Anda di halaman 1dari 45

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Pajak merupakan terminologi yang mengundang berbagai opini,


persepsi, dan pemikiran di sebagian besar masyarakat. Hal ini terjadi karena
beberapa faktor, yaitu pertama, faktor ketidaktahuan tentang apa yang
dimaksud dengan pajak dan untuk apa pajak itu dipungut, sehingga
menimbulkan opini yang beragam. Kedua, kecurigaan yang ditimbulkan oleh
pihak-pihak tertentu terhadap pemungutan pajak yang dianggap rawan untuk
diselewengkan oleh pihak pemungut pajak. Hal tersebut menimbulkan
pemikiran untuk tidak mau menjalankan kewajiban sebagai pembayar pajak.
Ketiga, anggapan bahwa pajak itu memberatkan sehingga menimbulkan
berbagai cara atau strategi untuk menghindari pembayaran pajak. Keempat,
menyadari pentingnya urgensi pajak bagi keberlangsungan hidup berbangsa,
bermasyarakat, dan bernegara. Kesadaran Wajib Pajak merupakan kondisi
dimana Wajib Pajak mengerti dan memahami arti, fungsi maupun tujuan
pembayaran kepada negara. Dengan kesadaran Wajib Pajak yang tinggi akan
memberikan pengaruh kepada meningkatkan kepatuhan pajak yang lebih baik.
Kepatuahn perpajakan adalah masalah penting di seluruh dunia, baik bagi
Negara Maju maupun di Negara Berkembang. Tindakan Wajib Pajak dalam
pemenuhan kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan dan peraturan pelaksanaan perpajakan yang berlaku dalam suatu
negara. Predikat Wajib Pajak patuh dalam arti disiplin dan taat, tidak sama
dengan Wajib Pajak yang berpredikat pembayaran pajak dalam jumlah besar,
tidak ada hubungan antara kepatuhan dengan jumlah nominal setoran pajak
yang dibayarkan pada kas negara. Karena pembayar pajak terbesar sekalipun
belum tentu memenuhi kriteria sebagai Wajib Pajak Patuh, meskipun

1
memberikan kontribusi besar pada negara, jika masih memiliki tunggakan
maupun keterlambatan penyetoran pajak maka tidak dapat diberi predikat
Wajib Pajak Patuh. Karena jika Wajib Pajak tidak patuh maka akan
menimbulkan keinginan untuk melakukan tindakan penghindaran, pengelakan,
penyelundupan, dan pelalaian pajak. Pada akhirnya tindakan tersebut akan
menyebabkan penerimaan negara akan berkurang.(Siti Rahayu; 191).

Adapun keputusan Menteri Keuangan No.544/KMK.04/2000 tentang


Kreteria Wajib Pajak Patuh adalah: Pertama, tepat waktu dalam
menyampaikan SPT untuk semua jenis pajak dalam 2 tahun terakhir; Kedua,
tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali telah
memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak; Ketiga,
tidak pernah dijatuhi hukuman karena melakukan tindakan pidana di bidang
perpajakan dalam jangka waktu 10 tahun terakhir; Keempat, dalam 2 tahun
terakhir menyelenggarakan pembukuan dan dalam hal terhadap Wajib Pajak
pernah dilakukan pemeriksaan, koreksi pada pemeriksaan yang terakhir untuk
masing-masing jenis pajak yang terutang paling banyak 5%; Kelima, Wajib
Pajak yang laporan keuangannya untuk 2 tahun tgerakhir di audit oleh
Akuntan Publik dengan pendapat wajar tanpa pengecualian, atau pendapat
dengan pengecualian sepanjang mempengaruhi laba rugi fiskal. Selain itu,
Nurmantu (dalam Yunita 2007) membedakan kepatuhan menjadi dua macam
sebagai berikut:

1. Kepatuhan Formal, kepatuhan formal merupakan suatu keadaan


dimana Wajib Pajak memenuhi kewajiban perpajakan secara
formal sesuaindengan ketentuan dalam Undang-Undang
perpajakan. Misalnya, batas waktu penyampaian Surat
Pemberitahuan (SPT) tahunan.

2. Kepatuhan Material, kepatuhan material merupakan suatu keadaan


dimana Wajib Pajak secara substansi atau hakikat memenuhi
semua ketentuan material perpajakan yakni sesuai isi dan
ketentuan dalam Undang-Undang perpajakan. Jadi Wajib Pajak

2
yang memenuhi kepatuhan material dalam mengisi dengan jujur,
baik dan benar SPT tersebut sesuai dengan ketentuan dan
menyampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) sebelum batas
waktu.

Namun, Berdasarkan kenyataan yang ada, menurut Kepala Kantor


Wilayah Jawa Barat I Direktorat Jenderal Pajak, Yoyok Satiotomo. Yang
dikutip dari “Aher Dorong Warga Jabar untuk Lapor SPT” pada Kamis, 8
Maret 2018 menyatakan, Masih kurang patuh. Mereka (WP) ada yang sengaja
menghindar, ada yang tidak tahu, ada juga yang mengecilkan pajak yang harus
di bayar. Menurut data Direktorat Jenderal Pajak Jawa Barat pada tahun 2017,
Wajib Pajak terdaftar di Jawa Barat sebanyak 6.973185 Wajib Pajak SPT
sebanyak 3.093.124 Wajib Pajak, sementara Wajib Pajak yang melakukan
pelaporan sebanyak 1.092712 Wajib Pajak atau sebesar 62%, serta Wajib Pajak
yang melakukan pembayaran sebanyak 241.287 Wajib Pajak atau sebesar 3%.
sementara itu pada 2016, Wajib Pajak terdaftar di Jawa Barat sebanyak
6.077349 Wajib Pajak, Wajib SPT sebanyak 3.713.935 Wajib Pajak atau
sebesar 59%, Wajib Pajak Lapor sebanyak 1.996.971 Wajib Pajak atau sebesar
53,77%, dan Wajib Pajak Bayar sebanyak 223.992 Wajib Pajak atau sebesar
4%.

Kepala Kantor Wilayah Direktoran Jenderal Pajak Sumatera Selatan,


M Ismiransyah M Zain, yang dikutip dari “Kesadaran Wajib Pajak Rendah, 5
Tahun Direktorat Jenderal Pajak Gagal Capai Target” pada Kamis, 3 Mei 2018
menyatakan, pada tahun 2017, penerimaan pajak mencapai Rp. 1.495,89
triliun. Sementara target penerimaan pajak 2017 adalah Rp 1.472 triliun.
Namun kebutuhan negara mencapai Rp 1.736,25 triliun. Kemudian kurangnya
kesadaran masyarakat dalam membayar pajak. Bayangkan dari 2,68 juta wajib
Pajak yang terdaftar baru 421 ribu Wajb Pajak yang bayar pajak.

3
Berdasarkan Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1983 telah diadakan
pembaruan dan penggantian atas peraturan perundang-undangan perpajakan
yang selama ini berlaku. Tax Reform tahun 1983 ini berlaku mulai tanggal 1
januari 1984. Dengan adanya Tax Reform maka sistem perpajakan Indonesia
berubah dari oficial Assessment menjadi self assessment. Praktik self
assessment dalam beberapa kajian ternyata mempunya dampak terhadap
pelaksanaan pemungutan pajak di Indonesia (Tarjo dan Kusumawati, 2006;
Trisnayanti dan Jati, 2015).

Sistem Pemungutan pajak dalam sistem perpajakan dikenal dengan


Self assessment system. Dampak yang muncul dari penerapan Self assesment
system adalah wajib pajak harus melaporkan semua informasi yang relevan
dalam SPT, menghitung dasar pengenaan pajak, menghitung jumlah pajak
terutang, menyetorkan jumlah pajak terutang sendiri diluar campur tangan
fiskus. Kondisi perpajakan yang menganut keikutsertaan aktif wajib pajak
dalam menyelenggarakan perpajakannya membutuhkan kepatuhan Wajib
Pajak yang tinggi (Siti Rahayu:193). Karena sebagian besar pekerjaan dalam
pemenuhan kewajiban perpajakan itu dilakukan oleh Wajib Pajak (dilakukan
sendiri atau dibantu tenaga ahli misalnya praktisi perpajakan profesional/tax
agent). Sehingga kepatuhan diperlukan dalam self assessment system, dengan
tujuan penerimaan pajak yang optimal. Sehingga kepatuhan pajak menjadi
motor penggerak utama efektivitas pelaksanaan sistem self assessment.
Keberhasilan self assessment ini tidak dapat dicapai tanpa terwujudnya
kesadaran dan kejujuran dari masyarakat khususnya wajib pajak, untuk
melaksanakan kewajiban sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Artinya, dari
beberapa kajian tersebut membuktikan bahwa praktik sistem self assesment
yang dilakukan oleh pemerintah sampai saat ini belum secara maksimal dapat
terlaksana sesuai dengan target pajak yang ditentukan (Akbar, Atmanto
Jauhari, 2015). Berdasarkan hal tersebut ciri self assesment adalah sebagai
berikut:

4
1. Wajib Pajak melakukan melakukan peran aktif dalam melaksanakan
kewajiban perpajakan.

2. Wajib Pajak adalah pihak yang bertanggung jawab penuh atas kewajiban
perpajakannya sendiri.

3. Pemerintah dalam hal ini instansi perpajakan melakukan pembinaan,


penelitian dan pengawasan terhadap pelaksaan kewajiban perpajakan
bagi Wajib Pajak, melalui pemeriksaan pajak dan penerapan sanksi
pelanggaran dalam bidang pajak sesuai peraturan yang berlaku.

Sebagai bentuk pengendalian oleh pemerintah, dan sebagai deteren effect


maka laporan SPT Wajib Pajak tersebut dilakukan pemeriksaan. Penentuan
Wajib Pajak yang diperiksa ditetapkan oleh peraturan perpajakan. Hasil dari
pemeriksaan pajak adalah penerbitan Surat Ketetapan Pajak (SKP) yang
disebabkan adanya ketidakbenaran dalam pengisisan SPT atau karena
ditemukannya data fiskal yang tidak dilaporkan oleh Wajib Pajak.
Pemeriksaan Pajak yang menghasilkan ketetapan pajak adalah pemeriksaan
yang dilakukan oleh fungsional pemeriksa. Maka ketetapan pajak adalah
ketetapan DJP berdasarkan hasil pemeriksaan pajak yang telah dilakukan atas
Surat Pemberitahuan (SPT) Wajib Pajak. Kualitas penetapan pajak ditentukan
oleh hasil pemeriksaan pajak yang penetapkan apakah Wajib Pajak Kurang
Bayar atau Lebih Bayar ataupun Nihil, telah sesuai dengan persepsi Wajib
Pajak yang telah diperiksa atau dapat diterima oleh Wajib pajak yang
diperiksa. Penetapan pajak dengan jenis Ketetapan Pajak Kurang Bayar
memiliki potensi penerimaan penerimaan pajak lebih tinggi. Sehingga
diharapkan oleh DJP, hasil pemeriksaan berupa Surat Ketetapan Pajak ini
memiliki kualita yang baik. Kualitas SKP ditentukan melalui kontribusi
tidaknya kepada penerimaan pajak, dan tidak adanya pengajuan keberatan
dari Wajib Pajak setelah pemeriksaan. Surat Pemberitahuan (SPT)
mempunyai fungsi sebagai suatu sarana bagi Wajib Pajak didalam melaporkan
dan mempertanggungjawabkan perhitungan jumlah pajak yang sebenarnya
terutang. Selain itu Surat Pemberitahuan berfungsi untuk melaporkan

5
pembayaran atau pelunasan pajak baik yang dilakukan Wajib Pajak sendiri
maupun melalui mekanisme pemotongan dan pemungutan pajak yang
dilakukan oleh pihak ketiga, melaporkan harta dan kewajiban, dan
pembayaran dari pemotong atau pemungut tentang pemotongan dan
pemungutan pajak yang telah dilakukan. Pelaporan pajak disampaikan ke KPP
atau KP4 (Siti Rahayu; 280).

Menurut Kelapa Seksi Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat Kepala


Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jawa Barat II Dedi Suartono yang
dikutip dari “Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Lapor SPT Rendah” pada hari
Minggu, 6 Agustus 2017 menyatakan, ada 1,6 juta wajib pajak dari kalangan
karyawan, 106 ribu Wajib Pajak badan, dan 240 ribu dari kalangan pengusaha.
Dari ketiga kelompok tersebut, kepatuhan kalangan pengusaha dari unsur
nonkaryawan serta pelaku UMK yang terendah, yakni 32 persen, sisanya para
pemilik NPWP yang tidak melaporkan SPT dikarenakan berbagai alasan.

Sementara itu menurut Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Direktorat


Jenderal Pajak Kementrian Keuangan, Edi Slamet Irianto, yang di kutip dari
“Dalam 5 Tahun, Jumlah Pajak Kurang Bayar Tembus Rp.225 Triliun” pada
Jumat, 26 februari 2016 menyatakan, dalam setiap pelaporan SPT selalu
terdapat data fiktif yang diberikan Wajib Pajak, DJP harus memastikan bahwa
SPT yang dilaporkan mencerminkan keadaan objek tersebut. Wajib Pajak
perintahkan membayar pajak sesuai sebenarnya, karena bisa saja kurang bayar.

Berdasarkan tahap orientasi awal yang dilakukan masih banyak


ketidapatuhan yang dilakukan oleh Wajib Pajak karena sistem self assessment
system ini, Pertama, masih banyaknya Wajib Pajak tidak mengetahui cara
menghitung pajaknya sendiri meskipun mereka mempunyai penghasilan yang
lumayan tinggi. Mereka tahu bahwa ada kewajiban untuk membayar pajak tapi
tidak mau tau karena mereka bingung harus menghitung dengan cara
bagaimana. Kedua, dengan adanya self assessment system, maka adanya
tindakan tax evansion yang memang disengaja (Erlina Diamastuti, 2017).
membayar pajak bukan merupakan tindakan yang mudah dan sederhana.

6
Dalam pelaksanaannya penuh dengan hal yang bersifat emosional. Sehingga
potensi bentahan untuk tidak membayar pajak atau mengurangi jumlah pajak
terutang secara ilegal sudah menjadi taxpayers behavior. Kecenderungan
Wajib Pajak untuk tidak membayar pajak dengan jumlah semestinya ataupun
lalai dalam melaporkan pajaknya terjadi pada sistem self assessment (Siti
Rahayu; 198). Asusmsi yang dikemukakan oleh Leon Yudkin dalam Moh.
Zain bahwa perilaku Wajib Pajak mengarah pada tindakan meminimalkan
pajak yang harus dibayar adalah,

1. Bahwa Wajib Pajak selalu berusaha untuk membayar pajak yang


terutang sekecil mungkin, sepanjang hal itu dimungkinkan oleh
ketentuan peraturan perundang-ungdangan.

2. Bahwa Wajib Pajak cenderung untuk menyelundupkan pajak (tax


evansion) yaitu usaha penghidaran pajak yang terutang secara ilegal,
sepanjang Wajib Pajak tersebut mempunyai alasan yang meyakinkan
bahwa akibat dari perbuatannya tersebut kemungkinan besar mereka
tidak akan dihukum serta yakin pula bahwa rekan-rekannya
melakukan hal yang sama.

Dilihat dalam hal ini, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak
Riau dan Kepulauan Riau, Jatnika yang di kutip dari “DJP Riau Kepri Menilai
Self Assessment Bisa Jadi Kendala Penelusuran Penyimpangan Pajak”
(http://www.bisnis.com) pada hari Jum’at, 13 Mei 2016 menyatakan, self
Assessment memberikan kebebasan kepada para Wajib Pajak. Berdasarkan
data itu, Dirjen Pajak menelusuri apakah ada penyimpangan seperti
penggelapan. Artinya, Dirjen pajak senditi tidak memiliki data secara pasti
jumlah pengemplang pajak.

Dikutip pula dari pada hari Kamis, 12 Februari 2014 Kepala Kantor
Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jawa Barat, Bambang Bachtiar,
menyatakan, Dua tersangka Wajib Pajak dari perusahaan PT MPA dengan
tersangka PT NKC, tersangka tidak menyampaikan SPT tahunan PPh, Wajib

7
Pajak Badan dan SPT masa PPn, serta melakukan pemungutan PPN tetapi
tidak menyetorkan PPN yang telah dipungutnya, tersangka NS tidak
menyampaikan SPT Masa PPN dan menyampaikan SPT Masa PPN yang
isiannya tidak benar.

Rendahnya tingkat kepatuhan pajak di indonesia akan menghilangkan


potensi pendapatan Negara. Dimana apabila tingkat kepatuhan pembayaran
pajak oleh masyarakat rendah maka pajak sebagai sumber pendapatan
negara akan mengalami penurunan drastis (Erlina Diamastuti, 2017). Tata
cara pemungutan pajak dengan self assesment system berhasil dengan baik
jika masyarakat mempunyai pengetahuan dan disiplin pajak yang tinggi,
dimana ciri-ciri self assesment system adalah adanya kepastian hukum,
sederhana perhitungannya, mudah pelaksanaannya, lebih adil dan merata,
dan perhitungan pajak dilakukan oleh Wajib Pajak..

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, peneliti tertarik untuk


melakukan penelitian dengan judul : “PENGARUH SELF ASSESSMENT
SYSTEM TERHADAP KEPATUHAN WAJIB PAJAK”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan diatas, maka


dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana Self assessment berpengaruh terhadap kepatuhan Wajib Pajak ?

1.3 Makksud Tujuan Penelitian

1.3.1 Maksud Penelitian

Maksud dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan data empirik dan
mencari kebenaran mengenai Self assessment system dalam mempengaruhi
kepatuhan Wajib Pajak.

1.3.2 Tujuan Penelitian

8
1. Untuk mengetahui seberapa berpengaruhnya self assessment terhadap
kepatuhan wajib pajak.

1.4 Kegunaan Penelitian

1.4.1 Kegunaan Pemecahan Masalah

Hasil penelitian ini diharapkan mampu memecahkan masalah yaitu belum


patuhnya wajib pajak dalam menghitung, membayar dan melaporkan pajak
terutang nya.

1.4.2 Kegunaan Pengembangan Ilmu

Sebagai bahan referensi dan informasi untuk memungkinkan penelitian


selanjutnya mengenai pembahasan self assessment. Serta dapat memberikan
masukan kepada para peneliti untuk memahami pengaruh self assessment
terhadap kepatuhan wajib pajak dan dapat memberikan kontribusi pada
pengembangan teori, terutama mengenai kajian akuntansi perpajakan
mengenai pengaruh self assessment terhadap kepatuhan Wajib Pajak.

9
BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

2.1 Kajian Pustaka

2.1.1 Perjakakan

2.1.1.1 Pengertian Pajak

Definisi pajak yang dikemukanan oleh Djajadiningkat dalam Siti Resmi


( 2017:1):

“pajak sebagai suatu kewajiban menyerahkan sebagian dari kekayaan


ke kas negara yang disebabkan suatu keadaan, kejadian, dan perubahan
yang memberikan kedudukan tertentu, tetapi bukan sebagai hukumana,
menurut peraturan yang ditetapkan pemerintah serta dapat dipaksakan,
tetapi tidak ada jasa timbal balik dari negara secara langsung untuk
memelihara kesejahteraan secara umum.”.

Definisi pajak yang dikemukanan oleh Rochmat Soemitro dalam siti


Resmi (2017:1):

“pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-


undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapatkan jasa timbal
balik (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukan dan yang
digunakan untuk membayar pengeluaran umum.”.

Definisi pajak yang dikemukakan menurut UU Nomor 28 Tahun 2017


tentang Ketentuanun Umum dan Tata Cara Perpajakan:

“Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh


orang pribadiatau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-

10
undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan
digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat”.

Definisi tersebut kemudian disempurnakan menjadi pajak adalah


peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negara untuk membiayai
pengeluaran rutin dan “surplus”-nya digunakan untuk public saving yang
merupakan sumber utama untuk membiayai public investment.

Dari beberapa definbisi tersebut dapat ditarik kesimpulan berikut ini:

1. Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang


serta aturan pelaksanaannya.

2. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukan adanya


kontraprestasi individu oleh pemerintah.

3. Pajak dipungut oleh negara,baik pemerintah, pusat maupun


pemerintah daerah.

4. Pajak diperuntukan bagi pengeluaran-pengeluatan pemerintah, yang


bila dari pemasukannya masih terdapat surplus, digunakan untuk
membiayai public investment.

11
2.1.1.2 Fungsi Pajak
Pengertian fungsi dalam fungsi pajak adalah pengertian fungsi sebagai
kegunaan suatu hal. Maka fungsi pajak adalah kegunaan pokok, manfaat pokok
pajak. Sebagai alat untuk menentukan politik perekonomian, pajak memiliki
kegunaan dan manfaat pokok dalam meningkatkan kesejahteraan umum. Suatu
negara dipastikan berharap kesejahteraan ekonomi masyarakatnya selalu
meningkat. Dengan pajak sebagai salah satu pos penerimaan negara diharapkan
banyak pembangunan dapat dilaksanakan sesuai dengan tujuan negara.
Menurut Siti Kurnia Rahayu (2010:26) umumnya dikenal dengan dua macam
fungsi pajak, yaitu :
1. Fungsi Budgetair

Pajak berfungsi untuk menutup biaya yang harus dikeluarkan


pemerintah dalam menjalankan fungsi pemerintahannya. Oleh karenanya
pengenaan pajak dipandang dari sudut ekonomi harus diatur
senetralnetralnya dan sekali-kali tidak boleh dibelokkan untuk mencapai
tujuantujuan yang menyimpang.

Untuk menjalankan tugas rutin negara diperlukan biaya demikian


juga dalam rangka menjalankan pembangunan nasional. Dalam
menjalankan fungsi tersebut pemerintah membutuhkan dana yang
sebagian besar dibiayai dengan dana penerimaan pajak.

Fungsi Budgetair ini merupakan fungsi utama pajak, atau fungsi


(fiscal function), yaitu pajak dipergunakan sebagai alat untuk memasukan
dana secara optimal ke kas negara yang dilakukan sistem pemungutan
berdasarkan undang-undang perpajakan yang berlaku. Pajak berfungsi
sebagai alat untuk memasukkan uang dari sektor swasta (rakyat) ke dalam
kas negara atau anggaran negara berdasarkan peraturan
perundangundangan. Berdasarkan fungsi inilah pemerintah sebagai pihak
yang membutuhkan dana untuk membiayai berbagai kepentingan
melakukan upaya pemungutan pajak dari penduduknya.

12
Disebut sebagai fungsi utama karena fungsi inilah yang secara
historis pertama kali mucul. Pajak digunakan sebagai alat menghimpun
dana dari masyarakat tanpa ada kontraprestasi secara langsung dari zaman
sebelum masehi sudah dilakukan.

2. Fungsi Regulered

Fungsi Regulared disebut juga fungsi mengatur, yaitu pajak


merupakan alat kebaijakan pemerintah untuk mencapai tujuan tertentu.
Merupakan fungsi lain dari pajak sebagai fungsi budgetair. Di samping
usaha untuk memasukan uang untuk kegunaan kas negara, pajak
dimaksudkan pula sebagai usaha pemerintah untuk ikut andil dalam hal
mengatur dan bilamana perlu mengubah susunan pendapatan dan
kekayaan dalam sektor swasta.

Fungsi Regulared juga disebut fungsi tambahan, karena fungsi


regulared ini hanya sebagai tambahan atas fungsi utama pajak, yaitu
fungsi budgetair.”

2.1.1.3 Sistem Pemungutan Pajak


Menurut Siti Resmi (2017:11) :
“1. Official Assessment System

Adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada


pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang
oleh Wajib Pajak.
Ciri-cirinya :
• Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada
pada fiskus
• Wajib pajak bersifat pasif
• Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak
oleh fiskus
2 Self Assessment System

13
Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang
kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang
terutang. Ciri-cirinya :
• Wajib Pajak melakukan peran aktif dalam melaksanakan
kewajiban perpajakan.
• Wajib Pajak adalah pihak yang bertanggung jawab penuh atas
kewajiban perpajakannya sendiri.
• Pemerintah dalam hal ini Intansi Perpajakan melakukan
pembinaan, penelitian, dan pengawasan terhadap pelaksanaan
kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak, melalui pemerintah
pajak dan penerapan sanksi pelanggaran dalam bidang sesuai
peraturan yang berlaku.

3. With Holding System


Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang
kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan wajib pajak yang
bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh
wajib pajak."

2.1.1.4 Pengelompokan Pajak

Pengelompokkan pajak menurut Siti Resmi (2017:5-6) dibagi menjadi 3

bagian yaitu :

“Menurut golongannya, sifatnya dan lembaga pemungutannya.

1. Pengelompokan pajak menurut golongannya :


a. Pajak langsung
Yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh wajib pajak dan tidak dapat
dibebankan atau dilimpahkan ke orang lain.
b. Pajak tidak langsung

14
Yaitu pajak yang akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada
orang lain.
Contoh : Pajak Pertambahan Nilai.
2. Pengelompokan pajak menurut sifatnya :
a. Pajak subyektif
Yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subyeknya, dalam
arti memperhatikan keadaan diri wajib pajak.
Contoh : Pajak Penghasilan
b. Pajak Objektif
Yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa memperhatikan
keadaan diri wajib pajak.
3. Pengelompokan pajak menurut lembaga pemungutnya :
a. Pajak pusat
Yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk
membiayai rumah tangga negara. Contoh : Pajak Penghasilan, Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak
Bumi dan Bangunan dan Bea Materai.
b. Pajak daerah
Yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah dan digunakan
untuk membiayai rumah tangga daerah.
• Pajak Daerah terdiri atas : Pajak Provinsi, contoh : Pajak
Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air, Pajak Bahan
Bakar Kendaraan Bermotor.
• Pajak Kabupaten/Kota, Contoh : Pajak Hotel, Pajak Restoran,
Pajak Hiburan, Pajak Reklame dan Pajak Penerangan Jalan.”

15
2.1.3 Self Assessment System

2.1.3.1 Pengertian Self Assessment System

Self Assessment System merupakan metode yang memberikan tanggung


jawab yang besar kepada wajib pajak karena semua proses dalam pemenuhan
kewajiban perpajakan dilakukan sendiri oleh wajib pajak.

Sedangkan Self Assessment System menurut Siti Resmi (2011:27) dalam


bukunya Perpajakan adalah sebagai berikut :

“Self Assessment System adalah sistem pemungutan pajak yang


memberikan wewenang wajib pajak untuk menentukan sendiri jumlah
pajak terutang setiap tahunnya sesuai dengan undang-undang perpajakan
yang berlaku.”

Dari definisi diatas maka dapat disimpulkan. Bahwa Self Assessment System
merupakan wewenang, kepercayaan, tanggung jawab untuk wajib pajak
menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri besar pajak
yang harus dibayar setiap tahun sesuai dengan undang-undang perpajakan yang
berlaku.

Tata cara pemungutan pajak dengan menggunakan Self Assessment


System berhasil dengan baik jika masyarakat mempunyai pengetahuan dan disiplin
pajak yang tinggi. Dimana ciri-ciri Self Assessment System adalah adanya
kepastian hukum. Sederhana pehitungannya, mudah pelaksanaannya, lebih adil
dan merata, dan perhitungan pajak dilakukan oleh wajib pajak.

Self Assessment System menyebabkan wajib pajak mendapat beban berat


karena semua aktivitas pemenuhan kewajiban perpajakan dilakukan oleh wajib
pajak sendiri. Wajib pajak harus melaporkan semua informasi yang relevan dalam
SPT. Menghitung dasar pengenaan pajak. Menghitung jumlah pajak terutang,
menyetorkan jumlah pajak terutang. Namun pada kenyataannya banyak wajib
pajak yang melakukan tindakan yang melanggar peraturan perundang-undangan
perpajakan. Sehingga wajib akan mendapat hukuman ataupun sanksi perpajakan

16
sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan. Self Assessment System
dapat diukur oleh beberapa indikator yang dikemukakan oleh Siti Kurnia Rahayu
(2017:111) :

1. Mendaftarkan diri di Kantor Pelayanan Pajak untuk memperoleh Nomor


Pokok Wajib Pajak (NPWP).

2. Mmenghitung dan atau memperhitungkan sendiri jumlah pajak yang


terutang setiap bulan dan setiap tahun.

3. Menyetor pajak tersebut ke Bank persepsi/kantor pos.

4. Melaporkan penyetoran tersebut kepada Direktur Jenderal Pajak.

5. Menetapkan sendiri jumlah pajak yang teritang melalui pengisian SPT


(Surrat Pemberitahuan) dengan baik dan benar.

2.1.4 Kepatuhan Pajak

2.1.4.1 Kepatuhan Wajib Pajak

Kepatuhan wajib pajak merupakan serminan dari pelaksanaan Self


Assessment System yang berlaku di Indonesia. Sistem pemungutan yang berlaku
di Indonesia adalah Self Assessment System, dimana segala pemenuhan kewajiban
perpajakan dilakukan sepenuhnya oleh wajib pajak dari mulai menetapkan sendiri
kewajiban perpajakannya dan kemudian secara akurat dan tepat waktu membayar
serta melaporkan pajaknya, fiskus hanya melakukan pengawasan melalui prosedur
pemeriksaan.

Pengertian Kepatuhan Wajib Pajak menurut Siti Kurnia Rahayu

(2017:112) adalah :

“Kepatuhan perpajakan adalah tindakan Wajib Pajak dalam pemenuhan


kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan dan peraturan pelaksanaan perpajakan yang berlaku
dalam suatu Negara.”
Selanjutnya, menurut dikemukakan kembali oleh Siti Kurnia Rahayu
(2017:111) pengertian Kepatuhan Wajib Pajak adalah :

17
“Rasa bersalah dan malu, persepsi wajib pajak atas kewajaran dan
keadilan beban pajak yang mereka tanggung, dan pengaruh kepuasan
terhadap pelayanan pemerintah.”
Sistem pemungutan pajak menurut Siti Kurnia Rahayu (2017:109), yaitu :

“Sistem pemungutan pajak yang berlaku di Indonesia menuntut Wajib


Pajak turut aktif dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya. Sistem
pemungutan yang berlaku adalah Self Assessment System, di mana segala
pemenuhan kewajiban perpajakan dilakukan sepenuhnya oleh Wajib Pajak,
fiskus hanya melakukan pengawasan melalui prosedur pemeriksaan”
Adapun pemungutan pajak adalah sebagai berikut :
“1. Asas Equality (asas keseimbangan dengan kemampuan atau asas keadilan)

Pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara harus dengan kemampuan


dan penghasilan wajib pajak. Negara tidak boleh bertindak diskriminatif
terhadap wajib pajak.
2. Asas Certainty (asas kepastian hukum)
Semua pungutan pajak harus berdasarkan Undang-Undang, sehingga bagi
yang melanggar akan dapat dikenai sanksi hukum.
3. Asas Convinience of Payment (asas pemungutan pajak yang tepat waktu
atau asas kesenangan)
Pajak harus dipungut pada saat yang tepat bagi wajib pajak (saat yang
paling baik), misalnya disaat wajib pajak baru menerima penghasilannya
atau disaat wajib pajak menerima hadiah.
4. Asas Efficiency (asas efisien atau asas ekonomis)
Biaya pemungutan pajak diusahakan sehemat mungkin, jangan sampai
terjadi biaya pemungutan pajak lebih besar dari hasil pungutan pajak.

Adapun ukuran kepatuhan wajib pajak menurutSiti Kurnia Rahayu


(2010:111) adalah :

1. Tepat waktu dalam menyampaikan SPT untuk semua jenis pajak dalam
2 tahun terakhir.

18
2. Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali
telah memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran
pajak.

3. Tidak pernah dijatuhi hukuman karena melakukan tindakan pidana di


bidang perpajakan dalam jangka waktu 10 tahun terakhir.

4. Dalam 2 tahun terakhir menyelenggarakan pembukuan dan dalam hal


terhadap Wajib Pajak pernah dilakukan pemeriksaan, koreksi pada
pemeriksaan yang terakhir untuk masing-masing jenis pajak yang
terutang paling banyak 5%.

5. Wajib Pajak yang laporan keuangannya untuk 2 tahun tgerakhir di audit


oleh Akuntan Publik dengan pendapat wajar tanpa pengecualian, atau
pendapat dengan pengecualian sepanjang mempengaruhi laba rugi
fiskal.

Dari definisi yang dikemukakan oleh para ahli di atas dapat disimpulkan
bahwa kepatuhan Wajib Pajak merupakan suatu keadaan bagi Wajib Pajak
memenuhi semua kewajiban perpajakannya sesuai dengan peraturan
perundangundangan perpajakan yang berlaku.

2.1.4.2 Jenis-jenis Kepatuhan Wajib Pajak


Jenis-jenis kepatuhan wajib pajak menurut Siti Kurnia Rahayu (2017:110)
menyatakan bahwa :
“Kepatuhan wajib pajak terdiri dari dua yaitu :

1. Kepatuhan formal adalah suatu keadaan dimana Wajib Pajak


memenuhi kewajiban secara formal sesuai dengan ketentuan dalam
Undang-Undang Perpajakan.
2. Kepatuhan material adalah suatu keadaan di mana Wajib Pajak secara
substantif atau hakikatnya memenuhi semua ketentuan material

19
perpajakan, yaitu sesuai isi dan jiwa Undang-undang Perpajakan,
kepatuhan material dapat juga meliputi kepatuhan formal.”

Maka Wajib Pajak yang telah mematuhi ketentuan formal, namun isinya
belum tentu memenuhi ketentuan material, yaitu suatu keadaan di mana Wajib
Pajak secara substansif memenuhi semua ketentuan material perpajakan, yakni
sesuai dengan Undang-undang Perpajakan. Kepatuhan material dapat meliputi
kepatuhan formal.

Wajib pajak yang mematuhi kepatuhan material adalah Wajib Pajak yang
mengisi dengan jujur, lengkap dan benar surat pemberitahuan sesuai dengan
ketentuan dan menyampaikannya ke KPP sebelum batas waktu berakhir.

2.1.5 Wajib Pajak

Pengertian wajib pajak badan menurut Siti Kurnia Rahayu (2017:143) :

“Sekumpulan orang atau badan yang menurut ketentuan undang-undang


perpajakan di tentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan termasuk
pemungutan pajak dan pemotongan pajak tertentu.”

Menurut Siti Kurnia Rahayu (2017:144) Wajib Pajak dikelompokan menjadi :

“1. Wajib Pajak Orang Pribadi

2. Wajib Pajak Badan

3. Wajib Pajak pemungut/pemotong”

Menuruut Pasal 1 Undang-Undang No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum


dan Tata Cara Perpajakan pengertian badan adalah :

“Sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang
melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi
perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, BUMN atau
BUMD dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma kongsi koperasi,
dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa,
organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk

20
badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha
tetap.”

Kewajiban wajib pajak yang utama adalah membayar pajak sendiri dan
memungut atau memotong pajak orang lain dan kemudian menyetorkannya
kepada negara melalui bank atau kantor pos.

Pada Pasal 1 Undang-Undang Pajak Penghasilan, Pajak Penghasilan

adalah :

“Pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang


diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak.”

Pajak Penghasilan Badan (PPh Badan) adalah pajak yang dikenakan atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh badan seperti yang dimaksud dalam
UU KUP.

Adapun subjek dari PPh Badan Menurut Siti Kurnia Rahayu (2017:10) yaitu :

“1. Wajib Pajak Badan dalam negeri, yaitu badan yang didirikan atau
bertempat kedudukannya di Indonesia.
2. Wajib Pajak Badan luar negeri, yaitu badan yang didirikan atau
bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia, dan atau badan yang tidak
didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima
penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha melalui BUT di
Indonesia.”
Yang menjadi objek PPh Badan menurut Siti Kurnia Rahayu (2017:103) adalah :

“Penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima


atau diperoleh Wajib Pajak Badan baik yang berasal dari Indonesia
maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau
untuk menambah kekayaan Wajib Pajak Badan yang bersangkutan, dengan
nama dan dalam bentuk apapun.”
Berikut kewajiban dari Wajib Pajak Badan menurut Undang-Undang No.28
Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan meliputi :

21
“1. Kewajiban mendaftarkan diri

Dalam hal ini mendaftarkan diri untuk memiliki NPWP (Nomor Pokok
Wajib Pajak) dan apabila Wajib Pajak Badan melakukan kegiatan
penyerahan barang kena pajak dan atau jasa kena pajak atau ekspor barang
kena pajak yang terutang PPN berdasarkan UU PPN 1984, maka Wajib
Pajak Badan tersebut memiliki kewajiban untuk dikukuhkan menjadi
pengusaha kena pajak (PKP). Untuk Wajib Pajak badan atau pengusaha
kecil yaitu selama satu tahun buku melakukan penyerahan BKP dan atau
JKP dengan jumlah peredaran bruto tidak lebih dari Rp 600.000,- (enam
ratus juta rupiah) maka tidak diwajibkan untuk dikukuhkan sebagai PKP,
kecuali pengusaha kecil tersebut memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP.
Jadi, apabila peredaran brutonya lebih dari 600 juta maka wajib
mengukuhkan diri menjadi PKP.”

Pada pasal 2 ayat (4) Undang-Undang KUP, “Dirjen Pajak


menerbitkan NPWP dan/atau mengukuhkan PKP secara jabatan apabila
WP atau PKP tidak melakukan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan/atau ayat (2).

2. Kewajiban untuk menyelenggarakan pembukuan.

Sebagaimana terdapat pada pasal 28 ayat (1) UU KUP: WP orang


pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan WP
badan di Indonesia, wajib menyelenggarakan pembukuan.”

Menurut UU No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata


Cara Perpajakan, Pembukuan adalah :

“Proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk medapatkan data


& informasi keuangan yang meliputi keadaan harta, kewajiban atau utang,
modal, penghasilan dan biaya serta jumlah harga perolehan dan
penyerahan barang atau jasa yang terutang maupun yang tidak terutang
PPN, yang dikenakan PPN dengan tarif 0% (nol persen) dan yang
dikenakan PPnBM, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan

22
berupa neraca dan penghitungan rugi/laba pada saat tahun pajak berakhir.”
Ketentuan mengenai pembukuan :
Pembukuan tersebut harus diselenggarakan dengan :

a. Memperhatikan itikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan


usaha yang sebenarnya,
b. Harus diselenggarakan di Indonesia, dengan menggunakan huruf latin,
angka Arab, satuan mata uang rupiah, dan disusun dalam bahasa
Indonesia ata dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menkeu,
c. Diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual dan
stelsel kas,
d. Perubahan terhadap metode pembukuan dan/atau tahun buku harus
mendapatkan persetujuan dari Dirjen Pajak.
3. Kewajiban melakukan pemotongan dan pemungutanm diantaranya yaitu :
a. Kewajiban pajak sendiri (seperti PPh Pasal 25/29) ;
b. Kewajiban memotong atau memungut (pot/put) pajak atas
penghasilan orang lain (misalnya : PPh Pasal 21/26, PPh Pasal 22,
PPh Pasal 23/26, dan PPh Final); dan
c. Kewajiban memungut PPN dan atau PPn BM (jika ada) yang
khusus berlaku bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP).

Adapun hak dari Wajib Pajak dalam perpajakan menurut Siti Resmi (2017:22),
yaitu :
1. Mendaftarkan diri pada Kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah
kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan
kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak, apabila telah memenuhi
persyaratan subjektif dan objektif.

2. Melaporkan usahanya pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah


kernyanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan pengusaja dan
tempat kegiatan usaha dilakukan untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha
Kena Pajak.

23
3. Mengisi Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap, jelas dalam bahasa
Indonesia denganmenggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang
rupiah, serta menandatangani dan menyampaikannya ke kantor Direktorat
Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat
lain yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak.

4. Menyampaikan Surat Pemberitahuan dalam bahasa Indonesia dengan


menggunakan satuan mata uang selain rupiah yang diizinkan yang
pelaksanaannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.

5. Membayar dan menyetor pajak terutang dengan menggunakan Surat


Setoran Pajak ke kas negara melalui tempat pembayaran yang diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Mentri Keuangan.

6. Membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan perundang-


undangan perpajakan, dengan tidak menggatungkan pada adanya surat
ketetapan pajak.

7. Menyelenggarakan pembukuan bagi Wajib Pajak orang pribadi yang


melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak badan,
dan melakukan pencatatan bagi Wajib Pajak orang pribadi yang
melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.

8. Memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang


menjelaskan dasarnnya, dan dokumen lain yang berhubungan dengan
penghasilan yang diperoleh kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak,
atau objek yang terutang pajak. Memberikan kesempatan untuk memasuki
tempat atau ruangan yang di pandangdan memberi bantuan guna
kelancaran pemeriksaan. Memberikan keterangan lain yang diperlukan
apabila diperiksa.

Maka dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa Wajib Pajak Badan

adalah Badan seperti yang dimaksud pada UU KUP, meliputi pembayar pajak,

24
pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban

perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan

atau memiliki kewajiban subjektif dan kewajiban objektif serta telah

mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

2.2 Kerangka Pemikiran

Pajak merupakan salah satu bentuk penerimaan negara yang di wajibkan


pada Wajib Pajak sebagai kebijakan negara. Antara pajak dan kebijakan negara
tidak dapat dipisahkan karena pajak merupakan tulang punggung bagi negara
untuk meningkatkan perekonomian masyarakat. Membangun kesadaran pajak
akan sangat dipengaruhi pula oleh motif individu yang berasal dari dalam diri
atau motif intrinsik, dengan demikian membangun kesadaran individu warga
negara pada dasarnya adalah membangun motif intrinsik. Dalam hal ini,
pemenuhan kewajiban membayar pajak bagi warga negara bukanlah sesuatu yang
sulit bila kesadaran dan motif sudah terbangun dalam diri individu setiap warga
negara. Sampai saat ini, masih banyak warga negara yang tidak mau membayar
pajak atau mencoba-coba mengakali bahkan mangkir dari kewajiban tersebut.
Beberapa permasalahan yang terkait dengan kewajiban membayar pajak seperti
masih terdapat warga negara baik masyarakat biasa atau pengusaha maupun
aparat pemerintahan yang belum memiliki kesadaran moral sebagai Wajib Pajak
yang baik dan terpuji. Maka dari prinsipnya kepatuhan perpajakan adalah
tindakan wajib pajak dalam pemenihan kewajiban perpajakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan dan peraturan pelaksanaan perpajakan
yang berlaku dalam suatu negara. Predikat Wajib Pajak patuh dalam arti disiplin
dan taat, tidak sama dengan Wajib Pajak dengan predikat membayar pajak lebih
besar, tidak ada hubungannya antara jumlah nominal pajak yang terutang dengan
pajak yang dibayarkan ke kas negara. Karena pembayar pajak terbesar sekalipun
belum tentu masuk kreteria sebagai Wajib Pajak patuh, meskipun memberikan
kontribusi besar pada negara, jika masih memiliki tunggakan maupun

25
keterlambatan penyetoran pajak maka tidak dapat diberi predikat Wajib Pajak
Patuh.

Pernyataan di atas didukung oleh hasil penelitian yang telah dilakukan oleh
Newman Wadesango, Mutema A, Mhaka C, dan Wadesongo VO tahun 2018
dengan judul Literature Reviw on The Impact of Self assessment System on
Compliance Level of Small and Medium Enterprise, yang mengemukakan Tax
compliance can be reffered to as the process in which tax returns required to
submitted to the tax authorities are field at the appropriate time with the accurate
tax liability as required under the tax laws and regulators of country. Non
comliance is also perceived as the failure of a taxpayers to report correctly the
actual income, claim deductions and rebates and remit the actual amount of tax
payment to the tax authority on time according to (Baldry, 2011). According to
Masarirambi (2013), developing countries to face chakkenges of tax evasion and
non-compliance in the informal sector with the SAS. The suty aims at getting an
understanding on the factors that affects SME compliance and the role SAS play
in effecting the attitude of taxpayers.

2.2.1 Pengaruh Self Assessment Systen Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak

Self Assessment System Kepatuhan Wajib Pajak


(X) (Y)

Gambar 2.1

Kerangka Pemikiran X Terhadap Y

Sistem, mekanisme, dan tata cara pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakn
yang sederhana menjadi ciri, corak dalam perubahan undang-undang ini dengan
tetap menganut sistem self assessment. Perubahan tersebut khususnya berkaitan
dengan peningkatan keseimbangan hak dan kewajiban bagi masyarakat Wajib
pajak sehingga masyarakat Wajib Pajak dapat melaksanakan hak dan kewajiban
perpajakannya dengan lebih baik. Pajak merupakan kontribusi yang cukup tinggi

26
dalam penerimaan Negara. Pada beberapa tahun terakhir, penerimaan dari sektor
fiskal mencapai lebih dari 70% dari total penerimaan dalam APBN. Berbagai
kebijakan dalam bentuk intensifikasi dan ekstensifikasi telah dibuat oleh
pemerintah dalam rangka meningkatkan penerimaan negara dati sektor fiskal.
Kebijakan tersebut berdampak pada masyarakat, dunia.Tata cara pemungutan
pajak dengan self assessment system berhasil dengan baik jika masyarakat
mempunyai pengetahuan dan disiplin pajak yang tinggi, self assessment system
ini diterapkan pada sistem pemungutan pajak di indonesia adalah untuk
memberikan kepercayaan yang sebesar-besarnya kepada Wajib Pajak agar
kesadaran dan kepatuhan perpajakannya meningkat karena pada fitrahnya
manusia tidak dipahami besaran jumlah pajak yang harus dibayar. Konsekuensi
penerapan sistem ini tentunya masyarakat harus benar-benar mengetahui tat cara
perhitungan pajak dan segala sesuatu yang berhubungan dengan peraturan
pemenuhan perpajakan. Dampak yang muncul dari penerapan Self assesment
system adalah wajib pajak harus melaporkan semua informasi yang relevan dalam
SPT, menghitung dasar pengenaan pajak, menghitung jumlah pajak terutang,
menyetorkan jumlah pajak terutang sendiri diluar campur tangan fiskus. Kondisi
perpajakan yang menganut keikutsertaan aktif wajib pajak dalam
menyelenggarakan perpajakannya membutuhkan kepatuhan Wajib Pajak yang
tinggi (Siti Rahayu:193). Karena sebagian besar pekerjaan dalam pemenuhan
kewajiban perpajakan itu dilakukan oleh Wajib Pajak (dilakukan sendiri atau
dibantu tenaga ahli misalnya praktisi perpajakan profesional/tax agent). Sehingga
kepatuhan diperlukan dalam self assessment system, dengan tujuan penerimaan
pajak yang optimal. Dalam pelaksanaan self assessment system menuntut
kepatuhan dari Wajib Pajak, maka sistem ini akan menimbulkan peluang besar
bagi Wajib Pajak untuk melakukan tindakan pemanipulasian perhitungan jumlah
pajak yang seharusnya dan tindakan kecurangan lainnya. (Walsh, 2013) Oleh
karena itu Wajib Pajak dituntut kejujurannya dalam pelaksanaan self assessment
system untuk lebih meningkatkan perpajakannya.

Terkaitnya dengan penjelasan diatas menurut hasil penelitian Noraza Mat


Udin dan Nor Shaipah Abdul Wahab dalam Self assessment System and Taxpayers

27
Internal States menyatakan Self assessment system (SAS) had triggered debates on
whether taxpayer are able to perform the required tasks under the new system. SAS
demand taxpayers to perform the primary tasks that were previously handle by the tax
authority, which emphasises on completing tax returns accurately, including computing
tax liabilities correctly. It is believed that taxpayers mush achieve and possess instrinsic
states to succesfully perform their responsibilities.

Selain itu Dwi Agus Setyono 2017 melakukan penelitian tentang Pengaruh
Self Assessment System Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak yang menyatakan
Dalam system Self Assessment segala sesuatu yang berhubungan dengan jumlah
pajak yang harus dibayarkan harus diserahkan sepenuhnya kepada wajib pajak
dan keberhasilan dari Self Assessment System ini sangat tergantung pada
kepatuhan wajib pajak dan kepatuhan ini akan tumbuh di kalangan masyarakat
apabila kantor pelayanan pajak (KPP) melakukan sosialisasi mengenai Self
Assessment System yang mana sangat jelas bahwa system tersebut segala
sesuatunya diserahkan langsung kepada wajib pajak dalam hal melaporkan dan
membayar pajak terutangnya (Yulianto,2009), Selain itu sistem ini juga menuntut
peran aktif dari masyarakat dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya. Namun
hal yang paling penting adalah kesadaran dan kepatuhan yang tinggi dari wajib
pajak dalam melaksanakan sistem tersebut (Supadmi,2009), Serta inisiatif
kegiatan menghitung dan pelaksanaan dalam pajak berada di tangan wajib pajak
karena wajib pajak dianggap mampu menghitung pajak, mampu memahami
peraturan perpajakan yang berlaku dan mempunyai kejujuran yang tinggi serta
menyadari akan pentingnya membayar pajak, mempunyai kejujuran yang tinggi
serta menyadari akan pentingnya membayar pajak,pajak sehingga wajib pajak
diberikan kepercayaan sepenuhnya dalam menghitung, menyetor, dan melaporkan
pajak yang terutang (Waluyo, 2011).Berdasarkan hasil analisis data dan pengujian
hipotesis, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Mendaftarkan sendiri pajak terutang secara parsial mempunyai pengaruh


terhadap kepatuhan wajib pajak, sehingga H1 diterima. Hasil penelitian
ini mendukung penelitian Yuniasih (2010) yang meneliti sikap wajib
pajak terhadap mendaftarkan perpajakan berpengaruh terhadap

28
kepatuhan wajib pajak.
2. Menghitung sendiri pajak terutang secara parsial mempunyai pengaruh
terhadap kepatuhan wajib pajak, sehingga H2 diterima. Hasil penelitian
ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Yuniawati Dwi
Saputra(2012), Meneliti sikap wajib pajak terhadap menghitung
perpajakan berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak.
3. Membayar sendiri pajak terutang secara parsial mempunyai pengaruh
signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak, sehingga H 3 diterima Hasil
penelitian ini sesuai dengan penelitian Damayanti (2004) yang yang
meneliti sikap wajib pajak terhadap membayar perpajakan berpengaruh
terhadap kepatuhan wajib pajak

2.3 HIPOTESIS

Berdasarkan uraian kerangka pemikiran di atas, maka dapat dikemukakan


hipotesis bahwa: “Self Assessment system Berpengaruh Terhadap Kepatuhan
Wajib Pajak”.

BAB III

OBJEK DAN METODE PENELITIAN

3.1 Objek Penelitian

Objek penelitian adalah suatu atribut atau sifat atau nilai dari orang,
obkjek atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang diterapkanoleh
peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik hasil dan kesimpulannya.
Sugiyono (2009:2). Sugiyono (2009:54) menyatakan bahwa objek penelitian

29
adalah variabel penelitian, yaitu segala sesuatu yang berbentuk apa saja yang
ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga doperoleh infoemasi
tentang hal tersebut, kemudian ditarik kesimpulan. Objek penelitian pada
penelitian ini adalah self assessment system dan kepatuhan wajib pajak.

3.2 Metode Penelitian

Metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk


mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu (Sugiyono, 2006).
Dengan demikian metode penelitian adalah cara pemecahan masalah
penelitian yang dilaksanakan secara terencana dan cermat dengan maksud
mendapatkan fakta serta kesimpulan agar dapat memahami, meramalkan,
menjelaskan dan mengendalikan keadaan. Metode penelitian juga merupakan
cara kerja untuk memahami serta mendalami objek yang menjadi sasaran
sehingga akan diketahui hubungan signifikan antara variabel yang diteliti.

3.2.1 Operasionalisasi Variabel

Menurut Sugiyono (2017:39) definisi variable penelitian adalah sebagai


berikut:

“Variabel penelitian adalah suatu atribut atau nili dari orang obyek
atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang ditetapkan oleh
peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya”.
Dalam penelitian ini variable independent yang diteliti yaitu:

1. Self Assessment System

Menurut Siti Kurnia (2017:111); Siti Resmi (2017:2); dan Purno,


Sjafardamsah & Tugiman (2011:22) self assessment system adalah suatu
sistem perpajakan yang memberikan kepercayaan kepada Wajib Pajak untuk
proaktif menghitung, menyetor dan melaporkan pajak sendiri selama tahun
berjalan untuk memenuhi dan melaksanakan sendiri dan hak perpajakannya.

30
Berdasarkan hal tersebut maka Self Assessment System adalah sebagai
berikut:

1. Wajib pajak (dapat dibantu oleh konsultan pajak) melkakukan peran


aktif dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya.

2. Wajib Pajak adalah pihak yang bertanggungjawab penuh dalam


kewajiban perpajakan sendiri.

3. Pemerintah dalam hal ini Instansi Perpajakan melakukan pembinaan,


penelitian, dan pengawasan terhadap pelaksanaan kewajiban
perpajakan bagi Wajib Pajak, melalui pemeriksaan pajak dan
penerapan sanksi pelanggaran dalam bidang pajak sesuai peaturan yang
berlaku.

2. Kepatuhan Wajib Pajak

Menurut buku Siti Kurnia (2017) kepatuhan Wajib Pajak merupakan


ketaatan Wajib Pajak dalam melaksanakan ketentuan perpajakan yang
berlaku. Wajib Pajak yang patuh adalah Wajib Pajak yang taat memenuhi
kewajiban perpajakan sesuai ketentuan Peraturan Perundang-Undangan. Siti
Kurnia (2017:195).

Jenis-jenis kepatuhan wajib pajak menurut Siti Kurnia Rahayu (2017:110)


menyatakan bahwa :
“Kepatuhan wajib pajak terdiri dari dua yaitu :

1. Kepatuhan formal adalah suatu keadaan dimana Wajib Pajak memenuhi


kewajiban secara formal sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang
Perpajakan.
2. Kepatuhan material adalah suatu keadaan di mana Wajib Pajak secara
substantif atau hakikatnya memenuhi semua ketentuan material
perpajakan, yaitu sesuai isi dan jiwa Undang-undang Perpajakan,
kepatuhan material dapat juga meliputi kepatuhan formal.”

31
Tabel 3.1

Operasionalisasi Variabel

Variabel Dimensi Indikator Skala No


Item
Self 1. Mendaftarkan a. Mendaftarkan Ordinal 1
Assessment diri di diri ke kantor
System Kantor pelayanan pajak
Pelayanan (KPP) sesuai
Siti Kurnia
Pajak untuk wilayahnya. Ordinal 2
(2017:111);
memperoleh
Siti Resmi b. Mendapatkan
Nomor
(2017:2); dan NPWP.
Pokok Wajib
Purno,
Pajak
Sjafardamsah
(NPWP) Siti
& Tugiman
Kurnia
(2011:22)
(2017:111)
2. Menghitung a. Menghitung Ordinal 3
dan atau pajak terutang.
memperhitu
b. Memperhitungka
ngkan Ordinal 4
n kredit pajak.
sendiri
jumlah pajak
yang
terutang
setiap bulan
dan setiap
tahun. Siti
Kurnia
(2017:111)

32
3. Membayar a. Membayar pajak. Ordinal 5
pajak
b. Melaksanakan Ordinal 6
dilakukan
pembayaran
sendiri oleh
pajak.
Wajib Pajak. Ordinal 7
Siti Resmi c. Pemotongan dan

(2017:113) pemungutan
pajak.
4. Pelaporan a. Melaporkan dan Ordinal 8
dilakukan mempertanggun
Wajin Pajak. gjawabkan
perhitungan
jumlah pajak
yang
Ordinal 9
sebenarnya
terutang.

b. Melaporkan
pembayaran
atau pelunasan
pajak baik yang
dilakukan Wajib Ordinal 10
Pajak sendiri
Ordinal 11
atau melalui
pihak ketiga.

c. Melaporkan harta
dan kewajiban.

d. Melakukan
pembayaran
dari pemotong
atau pemungut

33
tentang
pemotongan
dan
pemungutan
pajak.
Kepatuhan Kreteria Wajib a. Tepat waktu Ordinal 12
Wajib Pajak Pajak patuh sesuai dalam
Ordinal 13
(Y) dengan Keputusan penyampaian
Menteri Keuangan SPT.
No.
b. Tidak
192/PMK.03/2007
mempunyai
Sumber: KMK No. tunggakan
192/PMK.03/2007 pajak untuk
semua jenis
pajak, kecuali
tunggakan
pajak yang
telahmemperole
h izin
mengangsur
atau menunda
pembayaran
pajak.

3.2.2 Jenis Data, Intrumen Penelitian

Jenis data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data primer.

Menurut Sugiyono (2017:225) mendefinisikan data primer adalah sebagai


berikut:

34
“Sumber primer adalah data yang langsung memberikan data kepada
pengumpul data”.
Pengumpulan data primer dalam penelitian ini dengan cara menyebarkan
kuisioner dan melakukan wawancara secara langsung dengan pihak-pihak yang
berhubungan dengan penelitian yang dilakukan.

Teknik sampling merupakan sampel, dalam pengambilan sampel dibutuhkan


adanya suatu teknik yang harus digunakan oleh setiap peneliti. Terkait dengan hal
ini, Sugiyono (2017:81) berpendapat bahwa teknik sampling pada dasarnya
dikelompokan menjadi dua, yaitu Probability Sampling sebagai berikut:

daerah) “Probability Sampling adalah teknik pengambilan sampel yang


memberikan peluang yang sama bagi setiap unsur (anggota) populasi
untuk dipilih menjadi anggota sampel. Teknik ini meliputi simple random
sampling, proportionate stratified random, disproportionate stratified
random, sampling area (cluster) sampling (sampling menurut)”.
Menurut Sugiyono (2017:82) mengemukakan simple random sampling
sebagai berikut:

“Simple random sampling dikatakan simple (sederhana) karena


pengambilan anggota sampel dan populasi dilakukan secara acak tanpa
memperhatikan strata yang ada dalam populasi ini”.
Dalam penelitian ini, teknik sampling yang digunakan oleh penulis adalah
teknik Probability Sampling dengan menggunakan metode Simple Random
Sampling. Metode simple random sampling dilakukan secara acak tanpa
memperhatikan strata yang ada dan anggota populasi relative homogen.

3.2.3 Teknik Pengumpulan Data

Menurut Sugiyono (2014:401) menjelaskan teknik pengumpulan data sebagai


berikut:

“Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling utama dalam


penelitian, karena tujuan utama penelitian adalah mendapatkan data. Tanpa
mengetahui teknik pengumpulan data, maka penelitian tidak akan
mendapatkan data yang memenuhi standar data, maka peneliti tidak akan
mendapatkan data yang memenuhi data yang ditetapkan”.

35
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dengan cara memberikan
kuisioner. Menurut Sugiyono (2014:199) kuisioner merupakan teknik
pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberikan seperangkat
pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden untuk dijawabnya. Skala
pengukuran yang digunakan dalam penelitian ini untuk pembobotan item
kuisioner adalah skala Likert. Menurut Sugiyono (2014:132) skala Likert
digunakan untuk untuk mengukur sukap, pendapat, dan persepsi seseorang atau
sekelompok orang tentang fenomena sosial. Jawaban setiap item instrumen yang
menggunakan skala Likert mempunyai gradasi dari sangan positif sampai sangat
negatif. Untuk setiap pilihan jawaban diberi skor, maka responden harus
mendukung pernyataan yang positif. Menurut Suliyanto (2005:23) banyaknya
pilihan skor biasanya 3, 5, 7, 9, 11. pemberian skor atas pilihan jawaban untuk
kuisioner yang diajukan peneliti adalah sebagai berikut:

Tabel 3.2

Skoring Jawaban Responden

Sangat Setuju 5
Setuju 4
Ragu-ragu 3
Tidak setuju 2
Sangat tidak setuju 1

3.2.4 Populasi dan Sampel

Sugiyono, (2012:61) mendefinisikan populasi sebagai berikut:

“Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek atau subyek
yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh
peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya”.
Populasi pada penelitian ini merupakan Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP).

Sampel dalam Sugiyono (2012:62) didefinisikan sebagai berikut:

36
“Bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut.
Bila populasi besar, dan peneliti tidak mungkin mempelajari semua yang ada
pada populasi”.

3.2.5 Metode Analisis Data dan Penguji Hipotesis

3.2.5.1 Analisis Data

Analisis data merupakan salah satu kegiatan penelitian berupa proses


penyusunan dan pengolahan data guna menafsirkan data yang telah diperoleh,
dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode analisis kuantitatif guna
mendapatkan data penelitian. Langkah-langkah yang dilakukan adalah sebagai
berikut:

1. Penulis melakukan pengumpulan data dengan cara menyebarkan kuisioner,


dimana yang diselidiki adalah sampel yang merupakan sebuah himpunan dari
pengukuran yang dipilih.

2. Setelah metode pengumpulan data ditentukan, kemudian ditentukan alat


untuk memperoleh data dari elemen-elemen yang akan diselidiki. Alat yang
digunakan dalam penelitian ini adalah daftar pertanyaan atau kuisioner untuk
menentukan nilai dari kuisioner tersebut, penulis menggunakan skala likert.

3. Daftar kuisioner kemudian disebar ke bagian-bagian yang telah ditetapkan.


Setiap item dari kuisioner tersebut merupakan pertanyaan positif yang
memiliki 5 jawaban dengan masing-masing nilai yang berbeda.

Tabel 3.3

Skala Likert

Pernyataan Skor
Sangat Setuju/Sangat Positif/Sangan Patuh 5

37
Setuju/Sering/Positif/Patuh 4
Ragu-ragu/Kadang-Kadang/Netral/Tidak Patuh 3
Tidak Setuju/Hampir Tidak Pernah/Negatif/Tidak Patuh 2
Sangat Tidak Setuju/Tidak Pernah/Sangat Tidak Patuh 1
Sumber: Sugiyono (2017:94)

4. Apabila data terkumpul, kemudian dilakukan pengolohan data, disajikan dan


dianalisis. Dalam penelitian ini penulis menggunakan uji statistic. Untuk
menilai variable X dan Y, maka analisis yang digunakan berdasarkan rata-rata
(mean) dari masing-masing variable. Nilai rata-rata ini didapat dengan
menjumlahkan data keseluruhan dalam setiap variable, kemudian dibagi
dengan jumlah respoden. Rumus rata-rata (mean) adalah sebagai berikut:

Untuk Variabel X Untuk Variabel Y

Me =
∑ xi Me =
∑ yi
n n

Keterangan:

Me = Mean (rata-rata)

∑❑ = Epsilon (jumlah)

X = Nilai x ke i sampai ke n

Y = Nilai y ke I sampai ke n

N = Jumlah individu

Setelah rata-rata dari masing-masing veriabel didapat, kemudian


dibandingkan dengan kriteria yang peneliti tentukan berdasarkan nilai terendah
dan nilai tertinggi dari hasil kuisioner. Nilai terendagh dan nilai tertinggi dari hasil
kuisioner. Nilai terendah dan tertinggi tersebut peneliti ambil banyaknya
pernyataan dalam kuisioner dikaitkan dengan skor terendah (1) dan skor tertinggi

38
(5) dengan menggunakan skala likert. Teknik skala likert, digunakan untuk
mengukur jawaban. Untuk menentukan kelas interval, penulis dalam peneliti ini
mengunakan rumus K=1 + 3,3 log n. Kemudian rentang data dihitung dengan
cara nilai tertinggi dikurangi dengan nilai terendah.

3.2.5.2 Pengujian Validitas dan Reliabilitas

Dengan menggunakan pengujian validitas dan reliabilitas dalam


pengumpulan data, maka diharapkan hasil penelitian akan menjadi valid dan
reliable. Jadi intrumen yang valid dan reliable merupakan syarat mutlak untuk
mendapatkan hasil penelitian yang valid dan reliable. Hal ini tidak berarti bahwa
dengan menggunakan intrumen yang telah teruji validitas dan reliabilitasnya,
otomatis hasil (data) penelitian menjadi valid dan reliable. Hal ini masih akan
dipengaruhi oleh kondisi obyek yang diteliti, dan kemampuan orang yang
menggunakan intrumen untuk mengumpulkan data.

3.2.5.2.1 Uji Validitas

Menurut Sugiyono (2017:121) mengemukakan bahwa uji validitas adalah:

“Intrumen yang valid berarti alat ukuryang digunakan untuk mendapatkan


data (mengukur) itu valid. Valid berarti intrumen tersebut dapat digunakan untuk
mengukur apa yang seharusnya diukur”

Untuk mencari nilai validitas di sebuah item kita mengkoreksi skor item
dengan total item-item tersebut. Yang memenuhi syarat, maka item tersebut tidak
akan diteliti lebih lanjut. Syarat tersebut menurut Sugiyono (2017:126) yang harus
dipenuhi yaitu harus memenuhi kreteria sebagai berikut:

a. jika nilai r>0,30 maka item-item pertanyaan dari kuisioner adalah valid.

b. jika nilai r<0,30 maka item-item pertanyaan dari kuisioner dianggap tidak
valid.

39
Semakin tinggi validitas suatu alat ukur, maka alat tersebut semakin tepat
sasaran, atau menujukan relevansi dari apa yang seharusnya di ukur sesuai dengan
maksud dilakukannya pengukuran atau penelitian tersebut.

Untuk menghitung korelasi pada uji validitas menggunakan metode Pearson


Product moment yang dirumuskan sebagai berikut:

Xi
∑¿
¿
n . ∑ X i2
¿
2
Y¿
∑¿
Keterangan: ¿
¿
r Xy Yi−¿
= koefisien Korelasi
n .∑ ¿
∑ xy = jumlah
∑ Xi ¿perkalian
2
−¿ variable x dan y
¿
∑x = jumlah nilai
√ ¿ variable x
n ( ∑ XiYi ) −¿
∑y = jumlah nilai variable y
xy=¿
∑X 2 r¿
= jumlah pangkat dari nilai variable x

∑Y2 = jumlaj pangkat dari nilai variable y

n = banyaknya sampel

3.2.5.2.2 Uji Reliabilitas


Menurut Sugiyono (2017:121) menggunakan bahwa uji reliabilitas adalah:
“Intrumen yang reliable adalah intrumen yang bila digunakan beberapa kali
untuk mengukur obyek yang sama, akan menghasilkan data yang sama.”.
Uji reliabilitas dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik belah dua
dari spearman brown dengan rumus sebagai berikut:

2r
r i= b

1+r b

40
Keterangan:

n = reliabilitas internal seluruh intrumen

rb = Korelasi product moment antara belahan pertama dan kedua

3.2.5.3 Pemilihan Nilai Tes Statistik

Teknik statistic yang akan digunakan dalam pengujian hipotesis adalah


statistic parametris karena penulis akan menguji parameter populasi melalui
statistic atau menguji ukuran populasi melalui data sampel. Test statisrik yang
penulis gunakan adalah:

1. Uji Korelasi

Untuk menghitung keeratan hubungan atau koefisien korelasi


antaravariabel X dengan variable Y, dilakukan dengan cara menggunakan
perhitungan analisi k korelasi pearson. Rumusnya yaitu:

x
y
∑¿
¿
¿
¿
¿n
¿
∑ x ¿2
∑ y ¿2
∑ y 2−(¿¿ n)
(¿¿ n)¿
∑ x 2−¿
∑ ¿¿
¿
xy−¿
∑¿
r =¿

41
Keterangan:

r = nilai korelasi

x = variable x

y = variable y

Tabel 3.4

Pedoman Untuk Memberikan Interprestasi Koefisien Korelasi

Interval Koefisien Tingkat Hubungan


0 Tidak ada korelasi

0,00 – 0,25 Korelasi sangat lemah

0,26 - 0,50 Korelasi cukup

0,51 – 0,75 Korelasi kuat

0,76 -1 Sangat kuat

2. Uji koefisien Determinasi ( R2 ¿

Analisis Korelasi dapat dilanjutkan dengan menghitung koefisien


determinasi ini berfungsi untuk mengetahui presentase besarnya pengaruh
variable X terhadap Y. Menurut Damodar N Gujarati (2012:172) untuk
melihat besar pengaruh variable bebas terhadap variable terikat secara parsial,
dilakukan perhitungan dengan menggunakan rumus berikut:

Kd = Zero Order x β x 100%

Keterangan :

Kd = Koefisien determinasi

Zero Order = Koefisien korelasi

β = Koefisien βeta

42
Untuk melihat seberapa besar tingkat pengaruh variable independen
terhadap variable dependen secara simultan menggunakan koefisien
determinasi (KD) menurut V. Wiratna Sujarweni (2012:188) rumus
determinasi sebagai berikut:

Kd = R2 x 100%

Keterangan :

Kd = koefisien determinasi

R = koefisien korelasi

3. Uji-t (Uji Signifikan)

Pengujian dilakukan adalah pengujian parameter (uji korelasi) dengan


menggunakan uji t-statistik. Hal ini membuktikan apakah terdapat pengaruh
antara masing-masing variable independen (X) dan variable dependen (Y).

Menurut Sugiyono (2017:184) Rumus uji signifikan Korelasi product


moment menggunakan rumus sebagai berikut:

r √ n−2
t=
√ 1−r 2
Keterangan :

r = koefisien korelasi

t = nilai koefisien korelasi dengan derajat bebas dk = n-k-1

n = jumlah sampel

kemudian menggunakan model keputusan dengan menggunakan


statistic uji t, dengan melihat asumsi sebagai berikut:

a. Tingkat kesalahan α = 0,05

b. Derajat kebebasan = n-2

43
c. Dilihat dari hasil t tabel dengan kaidah keputusan:

a. Tolak H 0 (terima H 0 ), jika t hitung > t table

b. Terima H 0 (tolak H 0 ¿ , jika t hitung<t table

Apabila H 0 diterima , maka dapat disimpulakan bahwa terdapat suatu

pengaruh atau hubungan yang tidak positif, sedangkan apabila H 0 ditolak


maka pengaruh variable independen terhadap dependen adalah signifikan.

Dari hasil hipotesis t hitung dibandingkan dengan t tabel dengan


ketentuan sebagai berikut:

a. Jika t hitung > t tabel pada α = 0,05 maka H 0 ditolak dan


H a diterima (berpengaruh)

b. Jika t hitung < t tabel pada α = 0,05 maka H 0 diterima dan


H a ditolak (tidak berpengaruh)

Apabila H0 diterima, maka dapat disimpulkan bahwa pengaruhnya


tidak positif, sedangkan apabila H0 ditolak maka pengaruh variable
independen terhadap dependen adalah positif. Agar lebih memudahkan
peneliti dalam melakukan pengolahan data.

3.2.5.4 Uji Hipotesis

Ghizali, (2016:97) menuliskan bahwa uji statistic t pada dasarnya


menunjukan seberapa jauh pengaruh satu variable penjelas/independen secara
individual dapat dilihat sebagai berikut:

1. Pengujian secara individual dilakukan dengan hipotesis sebagai berikut:

H0 : β 1 = 0 (Tidak ada pengaruh yang signifikan dari variable X terhadap


Y)

44
H1 : β1 ≠ 0 (Ada pengaruh yang signifikan dari variable X terhadap Y)

2. Nilai signifikan ( α ) sebesar 5%.

3. Jika t tabel ≤ t hitung ≤ t tabel maka H 0 diterima

Jika t hitung > t tabel atau t hitung < t tabel maka H 0 ditolak

4. Nilai t hitung dicari menggunakan rumus sebagai berikut:

bi
t hitung =
s bi

Keterangan :

bi = nilai konstanta

s bi = standar eror parameter

5. Nilai t tabel dicari menggunakan table distribusi t-student pada drajat bebas n-
k-1 dan taraf kesalahan 5%.

45

Anda mungkin juga menyukai