Anda di halaman 1dari 2

BAB 1.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Fraktur merupakan suatu masalah yang sering terjadi di masyarakat, fraktur sendiri
didefinisikan sebagai hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan yang bersifat total maupun
sebagian (Helmi, 2012). Fraktur adalah suatu kerusakan atau putusnya kontinuitas tulang dan
didefinisikan sesuai dengan jenis dan luasnya kerusakan tersebut. Fraktur bisa terjadi jika
tulang mengalami stres yang berlebihan dari yang biasanya terjadi selain itu juga bisa karena
pukulan langsung, terkena benda-benda tumpul, gerakan memutar yang tiba-tiba dan
kontraksi otot yang ekstrim. Ketika tulang mengalami kerusakan maka struktur yang
berdekatan akan terpengaruh, mengakibatkan edema pada jaringan lunak, perdarahan ke otot
dan sendi, dislokasi pada sendi, tendon pecah, saraf putus, dan pembutuh darah rusak.
Dampak dari tidak dilakukannya mobilisasi pada pasien yang telah melakukan operasi seperti
mengalami kekakuan pada otot, pengecilan pada otot, penyembuhan luka semakin lama, kulit
menjadi lecet dan luka, sepsis atau infeksi, pneumonia, emboli paru, infeksi saluran kemih
dan memperpanjang perawatan dirumah sakit (Epstein, 2014).
Secara garis besar fraktur dibagi menjadi beberapa diantaranya, fraktur lengkap
melibatkan putusnya seluruh bagian dan melintasi seluruh penampang tulang atau keluar dari
posisi normal, sedangkan fraktur tidak lengkap adalah fraktur yang tidak sampai putus atau
hanya sebagian saja yang putus dan melintang tulannya, fraktur comminuted adalah fraktur
yang menghasilkan beberapa fragmen tulang, fraktur tertutup adalah fraktur yang tulangnya
tidak menonjol keluar atau terlihat dan tertutup oleh kulit sedangkan fraktur terbuka adalah
fraktur yang tulangnya terlihat keluar kulit, ada beberapa kriteria dari fraktur terbuka yaitu,
grade satu adalah luka bersih kurang dari 1 cm, grade dua adalah luka yang lebih besar tetapi
tanpa kerusakan jaringan lunak yang luas dan grade tiga adalah luka yang sangat
terkontaminasi, memiliki luka yang parah dan luas (Brunner and Suddarth's, 2002)
Berdasarkan profil World Health Organization (WHO) mengenai penyakit yang tidak
menular din Asia Tenggara, ada lima penyakit yang tidak menular tetapi mematikan dengan
angka kejadian yang tinggi. Penyakit kardiovaskuler (PVK), diabetes melitus (DM), kanker,
penyakit pernafasan obstruksi dan cidera. Dari 21.032 orang terdapat 6,1% mengalami cidera
kepala, 0,5% mengalami cidera spinal, 2,5% luka bakar, 12% mengalami fraktur tulang
belakang, 10,3 mengalami keracunan, 2,8% mengalami cidera internal dan 65,8% mengalami
cidera yang lainya (Lestari, 2015). Menurut (WHO, 2008 dalam Maisyaroh, 2015) angka
kejadian fraktur di dunia sebanyak 2,7% dari data tersebut menunjukkan kurang lebihnya 13
juta orang mengalami fraktur di dunia. Pada tahun 2009 prevalensinya mengalami
peningkatan sebanyak 4,2% dari populasi penduduk di dunia atau sekitar 18 juta orang
mengalami fraktur. Sedangkan pada tahun 2010 prevalensi tersebut mengalami penurunan
yaitu sebanyak 3,5% penduduk dunia yang mengalami fraktur.
Di Indonesia sendiri hampir 5,5% dengan rentang 2,2% sampai 9% di setiap provinsi.
Kebanyakan dari pasien yang mengalami fraktur 25% mengalami kematian, 45% mengalami
cacat fisik, 15% mengalami stres psikologis dan bahkan mengalami depresi, serta 10%
mengalami kesembuhan (Ropyanto, 2011). Menurut Riskesdas, 2018 pada tahun 2007 terjadi
kecelakaan sebanyak 25,9%, tahun 2013 sebanyak 42,8% dan tahun 2018 sebanyak 31,4%,
meskipun mengamai penurunan tetapi kejadian kecelakaan di jalan raya termasuk tinggi
dengan nilai 31,4% dan menyebabkan cidera yang serius. Dari data riskesdas disebutkan
bahwa cidera anggota gerak bagian bawah memiliki prosentase paling tinggi sebanyak
67,9%, anggota gerak atas 32,7%, kepala 11,9%, punggung 6,5%, dada 2,6% dan perut 2,2%.
Di rumah sakit daerah dr. Soebandi Jember kejadian fraktur oada tahun 2016 di bulan januari
sampai maret 110 kasus yang masuk ke poli orthopedi (Aprilinan, 2016). Pada tahun 2018
terdapat 757 pasien fraktur yang menjalani operasi di rumah sakit daerah Soebandi Jember
baik open fraktur maupun close fraktur, sementara selama dua bulan terakhir yaitu bulan
Desember 2018 sebanyak 57 pasien dan bulan Januari 2019 terdapat 42 pasien yang
mengalami opreasi fraktur.
Penanganan pada pasien dengan fraktur bisa dilakukan dengan pembedahan maupun
tanpa pembedahan, seperti imobilisasi, reduksi dan rehabilitasi. Reduksi merupakan suatu
proses yang sering dilakukan untuk mengoreksi fraktur, salah satunya adalah dengan fiksasi
internal dan fiksasi eksternal dengan proses operasi. Dalam perubahan posisi fraktur yang
tidak stabil adalah dilakukannya tindakan Open Reduction and Internal Fixation (ORIF)
dengan menggunakan plate,skrup atau bisa dikombinasikan keduanya, tindakan ORIF sendiri
selain untuk menstabilkan fraktur juga bisa membantu dalam cidera vaskular seperti
kompartemen sindroma yang terjadi pada pasien fraktur. Sedangkan dampak dari operasi
sendiri pada pasien bisa menimbulkan perubahan bentuk tubuh yang mengakibatkan
kurangnya percaya diri, stres bahkan depresi pada pasien (Smeltzer dan Bare, 2002)

Anda mungkin juga menyukai