(Purwaningsih)
Endah Purwaningsih
Universitas Negeri Padang
Jalan Prof. Dokter Hamka, Air Tawar Barat, Padang Utara, Kota Padang, Sumatera Barat 25171
Email: endahkusworo@gmail.com
ABSTRAK
Gunung Marapi merupakan gunungapi aktif di wilayah Sumatera Barat, sehingga apabila terjadi
erupsi/letusan akan berdampak pada kondisi sosial maupun kondisi ekonomi masyarakat di kawasan tersebut.
Untuk mengantisipasi timbulnya korban, maka perlu adanya penyusunan rencana kontinjensi yang merupakan
salah satu rencana yang dibuat pada tahapan prabencana dan dilakukan pada kondisi normal atau potensi
terjadinya suatu bencana. Rencana ini dapat dijadikan Rencana Operasi Tanggap Darurat, setelah terlebih
dahulu melalui kaji cepat. Rencana kontinjensi sangat memerlukan aspek geospasial dalam pembuatannya.
Informasi geospasial yang digunakan dalam pemecahan masalah bencana gunungapi khususnya letusan
Gunung Marapi disajikan dalam bentuk peta yang terdiri atas: peta kawasan rawan bencana, peta kerentanan
sosial, peta kerentanan ekonomi, peta kerentanan fisik dan peta risiko bencana letusan gunungapi. Untuk
mencapai hasil pemetaan rencana kontinjensi bencana digunakan analisis spasial data primer berupa survei
lapangan untuk mengetahui daerah terdampak yaitu Kabupaten Agam, Kabupaten Tanah Datar dan data
sekunder. Komponen dan indikator untuk menghitung indeks ancaman bencana dan analisis pengkelasan
Kawasan Rawan Bencana (KRB) mengikuti aturan Perka BNPB No.2 Tahun 2012. Berdasarkan hasil analisis
data spasial dan survei lapangan mengenai peta rencana kontinjensi bahaya letusan Gunung Marapi di
Kabupaten Agam dan Kabupaten Tanah Datar, maka terdapat 65 nagari yang terkena dampak bahaya letusan
gunungapi Marapi. Terdapat 10 nagari yang memiliki kelas risiko tinggi bencana letusan gunungapi Marapi.
ABSTRACT
Mount Marapi is an active volcano in the West Sumatra region, so that if an eruption occurs it will have
an impact on the social economic conditions of the people in the region. To anticipate the emergence of
victims, it is necessary to prepare contingency plans which are one of the plans made at the pre-disaster stage
and carried out under normal conditions or the potential for a disaster. This plan can be used as an Emergency
Response Operation Plan, after first going through a quick review. Contingency plans really require geospatial
aspects in their manufacture. Geospatial information used in solving volcanic disaster problems, especially at
the Mount Marapi eruption, is presented to the maps: maps of disaster-prone areas, social vulnerability maps,
economic vulnerability maps, physical vulnerability maps and volcanic eruption disaster risk maps. To achieve
the results of mapping the disaster contingency plan, the primary data spatial analysis is used on field survey
to find out the affected areas, namely Agam District and Tanah Datar District and secondary data. Components
and indicators for calculating disaster threat index and classification analysis of Disaster Prone Areas (KRB)
follow the regulation of National Disaster Management Agency Regulation No.2 of 2012. Based on the results
of spatial data analysis and field surveys regarding contingency plan maps of the volcanic eruption hazard in
Agam District and Tanah Datar Regency, there are 65 nagari affected by the danger of volcanic eruptions in
Marapi. There are 10 villages that have a high risk class of the volcanic eruption of Marapi.
PENDAHULUAN
Negara Indonesia memiliki kondisi geografis, geologis, hidrologis, dan demografis yang
memungkinkan terjadinya bencana, baik yang disebabkan oleh faktor alam, faktor non-alam maupun
faktor manusia yang mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan,
1273
kerugian harta benda dan dampak psikologis. Sesuai dengan amanat Undang-Undang No. 24 Tahun
2007 tentang Penanggulangan Bencana, disebutkan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah
bertanggung jawab dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana, mulai dari tahap
prabencana, saat bencana sampai dengan pascabencana.
Pada umumnya risiko bencana alam meliputi bencana akibat faktor geologi (gempabumi,
tsunami, dan letusan gunungapi), bencana akibat hidrometeorologi (banjir, tanah longsor,
kekeringan, angin topan), bencana akibat faktor biologi (wabah penyakit manusia, penyakit
tanaman/ternak, hama tanaman) serta kegagalan teknologi (kecelakaan industri, kecelakaan
transportasi, radiasi nuklir, pencemaran bahan kimia). Bencana akibat ulah manusia terkait dengan
konflik antar-manusia akibat perebutan sumber daya yang terbatas, alasan ideologi, religius, serta
politik. Sedangkan kedaruratan kompleks merupakan kombinasi dari situasi bencana pada suatu
daerah konflik (Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 04 Tahun 2008).
Provinsi Sumatera Barat memiliki dataran rendah di wilayah pantai barat dan dataran tinggi vulkanik
Bukit Barisan yang membentang dari barat laut ke arah tenggara. Garis pantai Sumatera Barat
seluruhnya bersentuhan dengan Samudera Hindia sepanjang 375 km. Beberapa sungai besar di
Pulau Sumatera berhulu di provinsi ini, yaitu Sungai Siak, Sungai Rokan, Sungai Indragiri (disebut
sebagai Batang Kuantan di bagian hulunya), Sungai Kampar, dan Batang Hari. Semua sungai ini
bermuara di pantai timur Sumatera, di Provinsi Riau dan Jambi. Beberapa sungai bermuara di pantai
barat di antaranya Batang Anai, Batang Arau, dan Batang Tarusan. Selain itu, beberapa gunung juga
terdapat di Sumatera Barat, yaitu Gunung Marapi, Sago, Singgalang, Tandikat, Talamau, dan
Gunung Talang. Ancaman bencana yang terjadi di Provinsi Sumatera Barat di antaranya bencana
banjir, gunungapi, gempabumi, tsunami, kebakaran permukiman, kekeringan, cuaca ekstrem,
longsor, abrasi, kebakaran hutan dan lahan, gagal teknologi, konflik sosial (Badan Nasional
Penanggulangan Bencana, 2011). Kondisi rawan bencana Provinsi Sumatera Barat termasuk tinggi
menurut Indeks Rawan Bencana Indonesia (IRBI), mempunyai julat skor antara 44 sampai 115.
Ranking IRBI secara nasional antara 10-342. Urutan skor dan ranking IRBI disajikan pada Tabel 1.
berikut ini.
Salah satu bencana yang terdapat di Sumatera Barat adalah bencana gunungapi. Di Provinsi
Sumatera Barat terdapat beberapa gunungapi aktif diantaranya Gunung Talang, Gunung Marapi,
Gunung Tandikek, Gunung Pasaman Barat, dan Gunung Talamau. Aktivitas gunungapi tertinggi
terdapat di Gunung Marapi yang berada di Kabupaten Agam dan Kabupaten Tanah Datar dengan
1274
Rencana Kontinjensi Gunungapi Berbasis Informasi Geospasial.....................................................................................(Purwaningsih)
status waspada (Level II), sedangkan gunungapi lainnya memiliki status normal (Level I).
Berdasarkan IRBI Kabupaten Agam mempunyai skor 94 (kerawanan tinggi) ranking 37, Kabupaten
Tanah Datar mempunyai skor IRBI 89 (kerawanan tinggi) ranking 51. Data dari Pusat Vulkanologi
dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) menunjukkan bahwa pada tanggal 1 Januari – 18 Januari
2016 terjadi beberapa aktivitas di Gunung Marapi diantaranya: 1 (satu) kali Gempa Hembusan, 10
kali Gempa Tremor (Tre), 33 kali Gempa Tornello (Tor), 9 kali Gempa Vulkanik Dangkal (VB), 1
(satu) kali Vulkanik Dalam (VA), 7 kali Gempa Tektonik Lokal (TL) dan 11 kali Gempa Tektonik Jauh
(TJ). Aktivitas Gunung Marapi meningkat dari bulan Desember tahun 2015. Masyarakat di sekitar
Gunung Marapi dan pengunjung/wisatawan tidak diperbolehkan mendekati Gunung Marapi pada
radius 3 km dari kawah/puncak, mengingat kawah sebagai pusat letusan dan sumber keluarnya gas-
gas vulkanik yang dapat membahayakan bagi kehidupan. Akibat yang dapat ditimbulkan oleh
bencana Gunung Marapi dapat mempengaruhi kondisi sosial maupun kondisi ekonomi masyarakat
di kawasan tersebut. Dalam upaya mengantisipasi terjadinya kemungkinan ancaman letusan
gunungapi dan dalam rangka peningkatan kesiapsiagaan daerah, maka perlu dilakukan penyusunan
rencana kontinjensi (Contingency Planning) di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota sesuai
dengan ancaman yang dihadapi.
Kontinjensi (contingency) adalah suatu keadaan atau situasi yang diperkirakan akan segera
terjadi, tetapi mungkin juga tidak akan terjadi (BNPB, 2011). Rencana kontinjensi merupakan suatu
rencana yang dibuat pada tahapan prabencana dan dilakukan pada kondisi normal atau potensi
terjadinya suatu bencana. Untuk membuat rencana kontinjensi yang baik, diperlukan beragam peta
sebagai alat visualisasi spasial dalam pengambilan keputusan (Basyid, 2010). Penyusunan rencana
kontinjensi merupakan salah satu rencana yang dibuat pada tahapan prabencana dan dilakukan
pada kondisi normal atau potensi terjadinya suatu bencana. Rencana kontinjensi dibuat untuk
memastikan apakah pemerintah daerah maupun masyarakat siap dalam menghadapi potensi
terjadinya suatu kondisi darurat (bencana). Apabila bencana terjadi, maka Rencana Kontinjensi
dapat dijadikan Rencana Operasi Tanggap Darurat (Emergency Operation Plan) setelah terlebih
dahulu melalui kaji cepat (rapid assessment). Mengingat pentingnya aspek geospasial dalam suatu
rencana kontinjensi, maka diperlukan pembuatan peta rencana kontinjensi bencana letusan
gunungapi berbasis informasi geospasial.
TUJUAN
Pembuatan peta rencana kontinjensi bencana letusan gunungapi berbasis informasi geospasial
bertujuan untuk mencapai proses pengambilan keputusan pada tahap prabencana untuk
menghadapi keadaan darurat bencana tertentu (single hazard). Adapun hasil pembuatan peta
rencana kontinjensi ini meliputi peta kawasan rawan bencana, peta kerentanan sosial, peta
kerentanan ekonomi, peta kerentanan fisik, dan peta risiko bencana letusan Gunung Marapi di
Kabupaten Agam dan Kabupaten Tanah Datar.
METODE
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah: Digitasi permukiman penduduk, fasilitas
umum, dan fasilitas kritis menggunakan citra Quick Bird. Penggunaan citra satelit sebagai acuan
untuk memperoleh data permukiman, fasilitas umum, dan fasilitas kritis. Analisis data sekunder
untuk membuat peta kerentanan bencana, kawasan rawan bencana, dan peta risiko bencana
dampak letusan Gunung Marapi.
Indeks ancaman bencana disusun berdasarkan dua komponen utama, yaitu kemungkinan
terjadi suatu bencana dan besaran dampak yang pernah tercatat untuk bencana yang terjadi.
Pemetaan dapat dilaksanakan setelah seluruh data indikator pada setiap komponen diperoleh dari
sumber data yang telah ditentukan. Data yang diperoleh dibagi dalam tiga kelas ancaman yaitu
rendah, sedang, dan tinggi. Komponen dan indikator untuk menghitung indeks ancaman bencana
letusan gunungapi dapat dilihat pada Tabel 2. Beberapa jenis hazard (peta ancaman) seperti
bencana gempabumi, tanah longsor, letusan gunungapi, banjir, dan kekeringan telah dikeluarkan
1275
oleh kementerian/lembaga terkait. Kelas Kawasan Rawan Bencana (KRB) letusan gunungapi
disesuaikan dengan peta bahaya letusan gunungapi yang dikeluarkan oleh PVMBG (Pusat
Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi). Analisis pengkelasan Kawasan Rawan Bencana (KRB)
Gunung Marapi disajikan pada Tabel 3.
Indikator yang digunakan untuk kerentanan sosial adalah kepadatan penduduk, rasio jenis
kelamin, rasio kemiskinan, rasio orang cacat, dan rasio kelompok umur. Indeks kerentanan sosial
diperoleh dari rata-rata bobot kepadatan penduduk (60%), kelompok rentan (40%) yang terdiri dari
10% rasio jenis kelamin, 10% rasio kemiskinan, 10% rasio orang cacat, dan 10% rasio kelompok
umur (Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 02 Tahun 2012).
Parameter konversi indeks dan persamaannya ditunjukkan pada Tabel 4. di bawah ini.
Indikator yang digunakan untuk kerentanan ekonomi adalah luas lahan produktif dalam rupiah
(sawah, perkebunan, lahan pertanian, dan tambak) dan PDRB. Luas lahan produktif dapat diperoleh
dari peta penggunaan lahan dan buku kabupaten atau kecamatan dalam angka dan dikonversi ke
dalam rupiah, sedangkan PDRB dapat diperoleh dari laporan sektor atau kabupaten dalam angka
(Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 02 Tahun 2012). Parameter
konversi indeks kerentanan ekonomi untuk ancaman Letusan Gunungapi dapat dilihat pada Tabel
5. berikut ini.
1276
Rencana Kontinjensi Gunungapi Berbasis Informasi Geospasial.....................................................................................(Purwaningsih)
Indikator yang digunakan untuk kerentanan fisik adalah kepadatan rumah (permanen, semi
permanen, dan non permanen), ketersediaan bangunan/fasilitas umum dan ketersediaan fasilitas
kritis. Kepadatan rumah diperoleh dengan membagi rumah atas area terbangun atau luas desa
masing-masing parameter. Parameter konversi indeks kerentanan fisik untuk ancaman letusan
gunungapi dapat dilihat pada Tabel 6. berikut.
Pengkajian risiko bencana dilaksanakan dengan mengkaji dan memetakan Tingkat Ancaman,
Tingkat Kerentanan dan Tingkat Kapasitas berdasarkan Indeks Kerugian, Indeks Penduduk
Terpapar, Indeks Ancaman dan Indeks Kapasitas. Metode untuk menterjemahkan berbagai indeks
tersebut ke dalam peta dan kajian diharapkan dapat menghasilkan tingkat risiko untuk setiap
ancaman bencana yang ada pada suatu daerah. Tingkat risiko bencana ini menjadi landasan utama
untuk menyusun Rencana Penanggulangan Bencana Daerah. Indeks kapasitas diperoleh
berdasarkan tingkat ketahanan daerah pada suatu waktu. Tingkat ketahanan daerah bernilai sama
untuk seluruh kawasan pada suatu kabupaten/kota yang merupakan lingkup kawasan terendah
kajian kapasitas ini. Cek lapangan untuk meninjau kembali dan melihat keabsahan data lokasi
terjadinya dampak bencana letusan Gunung Marapi.
Berdasarkan hasil analisis data sekunder dan cek lapangan untuk peta rencana kontinjensi
bencana letusan gunungapi Marapi di Kabupaten Agam dan Kabupaten Tanah Datar, maka
didapatkan hasil penelitian sebagai berikut.
1277
Peta Kawasan Rawan Bencana Letusan Gunungapi
Hasil analisis berupa pengkelasan berdasarkan komponen peta bahaya letusan gunungapi
Marapi di Kabupaten Agam dan Kabupaten Tanah Datar, maka diperoleh kawasan rawan bencana
letusan gunungapi Marapi seperti yang disajikan pada Tabel 7.
Berdasarkan Tabel 6 di atas dapat diketahui bahwa wilayah yang termasuk kawasan rawan
bencana letusan gunungapi Marapi meliputi 2 (dua) kabupaten, yaitu Kabupaten Tanah Datar dan
Kabupaten Agam. Wilayah rawan letusan gunungapi Marapi di Kabupaten Tanah Datar seluas 12.700
hektar, yang tersebar dalam 45 nagari dan berada pada 10 kecamatan. Kecamatan Sungai Tarab
merupakan kecamatan yang terluas terdampak letusan gunungapi, yaitu seluas 3.302 hektar.
Wilayah yang terdampak di Kabupaten Agam adalah 6 kecamatan yang tersebar dalam 20 nagari.
Kecamatan paling rawan adalah Kecamatan Canduang dengan wilayah rawan seluas 3.450 hektar,
disusul Kecamatan Sungai Pua seluas 1946 hektar. Berdasarkan hasil analisis peta bahaya letusan
gunungapi, maka diketahui kawasan yang terkena dampak dari letusan gunungapi Marapi. Kawasan
yang terkena dampak dari letusan gunungapi Marapi terdiri dari 65 nagari yang berada di Kabupaten
Agam dan Kabupaten Tanah Datar. Kawasan di Kabupaten Agam yang terkena dampak letusan
gunungapi Marapi terdiri dari 20 nagari dengan total luas daerah yang terkena dampak bahaya
letusan seluas 6.606 ha, sedangkan di Kabupaten Tanah Datar terdiri dari 45 nagari dengan total
luas daerah terkena dampak bahaya letusan 13.122 ha. Luas daerah yang terkena dampak tertinggi
bahaya letusan gunungapi Marapi berada di Nagari Bukik Batabuah Kecamatan Canduang Kabupaten
Agam, dengan luas daerah bahaya 1.822 ha, hal ini disebabkan karena secara geografis Nagari Bukik
Batabuah yang berada di lereng atas gunungapi Marapi, sehingga zona jatuhan dan zona aliran lahar
lebih tinggi. Kawasan rawan bencana letusan gunungapi Marapi dapat dilihat pada Gambar 2
berikut ini.
1279
Peta Kerentanan Sosial
Data sekunder yang digunakan sebagai parameter kerentanan sosial bencana letusan
gunungapi Marapi adalah data kepadatan penduduk, rasio jenis kelamin, rasio kemiskinan, rasio
orang cacat, dan rasio kelompok umur di Kabupaten Agam dan Kabupaten Tanah Datar. Data
tersebut kemudian dianalisis dan disajikan dalam Gambar 3.
Hasil analisis data sekunder untuk kerentanan ekonomi bencana letusan gunungapi Marapi di
Kabupaten Agam dan Kabupaten Tanah Datar menunjukkan kerentanan ekonomi dipengaruhi oleh
luas produktif oleh rupiah (sawah, perkebunan, pertanian, dan tambak) dan PDRB. Hasil analisis
data kerentanan ekonomi yang disajikan dalam Tabel V.3. menunjukkan bahwa sebagian besar
kerentanan ekonomi bencana letusan gunungapi Marapi di Kabupaten Agam dan Kabupaten Tanah
Datar dari kelas rendah ke kelas sedang. Sebanyak 65 nagari yang terkena dampak bahaya letusan
gunungapi Marapi di Kabupaten Agam dan Kabupaten Tanah Datar, hanya 4 nagari yang memiliki
kerentanan ekonomi yang tinggi yaitu Nagari Aia Angek, Nagari Paninjauan, Nagari Kotobaru, dan
Nagari Sabu, yang mana 4 nagari tersebut berada di Kabupaten Tanah Datar. Tingginya kerentanan
ekonomi bencana letusan gunungapi di nagari yang berada di Kabupaten Tanah Datar disebabkan
karena luasnya lahan produktif di daerah yang terkena dampak dari letusan gunungapi Marapi,
seperti yang disajikan pada Gambar 4.
1280
Rencana Kontinjensi Gunungapi Berbasis Informasi Geospasial.....................................................................................(Purwaningsih)
Hasil analisis data sekunder yang digunakan untuk kerentanan fisik bencana letusan gunungapi
Marapi di Kabupaten Agam dan Kabupaten Tanah Datar menunjukkan bahwa kerentanan fisik
bahaya letusan gunungapi di Kabupaten Agam dan Kabupaten Tanah Datar didominasi oleh kelas
rendah, hanya 11 nagari yang memiliki kerentanan fisik sedang. Kerentanan fisik yang tinggi hanya
terdapat di 2 nagari yaitu Nagari Aia Angek yang berada di Kabupaten Tanah Datar, dan Nagari
Sungaipua yang berada di Kabupaten Agam. Tinggi rendahnya kerentanan fisik bencana letusan
gunungapi pada suatu daerah dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya terdiri dari banyaknya
fasilitas umum dan permukiman. Tingginya kerentanan fisik pada Nagari Aia Angek disebabkan
karena pada nagari terdapat beberapa fasilitas umum seperti: kantor polisi, sekolah, puskesmas,
dan lain sebagainya. Gambar 5 berikut ini menunjukkan Peta Kerentanan Fisik.
Tingginya risiko bencana letusan gunungapi dipengaruhi oleh kerentanan bencana, indeks
bahaya, dan indeks kapasitas yang terdapat di nagari tersebut. Semakin tinggi indeks kerentanan,
indeks bahaya, dan indeks kapasitas bencana, maka semakin tinggi pula risiko bencana yang terjadi
di daerah tersebut. Hasil analisis untuk risiko bencana letusan gunungapi Marapi di Kabupaten Agam
dan Kabupaten Tanah Datar menunjukkan bahwa terdapat risiko bencana letusan gunungapi Marapi
dalam kategori kelas tinggi. Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat 10 nagari yang memiliki
risiko bencana letusan gunungapi yang tinggi diantaranya adalah Nagari Sabu, Nagari Andaleh,
1281
Nagari Pariangan, Nagari Sungai Jambu, Nagari Padang Laweh, dan Nagari Pasia Laweh yang berada
di Kabupaten Tanah Datar, sedangkan untuk Kabupaten Agam terdapat Nagari Batu Palano, Nagari
Sungai Pua, Nagari Bukik Batabuah, dan Nagari Lasi. Hasil analisis risiko bencana letusan gunungapi
Marapi di Kabupaten Agam dan Kabupaten Tanah Datar dapat dilihat pada Gambar 6.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis data spasial dan survei lapangan mengenai peta rencana kontinjensi
bahaya letusan Gunung Marapi di Kabupaten Agam dan Kabupaten Tanah Datar, maka kesimpulan
yang didapat adalah terdapat 65 nagari yang terkena dampak bahaya letusan Gunung Marapi dan
10 nagari yang memiliki kelas risiko tinggi terhadap bencana letusan Gunung Marapi.
DAFTAR PUSTAKA
Asriningrum Wikanti, Heru Noviar, Suwarsono. 2004. Pengembangan Metode Zonasi Daerah Bahaya Letusan
Gunung Merapi. Jurnal Penginderaan Jauh dan Citra Digital.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). 2011. Panduan Perencanaan Kontinjensi Menghadapi
Bencana. Edisi kedua. Jakarta.
Badan Pusat Statistik Sumatera Barat. Kabupaten Agam Dalam Angka 2015.
Badan Pusat Statistik Sumatera Barat. Kabupaten Tanah Datar Dalam Angka 2015.
Badiaga, Emmanuel Pajot. 2011. Contingency Plan. Facilitator’s Guide. Handicap International-Philippines
Program.
Basyid, Abdul M. 2010. Pengembangan Peta Rencana Kontinjensi Bencana Gunungapi. Jurnal Rekayasa No.4.
Vol. XIV.
Danoedoro, Projo. 2004. Sains Informasi Geografis. Jurusan Kartografi dan Penginderaan Jauh. Fakultas
Geografi. Yogyakarta.
Kraak, Menno_Jan dan Ferjan Ormeling. 2007. Kartografi: Visualisasi Data Geospasial. Edisi Kedua. Gadjah
Mada University Press. Yogyakarta.
Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 04 Tahun 2008 tentang Pedoman
Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana.
Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 02 Tahun 2012 tentang Pedoman Umum
Pengkajian Risiko Bencana.
Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 07 Tahun 2012 tentang Pedoman
Pengelolaan Data dan Informasi Bencana Indonesia.
Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 15 Tahun 2012 tentang Pedoman Pusat
Pengendalian Operasi Penanggulangan Bencana (PULDALOPS-PB).
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan
Bencana.
Preseren, T., Franci Steinman, Joze Papez. 2012. Contingency Planning Oriented Hazard Maps. New Ideas And
Lessons Learned Within The Monitor Ii Project – Slovenian Example. 12th Congress INTERPRAEVENT
2012 – Grenoble / France Conference Proceedings. www.interpraevent.at
Pusat Pengembangan Infrastruktur Data Spasial (PPIDS) UNP. 2010. Modul Pelatihan Aplikasi Sistem
Informasi Geografis. Padang.
Schwingshandl, A., Plattner Thomas, Liehr Clemens, Muhlnock Florian, Mullebner Bernhard, Steiner Simon.
Monitor II-Contingency Planning Guidelines. The Austrian Federal Railways, The Federal Ministry for
Agriculture, Forestry, Environment and Water Management and with co-financing by the European
Union.
RI (Republik Indonesia). 2011. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial.
RI (Republik Indonesia). 2007. Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
1282