Anda di halaman 1dari 18

PROPOSAL SKRIPSI

TINJAUAN YURIDIS TENTANG AKTA OTENTIK SEBAGAI

ALAT BUKTI PERKARA PERDATA

(Studi Kasus di Pengadilan Negeri Karanganyar)

Disusun oleh :

Mahardian Surya Nugraha


8111415230

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2018
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hukum bukanlah semata-mata sekedar sebagai pedoman untuk dibaca,

dilihat atau diketahui saja, melainkan hukum dilaksanakan atau ditaati. Hukum

harus dilaksanakan oleh segenap komponen dalam suatu negara hukum. Negara

Indonesia adalah Negara hukum, demikianlah amanat yang diberikan oleh

konstitusi Negara Indonesia yaitu UUD Tahun 1945 dalam Pasal 1 Ayat (3).

Dalam lingkup hukum perdata, dikenal ada dua hukum yang menjadi ruang

lingkup hukum perdata yaitu hukum materiil dan hukum formilnya. Untuk

melaksanakan hukum materiil perdata terutama dalam hal ada pelanggaran atau

untuk mempertahankan berlangsungnya hukum materiil perdata dalam hal ada

tuntutan hak diperlukan rangkaian peraturan-peraturan hukum lain di samping

hukum materiil perdata itu sendiri. Peraturan hukum inilah yang disebut hukum

formil atau hukum acara perdata.

Hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur

bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan

perantaraan hakim. Dengan perkataan lain hukum acara perdata adalah

peraturan hukum yang menentukan bagaimana caranya menjamin pelaksanaan

hukum perdata materiil. Lebih kongkrit lagi dapatlah dikatakan, bahwa hukum

acara perdata mengatur tentang bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak,

1
2

memeriksa, serta memutuskan dan pelaksanaan dari putusannya.1

Hukum Acara Perdata juga disebut hukum perdata formil, karena

mengatur tentang proses penyelesaian perkara melalui pengadilan, di dalam

menyelesaikan suatu perkara sebelum hakim menetapkan hukumnya terlebih

dahulu ia harus menentukan peristiwanya atau kedudukan perkaranya, sebab

peristiwa-peristiwa yang dikemukakan oleh para pihak atau pihak Penggugat

dan tergugat belum tentu semuanya penting bagi hukum. Sehingga peristiwa-

peristiwa tersebut masih harus dipisahkan yang mana relevan bagi hukum. Hal

ini Ny. Retnowulan Sutantio, SH dan Iskandar Oeripkartowinoto, SH

berpendapat bahwa “Salah satu tugas hukum adalah untuk menyelidiki apakah

suatu hubungan hukum atau peristiwa hukum yang menjadi dasar gugatan

benar-benar ada atau tidak”.2 Peristiwa yang relevan inilah yang dibutuhkan

oleh hakim, ia harus memperoleh kepastian bahwa peristiwa yang menjadi dasar

gugatan benarbenar terjadi dan dapat dibuktikan kebenarannya.

Berdasarkan pengertian tersebut di atas apa yang dilakukan oleh hakim

dalam rangka memperoleh kepastian dan kebenaran peristiwa itu sendiri

menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, SH mempunyai beberapa pengertian,

yaitu :

1. Membuktikan dalam arti logis yaitu memberi kepastianyang bersifat


mutlak, karena berlaku bagi setiap orang hingga tidak
memingkinkan adanya bukti lawan.
2. Membuktikan. dalam, arti, konvensional, di. sinipun membuktikann
berarti juga memberikan kepastian, hanya saja

1
Sudikno Mertokusumo, 2006. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty. Hal 3.
2
Retnowulan Sutantio, Ny. dan Iskandar Oeripkartowinoto, 1986. Hukum Acara Perdata Dalam
Teori dan Praktek. Bandung: Alumni. Hal 41.
3

kepastian yang nisbi atau relatif sifatnya.


3. Membuktikan dalam arti yuridis, pembuktian di sini hanya beklaku
bagi pihak-pihak yang berperkara atau yang memperoleh hak dari
mereka. Deagan demikian pembuktuan dalam arti yuridis tidak
menuju kepada kebenaran mutlak, sebab ada kemungkinan jika
pengakuan, kesaksian atau surat-surat itu tidak benar atau palsu atau
dipalsukan maka dimungkinkan adanya bukti lawan.3

Menurut uraian-uraian tersebut di atas penulis dapat menggaris bawahi

ternyata soal pumbuktian merupakan suatu tindakan yang sangat penting dalara

menyelesaikan suatu perkara di Pengadilan, bahkan dalam Hukum Acara

Perdata untuk memenangkan suatu perkara seseorang tidak perlu adanya

keyakinan, yang penting adalah adanya alat bukti yang sah. Berdasarkan alat-

alat bukti tersebut hakim akan mengambil keputusan siap yang menang dan

siapa yang kalah.

Adapun alat bukti yang dimaksud dalam Pasal 164 HIR dan Pasal 284

Rgb, yaitu :

1. Atat bukti surat,

2. Alat bukti saksi.

3. Bukti persangkaan,

4. Bukti pengakuan

5. Bukti sumpah.

Selain alat-alat bukti yang tersebut dalam Pasal 164 HIR dan Pasal 284

Rbg, masih ada alat-alat bukti lain yaitu pemeriksaan setempat dan keterangan

ahli. Di dalam praktek-praktek pengetahuan hakim juga merupakan alat bukti

meskipun dalam suatu peristiwa yang disengkatakan telah diajukan

3
Sudikno Mertokusumo. Op. Cit. Hal 103-104.
4

pembuktiannya oleh para pihak yang berperkara akan tetapi pembuktian

tersebut masih harus dinilai oleh hakim.

Didalam menilai suatu pembuktian, hakim dapat bertindak bebas atau

terikat oleh undang-undang. Berhubung dalam hal tersebut, lalu timbul teori-

teori tentang bagaimana hakim harus menilai suatu pembuktian yang diajukan

oleh penggugat dan tergugat kepadanya.

Adapun teori yang dimaksudkan adalah :

a. Teori pembuktian bebas

Teori ini tidak menghendaki adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat

hakim, sehingga penilaian seberapa jauh dapat diserahkan kepadanya.

b. Teori pembuktian negatif

Menurut teori ini, harus ada ketentuan-ketentuan yang mengikat yang

bersifat negatif, yaitu harus membatasi larangan yang diajukan kepada

hakim untuk melakukan sesuatu yang berhubungan dengan pembuktian.

c. Teori pembuktian positif

Disamping adanya larangan, teori ini menghendaki adanya perintah kepada

hakim”.4

Sedangkan dalam penulisan skripsi ini yang akan penulis bahas secara

lebih mendalam dari macam-macam alat bukti tersebut diatas adalah bukti surat,

khususnya surat yang berbentuk akata otentik.

Bahwa surat merupakan alat bukti tertulis yang memuat tulisan untuk

menyatakan pikiran seseorang sebagai alat bukti, menurut bentuknya alat

4
Ibid, halaman 102.
5

bukti tertulis itu dibagi menjadi dua macam yaitu surat akta dan surat bukan

akta. Surat akata sendiri dari surat akta otentik dan surat akta dibawah tangan.

Pengertian surat menurut Sudikno Mertokusumo, SH “Surat adalah segala

sesuatu memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudnya untuk mencurahkan isi

hati atau untuk menyampaikan buah pemikiran seseorang dan dipergunakan

sebagai pembuktian, sedang pengertian akta adalah yang diberi tanda tangan

yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar daripada suatu hak atau

perikatan yang dibaut sejak semula sebagai pembuktian, yang dimaksud akta

otentik adalah akta yang dibuat oleh atau di hadapkan pejabat yang berwenang

menurut ketentuan yang telah ditetapkan, sedangkan yang dimaksud dengan

kata dibawah tangan adalah akta yang dibuat oleh para pihak sendiri”.5

Selain itu surat, khususnya surat akta otentik dewasa ini sangat

diperlukan sebagai suatu bukti apabila di kemudian hari timbul surat

perselisihan, maka dari itu penulis ingin mengetahui lebih jauh tentang alat

bukti akata otentik apabila akta otentik tersebut dijadikan sebagai alat bukti

pada perkara perdata, karena pembuktian merupakan bagian penting dari proses

pemeriksaan perkara perdata yang akan menentukan suatu putusan, oleh karena

itu bagaimanakah pendapat dan penilaian hakim terhadap akta otentik yang

dijadikan sebagai alat Surat sebagai alat bukti otentik menurut bentuknya dibagi

menjadi dua macam yaitu surat akta dan surat bukan akta. Surat akta ialah surat

yang tertanggal dan diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa-peristiwa yang

menjadi dasar suatu hak atau perikatan yang

5
Ibid. Hal 109-110.
6

digunakan untuk pembuktian. Surat akta ini ada dua macam pula yaitu surat

akta otentik dan surat akta dibawah tangan. Menurut ketentuan Pasal 165 HIR

akta otentik yaitu “Akta yang dibuat oleh atau dihadapkan pejabat yang diberi

wewenang untuk itu. Merupakan bukti yang lengkap bagi kedua belah pihak

dan ahli warisannya serta orang yang mendapatkan hak dari pdanya tentang

segala hal yang tersebut dalam surat itu dan pemberitahuan saja, tetapi yang

disebutkan terakhir ini hanya sepanjang yang diberitahukan itu langsung

berhubungan dengan pokok dalam akta itu”.

Pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk membuat akta

otentik itu misalnya notaris, pegawai catatan sipil, hakim, panitera, juru sita,

dan sebagainya. Dalam melakukan pekerjaannya, pejabat-pejabat itu terikat

pada syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan dalam undang-undang sehingga

merupakan jaminan untuk mempercayai pejabat itu berserta hasil pekerjaannya.

Dalam akta otentik itu pejabat tersebut menerangkan apa yang

dilakukan, dilihat, dialami, sehingga terjadi di hadapannya menurut kenyataan

yang sebenarnya. Karena akta otentik itu memuat keterangan pejabat yang sah

menurut undang-undang, maka setiap orang mengakui dan mempercayai isi

akta otentik itu sebagai benar adanya. Kebenaran isinya itu cukup dibuktikan

oleh bentuk akta itu sendiri sampai dapat dibuktikan sebaliknya.

Dari ketentuan-ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa akta otentik

merupakan :
7

1. Bukti sempurna/lengkap bagi para pihak, ahli warisnya dan orang-orang

yang mendapatkan hak dari padanya, tetapi masih dapat dilumpuhkan.

2. Bukti bebas bagi pihak ketiga, artinya penilaiannya diserahkan kepada

kebijaksanaan hakim.

Selain itu akta otentik mempunyai tiga macam kekuatan pembuktian,

yaitu :

1. Kekuatan pembuktian mengikat, membuktikan antara para pihak dan pihak

ketiga, bahwa pada tanggal tersebut dalam akta yang bersangkutan telah

menghadap kepada pegawai umum dan menerangkan apa yang dituliskan

dalam akta tersebut.

2. Kekuatan pembuktian formil, membuktikan antara para pihak bahwa

mereka sudah menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut.

3. Kekuatan pembuktian materiil, pembuktian para pihak bahwa peristiwa

dalam akta itu benar-benar terjadi”.6

Akta otentik dapat diklasifikasikan menjadi dua macam yaitu akta

ambtelijk dan akta partai. Akta amtelijk yaitu akta yang dibuat oleh pejabat yang

diberu wewenang untuk itu, dengan mana pejabat menerangkan apa yang dilihat

dan dilakukannya, misalnya akta protest pada wesel, akta catatan sipil, akta

partai yaitu akta yang dibuat di hadapan pejabat, dengan mana pejabat

menerangkan apa yang dilihat dan dilakukan dan pihak-pihak yang

berkepentingan mengakui keterangan dalam akta itu dengan membubuhkan

tanda tangannya, misalnya akta jual beli tanah di muka Pejabat Pembuat akta

6
Ny. Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Op.Cit, halaman 49.
8

Tanah (PPAT), akta perkawinan, akta pendirian suatu Perseoan Terbatas dan

sebagainya.

Pada akta partai selalu terdapat kekuatan bukti materiil dan merupakan

alat bukti sempurna sebab dalam akta partai itu kebenaran dari isi akta tersebut

ditentukan oleh pihak-pihak dan pejabat menerangkan seperti apa yang dilihat,

diketahuinya dari pihak-pihak itu. Tetapi pada akta ambtelijk tidak selalu

terdapat kekuatan bukti materiil artinya setiap orang dapat menyangkal

kebenarannya isi akta otentik itu, asal dapat membuktikannya. Sebab apa yang

dilihat dan dilakukan oleh pejabat itu hanya berdasarkan pada apa yang

kehendaki oleh yang berkepentingan.

Selain dari akta otentik ada lagi akta dibawah tangan, dikatakan dibawah

tangan karena tidak dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang berwenang untuk

itu, melainkan dibuat sendiri oleh berkepentingan dengan tujuan untuk

dijadikan sebagai alat bantu. Menurut ketentuan Pasal 16 Stb. 1867 Nomor 29,

Pasal 288 Rbg, surat akta dibawah tangan yang diakui perbuatannya atau tanda

tangannya oleh orang terhadap siapa surat itu digunakan, memberikan kekuatan

bukti sempurna seperti akta otentik terhadap para pihak, ahli warisnya dan orang

yang memperoleh hak padanya. Perbedaan pokok antara akta otentik dengan

akta dibawah tangan adalah terletak dalam kekuatan mengenai

penandatanganan dan tanggal pembuatan akta. Kekuatan pembuktian akta

dibawah tangan tergantung diakui atau dipungkirinya tulisan, isi atau tanda

tangan yang terdapat dalam akta terhadapnya diajukan suatu akta dibawah

tangan, ia diwajibkan secara tegas untuk memungkiri tulisan atau isi atau tanda

tangan yang terdapat dalam akta


9

dibawah tangan tersebut atau mengakuinya. (Pasal 2 Stb, 1867 Nomor 29). Hal

ini dimaksudkan untuk melindungi setiap orang terhadap suatu pemalsuan tanda

tangannya, dan bagi ahli waris atau orang yang mendapat hak, untuk mereka

tidak mengenal tulisan atau tanda tangan orang yang mereka wakili. Berbeda

dengan akta otentik, dimana tanda tangan yang terdapat di dalamnya bukam

merupakan suatu persoalan dan apabila akta dibawah tangan dijadikan sebagai

alat bukti, maka pemeriksaan terhadap kebenaran tanda tangan yang terdapat di

dalamnya adalah merupakan acara pertama. Apabila tanda tangan yang terdapat

dalam akta dibawah tangan di sangkal oleh pihak yang dikatakan telah

menandatangani akta dibawah tangan tersebut, maka pihak yang mengajukan

akta dibawah tangan yang disangkal tanda tangannya tersebut harus

membuktikan kebenaran dari tanda tangan yang terdapat dalam akta dibawah

tangan tersebut dengan memakai alat bukti lain. Menurut Pasal 3 Stb, 1867

Nomor 29, Pasal 290 Rbg, apabila tulisan atau tanda tangan memerintahkan

supaya kebenaran dari tulisan atau tanda tangan tersebut diperiksa di muka

pengadilan.

Akta dibawah tangan pada umumnya tidak mempunyai kekuatan bukti

lahiriah, karena tanda tangan dapat dimungkiri. Sedangkan kekuatan bukti

formil dan materiil sama dengan akta otentik. Adapula surat yang bukan akta.

Dikatakan bukan akta karena tidak ada tanda tangan. Bukan akta merupakan

catatan-catatan atau surat-surat yang dibuat dengan tidak sengaja akan

digunakan sebagai bukti dari suatu peristiwa. Kekuatan pembuktian surat yang

bukan akta diserahkan kepada kebijaksanaan hakim yang memeriksanya,

artinya terserah kepada hakim apakah menganggapnya sebagai permulaan


10

bukti tertulis, jika surat demikian dikemukakan dalam sidang pengadilan.

Contoh karcis penitipan sepeda motor, telegram, catatan-catatan dan lain-lain.

Akan tetapi ada bebarapa catatan atau surat yang ditetapkan oleh undang-

undang sebagai alat bukti yang mengikat yang harus dipercaya oleh hakim,

yaitu :

1. Surat yang dengan tegas menyebutkan tentang suatu pembayaran yang telah

diterima.

2. Surat-surat yang dengan tegas menyebutkan bahwa catatan yang telah

dibuat adalah untuk memperbaiki suatu kekurangan di dalam suatu alas hak

(titel) bagi seseorang untuk keuntungan siapa surat itu menyebutkan suatu

perikatan.

3. Catatan-catatan yang oleh seseorang berpiutang (kreditur) dbubuhkan pada

suatu alas hak yang selamanya dipegangnya jika apa yang ditulis itu

merupakan suatu pembebasan si berutang (debitur).

4. Catatan-catatan yang oleh si berpiutang dibubuhkan kepada salinan dari

suatu alas hak suatu tanda pembayaran ini berada dalam tangannya si

berutang”.7

Berdasarkan hal tersebut di atas maka penulis tertarik dan menuangkan

dalam penelitihan skripsi dengan judul “TINJAUAN YURIDIS TENTANG

AKTA OTENTIK SEBAGAI ALAT BUKTI PERKARA PERDATA

(Studi Kasus di Pengadilan Negeri Karanganyar)

7
R. Subekti, 1982. Hukum Acara Perdata. Bandung: Bina Cipta, halaman 99.
11

B. Pembatasan Masalah

Berhubungan dengan banyaknya alat-alat bukti yang ada, maka penulis

ingin menekankan pada alat bukti surat yang berupa akta otentik khususnya

mengenai kekuatan pembuktian dalam perkara perdata di Pengadilan Negeri

Karanganyar.

C. Perumusan Masalah

Dengan berdasarkan pada uraian-uraian tersebut diatas, maka dapat

dirumuskan problematikanya sebagai berikut :

1. Bagaimanakah Hakim Dalam Menilai Kekuatan Alat Bukti Akta Otentik

dalam proses pemeriksaan perkara perdata dalam praktek di Pengadilan

Negeri Karanganyar ?

2. Bagaimanakah pertimbangan hakim (legal reasoning) dalam menilai akta

otentik yang didalilkan adanya dwaling (kekeliruan), penipuan (bedrog)

atau paksaan (dwang) ?

D. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui penilaian hakim tentang kekuatan alat bukti akta otentik

dalam proses pemeriksaan perkara perdata dalam praktek di Pengadilan

Negeri Karanganyar.

2. Untuk mengetahui pertimbangan hakim (legal reasoning) dalam menilai

akta otentik yang didalilkan adanya dwaling (kekeliruan), penipuan

(bedrog) atau paksaan (dwang).


12

E. Manfaat Penelitian

1. Sebagai masukan dan menambah pengembangan ilmu pengetahuan yang

telah penulis peroleh selama di bangku kuliah.

2. Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu masyarakat untuk

memecahkan masalah-masalah yang timbul, khususnya masalah yang

berhubungan dengan alat bukti akta otentik.

3. Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar sarjana dibidang ilmu

hukum pada Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang.

F. Metodologi Penelitian

Metodologi merupakan suatu cara untuk mengumpulkan data,

merealisasikan data dan menyusun data sebagai suatu kebulatan. Menurut

Soerjno Sukanto, menyatakan bahwa : “Penelitian merupakan sarana yang

dipergunakan oleh manusia untuk memperkuat, membina serta

mengembangkan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan merupakan pengetahuan

yang tersusun secara sistimatis dengan menggunakan kekuasaan pemikiran,

pengetahuan mana senantiasa dapat diperiksa dan ditelaah secara kritis, akan

berkembang terus atas dasar penelitian-penelitian yang dilakukan oleh

pengasuh-pengasuhnya”.8

Suatu penelitian pada umumnya bertujuan untuk menemukan,

mengembangkan, atau menguji kebenaran suatu pengetahuan, walaupun

pengeathuan itu sendiri adalah kumpulan dari pengalaman dan pengetahuan

8
Soerjono Soekanto, 1984. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Pres. Hal 3.
13

manusia yang dipadukan secara teratur.

1. Pendekatan Penelitian

Penelitian hukum sosiologis empiris adalah metode penelitian yang

dilakukan untuk mendapatkan data primer dan menemukan kebenaran

dengan menggunakan metode berpikir induktif dan kriterium kebenaran

koresponden serta fakta yang digunakan untuk melakukan proses induksi

dan pengujian kebenaran secara koresponden adalah fakta yang mutakhir.9

2. Jenis Penelitian

Penulis menggunakan penelitian jenis deksriptif dengan tujuan

untuk memberikan gambaran mengenai obyek penelitian secara teliti.

Penelitian Deskripsi yaitu penelitian yang dilakukan untuk memberikan

data seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya.

Maksudnya adalah untuk mempertegas hipotesa-hipotesa agar dapat

membantu di dalam memperkuat teori-teori lama atau didalam kerangka

penyusun teori-teori baru.

3. Sumber Data

Sumber data adalah subyek dari mana data yang diperlukan dalam

suatu penelitian dapat diperoleh. Dalam penelitian ini sumber data yang

dipergunakan adalah :

a. Data Primer

Yaitu data yang diperoleh secara langsung dari lapangan.

9
Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat),
Rajawali Pers, Jakarta, 2001, hlm. 13-14.
14

a. Data Sekunder

Yaitu data yang diperoleh melalui studi pustaka, yang bertujuan untuk

memperoleh landasan teori yang bersumber dari peraturan perundang-

undangan, data arsip dokumen yang ada hubungannya dengan obyek

penelitian.

4. Lokasi penelitian

Adapun lokasi yang menjadi obyek penlitian adalah Pengadilan

Negeri Karanganyar, yang masih dalam eks-Karisidenan Surakarta,

sehingga dengan demikian akan mempermudah penulis untuk

mengumpulkan data-data yang diperlukan.

5. Teknik pengumpulan data

Untuk mengumpulkan data-data dari sumber data di atas

dipergunakan cara atau teknik pengumpulan data.

Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut :

a. Observasi

Yaitu pengamatan secara langsung terhadap kasus yang menggunakan

alat bukti akata otentik yang telah diputus oleh Pengadilan Negeri

Karanganyar.

b. Interview atau wawancara

Yaitu suatu cara untuk memperoleh data atau pengumpulan data dari

lapangan dengan cara mengadakan tanya jawab atau komunikasi dengan

responden sebagai informan yang bersangkutan dan


15

berhubungan dengan obyek yang diteliti.

c. Studi kepustakaan

Yaitu merupakan teknik pengumpulan data dengan cara membaca,

mempelajari dan menganalisa buku-buku, peraturan-peraturan, bahkan

referensi serta tulisan-tulisan yang berhubungan dengan materi yang

diteliti.

6. Metode populasi, sample dan sampling

a. Metode Populasi

Salah satu cara yang perlu diambil dalam melaksanakan suatu penelitian

adalan menentukan populasi dari penelitian yang akan dilaksanakan,

yang dimaksudkan dengan populasi di sini adalah keseluruhan subyek

penelitian. Populasi dalam penlitian ini adalah kasus dan pihak-pihak

yang telah diputus di Pengadilan Negeri Karanganyar yang

menggunakan akta otentik sebagai alat bukti.

b. Metode Sampling

Sampling adalah metode tentang proses untuk mengambil sample, di

dalam sampling dikenal dengan tata cara pelaksanaan sampling. Di

dalam penulisan skripsi ini cara yang dilakukan dalam pengambilan

sample adalah teknik non rondom sampling maksudnya tidak semua

populasi dapat menjadi anggota sample.

c. Metode Sample

Sample adalah bagian dari populasi yang diambil sebagai responden.


16

7. Teknik Analisa Data

Guna menyederhanakan data ke dalam bentuk yang lebih mudah

dibaca dan diinterprestasikan terhadap data yang telah terkumpul dengan

melalui teknik pengumpulan data seperti tersebut diatas, maka langkah

selanjutnya adalah menganalisa data dengan tujuan untuk memcahkan

masalah yang sedang diteliti. Dengan demikian analisa data yang digunakan

dalam penelitian ini adalah analisa data kwalitatif.

G. Sistimatika Skripsi

Agar mendapatkan suatu gambaran mengenai arah dan ruang

lingkupnya, maka sistimatika skripsi ini secara garis besarnya sebagai berikut :

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

B. Pembatasan Masalah

C. Perumusan Masalah

D. Tujuan Penelitian

E. Manfaat Penelitian

F. Metodologi Penelitian

G. Sistematika

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pembuktian

1. Pengertiannya Pembuktian

2. Tujuan Pembuktian
17

3. Hukum Pembuktian Positif

4. Macam-macam Alat bukti dan Kekuatan Pembuktiannya

a. Alat Bukti Surat

b. Alat Bukti Saksi

c. Alat Bukti Persangkaan (dugaan)

d. Alat Bukti Pengakuan

e. Alat Bukti sumpah

B. Akta Otentik Sebagai Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktiannya

1. Pengertian Akta Otentik

2. Fungsi Akta Otentik

3. Bentuk-Bentuk Akta Otentik

4. Kekuatan pembuktian Akta Otentik

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Penilaian Hakim Dalam Menilai Kekuatan Alat Bukti Akta

Otentik dalam proses pemeriksaan perkara perdata dalam

praktek di Pengadilan Negeri Karanganyar.

B. Pertimbangan hakim (legal reasoning) dalam menilai akta

otentik yang didalilkan adanya dwaling (kekeliruan), penipuan

(bedrog) atau paksaan (dwang).

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran-saran

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai