Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

‘‘PENGKAJIAN DAN PENATALAKSANAAN PRE-HOSPITAL”

Dosen Pengampu :Ns. Ayu Wahyuni Lestari,.S.Kep.M.Kep

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK : IV

1. SURIPTO
2. RAODATUL AISY

1
PROGRAM STUDI SI KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

(STIKES) YAHYA BIMA

2019/2020

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Kesehatan tidak hanya merupakan hak warga tetapi juga merupakan barang
investasi yang menentukan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi negara. Karena
itu negara berkepentingan agar seluruh warganya sehat (“Health for All”), sehingga
ada kebutuhan untuk melembagakan pelayanan kesehatan universal. Ada dua isu
mendasar untuk mewujudkan tujuan pelayanan kesehatan dengan cakupan universal,
yaitu bagaimana cara membiayai pelayanan kesehatan untuk semua warga, dan
bagaimana mengalokasikan dana kesehatan untuk menyediakan pelayanan kesehatan
dengan efektif, efisien, dan adil.
Di Indonesia sering terjadi bencana alam salah satunya adalah Bencana
tsunami di Aceh beberapa tahun silam membuat kita teperangah tak percaya. Bumi
Serambi Mekah dalam sekejap rata menyisakan kepiluan manakala hamparan jenazah
saudara-saudara menusuk mata kita. Berita pesawat terbang jatuh, silih berganti
dengan kabar duka lainnya : longsor, banjir bahkan bencana bom pernah melanda
negeri ini. Sesaat kita terdiam merenung akan hakikat hidup yang menyadarkan kita.
Semua sudah kehendakNya. Takdir memang diluar kuasa kita sebagai manusia.
Kejadian gawat darurat dapat terjadi kapan saja, dimana saja dan menimpa
siapa saja. Orang lain, teman dekat, keluarga ataupun kita sendiri dapat menjadi
korbannya. Kejadian gawat darurat biasanya berlangsung cepat dan tiba-tiba sehingga
sulit memprediksi kapan terjadinya. Langkah terbaik untuk situasi ini adalah waspada
dan melakukan upaya kongkrit untuk mengantisipasinya. Harus dipikirkan satu
bentuk mekanisme bantuan kepada korban dari awal tempat kejadian, selama
perjalanan menuju sarana kesehatan, bantuan di fasilitas kesehatan sampai pasca
kejadian cedera. Tercapainya kualitas hidup penderita pada akhir bantuan harus tetap
menjadi tujuan dari seluruh rangkai pertolongan yang diberikan.
Dengan berbagai keadaan yang kurang mendukung Pre-Hospital Care system
seperti keadaan geografis, kondisi keuangan pemerintah. Sarana-prasana yang ada dan
hal lainnya, dibutuhkan sebuah Pre-Hospital Care system yang sesuai untuk
dijalankan di Indonesia sehingga dapat berjalan dengan optimal.

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah dalam makalah ini adalah untuk mengetahui Pre-Hospital Care
system atau tentang pengkajian dan penatalaksanaan pada pasien Pre-Hospital

1.3 Tujuan
Mengetahui Pre-Hospital Care system atau tentang pengkajian dan penatalaksanaan
pada pasien Pre-Hospital

1.4 Manfaat
- Mahasiswa
Menambah wawasan ilmu dalam hal Pre-Hospital System

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pre-Hospital System


Setiap prehospital care system yang efektif harus mempunyai sistem element dan
administrasi yang terprogram. Ketika dibutuhkan, EMS atau satu pelayanan publik
yang penting di sebuah negara seharusnya digunakan dan diperkuat, dengan masukan
dari pemimpin dan anggota masyarakat itu sendiri. Ada Berbagai model sruktur
prehospital care system. Sistem yang terpilih haruslah memperhitungkan faktor lokal
dan juga sumber daya yang ada.
Salah satu contohnya ialah system prehospital trauma care yang melibatkan
keselamatan masyarakat sekaligus juga kesehatannya, kerjasama antar- sektor
merupakan sesuatu yang penting. Tidak peduli betapa simplenya prehospital trauma
care system yang mungkin ada, elemen tertentu penting untuk ada yang bertujuan
untuk mencegah morbidity dan mortality. Elemen ini termasuk (minimal terdapat)
Komunikasi dan aktivasi system yang cepat dan tepat, respon sistem yang cepat dan
tepat dan juga pengkajian, perawatan dan transport korban ke Fasilitas kesehatan
terdekat.
Upaya Pertolongan terhadap penderita gawat darurat harus dipandang sebagai
satu system yang terpadu dan tidak terpecah-pecah. Sistem mengandung pengertian
adanya komponen-komponen yang saling berhubungan dan saling mempengaruhi,
mempunyai sasaran (output) serta dampak yang diinginkan (outcome). Sistem yang
bagus juga harus dapat diukur dengan melalui proses evaluasi atau umpan balik yang
berkelanjutan. Alasan kenapa upaya pertolongan penderita harus dipandang sebagai
satu system dapat diperjelas dengan skema di bawah ini :
Injury & Pre Hospital Stage Hospital Stage Rehabilitation
Dissaster
 First Responder  Emergency Room  Fisical
 Ambulance Service  Operating Room  Psycological
 Intensif Care Unit  Social
24 jam
 Ward Care

Berdasarkan skema di atas, kualitas hidup penderita pasca cedera akan sangat
bergantung pada apa yang telah dia dapatkan pada periode Pre Hospital Stage bukan
hanya tergantung pada bantuan di fasilitas pelayanan kesehatan saja. Jika di tempat
pertama kali kejadian penderita mendapatkan bantuan yang optimal sesuai
kebutuhannya maka resiko kematian dan kecacatan dapat dihindari. Bisa diilustrasikan
dengan penderita yang terus mengalami perdarahan dan tidak dihentikan selama
periode Pre Hospital Stage, maka akan sampai ke rumah sakit dalam kondisi gagal
ginjal.
Dimanapun dan kapanpun, keberadaan klinik, rumah sakit, dan pelayanan
kesehtan lain harus digunakan untuk memastikan mobilisasi sumber daya kesehatan
yang efisien.
Begitu cedera terjadi maka berlakulah apa yang disebut waktu emas (The Golden
periode). Satu jam pertama juga sangat menentukan sehingga dikenal istilah The
Golden Hour. Setiap detik sangat berharga bagi kelangsungan hidup penderita.
Semakin panjang waktu terbuang tanpa bantuan pertolongan yang memadai, semakin
kecil harapan hidup korban. Terdapat 3 faktor utama di Pre Hospital Stage yang
berperan terhadap kualitas hidup penderita nantinya yaitu :
 siapa penolong pertamanya
 Berapa lama ditemukannya penderita,
 kecepatan meminta bantuan pertolongan
Penolong pertama seharusnya orang awam yang terlatih dengan dukungan
pelayanan ambulan gawat darurat 24 jam. Ironisnya penolong pertama di wilayah
Indonesia sampai saat tulisan ini dibuat adalah orang awam yang tidak terlatih dan
minim pengetahuan tentang kemampuan pertolongan bagi penderita gawat darurat..
Kecepatan penderita ditemukan sulit kita prediksi tergantung banyak faktor seperti
geografi, teknologi, jangkauan sarana tranport dan sebagainya. Akan tetapi kualitas
bantuan yang datang dan penolong pertama di tempat kejadian dapat kita modifikasi.
Pada fase rumah sakit, Unit Gawat Darurat berperan sebagai gerbang utama jalan
masuknya penderita gawat darurat. Kemampuan suatu fasilitas kesehatan secara
keseluruhan dalam hal kualitas dan kesiapan dalam perannya sebagai pusat rujukan
penderita dari pra rumah tercermin dari kemampuan unit ini. Standarisasi Unit Gawat
Darurat saat ini menjadi salah satu komponen penilaian penting dalam perijinan dan
akreditasi suatu rumah sakit. Penderita dari ruang UGD dapat dirujuk ke unit perawatan
intensif, ruang bedah sentral, ataupun bangsal perawatan. Jika dibutuhkan, penderita
dapat dirujuk ke rumah sakit lain.
Uraian singkat di atas kiranya cukup memberikan gambaran bahwa keberhasilan
pertolongan bagi penderita dengan criteria gawat darurat yaitu penderita yang terancam
nyawa dan kecacatan, akan dipengaruhi banyak factor sesuai fase dan tempat kejadian
cederanya. Pertolongan harus dilakukan secara harian 24 jam (daily routine) yang
terpadu dan terkordinasi dengan baik dalam satu system yang dikenal dengan Sistem

5
Pelayanan gawat Darurat Terpadu (SPGDT). Jika bencana massal terjadi dengan korban
banyak, maka pelayanan gawat darurat harian otomatis ditingkatkan fungsinya menjadi
pelayanan gawat darurat dalam bencana (SPGDB). Tak bisa ditawar-tawar lagi,
pemerintah harus mulai memikirkan terwujudnya penerapan system pelayanan gawat
darurat terpadu.
Komponen penting yang harus disiapkan diantaranya :
1. Sistem komunikasi
Kejelasan kemana berita adanya kejadian gawat darurat disampaikan, akan
memperpendek masa pra rumah sakit yang dialami penderita. Pertolongan yang
datang dengan segera akan meminimalkan resiko-resiko penyulit lanjutan seperti
syok hipovolemia akibat kehilangan darah yang berkelanjutan, hipotermia akibat
terpapar lingkungan dingin dan sebagainya. Siapapun yang menemukan penderita
pertama kali di lokasi harus tahu persis kemana informasi diteruskan. Problemnya
adalah bagaimana masyarakat dapat dengan mudah meminta tolong, bagaimana
cara membimbing dan mobilisasi sarana tranportasi (Ambulan), bagaimana
kordinasi untuk mengatur rujukan, dan bagaimana komunikasi selama bencana
berlangsung.
2. Pendidikan
Penolong pertama seringkali orang awam yang tidak memiliki kemampuan
menolong yang memadai sehingga dapat dipahami jika penderita dapat langsung
meninggal ditempat kejadian atau mungkin selamat sampai ke fasilitas kesehatan
dengan mengalami kecacatan karena cara tranport yang salah. Penderita dengan
kegagalan pernapasan dan jantung kurang dari 4-6 menit dapat diselamatkan dari
kerusakan otak yang ireversibel. Syok karena kehilangan darah dapat dicegah jika
sumber perdarahan diatasi, dan kelumpuhan dapat dihindari jika upaya evakuasi
& tranportasi cedera spinal dilakukan dengan benar. Karena itu orang awam yang
menjadi penolong pertama harus menguasai lima kemampuan dasar yaitu :
 Menguasai cara meminta bantuan pertolongan
 Menguasai teknik bantuan hidup dasar (resusitasi jantung paru)
 Menguasai teknik mengontrol perdarahan
 Menguasai teknik memasang balut-bidai
 Menguasai teknik evakuasi dan tranportasi
3. Tranportasi
Alat tranportasi yang dimaksud adalah kendaraannya, alat-alatnya dan
personalnya. Tranportasi penderita dapat dilakukan melalui darat, laut dan udara.
Alat tranportasi penderita ke rumah sakit saat ini masih dilakukan dengan kendaraan
yang bermacam-macam kendaraan tanpa kordinasi yang baik. Hanya sebagian kecil
yang dilakukan dengan ambulan, itupun dengan ambulan biasa yang tidak
memenuhi standar gawat darurat. Jenis-jenis ambulan untuk suatu wilayah dapat
disesuaikan dengan kondisi lokal untuk pelayanan harian dan bencana.
4. Pendanaan
Sumber pendanaan cukup memungkinkan karena system asuransi yang kini
berlaku di Indonesia. Pegawai negeri punya ASKES, pegawai swasta memiliki
jamsostek, masyarakat miskin mempunyai ASKESKIN. Orang berada memiliki
asuransi jiwa.
5. Quality Control
Penilaian, perbaikan dan peningkatan system harus dilakukan secara
periodic untuk menjamin kualitas pelayanan sesuai tujuan.

2.2 Sistem Pelayanan Kedaruratan Medik


Pelayanan kedaruratan medik agak berbeda dengan pelayanan kesehatan lain oleh
karena sering harus diberikan secara langsung di tempat kejadian dalam bilangan menit
bahkan detik. Hasil akhirnya sangat ditentukan oleh respons, waktu, dan tempat. Sistem
Pelayanan Kedaruratan Medik sekurang-kurangnya memiliki kemampuan:
 Memberikan dukungan medik kasus kedaruratan di tempat kejadian (pra rumah
sakit) dan menentukan fasilitas medik yang sesuai untuk lanjutan penanganan;
 Menyediakan layanan transportasi cepat dan dukungan selama transportasi kasus
ke fasilitas medik;
 Melakukan komunikasi dan koordinasi dengan fasilitas medik tentang persiapan
yang masih dan akan diperlukan untuk penanganan kasus kedaruratan yang
ditransportasi.
Sistem Pelayanan Kedaruratan Medik sering bekerja melampaui batas-batas yang
secara tradisi dikenal sebagai sistem medik. Misal, sistem ini sering harus bekerja sama
dengan sistem layanan keselamatan publik lainnya seperti dinas pemadam kebakaran
dan kepolisian. Di daerah rural, sistem sangat bergantung adanya relawan dari
masyarakat sehingga merupakan simpul keterlibatan langsung masyarakat dengan
sistem pelayanan kesehatan yang ada.
Sistem Pelayanan Kedaruratan Medik terdiri dari beberapa komponen penting,
yakni:
 Akses public
 Respons publik/pra rumah-sakit
7
 Respons pelayanan kedaruratan medic
 Transportasi, dan
 Respons medic.

 Respons publik/pra rumah-sakit


Respons publik dimulai sesaat setelah kasus kedaruratan dijumpai. Respons ini
dilakukan oleh responder pertama (first responder) yang berfungsi sampai ambulans
dan petugas pelayanan kedaruratan medik yang profesional tiba di tempat kejadian.
Responder pertama kemungkinan seorang awam, polisi, atau petugas pemadam
kebakaran, yang biasanya memiliki kemampuan melakukan resusitasi jantung paru
dasar atau tindakan pertolongan pertama dengan peralatan minim untuk mencegah
kondisi korban menjadi lebih buruk.

2.3 PERAWATAN PRE HOSPITAL


Tujuan utama dari penangananbencana adalah menghindari atau meminimalkan kerugian
yang terjad iakibat bencana. Selain itu, bertujuan mengurangi penderitaan yang dialami
korban dan mempercepat proses pemulihan. Tujuan terakhir adalah memberikan
perlindungan bagi korban akibat dampak bencana (Mizam, 2012).
Dampak yang ditimbulkan akibat bencana adalahdampak fisik, psikis, sosial, material dan
ekonom iserta kerusakan infrastruktur. Dampak fisik yang sering ditemukan pada kondisi
bencana adalah gangguan jalan nafas, gagal pernafasan, perdarahan tidak terkontrol, trauma
dan kondisi non-trauma lain yang terkadang juga dapat menimbulkan kematian. Semua
kondisi tersebut membutuhkan manajeman pre hospital bencana yang tepat dan cepat dari
tenaga kesehatan dalam memberikan respon.
Manajemen pre hospital adalah pemberian pelayanan yang diberikan selama korban pertama
kali ditemukan, selama proses transportasi hingga pasien tiba di rumah sakit. Penanganan
koban selam fase pre hospital dapat menjadi penentu kondisi korban selanjutnya. Pemberian
perawatan pre hospital yang tepat dan cepat dapat menurunkan angka kecacatan dan kematian
akibat trauma (WHO, 2005).
Pelayanan yang dapat diberikan padatahap pre hospital
a. PSC (Public Safety Center)
Merupakanpusatpelayanan yang menjaminkebutuhanmasyarakatdalamhal-
halyangberhubungandengankegadaran, termasukpelayananmedis yang
dapatdihubungidalamwaktusingkatdimanapunberada.
Merupakanujungtombakpelayanankesehatan, yang
bertujuanuntukmendapatkanresponscepat (quickresponse) terutamapelayananpra RS. PSC
didirikanmasyarakatuntukkepentinganmasyarakat.
PengorganisasiandibawahPemdadengansumberdayamanusiadariberbagaiunsurtersebut,
ditambahmasyarakat yang bergiatdalamupayapertolonganbagimasyarakat,
biayadarimasyarakat. Kegiatanmenggunakanperkembanganteknologi,
pembinaanuntukmemberdayakanpotensimasyarakat, komunikasiuntukketerpaduankegiatan.
Kegiatanlintassektor. PSC berfungsisebagairesponscepatpenangggulangangadar.
b. BSB.
Unit khususuntukpenangananpra RS,
khususnyakesehatandalambencana.Pengorganisasiandijajarankesehatan (Depkes, Dinkes,
RS), petugasmedis (perawat,dokter), non medis (sanitarian, gizi, farmasidll).
Pembiayaandariinstansiyangditunjukdandimasukkan APBN/APBD.

Pengkajian Dan Penatalaksanaan Pre-Hospital


Menurut JMS 119 (2013) cara yang dilakukan untuk mempertahankan kehidupan pada saat
penderita mengalami keadaan yang mengancam nyawa dikenal sebagai “Bantuan Hidup”
(Life Support). Bantuan hidup yang dilakukan tanpa memakai cairan intra-vena, obat-obatan
ataupun kejutan listrik maka dikenal sebagai Bantuan Hidup Dasar (Basic Life Support).
Bantuan Hidup Dasar (BHD) adalah serangkaian tindakan yang untuk memudahkan disingkat
sebagai DR.ABC (Danger, Response, Airway, Breathing, Cirrculation). Menurut penelitian
yang dilakukan AHA (American Heart Association 2015) urutan yang dianjurkan untuk
penolong pada pasien kegawat daruratan jantung adalah meggunakan CAB (Circulation-
AirwayBreathing) sedangkan pada pasien dengan kegawat daruratan trauma menggunakan
ABC (Airway, Breathing,dan Circulation ).
a. D untuk Danger
Saat seorang penolong tiba di tempat kejadian maka penilaian pertama yang harus dilakukan
adalah menilai potensi bahaya pada lokasi yang mungkin mengancam pasien, penolong
ataupun orang lain di sekitar tempat kejadian.
b. R untuk Response
Periksa kesadaran pasien, dengan cara :
Memanggilnya dengan lantang
Menggoncang-goncangkan tubuh pasien

 Bila ada respon, maka:


1) Tinggalkan pada posisi yang diperkirakan aman, atau amankan lokasi penderita dari
ancaman bahaya lain. Minimalkan untuk mengubah posisi pasien bila diperkirakan ada
cedera leher dan tulang belakang.
2) Aktifkan EMS dan berilah informasi penting yang dipelukan meliputi:
a) Tempat : lokasi, potensi bahaya pada lokasi, cuaca, kondisi kerumunan orang dan
potensi adanya bahan beracun berbahaya.

9
b) Pasien : umur, jenis kelamin, derajat respon, kemungkinan penyebab
kegawatdaruratan.
c) Pendamping atau kerumunan: urutan kejadian, alergi, riwayat penyakit dan
pengobatan, makanan/minuman yang di konsumsi dan gerakan ataupun petunjuk dari
bahasa tubuh tentang lokasi sakit.
d) Mekanisme cedera : trauma tajam, tumpul, panas, api, ataupun bahan kimia.
e) Deformitas atau cedera tampak: posisi yang tidak wajar, lebam, lepuh.
f) Tanda: sesuatu yang mudah dilihat, dicium dan didengar, seperti darah, muntah, dan
hangus serta ledakan.

c. Lanjut Pada Tahap Primary Survey


Penatalaksanaan awal pada primary survey dilakukan pendekatan melalui ABCDE yaitu :
A: Airway, menjaga airway dengan kontrol servikal (cervical spinecontrol)
B: Breathing, menjaga pernafasan dengan ventilasi
C: Circulation dengan kontrol perdarahan (hemorrage control)
D: Disability, status neurologis
E: Exposure/environmental control, membuka baju penderita, tetapi cegah
Hipotermia.

a) Airway
Airway manajemen merupakan hal yang terpenting dalam resusitasi dan membutuhkan
keterampilan yang khusus dalam penatalaksanaan keadaan gawat darurat, oleh karena itu hal
pertama yang harus dinilai adalah kelancaran jalan nafas, yang meliputi pemeriksaan jalan
nafas yang dapat disebabkan oleh benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur manibula atau
maksila, fraktur laring atau trakea. Gangguan airway dapat timbul secara mendadak dan total,
perlahan – lahan dan sebagian, dan progresif dan/atau berulang.
Menurut ATLS 2004, Kematian-kematian dini karena masalah airway seringkali masih
dapat dicegah, dan dapat disebabkan oleh :
1. Kegagalan mengetahui adanya kebutuhan airway
2. Ketidakmampuan untuk membuka airway
3. Kegagalan mengetahui adanya airway yang dipasang secara keliru
4. Perubahan letak airway yang sebelumnya telah dipasang
5. Kegagalan mengetahui adanya kebutuhan ventilasi
6. Aspirasi isi lambung
Bebasnya jalan nafas sangat penting bagi kecukupan ventilasi dan oksigenasi. Jika
pasien tidak mampu dalam mempertahankan jalan nafasnya, patensi jalan nafas harus
dipertahankan dengan cara buatan seperti : reposisi, chin 10 lift, jaw thrust, atau melakukan
penyisipan airway orofaringeal serta nasofaringeal (Walls, 2010). Usaha untuk membebaskan
jalan nafas harus melindungi vertebra servikal. Dalam hal ini dapat dimulai dengan
melakukan chin lift atau jaw thrust. Pada penderita yang dapat berbicara, dapat dianggap
bahwa jalan nafas bersih, walaupun demikian penilaian terhadap airway harus tetap
dilakukan. Penderita dengan gangguan kesadaran atau Glasgow Coma Scale sama atau
kurang dari 8 biasanya memerlukan pemasangan airway definitif. Adanya gerakan motorik
yang tak bertujuan, mengindikasikan perlunya airway definitif.
Penilaian bebasnya airway dan baik-tidaknya pernafasan harus dikerjakan dengan
cepat dan tepat. Bila penderita mengalami penurunan tingkat kesadaran, maka lidah mungkin
jatuh ke belakang, dan menyumbat hipofaring. Bentuk sumbatan seperti ini dapat dengan
segera diperbaiki dengan cara mengangkat dagu (chin lift maneuver), atau dengan mendorong
rahang bawah ke arah depan (jaw thrust maneuver). Airway selanjutnya dapat dipertahankan
dengan airway orofaringeal (oropharyngeal airway) atau nasofaringeal (nasopharingeal
airway). Tindakan-tindakan yang digunakan untuk membuka airway dapat menyebabkan atau
memperburuk cedera spinal. Oleh karena itu, selama melakukan prosedur-prosedur ini harus
dilakukan imobilisasi segaris (in-line immobilization) (ATLS, 2004)

Teknik-teknik mempertahankan airway :


i. Head tilt
Bila tidak sadar, pasien dibaringkan dalam posisi terlentang dan horizontal, kecuali pada
pembersihan jalan napas dimana bahu dan kepala pasien harus direndahkan dengan posisi
semilateral untuk memudahkan drainase lendir, cairan muntah atau benda asing. Kepala
diekstensikan dengan cara meletakkan satu tangan di bawah leher pasien dengan sedikit
mengangkat leher ke atas. Tangan lain diletakkan pada dahi depan pasien sambil mendorong /
menekan ke belakang. Posisi ini dipertahankan sambil berusaha dengan memberikan inflasi
bertekanan positif secara intermittena (Alkatri, 2007).
ii. Chin lift
Jari - jemari salah satu tangan diletakkan bawah rahang, yang kemudian secara hati – hati
diangkat ke atas untuk membawa dagu ke arah depan. Ibu jari tangan yang sama, dengan
ringan menekan bibir bawah untuk membuka mulut, ibu jari dapat juga diletakkan di
belakang gigi seri (incisor) bawah dan, secara bersamaan, dagu dengan hati – hati diangkat.
Maneuver chin lift tidak boleh menyebabkan hiperekstensi leher. Manuver ini berguna pada
korban trauma karena tidak membahayakan penderita dengan kemungkinan patah ruas rulang
leher atau mengubah patah tulang tanpa cedera spinal menjadi patah tulang dengan cedera
spinaL

iii. Jaw thrust

11
Jaw thrust Penolong berada disebelah atas kepala pasien. Kedua tangan
pada mandibula, jari kelingking dan manis kanan dan kiri berada pada angulus mandibula,
jari tengah dan telunjuk kanan dan kiri berada pada ramus mandibula sedangkan ibu jari
kanan dan kiri berada pada mentum mandibula. Kemudian mandibula diangkat ke atas
melewati molar pada maxila (Arifin, 2012)

iv. Oropharingeal Airway (OPA)


Indikasi : Airway orofaringeal digunakan untuk membebaskan jalan napas pada
pasien yang kehilangan refleks jalan napas bawah (Kene, davis, 2007).
Teknik : Posisikan kepala pasien lurus dengan tubuh. Kemudian pilih ukuran pipa
orofaring yang sesuai dengan pasien. Hal ini dilakukan dengan cara menyesuaikan ukuran
pipa oro-faring dari tragus (anak telinga) sampai ke sudut bibir. Masukkan pipa orofaring
dengan tangan kanan, lengkungannya menghadap ke atas (arah terbalik), lalu masukkan ke
dalam rongga mulut. Setelah ujung pipa mengenai palatum durum putar pipa ke arah 180
drajat. Kemudian dorong pipa dengan cara melakukan jaw thrust dan kedua ibu jari tangan
menekan sambil mendorong pangkal pipa oro-faring dengan hati-hati sampai bagian yang
keras dari pipa berada diantara gigi atas dan bawah, terakhir lakukan fiksasi pipa orofaring.
Periksa dan pastikan jalan nafas bebas (Lihat, rasa, dengar). Fiksasi pipa oro-faring dengan
cara memplester pinggir atas dan bawah pangkal pipa, rekatkan plester sampai ke pipi pasien
(Arifin, 2012).
v. Nasopharingeal Airway
Indikasi : Pada penderita yang masih memberikan respon, airway nasofaringeal lebih
disukai dibandingkan airway orofaring karena lebih bisa diterima dan lebih kecil
kemungkinannya merangsang muntah (ATLS, 2004).
Teknik : Posisikan kepala pasien lurus dengan tubuh. Pilihlah ukuran pipa naso-faring
yang sesuai dengan cara menyesuaikan ukuran pipa naso-faring dari lubang hidung sampai
tragus (anak telinga). Pipa nasofaring diberi pelicin dengan KY jelly (gunakan kasa yang
sudah diberi KY jelly). Masukkan pipa naso-faring dengan cara memegang pangkal pipa
naso-faring dengan tangan kanan, lengkungannya menghadap ke arah mulut (ke bawah).
Masukkan ke dalam rongga hidung dengan perlahan sampai batas pangkal pipa. Patikan jalan
nafas sudah bebas (lihat, dengar, rasa) ( Arifin, 2012).

vi. Airway definitif


Terdapat tiga jenis airway definitif yaitu : pipa orotrakeal, pipa nasotrakeal,
dan airway surgical (krikotiroidotomi atau trakeostomi). Penentuan pemasangan
airway definitif didasarkan pada penemuan- penemuan klinis antara lain (ATLS, 2004):
 Adanya apnea
 Ketidakmampuan mempertahankan airway yang bebas dengan cara – cara yang lain
 Kebutuhan untuk melindungi airway bagian bawah dari aspirasi darah atau
 vomitus
 Ancaman segera atau bahaya potensial sumbatan airway
 Adanya cedera kepala yang membutuhkan bantuan nafas (GCS < 8)
 Ketidakmampuan mempertahankan oksigenasi yang adekuat dengan pemberian
oksigen tambahan lewat masker wajah
Intubasi orotrakeal dan nasotrakeal merupakan cara yang paling sering digunakan.
Adanya kemungkinan cedera servikal merupakan hal utama yang harus diperhatikan pada
pasien yang membutuhkan perbaikan airway. Faktor yang paling menentukan dalam
pemilihan intubasi orotrakeal atau nasotrakeal adalah pengalaman dokter. Kedua teknik
tersebut aman dan efektif apabila dilakukan dengan tepat. Ketidakmampuan melakukan
intubasi trakea merupakan indikasi yang jelas untuk melakukan airway surgical.
Apabila pernafasan membaik, jaga agar jalan nafas tetap terbuka dan periksa dengan
cara (Haffen, Karren, 1992) :
Lihat (look), melihat naik turunnya dada yang simetris dan pergerakan dinding dada yang
adekuat.Dengar (listen), mendengar adanya suara pernafasan pada kedua sisi dada.Rasa
(feel), merasa adanya hembusan nafas.

b. Breathing
Oksigen sangat penting bagi kehidupan. Sel-sel tubuh memerlukan pasokan konstan
O2 yang digunakan untuk menunjang reaksi kimiawi penghasil energi, yang menghasilkan
CO2 yang harus dikeluarkan secara terus-menerus (Sherwood, 2001). Kegagalan dalam
oksigenasi akan menyebabkan hipoksia yang diikuti oleh kerusakan otak, disfungsi jantung,
dan akhirnya kematian (Hagberg, 2005). Pada keadaan normal, oksigen diperoleh dengan
bernafas dan diedarkan dalam aliran darah ke seluruh tubuh (Smith, 2007). Airway yang baik
tidak dapat menjamin pasien dapat bernafas dengan baik pula (Dolan, Holt, 2008). Menjamin
terbukanya airway merupakan langkah awal yang penting untuk pemberian oksigen.
Oksigenasi yang memadai menunjukkan pengiriman oksigen yang sesuai ke jaringan untuk
memenuhi kebutuhan metabolik, efektivitas ventilasi dapat dinilai secara klinis (Buono,
Davis, Barth, 2007).
Apabila pernafasan tidak adekuat, ventilasi dengan menggunakan teknik bag-valve-
face-mask merupakan cara yang efektif, teknik ini lebih efektif apabila dilakukan oleh dua

13
orang dimana kedua tangan dari salah satu petugas dapat digunakan untuk menjamin
kerapatan yang baik (ATLS, 2004). Cara melakukan pemasangan face-mask (Arifin, 2012):
 Posisikan kepala lurus dengan tubuh
 Pilihlah ukuran sungkup muka yang sesuai (ukuran yang sesuai bila sungkup muka
dapat menutupi hidung dan mulut pasien, tidak ada kebocoran).
 Letakkan sungkup muka (bagian yang lebar dibagian mulut).
 Jari kelingking tangan kiri penolong diposisikan pada angulus mandibula, jari manis
dan tengah memegang ramus mandibula, ibu jari dan telunjuk memegang dan memfiksasi
sungkup muka
 Gerakan tangan kiri penolong untuk mengekstensikan sedikit kepala pasien
 Pastikan tidak ada kebocoran dari sungkup muka yang sudah dipasangkan
 Bila kesulitan, gunakan dengan kedua tangan bersama-sama (tangan kanan dan kiri
memegang mandibula dan sungkup muka bersama-sama)
 Pastikan jalan nafas bebas (lihat, dengar, rasa)
 Bila yang digunakan AMBU-BAG, maka tangan kiri memfiksasi sungkup muka,
sementara tanaga kanan digunakan untuk memegang bag (kantong) reservoir sekaligus
pompa nafas bantu (squeeze-bag).

Sedangkan apabila pernafasan tidak membaik dengan terbukanya airway, penyebab lain
harus dicari. Penilaian harus dilakukan dengan melakukan inspeksi, palpasi, perkusi dan
auskultasi pada toraks.
Penilaian awal tersebut dilakukan untuk menilai apakah terdapat keadaan-keadaan
seperti tension pneumotoraks, massive haemotoraks, open pneumotoraks dimana keadaan-
keadaan tersebut harus dapat dikenali pada saat dilakukan primary survey. Bila ditemukannya
keadaan-keadaan tersebut maka resusitasi yang dilakukan adalah ( Sitohang, 2012):
 Memberikan oksigen dengan kecepatan 10 – 12 L/menit
 Tension pneumotoraks : Needle insertion (IV Cath No. 14) di ICR II linea midclavicularis.
 Massive haemotoraks : Pemasangan Chest Tube

 Open pneumotoraks : Luka diututp dengan kain kasa yang diplester pada tiga sisi (flutter-type
valveefect). Pulse oxymeter dapat digunakan untuk memberikan informasi tentang saturasi
oksigen dan perfusi perifer penderita.
 Pulse oxymeter adalah metoda yang noninvansif untuk mengukur saturasi oksigen darah
aterial secara terus menerus (ATLS, 2004).
c. Circulation
Perdarahan merupakan penyebab kematian setelah trauma (Dolan, Holt, 2008). Oleh
karena itu penting melakukan penilaian dengan cepat status hemodinamik dari pasien, yakni
dengan menilai tingkat kesadaran, warna kulit dan nadi (ATLS,2004).
 Tingkat kesadaran
Bila volume darah menurun perfusi otak juga berkurang yang menyebabkan penurunan
tingkat kesadaran.
 Warna kulit
Wajah yang keabu-abuan dan kulit ektremitas yang pucat merupakan tanda hipovolemia.
 Nadi
Pemeriksaan nadi dilakukan pada nadi yang besar seperti a. femoralis dan a. karotis (kanan
kiri), untuk kekuatan nadi, kecepatan dan irama.
Dalam keadaan darurat yang tidak tersedia alat-alat, maka secara cepat kita dapat
memperkirakan tekanan darah dengan meraba pulsasi (Haffen, Karren, 1992):
o Jika teraba pulsasi pada arteri radial, maka tekanan darah minimal 80 mmHg sistol.
o Jika teraba pulsasi pada arteri brachial, maka tekanan darah minimal 70 mmHg sistol.
o Jika teraba pulsasi pada arteri femoral, maka tekanan darah minimal 70 mmHg sistol.
o Jika teraba pulsasi pada arteri carotid, maka tekanan darah minimal 60 mmHg sistol.

d. Disability
Menjelang akhir primary survey dilakukan evaluasi terhadap keadaan neurologis secara
cepat. Hal yang dinilai adalah tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil. Tanda-tanda
lateralisasi dan tingkat (level) cedera spinal (ATLS, 2004). Cara cepat dalam mengevaluasi
status neurologis yaitu dengan menggunakan AVPU, sedangkan GSC (Glasgow Coma Scale)
merupakan metode yang lebih rinci dalam mengevaluasi status neurologis, dan dapat
dilakukan pada saat survey sekunder (Jumaan, 2008).
AVPU, yaitu:
A : Alert
V : Respon to verbal
P : Respon to pain
U : Unrespon

e. Exposure
Merupakan bagian akhir dari primary survey, penderita harus dibuka keseluruhan
pakaiannya, kemudian nilai pada keseluruhan bagian tubuh. Periksa punggung dengan
memiringkan pasien dengan cara log roll. Selanjutnya selimuti penderita dengan selimut
kering dan hangat, ruangan yang cukup hangat dan diberikan cairan intra-vena yang sudah
dihangatkan untuk mencegah agar pasien tidak hipotermi.

15
BAB III
KESIMPULAN SARAN

3.1 Kesimpulan
Setiap prehospital care system yang efektif harus mempunyai sistem element dan
administrasi yang terprogram. Ketika dibutuhkan, EMS atau satu pelayanan publik
yang penting di sebuah negara seharusnya digunakan dan diperkuat dengan
dikembangkannya system prehospital care berbasis dari kebutuhan untuk merespon dan
menyediakan perawatan yang secepatnya pada trauma dan kegawatdaruratan jantung.
Sering dapat terjadi untuk meminimalkan akibat dari luka yang serius, termasuk
mencegah dari kecacatan dan kematian dengan menyediakan PreHospital care yang
efektif.
Keperawatan kritis dan kegawatdaruratan Pre Hospital adalah pelayanan profesioanal
keperawatan yang diberikan pada pasien dengan kebutuhan urgen dan kritis atau rangkaian
kegiatan praktek keperawatan kegawatdaruratan yang diberikan oleh perawat yang kompeten
untuk memberikan asuhan keperawatan di ruang gawat darurat.
Pre Hospital kegawatdaruratan meliputi pertolongan pertama, penanganan transportasi
yang diberikan kepada orang yang mengalami kondisi darurat akibat rudapaksa, sebab medik
atau perjalanan penyakit di mulai dari tempat ditemukannya korban tersebut sampai
pengobatan definitif dilakukan di tempat rujukan.

3.2 Saran
Sebagai seorang calon perawat yang nantinya akan bekerja di suatu institusi Rumah Sakit
tentunya kita dapat mengetahui mengenai ruang lingkup keperawatan kritis dan
kegawatdaruratan pre hospital. Penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca, karena
manusia tidak ada yang sempurna, agar penulis dapat belajar lagi dalam penulisan makalah
yang lebih baik. Atas kritik dan saran dari pembaca, penulis ucakan terimakasih.
DAFTAR PUSTAKA

AGD 118, ______: Buku pelatihan PPGD bagi Perawat

Christopher LD. Pre-hospital care in Gauteng Province, South Africa. Prehospital Immediate
Care 1998;2:213–15.

Garrett P. Pre-hospital immediate care during a civil war. Pre-hospital Immediate Care
1998;2:136–40.

Indo Pos (2010). Jamkesda picu banyak masalah. Indo Pos, 18 Oct 2010.
www.Bataviase. co.id. Diakses 7 November 2010.

Joose P, Soedarmo S, Luitse JS, et al. Trauma outcome analysis of a Jakarta University
Hospital using the TRISS method: validation and limitation in comparison with the
major trauma outcome study. J Trauma 2001;51:134–40.

Laporan Perkembangan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia (Millennium


Development Goals/MDGs). 2004.

PCCMI. -------- : Penanggulangan Penderita Gawat Darurat, Jakarta.

Watts J. Bali Bombing offers lesson for disaster relief. Lancet 2002;360:1401.

World Health Organization. Emergency preparedness and risk management. WHO five-year
strategy for the health sector and community capacity-building, January 2007.

17

Anda mungkin juga menyukai