dengan pecahnya varises/penyakit hati kronik/ sirosis
hati dapat ditambahkan laktulosa 4 x 1 sendok makan dan antibiotik
ciprofloksasin 2 x 500 mg atau sefalosporin generasi ketiga
Non Farmakologis
1) Diet
Hindari makanan yang memperberat keluhan, seperti asam, pedas, panas,
banyak lemak.
Khusus: makanan teratur, sebaiknya lunak, hindari makanan sebelum
tidur (terutama tidur malam)
2) Stop Merokok
3) Hindari alkohol terutama dalam lambung kosong
4) Hindari ASA/NSAID/Steroid
5) Banyak istirahat, hindari stres
Hemostasis endoskopi
1. Untuk perdarahan non varises: penyuntikan mukosa disekitar titik
perdarahan menggunakan adrenalin 1:10000 sebanyak 0,5-1 ml tiap kali
suntuk dengan batas dosis 10 ml. Penyuntikan ini harus dikombinasikan
dengan terapi endosksopik lainnya seperti klipping, termo koagulasi atau
elektro koagulasi
2. Untuk perdarahan varises: dilakukan ligase atau sklerosing
Tatalaksana radiografi
Terapi angiografi perlu dipertimbangkan bila perdarahan tetap berlangsung
dan belum bisa ditentukan asal perdarahannya. Pada varises dapat dipertimbangkan
TIPS (Transjugular Intrahepatic Portosystemic Shunt). Pada keadaan sumber
perdarahan tidak jelas dapat dilakukan tindakan arteriografi. Prosedur bedah
dilakukan sebagai tindakan emergensi atau elektif.
Tatalaksana dini
Stratifikasi pasien kedalam kategori risiko redah atau tinggi untuk kejadian
perdarahan ulang dan mortalitas dapat digunakan dengan skor Blatchford dan
Rockall (sesuai dengan ada tidaknya fasilitas endoskopi). Pasien-pasien dengan
risiko tinggi untuk terjadinya perdarahan ulang dan risiko kematian, sebaiknya
dirawat di unit rawat intensif.
Tabel 3. Skor Blacthford
Variable Poin
Tekanan darah sistolik (mmHg) 100 – 109 1
90 – 99 2
< 90 3
Ureum (mg/dL) 36.5 – 44.5 2
44.6 – 55.5 3
55.6 – 139.9 4
> 140 6
Hemoglobin (pria; g/dL) 12.0 – 12.9 1
10.0 – 11.9 3
< 10.0 6
Hemoglobin (wanita; g/dL) 10.0 – 11.9 1
< 10.0 2
Variable lainnya Nadi > 100 1
Datang dengan melena 1
Datang dengan sinkop 2
Penyakit hati 2
Gagal jantung 2
Waktu endoskopi
Endoskopi telah menjadi alat untuk diagnosis dan tatalaksana PSCBA yang
utama. Tindakan ini memungkinkan untuk dilakukan identifikasi sumber
perdarahan dan terapi pada saat yang sama. Waktu optimal endoskopi masih dalam
perdebatan. Endoskopi darurat memungkinkan untuk dilakukan hemostatis dini,
namun dapat menyebabkan terjadinya aspirasi darah dan desaturasi oksigen pada
pasien yang belum stabil. Sebagai tambahan, jumlah darah dan bekuan yang banyak
dapat megganggu terapi target untuk fokus perdarahan, yang dapat menyebabkan
dibutuhkannya prosedur endoskopik ulangan.
Konsensus internasional dan Asia-Pasifik menganjurkan endoskopi dini
dalam waktu 24 jam setelah pasien dirawat, oleh karena tindakan ini secara
signifikan menurunkan lama rawat inap dan memperbaiki luaran klinis. Endoskopi
sangat dini (<12 jam) sampai saat ini belum menunjukkan keuntungan tambahan
dalam hal menurunkan risiko perdarahan ulangan, pembedahan dan mortalitas bila
dibandingkan dengan waktu 24 jam. Namun demikian, endoskopi darurat harus
dipertimbangkan pada pasien dengan perdarahan berat. Pada pasien dengan
gambaran klinis risiko lebih tinggi (misalnya: takikardi, hipotensi, muntah darah,
atau darah segar pada NGT) endoskopi dalam 12 jam kemungkinan dapat
meningkatkan luaran klinis.
Pada pasien dengan hemodinamik stabil dan tanpa faktor komorbid serius,
dilakukan endoskopi terlebih dahulu sebelum pasien dipulangkan.
1.8.KOMPLIKASI
Syok hipovolemik, pneumonia aspirasi, gagal ginjal akut, sindrom
hepatorenal, koma hepatikum, anemia karena perdarahan.
1.9.PROGNOSIS
Pasien dengan risiko tinggi perdarahan ulang tanpa terapi adalah pasien
dengan perdarahan arterial aktif (90%), adanya pembuluh darah visible tak berdarah
(50%) atau bekuan adheren (33%).
Pada umumnya penderita dengan perdarahan SCBA yang disebabkan
pecahnya varises esogfagus mempunyai faal hati yang buruk/terganggu sehingga
setiap perdarahan baik besar maupun kecil mengakibatkan kegagalan hati yang
berat. Banyak faktor yang mempengaruhi prognosis penderita seperti faktor umur,
kadar Hb, tekanan darah selama perawatan, dan lain-lain. Mengingat tingginya
angka kematian dan sukarnya dalam menanggulangi perdarahan SCBA, maka perlu
dipertimbangkan tindakan yang bersifat preventif terutama untuk mencegah
terjadinya pecahnya varises pada pasien.
Beberapa faktor risiko juga terkait dengan prognosis yang buruk setelah
kejadian perdarahan terkait ulkus peptikum, yang apabila terjadi membuat klinisi
harus lebih agresif dalam menentukan tatalaksana yang akan diambil. Faktor
risikonya antara lain usia > 60 tahun, awitan perdarahan di rumah sakit, terdapat
penyakit medis komorbid, syok atau hipotensi ortostatik, darah segar di selang
nasogastrik, koagulopati, dibutuhkan transfusi berulang, ulkus di kurvatura minor
bagian atas (dekat dengan ateri gastrika sinistra), ulkus bulbus duodeni posterior
(dekat dengan arteri gastroduodenal), dan temuan endoskopik berupa perdarahan
arterial atau pembuluh darah visibel.
PERDARAHAN SALURAN CERNA BAGIAN BAWAH (SCBB)
2.1.DEFINISI
Perdarahan saluran cerna bagian bawah (SCBB) adalah perdarahan yang
berasal dari usus disebelah bawah ligamentum Treitz. Hematokezia merupakan
suatu gejala perdarahan gastroinstestinal, yaitu keluarnya darah segar aau merah
marun dari rektum. Sebagian besar perdarahan SCBB ditandai dengan adanya
hematokezia, namun 10% kasus dapat juga berasal dari perdarahan SCBA yang
masif. Apabila hematokezia merupakan gejala klinis dari perdarahan SCBA, maka
akan terjadi instabilitas hemodinamik dan terjadi penurunan hemoglobin.
2.2.ETIOLOGI
2.3.KLASIFIKASI
2.4.PATOFISIOLOGI
Angiodisplasia
Ditandai oleh malformasi pembuluh darah arteriovenosa mukosa dan
submucosa pada sekum dan kolon asenden. Kelainan ini penyebab perdarahan berat
saluran cerna bagian bawah sering pada usia tua, biasanya sesudah dekade keenam
dari kehidupan.
Hemoroid
Pathogenesis kelainan ini serupa dengan varises esophagus. Faktor
predisposisi hemoroid adalah konstipasi dan berkaitan dengan mengedan, yang
meningkatkan tekanan intraabdominal dan vena, stasis vena pada kehamilan dan
hipertensi portal. Tonjolan pada hemoroid di bawah anus atau mukosa rektum,
apabila terkena trauma dan cenderung meradang, terbentuk thrombus dan sesudah
beberapa waktu bisa terjadi rekanalisasi. Dapat juga terjadi ulkus.
Divertikulitis
Penyakit ini diartikan sebagai kantong yang menonjol keluar berupa
pseudodivertikel yang didapat dari mukosa dan submukosa kolon. Perdarahan
divertikular berasal dari vasa rectae yang terletak di submukosa, yang dapat pecah
di kubah atau leher diverticulum akibat trauma kronik.
Kolitis
Pola kerusakan mukosa padakolitis infeksi dan noninfeksi sama-sama
rapuh, eritema, edema, dan ulserasi. Proses inflamasi dapat melebar sampai ke
lapisan serosa, menyebabkan perforasi.
Karsinoma kolon
Karsinoma kolorektal menyebabkan perdarahan samar akibat ulserasi atau
erosi mukosa.
2.5.MANIFESTASI KLINIS
Hematokezia diartikan darah segar yang keluar melalui anus dan merupakan
manifestasi tersering dari perdarahan SCBB yang lazimnya menunjukkan
perdarahan kolon sebelah kiri, namun demikian dapat berasal dari saluran cerna
bagian atas, usus halus, transit darah yang cepat.
Melena diartikan sebagai tinja berwarna hitam dengan bau yang khas.
Melena timbul bilamana hemoglobin dikonversi menjadi hematin atau hemokrom
lainnya oleh bakteri setelah 24 jam. Umumnya melena menunjukkan perdarahan di
saluran cerna bagian atas atau usus halus, namun demikian melena juga dapat
berasal dari perdarahan kolon sebelah kanan dengan perlambatan mobilitas. Tidak
semua kotoran hitam ini melena, karena terdapat obat-obatan yang menganndung
besi yang dapat menyebabkan feses hitam, seperti bismuth, sarcol, dan licorice.
Oleh karena itu dibutuhkan test guaic untuk menentukan adanya hemoglobin.
Darah samar timbul bilamana ada perdarahan ringan namun tidak sampai
merubah warna tinja/feses. Perdarahan ini dapat diketahui dengan tes guaiac.
Gejala yang ditimbulkan tergantung penyebab perdarahannya. Pasien
dengan kolitis (iskemik, infeksi, atau inflammatory bowel disease) sering terjadi
diare dan nyeri perut, sedangkan penyakit karena vascular seperti perdarahan
diverticular, hemoroid, angioektasia, dan ulkus rektal, selalu tidak timbul gejala
yang menunjukkan gejala gastrointestinal bawah. Penurunan berat badan dan
perubahan kebiasaan buang air besar kemungkinan keganasan.
Pasien muda dengan colitis infeksi dan noninfeksi menunjukkan gejala
seperti demam, dehidrasi, nyeri perut, dan hematoskezia. Pasien lanjut usia dengan
perdarahan diverticular atau angiodisplasia memiliki sedikit gejala dan perdarahan
yang tidak sakit. Perdarahan SCBB bersifat ringan pada angiodisplasia dan
karsinoma kolon, bersifat sedang atau berat pada perdarahan yang berhubungan
dengan diverticula.
Perlu menanyakan kepada pasien riwayat medis seperti ulkus peptikum,
penyakit hepar, sirosis, koagulopati, dan inflammatory bowel disease. Riwayat
penggunaan obat-obatan seperti NSAID dan atau warfarin. Pada pasien dengan
kanker, riwayat radiasi dana tau kemoterapi harus dipikirkan.
2.6.DIAGNOSIS
Anamnesis dan Pemeriksaan fisik
Anamnesis dan pemeriksaan fisik biasanya tidak dapat mendiagnosis
sumber perdarahan. Endoskopi merupakan pilihan pemeriksaan pada pasien dengan
perdarahan SCBA dan sebaiknya dilakukan secepatnya pada pasien dengan
instabilitas hemodinamik (hipotensi, takikardi, atau perubahan postural nadi dan
tekanan darah).
Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium : darah lengkap, elektrolit, koagulasi, golongan darah
2. Kolonoskopi:
a. Merupakan pemeriksaan penunjang diagnostik utama terpilih pada
penderita perdarahan SCBB. Selama prosedur berlangsung, operator
dapat mengevaluasi perubahan mukosa kolon, patologi infeksius,
kolitis, dan perubahan iskemik untuk menyingkirkan diagnosis banding
b. Pemeriksaan diagnostic yang terpenting untuk mengidentifikasi
aktivitas perdarahan
c. Sebaiknya dilakukan dalam 12-48 jam saat gejala pertama kali muncul,
dan setelah dilakukan persiapan bilas kolon (1 L polyethylene glycol
solution tiap 30-45 menit selama sedikitnya 2 jam atau sampai cairan
jernih)
3. Pencitraan radionuklir (Blood pool scan):
a. Dilakukan apabila kolonoskopi gagal mengidentifikasi lokasi sumber
perdarahan
4. Angiografi:
a. Injeksi zat kontras ke dalam arteri mesenterika superior dan inferior dan
cabang-cabangnya untuk menentukan lokasi perdarahan
b. Dilakukan pada kasus dengan perdarahan yang berat yang tidak
memungkinkan pemeriksaan dengan kolonoskopi dengan perdarahan
lebih dari ½ ml per menit
2.7.DIAGNOSIS BANDING
2.8.TATALAKSANA
Penatalaksanaan perdarahan SCBB memiliki 3 komponen yaitu:
A. Resusitasi dan penilaian awal
Stabilisasi hemodinamik
1. Jaga patensi jalan napas
2. Suplementasi oksigen
3. Akses intravena 2 line dengan jarum besar; pemberian cairan Normal
Saline atau Ringer Laktat
4. Evaluasi laboratorium: waktu koagulasi, Hb, Ht, serum elektrolit, rasio
BUN : serum kreatinin. Adanya kecurigaan diatesis hemoragik perlu
ditindaklanjuti dengan menggunakan res Rumple-Leede, pemeriksaan
waktu perdarahan, waktu pembekuan, retraksi bekuan darah, PT, dan aPTT
5. Pertimbangkan transfusi Packed Red Cell (PRC) apabila kehilangan darah
sirkulasi > 30% atau Ht < 18% (atau menurun >6%) sampai target Ht 20-
25% pada dewasa muda atau 30% pada dewasa tua
6. Pertimbangkan transfusi Fresh Frozen Plasma (FFP) atau trombosit
apabila INR > 1,5 atau trombositopeni
7. Pertimbangkan Intensive Care Unit (ICU) apabila:
a. Pasien dalam keadaan syok
b. Pasien dengan perdarahan aktif yang berlanjut
c. Pasien dengan penyakit komorbid serius, yang membutuhkan transfuse
darah multipel, atau dengan akut abdomen
Pemberian transfusi darah pada perdarahan saluran cerna dipertimbangkan
pada keadaan berikut ini:
1. Perdarahan dalam kondisi hemodinamik tidak stabil
2. Perdarahan baru atau asih berlangsung dan diperkirakan jumlahnya 1 liter
atau lebih
3. Perdarahan baru atau masih berlangsung dengan hemoglobin <10 g% atau
hematocrit <30%
4. Terdapat tanda-tanda oksigenasi jaringan yang menurun
2.9.KOMPLIKASI
Syok hipovolemik, gagal ginjal akut, anemia karena perdarahan
2.10. PROGNOSIS
Meskipun sebagian besar perdarahan diverticular bersifat self-limited dan
sembuh spontan, hilangnya darah bersifat masif dan cepat pada 9-19% pasien. Pada
pasien dengan penyakit komorbid, malnutrisi, atau penyakit hati, memiliki
prognosis buruk. Penggunaan aspirin dan NSAID berkaitan erat dengan
meningkatnya perdarahan divertikular.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, AK et al. 2015. Buku Ajar Patologi Robbins. Edisi 9. Singapura: Elsevier
Saunders
Alwi, I et al. 2015. Penatalaksanaan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam Panduan
Praktis Klinis Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia.
Jakarta: InternaPublishing
Aoki T et al. 2019. Management for acute lower gastrointestinal bleeding. Japan:
World Journal of Gastroenterology
Cagir, B. 2019. Lower Gastrointestinal Bleeding. American: Medscape
https://emedicine.medscape.com/article/188478-overview
Cerulli MA. 2016. Upper Gastrointestinal Bleeding. American: Medscape
https://emedicine.medscape.com/article/187857-overview
Indonesiana, AM. 2014. National Consensus on Management of Non Variceal
Upper Gastrointestinal Tract Bleeding in Indonesia. Jakarta: The Indonesian
Journal of Internal Medicine
Setiati S et al. 2014. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid II. VI. Jakarta:
InternaPublishing
Simadibrata M et al. 2012. Konsensus Nasional Penatalaksanaan Perdarahan
Saluran Cerna Atas Non Varises di Indonesia. Jakarta: Perkumpulan
Gastroenterologi Indonesia
Tjokroprawira A et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga Rumah Sakit Pendidikan Dr. Soetomo Surabaya.
Surabaya: Airlangga University Press. p 212-213
Wilkins T et al. 2016. Diagnosis and Management of Upper Gastrointestinal
Bleeding. American Family Physician 2016:85(5): 469-476