Anda di halaman 1dari 2

Tragedi Seorang Nelayan Tua

Disebuah pesisir yang terletak di Pantai Utara Jawa, hiduplah seorang


kepala keluarga yang bekerja sebagai Nelayan. Beliau bekerja sebagai nelayan
untuk menghidupi istri dan keenam anaknya yang masih bersekolah. Beliau
saat ini bimbang, karena sudah 1 tahun putra sulungnya tidak sekolah
dikarenakan sibuk membantunya bekerja mencari tambahan penghasilan.
Maklum saja, pekerjaan sehari-harinya sebagai seorang nelayan tidak mampu
memenuhi semua kebutuhan keluarganya. Mimpi Nelayan tua ini adalah
membeli sebuah perahu motor agar dapat menunjang pekerjaannya sehari-hari.
Dikarenakan tangkapan yang ia dapat sangatlah sedikit dan tidak cukup untuk
menghidupi keluarganya.

Di tengah bimbang yang tengah melandanya, Tiba-tiba ada seorang


warga Jakarta datang menemuinya. Ia bermaksud untuk membeli tanah
miliknya yang berada di pesisir pantai untuk dijadikan sebuah tempat wisata.
Saat itu, ia benar-benar bingung. Bagaimana tidak, tanah peninggalan ayahnya
akan dibeli oleh orang yang tidak ia kenal. Sebenarnya alasan yang datang
bukan hanya itu, alasan lainnya karena disana terdapat banyak pohon kelapa
yang hasil dari pohon kelapa tersebut dapat menyalakan kompor dirumahnya.
Bimbang pun semakin menjadi, apabila tanah tersebut dijual ia tidak dapat
menyalakan kompor dirumahnya.

Pemikiran kecilnya pun berkata bahwa menolak adalah jalan satu


satunya. Bagaimana tidak? Kehancuran ekosistem laut yang akan ditimbulkan
dari pembangunan tempat wisata akan berdampak pada menipisnya populasi
ikan. Ya memang, ia amat sangat membutuhkan uangnya untuk menarik ikan
yang lebih banyak dengan perahu motor. Tapi apa gunanya? Toh ikan ikan pun
akan semakin menipis populasinya. Dan bagaimana cucu cucuku nanti? Apa
mereka tidak bisa merasakan betapa lezatnya ikan hasil tangkapan para
nelayan? Pemikirannya pun berkecambuk.

Akhirnya dengan tekad bulat ia menolak perjanjian ini. Tapi apa daya?
Tanah peninggalan ayah Nelayan tua terlalu berharga dan menarik bagi warga
Jakarta itu. Ia akan melakukan apapun agar tanah itu menjadi miliknya. Ia
datang kembali ke rumah Nelayan tua untuk membuat perjanjian baru.

“Mengapa bapak menolak? Apakah uang yang saya kasih kurang? Padahal
bapak bisa membeli rumah gedong di Jakarta dengan uang sebanyak itu”
Dengan sedih Nelayan Tua mendengarnya penghinaan dari orang Jakarta itu.
Setelah menceritakan apa yang menjadi masalah beliau menolak, kemudian,

“Oke, saya akan membuat perjanjian baru, perjanjian resmi, bahwa saya
berjanji untuk melakukan pembangunan dengan memperhatikan fungsi
lingkungan yang berkelanjutan”
Setelah menandatangani, hitam diatas putih, otomatis tanah
peninggalan ayah Nelayan tua beralih menjadi milik warga Jakarta tersebut,
dengan imbalan uang yang didapatkannya yang sangat banyak. Sebagian uang
tersebut ia gunakan untuk menyekolahkan anak sulungnya, Beliau berharap
bahwa kelak anaknya menjadi pejabat yang akan memperhatikan rakyat kecil
seperti Nelayan tua ini. Sebagian uangnya ia gunakan untuk mendirikan usaha
kecil-kecilan. Untungnya, sekolah di pesisir pantai dahulu mengajarkannya
bagaimana ia dapat membentuk pola pikir yang kreatif. Walaupun lulusan
SMP, Nelayan tua bisa membentuk karya cipta dari sampah kerang di pinggir
pantai, lalu hasilnya ia perjualbelikan di sekitaran tanah yang dulu menjadi
miliknya yang kini menjadi tempat wisata. Istrinya lah yang mengembangkan
usaha ini. Lalu, saat beliau masih memiliki sedikit uang, beliau teringat pada
mimpinya, perahu motor.

Waktu silih berganti, lalu, muncullah masalah baru, harga solar


sebagai bahan bakar perahu motornya, semakin naik. Beliau kebingungan dan
akhirnya jatuh sakit. Uang sisa pembelian perahu motornya digunakan untuk
berobat.

Ditengah kesehatannya yang mulai membaik, istrinya menyerahnya


sebagian keuntungannya dari penjualan kerajinan kerang untuk membeli bahan
bakar solar.

Akhirnya kini Nelayan tua mulai berlayar kembali dan menjaring


banyak ikan. Usaha kecil istrinya pun sukses. Semua anaknya pun tetap
bersekolah. Serta perjanjian yang dibuat dengan orang Jakarta pun mulai
dirasakan hasilnya dengan banyak wilayah yang dibentuk sedemikian rupa
untuk mendukung fungsi lingkungan berkelanjutan. Dan pelajaran kecil yang
harus diambil dari cerita sederhana ini, bersyukurlah untuk setiap oksigen yang
terhirup lewat hidungmu.

TAMAT

Anda mungkin juga menyukai