Gigitan Ular Berbisa
Gigitan Ular Berbisa
A. Definisi
Gigitan ular (Snake Bite) adalah cedera yang disebabkan oleh gigitan dari ular baik
ular berbisa ataupun tidak berbisa. Akibat dari gigitan ular tersebut dapat menyebabkan
kondisi medis yang bervariasi, yaitu:
a. Kerusakan jaringan secara umum, akibat dari taring ular
b. Perdarahan serius bila melukai pembuluh darah besar
c. Infeksi akibat bakteri sekunder atau patogen lainnya dan peradangan
d. Pada gigitan ular berbisa, gigitan dapat menyebabkan envenomisasi.
B. Jenis ular dan identifikasi
Tidak semua spesies ular memiliki bisa sehingga pada kasus gigitan ular perlu
dibedakan atas gigitan ular berbisa atau gigitan ular tidak berbisa. Ular berbisa yang
bermakna medis memiliki sepasang gigi yang melebar, yaitu taring, pada bagian depan
dari rahang atasnya. Taring-taring ini mengandung saluran bisa (seperti jarum hipodermik)
atau alur, dimana bisa dapat dimasukkan jauh ke dalam jaringan dari korban. Selain
melalui taring, bisa dapat juga disemburkan seperti pada ular kobra yang meludah dapat
memeras bisanya keluar dari ujung taringnya dan membentuk semprotan yang diarahkan
pada mata korban. Efek toksik bisa ular pada saat menggigit mangsanya tergantung pada
spesies, ukuran ular, jenis kelamin, usia, dan efisiensi mekanik gigitan (apakah hanya satu
atau kedua taring menusuk kulit), serta banyaknya serangan yang terjadi.
Dari ribuan jenis ular yang diketahui hanya sedikit sekali yang berbisa, dan dari
golongan ini hanya beberapa yang berbahaya bagi manusia. Di seluruh dunia dikenal lebih
dari 2000 spesies ular, namun jenis yang berbisa hanya sekitar 250 spesies.
Berdasarkan morfologi gigi taringnya, ular dapat diklasifikasikan ke dalam 4 familli
utama yaitu:
1. Familli Colubridae, kebanyakan ular berbisa masuk dalam famili ini, misalnya ular
pohon, ular sapi (Zaocys carinatus), ular tali (Dendrelaphis pictus), ular tikus atau ular
jali (Ptyas korros), dan ular serasah (Sibynophis geminatus). Pada umumnya bisa yang
dihasilkannya bersifat lemah.
2. Famili Elapidae memiliki taring pendek dan tegak permanen misalnya ular cabai
(Maticora intestinalis), ular weling (Bungarus candidus), ular sendok (Naja
sumatrana), dan ular king kobra (Ophiophagus hannah), ular welang, ular anang dan
ular cabai.
3. Familli Crotalidae/ Viperidae memiliki taring panjang yang secara normal dapat dilipat
ke bagian rahang atas, tetapi dapat ditegakkan bila sedang menyerang mangsanya.Ada
dua subfamili pada Viperidae, yaitu Viperinae dan Crotalinae. Crotalinae memiliki
organ untuk mendeteksi mangsa berdarah panas (pit organ), yang terletak di antara
lubang hidung dan mata.misalnya adalah ular bandotan (Vipera russelli), ular tanah
(Calloselasma rhodostoma), dan ular bangkai laut (Trimeresurus albolabris), ular hijau
dan ular bandotan puspo.
4. Familli Hydrophidae, misalnya ular laut.
Ketiga family ular berbisa yang disebutkan terakhir ini memiliki jenis bisa kuat yang
terdapat di Indonesia. Ular tidak berbisa dapat tampak menyerupai ular berbisa.
Namun, beberapa ular berbisa dapat dikenali melalui ukuran, bentuk, warna, kebiasaan
dan suara yang dikeluarkan saat merasa terancam. Beberapa ciri ular berbisa adalah
bentuk kepala segitiga, ukuran gigi taring kecil, dan pada luka bekas gigitan terdapat
bekas taring.
Perbedaan Ular Berbisa dan Ular Tidak Berbisa
Tidak berbisa Berbisa
Bentuk Kepala Bulat Elips, segitiga
Gigi Taring Gigi Kecil 2 gigi taring besar
Bekas Gigitan Lengkung seperti U Terdiri dari 2 titik
Warna Warna-warni Gelap
Besar ular Sangat bervariasi Sedang
Pupil ular bulat Elips
Ekor ular Bersisik ganda Bentuk sisik tunggal
Agresifitas Mematuk berulang dan membelit Mematuk 1 atau 2 kali
sampai tidak berdaya
3. Keracunan berat ditandai dengan pembengkakan di atas siku dan lutut dalam
waktu 2 jam atau ditandai dengan perdarahan hebat.
c) Gigitan Hydropiridae
1. Segera timbul sakit kepala, lidah terasa tebal, berkeringat, dan muntah.
2. Setelah 30 menit sampai beberapa jam biasanya timbul kaku dan nyeri
menyeluruh, dilatasi pupil, spasme otot rahang, paralisis otot, mioglobinuria yang
ditandai dengan urin berwarna coklat gelap (penting untuk diagnosis), kerusakan
ginjal, serta henti jantung.
D. Diagnosa
Anamnesis yang tepat seputar gigitan ular serta progresifitas gejala dan tanda baik
lokal dan sistemik merupakan hal yang sangat penting.
Empat pertanyaan awal yang bermanfaat :
1. Pada bagian tubuh mana anda terkena gigitan ular?
Dokter dapat melihat secara cepat bukti bahwa pasien telah digigit ular (misalnya,
adanya bekas taring) serta asal dan perluasan tanda envenomasi lokal.
c. Perdarahan lokal
d. Kemerahan
e. Limfangitis
h. Melepuh
j. Nekrosis
b. Kardiovaskuler (viperidae)
Perdarahan yang berasal dari luka yang baru saja terjadi (termasuk perdarahan yang
terus-menerus dari bekas gigitan (fang marks) dan dari luka yang telah menyembuh
sebagian (oldrus-mene partly-healed wounds), perdarahan sistemik spontan – dari
gusi, epistaksis, perdarahan intrakranial (meningism, berasal dari perdarahan
subdura, dengan tanda lateralisasi dan atau koma oleh perdarahan cerebral),
hemoptisis, perdarahan perrektal (melena), hematuria, perdarahan pervaginam,
perdarahan antepartum pada wanita hamil, perdarahan mukosa (misalnya
konjunctiva), kulit (petekie, purpura, perdarahan diskoid, ekimosis), serta
perdarahan retina.
e. Destruksi otot Skeletal ( sea snake, beberapa spesies kraits, Bungarus niger and B.
candidus, western Russell’s viper Daboia russelii) Nyeri seluruh tubuh, kaku dan
nyeri pada otot, trismus, myoglobinuria, hiperkalemia, henti jantung, gagal ginjal
akut.
f. Sistem Perkemihan
g. Gejala endokrin
Insufisiensi hipofisis/kelenjar adrenal yang disebabkan infark hipofisis anterior.
Pada fase akut : syok, hipoglikemia. Fase kronik (beberapa bulan hingga tahun
setelah gigitan) : kelemahan, kehilangan rambut seksual sekunder, kehilangan libido,
amenorea, atrofi testis, hipotiroidism
E. Penatatalaksanaan
1. Pertolongan pertama
Tujuan dari pertolongan pertama ini adalah untuk mengurangi penyerapan racun (bisa
ular), bantuan hidup dasar, dan mencegah komplikasi lebih lanjut. Hal-hal yang harus
dilakukan antara lain :
a. Tenangkan korban, karena panik akan membuat racun lebih cepat terserap
b. Imobilisasi ekstremitas yang terkena gigitan dengan bidai atau ikat dengan kain
(untuk memperlambat penyerapan racun)
c. Gunakan balut yang kuat, hal tersebut akan mengurangi penyerapan racun yang
bersifat neurotoksin, namun jangan gunakan pada gigitan yang menyebabkan nekrosis
d. Jangan melakukan intervensi apapun pada luka, termasuk menginsisi, kompres
dengan es, ataupun pemberian obat apapun
e. Tidak direkomendasikan untuk mengikat arteri (pembuluh darah di proksimal lesi)
f. Selalu utamakan keselamatan diri. Jangan mencoba membunuh ular yang
menggigit. Bila sudah mati, bawa ular ke RS untuk identifikasi
2. Perawatan Di Rumah Sakit
Hal-hal yang harus dilakukan di RS antara lain :
a. Lakukan pemeriksaan klinis secara cepat dan resusitasi termasuk ABC (airway,
breathing, circulation), penilaian kesadaran, dan monitoring tanda vital
b. Buat akses intravena, beri oksigen dan resusitasi lain jika diperlukan
c. Lakukan anamnesa yang meliputi bagian tubuh mana yang tergigit, waktu
terjadinya gigitan dan jenis ular
d. Lakukan pemeriksaan fisik :
- Bagian yang digigit untuk mencari bekas gigitan (fang marks), walaupun
terkadang bekas tersebut tidak tampak, bengkak ataupun nekrosis
- Palpasi arteri di distal lesi (untuk mengetahui ada tidaknya kompartemen
sindrom)
- Cari tanda-tanda perdarahan (gusi berdarah, perdarahan konjungtiva,
perdarahan di tempat gigitan)
- Cari tanda-tanda neurotoksisitas seperti ptosis, oftalmoplegi, paralisis bulbar,
hingga paralisis dari otot-otot pernapasan
- Khusus untuk ular laut terdapat tanda rigiditas pada otot
- Pemeriksaan urin untuk mioglobinuri
e. Lakukan pemeriksaan darah yang meliputi pemeriksaan darah rutin, tes fungsi
ginjal, PPT/PTTK, tes golongan darah dan cross match
f Anamnesa ulang mengenai riwayat imunisasi, beri anti tetanus toksoid jika
merupakan indikasi
g. Rawat inap paling tidak selama 24 jam (kecuali jika ular yang menggigit adalah
jenis ular yang tidak berbisa)
3. Terapi Dengan Anti Venom
Satu satunya terapi spesifik terhadap bisa ular adalah dengan anti venom. Pemberian
seawal mungkin akan memberikan hasil yang lebih baik. Terapi ini dapat diberikan jika
tanda tanda penyebaran bisa secara sistemik ada. Untuk efek lokal, anti venom biasanya
tidak efektif jika diberikan lebih dari 1 jam.
Indikasi pemberian anti venom antara lain :
a.Abnormalitas hemostatik, misalnya perdarahan sistemik spontan dan trombositopeni
(<100000)
b. Neurotoksisitas
c. Gangguang kardiovaskuler (hipotensi atau syok)
d. Rhabdomiolisis generalisata (rasa nyeri pada otot)
e. Gagal ginjal akut
f. Efek lokal yang signifikan, seperti misalnya pembengkakan lokal lebih dari
setengah besar ekstremitas yang terkena, nekrosis atau hematom yang luas, atau
bengkak yang membesar dengan cepat
g.Temuan laboratorium seperti anemia, trombositopeni, leukositosis, peningkatan
enzim hepar, hiperkalemia, dan mioglobinuri.
Pilihan Anti Venom:
a. Jika jenis ular diketahui, usahakan pemberian anti venom yang spesifik (monovalen)
karena akan lebih efektif dan efek samping yang lebih sedikit
b. Jika jenis ular tidak diketahui, manifestasi klinis mungkin dapat digunakan untuk
memperkirakan jenis ular :
- Pembengkakan lokal dengan tanda kelainan neurologis = ular kobra/elapidae
- Pembengkakan lokal yang ekstensif dengan perdarahan = ular tanah/ viperidae
c. Anti venom polivalen jika belum jelas
Dosis Dan Cara Pemberian:
Jumlah pemberian biasanya berdasar empirik. Rekomendasi pemberian dari pabrik yang
ada biasanya berdasarkan uji pada binatang
a. Ulang pemberian anti venom hingga tanda tandanya hilang
b. Pemberian melalui rute intra vena. Larutkan anti venom pada cairan isotonic (5-10
ml/kgBB, pada anak yang lebih besar atau orang dewasa larutkan dalam 500 ml) dan
infus seluruhnya dalam 1 jam
c. Infus dapat dihentikan bila gejala menghilang walaupun dosis yang direkomendasikan
belum habis
d. Jangan lakukan uji sensitivitas
e. Jangan lakukan injeksi di tempat lesi
f. Persiapkan adrenalin, kortikosteroid, antihistamin, dan peralatan resusitasi jika terjadi
reaksi alergi
g. Dosis pertama sebanyak 2 vial @5 ml dalam NaCl atau Dextrose 5% dapat diberikan
sebagai infus dengan kecepatan 40-80 tetes per menit, lalu diulang setiap 6 jam.
Apabila diperlukan (misalnya gejala-gejala tidak berkurang atau bertambah)
antiserum dapat diberikan setiap 24 jam sampai maksimal (80-100 ml). Antiserum
yang tidak diencerkan dapat diberikan langsung sebagai suntikan intravena dengan
sangat perlahan-lahan. Dosis untuk anak-anak sama atau lebih besar daripada dosis
untuk dewasa. Cara lain adalah dengan menyuntikkan 2,5 ml secara infiltrasi di
sekitar luka dan 2,5 ml diinjeksikan secara intramuskuler atau intravena. Pada kasus
berat dapat diberikan dosis yang lebih tinggi. Penderita harus diamati selama 24 jam
untuk reaksi anafilaktik
Indikasi SABU adalah adanya gejala venerasi sistemik dan edema hebat pada bagian luka.
Pedoman terapi SABU mengacu pada Schwartz dan Way (Depkes, 2001):
• Derajat 0 dan I tidak diperlukan SABU, dilakukan evaluasi dalam 12 jam, jika derajat
meningkat maka diberikan SABU
• Derajat II: 3-4 vial SABU
• Derajat III: 5-15 vial SABU
• Derajat IV: berikan penambahan 6-8 vial SABU
Pedoman terapi SABU menurut Schwartz dan Way (Depkes, 2001):
Derajat Venerasi Luka gigit Nyeri Ukuran zona edema/ Gejala sistemik
eritemato kulit (cm)
++
III ++ + +++ >25 cm/ 12 jam Syok, petekia, ekimosis
++
IV +++ + +++ < ekstremitas Gangguan faal ginjal,
koma, perdarahan
Pedoman terapi SABU menurut Luck :
Monitor keseimbangan cairan dan elektrolit
Ulangi pemeriksaan darah pada 3 jam setelah pemberiann antivenom
Jika koagulopati tidak membak (fibrinogen tidak meningkat, waktu pembekuan darah
tetap memanjang), ulangi pemberian SABU. Ulangi pemeriksaan darah pada 1 dan 3
jam berikutnya, dst.
Jika koagulopati membaik (fibrinogen meningkat, waktu pembekuan menurun) maka
monitor ketat kerusakan dan ulangi pemeriksaan darah untuk memonitor
perbaikkannya. Monitor dilanjutkan 2x24 jam untuk mendeteksi kemungkinan
koagulopati berulang. Perhatian untuk penderita dengan gigitan Viperidae untuk tidak
menjalani operasi minimal 2 minggu setelah gigitan
Terapi suportif lainnya pada keadaan :
Gangguan koagulopati berat: beri plasma fresh-frizen (dan antivenin)
Perdarahan: beri tranfusi darah segar atau komponen darah, fibrinogen, vitamin K,
tranfusi trombosit
Hipotensi: beri infus cairan kristaloid
Rabdomiolisis: beri cairan dan natrium bikarbonat
Monitor pembengkakan local dengan lilitan lengan atau anggota badan
Sindrom kompartemen: lakukan fasiotomi
Gangguan neurologik: beri Neostigmin (asetilkolinesterase), diawali dengan sulfas
atropin
Beri tetanus profilaksis bila dibutuhkan
Untuk mengurangi rasa nyeri berikan aspirin atau kodein, hindari penggunaan
obat – obatan narkotik depresan
Pemberian antibiotika spektrum luas. Kaman terbanyak yang dijumpai adalah
P.aerugenosa, Proteus,sp, Clostridium sp, B.fragilis
1. Reaksi Anti Venom
Terdapat 3 tipe reaksi terhadap pemberian anti venom yang mungkin terjadi :
a. Reaksi anafilaktik tipe cepat
- Terjadi 10-180 menit setelah pemberian anti venom
- Gejala meliputi : gatal, urtikaria, nausea, muntah, dan palpitasi hingga reaksi
anafilaktik yang berat seperti hipotensi, bronkospasme dan udema laring
- Jika terjadi hal seperti itu, hentikan pemberian anti venom, berikan adrenalin IM
(0,01 ml/kgBB), antihistamin (misal klorfeniramin 0,2 mg/kg), dan cairan resusitasi
- Jika reaksinya ringan, pemberian anti venom dapat dilanjutkan namun dengan
dosis dan kecepatan yang lebih rendah
b. Reaksi pirogenik
- Terjadi 1-2 jam setelah pemberian, dikarenakan endotoksin dalam anti venom
- Gejala meliputi demam, kaku, muntah, takikardia dan hipotensi
- Tatalaksana seperti pada kasus diatas
- Bila demam dapat diberikan parasetamol
c. Reaksi tipe lambat
- Terjadi kurang lebih seminggu kemudian
- Gejala serum like illness : demam, atralgia, limfadenopati
- Atasi dengan pemberian antihistamin (klorfeniramin 0,2 mg/kgBB/hari dibagi
dalam 5 dosis
- Jika berat, beri prednisolon oral (0,7-1 mg/kgBB/hari) selam 5-7 hari
F. Terapi Suportif
a. Bersihkan luka dengan antiseptik
b. Analgesik
c. Antibiotik bila luka terkontaminasi atau nekrosis
d. Pemberian Anti Tetanus
e. Awasi kejadian kompartemen syndrome—nyeri, bengkak, perabaan distal dingin, dan
paresis
f. Buang jaringan nekrosis
g. Atasi keadaan gagal ginjal akuT