Kelompok 1 Gadar
Kelompok 1 Gadar
DISUSUN OLEH :
KELOMPOK : IV
1. SURIPTO
2. RAODATUL AISY
1
PROGRAM STUDI SI KEPERAWATAN
2019/2020
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
Mengetahui Pre-Hospital Care system atau tentang pengkajian dan penatalaksanaan
pada pasien Pre-Hospital
1.4 Manfaat
- Mahasiswa
Menambah wawasan ilmu dalam hal Pre-Hospital System
3
BAB II
PEMBAHASAN
Berdasarkan skema di atas, kualitas hidup penderita pasca cedera akan sangat
bergantung pada apa yang telah dia dapatkan pada periode Pre Hospital Stage bukan
hanya tergantung pada bantuan di fasilitas pelayanan kesehatan saja. Jika di tempat
pertama kali kejadian penderita mendapatkan bantuan yang optimal sesuai
kebutuhannya maka resiko kematian dan kecacatan dapat dihindari. Bisa diilustrasikan
dengan penderita yang terus mengalami perdarahan dan tidak dihentikan selama
periode Pre Hospital Stage, maka akan sampai ke rumah sakit dalam kondisi gagal
ginjal.
Dimanapun dan kapanpun, keberadaan klinik, rumah sakit, dan pelayanan
kesehtan lain harus digunakan untuk memastikan mobilisasi sumber daya kesehatan
yang efisien.
Begitu cedera terjadi maka berlakulah apa yang disebut waktu emas (The Golden
periode). Satu jam pertama juga sangat menentukan sehingga dikenal istilah The
Golden Hour. Setiap detik sangat berharga bagi kelangsungan hidup penderita.
Semakin panjang waktu terbuang tanpa bantuan pertolongan yang memadai, semakin
kecil harapan hidup korban. Terdapat 3 faktor utama di Pre Hospital Stage yang
berperan terhadap kualitas hidup penderita nantinya yaitu :
siapa penolong pertamanya
Berapa lama ditemukannya penderita,
kecepatan meminta bantuan pertolongan
Penolong pertama seharusnya orang awam yang terlatih dengan dukungan
pelayanan ambulan gawat darurat 24 jam. Ironisnya penolong pertama di wilayah
Indonesia sampai saat tulisan ini dibuat adalah orang awam yang tidak terlatih dan
minim pengetahuan tentang kemampuan pertolongan bagi penderita gawat darurat..
Kecepatan penderita ditemukan sulit kita prediksi tergantung banyak faktor seperti
geografi, teknologi, jangkauan sarana tranport dan sebagainya. Akan tetapi kualitas
bantuan yang datang dan penolong pertama di tempat kejadian dapat kita modifikasi.
Pada fase rumah sakit, Unit Gawat Darurat berperan sebagai gerbang utama jalan
masuknya penderita gawat darurat. Kemampuan suatu fasilitas kesehatan secara
keseluruhan dalam hal kualitas dan kesiapan dalam perannya sebagai pusat rujukan
penderita dari pra rumah tercermin dari kemampuan unit ini. Standarisasi Unit Gawat
Darurat saat ini menjadi salah satu komponen penilaian penting dalam perijinan dan
akreditasi suatu rumah sakit. Penderita dari ruang UGD dapat dirujuk ke unit perawatan
intensif, ruang bedah sentral, ataupun bangsal perawatan. Jika dibutuhkan, penderita
dapat dirujuk ke rumah sakit lain.
Uraian singkat di atas kiranya cukup memberikan gambaran bahwa keberhasilan
pertolongan bagi penderita dengan criteria gawat darurat yaitu penderita yang terancam
nyawa dan kecacatan, akan dipengaruhi banyak factor sesuai fase dan tempat kejadian
cederanya. Pertolongan harus dilakukan secara harian 24 jam (daily routine) yang
terpadu dan terkordinasi dengan baik dalam satu system yang dikenal dengan Sistem
5
Pelayanan gawat Darurat Terpadu (SPGDT). Jika bencana massal terjadi dengan korban
banyak, maka pelayanan gawat darurat harian otomatis ditingkatkan fungsinya menjadi
pelayanan gawat darurat dalam bencana (SPGDB). Tak bisa ditawar-tawar lagi,
pemerintah harus mulai memikirkan terwujudnya penerapan system pelayanan gawat
darurat terpadu.
Komponen penting yang harus disiapkan diantaranya :
1. Sistem komunikasi
Kejelasan kemana berita adanya kejadian gawat darurat disampaikan, akan
memperpendek masa pra rumah sakit yang dialami penderita. Pertolongan yang
datang dengan segera akan meminimalkan resiko-resiko penyulit lanjutan seperti
syok hipovolemia akibat kehilangan darah yang berkelanjutan, hipotermia akibat
terpapar lingkungan dingin dan sebagainya. Siapapun yang menemukan penderita
pertama kali di lokasi harus tahu persis kemana informasi diteruskan. Problemnya
adalah bagaimana masyarakat dapat dengan mudah meminta tolong, bagaimana
cara membimbing dan mobilisasi sarana tranportasi (Ambulan), bagaimana
kordinasi untuk mengatur rujukan, dan bagaimana komunikasi selama bencana
berlangsung.
2. Pendidikan
Penolong pertama seringkali orang awam yang tidak memiliki kemampuan
menolong yang memadai sehingga dapat dipahami jika penderita dapat langsung
meninggal ditempat kejadian atau mungkin selamat sampai ke fasilitas kesehatan
dengan mengalami kecacatan karena cara tranport yang salah. Penderita dengan
kegagalan pernapasan dan jantung kurang dari 4-6 menit dapat diselamatkan dari
kerusakan otak yang ireversibel. Syok karena kehilangan darah dapat dicegah jika
sumber perdarahan diatasi, dan kelumpuhan dapat dihindari jika upaya evakuasi
& tranportasi cedera spinal dilakukan dengan benar. Karena itu orang awam yang
menjadi penolong pertama harus menguasai lima kemampuan dasar yaitu :
Menguasai cara meminta bantuan pertolongan
Menguasai teknik bantuan hidup dasar (resusitasi jantung paru)
Menguasai teknik mengontrol perdarahan
Menguasai teknik memasang balut-bidai
Menguasai teknik evakuasi dan tranportasi
3. Tranportasi
Alat tranportasi yang dimaksud adalah kendaraannya, alat-alatnya dan
personalnya. Tranportasi penderita dapat dilakukan melalui darat, laut dan udara.
Alat tranportasi penderita ke rumah sakit saat ini masih dilakukan dengan kendaraan
yang bermacam-macam kendaraan tanpa kordinasi yang baik. Hanya sebagian kecil
yang dilakukan dengan ambulan, itupun dengan ambulan biasa yang tidak
memenuhi standar gawat darurat. Jenis-jenis ambulan untuk suatu wilayah dapat
disesuaikan dengan kondisi lokal untuk pelayanan harian dan bencana.
4. Pendanaan
Sumber pendanaan cukup memungkinkan karena system asuransi yang kini
berlaku di Indonesia. Pegawai negeri punya ASKES, pegawai swasta memiliki
jamsostek, masyarakat miskin mempunyai ASKESKIN. Orang berada memiliki
asuransi jiwa.
5. Quality Control
Penilaian, perbaikan dan peningkatan system harus dilakukan secara
periodic untuk menjamin kualitas pelayanan sesuai tujuan.
9
b) Pasien : umur, jenis kelamin, derajat respon, kemungkinan penyebab
kegawatdaruratan.
c) Pendamping atau kerumunan: urutan kejadian, alergi, riwayat penyakit dan
pengobatan, makanan/minuman yang di konsumsi dan gerakan ataupun petunjuk dari
bahasa tubuh tentang lokasi sakit.
d) Mekanisme cedera : trauma tajam, tumpul, panas, api, ataupun bahan kimia.
e) Deformitas atau cedera tampak: posisi yang tidak wajar, lebam, lepuh.
f) Tanda: sesuatu yang mudah dilihat, dicium dan didengar, seperti darah, muntah, dan
hangus serta ledakan.
a) Airway
Airway manajemen merupakan hal yang terpenting dalam resusitasi dan membutuhkan
keterampilan yang khusus dalam penatalaksanaan keadaan gawat darurat, oleh karena itu hal
pertama yang harus dinilai adalah kelancaran jalan nafas, yang meliputi pemeriksaan jalan
nafas yang dapat disebabkan oleh benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur manibula atau
maksila, fraktur laring atau trakea. Gangguan airway dapat timbul secara mendadak dan total,
perlahan lahan dan sebagian, dan progresif dan/atau berulang.
Menurut ATLS 2004, Kematian-kematian dini karena masalah airway seringkali masih
dapat dicegah, dan dapat disebabkan oleh :
1. Kegagalan mengetahui adanya kebutuhan airway
2. Ketidakmampuan untuk membuka airway
3. Kegagalan mengetahui adanya airway yang dipasang secara keliru
4. Perubahan letak airway yang sebelumnya telah dipasang
5. Kegagalan mengetahui adanya kebutuhan ventilasi
6. Aspirasi isi lambung
Bebasnya jalan nafas sangat penting bagi kecukupan ventilasi dan oksigenasi. Jika
pasien tidak mampu dalam mempertahankan jalan nafasnya, patensi jalan nafas harus
dipertahankan dengan cara buatan seperti : reposisi, chin 10 lift, jaw thrust, atau melakukan
penyisipan airway orofaringeal serta nasofaringeal (Walls, 2010). Usaha untuk membebaskan
jalan nafas harus melindungi vertebra servikal. Dalam hal ini dapat dimulai dengan
melakukan chin lift atau jaw thrust. Pada penderita yang dapat berbicara, dapat dianggap
bahwa jalan nafas bersih, walaupun demikian penilaian terhadap airway harus tetap
dilakukan. Penderita dengan gangguan kesadaran atau Glasgow Coma Scale sama atau
kurang dari 8 biasanya memerlukan pemasangan airway definitif. Adanya gerakan motorik
yang tak bertujuan, mengindikasikan perlunya airway definitif.
Penilaian bebasnya airway dan baik-tidaknya pernafasan harus dikerjakan dengan
cepat dan tepat. Bila penderita mengalami penurunan tingkat kesadaran, maka lidah mungkin
jatuh ke belakang, dan menyumbat hipofaring. Bentuk sumbatan seperti ini dapat dengan
segera diperbaiki dengan cara mengangkat dagu (chin lift maneuver), atau dengan mendorong
rahang bawah ke arah depan (jaw thrust maneuver). Airway selanjutnya dapat dipertahankan
dengan airway orofaringeal (oropharyngeal airway) atau nasofaringeal (nasopharingeal
airway). Tindakan-tindakan yang digunakan untuk membuka airway dapat menyebabkan atau
memperburuk cedera spinal. Oleh karena itu, selama melakukan prosedur-prosedur ini harus
dilakukan imobilisasi segaris (in-line immobilization) (ATLS, 2004)
11
Jaw thrust Penolong berada disebelah atas kepala pasien. Kedua tangan
pada mandibula, jari kelingking dan manis kanan dan kiri berada pada angulus mandibula,
jari tengah dan telunjuk kanan dan kiri berada pada ramus mandibula sedangkan ibu jari
kanan dan kiri berada pada mentum mandibula. Kemudian mandibula diangkat ke atas
melewati molar pada maxila (Arifin, 2012)
b. Breathing
Oksigen sangat penting bagi kehidupan. Sel-sel tubuh memerlukan pasokan konstan
O2 yang digunakan untuk menunjang reaksi kimiawi penghasil energi, yang menghasilkan
CO2 yang harus dikeluarkan secara terus-menerus (Sherwood, 2001). Kegagalan dalam
oksigenasi akan menyebabkan hipoksia yang diikuti oleh kerusakan otak, disfungsi jantung,
dan akhirnya kematian (Hagberg, 2005). Pada keadaan normal, oksigen diperoleh dengan
bernafas dan diedarkan dalam aliran darah ke seluruh tubuh (Smith, 2007). Airway yang baik
tidak dapat menjamin pasien dapat bernafas dengan baik pula (Dolan, Holt, 2008). Menjamin
terbukanya airway merupakan langkah awal yang penting untuk pemberian oksigen.
Oksigenasi yang memadai menunjukkan pengiriman oksigen yang sesuai ke jaringan untuk
memenuhi kebutuhan metabolik, efektivitas ventilasi dapat dinilai secara klinis (Buono,
Davis, Barth, 2007).
Apabila pernafasan tidak adekuat, ventilasi dengan menggunakan teknik bag-valve-
face-mask merupakan cara yang efektif, teknik ini lebih efektif apabila dilakukan oleh dua
13
orang dimana kedua tangan dari salah satu petugas dapat digunakan untuk menjamin
kerapatan yang baik (ATLS, 2004). Cara melakukan pemasangan face-mask (Arifin, 2012):
Posisikan kepala lurus dengan tubuh
Pilihlah ukuran sungkup muka yang sesuai (ukuran yang sesuai bila sungkup muka
dapat menutupi hidung dan mulut pasien, tidak ada kebocoran).
Letakkan sungkup muka (bagian yang lebar dibagian mulut).
Jari kelingking tangan kiri penolong diposisikan pada angulus mandibula, jari manis
dan tengah memegang ramus mandibula, ibu jari dan telunjuk memegang dan memfiksasi
sungkup muka
Gerakan tangan kiri penolong untuk mengekstensikan sedikit kepala pasien
Pastikan tidak ada kebocoran dari sungkup muka yang sudah dipasangkan
Bila kesulitan, gunakan dengan kedua tangan bersama-sama (tangan kanan dan kiri
memegang mandibula dan sungkup muka bersama-sama)
Pastikan jalan nafas bebas (lihat, dengar, rasa)
Bila yang digunakan AMBU-BAG, maka tangan kiri memfiksasi sungkup muka,
sementara tanaga kanan digunakan untuk memegang bag (kantong) reservoir sekaligus
pompa nafas bantu (squeeze-bag).
Sedangkan apabila pernafasan tidak membaik dengan terbukanya airway, penyebab lain
harus dicari. Penilaian harus dilakukan dengan melakukan inspeksi, palpasi, perkusi dan
auskultasi pada toraks.
Penilaian awal tersebut dilakukan untuk menilai apakah terdapat keadaan-keadaan
seperti tension pneumotoraks, massive haemotoraks, open pneumotoraks dimana keadaan-
keadaan tersebut harus dapat dikenali pada saat dilakukan primary survey. Bila ditemukannya
keadaan-keadaan tersebut maka resusitasi yang dilakukan adalah ( Sitohang, 2012):
Memberikan oksigen dengan kecepatan 10 – 12 L/menit
Tension pneumotoraks : Needle insertion (IV Cath No. 14) di ICR II linea midclavicularis.
Massive haemotoraks : Pemasangan Chest Tube
Open pneumotoraks : Luka diututp dengan kain kasa yang diplester pada tiga sisi (flutter-type
valveefect). Pulse oxymeter dapat digunakan untuk memberikan informasi tentang saturasi
oksigen dan perfusi perifer penderita.
Pulse oxymeter adalah metoda yang noninvansif untuk mengukur saturasi oksigen darah
aterial secara terus menerus (ATLS, 2004).
c. Circulation
Perdarahan merupakan penyebab kematian setelah trauma (Dolan, Holt, 2008). Oleh
karena itu penting melakukan penilaian dengan cepat status hemodinamik dari pasien, yakni
dengan menilai tingkat kesadaran, warna kulit dan nadi (ATLS,2004).
Tingkat kesadaran
Bila volume darah menurun perfusi otak juga berkurang yang menyebabkan penurunan
tingkat kesadaran.
Warna kulit
Wajah yang keabu-abuan dan kulit ektremitas yang pucat merupakan tanda hipovolemia.
Nadi
Pemeriksaan nadi dilakukan pada nadi yang besar seperti a. femoralis dan a. karotis (kanan
kiri), untuk kekuatan nadi, kecepatan dan irama.
Dalam keadaan darurat yang tidak tersedia alat-alat, maka secara cepat kita dapat
memperkirakan tekanan darah dengan meraba pulsasi (Haffen, Karren, 1992):
o Jika teraba pulsasi pada arteri radial, maka tekanan darah minimal 80 mmHg sistol.
o Jika teraba pulsasi pada arteri brachial, maka tekanan darah minimal 70 mmHg sistol.
o Jika teraba pulsasi pada arteri femoral, maka tekanan darah minimal 70 mmHg sistol.
o Jika teraba pulsasi pada arteri carotid, maka tekanan darah minimal 60 mmHg sistol.
d. Disability
Menjelang akhir primary survey dilakukan evaluasi terhadap keadaan neurologis secara
cepat. Hal yang dinilai adalah tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil. Tanda-tanda
lateralisasi dan tingkat (level) cedera spinal (ATLS, 2004). Cara cepat dalam mengevaluasi
status neurologis yaitu dengan menggunakan AVPU, sedangkan GSC (Glasgow Coma Scale)
merupakan metode yang lebih rinci dalam mengevaluasi status neurologis, dan dapat
dilakukan pada saat survey sekunder (Jumaan, 2008).
AVPU, yaitu:
A : Alert
V : Respon to verbal
P : Respon to pain
U : Unrespon
e. Exposure
Merupakan bagian akhir dari primary survey, penderita harus dibuka keseluruhan
pakaiannya, kemudian nilai pada keseluruhan bagian tubuh. Periksa punggung dengan
memiringkan pasien dengan cara log roll. Selanjutnya selimuti penderita dengan selimut
kering dan hangat, ruangan yang cukup hangat dan diberikan cairan intra-vena yang sudah
dihangatkan untuk mencegah agar pasien tidak hipotermi.
15
BAB III
KESIMPULAN SARAN
3.1 Kesimpulan
Setiap prehospital care system yang efektif harus mempunyai sistem element dan
administrasi yang terprogram. Ketika dibutuhkan, EMS atau satu pelayanan publik
yang penting di sebuah negara seharusnya digunakan dan diperkuat dengan
dikembangkannya system prehospital care berbasis dari kebutuhan untuk merespon dan
menyediakan perawatan yang secepatnya pada trauma dan kegawatdaruratan jantung.
Sering dapat terjadi untuk meminimalkan akibat dari luka yang serius, termasuk
mencegah dari kecacatan dan kematian dengan menyediakan PreHospital care yang
efektif.
Keperawatan kritis dan kegawatdaruratan Pre Hospital adalah pelayanan profesioanal
keperawatan yang diberikan pada pasien dengan kebutuhan urgen dan kritis atau rangkaian
kegiatan praktek keperawatan kegawatdaruratan yang diberikan oleh perawat yang kompeten
untuk memberikan asuhan keperawatan di ruang gawat darurat.
Pre Hospital kegawatdaruratan meliputi pertolongan pertama, penanganan transportasi
yang diberikan kepada orang yang mengalami kondisi darurat akibat rudapaksa, sebab medik
atau perjalanan penyakit di mulai dari tempat ditemukannya korban tersebut sampai
pengobatan definitif dilakukan di tempat rujukan.
3.2 Saran
Sebagai seorang calon perawat yang nantinya akan bekerja di suatu institusi Rumah Sakit
tentunya kita dapat mengetahui mengenai ruang lingkup keperawatan kritis dan
kegawatdaruratan pre hospital. Penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca, karena
manusia tidak ada yang sempurna, agar penulis dapat belajar lagi dalam penulisan makalah
yang lebih baik. Atas kritik dan saran dari pembaca, penulis ucakan terimakasih.
DAFTAR PUSTAKA
Christopher LD. Pre-hospital care in Gauteng Province, South Africa. Prehospital Immediate
Care 1998;2:21315.
Garrett P. Pre-hospital immediate care during a civil war. Pre-hospital Immediate Care
1998;2:13640.
Indo Pos (2010). Jamkesda picu banyak masalah. Indo Pos, 18 Oct 2010.
www.Bataviase. co.id. Diakses 7 November 2010.
Joose P, Soedarmo S, Luitse JS, et al. Trauma outcome analysis of a Jakarta University
Hospital using the TRISS method: validation and limitation in comparison with the
major trauma outcome study. J Trauma 2001;51:13440.
Watts J. Bali Bombing offers lesson for disaster relief. Lancet 2002;360:1401.
World Health Organization. Emergency preparedness and risk management. WHO five-year
strategy for the health sector and community capacity-building, January 2007.
17