Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam istilah kedokteran secara lengkap nama dari penyakit “Lupus” ini
adalah “Systemik Lupus Erythematosus (SLE)”. Istilah lupus berasal dari bahasa
latin yang berarti anjing hutan atau serigala. Sedangkan kata Erythematosus dalam
bahasa yunani berarti kemerah-merahan. Pada saat itu diperkirakan, penyakit
kelainan kulit kemerahan di sekitar hidung dan pipi itu disebabkan oleh gigitan
anjing hutan. Karena itulah penyakit itu diberi nama “Lupus”.
Penyakit lupus adalah penyakit baru yang mematikan setara dengan
kanker. Tidak sedikit pengidap penyakit ini tidak tertolong lagi, di dunia terdeteksi
penyandang penyakit lupus mencapai 5 juta orang, dan lebih dari 100 ribu kasus
baru terjadi setiap tahunnya. Tubuh memiliki kekebalan untuk menyerang
penyakit dan menjaga tetap sehat. Namun, apa jadinya jika kekebalan tubuh justru
menyerang organ tubuh yang sehat. Penyakit lupus diduga berkaitan dengan
system imunologi yang berlebih. Penyakit ini tergolong misterius, lebih dari 5 juta
orang dalam usia produktif di seluruh dunia telah terdiagnosis menyandang lupus
atau SLE ( Systemic Lupus Erythematosus ), yaitu penyakit auto imun kronis
yang menimbulkan bermacam-macam manifestasi sesuai dengan target organ atau
system yang terkena. Itu sebabnya lupus disebut juga penyakit 1000 wajah.
Menurut data pustaka, di Amerika Serikat ditemukan 14,6 sampai 50,8 per
100.000. di Indonesia bisa dijumpai sekitar 50.000 penderitanya. Sedangkan di RS
ciptomangunkusumo Jakarta , dan 71 kasus yang ditangani sejak awal 1991
sampai akhir 1996, 1 dari 23 penderitanya adalah laki-laki. Saat ini, ada sekitar 5
juta pasien lupus di seluruh dunia dan setiap tahunnya ditemukan lebih dari
100.000pasien baru, baik usia anak, dewasa, laki-laki da perempuan. 90% kasus
SLE menyerang wanita muda dengan insiden puncak pada usia 15-40 tahun
selama masa reproduktif dengan rasio wanita dan laki-laki 5:1.
Penyakit lupus masih sangat awam bagi masyarakat. Penyakit lupus
biasanya menyerang wanita produktif . Meski kulit wajah pnderita lupus dan
sebagian tubuh lainnya muncul bercak-bercak merah, tetapi penyakit ini tidak
menular. Terkadang kita meremehkan rasa nyeri pada persendian, seluruh organ
tubuh terasa sakit atau terjadi kelainan pada kulit, atau tubuh merasa kelelahan

1
berkepanjangan, serta sensitive terhadap sinarmatahari. Semua itu merupakan
sebagian dari gejala penyakit lupus.
Faktor yang diduga sangat berperan terserang penyakit lupus adalah factor
lingkungan, seperti paparan sinar matahari, stress, beberapa jenis jenis obat dan
virus. Oleh karena itu, bagi para penderita lupus dianjurkan keluar rumah sebelum
pukul 09.00 atau sesudah pukul 16.00. saat berpergian, penderita memakai sun
block atau sun screen ( pelindung kulit dari sengatan sinar matahari ) pada bagian
kulit yang akan terpapar. Oleh karena itu, penyakit lupus merupakan penyakit
autoimun sistemik dimana pengaruh utamanya lebih dari satu organ yang
ditimbulkan.
1.2 Rumusan masalah
2. Apa pengertian systemic lupus erythematosus
3. Bagaiamana etiologi systemic lupus erythematosus
4. Bagaimana patofisiologi systemic lupus erythematosus
5. Bagaiamana manifestasi systemic lupus erythematosus
6. Bagaiamana pathway systemic lupus erythematosus
7. Bagaiamana pemeriksaan penunjang systemic lupus erythematosus
8. Mengetahui penatalaksanaan systemic lupus erythematosus
9. Bagaiamana asuhan keperawatan systemic lupus erythematosus
1.3 Tujuan
2. Tujuan umum
Untuk mengetahui Asuhan Keperawatan Tentang Lupus Eritematosus.
3. Tujuan khusus
a. Mengetahui pengertian systemic lupus erythematosus
b. Mengetahui etiologi systemic lupus erythematosus
c. mengetahui tentang anfis system imunitas
d. Mengetahui patofisiologi systemic lupus erythematosus
e. Mengetahui manifestasi systemic lupus erythematosus
f. Mengetahui pathway systemic lupus erythematosus
g. Mengetahui pemeriksaan penunjang systemic lupus erythematosus
h. Mengetahui penatalaksanaan systemic lupus erythematosus
i. Mengetahui asuhan keperawatan systemic lupus erythematosus

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Dasar SLE (Systemic Lupus Erythematosus)
2.1 Pengertian
Menurut dokter umum RS Pertamina Balikpapan (RSPB) dr Fajar
Rudy Qimindra (2008) secara lengkap nama dari penyakit “Lupus” ini adalah
“Systemic Lupus Erythematosus (SLE)”. Istilah lupus berasal dari bahasa
latin yang berarti anjing hutan atau serigala. Sedangkan kata Erythematosus
dalam bahasa yunani berarti kemerah-merahan. Pada saat itu diperkirakan,
penyakit kelainan kulit kemerahan di sekitar hidung dan pipi itu disebabkan
oleh gigitan anjing hutan. Sehingga dari sinilah istilah lupus tetap digunakan
untuk penyakit Systemic Lupus Erythematosus.
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) merupakan gangguan multisistem
autoimun kronis yang berhubungan dengan beberapa kelainan imunologi dan
berbagai manifestasi klinis Krishnamurthy (2011).
Systemic lupus erytematosus (SLE) atau lupus eritematosus sistemik
(LES) adalah penyakit radang atau inflamasi multisistem yang penyebabnya
diduga karena adanya perubahan sistem imun (Albar, 2003).
Systemic lupus erytematosus (SLE) adalah suatu penyakit autoimun pada
jaringan ikat. Autoimun berarti bahwa system imun menyerang jaringan
tubuh sendiri. Pada SLE ini, system imun terutama menyerang inti sel
( Matt,2003).
2.2 Etiologi
Sampai saat ini penyebab SLE belum diketahui. Diduga ada beberapa
factor yang terlibat seperti factor genetic,obat-obatan,hormonal dan
lingkungan ikut berperan pada patofisiologi SLE. System imun tubuh
kehilangan kemampuan untuk membedakan antigen dari sel dan jaringan
tubuh sendiri. Penyimpangan dari reaksi imunologi ini dapat menghasilkan
antibody secara terus menerus. Antibody ini juga berperan dalam kompleks
imun sehingga mencetuskan penyakit inflamasi imun sistemik dengan
kerusakan multiorgan dalam fatogenesis melibatkan gangguan mendasar
dalam pemeliharaan self tolerance bersama aktifitas sel B, hal ini dapat terjadi
sekunder terhadap beberapa factor yaitu efek herediter dalam pengaturan
proliferasi sel B, hiperaktivitas sel T helper, dan kerusakan pada fungsi sel T
supreso.

3
Factor penyebab yang terlibat dalam timbulnya penyakit SLE, antara lain :
a. Factor genetic
Berbagai gen dapat berperan dalam respon imun abnormal sehingga
timbul produk autoantibodi yang berlebihan. Kecenderungan genetik
untuk menderita SLE telah ditunjukkan oleh studi yang dilakukan
pada anak kembar. Sekitar 2-5% anak kembar dizigot berisiko
menderita SLE, sementara pada kembar monozigot, risiko terjadinya
SLE adalah 58%. Risiko terjadinya SLE pada individu yang memiliki
saudara dengan penyakit ini adalah 20 kali lebih tinggi dibandingkan
pada populasi umum. Studi mengenai genome telah mengidentifikasi
beberapa kelompok gen yang memiliki korelasi dengan SLE. MHC
(Major Histocompatibility Complex) kelas II khususnya HLA- DR2
(Human Leukosit Antigen-DR2), telah dikaitkan dengan timbulnya
SLE. Selain itu, kekurangan pada struktur komponen komplemen
merupakan salah satu faktor risiko tertinggi yang dapat menimbulkan
SLE. Sebanyak 90% orang dengan defisiensi C1q homozigot akan
berisiko menderita SLE. Di Kaukasia telah dilaporkan bahwa
defisiensi varian S dari struktur komplemen reseptor 1, akan berisiko
lebih tinggi menderita SLE. Diketahui peneliti dari Australian
National University (ANU) di Canberra berhasil mengidentifikasikan
untuk pertama kalinya penyebab genetik dari penyakit lupus. Dengan
pendekatan yang digunakan melalui pemeriksaan DNA, tim peneliti
berhasil mengidentifikasi penyebab khusus penyakit lupus yang
diderita pasien yang diteliti. Penyebabnya adalah adanya peningkatan
jumlah molekul tertentu yang disebut interferon-alpha.
b. Faktor Imunologi
1) Antigen
Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC (Antigen
Presenting Cell) akan memperkenalkan antigen kepada sel T.
Pada penderita lupus, beberapa reseptor yang berada di
permukaan sel T mengalami perubahan pada struktur maupun
fungsinya sehingga pengalihan informasi normal tidak dapat
dikenali. Hal ini menyebabkan reseptor yang telah berubah di
permukaan sel T akan salah mengenali perintah dari sel T.

4
2) Kelainan intrinsik sel T dan sel B
Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B adalah sel T dan
sel B akan teraktifasi menjadi sel autoreaktif yaitu limfosit yang
memiliki reseptor untuk autoantigen dan memberikan respon
autoimun. Sel T dan sel B juga akan sulit mengalami apoptosis
sehingga menyebabkan produksi imunoglobulin dan autoantibodi
menjadi tidak normal.
3) Kelainan antibody
Terdapat beberapa kelainan antibodi yang dapat terjadi pada SLE,
seperti substrat antibodi yang terlalu banyak, idiotipe dikenali
sebagai antigen dan memicu limfosit T untuk memproduksi
autoantibodi, sel T mempengaruhi terjadinya peningkatan
produksi autoantibodi, dan kompleks imun lebih mudah
mengendap di jaringan.
c. Factor lingkungan
Beberapa faktor lingkungan dapat bertindak sebagai antigen yang
bereaksi dalam tubuh dan berperan dalam timbulnya SLE. Faktor
lingkungan tersebut terdiri dari:
1) Infeksi virus dan bakteri
Agen infeksius, seperti virus dan bakteri, dapat berperan dalam
timbulnya SLE. Agen infeksius tersebut terdiri dari Epstein Barr
Virus (EBV), bakteri Streptococcus dan Clebsiella.
2) Paparan sinar ultra violet
Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem imun,
sehingga terapi menjadi kurang efektif dan penyakit SLE dapat
kambuh atau bertambah berat. Hal ini menyebabkan sel pada kulit
mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi
inflamasi di tempat tersebut secara sistemik melalui peredaran
pembuluh darah.
3) Stres
Stres berat dapat memicu terjadinya SLE pada pasien yang sudah
memiliki kecenderungan akan penyakit ini. Hal ini dikarenakan
respon imun tubuh akan terganggu ketika seseorang dalam
keadaan stres. Stres sendiri tidak akan mencetuskan SLE pada
seseorang yang sistem autoantibodinya tidak ada gangguan sejak
awal.

5
d. Faktor Hormonal
Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya LE.
Beberapa studi menemukan korelasi antara peningkatan risiko lupus dan
tingkat estrogen yang tinggi. Studi lain juga menunjukkan bahwa
metabolisme estrogen yang abnormal dapat dipertimbangkan sebagai
faktor resiko terjadinya SLE.
e. Factor farmakologi
Obat pada pasien SLE dan diminum dalam jangka waktu tertentu
dapat menyebabkan Drug Induced Lupus Erythematosus (DILE). Jenis
obat yang dapat menyebabkan DILE diantaranya kloropromazin,
metildopa, hidralasin, prokainamid, dan isoniazid (Musai, 2010).
2.3 Patofisiologi
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang
menyebabkan peningkatan autoantibodi yang berlebihan. Gangguan
imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik,
hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi
selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, stress, infeksi ).
Obat-obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin
dan beberapa preparat antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah
alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE- akibat senyawa kimia atau obat-
obatan.
Pada SLE, peningkatan produksi autoantibodi diperkirakan terjadi
akibat fungsi sel T-supresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan
kompleks imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen
yang selanjutnya serangan antibodi tambahan dan siklus tersebut berulang
kembali.
Kerusakan organ pada SLE didasari pada reaksi imunologi. Reaksi ini
menimbulkan abnormalitas respons imun didalam tubuh, yaitu :
a. Sel T dan sel B menjadi otoreaktif
b. Pembentukan sitokin yang berlebihan
c. Hilangnya regulasi control pada system imun yaitu :
1) Hilangnya kemampuan membersihkan antigen dikompleks
imun maupun sitokin dalam tubuh
2) Menurunnya kemampuan mengendalikan apoptosis

6
3) Hilangnya toleransi imun : sel T mengenali molekul tubuh
sebagai antigen karena adanya mimikri molekuler
Akibat proses tersebut, maka terbentuk berbagai macam antibody di
dalam tubuh yang disebut sebagai autoantibody. Selanjutnya antibody-
antibodi yang tersebut membentuk kompleks imun. Kompleks imun tersebut
terdeposisi pada jaringan atau organ yang akhirnya menimbulkan gejala
inflamasi atau kerusakan jaringan.
2.4 Manifestasi klinis
Perjalanan penyakit SLE sangat berfariasi. Penyakit dapat timbul
mendadak disertai dengan tanda-tanda terkenanya berbagai system tubuh.
Dapat juga menahun dengan gejala pada satu system yang lambat laun diikuti
oleh gejala terkenanya system imun.
Pada tipe menahun terdapat remisi dan eksaserbsi. Remisinya mungkin
berlangsunhg=langsung bertahun-tahun. Onset penyakit dapat spontan atau
didahului oleh factor presipitasi seperti kontak dengan sinar matahari, infeksi
virus atau bakteri dan obat. Setiap serangana biasanya disertai gejala umum
yang jelas seperti demam, nafsu makan berkurang, kelemahan, berat badan
menurun, dan iritabilitasi. Yang paling menonjol ialah demam, kadang-
kadang disertai menggigil.

a. Gejala Muskuloskeletal
Gejala yang paling sering pada SLE adalah gejala musculoskeletal
berupa arthritis (93%). Yang paling sering terkena ialah sendi interfalangeal
proksimal, peradangan tangan, metakarpofalangeal, siku dan pergelangan
kaki, selain pembengkakan dan nyeri mungkin juga terdapat efusi sendi.
Arthritis biasanya simetris, tanpa menyebabkan deformitas, konfraktur atau
ankilosis. Adakala terdapat nodul rheumatoid. Nekrosis vaskuler dapat terjadi
pada berbagai tempat, dan ditemukan pada pasien yang mendapatkan
pengobatan dengan steroid dosis tinggi. Tempat yang paling sering terkena
ialah kaput femoris.
b. Gejala integument
Kelainan kulit, rambut atau selaput lendir ditemukan pada 85% kasus
SLE. Lesi kulit yang paling sering ditemukan pada SLE ialah lesi kulit akut,
subakut, discoid dan livido retikulkaris. Ruam kulit yang dianggap khas dan

7
banyak menolong dalam mengarahkan diagnosis SLE ilah ruam kulit
berbentuk kupu-kupu ( butterfly rash ) berupa eritema yang sedikit edematus
pada hidung dan kedua pipi. Dengan pengobatan yang tepat, kelainan ini
dapat sembuh tanpa bekas. Pada bagian tubuh yabg terkena sinar matahari
dapat timbul ruam kulit yang terjadi karena hipersensitivitas . lesi ini
termasuk lesi kulit akut. Lesi kulit subakut yang khas berbentuk anular .
Lesi discoid berkembang melalui 3 tahap yaitu eritema,
hyperkeratosis, dan atrofil. Biasanya tampak sebagai bercak eritematosa yang
meninggi, tertutup sisik keratin disertai adanya penyumbatan folikel. Kalau
sudah berlangsung lama akan berbentuk sikatriks.
Vaskulitis kulit dapat menyebabkan ulserasi dari yang berbentuk kecil
sampai yang besar. Sering juga tampak perdarahan dan eritema periungual.
Livido retikularis, suatu bentuk vaskutitis ringan , sangat sering ditemui pada
SLE. Kelainan kulit yang jarang ditemukan ialah bulla ( dapat menjadi
mehoragik), ekimosis, petekie dan purpura. Kadang-kadang terdapat urtikaria
yang tidak berperan terhadap kortikosteroid dan antihistamin. Biasanya
menghilang perlahan-lahan beberapa bulan setelah penyakit tenang secara
klinis dan serologis. Alopesia dapat pulih kembali jika penyakit mengalami
remisi. Ulserasi selaput lendir paling sering pada palatum durum dan biasanya
tidak nyeri. Terjadi perbaikan spontan kalau penyakit mengalami remisi.
Fenomen raynaud pada sebagian pasien tidak mempunyai korelasi dengan
aktivitas penyakit, sedangkan pada sebagian lagi akan membaik jika penyakit
mereda.
c. Kardiovaskuler
Kelainan jantung dapat berupa perikarditis ringan sampai berat ( efusi
kerikard), iskemia miokard dan endokarditis verukosa ( libman sacks)
d. Paru
Efusi pleura unilateral ringan lebih sering terjadi dari pada yang
bilateral. Mungkin ditemukan sel LE ( lamp dalam cairan pleura ) biasanya
efusi menghilang dengan pemberian terapi yang adekuat. Diagnosis
pneumonitis penyakit SLE baru dapat ditegakkan jika factor-faktor lain
seperti infeksi virus, jamur, tuberculosis dan sebagainya telah disingkirkan.
e. Sistem vaskuler

8
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler,
eritematous dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan
ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.
f. Darah
Kelainan darah bisa ditemukan pada 85% penderita lupus. Bisa
terbentuk bekuan darah di dalam vena maupun arteri, yang bisa menyebabkan
stroke dan emboli paru. Jumlah trombosit berkurang dan tubuh membentuk
antibodi yang melawan faktor pembekuan darah, yang bisa menyebabkan
perdarahan yang berarti. Seringkali terjadi anemia akibat penyakit menahun.

2.5 Pathway

Genetic Lingkungan ( cahaya matahari,infeksi stress) Hormonal Obat-obatan

System regulasi kekebalan terganggu

Mengaktivasi sel T dan B

Fungsi sel T supresor abnormal

Peningkatan produksi auto antibodi


Penumpukan kompleks imun Kerusakan jaringan

Muskuloskeletal Integumen Kardiovaskuler Respirasi Vaskuler Darah

Pembengkakan sendi Lesi akut pd Perikarditis Penumpukan Inflamasi Pembekuan


kulit cairan pd pd arterior darah dalam
Penumpukan pleura terminalis vena
Nyeri tekan, rasa Pasien merasa
Resiko cairan efusi
nyeri ketika bergerak malu dg Efusi Lesi Stroke dan
infeksi pada
kondisinyaa pleura popular emboli paru
perikardium
Nyeri akut diujung
kaki,tumit
Gangguan Penebalan Ekspansi dan siku Jumlah
citra tubuh perikardium dada tidak trombosit
9 adekuat
Pola Ketidakefektif
berkurang
nafas Kerusakan an perfusi
Penurunan
tidak integritas jaringan
Kontraksi
curah
efektif kulit Perdarahan
perifer
jantung
jantung Anemia
2.6 Pemeriksaan penunjang
Diagnosis SLE dibuat berdasarkan pada riwayat sakit yang lengkap
dan hasil pemeriksaan darah. Gejala yang klasik mencakup demam,
keletihan secara penurunan berat badan dan kemungkinan pula arthritis,
pleuritis dan perikarditis. Tidak ada 1 terlaboratorium megungkapkan
anemia yang sedang hingga berat, trombositopenia, leukositosis atau
leucopenia dan antibody antinukleus yang positif. Tes imunologi
diagnostik lainnya mungkin tetapi tidak memastikan diagnostic
a. Pemeriksaan Darah Rutin dan Pemeriksaan Urin
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada penyakit Lupus
Eritematosus Sistemik ( SLE ) adalah pemeriksaan darah rutin dan
pemeriksaan urin. Hasil pemeriksaan darah pada penderita SLE
menunjukkan adanya anemia hemolitik, trombositopenia, limfopenia,
atau leukopenia; erytrocytesedimentation rate (ESR) meningkat selama
penyakit aktif, Coombs test mungkin positif, level IgG mungkin tinggi,
ratio albumin-globulin terbalik, dan serum globulin meningkat. Selain
itu, hasil pemeriksaan urin pada penderita SLE menunjukkan adanya
proteinuria, hematuria, peningkatan kreatinin, dan ditemukannya Cast,
heme granular atau sel darah merah pada urin
b. Anti ds DNA
Batas normal : 70 – 200 iu/mL

10
Negatif : < 70 iu/mL
Positif : > 200 iu/mL
Antibodi ini ditemukan pada 65-80% penderita denga SLE aktif dan jarang
pada penderita dengan penyakit lain. Jumblah yang tinggi merupakan
spesifik untuk SLE sedangkan kadar rendah sampai sedang dapat
ditemukan pada penderita dengan penyakit reumatik dan lain-lain,
hepatitis kronik, infeksi mononukleosis, dan sirosis bilier. Jumlah antibodi
ini dapat turun dengan pengobatan yang tepat dan dapat meningkat pada
penyebaran penyakit terutama Lupus glomerulonetritis. Jumlahnya
mendekati negativ pada penyakit SLE yang tenang.
Antibodi anti-DNA merupakan subtype dari antibody antinukleus (ANA).
Ada dua tipe dari antibody anti DNA yaitu yang menyerang double
stranded DNA ( anti ds-DNA ) dan yang menyerang single stranded DNA (
anti ss-DNA ). Anti ss-DNA kurang sensitive dan spesifik untuk SLE tapi
positif untuk penyakit autoimun yang lain. Kompleks antibody-antigen
pada penyakit autoimun tidak hanya untuk diagnosis saja tetapi merupakan
konstributor yang besar dalam perjalanan penyakit tersebut. Kompleks
tersebut akan menginduksi system komplemen yang dapat menyebabkan
terjadinya inflamasi baik local maupun sistemik ( Pagana and Pagana,2002
)
c. Antinuklear antibodies ( ANA )
Harga normal : nol
ANA digunakan untuk diagnosa SLE dan penyakit autoimun yang lain.
ANA adalah sekelompok antibody protein yang beraksi menyerang inti
dari suatu sel. Ana cukup sensitif untuk mendektisi adanya SLE , hasil
yang positif terjadi pada 95% penderita SLE tetapi ANA tidak spesifik
untuk SLE saja karena ANA juga berkaitan dengan kemunculan penyakit
dan keaktifan penyakit tersebut. Setelah pemberian terapi maka penyakit
tidak lagi aktif sehingga jumblah ANA diperkirakan menurun. Jika hasil
test negativ, maka pasien belum tentu negativ terhadap SLE karena harus
dipertimbangkan juga data klinis dan test laboratorium yang lain, jika hasil
test positif maka sebaiknya dilakukan test serologi yang lain untuk
menunjang diagnose bahwa pasien tersebut menderita SLE. ANA dapat

11
meliputi anti-Smith ( anti-Sm ), anti-RNP (anti-ribonukleoprotein), dan
anti –SSA (Ro) atau anti-SSB (La) ( Pagana and Pagana,2002 )
2.7 Penatalaksanaan
Berikut adalah pilar terapi gen SLE menurut Perhimpunan
Reumatologi Indonesia (2011 : 10-11) :
a. Edukasi dan Konseling
Informasi yang benar dan dukungan dari orang sekitar sangat dibutuhkan
oleh pasien SLE dengan tujuan agar para pasien dapat hidup mandiri.
Beberapa hal perlu diketahui oleh pasien SLE, antara lain perubahan fisik
yang akan dialami, perjalanan penyakit, cara mencegah dan mengurangi
kekambuhan seperti melindungi kulit dari paparan sinar matahari secara
langsung, memperhatikan jika terjadi infeksi, dan perlunya pengaturan diet
agar tidak kelebihan berat badan, displidemia atau terjadinya osteoporosis.
b. Program Rehabilitasi
Secara garis besar pelaksanaan program rehabilitasi yang dilakukan oleh
pasien SLE, antara lain: istirahat yang cukup, sering melakukan terapi
fisik, terapi dengan modalitas, kemudian melakukan latihan ortotik, dan
lain-lain. (Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011 : 10-11)
c. Terapi Medikasi
Ada kemajuan besar dalam terapi SLE pada dekade terakhir ini. Terapi gen
adalah cara yang efisien dan menguntungkan dengan memberikan
imunomodulator dan mediator anti-inflamasi, yang meliputi alami atau
rekayasa genetika inhibitor sitokin inflamasi (anticytokines), atau sitokin
anti-inflamasi kuat seperti TGF β. Oleh karena itu adanya kebutuhan besar
untuk menemukan lebih banyak perawatan effective, jika memungkinkan
dengan efek samping yang rendah. Dengan perkembangan yang sedang
berlangsung, berikut adalah beberapa macam terapi gen yang dilakukan
pada penyakit lupus erythematosus :
1) Kortikosteroid (prednison 1-2 mg/kg/hr s/d 6 bulan postpartum)
(metilprednisolon1000 mg/24jam dengan pulse steroid th/ selama 3 hr,
jika membaik dilakukantapering off).
2) AINS (Aspirin 80 mg/hr sampai 2 minggu sebelum TP).
3) Imunosupresan (Azethiprine 2-3 mg/kg per oral).
4) Siklofospamid, diberikan pada kasus yang mengancam jiwa 700-1000
mg/m luas permukaan tubuh, bersama dengan steroid selama 3 bulan
setiap 3 minggu.

12
13
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 KASUS
Seorang pasien bernama Ny. N usia 35 tahun datang ke UGD dengan
wajah tampak lesu, kemerahan pada pipi dan leher disertai rasa nyeri
sehingga wajah tampak meringis, pasien terlihat gelisah dan berusaha
melindungi agar tidak menyentuh bagian kemerahan yang terasa nyeri,
awalnya kemerahan berukuran kecil namun setelah satu minggu ukuran
bertambah lebar disertai demam, .Pasien mengatakan nyeri seperti terbakar
terjadi terus menerus dan skala 7, pasien mengatakan merasa tidak berenergi
walaupun sudah tidur, merasa kurang bertenaga ,selalu merasa lelah, dan
merasakan nyeri pada persendiannya. Pasien mengatakan jika terkena panas
matahari kemerahan yang ada pada pipi dan leher semakin merah dan
bertamba nyeri. Pada pemeriksaan fisik diperoleh ruam atau kemerahan pada
pipi dan leher, dengan:
Suhu tubuh : 38,5oC
Nadi : 100 x/ menit
TD : 110/80 mmHg
Rr : 20 x/ menit
HB : 11 gr/ dL
WBC : 15.000/ mm3
3.1.1 Identitas pasien
a. Nama : Ny. “ N “
b. Usia : 35 Tahun
c. Jenis Kelamin : Perempuan
d. Agama : Islam
e. Suku : jawa
f. Status Pernikahan : Menikah
g. Pekerjaan :swasta
h. No. RM : 345xxx
i. Tanggal Masuk RS : 29 oktober 2019

3.1.2 Identitas penanggung jawab


a. Nama : Tn. “ S “
b. Usia : 40 Tahun
c. Jenis Kelamin : Laki-laki
d. Hubungan dengan klien : Suami

14
3.1.3 Data asuhan keperawatan
a. Pengkajian
1) Pengumpulan data
a) Keluhan Utama
(a)Keluhan utama : Kemerahan pada pipi
dan leher disertai rasa
nyeri
(b) Faktor pencetus : Terjadi karena agen
cidera bilogis
(c) Lamanya keluhan : 1 minggu secara
terus menerus
(d) Faktor yang memperberat : Saat terkena panas
sinar matahari
(e) Upaya yang dilakukan : Tidak ada upaya
yang dilakukan oleh
klien
(f) Diagnosa medic : Systemisc Lupus
Erythematous
b) Riwayat kesehatan
(a) Riwayat Kesehatan Sekarang
Pasien mengatakan nyeri seperti terbakar terjadi terus
menerus dan skala 7, pasien mengatakan merasa tidak
berenergi walaupun sudah tidur, merasa kurang
bertenaga ,selalu merasa lelah, dan merasakan nyeri
pada persendiannya. Pasien mengatakan jika terkena
panas matahari kemerahan yang ada pada pipi dan leher
semakin merah dan bertamba nyeri. Kemudian dibawa
ke RS tgl 29 Otober 2019
(b) Riwayat Kesehatan Lalu
Klien mengatakan pernah di rawat di Rumah Sakit
dengan keluhan diare.
c) Riwayat psikososial
(a) Pola Konsep Diri
Klien mengatakan ingin cepat sembuh dan segera
pulang kerumahnya.
(b) Pola Kognitif
Klien tidak mengetaui menyakit tentang lupus secara
keseluruhan
(c) Pola Koping

15
Klien berharap dapat sembuh dari penyakitnya.
(d) Pola Interaksi
Klien mampu berinteraksi dengan Perawat dan dokter.
d) Riwayat spiritual
(11) Keadaan klien beribadah
Klien mengatakan sebelum sakit rajin beribadah.
(12) Dukungan keluarga klien
Klien mengatakan keluarga sangat mendukung
terhadap kesembuhan klien.
(13) Ritual yang biasa dilakukan
Klien mengatakan tidak ada ritual khusus yang biasa
dilakukan.
e) Pemeriksaan fisik
(1) Keadaan umum
(a) Tanda-tanda distres
Klien tampak lesu, ekspresi wajah klien tampak
meringis, serta klien tampak gelisah.
(b) Tanda-tanda vital
Tekanan Darah : 110/80 mmHg
Nadi : 108 x /mnt
Pernafasan : 20 x/mnt
Suhu : 38,5°C
HB : 11 gr/Dl
WBC : 15.000/mm3
(c) Sistem Pernapasan
1. Hidung
Hidung simetris kanan dan kiri, pernapasan
cuping hidung,Tidak ditemukan adanya polip dan
Tidak terdapat apistaksis.
2. Leher
Inspeksi : Adanya ruam atau kemerahan pada
sekitar leher. Tidak tampak adanya
pembesaran kelenjar tyroid
dan kelenjar parathyroid.
Palpasi : Tidak teraba pembesaran kelenjar tyroid
dan kelenjar paratyroid.
3. Dada
Inspeksi : Bentuk dada simetris kiri dan kanan
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan
Perkusi : Sonor
Auskultasi :Tidak terdengar bunyi nafas
tambahan
(2) Sistem kardiovaskuler

16
Inspeksi :Tidak ditemukan adanya anemia, Bibir
tampak kering dan ukuran jantung normal
Palpasi :Teraba arteri carotis kuat
Auskultasi : Bunyi jantung : I = Lup, II = Dup, tidak
terdengar bunyi jantung tambahan

(3) Sistem pencernaan


Abdomen
Inspeksi : Warna kulit tidak ada kelainan, Tidak
tampak Vena yang melintang diperut,
gerakan abdomen mengikuti irama
pernapasan.
Perkusi : Timpani
Palpasi :Tidak ada nyeri tekan, tidak ada teraba
adanya pembesaran hepar
Auskultasi : Tidak ada bising usus
(4) Sistem indera
1. Mata
Inspeksi : Bulu mata dan alis tumbuh dengan
baik,Mampu membuka mata secara
spontan dan Bola mata dapat bergerak
kesegala arah.
Palapasi : Tidak ada nyeri tekan.
2. Hidung
Inspeksi : Bentuk hidung simetris,tidak terdapat
secret,Tidak ada polip dan Fungsi
penciuman klien baik dapat membedakan
bau dan Klien tidak mimisan.
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan.
3. Telinga
Inspeksi : Bentuk telinga simetris kanan dan kiri dan
Tidak ada pembengkakan.
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan dan Kedua daun
telinga lentur.
(5) Sistem muskulskleletal
1. Kepala
Bentuk kepala bulat, tidak ada peradangan, rambut
tidak mudah dicabut, tidak ada nyeri tekan.
2. Vertebra

17
Tidak menunjukkan adanya kelainan bentuk seperti
scoliosis, lordosis, dan kifosis.
3. Lutut
Kedua lutut dapat digerakkan dengan pergerakan
lambat, dan tidak tampak oedema, tetapi pasien
merasakan nyeri ketika adanya pergerakan sendi.
4. Kaki
Kedua kaki dapat digerakkan tetapi dengan
pergerakan yang lambat dan tidak tampak bengkak
pada kaki, tetapi pasien merasakan nyeri ketika
adanya pergerakan sendi
5. Tangan
Kedua tangan klien dapat digerakkan, tidak adanya
pembengkakan pada tangan, tetapi pasien
merasakan nyeri ketika adanya pergerakan sendi
(6) Sistem integumet
1. Rambut
Rambut berwarna hitam , keadaan rambut tampak
kurang rapi
2. Kulit
Warna kulit sawo matang, CRT < 2 detik, tampak
adanya ruam atau kemerahan pada pipi dan leher
pasien.
3. Kuku
Kuku pendek dan bersih
(7) Sistem endokrin
1. Tidak ada pembesaran kelenjar tyroid
2. Ekskresi urine normal
f) Pemeriksaan diagnostic
(1) Pemeriksaan Laboratorium
(a) Darah rutin
Jenis Hasil Satuan Nilai normal
Pemeriksaan

WBC 15.000 mm3 6000-8000

HB 11 g/dL 12,0-18,0

(b) Darah lengkap (kimia darah)


g) Therapy

18
(1) Kortikosteroid metilprednisolon1000 mg/24jam dengan
pulse steroid th/ selama 3 hr, jika membaik
dilakukantapering off
(2) AINS (Aspirin 80 mg/hr sampai 2 minggu sebelum
TP).
(3) Imunosupresan (Azethiprine 2-3 mg/kg per oral).

19

Anda mungkin juga menyukai